UNIKOM Andini Setya Arianti BAB 2 2
UNIKOM Andini Setya Arianti BAB 2 2
TINJAUAN PUSTAKA
Komik berasal dari kata comic yang artinya lucu, yang pada awalnya adalah
sebuah kumpulan strips bergambar yang terdapat di halaman akhir pekan
berbahasa inggris dengan judul „The Funnies‟ pada tahun 1884. Strip bergambar
itu kemudian dibukukan pada tahun 1934 dan menjadi buku komik pertama
(Ajidarma, 2005, p.1).
Dalam buku Comics and Sequential Art : Principles and Practices from the
Legendary Cartoonist (1985), Will Eisner menyebutkan bahwa komik adalah
sebuah bentuk bacaan yang konkret. Terdiri atas beberapa gambar yang saling
berurutan atau disebut juga sequential arts, komik adalah suatu bentuk naratif
yang dapat bercerita. Lebih jelasnya, sebuah komik terdiri atas urutan gambar atau
ilustrasi, lalu diberi teks sebagai penjelas gambar tersebut. Komik bicara secara
verbal dan visual sekaligus, yang kemudian disebut sebagai bahasa visual
(Ajidarma, 2005).
Komponen komik tidak semuanya sama dengan karya lainnya, di antaranya ada
bidang gambar (bisa berupa gambar manusia, benda, lingkungannya), penggunaan
sudut pandang, panel, balon kata bahkan di beberapa komik, teksnya pun
digambar sendiri (hand lettering). Komponen-komponen ini bekerja sama secara
gestalt untuk mengungkapkan cerita sesuai yang ingin disampaikan pengarang
komik (komikus). Komik adalah hubungan dua arah, yang dimana setelah komik
menyajikan gambar dan teks, pembaca akan dibawa secara emosional dan
intelektual, sehingga mampu terlarut dalam ceritanya.
10
oleh seluruh indra (contoh: dengan sound effect yang tertulis di komik, pembaca
dapat merasa mendengar suara air di danau), dan mampu memperlihatkan dunia
emosi yang tak terlihat. Garis-garis yang tersusun dalam panel bergabung menjadi
menjadi gambar dan simbol yang dapat dimengerti pembaca. (Ajidarma, 2005,
p.22).
Kelebihan dari komik adalah lebih mudah dibaca dibandingkan dengan buku
sastra pada umumnya, karena dibarengi dengan gambar atau ilustrasi yang jelas.
Seringkali, teksnya malah menjadi pendamping gambar. Hal ini membuat komik
dapat dinikmati oleh kalangan dari segala umur dan mampu menaikkan minat
baca (Bonneff, Marcell, 1998). Kelebihan lain komik antara lain 1) dapat menjadi
media hiburan 2) syarat interaksi dengan pembaca (mampu membangkitkan emosi
pembaca) 3) dapat menjadi media pembelajaran (Hafiz et al, p.15).
Kendati memiliki pengaruh yang signifikan sebagai karya seni dan sebagai sebuah
bentuk komunikasi, komik masih dianggap remeh oleh sebagian kaum elit
(terutama kaum pengajar). Komik yang tergolong sebagai “budaya populer”
dianggap rendah, tidak intelijen dan merusak daya nalar anak (Bonneff, 1998).
Padahal komik menawarkan medium yang bebas bagi pembuatnya, lebih ramah
publik dan bisa dibilang unik (Ajidarma, 2005, p.22).
11
Gambar 2.1
The Adventures of Obadiah Oldbuck oleh Rudolphe Toppfer
(sumber: britishmuseum.org)
Komik buatan Amerika sendiri baru muncul sekitar awal tahun 1900an.
Awalnya, komik amerika berwujud strip bergambar yang biasa menghiasi
kolom surat kabar akhir pekan. Tema yang disuguhkan strip bergambar ini
kebanyakan adalah komedi dengan balutan visual sederhana. Strip-strip itu
kemudian ada yang dijadikan buku dan dicetak terpisah dari surat kabar.
Kemudian pada tahun 1916, mulai terjadi pelebaran genre sehingga komik
strip tidak lagi terbatas sebagai komik lucu semata. Tema-tema yang
bermunculan antara lain aksi, drama, misteri, dan kepahlawanan (super
hero) (Hafiz et al, p.32).
12
Gambar 2.2
Superman pada kover Action Comic #1
(sumber: Wikipedia.com)
Pada tahun 1939, setelah Perang Dunia II pecah, komik Amerika “turut
serta” dalam perang dengan memunculkan suasana perang dalam komiknya.
Para pembuat komik juga terang-terangan memunculkan tokoh-tokoh
antagonis berupa agen Nazi yang pada waktu itu merupakan musuh Sekutu,
sebagai lawan dari tokoh superhero mereka.
Mulai tahun 1940an, genre superhero mulai surut dan banyak bermunculan
genre-genre lain seperti sains-fiksi, perang, romansa, horor dan detektif
(Petty, 2006). Komik Amerika mengalami penurunan pada tahun 1950an.
Karena menurunnya kualitas komik yang diakibatkan oleh permintaan pasar
(banyak menampilkan adegan kekerasan dan vulgar), para pendidik dan
13
orangtua mengecam keberadaan komik. (Ajidarma, 2005. p.3) komik
dianggap sebagai bacaan bermutu rendah dan mengancam moral. Pada
tahun 1954, terjadi pembakaran komik di Nebraska, Amerika. (Mccloud,
2005)
Pada tahun 1956, genre horor dan detektif yang awalnya membanjiri pasar
mengalami kontroversi karena studi oleh Dr. Frederic Wertham
menunjukkan bahwa kelakuan menyimpang “disebabkan” oleh komik
(Petty, 2006). Di tengah krisis ini, genre Superhero kembali mendapat
tempat di pasar dan menjadi sukses kembali. Judul-judul seperti Justice
League (DC Comics), Fantastic Four dan Spiderman (Marvel). Komik pada
masa ini dipengaruhi oleh berkembangnya pop art oleh Andy Warhol dan
Roy Lichtenstein, sehingga komik tampil penuh warna dan gaya, baik dalam
kover dan isi komiknya. Masa ini kemudian disebut “The Silver Age of
Comics”, dan berlangsung dari tahun 1956 sampai 1970.
Gambar 2.3
Fantastic Four 1956
(sumber: MyComicShop.com)
14
Era komik Amerika yang selanjutnya dimulai dari tahun 1970 hingga 1986.
Secara genre, Superhero masih mendominasi pasar, namun hal yang
berbeda adalah isi cerita. Periode yang diberi nama “The Bronze Age of
Comics” ini melahirkan banyak komik dengan tema yang lebih humanis dan
sosial, misalnya rasisme, narkoba atau perang Vietnam yang waktu itu
sedang terjadi. Era ini adalah era yang penuh eksperimen dan eksplorasi
untuk melihat seberapa jauh komik bisa berkembang (Petty, 2006).
Gambar 2.4
Kover Green Lantern/ Green Arrow yang berisi isu penggunaan obat terlarang
(sumber: wikipedia.com)
Era komik Amerika selanjutnya disebut Era Komik Modern (The Modern
Age of Comics) yang berlangsung dari pertengahan tahun 1980 hingga
sekarang. Di era ini berbagai jenis komik dari berbagai genre dan gaya hadir
di pasaran, perusahaan percetakan komik berkembang dan bermunculannya
komikus independen. Munculnya platform online dan adaptasi dari komik
ke film menjadi salah satu faktor pendorong boomingnya industri komik.
Karya-karya yang terkenal pada masa ini antara lain MAUS (1977) oleh
Spiegelman yang menceritakan biografi ayahnya pada jaman perang dunia
II. Tokoh yahudi digambarkan sebagai tikus dan tokoh NAZI digambarkan
sebagai kucing.
15
Gambar 2.5
Contoh panel komik MAUS
(sumber: wikipedia.com)
Gambar 2.6
Blue Monday yang terinspirasi manga jepang oleh Chynna Glucston
(sumber: wikipedia.com)
16
komik adalah bentuk karya yang mengikuti pasarnya (Bonneff, 1998), saat
sebuah genre melejit, maka otomatis semua penerbit akan mengikuti.
Komik-komik Eropa yang cukup terkenal antara lain Asterix and Obelix,
The Adventure of Tintin, Smurf dan Lucky Luke.
17
Gambar 2.7
Panel pada Komik The Adventure of Tintin
(sumber: Wikipedia.com)
18
Gambar 2.8
Asterix dan Obelix dengan atribut celtic
(sumber: Asterix.wikia.com)
19
Gambar 2.9
Komik Hokusai yang memperlihatkan orang sedang mandi
(sumber: wikipedia.com)
20
Gambar 2.10
Komik Astro Boy oleh Osamu Tezuka
(sumber: wikipedia.com)
Sebagai contoh dari luasnya cakupan ide cerita dan genre komik jepang,
adalah Barefoot Gen (1973), yang muncul sebagai komik edukasi Jepang.
Barefoot Gen berisi autobiografi Keiji Nakazawa, seorang yang selamat
dari peristiwa bom Hiroshima-Nagasaki.
21
Filosofi dari komik jepang adalah “Banjirilah pasar, jual dengan harga
murah”. Untuk memenuhi keinginan masyarakatnya, komik dibundel dan
dijual dengan harga murah dan terbit setiap minggu. Komik menjadi
sangat populer dikalangan masyarakatnya jepang sendiri dan menjadi
budaya tersendiri.
Istilah komik genre shonen dan shojo muncul dari jepang. Shonen yang
dalam bahasa jepang artinya anak laki-laki, adalah genre yang ditujukan
untuk pasar laki-laki. Genre ini didominasi dengan cerita kepahlawanan,
fantasi, yang syarat dengan kisah perjuangan seorang manusia.
Gambar 2.11
Contoh manga Shonen “Dragon Ball”
(sumber: comic-book.com)
22
Gambar 2.12
Manga Shojo Rose of Versailles
(sumber: goodreads.com)
23
Gambar 2.13
Garis Ekspresionistik yang menunjukkan perasaan malu pada komik karangan
Miwa Ueda
(sumber: Making Comic oleh Scout Mccloud)
Pada tahun 1950, manhua mulai terpengaruh dengan style komik amerika
dan mulai terjadi hibridasi antara style komik barat dan timur. Meski
mendapat pengaruh Amerika, budaya cina masih kental terdapat dalam
visual manhua, misalnya tokohnya memiliki fitur karakter komik
24
Amerika namun memakai pakaian cina. Dari segi formatting pun,
manhua terdapat kemiripan dengan formatting komik amerika (halaman
besar, panel besar, berwarna) sehingga lebih mirip dengan buku
bergambar.
Pada wayang beber pun demikian, cerita disampaikan secara lisan sambil
memperlihatkan gambar yang terbuat di atas kulit. Cerita pada umumnya
berasal dari kisah-kisah Ramayana dan Mahabrata.
25
Sebelum membahas contoh panil, Primadi Tabrani, dalam bukunya Bahasa
Rupa, membagi sistem penggambaran menjadi dua, yakni:
Bentuk awal komik Indonesia, baik relief candi dan wayang beber memiliki
struktur narasi yang serupa, dan dengan jelas menggunakan sistem
penggambaran RWD, sebagimana yang dijelaskan dibawah ini:
Gambar 2.14
Satu lembar beber yang menunjukkan adegan perang
(sumber: Wikipedia.com)
26
Gambar 2.15
Panil Sayembara Memanah di candi Borobudur
(sumber: jurnal.unipasby.ac.id)
2. Tidak ada teks yang tertera pada panil maupun pada wayang beber.
Kisah diceritakan secara lisan oleh pendeta candi atau oleh dalang.
27
Gambar 2.16
Cara membaca panil Sayembara Memanah
(sumber: buku Histeria! Komikita)
d. Arah bacanya tidak selalu dari kiri ke kanan, panil Borobudur dan
wayang beber tidak punya arah baca yang berbeda. Panil Borobudur
dibaca dari kanan ke kiri (pradaksina) sedangkan wayang beber
dibaca dari tengah lalu ke tepi.
28
e. Ada efek dissolve, kilas maju, kilas balik dan sebagainya. (Tabrani,
Primadi, 2012. P.79).
Komik strip dari timur masuk ke Indonesia berkat surat kabar Sin Po,
sebuah media komunikasi orang peranakan Cina yang berbahasa Melayu.
Surat kabar tersebut memuat komik humor, dan salah satu yang sukses
adalah Put On karangan Kho Wan Gie. Put On yang terbit tahun 1930
sendiri bercerita tentang kisah lucu keseharian si gendut yang baik hati tapi
bodoh.
29
keberhasilan komik superhero Amerika, para komikus indonesia mencoba
meng”indonesia”kan tokoh superhero amerika untuk disesuaikan dengan
lingkungan Indonesia. Tokoh-tokoh imitasi dari hero Amerika pun
bermunculan (Bonneff, 1998).
Komik karya R.A Kosasif yang berjudul Sri Asih menceritakan perempuan
yang memiliki kekuatan super layaknya Superman, dan dianggap sebagai
komik Indonesia pertama. Ada pula komik Kapten Komet karya Kong Ong
yang serupa dengan Flash Gordon.
30
Karena ceritanya yang mengambil dari kisah-kisah Mahabrata dan
Ramayana, komik wayang dianggap mampu mendidik anak-anak Indonesia,
memperluas wawasan mereka sambil melestarikan warisan budaya.
Komik Wayang mulai turun popularitasnya pada tahun 1960 karena tidak
mampu lagi memuaskan pembaca. Hal itu terjadi karena pembaca sudah
mengenal baik budaya negerinya. Para komikus pun mulai beralih
menggunakan cerita-cerita legenda seperti Sangkuriang, Nyi Roro Kidul,
dan sejenisnya.
31
biasanya membawa senjata. Jika terjadi perkelahian, tak jarang darah pun
bercucuran.
Biarpun masih ada komik yang beredar, diakui bahwa tidak ada gerakan
yang berarti dari komik Indonesia sendiri. Tidak ada komikus baru yang
mampu mencetak nama pada masa ini, sehingga terhentilah regenerasi
komikus. Hal ini menyebabkan kesenjangan antara komikus (lama) dan
pembacanya (baru), karena ceritanya dianggap tidak nyambung.
Berhentinya regenerasi komikus ini diduga disebabkan oleh tidak adanya
kerja sama dari penerbit untuk merevitalisasi komik Indonesia dan kecilnya
honor komikus (Histeria: Komikita, 2006, p.75), sehingga tidak ada yang
tertarik untuk menekuni profesi komikus, dan komikus dianggap sebagai
profesi sampingan.
32
Penyebab lainnya adalah tidak ada pihak yang berusaha untuk memperbaiki
citra komik yang dianggap tidak mendidik di masyarakat.
Hal yang unik dari generasi baru komikus Indonesia ini adalah gerakannya
dimulai dari mahasiswa , terutama dengan keilmuan Desain, Seni Rupa atau
Sastra (Histeria: Komikita, 2006, p.78). Umumnya, para mahasiswa dari
jurusan ini yang kemudian bergerak membentuk studio-studio amatir.
Hal unik lainnya dari generasi baru komikus Indonesia ini adalah
kemunculan komikus wanita yang cenderung lebih agresif daripada
komikus pria (Histeria: Komikita, 2006, p.79), sebuah gerakan yang tidak
pernah ada di masa sebelumnya. Disinyalir, ini adalah dampak dari genre
komik jepan shojo yang target pasarnya adalah wanita. Karena genre shojo
adalah genre yang eksklusif di jepang, maka tak heran apabila visual style
yang dipilih para komikus wanita ini mirip komik jepang.
33
Gambar 2.17
Me vs Big Slacker Baby (2015) karya Anisa Nisfihani yang bergaya manga jepang
(sumber: reoncomics.com)
Format komik strip adalah format terlama yang pernah muncul sebagai
format komik. Sederhananya, format komik strip banyak ditemukan sebagai
tambahan atau suplemen di surat kabar atau majalah. Komik strip umumnya
terdiri dari beberapa panel yang menceritakan kisah pendek dan sederhana.
Komik strip bisa ditamatkan pada satu kali terbitan, namun ada juga yang
ceritanya dilanjutkan ke terbitan selanjutnya. Komik strip umumnya muncul
pada surat kabar dan majalah Amerika dan Eropa, dan dimuat juga di
beberapa surat kabar dan majalah Indonesia.
34
2.2.2.2 Majalah Komik
Di Indonesia, majalah komik dibagi dua jenis, majalah hiburan dan majalah
anak-anak.
35
Gambar 2.18
Gambar Tabel klasifikasi genre komik yang beredar tahun 1971
(Sumber: Marcell Bonnef, Komik Indonesia)
Dari data tersebut, genre buku komik yang mendominasi pasar adalah
komik silat dan komik roman.
Bonnef (1998) kemudian menyimpulkan tiga ciri khas pasar komik, yaitu:
a. Pasar komik menuruti selera pasar atau umum
b. Penerbit menyesuaikan dengan ketegori pembaca
c. Cerita yang berasal dari luar negeri/kebudayaan asing tidak disampaikan apa
adanya, melainkan di adaptasi, atau direinterpretasi. Widagdo (2019), dalam
kuliahnya mengatakan bahwa segala sesuatu (produk dan jasa) yang ditiru
oleh orang Indonesia pasti akan diselipi dengan budaya Indonesia.
36
Gambar 2.19
Komik berisi cara menunaikan Pemilu dalam Kompas, Juli 1971
(Sumber: Marcell Bonnef, Komik Indonesia)
2.3.1 Komikus
Istilah bagi yang berprofesi menggambar komik pada masa itu adalah
tjergamis, seniman tjergam, pelukis tjergam, atau komikus. Mereka adalah
orang-orang yang berprofesi bidang menggambar komik dan menjaga kualitas
kesenimanannya di bidang tersebut. Ilustrasi atau gambar berfungsi untuk
“melayani” sebuah cerita maka para pelukis komik, selain memiliki
37
kemampuan untuk menggambar, hendaknya pula bisa menghayati isi ceritanya
(Nugraha, Onong. 2000)
Sayang, profesi ini dahulu tidak mencetak banyak nama, paling hanya ada
dibawah lima puluh orang komikus yang terkenal. Komikus sendiri dibagi atas
komikus profesional dan semi profesional. Komikus semi profesional adalah
komikus musiman atau pemula yang asal komik mereka diterbitkan. Penerbit
melihat kejadian ini sebagai kesempatan, karena komikus macam ini mau
dibayar murah. Itulah sebabnya banyak bermunculan komik-komik dengan
mutu rendah, yang gambarnya tidak bagus. Komikus yang semi profesional
rata-rata adalah orang berusia muda.
Dari segi domisili, komikus yang tinggal di Jakarta mencapai tujuh puluh
persen, di bandung dua puluh persen, dan sisanya tersebar di kota-kota besar di
pulau Jawa. Komikus kebanyakan adalah pria, dan hanya ada dua wanita yan
tercatat sebagai komikus, yakni Wied Sendja dan Tati (Bonneff, 1998).
Hal yang menarik adalah kebanyakan seniman komik adalah keturunan cina.
Menurut Jan dari Jawa, orang Cina memang kebanyakan mau menerima
pekerjaan yang kurang bergengsi dan memiliki upah kecil (Bonneff, 1998).
Penerbitan pun umumnya ditekuni oleh Cina. Hal ini menjawab mengapa
komik Indonesia kental pengaruhnya dengan komik Hong Kong/ komik Cina.
Bonnef (1998) menyebutkan bahwa kondisi yang mau menerima upah kecil
tersebut adalah tanda bahwa kebanyakan komikus tidak memiliki latar
belakang pendidikan seni secara formal. Yang mereka lakukan adalah meniru
gaya komikus pendahulu mereka atau meniru komik asing. Banyak komikus
yang tumbuh besar membaca komik asing dan menjadikan gambarnya sebagai
model. Hanya sedikit komikus yang menempuh dan mampu menyelesaikan
pendidikan seni formal, misalnya Ganes TH, Jan, dan Hasmi.
Karena honor yang kecil, jarang pula bagi komikus untuk memiliki asisten.
Yang dapat mereka lakukan adalah saling bertukar pikiran dan membantu
dalam penyelesaian gambar atau teks. Ungkapan terimakasih pun diucapkan
dalam komiknya berupa tulisan di pojok panel.
38
Kecepatan bekerja, sambil mempertahankan kualitas sambil bekerja dalam
tenggat waktu adalah hal yang harus diperhatikan komikus. Apabila gambar
kurang rapi, maka itu tandanya komikusnya terburu-buru. Jika kerjanya teratur,
seorang komikus dapat menyelesaikan 64 halaman komik dalam sebulan.
“Sekarang para komikus per bulan dapat gaji dari penerbit komik
digital,katakanlah Line Webtoon dan lainnya. Mereka menampung komik-
komik komikus Indonesia. Mereka benar-benar bisa dapat penghasilan hidup
dari komik itu sendiri.” Ungkap Faza. (Koran Republika, 2019, p.4)
2.3.1 Penerbit
39
Hal ini tentu merupakan pengecualian bagi beberapa penerbit besar seperti
Melodi dan Keng Po. Seringkali penerbit menginginkan untung yang cepat
dengan modal yang kecil sehingga mereka giat mengambil komikus amatir
yang bayarannya murah. Banyak pula dari penerbit yang lincah berkelit dari
kewajiban pajak dengan sering berganti nama, tidak mencantumkan, karena
mereka tidak ingin dilacak polisi. Persaingan yang tidak sehat antara penerbit
yang seperti ini ambil andil dalam beredarnya komik-komik kurang bermutu.
Gambar 2.20
Membaca komik di Line Webtoon
(Sumber: webtoons.com)
40
2.3.3 Distribusi dan Pemasaran Komik
Harga komik dari penerbit biasanya Rp.35 (di Jakarta), pengecer biasanya
menjualnya sedikit lebih mahal yaitu kisaran Rp. 50 hingga Rp. 60. Bisa lebih
mahal lagi kalau pengarangnya terkenal. Di daerah, harga komik bisa mencapai
Rp. 80.
Memasuki tahun 2000-an, komik (baik komik jepang maupun komik lokal)
yang dijual di toko buku dari penerbit Gramedia misalnya, dijual dengan harga
Rp. 9500. Dan pada tahun 2019 ini harga komik mulai dari kisaran Rp.25.000
hingga Rp.60.000. Perbedaan harga ini disebabkan dengan harga kertas,
ongkos cetak dan biaya distribusi yang semakin mahal.
41
Gambar 2.21
Harga komik Gramedia tahun 2019
(Sumber: gramedia.com)
Taman bacaan adalah istilah untuk usaha penyewaan buku dengan harga yang
relatif murah. Taman bacaan sifatnya lebih untuk hiburan. Karena harga buku
mahal, tidak semua kalangan masyarakat bisa mendapat akses buku. Taman
bacaan sangat membantu menyebarluaskan buku.
Taman bacaan biasa berlokasi kompleks pertokoan yang ramai, atau di tengah
kampung yang bisa dilewati sepeda dan motor. Bentuk Taman bacaan ada yang
berupa kios kayu, atau dapat berupa halaman rumah yang menyediakan tempat
untuk duduk dan membaca. Taman bacaan kemudian mulai menjamur di kota-
kota besar, dan seringkali menjadi pusat hiburan anak muda.
Karena sering dikunjungi anak muda, komik menjadi salah satu buku yang
populer untuk dipinjam. Komik silat terutama dinikmati oleh anak laki-laki dan
komik roman remaja dinikmati oleh anak perempuan.
42
Yayasan Perguruan taman Siswa, harus didirikan perpustakaan non komersial
yang mampu mengimbangi taman bacaan. Namun pada kenyataannya,
sebagian besar sekolah tak mampu mendirikan perpustakaan karena kurangnya
dana.
Banyak orang sepakat bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan minta
baca yang rendah. Hal ini ditandai dengan konsumsi cetak perkapita yang
rendah di Indonesia; jumlah buku yang dicetak dalam satu tahun sangat kecil,
penyebarannya tidak mencapai 100.000 eksemplar. Hal yang mencemaskan
adalah kenyataan bahwa masyarakat yang berpeluang menikmati budaya baca
tulis adalah masyarakat perkotaaan saja.
Selain penyebaran yang tidak merata, masalah lain seperti rendahnya kualitas
dan kuantitas bacaan sangat memprihatinkan. Terutama bacaaan anak-anak.
Kurangnya subsidi pemerintah dan ketidaktertarikan pihak swasta untuk
menerbitkan buku anak menjadi penyebab utama.
Di sekolah sendiri, akar masalah dari kecilnya minat pembaca adalah buruknya
mutu buku pelajaran; penyajiannya menyedihkan dan tidak menarik (Bonneff,
1998). Pengajar pun tidak merangsang minat baca karena anak-anak disuruh
untuk menghapal.
Orangtua juga jarang sekali yang berperan dalam meningkatkan minat baca
anak. Orangtua seringkali tidak memperhatikan bacaan anaknya, hanya
memikirkan yang penting anaknya patuh saja. Kegiatan membaca hanya
mendapat sedikit porsi dari waktu luang.
43
Komik juga memiliki dampak positif yaitu mengembangkan kebiasaan
membaca.
Dari segi bahasa pun, komik dianggap tidak memenuhi kaidah berbahasa yang
baik dan benar. Penggunaan tanda baca sering salah, penggunaan ejaan tidak
baku, dan salah tata kalimat.
44
Gambar 2.22
Pemilihan momen dalam komik
(Sumber: Making Comics-Scott Mccloud)
Ada enam bentuk transisi panel yang dijabarkan oleh McCloud (2006.
P.15), yakni:
a. Momen-ke-momen
Transisi yang menunjukkan satu kejadian yang ditampilkan dalam
beberapa sekuens. Transisi ini digunakan untuk memperlambat aksi,
menambah ketegangan, dan menunjukkan gerak.
45
Gambar 2.23
Transisi momen ke momen
(Sumber: Making Comics-Scott Mccloud)
b. Tindakan-ke-Tindakan
Transisi yang menunjukkan satu subjek yang melakukan beberapa aksi dan
ditunjukkan dalam beberapa sekuens.
46
Gambar 2.24
Transisi Tindakan ke tindakan
(Sumber: Making Comics-Scott Mccloud)
c. Subyek-ke-subyek
Transisi yang menunjukkan perpindahan dari subjek satu ke subjek lain.
Gambar 2.25
Transisi subjek ke subjek
(Sumber: Making Comics-Scott Mccloud)
47
d. Lokasi-ke-lokasi
Transisi yang menunjukkan perpindahan latar waktu atau tempat yang
berbeda.
Gambar 2.26
Transisi lokasi ke lokasi
(Sumber: Making Comics-Scott Mccloud)
e. Aspek-ke-aspek
Transisi yang menunjukkan perubahan tempat, suasana, atau gagasan.
Gambar 2.27
Transisi aspek ke aspek
(Sumber: Making Comics-Scott Mccloud)
48
f. Non-sequitur
Transisi yang tidak menunjukkan hubungan logis antara momen sebelum
dan sesudahnya.
Gambar 2.28
Transisi Non-sequitur
(Sumber: Making Comics-Scott Mccloud)
Gambar 2.29
Ilusi waktu dalam panel
(Sumber: Making Comics-Scott Mccloud)
49
Panel pada umumnya berbentuk persegi atau persegi panjang dan
berwarna hitam, namun tidak berarti bahwa panel komik tidak bisa
berbentuk lain. Bentuk panel bisa berperan dalam gaya bercerita
komikusnya. Komposisi panel berfungsi layaknya prosa dalam puisi,
sehingga memungkin penggayaan dalam membuat komik (Forceville et al,
2014). Bentuk panel juga bisa memperkuat suasana, emosi, dan atmosfer
atas momen yang sedang terjadi pada komik.
Gambar 2.30
Panel trapesium dan urutan baca dalam komik “Naruto”
(Sumber: Naruto oleh Masashi Kishimoto)
50
menggunakan dialog. Gaya gambar adalah cara komikus untuk
merepresentasikan komiknya menurut pandangannya sendiri, karenanya
gaya gambar sifatnya personal, dibangun oleh pengalaman pribadi
komikusnya. Tidak ada aturan mengenai gaya gambar seperti apa yang
benar dalam komik, yang penting adalah kesesuaian gaya dengan cerita
yang mempengaruhi sampai atau tidaknya cerita tersebut kepada pembaca.
Gambar 2.31
Beragam gaya gambar
(Sumber: Making comics-Scott Mccloud)
Scott McCloud membagi gaya gambar dalam komik menjadi dua kiblat
besar, yakni gaya gambar realistis dan kartun. Gaya realistis adalah gaya
gambar yang mendekati dengan objek aslinya, sedangkan gaya gambar
kartun merupakan abstraksi dari objek aslinya. Pembaca bisa mengenali
objek-objek yang telah diabstraksi (dalam gaya kartun) asalkan ada paduan
yang membentuk objek tersebut. Misalnya pada gambar dibawah: Wajah
kartun sejatinya hanya berubah lingkaran yang mengelilingi dua titik dan
satu garis panjang melintang. Dua titik tersebut adalah “panduan” untuk
mata dan garis adalah “panduan” untuk mulut, maka otak pembaca yang
melihat akan melihat bentuk-bentuk dalam gambar kartun tersebut sebagai
“wajah”.
51
Gambar 2.32
Gaya realistis dan gaya kartun
(Sumber: Making comics-Scott Mccloud)
Gaya kartun tidak hanya melakukan abstraksi pada wajah objek saja.
Abstraksi tersebut bisa dilakukan pada figur mahkluk hidup, benda mati,
bangunan, atau landscape/latar belakang.
Gaya realistis dan gaya kartun sendiri telah diadopsi oleh berbagai
komikus di dunia. Berikut adalah contoh penggunakan gaya realistis dan
gaya kartun pada komik Amerika. Kebanyakan komik Amerika yang
beredar menggunakan gaya realistis, misalnya komik-komik dari raksasa
komik Amerika seperti DC Comics dan Marvel Comic.
Gambar 2.33
Gaya gambar realistis pada komik “Superman” dan gaya kartun pada komik “Cul de Sac”
(Sumber: Dokumentasi pribadi)
52
Contoh penggunakan gaya realistis dan gaya kartun pada komik Jepang.
Di jepang sendiri, banyak komik yang mendaptasi gaya gambar kartun.
Adaptasi ini adalah buah dari hasil kerja Tezuka yang pada masanya
mampu membuat berbagai genre komik, sehingga memicu komikus masa
depan untuk melahirkan gaya gambar-gaya gambar yang bervariasi.
Gambar 2.34
Gaya gambar realistis pada komik “Vagabond” dan gaya kartun pada komik “One Piece”
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
2.4.4 Pemilihan kata
Komik adalah paduan beberapa gambar, dan seringkali dibarengi dengan
teks pendukung untuk menjelaskan gambar atau memperkuat narasi.
Pembaca menggabungkan aktivitas “membaca” dan “melihat gambar”
sebagai satu kesatuan dan menciptakan “pengalaman” membaca komik.
Untuk menambahkan kata-kata dalam komik, alat yang digunakan ada
dua, yakni balon kata dan efek suara.
a. Balon kata
Balon kata adalah kegiatan “mengurung” huruf dengan suatu bentuk
dan memberikan sebuat tonjolan yang mengarah kepada
pembicaranya. Bentuk balon kata yang berbeda akan memberikan
makna ucapan yang berbeda.
53
Gambar 2.35
Beragam bentuk balon kata
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Gambar 2.36
Ilusi waktu dalam balon kata
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
b. Lettering
Lettering adalah pemberian huruf-huruf yang berada baik didalam
maupun diluar balon kata. Huruf-huruf ini berfungsi sebagai teks yang
berisi narasi maupun percakapan yang dilakukan oleh karakter dalam
komik. Orang yang memberi teks dalam komik disebut leterrer.
Gambar 2.37
Letter atau huruf dalam balon kata
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
54
c. Efek suara / Onomatopoeia
Untuk memberikan pengalaman yang lebih imersif dalam membaca
komik, komikus memberikan efek suara atau biasa disebut
onomatopoeia. Onomatopoeia adalah huruf-huruf yang secara ponetik
mirip dengan suara yang dideskripsikan. Misalkan suara air terpercik
“splas”, suara kucing “meong”, atau suara guntur “geludug”.
Onomatopeia sendiri berasal dari bahasa yunani yang berarti
“membuat nama”. Efek suara bisa berbeda-beda tergantung dengan
tempat atau negara komik tersebut dibuat/dibaca, karena setiap negara
memiliki sistem bahasa dan suara yang berbeda. Misal kucing di
indonesia berbunyi “meong”, dan di jepang berbunyi “nyan”.
Efek suara seringkali menjadi bagian dari aspek visual dan tidak
hanya menjadi huruf semata. Hal ini karena efek suara digambarkan
manual oleh komikus sebagai bagian dari komposisi dan estetika
gambar komik. (Irzaqi, 2019)
Gambar 2.38
Contoh efek suara dalam komik
(Sumber: Making Comics- Scott Mccloud)
55
2.4.5 Pemilihan alur
Alur berfungsi untuk memandu pembaca melewati antar panel-panel
komik, dan menciptakan pengalaman membaca yang intuitif (Mccloud,
2006). Alur ciptakan melalui pemilihan urutan panel, bentuk panel, arah
baca, dan pengaturan isi elemen dalam panel.
Arah baca tergantung dari jenis komik yang dibaca. Sejauh ini, arah
baca yang ada terdiri atas:
a. Dibaca dari kiri ke kanan (biasanya format komik barat)
b. Dibaca dari kanan ke kiri (biasanya format komik jepang)
c. Dibawa dari atas kebawah (format komik web)
Gambar 2.39
Contoh alur komik
(Sumber: Making Comics- Scott Mccloud)
56
Beberapa contoh sudut pandang antara lain sebagai berikut:
a. High angle
Sudut pandang yang diambil seakan-akan pembaca berada lebih
tinggi daripada subjek dalam komik. Memberikan kesan bahwa
pembaca memliki kuasa atas subjek.
b. Bird-view angle
Sudut pandang yang diambil seakan-akan pembaca ada di langit,
sedang memandang subjek dan sekelilingnya dari atas.
c. Low angle
Sudut pandang yang diambil seakan akan pembaca ada dibawah
subjek. Biasanya digunakan untuk mendepiksikan subjek yang kuat
dan memberi kesan bahwa pembaca ada di bawah subjek tersebut.
d. Eye level
Sudut pandang dimana subjek sejajar kedudukannya dengan
pembaca. Memiliki kesan bahwa subjek dan pembaca berada di
tempat yang sma atau memiliki kedudukan yang sama. Menurut
Onong (2000), sudut pandang model ini adalah sudut pandang yang
lumrah digunakan.
e. Close ups
Sudut pandang dimana subjek diperlihatkan sangat dekat dengan
pembaca. Memberikan kesan lebih intens dan intim terhadap subjek
dan pembaca.
1. Rancangan karakter
Cara dan teknik merancang karakter biasanya ditentukan dari
kesukaan pribadi si pembuat. Dalam konteks ini, tidak ada istilah
benar atau salah dalam perancangan karakter. Karakter biasanya lahir
dari atau sebelum proses pembuatan cerita, atau bahkan dari
ketidaksengajaan.
57
Bentuk tubuh, postur dan gestur dapat bercerita banyak mengenai
sebuah karakter. Bentuk tubuh dan postur memberikan petunjuk
mengenai sisi fisiologi karakter dan gestur dapat memberitahu
mengenai sikap mental karakter (Forceville et al. 2014). Penggunaan
bentuk visual yang tepat juga akan membantu mereka
mengkomunikasikan kepribadian karakternya. (Hedgpeth dan Missal,
2006. p. 142)
Gambar 2.40
Rancangan karakter komik Buffy the Vampire Slayer
(Sumber: comicbooks.com)
2. Ekspresi wajah
Ekspresi wajah terdapat pada tokoh komik, dan digunakan untuk
memancing emosi pembaca. Ekspresi tokoh adalah cerminan dari
emosi yang diharapkan ditangkap pembaca saat membaca komik.
58
Gambar 2.41
Ekspresi karakter
(Sumber: comicbooks.com)
3. Bahasa tubuh
Bahasa tubuh menunjukkan keadaan atau bahkan kepribadian
seseorang sebelum mereka berbicara. Ekspresi wajah dan bahasa
tubuh biasanya mengungkapkan perasaan yang sama dan beriringan,
misalnya gestur sedikit membungkuk ketika merasa bersalah. Bahasa
tubuh juga dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan antar
karakter.
Sebagai dua kiblat yang memiliki pengaruh besar dalam dunia perkomikan,
khususnya di Indonesia, komik jepang dan barat memiliki perbedaan.
Sebagai mana yang dibahas disertasi Seno Aji, komik jepang kebanyakan
mengadaptasi gaya gambar kartun, yang merupakan abstraksi atau
penyederhanaan dari gaya realistis. Karena gambarnya lebih sederhana, maka
secara teknis panel yang bisa dibuat lebih banyak, sehingga memungkinkan
untuk menyampaikan cerita yang lebih rinci. Menurut Mccloud (2001),
transisi panel tindakan ke tindakan, subjek ke subjek, momen ke momen dan
terutama aspek ke aspek banyak ditemukan pada komik jepang.
59
Gambar 2.42
Komik Jepang: Dororo oleh Osamu Tezuka yang
Memiliki banyak panel tanpa narasi teks
(Sumber: comicbooks.com)
Gambar 2.43
Komik amerika: The Detective Comics No. 33 oleh Joe Shuster dan Jerry Siegel
Memiliki transisi yang kurang halus dan narasi penuh teks
(Sumber: comicbooks.com)
60
Menurut Mccloud pula, gaya kartun punya peluang untuk menjadi lebih
universal, karena gaya kartun sejatinya adalah “konsep” yang dimiliki
pembaca, tidak seperti gaya realistis yang secara gamblang menunjukkan
gambar objek yang mirip dengan aslinya. Saat melihat gambar kartun,
pembaca akan melihat sebuah “wajah”, namun dengan gaya realistis,
pembaca akan melihat “wajah seseorang”.
Gambar 2.44
Ekspresi karakter dalam komik jepang
(Sumber: Japanese Visual Language: The Structure of Manga oleh Cohn Neil)
61
membaca komik jepang lebih mudah dibandingkan dengan komik yang
banyak teksnya (contohnya komik amerika).
62
Gambar 2.45
Gaya Gambar Karakter Komik Jepang dari tahun ke tahun
(Sumber: Dokumentasi pribadi)
Gaya gambar Amerika tidak hanya terus menggunakan gaya realistis, namun
jika dibandingkan dengan komik jepang, variasi gaya gambarnya tidak lebih
banyak. Amerika sendiri memiliki masyarakat yang pragmatis, homogen
dalam cita rasa, dan menerima standardisasi (Widagdo. 2011. p.145-146)
sehigga dalam industri komik pun Amerika dikuasai oleh raksasa komik
macam DC dan Marvel Comic, dengan gaya realistis sebagai “standar
63
gambar”. Karena itu, terbentuklah stigma bahwa komik Amerika sama
dengan komik superhero.
64
Gambar 2.46
Gaya Gambar Karakter Komik Amerika dari tahun ke tahun
(Sumber: Dokumentasi pribadi)
65
2.7 Komik Silat
Komik silat, adalah salah satu genre yang populer selain komik roman
remaja, sekaligus tema dari penelitian ini. Berikut akan dijelaskan lebih rinci
mengenai komik genre silat:
Kata silat atau pencak artinya teknik beladiri, yang memiliki beberapa variasi
di seluruh penjuru Indonesia. Anggota tubuh yang lazim digunakan adalah
tangan (kepalan tangan, telapak tangan) dan kaki (tendangan). Setiap posisi
dan jenis pukulan memiliki nama yang mengacu pada suatu aliran tertentu.
Lazimnya, sebuah aliran berasal dari sebuah perguruan silat. Aliran tersebut
diajarkan oleh seorang guru yang kemudian mewariskan ilmunya kepada
muridnya. Siklusnya begitu seterusnya.
Sejauh ini, tidak ada bukti kalau silat adalah warisan murni budaya Indonesia.
Kemungkinan yang lebih besar adalah bahwa silat mendapat pengaruh yang
cukup besar dari seni beladiri Cina. Cerita silat kemudian dibagi dua, ada
cerita silat Tiong Hoa dan cerita silat sejarah Indonesia.
Formula cerita dalam komik silat cenderung mirip antar satu sama lain; yakni
kisah seorang pendekar yang bertualang untuk melakukan tugas yang tiada
hentinya, misal mencari pusaka suci, membalaskan dendam, memburu
musuh, mencari orang tua yang hilang, bahkan mencari jati diri sendiri.
Berikut beberapa poin yang dapat dijadikan patokan alur komik silat yang
disebutkan dalam oleh Seno Aji Gunadarma dalam bukunya:
66
a. Dalam keadaan terhina
Pendekar silat hidupnya menderita atau sengsara. Misalnya
dalam cerita Panji Tengkorak, diawal cerita ia diceritakan telah
kehilangan istrinya dan berkelana mencari pembunuh istrinya
dengan menggunakan topeng buruk rupa.
b. Pematangan pendekar
Pendekar bertemu dengan banyak rintangan. Rintangan itu
berupa medan perjalanan yang berat atau musuh yang
bermunculan.
Pendekar memantapkan ilmunya dengan bersemedi atau
melakukan meditasi di sebuat tempat.
Pendekar bertemu dengan guru yang dapat mengajarinya ilmu
silat baru
d. Kemenangan Kebajikan
Pendekar berhadapan dengan musuhnya
Pendekar mengalahkan/membunuh musuhnya
Pendekar yang menang menguasai dunia persilatan.
Wimba Dan Tata Ungkapan Komik Strip Sunda Mad Huri Dan Si
Bogel Pada Majalah Mangle Visualisasi Budaya Sunda Sebuah
67
Kajian Bahasa Rupa oleh Surya Kusumah, Setia (2015). Tesis ini
membahas bahasa rupa yang terkandung dalam komik strip Sunda.
Kajian visualisasi karakter dalam seri komik garudayana oleh
Mikha, Widy dkk. Membahas visual karakter dalam komik
Garudayana
Menguak mitos: diskursus gaya gambar amerika, Jepang, eropa,
gaya gambar indonesia dan implikasinya oleh Michael Sega
Gumelar (2017) yang membahas perbedaan beberapa gaya gambar
komik.
Geliat Komik Indonesia oleh Hafiar, Hanny dan Oji Kurnia (2005)
yang membahas perjalanan komik di Indonesia
Bahasa rupa komik wayang karya r.a. kosasih. Surakarta: Institut
Seni Indonesia oleh Sayid Mataram yang membahas bahasa rupa
komik wayang Indonesia.
Gaya Manga dalam Komik Garudayana Karya Is Yuniarto oleh
Dhevi Enlivena (2013), yang membahas gaya komik jepang yang
terdapat pada komik Garudayana.
68