Anda di halaman 1dari 59

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Komik

Komik berasal dari kata comic yang artinya lucu, yang pada awalnya adalah
sebuah kumpulan strips bergambar yang terdapat di halaman akhir pekan
berbahasa inggris dengan judul „The Funnies‟ pada tahun 1884. Strip bergambar
itu kemudian dibukukan pada tahun 1934 dan menjadi buku komik pertama
(Ajidarma, 2005, p.1).

Dalam buku Comics and Sequential Art : Principles and Practices from the
Legendary Cartoonist (1985), Will Eisner menyebutkan bahwa komik adalah
sebuah bentuk bacaan yang konkret. Terdiri atas beberapa gambar yang saling
berurutan atau disebut juga sequential arts, komik adalah suatu bentuk naratif
yang dapat bercerita. Lebih jelasnya, sebuah komik terdiri atas urutan gambar atau
ilustrasi, lalu diberi teks sebagai penjelas gambar tersebut. Komik bicara secara
verbal dan visual sekaligus, yang kemudian disebut sebagai bahasa visual
(Ajidarma, 2005).

Komponen komik tidak semuanya sama dengan karya lainnya, di antaranya ada
bidang gambar (bisa berupa gambar manusia, benda, lingkungannya), penggunaan
sudut pandang, panel, balon kata bahkan di beberapa komik, teksnya pun
digambar sendiri (hand lettering). Komponen-komponen ini bekerja sama secara
gestalt untuk mengungkapkan cerita sesuai yang ingin disampaikan pengarang
komik (komikus). Komik adalah hubungan dua arah, yang dimana setelah komik
menyajikan gambar dan teks, pembaca akan dibawa secara emosional dan
intelektual, sehingga mampu terlarut dalam ceritanya.

Menurut Scott Mccloud, komik adalah sebuah pengalaman indrawi. Pembaca


menangkap komik dengan indra mata, namun pengalamannya dapat dirasakan

10
oleh seluruh indra (contoh: dengan sound effect yang tertulis di komik, pembaca
dapat merasa mendengar suara air di danau), dan mampu memperlihatkan dunia
emosi yang tak terlihat. Garis-garis yang tersusun dalam panel bergabung menjadi
menjadi gambar dan simbol yang dapat dimengerti pembaca. (Ajidarma, 2005,
p.22).

Kelebihan dari komik adalah lebih mudah dibaca dibandingkan dengan buku
sastra pada umumnya, karena dibarengi dengan gambar atau ilustrasi yang jelas.
Seringkali, teksnya malah menjadi pendamping gambar. Hal ini membuat komik
dapat dinikmati oleh kalangan dari segala umur dan mampu menaikkan minat
baca (Bonneff, Marcell, 1998). Kelebihan lain komik antara lain 1) dapat menjadi
media hiburan 2) syarat interaksi dengan pembaca (mampu membangkitkan emosi
pembaca) 3) dapat menjadi media pembelajaran (Hafiz et al, p.15).

Kendati memiliki pengaruh yang signifikan sebagai karya seni dan sebagai sebuah
bentuk komunikasi, komik masih dianggap remeh oleh sebagian kaum elit
(terutama kaum pengajar). Komik yang tergolong sebagai “budaya populer”
dianggap rendah, tidak intelijen dan merusak daya nalar anak (Bonneff, 1998).
Padahal komik menawarkan medium yang bebas bagi pembuatnya, lebih ramah
publik dan bisa dibilang unik (Ajidarma, 2005, p.22).

2.1.1. Pengaruh Budaya Komik


Dalam buku Martabak Keliling dunia oleh Hafiz dkk (2005), disebutkan ada tiga
pengaruh besar dalam budaya komik dan beberapa diantaranya memiliki pengaruh
pada komik di Indonesia, yakni pengaruh komik Amerika, Eropa dan Asia.

2.1.1.1. Komik Amerika


Perjalanan komik di Amerika diawali dengan masuknya komik terjemahan
oleh Rudolphe Toppfer yang berjudul The Adventures of Obadiah Oldbuck,
menjadikannya buku komik cetak pertama di Amerika pada tahun 1842.
Pada komik ini belum ditemukan balon kata, namun ada teks dibawah panel
yang menjelaskan ceritanya.

11
Gambar 2.1
The Adventures of Obadiah Oldbuck oleh Rudolphe Toppfer
(sumber: britishmuseum.org)

Komik buatan Amerika sendiri baru muncul sekitar awal tahun 1900an.
Awalnya, komik amerika berwujud strip bergambar yang biasa menghiasi
kolom surat kabar akhir pekan. Tema yang disuguhkan strip bergambar ini
kebanyakan adalah komedi dengan balutan visual sederhana. Strip-strip itu
kemudian ada yang dijadikan buku dan dicetak terpisah dari surat kabar.
Kemudian pada tahun 1916, mulai terjadi pelebaran genre sehingga komik
strip tidak lagi terbatas sebagai komik lucu semata. Tema-tema yang
bermunculan antara lain aksi, drama, misteri, dan kepahlawanan (super
hero) (Hafiz et al, p.32).

Komik Amerika mengalami masa keemasan di tahun 1935 sampai 1945,


saat komik dengan tema kepahlawanan atau superhero membanjiri pasar.
Salah satu yang masih terkenal hingga saat ini adalah Superman. Superman
muncul pertama kali dengan judul komik Man of Steel pada majalah Action
Comic #1 (Hafiz et al, p.32). Masa lahirnya Superman menandakannya
dimulainya Era keemasan (The Golden Age of Comics books). Superman
begitu laku di pasaran hingga penerbit lain berlomba-lomba untuk membuat
komik yangs serupa, bahkan tak jarang sampai menjiplak.

12
Gambar 2.2
Superman pada kover Action Comic #1
(sumber: Wikipedia.com)

Batman kemudian menyusul popularitas Superman dan menjadi populer


karena kemunculannya yang berpasangan dengan Robin The Boy Wonder.
Kemunculan kedua tokoh ini menyebabkan demam sidekick atau tokoh
pasangan pembantu tokoh utama.

Pada tahun 1939, setelah Perang Dunia II pecah, komik Amerika “turut
serta” dalam perang dengan memunculkan suasana perang dalam komiknya.
Para pembuat komik juga terang-terangan memunculkan tokoh-tokoh
antagonis berupa agen Nazi yang pada waktu itu merupakan musuh Sekutu,
sebagai lawan dari tokoh superhero mereka.

Mulai tahun 1940an, genre superhero mulai surut dan banyak bermunculan
genre-genre lain seperti sains-fiksi, perang, romansa, horor dan detektif
(Petty, 2006). Komik Amerika mengalami penurunan pada tahun 1950an.
Karena menurunnya kualitas komik yang diakibatkan oleh permintaan pasar
(banyak menampilkan adegan kekerasan dan vulgar), para pendidik dan

13
orangtua mengecam keberadaan komik. (Ajidarma, 2005. p.3) komik
dianggap sebagai bacaan bermutu rendah dan mengancam moral. Pada
tahun 1954, terjadi pembakaran komik di Nebraska, Amerika. (Mccloud,
2005)

Pada tahun 1956, genre horor dan detektif yang awalnya membanjiri pasar
mengalami kontroversi karena studi oleh Dr. Frederic Wertham
menunjukkan bahwa kelakuan menyimpang “disebabkan” oleh komik
(Petty, 2006). Di tengah krisis ini, genre Superhero kembali mendapat
tempat di pasar dan menjadi sukses kembali. Judul-judul seperti Justice
League (DC Comics), Fantastic Four dan Spiderman (Marvel). Komik pada
masa ini dipengaruhi oleh berkembangnya pop art oleh Andy Warhol dan
Roy Lichtenstein, sehingga komik tampil penuh warna dan gaya, baik dalam
kover dan isi komiknya. Masa ini kemudian disebut “The Silver Age of
Comics”, dan berlangsung dari tahun 1956 sampai 1970.

Gambar 2.3
Fantastic Four 1956
(sumber: MyComicShop.com)

14
Era komik Amerika yang selanjutnya dimulai dari tahun 1970 hingga 1986.
Secara genre, Superhero masih mendominasi pasar, namun hal yang
berbeda adalah isi cerita. Periode yang diberi nama “The Bronze Age of
Comics” ini melahirkan banyak komik dengan tema yang lebih humanis dan
sosial, misalnya rasisme, narkoba atau perang Vietnam yang waktu itu
sedang terjadi. Era ini adalah era yang penuh eksperimen dan eksplorasi
untuk melihat seberapa jauh komik bisa berkembang (Petty, 2006).

Gambar 2.4
Kover Green Lantern/ Green Arrow yang berisi isu penggunaan obat terlarang
(sumber: wikipedia.com)

Era komik Amerika selanjutnya disebut Era Komik Modern (The Modern
Age of Comics) yang berlangsung dari pertengahan tahun 1980 hingga
sekarang. Di era ini berbagai jenis komik dari berbagai genre dan gaya hadir
di pasaran, perusahaan percetakan komik berkembang dan bermunculannya
komikus independen. Munculnya platform online dan adaptasi dari komik
ke film menjadi salah satu faktor pendorong boomingnya industri komik.

Karya-karya yang terkenal pada masa ini antara lain MAUS (1977) oleh
Spiegelman yang menceritakan biografi ayahnya pada jaman perang dunia
II. Tokoh yahudi digambarkan sebagai tikus dan tokoh NAZI digambarkan
sebagai kucing.

15
Gambar 2.5
Contoh panel komik MAUS
(sumber: wikipedia.com)

Adapula komik-komik antihero seperti Daredevil dan Elektra hadir


memberikan rasa baru selain komik superhero. Masuknya pengaruh dari
manga jepang juga memberikan variasi gaya gambar dan bercerita yang
baru bagi komik Amerika (McCloud, 2006).

Gambar 2.6
Blue Monday yang terinspirasi manga jepang oleh Chynna Glucston
(sumber: wikipedia.com)

Komik Amerika cenderung homogen/sejenis, malah bisa dibilang kalau


komik Amerika identik dengan komik superhero (Hafiz et al, p.41). Karena

16
komik adalah bentuk karya yang mengikuti pasarnya (Bonneff, 1998), saat
sebuah genre melejit, maka otomatis semua penerbit akan mengikuti.

2.1.1.2. Komik Eropa


Komik Eropa berakar dari seni karikatur Eropa yang dimulai pada abad 18,
yang lalu berkembang menjadi komik pada awal abad 19. Rodolphe
Topffer, seorang kartunis asal Swiss digadangkan sebagai bapak komik
modern dengan bukunya Histoire de Mr. Vieux Bois yang disebut-sebut
sebagai buku komik pertama (Mccloud, 2005).

Komik-komik Eropa yang cukup terkenal antara lain Asterix and Obelix,
The Adventure of Tintin, Smurf dan Lucky Luke.

Komik eropa, menurut Hafiz dkk dalam bukunya, memiliki beberapa


keunikan, antara lain:

a. Tema cerita yang dekat dengan kehidupan sehari-hari orang Eropa.


Karena mengambil tema dan budaya Eropa, secara tidak langsung
komik Eropa menjadi potret kehidupan mereka sendiri (Hafiz et al,
p.18). Berkat itu, pembaca bisa mengetahui landmark dan lokasi
geografis yang ada di Eropa lewat komik, serta dapat belajar mengenai
kebudayaan mereka.
b. Format dan panellingnya mirip seperti komik strip. Dalam satu halaman
terdapat 4-5 baris panel dan besarnya seragam. Sudut pandang yang
biasa digunakan adalah eye level (Hafiz et al, p.20).

17
Gambar 2.7
Panel pada Komik The Adventure of Tintin
(sumber: Wikipedia.com)

c. Biarpun gambarnya berupa kartun atau karikatur, unsur realisme dalam


ceritanya tinggi.
Para komikus Eropa seringkali melakukan riset terlebih dahulu sehingga
cerita mereka biasanya dekat dengan kenyataan. Selain cerita,
karakternya juga digambarkan memiliki kekurangan dan kelebihan,
tidak selalu menjadi tokoh yang flawless atau tanpa cela. Karakter
Captain Haddock misalnya, biarpun ia adalah salah satu tokoh utama,
digambarkan sebagai orang yang kasar dan pemabuk.
d. Plot yang lurus.
Plot yang disuguhkan seringkali menurut pada tema asalnya tanpa
ditambah-tambah cerita lain. Misalnya jika plot The adventure of Tintin
adalah petualangan, maka tidak ditambah-tambah bumbu romansa.
e. Visualisasi karakter yang khas
Karakter komik eropa digambarkan sesuai dengan stereotipnya, lengkap
dengan atribut pengenalnya (orang arab dengan sorban, orang afrika
dengan kulit hitam, orang eropa berkulit putih dengan hidung mancung).
Bentuk badannya juga seringkali sangat khas.

18
Gambar 2.8
Asterix dan Obelix dengan atribut celtic
(sumber: Asterix.wikia.com)

2.1.1.3. Komik Asia


Pengaruh komik Asia adalah salah satu yang paling besar pengaruhnya di
Indonesia. Pengaruh komik Asia dibagi tiga, yaitu pengaruh komik Jepang,
Korea, dan Cina.

2.1.1.3.1 Komik Jepang


Komik jepang memiliki sejarah yang panjang, yakni sejak 300 tahun lalu
pada zaman Edo. Saat itu, banyak beredar ilustrasi yang dapat dilukis
cepat dan murah oleh seniman jepang (Otsu-e). Dengan ditemukannya
teknologi cetak, bermunculan pula bentuk bacaan berupa ilustrasi dengan
teks minimal seperti ukiyo-e, shunga, yokai dan tobae (Hafiz et al, p.52).
Bacaan yang hanya terdiri dari satu panel ini disebut-sebut sebagai
manga (komik jepang) awal.

19
Gambar 2.9
Komik Hokusai yang memperlihatkan orang sedang mandi
(sumber: wikipedia.com)

Setelah Jepang membuka hubungan dengan negara luar (ditandai dengan


kedatangan komodor Perry pada tahun 1853), terjadilah perubahan pada
komik jepang. Komik multi-strip mulai diadaptasi seniman jepang. Tidak
hanya itu, seniman jepang juga mengadaptasi sudut pandang dalam
sinematik film Amerika dan menuangkannya dalam format komik.

Salah satu tokoh yang berpengaruh dalam berkembangnya komik jepang


adalah Osamu Tezuka. Beliau bahkan dijuluki “The God of Manga”.
Tezuka mengubah konsep komik dari bacaan anak-anak menjadi bacaan
bagi semua orang dengan “mengobrak-abrik” tema dalam komik, yang
tadinya bersifat utopis (kehidupan yang sempurna tanpa hal buruk untuk
anak-anak) dan mengambil tema yang lebih dewasa (kematian,
kesedihan, dll). Salah satu karyanya yang terkenal adalah Astro Boy
(1952). Astro Boy bercerita mengenai robot yang memiliki perasaan
seperti manusia.

Selain itu, Tezuka juga yang mencetuskan bagaimana caranya membuat


cerita yang menarik dan cara memvisualisasikannya dalam format komik.
Beliau mengambil ide dari sinematik dan angle film Amerika sebagai
teknik bercerita komik.

20
Gambar 2.10
Komik Astro Boy oleh Osamu Tezuka
(sumber: wikipedia.com)

Popularitas komik jepang didukung oleh kondisi masyarakatnya.


Kerasnya kehidupan sehari-hari mendorong masyarakat jepang untuk
membaca komik sebagai cara untuk lepas dari rutinitas. Berbeda dengan
radio dan televisi, komik dapat dibawa dan dibaca dimana saja, kapan
saja. Komik jepang juga seringkali memunculkan keseharian mereka.
Dengan luasnya genre komik jepang, pembaca juga dapat belajar
mengenai keseharian masyarakat jepang dalam berbagai aspek dan sudut
pandang.

Sebagai contoh dari luasnya cakupan ide cerita dan genre komik jepang,
adalah Barefoot Gen (1973), yang muncul sebagai komik edukasi Jepang.
Barefoot Gen berisi autobiografi Keiji Nakazawa, seorang yang selamat
dari peristiwa bom Hiroshima-Nagasaki.

21
Filosofi dari komik jepang adalah “Banjirilah pasar, jual dengan harga
murah”. Untuk memenuhi keinginan masyarakatnya, komik dibundel dan
dijual dengan harga murah dan terbit setiap minggu. Komik menjadi
sangat populer dikalangan masyarakatnya jepang sendiri dan menjadi
budaya tersendiri.

Istilah komik genre shonen dan shojo muncul dari jepang. Shonen yang
dalam bahasa jepang artinya anak laki-laki, adalah genre yang ditujukan
untuk pasar laki-laki. Genre ini didominasi dengan cerita kepahlawanan,
fantasi, yang syarat dengan kisah perjuangan seorang manusia.

Gambar 2.11
Contoh manga Shonen “Dragon Ball”
(sumber: comic-book.com)

Sedangkan genre shojo, yang artinya adalah anak perempuan dalam


bahasa jepang, adalah genre yang ditujukan untuk perempuan. Genre
shojo didominasi oleh cerita percintaan dan drama.

22
Gambar 2.12
Manga Shojo Rose of Versailles
(sumber: goodreads.com)

Manga, menurut Mccloud, mempunyai daya tarik yang besar terhadap


pembacanya karena penggambarannya yang imersif. Ada beberapa hal
yang dimiliki manga Jepang dan tidak dimiliki komik Amerika pada
masa lampau, yakni:
 Karakter utama yang ikonik dan membekas di hati pembaca. Baik
karena penampilan maupun personalitinya.
 Cerita yang dewasa dan bervariasi
 Desain karakter yang bervariasi (Berhubungan dengan gaya
gambarnya pula )
 Panel tanpa huruf dan kata-kata yang menggambarkan alur cerita
 Adanya garis gerak untuk menunjukkan gerakan dalam panel
komik
 Ekspresi tokoh yang bervariasi. Variasi ini dibentuk dari
perpaduan garis-garis ekspresionistik, permainan otot wajah dan
gestur tubuh, atau transformasi tubuh yang ekstrim.

23
Gambar 2.13
Garis Ekspresionistik yang menunjukkan perasaan malu pada komik karangan
Miwa Ueda
(sumber: Making Comic oleh Scout Mccloud)

 Penggambaran latar belakang yang detil yang membuat pembaca


seolah-olah berada di latar tersebut.

2.1.1.3.1 Komik Cina


Komik cina, atau kadang disebut juga komik Hong Kong, berangkat dari
gambar-gambar cina kuno yang telah berusia 3000-5000 tahun. Seiring
berjalannya waktu, muncullah surat kabar yang kemudian dihiasi gambar
kartun. Pada tahun 1895, gambar-gambar berisi satir diterbitkan sebagai
pelengkap teks editorialnya (Hafiz et al, p.76).

Istilah Manhua (komik cina) muncul sekitar tahun 1867-1927 (Hafiz et


al, p.77) dan lebih banyak berisikan kartun dan karikatur. Kemudian pada
tahun 1930, manhua mulai berkembang karena senimannya mulai sadar
akan tiga resep utama manhua: 1) ide yang kuat 2) representasi
kehidupan masyarakat 3) narasi yang memprovokasi pikiran (Hafiz et al,
p.77). Pada masa ini juga para seniman cina mulai mengadaptasi bentuk
komik strip dan diterbitkan di koran-koran.

Pada tahun 1950, manhua mulai terpengaruh dengan style komik amerika
dan mulai terjadi hibridasi antara style komik barat dan timur. Meski
mendapat pengaruh Amerika, budaya cina masih kental terdapat dalam
visual manhua, misalnya tokohnya memiliki fitur karakter komik

24
Amerika namun memakai pakaian cina. Dari segi formatting pun,
manhua terdapat kemiripan dengan formatting komik amerika (halaman
besar, panel besar, berwarna) sehingga lebih mirip dengan buku
bergambar.

Kehadiran televisi yang lebih menarik dan cepat mempopulerkan budaya


Jepang dan Amerika, memaksa manhua untuk berubah (Hafiz et al,
p.81). Memanfaatkan popularitas film kungfu cina yang saat itu tengah
populer, manhua pun memunculkan genre baru: Manhua kungfu.
Manhua kungfu ini banyak mengadaptasi cerita kungfu cina yang beredar
pada masa Dinasti kuno Cina. Cerita kungfu lama ini syarat dengan unsur
fantasi; memiliki ilmu bela diri, memakai pedang, dapat terbang, dan
dapat mengeluarkan ilmu magis.

2.2 Sejarah dan Perkembangan Komik di Indonesia


Tak berhenti di Jepang dan Cina, pesona komik pun turut mampir menjajaki
Indonesia. Malah, komik telah ada di Indonesia sejak jaman prasejarah, jauh
sebelum komik modern mempengaruhi komik Indonesia. Berikut adalah ulasan
periodisasi komik Indonesia yang terdapat dalam buku Komik Indonesia oleh
Marcel Bonneff (1998) dengan tambahan ulasan periodisasi komik “modern” dari
buku Histeria Komikita oleh Hafidz Ahmad, dkk (2006).

2.2.1 Periodisasi Komik Indonesia

2.2.1.1. “Komik” Prasejarah Indonesia


Komik Indonesia dimulai dengan relief pada candi, cerita lontar, wayang
beber dan sebagainya. Pada relief candi misalnya, memang tidak ditemukan
teks, namun adegan pada relief tersebut dibuat berdasarkan sastra kuno.
(Tabrani, Primadi, 2012. P.75). Cerita pada relief itu kemudian diceritakan
kembali secara lisan oleh para pendeta candi pada peziarah yang
berkunjung.

Pada wayang beber pun demikian, cerita disampaikan secara lisan sambil
memperlihatkan gambar yang terbuat di atas kulit. Cerita pada umumnya
berasal dari kisah-kisah Ramayana dan Mahabrata.

25
Sebelum membahas contoh panil, Primadi Tabrani, dalam bukunya Bahasa
Rupa, membagi sistem penggambaran menjadi dua, yakni:

a. Sistem penggambaran tanpa perspektif ini disebut sistem RWD (Ruang


waktu datar). Sistem penggambaran ini banyak ditemukan di karya-karya
prasejarah Indonesia, dan digambar dengan cara distilasi. Untuk
menunjukkan tokoh penting, tokoh ditunjukkan dengan digambar lebih
besar.

b. Kebalikan dari sistem penggambaran ini adalah NPM (Naturalis Momen


Opname) atau yang biasa dikenal dengan gambar perspektif merupakan
bawaan dari barat. Sistem penggambaran ini mendeskripsikan suatu tempat
pada suatu waktu yang apa adanya, hingga tercipta kesan “ceklik” seperti
foto. Dalam sistem penggambaran ini, ukuran objek dimanipulasi; semakin
jauh benda maka semakin kecil ukurannya (Widagdo, 2011.p.102). Gambar
adegan tampak mati dan tidak bergerak, namun memiliki ilusi ruang.

Bentuk awal komik Indonesia, baik relief candi dan wayang beber memiliki
struktur narasi yang serupa, dan dengan jelas menggunakan sistem
penggambaran RWD, sebagimana yang dijelaskan dibawah ini:

1. Panil (relief)/ kulit (wayang beber)


Bentuk yang serupa dengan komik strip ditemukan pada komik
tradisional. Panjangnya berbeda-beda tergantung dari kejadian yang
diceritakan.

Gambar 2.14
Satu lembar beber yang menunjukkan adegan perang
(sumber: Wikipedia.com)

26
Gambar 2.15
Panil Sayembara Memanah di candi Borobudur
(sumber: jurnal.unipasby.ac.id)

2. Tidak ada teks yang tertera pada panil maupun pada wayang beber.
Kisah diceritakan secara lisan oleh pendeta candi atau oleh dalang.

3. Ada beberapa poin penting yang terdapat pada komik prasejarah


Indonesia, antara lain:

a. Gambar tokoh manusia pada panil dan wayang beber digambarkan


secara utuh dari kepala sampai kaki (Wimba kepala sampai kaki).
Ekspresi dan kegiatan yang sedang dilakukan tokoh dapat terlihat
dibantu dengan gestur seluruh tubuhnya dan propertinya.
b. Tidak ada perspektif. Seluruh kejadian yang terjadi berurutan di
panil diceritakan dengan cara “menggeser” tokoh dan objek lainya.
c. Karena tidak ada perspektif, panil dan beber berkesan datar, lalu
muncullah yang disebut latar lapis (Tabrani, Primadi, 2012. P.79).
Latar yang paling belakang terjadi lebih dulu, dan saat dibaca maka
latar depannya tidak ada.

27
Gambar 2.16
Cara membaca panil Sayembara Memanah
(sumber: buku Histeria! Komikita)

d. Arah bacanya tidak selalu dari kiri ke kanan, panil Borobudur dan
wayang beber tidak punya arah baca yang berbeda. Panil Borobudur
dibaca dari kanan ke kiri (pradaksina) sedangkan wayang beber
dibaca dari tengah lalu ke tepi.

28
e. Ada efek dissolve, kilas maju, kilas balik dan sebagainya. (Tabrani,
Primadi, 2012. P.79).

Dalam kuliahnya, Prof. Tabrani pun menyebutkan bahwa wayang


beber juga diiringi dengan musik dan permainan cahaya sebagai
pelengkap cerita. Maka dapat dikatakan bahwa seni „komik‟
Indonesia jaman dahulu tidak hanya berupa visual dan teks, namun
juga diiringi dengan musik dan pencahayaan.

2.2.1.2. Pengaruh Budaya Barat dan Cina


Komik Indonesia mulai mendapat pengaruh dari barat dan Cina lewat media
massa, yang waktu itu berupa koran. Koran harian yang pada masa itu
masih berbahasa belanda, diselipkan komik-komik strip. Di beberapa harian
berbahasa melayu juga memuat komik strip.

Komik strip dari timur masuk ke Indonesia berkat surat kabar Sin Po,
sebuah media komunikasi orang peranakan Cina yang berbahasa Melayu.
Surat kabar tersebut memuat komik humor, dan salah satu yang sukses
adalah Put On karangan Kho Wan Gie. Put On yang terbit tahun 1930
sendiri bercerita tentang kisah lucu keseharian si gendut yang baik hati tapi
bodoh.

Pers kemudian diberangus pada masa pendudukan Jepang, koran


dimanfaatkan untuk propaganda Asia Timur Raya (Bonneff, Marcel, 1998).
Cuma sebuah harian bernama Sinar Matahari saja yang bisa memuat
legenda Roro Mendoet, yang ceritanya tidak ada hubungannya dengan
propaganda Jepang. Pasca perang, komik Indonesia kembali hadir di
majalah namun harus bersaing dengan impor komik barat, contohnya
Tarzan yang hadir di majalah Keng Po sejak tahun 1947. Komik Tarzan ini
yang kemudian banyak diikutin gaya gambarnya (terutama gaya arsirnya)
oleh komik Indonesia (Subarna, Abay D. 2019).

Setelah bertahun-tahun komik Indonesia hanya menjadi tambahan di surat


kabar, komik Indonesia mengalami perubahan. Terinspirasi dengan

29
keberhasilan komik superhero Amerika, para komikus indonesia mencoba
meng”indonesia”kan tokoh superhero amerika untuk disesuaikan dengan
lingkungan Indonesia. Tokoh-tokoh imitasi dari hero Amerika pun
bermunculan (Bonneff, 1998).

Komik karya R.A Kosasif yang berjudul Sri Asih menceritakan perempuan
yang memiliki kekuatan super layaknya Superman, dan dianggap sebagai
komik Indonesia pertama. Ada pula komik Kapten Komet karya Kong Ong
yang serupa dengan Flash Gordon.

Selain komik yang „terinspirasi‟ barat, banyak bermunculan juga komik-


komik yang mengambil cerita barat. Kisah-kisah seperti Iskandar Agung,
dan Marco Polo hadir dalam komik anak-anak. Bagi penerbit dan orang-
orang yang bertanggung jawab dalam penerbitan, mereka sepakat bahwa
kebudayaan barat dapat mengajarkan banyak hal dalam komiknya (Bonneff,
1998).

2.2.1.3 Komik dengan Muatan Lokal


Sri Asih mendapat kecaman dari para pendidik Indonesia. Mereka beralasan
bahwa selain dari medianya (komik) yang tidak mendidik, gagasannya juga
berbahaya, sehingga terancam untuk dihentikan penerbitannya. Para
penerbit seperti Melodi dan Keng Po pun lantas memberikan orientasi baru
pada komiknya. Komik harus menggali lagi kebudayaan nasional dan dapat
membangun kepribadian Indonesia.

Cerita Ramayana dan Mahabrata yang telah ada di Indonesia berabad-abad


lamanya, dinilai sesuai dengan kepribadian masyarakat Jawa dan Sunda.
Sehingga lahirnya jenis komik baru yang disebut komik wayang. Terbitan
pertamanya antara tahun 1954 dan 1955. (Bonneff, 1998). Komik wayang
ini kemudian menjadi komik dengan produksi terbesar di Indonesia. Komik
wayang yang terkenal antara lain Mahabharata karya Kosasih (terbitan
Melodi) dan Lahirnya Gatotkatja (terbitan Keng Po).

Komik Wayang mendapat respon yang baik dari masyarakat Indonesia,


sehingga para pendidik yang semula protes pun tidak mengkritik lagi.

30
Karena ceritanya yang mengambil dari kisah-kisah Mahabrata dan
Ramayana, komik wayang dianggap mampu mendidik anak-anak Indonesia,
memperluas wawasan mereka sambil melestarikan warisan budaya.

Komik Wayang mulai turun popularitasnya pada tahun 1960 karena tidak
mampu lagi memuaskan pembaca. Hal itu terjadi karena pembaca sudah
mengenal baik budaya negerinya. Para komikus pun mulai beralih
menggunakan cerita-cerita legenda seperti Sangkuriang, Nyi Roro Kidul,
dan sejenisnya.

2.2.1.4. Komik Nasionalisme


Pada masa pemerintahan Soekarno, Indonesia bergerak dengan semangat
nasionalisme (Bonneff, 1998). Komik-komik dengan napas perjuangan pun
bermunculan sekitar tahun 1960an. Tema-tema nasionalisme tersebut
termasuk cerita perjuangan memperoleh kemerdekaan, melawan penjajah,
bahkan ambisi untuk menjadi negara adikuasa di Asia.

Dalam visualnya, seringkali diperlihatkan pasukan musuh (umumnya


belanda) memakai peralatan perang yang canggih, mulai dari senapan,
pesawat tempur dan untuk melawannya, rakyat Indonesia hanya
menggunakan bambu runcing dan “keberanian”. Kepribadian bangsa
Indonesia yang cinta tanah air semakin kuat tatkala digempur musuh. Tidak
hanya dalam peperangan, kecintaan pada tanah air tersebut juga ditunjukkan
dengan semangat pembangunan, menikmati keberhasilan negara dan tidak
gentar dengan masa depan. (Bonneff, 1998).

2.2.1.5. Masa Komik Roman Remaja


Komik roman muncul setelah komik pada umumnya lepas dari politisasi.
Kisah-kisah yang mengangkat cinta kehidupan remaja pun bermunculan.
Namun yang terjadi, alih-alih menceritakan drama cinta muda mudi,
komikus malah membumbui komiknya dengan unsur erotisme dan
kekerasan. Dengan dalih menunjukkan contoh perilaku tak pantas, komikus
malah memenuhi panel komiknya dengan adegan panas. Protagonisnya pun

31
biasanya membawa senjata. Jika terjadi perkelahian, tak jarang darah pun
bercucuran.

Kehadiran komik roman dengan unsur negatif tersebut kemudian memicu


protes berbagai kalangan. Ada yang khawatir dengan dampaknya pada anak,
ada yang marah karena mereka yang mengharapkan komik menjadi media
pembelajaran tak terima dengan konten negatif tersebut.

Situasi yang ekstrem tersebut menimbulkan reaksi yang ekstrem pula.


Dibentuklah Seksi Bina Budaja dari POLRI dan OPTERMA (Team Operasi
Tertib Remadja) yang bertugas memeriksa komik. Sebuah organisasi
komikus yang bernama IKASTI (Ikatan Seniman Tjergamis Indonesia) juga
lahir untuk memperkuat posisi komikus dengan penerbit di masa yang sulit
ini. Sayang, IKASTI bubar di akhir tahun 1960an karena ketidaksesuaian
dengan pihak penerbit. (Histeria: Komikita, 2006, p.73)

2.2.1.6. Masa Vakum Komik Indonesia


Sejak polemik komik berkonten negatif, Komik Indonesia mengalami
ketidakjelasan. Tidak ada kesinambungan, tidak ada kesetiaan pada satu
jenis pembaca publik (Bonneff, 1998). Hanya penerbit Melodi yang masih
rajin menerbitkan buku-bukunya. Pada masa ini, yang merajai pasar komik
adalah komik roman dan komik silat.

Biarpun masih ada komik yang beredar, diakui bahwa tidak ada gerakan
yang berarti dari komik Indonesia sendiri. Tidak ada komikus baru yang
mampu mencetak nama pada masa ini, sehingga terhentilah regenerasi
komikus. Hal ini menyebabkan kesenjangan antara komikus (lama) dan
pembacanya (baru), karena ceritanya dianggap tidak nyambung.
Berhentinya regenerasi komikus ini diduga disebabkan oleh tidak adanya
kerja sama dari penerbit untuk merevitalisasi komik Indonesia dan kecilnya
honor komikus (Histeria: Komikita, 2006, p.75), sehingga tidak ada yang
tertarik untuk menekuni profesi komikus, dan komikus dianggap sebagai
profesi sampingan.

32
Penyebab lainnya adalah tidak ada pihak yang berusaha untuk memperbaiki
citra komik yang dianggap tidak mendidik di masyarakat.

2.2.1.7. Masuknya Pengaruh Komik Asia


Pada tahun 1990an, komik cina dan jepang mulai masuk ke Indonesia.
Komik karya Tony Wong (Tiger Wong dan Tapak Sakti), Takeshi Maekawa
(Kungfu Boy) dan Kyoko Mizuki dan Yumiko Igarashi (Candy Candy)
menyita perhatian publik Indonesia (Histeria: Komikita, 2006, p.75. Komik
dari dua negara berbeda ini menyajikan cara baca yang berbeda dari komik-
komik Indonesia sebelumnya. Komik Cina sarat dengan adegan gerak yang
imajinatif, sementara komik jepang menyajikan sekuens gambar yang
mudah dibaca dan pendekatan personal orang ke-2 dalam narasinya
(Histeria: Komikita, 2006, p.76).

Generasi baru komikus Indonesia muncul dengan diadakannya acara Pasar


Seni ITB 1995. Dalam acara yang diselenggarakan lima tahun sekali ini,
komikus profesional dan amatir saling unjuk gigi untuk menerbitkan
komiknya secara independen. Setelahnya, bagaikan bola salju yang bergulir
(snowball effect), bermunculan banyak acara bertajuk komik yang
diselenggarakan oleh perguruan tinggi di Indonesia seperti PKN (Pekan
Komik Nasional) di Universitas Indonesia.

Hal yang unik dari generasi baru komikus Indonesia ini adalah gerakannya
dimulai dari mahasiswa , terutama dengan keilmuan Desain, Seni Rupa atau
Sastra (Histeria: Komikita, 2006, p.78). Umumnya, para mahasiswa dari
jurusan ini yang kemudian bergerak membentuk studio-studio amatir.

Hal unik lainnya dari generasi baru komikus Indonesia ini adalah
kemunculan komikus wanita yang cenderung lebih agresif daripada
komikus pria (Histeria: Komikita, 2006, p.79), sebuah gerakan yang tidak
pernah ada di masa sebelumnya. Disinyalir, ini adalah dampak dari genre
komik jepan shojo yang target pasarnya adalah wanita. Karena genre shojo
adalah genre yang eksklusif di jepang, maka tak heran apabila visual style
yang dipilih para komikus wanita ini mirip komik jepang.

33
Gambar 2.17
Me vs Big Slacker Baby (2015) karya Anisa Nisfihani yang bergaya manga jepang
(sumber: reoncomics.com)

2.2.2 Format Komik


Komik yang beredar di Indonesia dibedakan atas beberapa jenis, yakni:

2.2.2.1 Komik strip

Format komik strip adalah format terlama yang pernah muncul sebagai
format komik. Sederhananya, format komik strip banyak ditemukan sebagai
tambahan atau suplemen di surat kabar atau majalah. Komik strip umumnya
terdiri dari beberapa panel yang menceritakan kisah pendek dan sederhana.
Komik strip bisa ditamatkan pada satu kali terbitan, namun ada juga yang
ceritanya dilanjutkan ke terbitan selanjutnya. Komik strip umumnya muncul
pada surat kabar dan majalah Amerika dan Eropa, dan dimuat juga di
beberapa surat kabar dan majalah Indonesia.

34
2.2.2.2 Majalah Komik

Majalah komik adalah komik atau kumpulan komik yang diterbitkan


sebagai dalam format majalah. Umumnya, majalah komik berisi komik dari
beberapa genre yang berbeda (dan komikus yang berbeda pula), misalnya
dalam satu majalah komik bisa saja ada komik roman, misteri, aksi dan lain-
lain.

Di Indonesia, majalah komik dibagi dua jenis, majalah hiburan dan majalah
anak-anak.

2.2.2.3 Buku Komik

Adalah istilah untuk komik yang dibukukan. Beberapa negara memiliki


istilah yang berbeda untuk sebutan buku komik, misalnya graphic novel
(US/ Will Eisner), tankoubon (jepang), dsb. Pengerjaan buku komik
berbeda-beda di tiap negara; Amerika dan Eropa dapat menyelesaikan
berbulan-bulan bahkan sampai tahunan untuk satu buku, sedangkan Jepang
memiliki jadwal yang ketat sehingga sebuah komik bisa terbit dalam
hitungan minggu atau bulan.

Di Indonesia, format buku komik diseragamkan sejak tahun 1967


(13x18cm). Hal yang membedakan buku komik dengan karya sastra lainnya
adalah sampulnya yang dibuat menarik (Bonneff, 1998). Tidak jarang, satu
ceritanya bisa bersambung menjadi beberapa jilid. Satu jilid bisa berisi 64
hingga 96 halaman. Untuk memudahkan pembaca dengan menentukan
penjilidan, pada sampul komik diberi nomor. Karena polisi ikut andil dalam
pengawasan produksi komik, komik yang beredar pada masa 60an memiliki
stempel tanda izin percetakan.

Dalam bukunya, Bonneff (1998), mengelompokkan genre buku komik yang


beredar di antara April dan Juli 1971:

35
Gambar 2.18
Gambar Tabel klasifikasi genre komik yang beredar tahun 1971
(Sumber: Marcell Bonnef, Komik Indonesia)

Dari data tersebut, genre buku komik yang mendominasi pasar adalah
komik silat dan komik roman.

Bonnef (1998) kemudian menyimpulkan tiga ciri khas pasar komik, yaitu:
a. Pasar komik menuruti selera pasar atau umum
b. Penerbit menyesuaikan dengan ketegori pembaca
c. Cerita yang berasal dari luar negeri/kebudayaan asing tidak disampaikan apa
adanya, melainkan di adaptasi, atau direinterpretasi. Widagdo (2019), dalam
kuliahnya mengatakan bahwa segala sesuatu (produk dan jasa) yang ditiru
oleh orang Indonesia pasti akan diselipi dengan budaya Indonesia.

2.2.2.4 Komik Didaktis

Adalah komik yang bertujuan untuk menyampaikan gagasan pada anak-


anak atau kaum buta huruf. Penggunaan komik sebagai sarana penyampaian
informasi terbukti merupakan cara yang ampuh karena anak-anak dan kaum
buta huruf tidak perlu punya kemampuan membaca aksara, dan sifat komik
yang visual cenderung lebih mudah menarik perhatian orang. Contohnya
adalah komik yang terbit di koran Kompas pada bulan Juli 1971. Komik ini
berisi tentang cara menunaikan kewajiban memilih dalam Pemilu.

36
Gambar 2.19
Komik berisi cara menunaikan Pemilu dalam Kompas, Juli 1971
(Sumber: Marcell Bonnef, Komik Indonesia)

Contoh tersebut menunjukkan fungsi komik sebagai sarana hiburan dan


sebagai saran edukasi.

2.3.Dinamika Kebudayaan di Indonesia dan pengaruhnya terhadap Komik


Indonesia
Ada beberapa hal yang mempengaruhi berkembangnya komik di Indonesia, antara
lain:

2.3.1 Komikus

Istilah bagi yang berprofesi menggambar komik pada masa itu adalah
tjergamis, seniman tjergam, pelukis tjergam, atau komikus. Mereka adalah
orang-orang yang berprofesi bidang menggambar komik dan menjaga kualitas
kesenimanannya di bidang tersebut. Ilustrasi atau gambar berfungsi untuk
“melayani” sebuah cerita maka para pelukis komik, selain memiliki

37
kemampuan untuk menggambar, hendaknya pula bisa menghayati isi ceritanya
(Nugraha, Onong. 2000)

Sayang, profesi ini dahulu tidak mencetak banyak nama, paling hanya ada
dibawah lima puluh orang komikus yang terkenal. Komikus sendiri dibagi atas
komikus profesional dan semi profesional. Komikus semi profesional adalah
komikus musiman atau pemula yang asal komik mereka diterbitkan. Penerbit
melihat kejadian ini sebagai kesempatan, karena komikus macam ini mau
dibayar murah. Itulah sebabnya banyak bermunculan komik-komik dengan
mutu rendah, yang gambarnya tidak bagus. Komikus yang semi profesional
rata-rata adalah orang berusia muda.

Dari segi domisili, komikus yang tinggal di Jakarta mencapai tujuh puluh
persen, di bandung dua puluh persen, dan sisanya tersebar di kota-kota besar di
pulau Jawa. Komikus kebanyakan adalah pria, dan hanya ada dua wanita yan
tercatat sebagai komikus, yakni Wied Sendja dan Tati (Bonneff, 1998).

Hal yang menarik adalah kebanyakan seniman komik adalah keturunan cina.
Menurut Jan dari Jawa, orang Cina memang kebanyakan mau menerima
pekerjaan yang kurang bergengsi dan memiliki upah kecil (Bonneff, 1998).
Penerbitan pun umumnya ditekuni oleh Cina. Hal ini menjawab mengapa
komik Indonesia kental pengaruhnya dengan komik Hong Kong/ komik Cina.

Bonnef (1998) menyebutkan bahwa kondisi yang mau menerima upah kecil
tersebut adalah tanda bahwa kebanyakan komikus tidak memiliki latar
belakang pendidikan seni secara formal. Yang mereka lakukan adalah meniru
gaya komikus pendahulu mereka atau meniru komik asing. Banyak komikus
yang tumbuh besar membaca komik asing dan menjadikan gambarnya sebagai
model. Hanya sedikit komikus yang menempuh dan mampu menyelesaikan
pendidikan seni formal, misalnya Ganes TH, Jan, dan Hasmi.

Karena honor yang kecil, jarang pula bagi komikus untuk memiliki asisten.
Yang dapat mereka lakukan adalah saling bertukar pikiran dan membantu
dalam penyelesaian gambar atau teks. Ungkapan terimakasih pun diucapkan
dalam komiknya berupa tulisan di pojok panel.

38
Kecepatan bekerja, sambil mempertahankan kualitas sambil bekerja dalam
tenggat waktu adalah hal yang harus diperhatikan komikus. Apabila gambar
kurang rapi, maka itu tandanya komikusnya terburu-buru. Jika kerjanya teratur,
seorang komikus dapat menyelesaikan 64 halaman komik dalam sebulan.

Hal lain yang menjadi masalah di dunia perkomikan adalah berubahnya


kecenderungan pasar. Ketika suatu genre disukai publik, maka komikus dan
penerbit akan berlomba untuk membuat komik di genre tersebut. Para komikus
sendiri berharap mereka tidak dipaksa untuk mengganti genre dengan tiba-tiba,
apalagi jika genre tersebut tidak mereka kuasai atau mereka telah menetapkan
diri di genre yang spesifik.

Seiring dengan perkembangan teknologi dan internet, muncullah platform


online untuk mengunggah komik semacam tapastic.com. Kalangan dari
berbagai umur, latar belakang dan bisa menunjukkan komik mereka secara
online dan tanpa terlibat dengan penerbit cetak.

Ketua Asosiasi Komik Indonesia (Aksi) Faza Meonk, mengungkapkan, di era


digital, perkembangan komik Indonesia cukup menggembirakan, malah,
komikus menjadi salah satu profesi yang cukup menjanjikan. (Koran
Republika, 2019, p.4)

“Sekarang para komikus per bulan dapat gaji dari penerbit komik
digital,katakanlah Line Webtoon dan lainnya. Mereka menampung komik-
komik komikus Indonesia. Mereka benar-benar bisa dapat penghasilan hidup
dari komik itu sendiri.” Ungkap Faza. (Koran Republika, 2019, p.4)

2.3.1 Penerbit

Bisnis penerbitan, menurut Bonneff (1998) adalah bisnis berumur pendek.


Faktor komersial dan ekonomi Indonesia pada waktu itu tidak cocok untuk
mengembangkan kualitas komik di Indonesia.

39
Hal ini tentu merupakan pengecualian bagi beberapa penerbit besar seperti
Melodi dan Keng Po. Seringkali penerbit menginginkan untung yang cepat
dengan modal yang kecil sehingga mereka giat mengambil komikus amatir
yang bayarannya murah. Banyak pula dari penerbit yang lincah berkelit dari
kewajiban pajak dengan sering berganti nama, tidak mencantumkan, karena
mereka tidak ingin dilacak polisi. Persaingan yang tidak sehat antara penerbit
yang seperti ini ambil andil dalam beredarnya komik-komik kurang bermutu.

Hanya beberapa penerbit yang memiliki cara unik untuk menjaga


kelangsungan perusahaan mereka tanpa melakukan hal licik. Penerbit
Maranatha di Bandung misalnya, mereka mempunyai pemasukan sampingan
dengan menjual alat-alat tulis. Penerbit Melodi juga bertahan sebagai penerbit
yang konsisten dengan genre wayang dan bertahan dengan pencetakan ulang
yang kecil-kecil namun teratur. Namun jumlah penerbit yang baik prosesnya
begini tentu hanya sebagian dari banyaknya penerbit nakal.

Dengan masuknya internet ke Indonesia, muncul penerbit online, yaitu penerbit


yang menerbitkan komik-komik buatan komikus Indonesia via internet.
Komik-komik tersebut disebut pula komik digital yang tidak memiliki buku
fisiknya. Dengan menerbitakan secara online, maka percetakan tidak selalu
dibutuhkan. Pada tahun 2016, Line Indonesia merilis salah satu platform komik
online yang menyajikan komik buatan komikus Indonesia dengan nama LINE
Webtoon. Line Webtoon dapat diakses di smartphone dan komputer.

Gambar 2.20
Membaca komik di Line Webtoon
(Sumber: webtoons.com)

40
2.3.3 Distribusi dan Pemasaran Komik

Karena banyak kejadian dimana penerbit dipersulit distribusinya karena


agennya terlambat membayar atau sengaja tidak membayar, pada akhirnya
penerbit yang mengurus sendiri pendistribusian komiknya, dibantu oleh
pedagang.

Beberapa agen di ibu kota menjadi kepercayaan penerbit saat mengeluarkan


komik dalam jumlah besar. Komik-komik tersebut kemudian didistribusikan ke
kota-kota besar lainnya seperti Bandung, Yogyakarta, Solo dan Surabaya, lalu
disalurkan lagi melalui agen yang lebih kecil untuk didistribusikan ke kota
kecil disekitarnya. Komik-komik ini biasanya ditawarkan ke taman bacaan atau
kios.

Penjualan komik biasanya dilakukan sebagai dagangan sampingan. Para


penjualnya (yang biasanya dalah pegawai negeri golongan rendah atau
mahasiswa) mengaku menjual komik membawa untung yang cukup besar,
namun jumlah penjualannya masih tergolong sedikit.

Harga komik dari penerbit biasanya Rp.35 (di Jakarta), pengecer biasanya
menjualnya sedikit lebih mahal yaitu kisaran Rp. 50 hingga Rp. 60. Bisa lebih
mahal lagi kalau pengarangnya terkenal. Di daerah, harga komik bisa mencapai
Rp. 80.

Memasuki tahun 2000-an, komik (baik komik jepang maupun komik lokal)
yang dijual di toko buku dari penerbit Gramedia misalnya, dijual dengan harga
Rp. 9500. Dan pada tahun 2019 ini harga komik mulai dari kisaran Rp.25.000
hingga Rp.60.000. Perbedaan harga ini disebabkan dengan harga kertas,
ongkos cetak dan biaya distribusi yang semakin mahal.

41
Gambar 2.21
Harga komik Gramedia tahun 2019
(Sumber: gramedia.com)

2.3.4 Peranan Taman Bacaan dan Perpustakaan

Taman bacaan adalah istilah untuk usaha penyewaan buku dengan harga yang
relatif murah. Taman bacaan sifatnya lebih untuk hiburan. Karena harga buku
mahal, tidak semua kalangan masyarakat bisa mendapat akses buku. Taman
bacaan sangat membantu menyebarluaskan buku.

Taman bacaan biasa berlokasi kompleks pertokoan yang ramai, atau di tengah
kampung yang bisa dilewati sepeda dan motor. Bentuk Taman bacaan ada yang
berupa kios kayu, atau dapat berupa halaman rumah yang menyediakan tempat
untuk duduk dan membaca. Taman bacaan kemudian mulai menjamur di kota-
kota besar, dan seringkali menjadi pusat hiburan anak muda.

Karena sering dikunjungi anak muda, komik menjadi salah satu buku yang
populer untuk dipinjam. Komik silat terutama dinikmati oleh anak laki-laki dan
komik roman remaja dinikmati oleh anak perempuan.

Berkat taman bacaan, membaca di waktu senggang menjadi fenomena baru di


Indonesia. Hal ini membawa kekhawatiran bagi sebagian kalangan pendidik,
yang mengkhawatirkan terjadi „kemalasan‟ di kalangan anak sekolah karena
membaca buku yang „tidak mendidik‟. Menurut Mohammad Said, Pemimpin

42
Yayasan Perguruan taman Siswa, harus didirikan perpustakaan non komersial
yang mampu mengimbangi taman bacaan. Namun pada kenyataannya,
sebagian besar sekolah tak mampu mendirikan perpustakaan karena kurangnya
dana.

2.3.5 Minat Membaca Orang Indonesia

Banyak orang sepakat bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan minta
baca yang rendah. Hal ini ditandai dengan konsumsi cetak perkapita yang
rendah di Indonesia; jumlah buku yang dicetak dalam satu tahun sangat kecil,
penyebarannya tidak mencapai 100.000 eksemplar. Hal yang mencemaskan
adalah kenyataan bahwa masyarakat yang berpeluang menikmati budaya baca
tulis adalah masyarakat perkotaaan saja.

Selain penyebaran yang tidak merata, masalah lain seperti rendahnya kualitas
dan kuantitas bacaan sangat memprihatinkan. Terutama bacaaan anak-anak.
Kurangnya subsidi pemerintah dan ketidaktertarikan pihak swasta untuk
menerbitkan buku anak menjadi penyebab utama.

Di sekolah sendiri, akar masalah dari kecilnya minat pembaca adalah buruknya
mutu buku pelajaran; penyajiannya menyedihkan dan tidak menarik (Bonneff,
1998). Pengajar pun tidak merangsang minat baca karena anak-anak disuruh
untuk menghapal.

Orangtua juga jarang sekali yang berperan dalam meningkatkan minat baca
anak. Orangtua seringkali tidak memperhatikan bacaan anaknya, hanya
memikirkan yang penting anaknya patuh saja. Kegiatan membaca hanya
mendapat sedikit porsi dari waktu luang.

2.3.6 Pandangan Masyarakat Indonesia mengenai Komik

Masih banyak masyarakat yang memandang komik (terutama komik roman)


sebelah mata. Komik dianggap sebagai bacaan yang pornografis, non gramatis
dan non edukatif (dari koran Kedaulatan Rakjat, 16 April 1970). Tentu ada
pihak yang menyanggah, dengan berargumen bahwa komik adalah media
komunikasi yang mampu mengedukasi anak-anak maupun orang dewasa.

43
Komik juga memiliki dampak positif yaitu mengembangkan kebiasaan
membaca.

Beberapa hal yang mendukung pendapat negatif mengenai komik adalah


kualitas komik yang buruk. Rendahnya mutu komik (yang merupakan
kesalahan komikus dan penerbit) menghasilkan komik dengan gambar yang
kurang bagus dan tidak orisinil. Contoh gambar komik yang kurang bagus,
(mengutip pendapat F. Lacassin terhadap komik Perancis sebelum perang
dunia II), adalah yang “ditempatkan di bingkai yang itu-itu saja, dilihat dari
angle yang sama dan sikap yang stereotip”. Hal ini menunjukkan kurangnya
pengetahuan tentang teknik gambar.

Dari segi bahasa pun, komik dianggap tidak memenuhi kaidah berbahasa yang
baik dan benar. Penggunaan tanda baca sering salah, penggunaan ejaan tidak
baku, dan salah tata kalimat.

2.4 Unsur Pembentuk Komik


Scott McCloud (2006, p.10) membagi unsur pembentuk komik kedalam
lima tipe dasar, yaitu:

2.4.1 Pemilihan momen


Pemilihan momen adalah fase dimana komikus menentukan urutan
kejadian yang terdapat dalam komik. Hal yang harus menjadi
pertimbangan dalam memilih momen adalah bisa atau tidak momen yang
dipilih tersebut untuk bercerita dengan jelas. Misalnya pada gambar
dibawah:

44
Gambar 2.22
Pemilihan momen dalam komik
(Sumber: Making Comics-Scott Mccloud)

Sketsa kasar diatas bercerita tentang:


a. Seseorang sedang berjalan
b. Ia menemukan kunci
c. Ia membuka pintu dengan kunci yang ditemukannya
d. Ia diterkam singa yang keluar dari pintu

Momen yang dipilih untuk menceritakan empat poin cerita tersebut


terdapat dalam delapan panel diatas. Sebuah “momen” bisa dihapuskan
jika “momen” tersebut tidak mengubah jalannya cerita.

Ada enam bentuk transisi panel yang dijabarkan oleh McCloud (2006.
P.15), yakni:

a. Momen-ke-momen
Transisi yang menunjukkan satu kejadian yang ditampilkan dalam
beberapa sekuens. Transisi ini digunakan untuk memperlambat aksi,
menambah ketegangan, dan menunjukkan gerak.

45
Gambar 2.23
Transisi momen ke momen
(Sumber: Making Comics-Scott Mccloud)

b. Tindakan-ke-Tindakan

Transisi yang menunjukkan satu subjek yang melakukan beberapa aksi dan
ditunjukkan dalam beberapa sekuens.

46
Gambar 2.24
Transisi Tindakan ke tindakan
(Sumber: Making Comics-Scott Mccloud)

c. Subyek-ke-subyek
Transisi yang menunjukkan perpindahan dari subjek satu ke subjek lain.

Gambar 2.25
Transisi subjek ke subjek
(Sumber: Making Comics-Scott Mccloud)

47
d. Lokasi-ke-lokasi
Transisi yang menunjukkan perpindahan latar waktu atau tempat yang
berbeda.

Gambar 2.26
Transisi lokasi ke lokasi
(Sumber: Making Comics-Scott Mccloud)

e. Aspek-ke-aspek
Transisi yang menunjukkan perubahan tempat, suasana, atau gagasan.

Gambar 2.27
Transisi aspek ke aspek
(Sumber: Making Comics-Scott Mccloud)

48
f. Non-sequitur
Transisi yang tidak menunjukkan hubungan logis antara momen sebelum
dan sesudahnya.

Gambar 2.28
Transisi Non-sequitur
(Sumber: Making Comics-Scott Mccloud)

2.4.2 Pemilihan panel/bingkai


Panel atau bingkai adalah “pembatas” yang memisahkan antar kejadian
yang ada dalam komik. Will Eisner menyebutkan bahwa panel memiliki
peranan penting dalam pengaturan waktu. Jika satu panel adalah penanda
dari suatu “momen”, maka sesungguhnya tidaklah demikian. Dalam satu
panel bisa saja menunjukkan ilusi waktu yang berjalan.

Gambar 2.29
Ilusi waktu dalam panel
(Sumber: Making Comics-Scott Mccloud)

49
Panel pada umumnya berbentuk persegi atau persegi panjang dan
berwarna hitam, namun tidak berarti bahwa panel komik tidak bisa
berbentuk lain. Bentuk panel bisa berperan dalam gaya bercerita
komikusnya. Komposisi panel berfungsi layaknya prosa dalam puisi,
sehingga memungkin penggayaan dalam membuat komik (Forceville et al,
2014). Bentuk panel juga bisa memperkuat suasana, emosi, dan atmosfer
atas momen yang sedang terjadi pada komik.

Gambar 2.30
Panel trapesium dan urutan baca dalam komik “Naruto”
(Sumber: Naruto oleh Masashi Kishimoto)

Selain bentuknya yang beragam, urutan panel mementukan cara membaca


komik. Pada komik terbitan barat (dan umumnya Indonesia), cara
membacanya adalah dari kiri ke kanan. Hal ini dikarenakan jilidnya berada
di kiri, sehingga bukunya dibuka dari kanan. Sedangkan komik jepang
(manga) dibaca dari kanan ke kiri, dan jilidnya berada di kanan.

2.4.3 Pemilihan citra


Pemilihan citra berhubungan dengan gaya gambar yang akan digunakan
untuk menyampaikan cerita dalam komik. Gaya gambar sendiri menurut
Mccloud (2006), menyatakan tampak luar sebuah gambar komik. Tampak
luar ini misalnya kualitas garis, cara menggambar wajah atau cara

50
menggunakan dialog. Gaya gambar adalah cara komikus untuk
merepresentasikan komiknya menurut pandangannya sendiri, karenanya
gaya gambar sifatnya personal, dibangun oleh pengalaman pribadi
komikusnya. Tidak ada aturan mengenai gaya gambar seperti apa yang
benar dalam komik, yang penting adalah kesesuaian gaya dengan cerita
yang mempengaruhi sampai atau tidaknya cerita tersebut kepada pembaca.

Gambar 2.31
Beragam gaya gambar
(Sumber: Making comics-Scott Mccloud)

Scott McCloud membagi gaya gambar dalam komik menjadi dua kiblat
besar, yakni gaya gambar realistis dan kartun. Gaya realistis adalah gaya
gambar yang mendekati dengan objek aslinya, sedangkan gaya gambar
kartun merupakan abstraksi dari objek aslinya. Pembaca bisa mengenali
objek-objek yang telah diabstraksi (dalam gaya kartun) asalkan ada paduan
yang membentuk objek tersebut. Misalnya pada gambar dibawah: Wajah
kartun sejatinya hanya berubah lingkaran yang mengelilingi dua titik dan
satu garis panjang melintang. Dua titik tersebut adalah “panduan” untuk
mata dan garis adalah “panduan” untuk mulut, maka otak pembaca yang
melihat akan melihat bentuk-bentuk dalam gambar kartun tersebut sebagai
“wajah”.

51
Gambar 2.32
Gaya realistis dan gaya kartun
(Sumber: Making comics-Scott Mccloud)

Gaya kartun tidak hanya melakukan abstraksi pada wajah objek saja.
Abstraksi tersebut bisa dilakukan pada figur mahkluk hidup, benda mati,
bangunan, atau landscape/latar belakang.

Gaya realistis dan gaya kartun sendiri telah diadopsi oleh berbagai
komikus di dunia. Berikut adalah contoh penggunakan gaya realistis dan
gaya kartun pada komik Amerika. Kebanyakan komik Amerika yang
beredar menggunakan gaya realistis, misalnya komik-komik dari raksasa
komik Amerika seperti DC Comics dan Marvel Comic.

Gambar 2.33
Gaya gambar realistis pada komik “Superman” dan gaya kartun pada komik “Cul de Sac”
(Sumber: Dokumentasi pribadi)

52
Contoh penggunakan gaya realistis dan gaya kartun pada komik Jepang.
Di jepang sendiri, banyak komik yang mendaptasi gaya gambar kartun.
Adaptasi ini adalah buah dari hasil kerja Tezuka yang pada masanya
mampu membuat berbagai genre komik, sehingga memicu komikus masa
depan untuk melahirkan gaya gambar-gaya gambar yang bervariasi.

Gambar 2.34
Gaya gambar realistis pada komik “Vagabond” dan gaya kartun pada komik “One Piece”
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
2.4.4 Pemilihan kata
Komik adalah paduan beberapa gambar, dan seringkali dibarengi dengan
teks pendukung untuk menjelaskan gambar atau memperkuat narasi.
Pembaca menggabungkan aktivitas “membaca” dan “melihat gambar”
sebagai satu kesatuan dan menciptakan “pengalaman” membaca komik.
Untuk menambahkan kata-kata dalam komik, alat yang digunakan ada
dua, yakni balon kata dan efek suara.

a. Balon kata
Balon kata adalah kegiatan “mengurung” huruf dengan suatu bentuk
dan memberikan sebuat tonjolan yang mengarah kepada
pembicaranya. Bentuk balon kata yang berbeda akan memberikan
makna ucapan yang berbeda.

53
Gambar 2.35
Beragam bentuk balon kata
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Urutan membaca balon kata memberikan ilusi waktu, maka seolah-


olah pembaca dapat mengetahui kata-kata mana yang diucapkan
terlebih dahulu.

Gambar 2.36
Ilusi waktu dalam balon kata
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
b. Lettering
Lettering adalah pemberian huruf-huruf yang berada baik didalam
maupun diluar balon kata. Huruf-huruf ini berfungsi sebagai teks yang
berisi narasi maupun percakapan yang dilakukan oleh karakter dalam
komik. Orang yang memberi teks dalam komik disebut leterrer.

Gambar 2.37
Letter atau huruf dalam balon kata
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)

54
c. Efek suara / Onomatopoeia
Untuk memberikan pengalaman yang lebih imersif dalam membaca
komik, komikus memberikan efek suara atau biasa disebut
onomatopoeia. Onomatopoeia adalah huruf-huruf yang secara ponetik
mirip dengan suara yang dideskripsikan. Misalkan suara air terpercik
“splas”, suara kucing “meong”, atau suara guntur “geludug”.
Onomatopeia sendiri berasal dari bahasa yunani yang berarti
“membuat nama”. Efek suara bisa berbeda-beda tergantung dengan
tempat atau negara komik tersebut dibuat/dibaca, karena setiap negara
memiliki sistem bahasa dan suara yang berbeda. Misal kucing di
indonesia berbunyi “meong”, dan di jepang berbunyi “nyan”.

Efek suara seringkali menjadi bagian dari aspek visual dan tidak
hanya menjadi huruf semata. Hal ini karena efek suara digambarkan
manual oleh komikus sebagai bagian dari komposisi dan estetika
gambar komik. (Irzaqi, 2019)

Gambar 2.38
Contoh efek suara dalam komik
(Sumber: Making Comics- Scott Mccloud)

55
2.4.5 Pemilihan alur
Alur berfungsi untuk memandu pembaca melewati antar panel-panel
komik, dan menciptakan pengalaman membaca yang intuitif (Mccloud,
2006). Alur ciptakan melalui pemilihan urutan panel, bentuk panel, arah
baca, dan pengaturan isi elemen dalam panel.

Arah baca tergantung dari jenis komik yang dibaca. Sejauh ini, arah
baca yang ada terdiri atas:
a. Dibaca dari kiri ke kanan (biasanya format komik barat)
b. Dibaca dari kanan ke kiri (biasanya format komik jepang)
c. Dibawa dari atas kebawah (format komik web)

Elemen dalam panel termasuk pose, jumlah karakter dalam panel,


detail latar belakang, sudut pandang, penempatan balon kata, dan
penempatan efek suara.

Gambar 2.39
Contoh alur komik
(Sumber: Making Comics- Scott Mccloud)

Sudut pandang dalam komik maksudnya adalah sudut yang seakan-


akan memperlihatkan bagaimana sebuah “momen” di mata pembaca.
Satu momen bisa dilihat dari beberapa sudut pandang, dan setiap
sudut pandang akan memberikan pengalaman membaca, kesan dan
emosi yang berbeda terhadap momen tersebut.

56
Beberapa contoh sudut pandang antara lain sebagai berikut:
a. High angle
Sudut pandang yang diambil seakan-akan pembaca berada lebih
tinggi daripada subjek dalam komik. Memberikan kesan bahwa
pembaca memliki kuasa atas subjek.
b. Bird-view angle
Sudut pandang yang diambil seakan-akan pembaca ada di langit,
sedang memandang subjek dan sekelilingnya dari atas.
c. Low angle
Sudut pandang yang diambil seakan akan pembaca ada dibawah
subjek. Biasanya digunakan untuk mendepiksikan subjek yang kuat
dan memberi kesan bahwa pembaca ada di bawah subjek tersebut.
d. Eye level
Sudut pandang dimana subjek sejajar kedudukannya dengan
pembaca. Memiliki kesan bahwa subjek dan pembaca berada di
tempat yang sma atau memiliki kedudukan yang sama. Menurut
Onong (2000), sudut pandang model ini adalah sudut pandang yang
lumrah digunakan.
e. Close ups
Sudut pandang dimana subjek diperlihatkan sangat dekat dengan
pembaca. Memberikan kesan lebih intens dan intim terhadap subjek
dan pembaca.

2.5 Pembuatan karakter dalam komik


Salah satu elemen penting dalam komik adalah karakter. Penggambaran
karakter adalah untuk menciptakan manusia dalam pikiran pembaca.

1. Rancangan karakter
Cara dan teknik merancang karakter biasanya ditentukan dari
kesukaan pribadi si pembuat. Dalam konteks ini, tidak ada istilah
benar atau salah dalam perancangan karakter. Karakter biasanya lahir
dari atau sebelum proses pembuatan cerita, atau bahkan dari
ketidaksengajaan.

57
Bentuk tubuh, postur dan gestur dapat bercerita banyak mengenai
sebuah karakter. Bentuk tubuh dan postur memberikan petunjuk
mengenai sisi fisiologi karakter dan gestur dapat memberitahu
mengenai sikap mental karakter (Forceville et al. 2014). Penggunaan
bentuk visual yang tepat juga akan membantu mereka
mengkomunikasikan kepribadian karakternya. (Hedgpeth dan Missal,
2006. p. 142)

Rancangan karakter biasanya digambarkan sebagai model sheet.


Dalam model sheet, hal yang lazim digambar mencakup gambar
tampak seluruh badan, close-up, skala, pakaian, atribut, dan skema
warna.

Gambar 2.40
Rancangan karakter komik Buffy the Vampire Slayer
(Sumber: comicbooks.com)

2. Ekspresi wajah
Ekspresi wajah terdapat pada tokoh komik, dan digunakan untuk
memancing emosi pembaca. Ekspresi tokoh adalah cerminan dari
emosi yang diharapkan ditangkap pembaca saat membaca komik.

58
Gambar 2.41
Ekspresi karakter
(Sumber: comicbooks.com)
3. Bahasa tubuh
Bahasa tubuh menunjukkan keadaan atau bahkan kepribadian
seseorang sebelum mereka berbicara. Ekspresi wajah dan bahasa
tubuh biasanya mengungkapkan perasaan yang sama dan beriringan,
misalnya gestur sedikit membungkuk ketika merasa bersalah. Bahasa
tubuh juga dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan antar
karakter.

2.5 Perbedaan Pengaruh Komik Jepang dan Komik Barat

Sebagai dua kiblat yang memiliki pengaruh besar dalam dunia perkomikan,
khususnya di Indonesia, komik jepang dan barat memiliki perbedaan.

Sebagai mana yang dibahas disertasi Seno Aji, komik jepang kebanyakan
mengadaptasi gaya gambar kartun, yang merupakan abstraksi atau
penyederhanaan dari gaya realistis. Karena gambarnya lebih sederhana, maka
secara teknis panel yang bisa dibuat lebih banyak, sehingga memungkinkan
untuk menyampaikan cerita yang lebih rinci. Menurut Mccloud (2001),
transisi panel tindakan ke tindakan, subjek ke subjek, momen ke momen dan
terutama aspek ke aspek banyak ditemukan pada komik jepang.

59
Gambar 2.42
Komik Jepang: Dororo oleh Osamu Tezuka yang
Memiliki banyak panel tanpa narasi teks
(Sumber: comicbooks.com)

Gambar 2.43
Komik amerika: The Detective Comics No. 33 oleh Joe Shuster dan Jerry Siegel
Memiliki transisi yang kurang halus dan narasi penuh teks
(Sumber: comicbooks.com)

60
Menurut Mccloud pula, gaya kartun punya peluang untuk menjadi lebih
universal, karena gaya kartun sejatinya adalah “konsep” yang dimiliki
pembaca, tidak seperti gaya realistis yang secara gamblang menunjukkan
gambar objek yang mirip dengan aslinya. Saat melihat gambar kartun,
pembaca akan melihat sebuah “wajah”, namun dengan gaya realistis,
pembaca akan melihat “wajah seseorang”.

Kelebihan komik jepang dengan gaya kartunnya adalah mereka memiliki


visual yang lebih bebas dan beragam, tidak seperti komik amerika (atau seni
barat kebanyakan) yang masih berpaku pada seni keindahan yunani
(Ajidarma, 2005). Dari segi ekspresi karakter misalnya, komik jepang bisa
lebih kaya dalam penggambarannya dengan memanfaatkan exaggeration atau
melebih-lebihkan.

Gambar 2.44
Ekspresi karakter dalam komik jepang
(Sumber: Japanese Visual Language: The Structure of Manga oleh Cohn Neil)

Bapak komik jepang, Osamu Tezuka, mengadaptasi sinematik film amerika


dan menuangkannya ke dalam komik. Adaptasi ini menghasilkan sebuah
komik yang mengurangi narasi menggunakan teks dan memperbanyak
gambar. Gambar lebih mudah dibaca orang daripada teks, maka otomatis

61
membaca komik jepang lebih mudah dibandingkan dengan komik yang
banyak teksnya (contohnya komik amerika).

Komik jepang juga mengadaptasi konsep “Less is more”, karenanya banyak


komiknya yang memiliki format hitam putih, berbalik dengan komik Amerika
yang kebanyakan full color. Meskipun hitam putih, namun komik jepang
mampu menyampaikan emosi yang rinci secara minimalis.

Berikut adalah gambar yang merepresentasikan gaya gambar komik Jepang


yang dibagi per 10 tahun:

62
Gambar 2.45
Gaya Gambar Karakter Komik Jepang dari tahun ke tahun
(Sumber: Dokumentasi pribadi)

Jepang memiliki gaya gambar yang cukup beragam dalam perjalanannya


selama 10 tahun. Karakteristik yang masih banyak terdapat dalam gaya
gambar komik jepang adalah mata besar, dagu yang lancip, gaya dan warna
rambut yang liar (Cohn, Neil. 2007).

Gaya gambar Amerika tidak hanya terus menggunakan gaya realistis, namun
jika dibandingkan dengan komik jepang, variasi gaya gambarnya tidak lebih
banyak. Amerika sendiri memiliki masyarakat yang pragmatis, homogen
dalam cita rasa, dan menerima standardisasi (Widagdo. 2011. p.145-146)
sehigga dalam industri komik pun Amerika dikuasai oleh raksasa komik
macam DC dan Marvel Comic, dengan gaya realistis sebagai “standar

63
gambar”. Karena itu, terbentuklah stigma bahwa komik Amerika sama
dengan komik superhero.

Berikut adalah gambar yang merepresentasikan gaya gambar komik Amerika


yang dibagi per 10 tahun:

64
Gambar 2.46
Gaya Gambar Karakter Komik Amerika dari tahun ke tahun
(Sumber: Dokumentasi pribadi)

65
2.7 Komik Silat
Komik silat, adalah salah satu genre yang populer selain komik roman
remaja, sekaligus tema dari penelitian ini. Berikut akan dijelaskan lebih rinci
mengenai komik genre silat:

Kata silat atau pencak artinya teknik beladiri, yang memiliki beberapa variasi
di seluruh penjuru Indonesia. Anggota tubuh yang lazim digunakan adalah
tangan (kepalan tangan, telapak tangan) dan kaki (tendangan). Setiap posisi
dan jenis pukulan memiliki nama yang mengacu pada suatu aliran tertentu.
Lazimnya, sebuah aliran berasal dari sebuah perguruan silat. Aliran tersebut
diajarkan oleh seorang guru yang kemudian mewariskan ilmunya kepada
muridnya. Siklusnya begitu seterusnya.

Dalam ilmu silat, sangat penting bagi pendekarnya untuk menguasai


mentalnya. Latihan mental itu berguna bagi pendekar untuk mencapai
kesaktian. Selain sakti, pendekar silat harus juga memiliki pertahanan moral,
kemauan dan keberanian (Bonnef, 1998).

Sejauh ini, tidak ada bukti kalau silat adalah warisan murni budaya Indonesia.
Kemungkinan yang lebih besar adalah bahwa silat mendapat pengaruh yang
cukup besar dari seni beladiri Cina. Cerita silat kemudian dibagi dua, ada
cerita silat Tiong Hoa dan cerita silat sejarah Indonesia.

Formula cerita dalam komik silat cenderung mirip antar satu sama lain; yakni
kisah seorang pendekar yang bertualang untuk melakukan tugas yang tiada
hentinya, misal mencari pusaka suci, membalaskan dendam, memburu
musuh, mencari orang tua yang hilang, bahkan mencari jati diri sendiri.

Berikut beberapa poin yang dapat dijadikan patokan alur komik silat yang
disebutkan dalam oleh Seno Aji Gunadarma dalam bukunya:

66
a. Dalam keadaan terhina
 Pendekar silat hidupnya menderita atau sengsara. Misalnya
dalam cerita Panji Tengkorak, diawal cerita ia diceritakan telah
kehilangan istrinya dan berkelana mencari pembunuh istrinya
dengan menggunakan topeng buruk rupa.

b. Pematangan pendekar
 Pendekar bertemu dengan banyak rintangan. Rintangan itu
berupa medan perjalanan yang berat atau musuh yang
bermunculan.
 Pendekar memantapkan ilmunya dengan bersemedi atau
melakukan meditasi di sebuat tempat.
 Pendekar bertemu dengan guru yang dapat mengajarinya ilmu
silat baru

c. Kewajiban terhadap masyarakat


 Pendekar tiba ke sebuah kampung yang diteror penjahat, dan
berkewajiban menolong
 Pendekar mendamaikan perguruan yang saling bertikai

d. Kemenangan Kebajikan
 Pendekar berhadapan dengan musuhnya
 Pendekar mengalahkan/membunuh musuhnya
 Pendekar yang menang menguasai dunia persilatan.

2.4 Penelitian yang relevan


Penelitian tentang komik di Indonesia sudah ada, biarpun jumlahnya masih
sedikit. Berikut adalah beberapa penelitian yang relevan dengan tesis ini:

 Wimba Dan Tata Ungkapan Komik Strip Sunda Mad Huri Dan Si
Bogel Pada Majalah Mangle Visualisasi Budaya Sunda Sebuah

67
Kajian Bahasa Rupa oleh Surya Kusumah, Setia (2015). Tesis ini
membahas bahasa rupa yang terkandung dalam komik strip Sunda.
 Kajian visualisasi karakter dalam seri komik garudayana oleh
Mikha, Widy dkk. Membahas visual karakter dalam komik
Garudayana
 Menguak mitos: diskursus gaya gambar amerika, Jepang, eropa,
gaya gambar indonesia dan implikasinya oleh Michael Sega
Gumelar (2017) yang membahas perbedaan beberapa gaya gambar
komik.
 Geliat Komik Indonesia oleh Hafiar, Hanny dan Oji Kurnia (2005)
yang membahas perjalanan komik di Indonesia
 Bahasa rupa komik wayang karya r.a. kosasih. Surakarta: Institut
Seni Indonesia oleh Sayid Mataram yang membahas bahasa rupa
komik wayang Indonesia.
 Gaya Manga dalam Komik Garudayana Karya Is Yuniarto oleh
Dhevi Enlivena (2013), yang membahas gaya komik jepang yang
terdapat pada komik Garudayana.

68

Anda mungkin juga menyukai