Anda di halaman 1dari 78

Bab VI

HUBUNGAN KERJA

Pada dasarnya, hubungan-kerja, yaitu hubungan antara buruh dan majikan, terjadi setelah diadakan
perjanjian oieh buruh dcngan majikan, di mana buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja
pada majikan dengan menerima upah dan di mana majikan menyatakan kesanggupannya untuk
mempekerjakan buruh dengan membayar upah. Perjanjian yang sedemikian itu disebut perjanjian-
kerja. Istilah perjanjian-kerja menyatakan bahwa perjanjian ini mengenai kerja, yakni dengan adanya
perjanjian-kerja timbul kewajiban suatu pihak untuk bekerja. Jadi berlainan dengan perjanjian-
perburuhan, yang tidak menimbulkan hak atas dan kewajiban untuk melakukan pekerjaan, tetapi
memuat syarat-syarat tentang perburuhan.

Untuk perjanjian kerja ini Mr. Wirjono Prodjodikoro menggunakan secara kurang tepat istilah
persetujuan perburuhan, sedang untuk perjanjian perburuhan digunakan istilah persetujuan
perburuhan bersama. Mr. R. Subekti juga menggunakan secara kurang tepat istilah persetujuan
perburuhan untuk perjanjian kerja, sedang perjanjian perburuhan diberinya nama persetujuan
perburuhan kolektif, Bekerja pada pihak lainnya. menunjukkan bahwa pada umumnya hubungan itu
sifatnya ialah bekerja di bawah pimpinan pihak lainnya. Adanya buruh ialah hanya jika ia bekerja di
bawah pimpinan pihak laiaya dan adanya majikan hanya, jika dia memimpin pekerjaan yang
dilakukan oleh pihak kesatu. Hubungan buruh dan majikan" tidak juga terdapat pada perjarnjian
pemborongan pekerjaan, yang ditujukan kepada hasil pekerjaan. Bedanya perjanjian pemborongan
pekerjaan dengan perjanjian melakukan pekerjaan tertentu ialah bahwa perjanjian ini tidak melihat
hasil yang dicapai. Jika yang berobat itu, tidak menjadi sembuh, bahkan akhimya misalnya
meninggal-dunia, namun dokter itu telah memenuhi kewajibannya menurut perjanjian. Perjanjian-
kerja pada dasarnya harus memuat pula ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan hubungan-
kerja itu, yaitu hak dan kewajiban buruh serta hak dan kewajiban majikan, Ketentuan-ketentuan ini
dapat pula ditetapkan dalam peraturan-majikan, yaitu peraturan yang secara sepihak ditetapkan
oleh majikan (reglement) juga disebut: peraturan perusahaan.

Selanjutnya ketentuan-ketentuan itu dapat pula ditetapkan dalam, suatu perjanjian, hasil
musyawarah antara organisasi buruh dengan pihak majikan. Perjanjian ini disebut perjanjiam
perburuhan,

DI samping itu negara mengadakan peraturan-peraturan mengenai hak dan kewajiban buruh dan
majikan, baik yang harus dituruti oleh kedua belah pihak, maupun yang hanya akan beriaku, bila
kedua belah pihak tidak mengaturnya sendiri dalam perjanjian Kerja, dalam peraturan-majikan atau
dalam perjanjian perburuhan.

I. PERJANJIÁN-KERJA

Bagi perjanjian-kerja tidak dimintakan bentuk yang tertentu. Jadi dapat dilakukan secara lisan,
dengan surat pengangkatan oleh pihak majikan atau secara tertulis, yaitu surat perjanjían yang
ditanda tangani oleh kedua belah pihak. Undang-undang hanya menetapkan bahwa jika perjarjian
diadakan secara tertuiis, biaya surat dan biaya tambahan iainnva

 harus dipikul oleh majikan, apalagi perjanjian yang diadakan secara lisan, perjanjian yang
dibuat tertuiispun biasanya diadaken dengan singkai sekali, tidak henat semta hak darn
kewajiban kedua beiah pihak Perjanjian-kerja yang harius diadakan secara tertulis, seperti
nsainya dimintakan cleh ARnvuiiende Piartcrsregeiing (Peratura Perburuhan di Perusahaan
Perkebuian), hanya memuat: macam peker;aan,
 lamanya perjanjian tu beriaku,
 besarnya upah berupa uang sebulannya,
 lamanya waktu istirahat (cuti) dan besarnya upah selama cuti ejika ada, besarnya bagian dari
keuntungen (tantieme) dan

caranya 1 enghitung keuntungan,

f jika zda, caranya pemberian pernsiun atau bentuk pemberian

untuk hari tua iainnya,

bentuk upah iainnya,

h. tempat ke mana nanti buruh itu harus dikembalikan atas biaya

majikan.

Kewajiban majikan, misalnya untuk memberi pengobatan dan

perawatan kepada buruh yang sakit atau mendapat kecelakaan,

tidak dimuat dalam perjanjian-kerja tertulis itu

Perjanjian-kerja dengan anak-kapal yang juga harus diadakan

secara tertulis, hanya memuat hai-hal tertentu saja misalnya:

a. nama buruh, hari lahir atau setidak-tidaknya usia yang dikira-

kira dan tempat lahir,

b. tempat dan hari pembuatan perjanjian-kerja,

keterangan tentang kapal atau kapal-kapal di mana buruh akan

dipekerjakan,

dpelayaran atau pelayaran-pelayaran yang akan dilakukan.

e macam pekerjaan yang akan diiakukan oleh buruh

Besarnya upah tidak mutiak harus dimuat dalam surat-perjan-

tian itu. Juga kewajiban majIkan menberi makan dan penginapan

tidak dimuat dalam surat-perjanjian!

Daiam perjanjian-kerja yang diadakan secara sukarela dengan

tertulis, sudah terang bahwa majikan akan berusaha urtuk tidak

membuat banyak janji yang menguntungkan buruh.

Karena itu adalah jelas sudah, betapa periunya ada peraturan yang secara agak iengkap nemuat
semua hak dan kewajiban kedua belah pihak. Sebagai di atas telah dikatakan, soal-soal itu dapat
pula diatur daiam peraturan majikan, daiam perjanjian perburuhan atau dalam peraturan
perundang-undangan.

Pembuatan Perjanjian Perburuhan meniiju ke jurusan itu.

$2. PERATURAN-MAJIKÁN

Peraturan-majikan atau peraturan-perusahaan ini atau lengkapnya peraturan perburuhan majikan


dibuat secara sepihak oleh majikan, sehingga majikan ini pada dasarnya dapaî memasukkan apa saja
yang dia inginkan. Dia dapat mencantumkan kewajiban buruh semaksimal mungkin dengan hak yang
seminimal mungkin dan mencantumkan kewajiban majikan seminimał minimalnya dengan hak yang
semaksimal-maksimalnya. Asal dalam pada itu majikan tidak melanggar undang-undang tentang
ketertiban umum, meianggar tata-susila, melanggar ketentuan perundang-undangan yang sifainya
memaksa atau aturan yang tidak boieh dikesampingkan dengan peraturan-majikan.

yaitu:

1.disetujui secara tertulis oleh buruh;

Selembar lengkap peraturan-majikan itu dengan cuma-cuma

oleh atau atas nama majikan telah diberikan kepada buruh:

bahwa oleh atau atas nama majikan telah diserahkan kepada

Departemen Perburuhan satu lembar lengkap peraturan-

majikan tersebut yang ditanda-tangani oleh majikan, tersedia

untuk dibaca oleh umum;

4. satu lembar lengkap peraturan-majikan ini ditempelkan dan te-

tap berada di tempat yang mudah dapat didatangi buruh, se-

dapat-dapatnya dalam nuang kerja, hingga dapat dibaca dengan

terang

Memenuhi syarat ke-2, ke-3, dan ke-4 adalah mudah sekali.

Juga aemenuhi syarat ke-1 adalah tidak sukar. Orang yang tidak

mempunyai pekerjaan dan karena itu mencarinya, dengan harap-

an akan mendapatkannya akan suka menyetujui dengan tertulis

tiap peraturan-majikan yang diperlihatkan atau disodorkan ke-

padanya.

Jila selama hubungan-kerja, ditetapkan peraturan-majikan atau

peraturan-majikan yang telali ada diubah, peraturan majikan baru

atau vang telah diubah itu, hanyalah mengikat buruh, bila satu
lembar iengkap rancangan peraturan-majikan atau perubahan yang

dirancangkan itu sebelum ditetapkan oleh majikan, seiama suatu

waktu disediakan dengan cuma-cuma untuk dibaca oleh buruh,

sehingga ia dapat mempertimbangkan isinya itu dengan seksama.

Persetujuan buruh tidak disyaratkan. Jika sudah ditetapkan oleh

majikan, ada buruh yang tidak menyetujuinya karena dipandang-

nya merugikan, ia dapat minta kepada Pengadiian - tidak agar

pengadilan membatalkan ketentuan yang merugiiannya, tetapi-

agar hubungan-kerja diputuskan!

Menurut Peraturan Menteri "Tenaga Kerja, Transmigrasi dan

Koperasi No. 02/MEN/1978 1ersebut tiap perusahaan yang mem-

pekerjakan sejumłah dua puluh lima orang atau lebih wajib membuat peraturan perusahaan.
Pembuatannya itu harus didahului

dengan konsultasi dengan buruh-buruhnya dan pegawai dari Di-

oktorat Jenderal Perlindungan dan Perawatan Tenaga Kerja.

Pembuatan dan perubahan peraturen yang memuat ketentuan-

ketentuan tentang syarat-syarat kerja serta tata-tertib perusaha-

harus dipisahkan oleh Departemen. Pengusaha wajib mem-

an,

heritahukan isi peraturan perusahaan kepada buruh-buruhnya di-

hadapan pegawai Direktorat Jenderal. Peratuuran mulai berlaku

setelah disahkan untuk paling lama dua tahun.

Peraturan tentang pekerjaan di kapal yang ditetapkan oleh

pengusaha kapal mengikat nakhoda, asal kepadanya diberikar

satu lembar dan sepanjang isinya tidak bertentangan dengan

perjanjian-kerja yang diadakan itu. Peraturan semacam itu hanya

mengikat pelaut, jika selembar digantungkan di tempat yang mu-

dah dicapai dan dibaca, danr sepanjang isinya tidak bertentangan

dengan perjanjian-kerjanya.

Peraturan upah tidak dapat diubah dengan merugikan buruh.

3. PERJANJIAW-PERBURUHAN
Perjanjian-perburuhan adalah perjanjian yang diadakan oleh satu atau beberapa serikat buruh yang
terdaftar pada Departemen Perburuhan dengari seorang atau beberapa majikan, satu atau beberapa
perkumpulan majikan yang berbadan hukum, yang pada umumnya atau semata-mata memuat
syarat-syarat perburuhan yang harus diperhatikan dalam perjanjian-kerja.

Dari perumusan ini jelaslah hendaknya bahwa perjanjian-

perburuhan itu justru diadakan untuk menetapkan hak dan

kewajiban buruh dan majikan secara musyawarah antara kedua

belah pihak, serikat buruh dan majikan.

Perjanjian perburuhan bukanlah perjanjian kerja sama atau perjanjian kerja kolektif, Karena
perjanjian perburuhan itu adalah hasil rundingan antara pihak-pihak yang berkepentingan, maka
isinya pada umumnya telah mendekati keinginan buruh dan majikan. Berbeda dengan peraturan
majikan, dalam perjanjian perburuhan, majikan tidak dapat memasukkan apa saja yang ia kehendaki
untuk menekan atau merugikan buruh. Karena itu perjanjian perburuhan di negara barat
memainkan peranan yang sangat penting. Hampir tiap peraturan yang mengatur hubungan kerja di
pelbagai perusahaan adalah hasil musyawarah antara majikan dan serikat buruh yano bersangkutan.
Di Indonesia perkembangan perjanjian-perburuhan masih belum maju. Sebaliknya para majikan
lebih suka mengatur segala sesuatu dalam peraturan majikan, yang pembuatannya tidak memenuhi
syarat-syarat yang dimintakan oieh aturan perundang-undangan.

Ini semua menceminkan kedudukan majikan dan buruh beserta organisasinya di dunia perburuhan
Indonesia, yang oleh sementara orang dikatakan sebagai masih dihinggapi oleh jiwa tuan dan
"hamba"! Artinya yang satu berpendirian: "aku yang

punya perusahaan dan akulah yang bertanggungjawab. Apa pula

buruh mau ikut mengatur!" sedang yang lainnya berpendirian:

biarlah saya Yes saja, nanti kalau majikan marah, malah diper-

hentikan!

Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan

Koperasi No. 02/MEN/1978 tersebut di atas, di perusahaan di

mana telah terbentuk serikat buruhi, pengusaha wajib melayani

kehendak serikat buruh untuk mengadakan perundingan perjanjian

perburuhan atas permintaan secara tertulis dari serikat buruh yang

bersangkutan.

Untuk sahnya perjanjian perburuhan dimintakan syarat materil

dan syarat formil.

Syarat materil adalah misalnya:

1. dilarang memuat aturan yang mewajibkan scorang majikan


supaya hanya mencerima atau menolak buruh dari suatu golongan, baik berkenaan dengan agama,
golongan warganegara

atau bangsa, maupun karena keyakinan politik atau anggota

dari sesuatu perkumpulan;

dilarang memuat aturan yang mewajibkan seorang buruh

supaya hanya beketja atau tidak boleh bekerja pada majikan

dari suatu golongan, baik berkenaan dengan agama, golongan

warganegara atau bangsa, maupun karena keyakinan poiitik

atau anggota dari suatu perkumpulan;

3 dilarang memuat aturan yang bertentangan dengan undang-

undang tentang ketertiban umum atau dengan tata-susila.

Sparat-syarat formil antara ilain adalah:

1. harus diadakan dengan tertulis dan ditanda-tangani oleh kedua

belah pihak atau dengan surat resmi, yaitu di hadapan seorang

notaris;

2. surat perjanjian harus memuat:

a. nama, tempat kedudukan serta alamat serikat buruh;

b. nama, tempat kedudukan serta alamat pengusaha atau

perkumpulan majikan yang berbadan hukum;

C. nomor serta tanggal pendaftaran serikat buruh pada Depar

temen Perburuhan;

d. tanggal penanda-tanganan;

3. perjanjian-perburuhan harus dibuat sekurang-kurangnya daiam

rangkap tiga, selembar harus dikirimkan kepada Departemen

Perburuhan untuk dimasukkan dalam daftar yang disediakan

untuk itu,

4. erjanjian-perburuhan hanya dapat diadakan untuk paling lama

dua tahun, dan kemudian dapat diperpanjang dengan paling lama

satu tahun lagi.

Dengan sendirinya perjanjian-perburuhan tidak dapat memuat

Semua hak dan kevwajiban buruh dan majikan, terutama hak dan
wiban buruh dan majikan yang oleh Negara dipandang mutlak.

di Cna itu di samping perjanjian-perburuhan, perjanjian-kerja dan

peraturan-majikan, Negara mengeluarkan pelbagai peraturan dengan tujuan menciptakan suatu


kedudukan buruh yang layak

Dagi kemanusiaan, baik yuridis dan ekonomis, maupun sosiologis

dan keamanan badaniah.

4. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Di bidang hubungan kerja ini sebetulnya belum ada kesatuan hukum. Karena itu telah disepakati
untuk menggunakan bagi mereka yang belum dikuasai olehnya, Kitab Undang-undang Hukum
Perdata Buku II, Bab 7A dan ketentuan-ketentuan lainnya dalam Kitab itu yang ada hubungannya
atau sangkut-pautnya soal perburuhan sebagai pedoman.

Demikian juga peraturan-peraturan lainnya bagi golongan golongan warnegara yang tidak dikuasai,
diberlakukan sebagai pedoman, maka secara praktis semua peraturan perburuhan berlaku bagi
semua buruh dan semua majikan, sebagian secara mutlak dan sebagian lainnya sebagai pedoman.

Asas melindungi buruh yang dikehendaki oleh penguasa, da-

iam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku III Bab 7A itu

dilaksanakan dengan 4 jalan sebagai berikut

I. Diadakan ketentuan-ketentuan yang sifätnya mengatur, yaitu

memberi aturan mengenai berbagai soal yang akan berlaku,

bila kedua belah pihak buruh dan majikan, tidak mengada'kan

aturan sendiri.

Dengan demikian maka terhadap berbagai soal yang ofeh

kedua belah pihak tidak diaturnya, terdapat ketentuan apa yang

akan berlaku, sedang jika ketentuan itu tidak ada, akan terjadi

kekacauan dan tindakan sewenang-wenang.

Hal yang sedemikian ini adalah sangat penting, karena dalam

praktik dalam banyak perjanjian-kerja biasanya yang dimuat

itu hanyalah macam pekerjaan yang akan dilakukan oieh buruh

dan besarnya upah yang akan dibayar majikan.

Karena ketentuan ini sifatnya hanya mengatur saja, yaitu mengatur bila pihak-pihak yang
bersangkutan tidak mengada-

kan aturan sendiri, maka ketentuan itu dapat disingkirkan oleh

kedua belah pihak. Kemungkinan ini melemahkan maksud per-


lidungan, karena dalam kenyataannya pihak majikan yang kuat

ekonominya, selalu dapat memaksakan sesuatu kepada buruh

vang lemah ekonominya. Yang terjadi ialah penyimpangan dari

ketentuan itt. yang nmerugikan buruh.

2 Berhubung dengan itu maka diadakan ketentuan-ketentuan yang

sifatnya memaksa yang tidak boleh dikesampingkan dengan

merugikan buruh.

Jika penyimpangan itu merugikan buruh, maka aturan yang

ditetapkan oleh kedua belah pihak, menjadi batal, sedang yang

berlaku adalah ketentuan yang dimuat dalam Bab 7A.

3. Perlindungan yang sifatnya di antara mengatur dan memaksa

adalah cara perlindungan yang menetapkan, bahwa menyim

pang dari ketentuan yang ada itu hanya dibolehkan dengan

perjanjian tertulis atau dalam peraturan-majikan (regle-

ment).

Jadi mengadakan aturan yang menyimpang secara lisan,

tidak dibolehkan. Walaupun menyimpang masih dibolehkan,

tetapi dibatasi dengan syarat formil. Dengan demikian kedua

pihak diharuskan memikirkan dengan saksama apakah betul-

betul menghendaki aturan yang menyimpang.

Kemungkinan bahwa pihak majikan yang kuat ekonominya

akan memaksakan kehendaknya kepada buruh yang lemah

ekonominya, masih belum lenyap sama sekali.

4. Akhimya perlindungan bagi pihak buruh yang lemah eko-

nominya, terletak pada kekuasaan pengadilan yang tidäk

terdapat pada perjanjian lainnya.

Pertama, dalam pelbagai hal di mana pelaksanaan ketentuan

hukum atau syarat dalam perjanjian-kerja merupakan keganjilan

(onredelijkheid), pengadilan berhak memutuskan mengenai hal

hal yang konkrit dengan menghilangkan keganjilan itu.


Kedua, dalam banyak hal kata-kata dalam aturan dengan sengaja dibuat secara kurang tegas/terang
(vaag), misalnya

dengan membubuhkan kata "layak" (redelijk), sehingga penga-

dilan selalu dapat memperhatikan semua segi keadaan menge-

nai soal yang bersangkutan. Sifat karet ini memungkinkan ti.

dak hanya supaya ketentuan-ketentuan dalam undang-undano

atau pelaksanaannya diperlunak, tetapi memungkinkan juga

memperhatikan pendapat-pendapat masyarakat tentang sesuatu

yang dipandang layak atau patut.

Isi Kitab Undang-undang Hukum Perdata Buku III Bab 7A

yang penting dalam hubungannya dengan hubungan-kerja ini.

adalah sebagai berikut.

. Bab ketiga tentang kewajiban majikan.

Bab ini memuat ketentuan tentang upah yang harus diba-

yar oleh majikan, caranya dan macamnya, ganti-rugi karena

tidak diberikannya bagian upah tertentu, pemberian upah tam-

bahan karena terlambat membayarkan upah dan sebagainya.

2. Bab keempat tentang kewajiban buruh.

Dalam bab ini diatur terutama kewajiban buruh untuk

melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya, sifat dan luas

pekerjaan, kewajiban buruh untuk melakukan pekerjaan me-

nurut peraturan hubungan-kerja yang ada."

3. Bab kelima tentang cara-cara pengakhiran hubungan kerja.

Indienstneming van Werklieden (Peraturan tentang Mempe-

kerjakan Buruh stbl. 1911 No. 540 jo stbl. 1916 No. 725 dan stbl.

1931 No. 252) yang biasanya disebut "Vrije Arbeidsregeling"

(Peraturan tentang Perburuhan Bebas-bebas = tidak diikat oleh

punale sanksi), mengatur hubungán-kerja antara:

a. buruh dewasa yang bukan penduduk asli residensi yeng

bersangkutan (jadi buruh yang didatangkan dari luar daerah

residensi itu) dengan,


b. perusahaan perkebunan atau kerajinan, perusahaan perda-

gangan atau untuk keperluan mendirikan dan mengusahakan

kereta-api dan trem serta pekerjaan umum di luar Jawa dan

Madura.

Peraturan tertang Mempekerjakan Buruh ini tidak memuat

ketentuan apa-apa mengenai kewajiban buruh.

Kewajiban majikan pertama-tama adalah mengadakan daftar

yang memuat:

a. nama buruh,

h. waktu mulai dan berakhirnya perjanjian-kerja,

upah yang telah disetujui dan bila ada, pinjaman buruh.

Tidak mengadakan atau tidak cukup mengadakan daftar ter-

maksud, diancam dengan pidana denda setinggi-tingginya seratus

rupiah ( seribu lima ratus rupiah).

Majikan wajib menyediakan perumahan yang layak, pengobat-

an vang pantas, memberikan air yang baik untuk minum dan man-

di. Pelanggaran atas ketentuan ini diancam dengan pidana denda

setinggi-tingginya seratus rupiah (= seribu lima ratus rupiah).

Majikan wajib membayarkan upah pada waktu-waktu yang

terter.tu.

Upah hanya dapat dipotong dalam hal-hal yang dimuat dalam

perjunjian-kerja dan untuk.pembayaran yang telah diputuskan oleh

pengadilan. Bagaimanapun juga potongan itu tidak boleh melebihi

seperempat dari upah yang baru lalu. Pelanggaran atas ketentuan

ini diancam dengan pidana denda setinggi-tingginya seratus ru-

piah(= seribu lima ratus rupiah).

Majikan wajib memberi kesempatan kepada buruh dan ke-

luarganya yang menghendakinya, untuk pulang ke tempat per-

janjian-kerja dibuat, bila buruh telah bekerja untuk waktu yang

ditetapkan atau terpaksa meninggalkan pekerjaan karena ke-

Kurangan kemampuan jasmaniah (lichamelijke engeschiktheid),


Sesuatunya atas biaya majikan. Juga majikan wajib memulangkan

buruh yang di luar kesalahannya diperhentikan oleh majikan.

JIKa majikan tidak memenuhi atau tidak cukup memenuhi

Kewajibannya memulangkan buruh itu, pemulangan dilakukan oleh

Kepala Daerah atas biaya majikan.

Felugawasan atas dijalankannya ketentuan-ketentuan tersebut

Q,atas dan pemberian bantuan dalam melaksanakannya serta pengusutan pelanggaran-pelanggaran,


dilakukan oleh pegawa:

pengawasan perburuhan, di samping pegawai pengusut pelang.

garan lainnya.

Buruh yang menentang, menghina atau mengancam majikan

atau para pegawainya, mengganggu ketenteraman, berkelahi dan

mabok, sekedar kejadian itu tidak dimuat dalam Kitab Undang-

undang Hukum Pidana, diancam dengan pidana kurungan selama-

lamanya sebulan atau denda setinggi-tingginya seratus rupiah (=

seribu lima ratus rupiah).

Dahulu dengan ordonnantie tanggal 11 Agustus 1928 (stbl 1928

No. 341) kepada rèsiden diberi kekuasaan untuk memperlakukan

ketentuan-ketentuan dalam "Vrije Arbeidsregeling" terhadap

majikan dan buruh asal dari residen itu sendiri di perusahaan per-

dagangan, perkebunan atau kerajinan, sesuatunya karena kedu-

dukannya yang terpencil atau keadaan lainnya yang disebutkan

dalam surat keputusan. Memperlakukan ketentuan-ketentuan itu

terhadap perusahaan yang termasuk perkebunan kecil (kleine land

- of tuinbouw) atau yang dipandang sebagai perusahaan kecil.

tidak dibolehkan.

Arbeidsregeling - Nijverheidsbedrijven (Peraturan Perburuhan

di Perusahaan Perindustrian), walaupun ditetapkan pada tanggal

13 Oktober 1941 (stbl 1941 No. 467), baru mulai berlaku nada

tanggal 1 Agustus 1948 (stbl 1948 No. 163), sehingga dengan

demikian hanyá berlaku bagi bekas daerah Negara Pre-Federal.


yaitu Sumatera Timur, Riau, Bangka-Belitung, Sumatera Selatan,

Kalimantan, Jakarta, Jawa Barat, Madura, Sulawesi, Maluku, Nusa

Tenggara, Belawan dan Sabang.

Peraturan ini hanya mengenai perusahaan kerajinan di luar

perusahaan kerajinan di luar Jawa dan Madura yang buruh-

buruhnya telah diatur dalamVrije Arbeidsregeling" tersebut di

atas. Peraturan ini juga tidak berlaku bagi perusahaan Negara

(versi 1941).

Dalam Arbeidsregeling - Nijverheidsbedrijven itu dimuat an-

tara lain sebagai berikut:

1Majikan wajib membayarkan upah yang menjadi hak buruh

pada waktu-waktu yang tertentu dan sekurang-kurangnya

pada

sebulan sekali.

2 Pemotongan terhadap upah yang berupa uang hanya boleh

dilakukan untuk:

a. pajak upah,

b. utang kepada majikan,

c. denda yang dijatuhkan majikan,

d iuran kepada dana yang memenuhi syarat yang ditetapkan

dalam undang-undang atau disetujui oleh Departemen

Perburuhan.

Pemotongan tersebut pada b, c, dan ditu jumlahnya tidak bo-

leh melebihi seperempat upah berupa uang dari buruh yang

bersangkutan sejak pembayaran upah yang terakhir.

3. Denda yang dijatuhkan dalam waktu tujuh hari, tidak boleh

melebihi sepersepuluh upah selama tujuh hari itu. Denda ini

tidak boleh digunakan untuk kepentingan majikan, baik lang-

sung maupun tidak langsung.

4. Majikan dilarang, langsung atau tidak langsung:

a. meminta bunga terhadap pinjaman atau persekot,


b. meminta pembayaran untuk pemakaian bahan dan alat atau

pemeliharaan barang itu atau sebagai bantuan untuk biaya

perusahaan,

C. menjual kepada buruh barang dengan harga yang lebih tinggi

dari harga setempat,

d. mewajibkan buruh agar upahnya, baik seluruhnya maupun

Sebagian, digunakan untuk keperluan yang tertentu, kecuali

dalam hal buruh secara sukare la ikut serta dalam dana

sebagai tersebut di atas,

Cneminta tanggungjawab dari seorang buruh atas kewajiban

buruh lain,

Jmenentukan upah buruh lain daripada berupa uang, kecuali

dengan izin Departemen Perburuhan.

DI mana majikan menyediakan perumahan bagi buruh, perumahan itu harus layak. Dalam hal ini
Menteri Perburuhan

berhak mengadakan syarat-syarat tertentu.

Pelanggaran atas kewajiban dan larangan itu, diancam dengan

pidana kurungan selamaMamanya sebulan atau denda setinggi.

tingginya seratus rupiah (= seribu lima ratus rupiah).

Pengawasan atas dijalankannya ketentuan tersebut di atas dan

pemberian bantuan dalam melaksanakannya serta pengusutan

pelanggaran, dilakukan oleh pegawai pengawasan perburuhan, di

samping pegawai pengusut pelanggaran biasa.

Aanvullende Plantersregeling (Peraturan Perburuhan di

Perusahaan Perkebunan, stbl 1938 No. 98 jo No. 136 No. 164)

hanya berlaku:

a. di perusahaan perkebunan yang luas tanahnya (arealnya)

sekurang-kurangnya 75 ha, termasuk perusahaan yang meru-

pakan bagian dari perusahaan perkebunan itu dan yang untuk

sebagian besar mengolah atau mengangkut hasil perkebunan

itu serta perusahaan pengolaharn atau pengangkutan hasil sendiri


yang merupakan bagian yang berdiri sendiri dari satu peru-

sahaan perkebunan atau lebih yang luas arealnya sedikit-dikitnya

75 ha.

b. bagi pengurus perkebunan dan mereka yang di bawah pim-

pinannya melakukan pimpinan atau pengawasan teknis atas

pekerjaan di kebun, di pabrik, di tempat-kerja atau di kantor

serta semua buruh yang secara teratur melakukan pekerjaan

di kebun, di pabrik, tempat-kerja atau di kantor dengan upah

sedikit-dikitnya seratus rupiah, kecuali para mandor, tandil,

tukang dan jurutulis Indonesia.

Peraturan ini antara lain memuat ketentuan, bahwa dalar.a hal

diadakan perubahan yang telah disetujui buruh dan yang sifatnya

mengurangi waktu berlakunya perjanjian-kerja, besarnya upah

berupa uang, besarnya pembagian keuntungan dan pensiun,

perubahan itu baru dapat dijalankan sesudah suatu jangka waktu

lampau yang lamanya sedikit-dikitnya sama dengan jangka waktu

yang ditetapkan sebagai dasar pemberian pesangon. Perubahan yang mengurangi lamanya waktu
cuti dan besarnya upah selama

euti itu, baru dapat dijalankan sesudah buruh yang bersangkutan

cekali lagi melakukan cuti dengan syarat yang lama.

Suatu kewajiban majikän yang dapat disebutkan di sini adalah

kewajiban untuk memberi perawatan dan pengobatan kepada bu-

ruh vang sakit atau mendapat kecelakaan, selama hubungan kerja

masih ada, tetapi selama-lamanya tiga bulan.

Algemene Bepalingen Spoor- en Tramwegen (Peraturan Umum

Kereta-Api dan Trem, stbl 1927 No. 258) menetapkan pada pasal

2 bahwa dalam perjanjian-kerja atau dalam peraturan-majíkan

dapat diadakan penyimpangan dari ketentuan tentang jumłah den-

da sebagai tertera pada pasal 1601 u ayat 4 Kitab Undang-undang

Hukum Perdata, dengan ketentuan bahwa tidak boleh ditetapkan

(diancamkan) suatu denda dan dalam satu bulan tidak boleh di-
mintakan denda yang jumlahnya lebih tinggi dari upah selama tu-

juh hari.

Kitab Undang-undang Hukum Dagang, Buku II Bab 4 ter-

utama diadakan untuk menampung keadaan yang khusus terjadi

di dunia pelayaran.

Suatu keistimewaan dalam undang-undang ini adalah bahwa

surat perjanjian-kerja merupakan unsur pembentuk, sehingga tiada

surat tiada perjanjian-kerja pula

Buruh yang telah melakukan pekerjaan di kapal tetapi tidak

memiliki surat perjanjian-kerja, tidak menerima upah. Dia hanya

akan menerima uang ganti-rugi yang besarnya sama dengan apah

andaikata ia memiliki surat perjanjian-kerja,

rentingnya hak atas upah atau hanya atas ganti-rugi ialah da-

1dm hubungan dengan pasal 316, yang memberi kedudukan isti

Cwa Kepada upah, tidak pula kepada uang ganti-rugi. Menurut

pasal itu upah nakhoda dan awak-kapal untuk mereka melakukan

Peherjaan di kapal, dapat diambilkan dari harga penjualan kapal

yang bersangkutan dan harus didahulukan dari biaya penjualan

(preferensi).

Dengan menjadikan surat sebagai unsur pembentuk perjanjiankerja-laut, Kitab Undang-undang


Hukum Dagang melampaui

maksud untuk melindungi buruh dan menciptakan keadaan yano

Justru merugikan buruh!

Sanksi vang keliru itu, oleh pembentuk undang-undang tidal

diulangi empat tahun kemidian sewaktu membentuk Aanvuliende

Plantersregeling, di mana sanksi atas tidak adanya surat perjanjian

kerja, adalah pidana kurungan atau denda bagi majikan.

Mengenai pekerjaan di kapal ini ada peraturan lainnya, vaitu

Voorschriften betreffende het indienstnemen van Indonesische

schepelingen aan boord van vreemde schepen 1et bestemming

naar het buitenland (Peraturan tentang mempekerjakan pelaut


Indonesia di kapal asing dengan tujuan ke luar negeri, stbl 1835

No. 29), yang mengadakan ketentuan bahwa seorang nakhoda

kapal asing yang akan belayar ke tempat di luar Indonesia hanya

dapat mengadakan perjanjian-kerja dengan seorang pelaut Indo-

nesia, dihadapan seorang syah bandar yang menguatkannya dan

memasukkannya dalam daftar-bahari. Syahbandar ini akan men-

jaga kepentingan buruh. Nakhoda antara iain harus berjanji me-

mulangkan pelaut itu ke tempat penerimaan atau ke tempat lain

yang disebut dalam perjanjian-kerja. Pemerintah dapat minta tang-

gungan perorangan atau jaminan uang untuk pemulangan buruh

itu pada waktunya.

Pelanggaran atau ketentuan mengenai pembuatan perjanjian-

kerja atau tidak memenuhi syarat-syarat dalam perjanjian, diancam

dengan denda sebesar tiga ratus rupiah (= empat ribu lima ratus

rupiah).

Dengan stbl 1948 No. 224 ketentuan di atas diberlakukan

terhadap kapal dan perahu indonesia dengan tujuan ke negara di

sebelah barat Tanjung Harapan; ataupun ke suatu pelabuhan di

daratan Asia atau Afrika, atau ke Madagaskar, Mauritius. Bour-

bon, Sri Lanka, Niew-Holland dan Van Diemensland.

Mengenai pekerjaan di panglong, Panglongreglement (Pera-

turan tentang Panglong, stb! 1923 No. 220) yang berkenaan dengan

penebangan penggergajian kayu dan pembakaran arang di " Afdcling Bangkalis", "onderafdeling
Indragiri-Ilir", "onder-afdeling-

onderafdeling Lingga, Karimun, Tanjung Pinang dan Jambi

memberi wewenang kepada kepala daerah untuk, setelah berun-

dina dengan Menteri Pertanian, mengadakan peraturan pelak-

sanaan.

Peraturan pelaksanaan untuk Sumatera T'imur ditetapkan dengan

Surat keputusan tanggal 18 November 1924 No. 520 (Panglongkeur

Soematra Oostkust = Peraturan tentang Panglong di Sumatera


Timur) dan untuk Riau dan Indragiri-llir dengan surat keputusan

tanggal 22 Maret 1929 No. 139 (Riouw-Panglongregeling =

Peraturan tentang Panglong di Riau, dimuat dalam Extra Bijvoegsel

Nc. 28 dari Javasche Courant tanggal 22 Maret 1929).

Dalam Panglongkeur Soematra Oostkust majikan diwajibkan

mengusahakan agar tempat-tinggal para buruh dan sekitarnya

senantiasa dipelihara dengan baik dan bersih. Kepada buruh harus

diberikan buku-pembayaran (tsuntu) di mana majikan harus

mencatat semua ikhwal upah. Atas biaya majikan selalu disediakan

perumahan (termasuk klambu), makanan dan perawatan dokter,

serta jika kebiasaan menghendakinya, pakaian bagi para buruh.

Buruh yang karena diperhentikan, sakit atau alasan lain yang sah,

hendak meninggalkan perusahaan, harus diberi kesempatan. jika

perlu dengan menyediakan alat pengangkutan ke tempat buruh itu

diterima. Jika buruh baik yang masih bekerja, maupun yang sudah

diberhentikan meninggal dunia, majikan harus menguburny a se

cara layak.

Kiouw Panglong regeling menambahkan ketentuan sebagai

berikut:

DI perusahaan harus senantiasa tersedia cukup banyak bahan

akanan. Tiap hari dengan cuma-cunma diberikan tiga kali makan

dan sedikit-dikitnya dua kali seminggu kacang ijo. Tempat tinggal

Duruh harus memenuhi svarat-syarat tertentu. Buruh yang sakKit

tadrus mendapat pengobatan dan perawatan yang baik. Barang

0arang yang dijual oleh majikan kepada buruh, harganya tidak bo-

melebihi jumlah yang telah dikeluarkan untuk itu oleh majikan.

Pada petang hari buruh tidak boleh diwajibkan melakukan pe

kerjaan.

Demikianlah beberapa peraturan mengenai hubungan-keria

yang terpenting.

S5. PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA


Scal yang sangat penting bahkan yang terpenting bagi buruh da-

lam masalah perburuhan, adalah soal pemutusan atau pengakhir-

an hubungan kerja.

Berakhimya hubungan-kerja bagi buruh berarti kehilangan mata-

pencaharian, merupakan permulaan dari segala kesengsaraan.

Menurut teori memang buruh berhak pula untuk mengakhiri

hubungan-kerja, tetapi dalam praktik majikanlah yang mengakhiri-

nya. sehingga pengakhiran itu selalu merupakan pengakhiran

hubungan-kerja oleh pihak majikan,

I. PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA OLEH MAJIKAN

Untuk dapat melayani masalah ini dengan lebih seksama, marilah

kita ikuti laporan Kantor Organisasi Perburuhan Internasional.

Cara-cara yang dianut pada pemutusan hubungan-kerja oieh

majikan itu, merupakan aspek yang sangat penting dalam hubungan-

kerja, karena aturan dan praktik yang dilakukan dalam hal pem-

berhentian (dismissal) atau penghematan (lay-off), mempengaruhi

kepentingan vital dari majikan dan buruh.

Adalah dapat dimengerti, karena majikan itu bertanggung-ja-

wab atas jalannya baik dan efektif dari perusahaannya, dia itu

ingin mempertahankan kekuasaannya, kebebasannya sebanyak-

banyaknya untuk mengambil keputusan tentang soal-soal yang8

mempengaruhi jalannya baik perusahaannya itu. Dia ingin menge

lakkan tiap kewajiban untuk menuruti suatu cara yang akan me-

rugikan jalan baik perusahaannya. Hal ini tidak hanya mengenai soal rencana produksi, permodalan,
penjualan dan sebagainva,

tetapi juga mengenai jumlah buruh yang dipekerjakan dan soal

memilih buruh satu per satu. Berdasarkan alasan ekonomis itu,

maiikan menghendaki kebebasan yang maksimum dalam mem-

perhentikan buruh, jika ia tidak puas dengan pekerjaan buruh itu

atau keadaan perusahaannya membenarkan pengurangan buruh.

Adalah jelas bahwa jika majikan diharuskan untuk menahan


seiumlah buruh yang lebih besar dari seperlunya, dia mungkin ti-

dak lagi mampu untuk mempertahankan keseimbangan keuangan

dalam perusahaannya.

Buruh melihat soal pengakhiran ini dari sudut yang berlainan.

Dia mempunyai kepentingan langsung dan vital untuk tetap

mempunyai pekerjaan, yang acap kali merupakan satu-satunya

sumber pendapatan (mata pencaharian) baginya dan keluarganya.

Juga dalam hal buruh itu mungkin mendapatkan pekerjaan lain

yang sama lumayan upahnya, pertimbangan non-ekonomis seperti

usianya, letak rumahnya, kepuasan yang didapat dalam pekerjaan

atau kesetiaannya pada perusahaan dan pada masyarakat setem-

pat umumnya, dapat mempengaruhinya untuk lebih menyukai pe-

kerjaan yang lama. Karena alasan-alasan inilah, buruh pada umum-

nya sangat berkepentingan akan adanya kepastian tetap bekerja

job security).

Prosedur pemberhentian dan penghematan dengan sendirinya

harus dilihat dengan latar belakang ekonomi umumnya darı negara

yang bersangkutan. Akibat pengakhiran hubungan-kerja adalah

Sangat berbeda-beda berhubung dengan adanya cukup lapangan

pEkerjaan atau sebaliknya dengan berkurangnya lapangan pe-

t dlau pengangguran. Di sini tidak akan dipersoalkan usaha

Cnajukan penempatan tenaga. Uraian ini hanya mempersoai

asalah buruh kenilangan pekerjaan dan bukan masalah apa-

kat

Adn dia akan mendapat atau tidaknya pekerjaan lain.

o0pemutusan hubungan-kerja juga ada hubungannya dengan

ntuan tentang adanya jaminan pendapatan (income security)

Dagi buruh yang kehiiangan pekerjaan.

Sepanjang pendapatan yang terjamin itu berdasarkan pada

aturan yang uangnya langsung dibayar oleh majikan kepadá buruh

seperti pesangon (severance allowance), pembayaran semacam


itu dapat dipandang sebagai suatu aspek dari hubungan-kerja itu

sendiri. Sebaliknya jaminan pendapat yang diberikan oleh suatu

cabang pertanggungan sosial adalah di luar uraian ini.

Peraturan yang memuaskan mengenai prosedur pemuttusan

hubungan-kerja harus memperhatikan kepentingan majikan dan

buruh serta mengadakan penyelesaian yang layak dan praktis,

Pemerintah mempunyai kepentingan langsung dalam peratur.

an semacam itu. Ia adalah bertanggungjawab atas penetapan ke-

tentuan-ketentuan untuk mencegah gangguan-gangguan dalam

proses ekonomi dan ketertiban umum serta untuk memberi per.

lindungan yang layak kepada pihak yang ekonominya lebih lemah.

Pendapat umum menghendaki supaya pemutusan hu-

bungan kerja oleh majikan memenuhi syarat-syarat tertentu.

Syarat-syarat itu adalah misalnya tenggang waktu pernyataan

pengakhiran (opzeggingstermijn, periods of notice), dasar-dasár

untuk memilih buruh manakah yang akan diberhentikan atau dihe-

mat atau cara-cara nendapatkan pertimbangan atau perundingan

sebelum pemutusan boleh dilakukan.

Dalam peraturan dapat dimintakan alasan-al.san untuk pem-

berhentian dan seringkali diadakan larangan pemberhentian dalam

hal-hal lain. Kadang-kadang disyaratkan pemberian pesangon (sev-

erance allowance), menunjukkan jalan bagi buruh yang diper-

ientikan itu untuk dapat dipekerjakan kembali dan memberi buruh

itu hak-hak ktusus untuk membantunya mendapatkan pekerjaan

baru.

Semua itu menunjukkan ke jurusan: perlindungan yang makin

meningkat bagi buruh terhadap kehilangan pekerjaan. Memang

kita harus memberi kepada kaum buruh kepastian yang lebih baik

akan kedudukan materiil, untuk melindunginya terhadap ke-tidak-

tetapan pekeriaan dan kemudian terhadap ketidak-pastian pen-

dapat.
Ketetapan dalam suatu hubungan-kerja yang tertentu, meng-

gambarkan di

ambarkan di bidang perburuhan, pendirian modern, bahwa pe-

kerjaan tidak dapat dipandang sebagai barang dagangan semata

Seluruh kehidupan buruh dan keluarganya bergantung pada

pekerjaannya itu.

Negara di mana perundang-undagan merupakan sumber

utama bagi pengaturan prosedur pemutusan hubungan-kerja itu -

walaupun kadang-kadang dilengkapi dengan perjanjian-perburuh-

an-adalah sebagai contoh saja: Argentina, Austria, Belgia, Jepang,

India, Indonesia, Irak, Iran, Malaysia, Nederland, Pakistan,

Prancis, Philipina, Republik Federasi Jerman, Republik Malagasi.

Republik Persatuan Arab, Swis, Tunisia, Turki, Vietnam Selatan

dan Yugoslavia.

Sebaliknya, perjanjian-perburuhan - kadang-kadang ber-

gandengan dengan prinsip-prinsip yang berkembang dalam hu-

kum kebiasaan - adalah sumber utama bagi pengaturan di Ame-

rika Serikat, Denmark, Inggris Raya, Kanada, Swedia dan lain-

lain.

Denmark dan Luxemburg adalah antara lain negara di mana

sebagian besar kaum buruh dikuasai oleh ketentuan-ketentuan

dalam perjanjian-perburuhan, tetapi mempunyai perundang-

undangan yang memuat aturan pemberhentian bagi pegawai

perusahaan (sale ried employees).

Di Australia dan Selandia Baru sumber utama bagi ketentuan

tentang pengakhiran hubungan-kerja adalah putusan-pulusan

arbitrase.

Sumber penting lainnya bagi ketentuan tentang pemberhentian

Gan penghematan adalah peraturan-majikan (reglement, work-

rules), terdapat di banyak negara, yang seringkali memuat keten-

uan tentang pemberhentian sebagai hukuman atau pemberhen


tian karena kelebihan buruh.

Dalam praktik, di kebanyakan negara soal pemberhentian dan

penghematan diatur bersamaan oleh ketentuan dalam perundang-

undangan, per

undangan, peraturan administrasi (administrative, regulation), perjanjian-perburuhan, peraturan-


majikan dan perjanjian-kerja

dilengkapi dengan putusan-putusan pengadilan. kebiasaan, ke.

bijaksanaan perusahaan dan praktik pimpinan kepegawaian.

. PEMBERHENT1AN PERORANGAN

Syarat yang harus dipenuhi dan prosedur yang harus ditempuh

dalam pemberhentian buruh merupakan penjelmaán dari falsafah

umum mengenai hakekat hubungan-kerja dan karena itu meno.

alami penubahan dan kemajuan yang berarti selama seabad yang lalu

Di mana dalam alam liberal pada abad yang lalu, hubungan-

kerja dipandang sebagai perjanjian yang secara bebas diadakan

antara pihak-pihak yang sama kuat kedudukannya, dengan tujuan

menukar pekerjaan dengan pembayaran dan karena itu dianggap

sama saja dengan tiap perjanjian lainnya yang jangka-waktunya

tidak ditentukan seperti khususnya sewa-menyewa (lihat Kitab

Undang-undang Hukum Perdata Indonesia pasal 1601 lama sampai

dengan 1603 lama), maka pandangan yang baru ini menitik-be-

ratkannya pada hakekat yang khas dari hubungan-kerja. Dan ciri-

ciri yang khas itu terletak pada unsur perikemanusiaan. yang

menghendaki perlindungan istimewa bagi buruh sebagai pihak yang

ekonominya lebih lemah dan membedakan hubungan-kerja ka

rena hakekatnya itu dari hubungan-hubungan lainnya yang

mengandung hak dan kewajiban timbal-balik.

Perkembangan itu terutama nampak dalam ketentuan-ketentuan

yang mengatur pengakhiran hubungan kerja.

Pada zanan liberalisme ekonomi pada abad yang lalu, dike-

hendaki sesuai dengan filsafat umum pada waktu itu, pembebasan


hubungan-kerja dari segala pembatasan dan pengakuan suatu asas

bahwa majikan dan buruh haruslah mutiak bebas untuk menga-

dakan hubungan-kerja berdasarkan perjanjian atau bahwa

hubungam-kerja ini dapat diakhiri tiap waktu oleh tiap pihak.

A sas ini dalam bentuk-bentuk yang tertentu masuk menjadi

hukum di kebanyakan negara di Eropa sclàma lima puluh tahun

terakhir dari abad yang lalu.

Satu-satunya kewajiban berkenaan dengan pengakhiran h-

bungan-kerja. yang dipikulkan kepada kedua belah pihak oleh inu-

kum di sejumlah negara, adalah untuk memperhatikan tenggang

waktu pernya:aan pengakhiran.

Tetapi maksud dart Ketentuan tu rupa-rupanya bukanlah

kehendak untuk melindungi buruh, sebab ketentuan semacam it

merupakan syarat Khas bagi tiap hubungan kontraktuil yang jangka

waktunva tidak ditentukan, Seperti misalnya sewa-menyewa; dar

agi pula tenggang iWaktu permyataan pengakhiran ittu lamanya sama

bagi kedua belah pihak pada perjanjian-kerja itu.

Tetapi berangsur-angsur diakui, bahwa kesamaan yang di-

pandang ada antara majikan dan buruh scbagai pihak-pihek pada

hubungan-kerja yang diadakan secara bebas itu, tidaklah sesuai

dengan kenyataan di bidang ekonomi dan bahwa biuruh sehagai

pihak yang lebih lemah membutuhkan perlindungan lebih lan-

jut terhadap penderitaan karena kehilangan pekerjacan. Ka

rena itu maka diadakan ketentuan lebih lanjut yang memperpan-

jang jangka waktu pernyataan pengakhiran untuk golongan-go-

longan tertentu, terutama untuk buruh-bukan-pekerja-tangan. (bu-

ruh halus) dan buruh yang sudah agak tua, mengadakan ganti-rugi

karena pemberhentian (dismissal compensation) atau pesangon

(severance allowance), mengadakan aturan pertanggungan scsia

dan sebagainya.

Akan tetapi semua prosedur dan pembayaran itu tidak mem-


pengaruhi asas liberal bahwa majikan harus mutlak bebas untuk

mengadakan pemberhentian dengan tidak berkewajiban untuk

menjelaskan atau membuktikan kelayakan dari tindakannya Ilu.

dsal ada mengikuti prosedur yang ditetapkan (terutama keharusain

engindahkan tenggang waktu pernyataan pengakhiran) dan

CiDayar sejumlah uang menurut peraturan yang berlaku

2 ALASAN PEMBERHENTIAN

Ocbenamya baru-baru saja belum lama berselang bahwa ketentuan

berhentian buruh berkembang menjadi tidak hanya terbatas pada mengadakan keringanan
penderitaan buruh yang telah atau

akan diperhentikan, tetapi juga membatasi atau mengekang ke

bebasan majikan untuk melakukan pemberhentian, seperti

pertama-tama melarang pemberhentian karena alasan-alasan

tertentu dan kemudian menetapkan suatu asas yang lebih umum,

yaitu bahwa riap pemberhentian harus berdasarkan alasan

yang membenarkan pemberhentian itu.

Kesimpulan yang lazim dari asas itu ialah bahwa seorang bu-

eh yang diperhentikan harus berhak untuk menentang pem.

berhentianmya atas dasar bahwa pemberhentiannya itu tidak

beralasan, melalui cara pengaduan dan jika perlu melalui penga-

dilan, badan arbitrase atau badan lainnya yang tak memihak atau

badan kerja-sama yang berwenang memeriksa dan mengambil

putusan terhadap soal yang dijadikan alasan pemberhentian.

Dengan kata lain, di makin banyak negara terdapat perkem-

bangan tertentu menuju kepada pengakuan suatu asas bahwa

buruh berhak terus-tetap-pada-pekerjaannya, kecuali bila

ada alasan yang membenarkan pemberhentianmya.

Bentuk ketentuan di negara-negara yang mengandung asas

umum tersebut, sangatlah berlain-lainan.

Di sejumlah negara asas ini dimuat dalam peraturan perundang-

undangan dan patokan yang ditetapkan dengan putusan pengadilan,


sedang di negara lainnya asas itu hanya diketemukan dalam

perjanjian-perburuhan atau dalam peraturan-majikan. Di negara

lainnya lagi pengakuan asas merupakan semata-mata soal praktik

yang sudah berjalan (hukum kebiasaan).

Perumusan kata "beralasan" sangat berbeda-beda di satu

negara dan negara lainnya dan seringkali juga di satu perusahaan

dan perusahaan lainnya.

Kadang-kadang peraturan yang berlaku menyebutkan satu demi

satu alasan yang dipandang sebagai alasan yang benar atau se-

baliknya mengadakan perumusan dari apa yang dimaksud dengan

tidak beralasan". Kadang-kadang peraturan itu hanya memuat

asasnya secara umum bahwa pemberhentian yang 'idak beralasan, atau mengakibatkan suatu sanksi
terhadap majikan yang salah.

melampaui batas atau karena kesalahan iainnya, adaiah dilarang

Perumusan asas itu lebih lanjut dalam hal yang konkrit diserah-

kan kepada putusan pengadilan atau. arbitrase.

Ada juga negara di mana pemberiientian tidak boleh dilakukan

kecuali sesudah dirundingkan atau disetujui oleh yarg ber-

waiib atau badan perwakilan dari biuruh-buruh; prosedur ini

bjasanya juga membolehkan pemeriksasn terhadap scbab vang

dipakai untuk pemberhentian itu.)

Dalam perundang-undangan Norwegia misalnya, seorang

majikan yang memperlihatkan dengan tidak beralasan (alasan yang

tepat) seorang buruh yang telah dipekerjakan uintuk sekurang-

kurangnya dua tahun tanpa terputus-putus di suatu perusahaan,

sesudah mencapai usia 20 tahun har:as membayar ganti-rugi atau

harus menempatkannya kembali. Alasan yang tepat dirumuskan

pada pasal 43 Undang-undang Per:indungan Perburuhan i956

(Labour Protection Act) sebagai alasan yang melekat tak

terpisahkan dari keadaan pemilik perusahaan, buruh ctau

perusahaan itu sendiri ( di Indones ia disebut; alasan penting).


Sejumlah besar putusan yang te iah dikeluarkan pengadilars

mengatakan pada umumnya bahwa pemberhentian dipandang

sebagai beralasan, jika pemberhentian itu dilakukan setelah n:e-

ninjau secara mendalam syarat-sy.rat untuk nenjaiankan per-

usahaan. Alasan diterima sebagai benar dalam putusan pengadil

an adalah rasionalisasi, menurunnye hasil produks peianggaran

disiplin, acuh-tak-acuh, usia-tinggi, se ring mangkir, sakit dalam hal-

hal tertentu dan sebagainya.

Di Republik Federasi Jerman, pemberhentian yang secara sS-

Sial tidak adil, adalah tidak sah. Asas ini dimuat dalam undang

unaang tentang mengadakan perlincdungan terhadap pemberhen

uan yang sosiai tidak dapat dipertanggungjawabkan (unwarrented dismissal) tertanggal 10 Agustus
1951, yang hanya berlaku bagi

Ouruh berusia 20 tahun atau lebih yang telah terus-menerus di-

pekerjakan pada tempat-kerja atau perusahaan selama lebih dari

dua tahun dan hanya bagi perusahaan atau kantor yang biasanya

mempekerjakan lebih dari lima orang buruh, tidak terrmasuk para

magang. Pemberhentian yang sosial tidak dapatdipertanggung-

jawabkan (socially unwarrented) dirumuskan dalam undang-un-

dang itu sebagai "pemberhentian tidak berdasarkan alasan yang

berhubungan dengan pribadi atau tingkah-laku buruh atau ber-

dasarkan keperluan jalannya perusahaan yang mendesak, yang

menghalang-halangi kelanggengan bekerjanya buruh di perJ-

sahaan.

Menurut sejumlah besar putusan pengadilan yang memberi

tafsiran terhadap ketentuan itu, alasan yang berhubungan dengan

pribadi buruh adalah misalnya, tidak cukup kemampuan badaniah

atau rohaniah, tidak ada keahlian, ketidak-mampuan menerima

latihan yang diperlukan untuk pekerjaannya dan keadaan sakit

yang tertentu.

Alasan yang berhubungan dengan tingkah-laku buruh adalah


tidak dapat dipercaya, acuh-tak-acuh, berkelakuan tidak baik dan

sebagainya.

Akhirnya alasan yang berdasarkan keperluan jalannya peru-

sahaan yang mendesak adalah misalnya, tak adanya pesanan atau

bahan baku, kekurangan batu-bara atau listrik, tindakan ra-

sionalisasi. perubahan dalam cara produksi, penutupan bagian dan

sebagainya.

Undang-undang tentang Peraturan Kerja (Works Constitution

Act) dari tahun 1952 menetapkan bahwa majikan harus juga

nemberitahukan kepada dewan buruh-dewan terdiri atas wakil-

wakil buruh dari tempat-kerja itu - tiap pemberhentian yang

dikehendaki dan alasannya serta harus minta pendapat dewan

dalam jangka waktu yang layak. Maksud konsultasi semacam itu

adalah agar antara pimpinan dan wakil-wakil buruh diadakan

pembicaraan menuju kepada pemeriksaan dan pertimbangan mengenai berbagai aspek persoalan. I
etapi majikan tidak ierikat

oleh pendapat dewan buruh tersebut.

Di Prancis. Kitab Undang-undang Hukum Perburuhan (L.abour

Code) menetapkan pada pasal 23 Buku I, bahwa pengakhiran

hubungan-kerja secara melampaui batas (abusive) oleh salah satu

pihak dapat menimbulkan kerugian.

Karena dalam undang-undang tidak terdapai perumusan ten

tang apakah yang dimaksud dengan pemberhentian yang "me.

lampaui batas", pengadilan telah mengeluarkan kumpulan putus-

an. baik mengenai alasan yang menunjukkan pemberhentian itu

melampaui batas, maupun alasan yang menunjukkan. sebalikntya.

Alasan yang termaksud belakangan ini, yang membenarkan

pemberhentian, adalalh pengurangan personil sebagai akibat dari

reorganisasi, penutupan tempat-kerja, kelakuan yang sangat buruk.

tidak vakap dalam pekerjaannya, sakit yang diperpanjang dan

sebagainya.
Periu diterangkan di sini pula bahwa di Prancis peraturan dari

tanggal 24 Mei 1945 mewajibkan supaya pemberhentian disahkan

oleh kanior penempatan tenaga setempat. Walaupun kantor itu

hunya dapat mempertimbangkan akibat ekoncmi yang mungkin

timbul dari pemberhentian yang diajukan itu, namun pengesahan-

nva harus dimintakan untuk semua soal pemberhentian, termasuk

pemberhentian karena alasan yang berhubungan dengan pribadi

dan tingkah-laku buruh yang bersangkutan.

etapi rupa-rupanya prosedur ini adalah pada umumnya formił

belaka dan tidak merupakan pengekangan yang berarti ierhadap

pemberhentian yang semena-mena.

Asas bahwa pemberhentian dapat "melampaui batas, dalam

hal mana buruh yang bersangkutan berhak atas ganti-rugi. diteri-

ld pula dalam perundang-undangan Belgia akan tetapi pengadil-

an menafsirkannya secara terbatas. Lagi pula menurut perundang-

undangan Belgia pegawai penempatan tenaga diberi kesempatan

untuk menyelidiki pemberhentian dari surat keterangan yang ha-

us diberikan majikan kepada buruh yang diperhatikan dan di mana majikan harus memuat alasan
pemberhentian itu. Dalam praktik

pegawai penempatan tenaga itu dapat mempertimbangkan majikan

untuk membatalkan pemberhentian yang alasannya tidak cukup

dan jika majikan menerima saran itu, maka buruh ditempatkan

kembali

Menurut pasal 1639 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Nederland sebagai diubah pada tahun 1953, seorang buruh dapat

diberi ganti-rugi atau dengan syarat tertentu, ditempatkan kembali

bila ia diperhentikan dengan cara yang jelas tidak layak (mani-

festly unreasonable).

Sesuai dengan ketentuan undang-undang itu, pemberhentian

dapat dipandang sebagai jelas tidak layak:

jika antara lain tidak menyebut alasannya atau


jika alasannya itu adalah dicari-cari (pretext) atau alasan palsu.

jika akibat pemberhentian itu bagi buruh adalah lebih berat

daripada keuntungan pemberhentian itu bagi majikan, atau

jika buruh diperhentikan bertentangan dengan ketentuan dalam

Lundang-undang atau kebiasaan mengenai susunan staf atau

aturan ranglijst (seniority rules), dan tidak ada alasan penting

untuk tidak memenuhi ketentuan-ketentuan itu.

Dalam praktik campur-tangan kantor penempatan tenaga yang

harus mengesah kan pemberhentian dan karena itu berwenang

menyelidiki alasan pemberhentian yang diajukan itu mempunyai

pengaruh besar dalam mencegah pemberhentian yang tidak ber-

alasan.

Di Swedia di mana tidak ada perundang-undangan mengena

pemberhentian, soal alasan pemberhentian itu diatur dalam per

janjian-dasar yang diadakan antara konfederasi majikan Swedia

dan konfederasi serikat buruh Swedia pada tahun 1938.

Perjanjian-dasar itu menetapkan bahwa majikan yang hendak

memperhatikan buuh yang sedikit-dikitnya telah mempunyai masa-

kerja sembilan bulan, harus memberitahukannya kepada wakil

serikat buruh setempat. Jika dengan perundingan itu tidak tercapal

penyelesaian. soa! itu akhirnya dapat diserahkan kepada Dewan Pasar Kerja (Labour Market Board) -
badan kerjasama'yang

diadakan berdasarkan perjarnJ1an-dasar itu- yang harus berusaha

unfuk mendapatkan gambaran yang jelas berdasarkan fakta-fakta

dari semua ikhwal pemberhentian ifu dan yang dalam menilai

persoalan itu harus mempertimbangkan dengan seksama, baik

iumlah produksi yang erdapat karena keahlian dan kemampuan

nara buruh yang dipekerjakan, maupun kepentingan yang layak

dari buruh-buruh untuk tetap bekerja. Jika sebagian besar anggota

dewan itu berpendapat bahwa majikan harus menempatkan buruh

kembali dan membayar kepadanya ganti-rugi, maka dewan boleh


mengajukan saran demikian. Walaupun saran sedemikian itu me-

nurut hukum tidak mengikat, namun majikan biasanya mene-

rimanya.

Seperti di Austria, prosedur ini hanya dapat digerakkan oleh

serikat buruh, tidak juga oleh buruh perseorangan.

Penetapan semacam ini terdapat pula dalam perjanjian-dasar

yang diadakan pada tahun 1957 antara Konfederasi Majikan Swedia

dengan Serikat Pekerja Tata-usaha dan Teknik di Industri Swedia

(Swedish Union of Clerical and Technicai Employees in Indus-

try).

Di Denmark persoalan pemberhentian yang tidak beralasan

diatur pula dalam perjanjian-dasar antara pusat konfederasi ma-

Jkan dan pusat konfederasi buruh. Perjanjian-dasar ini menyebu-

kan bahwa pemberhentian tidak boleh dilakukan dengan semena-

ena. Seorang buruh yang telah mencapai usia 20 tahun dan yang

Dekerja di perusahaan untuk sekurang-kurangnya satu tahun, da-

pat mengadu kepada serikat buruh, bila ia memandang pem-

Derhentiannya sebagai tidak beralasan. Jika perundingan langsung

ara serikat buruh dan majikan, pertama-tama di tempat kerja

ddn Kemudian antara organisasinya masing-masing, tidak menda-

Pat persetujuan, maka persoalan itu dapat diajukan kepada dewan

tap terdiri atas dua orang wakil dari kedua pihak dan seorang

ua yang tak-memihak. Bila dewan berpendapat bahwa pem-

rhentian itu adalah tidak layak dan tidak dibenarkan oleh halikhwal dari buruh atau dari perusahaan,
maka dewan boleh

boleh

Imenetapkan bahwa majikan harus membayar ganti-rugi kepada

buruh itu.

Di Inggris Raya, asas bahwa pemberhentian harus beralasan

tidaklah ditetapkan dalam perundang-undangan dan tidak juga da-

lam perjanjian perburuhan. Tetapi dalam praktik pencegah yang


sangai penting bagi pemberhentian yang semena-mena atau semau

najikan, adalah adanya serikat buruh. Dalam banyak industri dan

perusabaan, kekuasaan majikan untuk memperhentikan, ditahan

karena ketakutan pada pembalasan dalam bentuk pemogokan atau

tekanan ekonomi lainnya dari pihak serikat buruh.

Asas bahwa pemberhentian hanya boleh didasarkan pada

alasan tertentu yang telah ditetapkan, dikenal puia di negara-ne-

gara Eropa Tengah dan Tinmur yang mempunyai sistem ekonomi

berencana. Di negara yang sudah mensistimatisir perundang-

undangan perburuhannya, Kitab Undang-undang Hukum Perbu-

ruhan mengadakan suatu daftar lengkap (exhausted) alasan-alasan

sehingga buruh dapat diberhentikan misalnya:

pengurangan buruh,

penundaan pekerjaan,

- tidak cakap,

pelanggaran disiplin,

pelanggaran kejahatan,

sakit yang diperpanjang dan

-mangkir tidak sah.

Di Cckoslowakia persetujuan terlebih dahulu dari Bagian

Perburuhan dari komite rakyat setempat (district people's com-

mittee) diharuskan untuk semua pemberhentian, kecuali untuk

pemberhentian mendadak.

Persoalan memberi alasan pada pemberhentian timbul dalam

bermacam-macam keadaan di Yugoslavia di mana di bawah sistemn

"pimpinan perusahaan oleh buruh-buruh", pengakhiran hubungan-

kerja oleh perusahaan merupakan tindakan, di mana suatu kesa

tuan yang terdiri atas senmua buruh dalam perusahaan, menetapkan untuk memutuskar
hubungannya dengan salah seorang

anggotanya.

Dalam kenyataannya, pemberhentian seperti tiap tindakan


lainnya yang penting mengenai pimpinan perusahaan, harus di-

tetankan oleh badan yang bersangkutan yang anggota-anggotanya

dipilih oleh buruh-buruh sendirI, yaitu dewan buruh atau komite

pengakhiran hubungan-kerja dari dewan itu.

Mahkamah Agung sendiri belum mengadakan putusan terakhir

sampai di mana pengadilan-pengadilan dapat memeriksa ke-

:nanfaatan (merits) dari penetapan semacam itu yang diambil oleh

dewan buruh.

Asas bahwa pemberhentian harus didasarkan pada alasan

yang membenarkan tindakan itu, diterima secara luas juga di

Amerika.

Asas itu dimuat dalam sebagian besar perjanjian-perburuhan

di Kanada dan Amerika Serikat.

Mengenai Amerika Serikat ini perlu dicatat bahwa perjanjian-

perburuhan ini hanya meliputi kurang dari separoh seluruh buruh.

Karena tidak ada perundang-undangan mengenai soal ini, maka di

mana tidak ada perjanjian-perburuhan yang berlaku yang mem-

batasi haknya atau di mana perjanjian-kerja tidak memuat keten-

tuan khusus, majikan masih agak bebas mengakhiri perjanjian-

kerja dengan buruhnya semaunya sendiri.

Menurut ketentuan dalam perjanjian perburuhan tersebut di

atas, pemberhentian yang direncanakan harus memenuhi syarat

alasan yang benar.

Perlu ditekankan di sini bahwa di kedua negara ini pember-

la pengurangan personil karena alasan yang berkenaan

nentian biasanya berarti pengakhiran hubungan-kerja karena alasan

yang ditimbulkan (attributable to) buruh itu sendiri dan bahwa da-

gan penyelenggaraan perusahaan, prosedur menurut aturan

aalam perjanjian-perburuhan itu disebut penghematan (lay-oft).

Alasan-alasan yang membenarkan pemberhentian dapat dise-


Dut satu demi satu dalam perjanjian-perburuhan atau hanya ditetapkan sebagai ketentuan umum
yang melarang pemberhen.

tian jika tiada alasan yang tepat.

Seorang buruh boleh menentang keputusan pemberhentian

dengan perantaraan serikat buruhnya melalui prosedur pengadaan

yang dimuat dalam perjanjian-perburuhan, yang biasanya memuat

Juga ketentuan yang memungkinkan diadakannya keputusan yang

mengikat oleh seorang juru pemisah yang tak memihak sebagai

tindakan terakhir.

Di Afrika, asas bahwa pemberhentian harus didasarkan atas

alasan yang benar, dimuat dalam perundang-undangan sejumlah

negara.

Undang-undang yang berlaku di Republik Malagasi memuat

ketentuan bahwa pemberhentian yang melampaui batas (abusive

dismissal) dapat memberi hak kepada buruh atas ganti-rugi (dam-

ages).

Pengadilan yang berwenang, memeriksa alasan dan keadaan

di sekitar pemberhentian itu agar dapat menetapkan melampaui

batas atau tidak.

Dalam un dang-undang pemberhentian yang melampaui batas

dirumuskan sebagai antara lain tiap pemberhentian tanpa alasan

yang wajar (legitimate).

Dalam praktik pengadilan di berbagai negara menafsirkan dan

memperlakukan ketentuan tersebut dalam sejumlah besar putusan

yang didasarkan pada keadaan di sekitar tiap perkara yang ber-

sangkutan sehingga tidak mudah disimpulkan dalam suatu

perumusan.

Di Libia menurut pasal 12 Kitab Undang-undang Hukum

Perburuhan dari tahun 1957, tiap buruh yang merasa bahwa 1a

diperhentikan secara tidak wajar, dapat mengadu kepada instansi

perburuhan yang berusaha untuk menyelesaikan persoalan itu. Ji-


ka tindakan semacam itu tidak berhasil, soal itu dapat dibawa ke

muka pengadilan yang. jika membenarkan tuntutan buruh, dapat

memerintahkan pembayaran ganti-rugi (compensation) kepada

buruh yang diperhentikan. Undang-undang itu tidak merumuskan Keadaan yang menentukan bahwa
pemberhentian itu adalah tidak

lacan. sehingga dengan demikian menyerahkan penafsiran

istilah itu kepada pengadilan.

Suatu ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Per

trthan tahun 1959 dari Republik Persatuan Arab menetapkan

hahwa buruh yang diperhentikan dengan tidak beralasan dapat

mengajukan persoalannya kepada instansi pemerintahan yang

hervenang yang, jika tidak mencapai penyelesaian secara damai,

dapat membawa tuntutan buruh kepada pengadilan. Jika buruh

dibenarkan, pengadilan memerintahkan majikan supaya membayar

ganti-rugi.

Tidak terdapat petunjuk dalam Kitab Undang-undang Hukum

Perburuhan mengenai dasar dan syarat (criteria) yang membo-

lehkan pengadilan memutuskan bahwa pemberhentian adalah ti-

dak beralasan.

Di Tunisia undang-undang menetapkan bahwa buruh yang

merasa bahwa pemberhentiannya adalah melampaui batas (abu-

sive) boleh menuntut majikan untuk ganti-rugi.

D Maroko, juga pemberhentian yang melampaui batas dapat

mengakibatkan pembayaran ganti-rugi.

Undang-undang dari tahun 1913 tentang perjanjian selanjutnya

menegaskan bahwa pengadilan dapat menyelidiki keadaan di se-

kitar pemberhentian itu, agar dapat memastikan bahwa pember

hentian itu adalah melampaui batas.

DI negara-negara Asia, asas bahwa pemberhentian harus

ddasarkan pada alasan yang benar, masih kurang merata, tetapi

Tclah ada beberapa contoh yang menunjukkan kesadaran Vang


meningkat akan persoalan ini.

D india mnisalnya, pengadilan arbitrase mempunyai wewena:"g

Chgetahui alasan di belakang pemberhentian agar dapat

Cmperiimbangkan apakah tindakan majikan itu beritikad baik.

ad-naunya atau ia bertindak dengan kekejaman yang iida

perlu.

DPakistan juga pengadilan dapat memeriksa kebenaran suaiu pemberhentian dan dapat memberi
keringanan yang sepadan.

Dilndonesia, undang-undang mengharuskan majikan terlebih

dahulu minta izin untuk pemberhentian dengan mengajukan alasan-

alasannya kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan

Pada umumnya izin dapat diberikan bila alasan pemberhentian itu

adalah karena buruh telah melanggar hukum atau merugikan

perusahaan. Di berikan beberapa contoh tindakan yang melang-

gar hukum dan merugikan perusahaan itu.

Di Jepang, Philipina dan Singapura, perjanjian-perburuhan

kadang-kadang menetapkan bahwa pemberhentian hanya boleh

dilakukan karena alasan-alasan tertentu yang dipandang sebagai

alasan yang benar..

Di kebanyakan negara lainnya dan daerah jajahan di dunia,

peraturan umum mengenai prosedur pemberhentian yang di-

tetapkan dengan undang-undang åtau perjanjian-perburuhan tidak

meliputi asas bahwa pemberhentian harus beralasan. (lihatlah

misalnya KUH Per. ps 1603 n dan ps 1603 q dahulu).

ini berarti bahwa memperhatikan tenggang waktu pernyataan

pengakhiran dan kadang-kadang pembayaran pesangon (sever-

ance allowance) adalah biasanya satu-satunya usaha untuk me-

ringankan akibat pemberhentian bagi buruh yang bersangkutan.

Menurut peraturan itu seorang majikan yang memenuhi sálah satu

atau kedua kewajiban itu sesuai dengan patokan yang berlaku,

telah memenuhi syarat yang dimintakan daripadanya; keputusan


terakhir untuk mengakhiri hubungan-kerja tetap ada pada majikan

dan biasanya tidak dapat ditentang.

Berhubung dengan itu, maka di negara-negara itu, terutama di

Afrika dan Asia, seperii halnya di kebanyakan negara dengan

industri yang telah maju beberapa puluh tahun yang lalu, tekanan

yang terpenting diletakkan pada perbedaan antara pemberhentian

dengan pernyataan pengakhiran (dengan atau tidak dengan alasan) dan pemberhentian tanpa
pernyataan pengakhiran atau pem-

herhentian yang dipercepat karena alasan-alasan tertentu yang

biasanya disebabkan oleh buruh (alasan mendesak).

Tetapi dalam praktik, kekuasaan majikan untuk memperhentikan

huruh dibatasi oleh adanya serikat buruh yang kuat yang menolak

pemberhentian semau-tmau dengan jalan menjadikan soal itu bahan

perundingan dengan mąajikan atau bahkan dengan jalan mengadakan

tindakan langsung.

Di kebanyakan negara-negara dan daerah-daerah itu, perhati

an vang terbesar para pembuat undang-undang belum sampai pada

melindungi buruh terhadap kesukaran-kesukaran akibat diper-

hentikan, tetapi masih pada tingkatan mencapai derajat yang telah

tinggi bagi kebebasan buruh dalam hubungan-kerja, teristimewa

lebih memudahkan buruh untuk mengakhiri hubungan-kerja sesuai

dengan kehendaknya (ingat: zaman punale sanksi di Indonesia

sendiri!).

Undang-undang dan praktik di berbagai negara memperlihatkan

suatu arah tertentu mempertinggi kepastian tetap-kerja (job se-

curity) dengai membatasi pemberhentian yang tidak ber-

alasan.

Boleh dikatakan bahwa: "di makin banyak negara kehendak

majikan semata-mata tidak lagi dipandang sebagai alasan

Cukup untuk mengakhiri hubungan-kerja. Sudah makin

rerjadi biasa seorang majikan yang bermaksud memutuskan


perjarjian-kerja, harus memberitahukan dasar tindakannya

dun Dahwa buruh boieh minta supaya kebenarannya diseiidik:

OER Sualu instansi yang bebas-tak-terpengaruhi oleh kedua

pihak"

Vengenai alasan yang dapat membenarkan suatu pember-

dn, berbagai peraturan nasional yang memuat asas bahwa

pemberhentian itu harus beralasan, putusan arbitrase dan penga-

yang mengadakan tafsiran terhadap aturan itu dan juga praktik,

menunjukkan suatu persamaan pendapat umum bahwa alasan-

cdsan itu dapat digolongkan dalam tiga golongan:

alasan-alasan yang berkenaan dengan pribadi buruh atau yang

melekat pada pribadi buruh, misalnya tidak cakap, tidak n.am

pu

alasan-alasan yang berhubungan dengan kelakuan burulh, mi

salnya tidak memenuhi kewajiban, melanggar disiplin;

alasan-alasan yang berkenaan dengan jalannya perusahaan.

Namun demikian, alasan-alasan yang disebutkan tadi, hen-

daknya jangan dipandang dengan sendirinya merupakan alasan-

alasan yang benar untuk pemberhentian. Dalarn memeriksa soai

demi soal, alasan-alasan yang diajukan itu biasanya dipertim-

bangkan dalam hubunganaya dengan semua kejadian di sekitamya

dan pemberhentian pada umumnya hanya dipandang beralasan,

jika dengan mempertimbangkan kepentingan-kepentingan yang

wajar baik dari buruh maupun dari perusahaan. pemberhentian itu

merupakan keharusan.

SANKSI TERHADAP PEMBERHENTIAN TAK BERALASAN

Keharusan dan patokan yang ditetapkan dalam peraturan dengan

ftyjtcm membatasi pemberhentian yang tak beralasan akan

fidak berguna, jika tidak ada kemungkinan untuk memaksa-

kan pelaksanaannya.

Karena itu diterima secara umum adanya asas bahwa seorang


buruh yang merasa bahwa pemberhentiannya dilakukan

cdengan melanggar peraturan iu, mempunyai hak agar per-

karanya dibawa ke muka dan diselidiki oleh badan kerjasama

atau jika perlu oleh pihak ketiga yang tidak memihak dengan

kekuasaan memberi putusan mengikat.

Penyerahan perkara kepada pihak ketiga sering kali didahulu

dengan usaha untuk mencapai persetujuan atau penyelesaia

secara damai melalui kontak langsung dan perundingan menurut

prosedur pengaduan yang sedikit-banyak teratur, yang dimulai d

perusahaan itu sendiri dan badan yang tak memihak hanya turun

tangan bila usaha mendamaikan itu tidak berhasil.

Di negara seperti Inggris, di mana asas pemberhentian harus beralasan tidak ditetapkan secara
tertulis dalam peraturan, prose-

untuk mengambil tindakan langsung dalam bentuk tekanan eko-

dur pembatalannya tergantung dari kemampuan organisasi buruh

ncmi vang sebaliknya dapat berakibatkan perselisihan perburuhan

vang diselesaikan oleh badan yang berwenang menurut prosedur

yang disele:

tertentu.

Di negara di mana peraturan yang berlaku memuat dengan

tegas berlakunya asas bahwa pemberhentian harus beralasan.

terdapat pula prosedur yang lebih formil untuk menempatkan

kembali buruh dan sanksi lainnya. Prosedur-prosedur semacam

ini sangat berbeda-bede berhubung dengan sistem dan konsepsi

nasional dan mengingat sumber dari ketentuan itu (undang-undang,

perjanjian-perburuhan dan lain-lain).

Di sebagian terbesar negara-negara, instansi yang diadakan

untuk mendengar persoalän pemberhentian adalak juga instansi

umum bagi penyelesaiain perselisihan perseorangan yang timbu

dari hubungan-kerja, karena aturan pemberhentian dipandang

sebagai aspek dan syarat kerja. Beberapa negara mengadakan


saluran khusus untuk menyelesaikan perselisihan pemberhentian.

baik seluruknya tidak ada hubungannya maupun sebagian ada

hubungannya dengan prosedur penempatan kemba!i buruh.

Di sejumlah negara, badan yang berwenang untuk mennberi

putusan terakh 'r daiain soal pemberhentian yang tak beralasan

adalah pengadilan biasa, misalnya di Republik Persatuan Arab,

Kuba, Libia. Nederland, Norwegia, Turki dan lain-lain.

Di negara-negara lainnya pengadilan biasa hanya dapat rurun-

langan jika usaha penyelesaian oleh komite perdamaian bersama

di tingkat perusahaan tidak berhasil.

Beberapa negara lainnya lagi dengan perundang-undangan

ncngadakan bagian peradilan yang khusus seperti pengadilan

perburuhan, misalnya Brasiiia, Repubiik Federasi Jerman dan

din atau pegawai-pendamai, misainya Austria atau dewan

aaai dan arbitrase, misalnya Indonesia, Meksiko atau conseiis

e prud 'hommes sebagai tingkat pertama dari pengadilan umum, misalnya Belgia, Republik Malagasi
dan lain-lain.

Di negara-negara lain perkara pemberhentian yang tak ber

alasan, diputuskan di luar sistem pengadilan, oleh badan khusus

atau menurut prosedur khusus diadakan atas persetujuan antara

kedua belah pihak. Dalam hubungan ini dapat disebut proses

mengadu dan arbitrase, dimuat dalam kebanyakan perjanjian-per.

buruhan di Amerika Serikat, Kanada dan lain-lain, Dewan Pasar

Kerja (Labour Market Board) di Swedia dan komite pendamai

dan arbitrase khusus yang diadakan dalam persetujuan mengenai

pemberhentian perorangan di ltalia.

Prosedur yang harus dilalui dalam soal pemberhentian di muka

badan yang berwenang, pada umumnya tidak berbeda dari prose-

dur umum yang berlaku bagi semua pengaduan atau perselisihan

vang timbul dari hubungan-kerja dan yang diselesaikan oleh badan

it.
Tetapi untuk membatalkan pemberhentian, peraturan yang

beriaku di beberapa negara memuat aturan tata-cara khusus.

Sebagai contoh misałnya. jangka waktu terbatas dalam mana

pemberhentian dapat ditentang (kedaluwarsa).

Menurut peraturan di Republik Federasi Jerman, buruh kehi-

langan haknya untuk mengadukan perkaranya kepada pengadilan

perburuhan dengan alasan bahwa pemberhentiannya adalah tidak

beralasan, jika ia tidak mengadu kepada pengadilan dalam waktu

1ga minggu sesudah menerima pemberitahuan ientang pem-

berhentiannya.

Menurut hukum Norwegia batas waktu itu adalah enam ming

gu, di Austria satu minggu dan di Tunisia satu tahun.

Menurut perjanjian di ltalia, buruh harus minta campur-tangan

dari serikat buruh dalam tiga hari sesudah pemberhentian itu d-

beritahukan. Di Republik Persatuan Arab buruh haruS mengadu

kepada instansi pemerintahan yang berwenang dalam satu minggu.

Mengenai persoalan siapakah yang boleh mengajukan tuntutan

diadakannya tindakan pembatalan, peraturan nasional memuat dua

kemungkinan.

Di sebagian besar negara-negara adalah buruh sendiri, biasanva

dihantu oleh serikat buruh, yang boleh mengadu kepada vano

berwenang.

Dinegara-negara lain seperti Austria dan' Swedia adalah hanva

arikat buruh atau dewan buruh yang bolch melakukannya.

Soal prosedur lainnya yang di beberapa negara merupakan

nakok peraturan khusus adalah siapakah yang memikul beban

pembuktian selama proses pembatalan

Dalam praktik adalah sangat penting apakah buruh harus

membuktikan bahwa pemberhentiannya itu adalah tidak beralasan

ataukah nmajikan harus membuktikan kebenarannya.

Menurut asas umum dalam perundang-undangan adalah si


penuntut yang biasanya harus membuktikan kebenaran tuntutan-

nya, tetapi di beberapa negara perundang-undangan membalik-

kan' asas ini dalam perkara yang timbul dari pemberhentian yang

tidak beralasan dan meletakkan beban pembuktian pada majik-

an.

Di Republik Federasi Jerman misalnya, undang-undang secara

tegas menetapkan bahwa majikan harus membuktikan kejadian-

kejadian yang menjadi dasar pemberhentian.

Usaha untuk mendapatkan pengakuan asas ini dalam undang-

undang dilakukan di negara-negara lainnya, misalnya Australia.

Prancis (1962).

Sekali diterima asas bahwa pengadilan atau pihak ketiga lain-

nya ataupun badan-kerja-sama yang berwenang untuk menye

lidiki dan memutuskan kebenaran pemberhentian, maka timbul

persoalan mengenai bentuk dan hakekat sanksi suatu pember-

nentian yang ternyata tidak beralasan. Hakekatnya sanksi itu

adalah sangat penting karena dalam praktik menentukan manfaat-

yd suatu sistem yang berusaha menghapuskan pemberhentian

yarg tidak beralasan.

Ada dua sanksi atau hukuman yang dapat dipertimbangkan.

Pertama, po

Pertama, peraturan dapat didasarkan pada pendirian bahwa

Pcmberhentian yang tidak dibenarkan oleh alasan-alasan wajar, harus dipandang sebagai batal dan
bahwa buruh yang bersangkutan

harus ditempatkan kembali pada kedudukan yang benar-benar

Sama di mana ia akan berada jika pemberhentian itu tidak teriadi

Sesuai dengan pendirian ini sanksi yang wajar terhadap pember

hentian yang tidak beralasan adalah penempatan kembali buruh

yang bersangkutan.

Kedua, adalah pendirian yang menolak secara prinsipil pikiran

untuk mewajibkan majikan menempatkan kembali buruh dengan


siapa ia tidak hendak berkerja-sama; sistem berdasarkan atas

pendirian ini biasanya mengadakan pembayaran ganti-rugi

Kedua pendirian ini muncul dalam peraturan di berbagai ne-

gara dan di beberapadi antaranya, terutama di Eropa dan Amerika

Latin, akibatnya sekarang (1962) sedang dipersoalkan dalam

kalangan yang bersangkutan. Terutama dalam kitab-kitab Amerika

Latin dengan secara berlebih-lebihan, persoalan in banyak diper

bincangkan dan adalah kebiasaan umum untuk menggunakan istilah

jaminan tetap bekerja secara mutlak" (absolute job security) guna

menggambarkan sistem yang mengadakan kewajiban menem-

patkan kembali, sedang sistem di mana majikan boleh membayar

ganti-rugi kepada buruh yang bersangkutan jika tidak menempat-

kan kembali biasanya disebut "jaminan tetap bekerja di mana

mungkin" (relative job security).

Dengan tidak menyebut-nyebut alasan-alasan yang diajukan

oleh pendekar-pendekar dari pendirian masing-masing, beberapa

contoh kiranya dapat dikemukakan di sini untuk menggambarkan

kebinckaan yang besar dalam perundang-undangan dan praktik di

berbagai-bagai negara.

DiI negara-negara tertentu penempatan kembali adalah biasa

dan bahkan satu-satunya sanksi terhadap pemberhentian yang tl

dak beralasan. Di Kuba misalnya, penempatan kembali merupa-

kan satu-satunya sanksi. Ketentuan yang sama berlaku bagi pe-

gawai bank di Amerika dengan masa-kerja lebih dari lima tahun;

mereka ini tidak boleh diperhentikan (kecuali karena alasan khu-

sus) dan jika majikan menolak untuk menempakan buruh kembali, maka ia harus membayar gajinya
sampai buruh memenuhi

svarat-syarat untuk mengundurkan diri dengan pensiun

Dolam nraktik akibat asas itu adalah sama dengan sistem lain

di mana, dalam hal pemberhentian yang tak beralasan, buruhlah

Vang berhak memilih antara penempatan kembali dan ganti-ruoi


Demikianlah misalnya menurut hukum Spanyol bagi perusaha-

an vang mempekerjakan sedikit-dikitnya 50 buruh. Juga menurut

perundang-undangan Afrika Barat jajahan Spanyol (1962), buruh

vang diperhentikan karena alasan lain dari yang disebutkan dalam

undang-undang, boleh memilih antara penempatan kembali dan

ganti-rugi.

Di negara-negara lain peraturan yang berlaku, mendahulukan

penempatan kembali dan mengadakan pembayaran ganti-rugi

hanya jika karena alasan-alasan tertentu, penempatan kembali

adalah tidak mungkin atau kurang tepat.

Pilihan antara kedua sanksi itu biasanya terserah kepada

pengadilan atau jJuru pemisah.

Di Brazilia, jika terbukti bahwa buruh tidaklah bersalah me-

lakukan pelanggaran besar - satu-satunya alasan di samping force

majeure sehingga seorang buruh dengan masakerja lebih dari 10

tahun dapat diberhentikan majikan harus menempatkannya

kembali dengan upah surut. Tetapi jika penempatan kembali itu

tidak baik karena percekcokan yang timbul dalam perselisihan,

pengadilan sebagai gantinya dapat memerintahkan pemberian

ganti-rugi.

upa-rupanya dalam praktik penempatan kembali merupakan

Sdnksi yang lazim, sedang pembayaran ganti-rugi adalah penge

cur lian.

Di Republik Federasi Jerman, jika pengadilan perburuhan

berpendapat bahwa pemberhentian adalah tidak beralasan, dalam

putusannya dinyatakan bahwa hubungan-kerja tidak pernah

kembali dengan upah surut. Tetapi atas permintaan salah satu pi-

hak, jika kepercayaan timbal-balik antara majikan dan buruh ti-

daklah ada lagi, pengadilan dapat mengakhiri hubungan-kerja dan memerintahkan pembayaran
ganti-rug.

Juga menurut perundang-undangan Norwegia, Jika pengadilan


berpendapat bahwa pemberhentian tidak dibenarkan oleh keadaan

di sekitar pemilik perusahaan. buruh dan tempat pekerjaan. penga-

dilan itu atas permintaan buruh dapat memerintahkan majikan

untuk menempatkan kembali, tetapi hanya di mana penempatan

kembali itu ternyata wajar, jika tidak, majikan harus membayar

ganti-rugi.

Di Amerika Serikat dan di Kanada praktik arbitrase berbeda-

beda antara industri dan perusahaan, tetapi sanksi yang umum

terhadap pemberhentian yang tidak beralasan, adalah penempatan

kembali dengan upah surut untuk waktu buruh tidak bekerja.

Perlu ditambahkan di sini, bahwa majikan pada umumnya

menerima sanksi ini sebagai sesuatu yang wajar dan penerimaan

itu tentu dipermudah oleh kenyataan bahwajuru pemisah itu dipi-

ih bersama-sama oleh pimpinan dan serikat buruh dan karena itu

biasanya mendapat kepercayaan dari kedua pihak.

Di Albania, Bulgaria, Hungaria, Polandia, Cekoslowakia dan

Uni Sovyet buruh yang menang perkaranya di muka dewan

pendamai atau pengadilan pada dasarnya harus ditempatkan

kembali pada pekerjaannya semula dengan syarat-syarat yang

sama dan berhak atas ganti-rugi yang sama jumlahnya dengan

pendapatan yang hilang.

Tetapi jika karena suatu alasan penempatan kembali tidak

mungkin, buruh yang bersangkutan dapat menerima ganti-rugi.

Di Bulgaria ganti-rugi itu adalah sama dengan upah atau gaji

selama tenggang waktu pernyataan pengakhiran.

Seorang buruh di Polandia yang tidak menuntut penempatan

kembali, menerima upah sebulan.

Di Uni Sovyet seorang buruh yang tidak dapat ditempatkan

kembali karena pekerjaannya yang semula telah dihapuskan

sebagai akibat pengurangan personil atau re-organisasi adminis-

tratif atau karena ia sementara itu telah mendapat pekerjaan yang


upahnya sama besarnya, menerima ganti-rugi karena kehilangan pendapatan, sampai maksmum
sebesar 20 hari upah.

Di negara-negara lain pilihan antara penempatan kembali dan

ganti-rugi dilakukan oleh majikan.

Di Italia menurut perjanjian mengenai pemberhentian per-

ceorangan, misalnya dewan pemisah akan memerintahkan pe-

nempatan kemt ali bila tidak menerima sah alasan-alasan pember-

hentian yang diajukan oleh majikan. Tetapi jika berdasarkan suatu

alasan majikan memandang tidak mungkin untuk mempekerjakan

buruh itu di perusahaan, ia boleh membayar ganti-rugi.

Di Spanyol di perusahaan dengan kurang dari 50 buruh, juga

majikanlah yang boleh memilih antara-penempatan kembali dan

ganti-rugi.

Di negara di mana tidak ada peraturan formil mengenai

penyelesaian perselisihan perburuhan yang terjadi karena

pemberhentian buruh, kenyataannya sanksi-sanksi itu membawa

hasil pula.

Di Inggris Raya dan negara lain di mana biasanya tidak diadakan

perbedaan antara perselisihan perseorangan dan perselisihan

perburuhan, penempatan kembali seringkali tercapai dengan

persetujuan antara serikat buruh dengan majikan, atau jika usaha

pendamaian tidak berhasil, karena semata-mata adanyá serikat

buruh yang kuat yang bersedia untuk menyokong tuntutan

penempatan kembali dengan tekanan, bahkan dengan pemogokan.

Pemogokan semacam ini kenyataannya tidak tak-biasa di sejumlah

negara

Sistem yang seperti dikatakan di atas, menolak pendirian pe

nempatan kembali sebagai sanksi terhadap pemberhentian yang

Idak beralasan, mengadakan peraturan pembayaran ganti-rug.

Dalam memperbandingkan berbagai-bagai peraturan dan

Ph akk di pelbagai negara itu, hendaknya jangan mendasarkannya


Pd anggapan bahwa seorang buruh selalu lebih menghendaki

Cmpatan kembali daripada pembayaran ganti-rugi. Kehendak-

yd itu dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor dan di antaranya

ubungannya pribadi dengan majikan (yang dapat menjadı tegang selama pengaduan atau proses
pengadilan), oleh kemung.

mung-

Kinan mendapatkan pekerjaan lain dan oleh besarnya jumlah ganti

ugi.

Di negara-negara tertentu seperti Republik Persatuan Arah

Belgia, Republik Malagasi, Nederland, Prancis, Cekoslowakia, Tu

nisia dan lain-lain tidak terdapat peraturan khusus mengenai jum-

lah ganti-rugi: pengadilan menggunakan prinsip umum dalam hu-

kum perdata guna menetapkan ganti-rugi yang diberikan kepada

buruh yang diperhentikan dengan tiada alasan.

Di negara-negara lain peraturan yang berlaku memuat sedikit

banyak ketentuan untuk menghitung jumlah ganti-rugi itu. Di

negara-negara lain lagi, peraturan menetapkan minimum dan

maksimum, terserah kepada kebijaksanaan pengadilan atau juru

pemisah menetapkan jumlah yang pasti.

Demikianlah misalnya di Italia di mana persetujuan tersebut di

atas menetapkan bahwa ganti-rugi.jumlahnya sekurang-kurangnya

lima dan setinggi-tingginya delapan bulan upah.

Peraturan yang hanya menetapkan maksimum saja terdapat di

beberapa negara, misalnya 12 bulan upah di Republik Federasi

Jerman dan Spanyol, dan dari enam bulan sampai tiga tahun upah,

tergantung dari masa-kerjanya di Norwegia.

Menurut persetujuan baru di Denmark, ganti-rugi karena

pemberhentian yang tak beralasan tidak boleh melebihi jumlah l13

minggu upah, dihitung berdasarkan upah rata-rata selama setahun

yang lalu.

Peraturan kadang-kadang menyebutkan faktor-faktor yang


harus diperhatikan dalam menetapkan jumlah ganti-rugi.

Di Norwegia misalnya, undang-undang mengharuskan supaya

diperhatikan kehilangan upah dari buruh, lama masakerja, upah.

kemungkinan mendapat pekerjaan baru di bidang yang sama atau

yang lain, keadaan pribadi buruh dan semua keadaan lain yang

ada hubungannya.

Ketentuuan-ketentuan semacam itu terdapat juga dalam pei

undang-undangan Republik Federasi Jerman, Maroko dan Spanyol.

Ada juga negara-negara di mana jumlah pasti ganti-rugi itu

ditentukan dengan perundang-undangan.

Di Turki ganti-rugi yang dibayarkan kepada buruh yang pem-

herhentiannya merupakan penyalah-gunaan hak majikan secara

menyolok untuk mengakhiri hubungan-kerja, harus sama dengan

tiga kali upah selama tenggang waktu pernyataan pengakh iran.

Perlu dimintakan perhatian sepenuhnya terhadap pengertian

vang khusus tentang ganti-rugi akibat pemberhentian yang tidak

beralasan ini, yang berbeda dari dua macam pembayaran uang

lainnya yang kadang-kadang harus diberikan kepada buruh yang

diperhentikan, yaitu ganti-rugi sebagai pengganti tenggang

waktu pernyataan pengakhiran dan pesangon atau uang jasa

yang merupakan hak buruh karena bekerja di suatu perusaha-

an vntuk suatu waktu tertentu.

Yang terakhir ini biasanya tidak ada hubungannya dengan alasan

pernberhentian (kecuali pemberhentian mendadak berdasarkan

kelakuan yang sangat buruk yang acap kali menutup kemungkinan

ganti-rugi tersebut).

Berlainan dengan kedua pembayaran itu, ganti-rugi akibat

pemberhentian yang tidak beralasan mempunyai sifat hukum-

an yang dijatuhkan kepada majikan karena suatu tindakan yang

salah. Ganti-rugi ini dapat pula dipandang sebagai suatu kerugian

ataiu ganti-rugi yang menjadi hak buruh karena kehilangan peker-


jaannya dalam hal pemberhentian itu tidak dibenarkan oleh pera

turan yang berlaku.

Perbedaan antara ganti-rugi karena pemberhentian yang tak

Deralasan dan ganti-rugi sebagai pengganti tenggang waktu

Dernyataan pengakhiran, rupa-rupanya tidak menjadi persoalan

dalaia praktik.

etapi tidaklah mudah untuk membeda-bedakan antara ganti-

Ug Karena pemberhentian yang tak beralasan dan pesangon atau

Pemberian karena telah lama bekerja atau uang jasa. Dalam hal-

rentu adalah sangat sukar untuk menetapkan hakekat dari

ayaran pemberhentian yang diadakan dalam peraturan suatu negara tertentu. Sepintas lalu
kelihatannya istilah yang dipakai

yarh pem

dalam suatu peraturan atau perjanjian untuk pembayaran pem.

dalam su

Derhentian, dapat berguna untuk menentukan pengertian dari

pembayaran yang bersangkutan.

Keadaannya adalah agak jelas di negara di mana pératuran

yang berlaku dengan tegas mengatakan bahwa ganti-rugi karena

pemberhentian yang tak beralasan, harus dibayar lepas dari dan

karena itu sebagai tambahan pada pesangon (yang biasanya tidak

tergantung dari alasan pemberhentian, kecuali karena kelakuan

yang sangat buruk).

Demikian misalnya di negara seperti Prancis di mana ganti-

rugi karena pemberhetian yang melampaui kekuasaan, harus

dibayarkan kepada buruh yang bersangkutan sebagai tambahan

pada pesargon yang mungkin diatur dalam beberapa perjanjian-

perburuhan.

Asas demikian itu berlaku pula di negara-negara lain, terutama

di Afrika yang mengatur. ganti-rugi yang dibayarkan karena

pemberhentian yang melampaui kekuasaan.


Di Italia juga, ganti-rugi karena pemberhentian yang tidak

beralasan harus dibayarkan lepas dari "ganti-rugi karena lamanya

masa-kerja'" (seniority indemnity) yang secara umum diatur dalam

undang-undang.

Di negara-negara lain, terutama di Amerika Latin, pembayaran

pemberhentian yang dimuat dalam perundang-undangan, terdiri

dari ganti-rugi karena pemberhentian yang tak beralasan dan juga

dari pesangon karena lamanya bekerja (long service grant) atau

sokongan perpisahan.

Di negara kita ini, di mana pada umumnya tiap pemberhenti-

an memerlukan izin dari yang berwenang, pada dasarnya tidak

ada pemberhentian yang tak beralasan. Karena itu menurut

perundang-undangan kita tidak ada ganti-rugi karena pemberhen

tian yang tak beralasan atau ganti-rugi karena tidak mengindahkan

tenggang waktu pernyataan pengakhiran. Kita hanya kenal uang

pesangon.

4. UANG PESANGON

Di samping kewajiban majikan dan hak buruh sebagai akibat

nemberhentian tersebut di atas, perundang-undangan dan praktik

di banyak negara, menghendaki agar majikan membayar pula uang

nesangon (tunjangan pemberhentian, severance allowance) ke-

pada buruh yang diperhentikan.

Perlu ditekankan sekali lagi baliwa pesangon in harus dibedakan

dari ganti-rugi untuk tenggang waktu pernyataan pengakhiran

(compensation in lieu of notice) dan harus dibedakan pula dari

zanti-rugi untuk pemberhentian yang tidak beralasan (compensa-

tion for unjustified dismissal).

Pembayaran pesangon biasanya bukanlah hukuman yang

dijatuhkan kepada majikan karena tindakan yang salah - seperti

pemberhentian tak beralasan atau tidak mengindahkan tenggang

waktu pernyataan pengakhiran tetapi pembayaran uang oleh


majikan sebagai tambahan atas upah atau gaji yang menjadi hak

buruh semata-mata karena ia diperhentikan setelah bekerja pada

majikan itu selama waktu tertentu. Pertimbangan ini dan kenyata-

an bahwa pesangon itu biasanya adalah seimbang dengan lama-

nya hubungan-kerja (masakerja) dari buruh yang bersangkutan

serta kadang-kadang dibayarkan pula dalam hal buruh mening-

galkan perusahaan atas kehendak sendiri, menjadikan pesangon

itu ganjaran atas kesetiaan buruh selama melakukan pekerjaan

atau suatu upah-tambahan yang pembayarannya semata-mata

dilangguhkan atau simpanan wajib ataupun bagian dari nilai

perusahaan yang menjadi bertambah karena hasil dari usaha bu-

ruh.

DInegara-negara yang industrinya sudah maju seperti di Ero

pa, patokan-patokan umum berdasarkan perundang-undangan

yang memberi pesangon kepada semua buruh, pada umumnya

jarang sekali.

Dalam hal ini Italia merupakan pengecualian yang menyolok.

resangon diadakan untúk pertama kali bagi buruh halus (salaried

nployees) pada tahun 1924 yang kemudian diperluas bagi semua buruh dalam Undang-undang
Perdata (Civil Code) tahun 1942.

Menurut undang-undang ini pesangon dibayarkan kepada semua

buruh yang hubungan-kerjanya diputuskan kecuali pada pem-

berhetian karena kelakuan buruk.

Banyak perjanjian-perburuhan memuat pula pembayaran

pesangon kepada buruh yang meninggalkan perusahaan atas

kehendak sendiri.

Mengenai besamya pesangon itu, Civil Code tadi hanya mene-

tapkan bahwa pesangon itu harus seimbang dengan jumlah tahun

masa-kerja.

Peraturan tahun 1924 mula-mula menetapkan minimum se-

tengah bulan upah bagi employe untuk tiap tahun masa-kerja, yang
oleh undang-undang tahun 1960 dinaikkan menjadi satu bulan upah

tiap tahun masa-kerja.

Di Yugoslavia undang-undang tahun 1957 menetapkan bahwa

dengan masa-kerja sekurang-kurangnya 15 tahun pada perusaha-

an yang sama atau dengan masa-kerja 20 tahun pada umumnya,

berhak atas pesangon sebesar empat bulan upah.

Di negara-negara Eropa lainnya yang mempunyai perundang-

undangan mengenai uang pesangon, ketentuan yang ada biasanya

hanya berlaku bagi golongan buruh tertentu saja.

Misalnyadi Luxembourg menurut undang-undang tahun 1937

tentang Perjanjian-kerja Buruh Halus (Contracts of Employment

of Salaried Employees) seorang buruh (halus) yang diperhentikan

karena alasan iain daripada kelakukan buruk, berhak atas pesangon

sebesar dua bulan upah setelah 15 tahun bekerja, empat bulan

upah setelah 20 tahun bekerja dan enam bulan upah setelah 25

tahun bekerja.

Di pelbagai industri dan perusahaan di Eropa, pesangon diatur

dalam perjanj ian-perburuhan yang kadang-kadang hanya meliputi

buruh halus (non-manual workers) atau golongan tertentu darl

mereka saja.

Di Amerika Serikat pesangon diatur dalam perjanjian-per

buruhan.

Juga terdapat peraturan pesangon yang diadakan secara

sukurela oleh majikan sendiri.

kepada buruh yang diperhentikan karena pengurangan buruh.

Ruruh yang diperhentikan karena kelakuan buruk, acap kali

tidak menerima uang pesangon. Kadang-kadang hanya diberikan

Ruruh biasanya menerima sejumlah uang tertentu (lump-sum)

vang besarnya dihubungkan dengan masa kerja, pada umumnya

seminggu upah untuk tiap tahun masa kerja.

pi banyak negara di Amerika Latin, undang-undang mengatur


nembayaran uang pesangon pada tiap pemberhentian, kecuali

nemberhentian karena kelakuan buruk. Di negara Amerika Latin

lainnya, pesangon diberikan kepada buruh yang meninggalkan

perusahaan atas kehendak sendiri, misalnya di Columbia, Peru

dan Bolivia.

Di Venezuela dalam perjanjian-perburuhan di dunia per-

minyakan dan dalam pelbagai perjanjian-perburuhan lainnya,

pesangon itu diberikan pula kepada buruh yang berhenti atas

kehendak sendiri.

DiAmerika Latin terdapat pula negara-negara yang dalam per-

undang-undangan mnemandang pesangon'itu sebagai hak dari buruh.

Di Ecuador misalnya, undang-undang menetapkan dengan

tegas bahwa buruh tidak akan kehilangan, dengan alasan apapun

Juga, haknya atas pesangon sejumlah sebulan upah untuk tiap ta-

hun masa-kerja sesudah tahun yang pertama.

DI Afrika perundang-undangan yang mengatur pesangon

rupa-rupanya tidak tersebar luas.

DI mana ada seperti misalnya di Republik Persatuan Arab,

undang-undang menetapkan bahwa buruh yang diperhentikan lain

d Karena alasan disipliner tertentu, berhak atas pesangon

SeJumlah setengah bulan upah untuk tiap tahun dari lima tahun

Pertama dan selanjutnya sebulan upah untuk tiap tahun masa-kerja.

DIASIa praktik pemberian pesangon adalah tidak tersebar luas

uan ketentuan umum dalam undang-undang hanya terdapat di

beberapa negara saja.

DI Viet-Nam Selatan misalnya Undang-undang Perburuhan

nenentukan bahwa buruh dengan masa-kerja sedikit-dikitnya dua

tahun, berhak atas pesangon jika diperhentikan tidak karena pe-

anggaran yang berat dan jika mengundurkan diri karena ketidak-

mampuan untuk melanjutkan hubungan-kerja. Jumlah pesangon

adalah sebulan upah untuk masa-kerja dua tahun, dua bulan untuk
masa-kerja tiga bulan, selanjutnya sebulan upah untuk tiap tiga

tahun sesudah masakerja tiga tahun yang pertama dan jika tiga

tahun selanjutnya tidak berlangsung terus, lima hari upah untuk

tiap enam bulan tambahan masa-kerja.

Di Indonesia diberikan uang pesangon kepada buruh yang

diperhentikan tidak karena kesalahan sangat berat. Jumlahnya

adalah sekurang-kurangnya sebulan upah untuk tiap tahun sampai

empat bulan upah untuk masa kerja tiga tahun atau lebih dan

kemudian sesudah lima tahun masa-kerja ditambah dengan sebulan

upah untuk tiap lima tahun masa-kerja (uang jasa).?

Peraturan baru yang berlaku sekarang ini berbeda perumusan-

nya mengenai pemberian uang pesangon, yaitu Keputusan Menteri

Tenaga Kerja No. Kep-150/Men/2000 tanggal 20 Juni 2000, tentang

Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang

Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di

Perusahaan.

5 PEMBERHENTIAN KARENA KELAKUAN SANGAT BURUK

Dalam peraturan-peraturan mengenai pemberhentian seperti

diuraikan di atas, dimuat ketentuan-ketentuan yang menyelesaikan

pertentangan antara kebebasan memimpin bagi pihak majikan dan

kepastian-tetap-bekerja bagi pihak buruh, secara mengadakan

keseimbangan antara kepentingan majikan dan kepentingan bu-

ruh, baik dengan membatasi wewenang majikan untuk memper-

hatikan buruh, maupun dengan mengurangi akibat buruk dari pem

berhentian bagi buruh.

Lain halnya bila buruh bersalah berkelakuan sangat buruk (se-

rious misconduct). Dalam hal yang sedemikian ini, pada umum-

nva diterima asas bahwa majikan mempunyai hak tak terbatas

ny

untuk memperhentikan buruh yang bersalah,

Alasan semacam itu tidak hanya membenarkan pember-


hentiannya, tetapi biasanya juga membebaskan majikan dari

kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ia pikul dalam hal pem-

berhentian yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada buruh.

Karena itu pemberhentian karena kelakuan sangat buruk,

biasanya dibolehkan dengan jalan dipercepat atau dengan pem-

berhentian mendadak, yaitu tanpa mengindahkan tenggang waktu

pernyataan pengakhiran.

Mengingat kenyataan bahwa buruh yang diperhentikan karena

kelakuan sangat buruk, tidak hanya kehilangan semua haknya yang

timbul dari hubungan-kerja yang diakhiri tetapi acapkali juga

membahayakan kesempatannya untuk mendapatkan pekerjaan

baru, perundang-undangan di pelbagai negara biasanya meng-

haruskan suatu prosedur khusus untuk menjaga agar pemberhen-

tian semacam itu dilakukan secara jujur dan dengan hati-hati.

Pertama, adanya kelakuan sangat buruk acap kali diuraikan

secara jelas dan tidak dapat menimbulkan salah-faham. Ketentuan

perundang-undangan, perjanjian-perburuhan, peraturan majikan,

patokan-patokan dalam putusan pengadilan, kebiasaan atau asas

nukum (legal doctrine) biasanya merumuskan secara terperinci

Dermacam-macam kejadian adanya kelakuan sangat buruk atau

pelanggaran disiplin.

Kejadian ini biasanya meliputi tindakan atau kelalaian yang

uJukan terhadap majikan atau perusahaan, seperti pencurian,

Penggelapan, dengan sengaja merusak atau menghilangkan barang

audu milik majikan, kecerobohan, mabok, menghilangkan keper

y aain(misalnya membuka rahasia perusahaan), penganiayaanl,

Pnghinaan, pelanggaran berat terhadap aturan disiplin, mangkir tanpa

yang dapat dibenarkan, tidak tunduk pada perintah atau

ngkang, pelanggaran terhadap aturan keamanan dan lain-lain.

Tindakan-tindakan tersebut dapat pula dilakukan terhadan

Sesama buruh, seperti misalnya pencurian atau pengrusakan'mi.


Ik teman-sekerja, penganiayaan dan penghinaan kasar atan

undakan yang menimbulkan gangguan besar dalam perusahaan

Di negara-negara tertentu seorang buruh dapat pula diper.

hentikan jika ia melakukan tindakan-tindakan di luar perusahaan

yang ada hubungannya dengan tugas buruh di perusahaan, seperti

misalnya penggelapan oleh seorang buruh yang dalam pekerjaan-

nya mengurus keuangan.

Prosedur yang harus dijalankan majikan sebelum ia member-

hentikan buruh karena kelakuan sangat buruk, mempunyai hu-

bungan dengan faham bahwa pemberhentian semacam itu adalah

sanksi disipliner atau hukuman. Karena itu acap kali diharuskan

agar tindakan pemberhentian itu dilakukan dengan segera setelah

diketahui kelakuan yang sangat buruk itu.

Di Republik Persatuan Arab, "segera" adalah dalam 30 hari

bagi pegawai yang dibayar bulanan atau 15 hari bagi buruh lain-

nya, setelah pelanggaran disiplin dilakukan.

Di Republik Federasi Jerman buruh di perindustrian hanya da

pat diperhentikan dalam satu minggu setelah majikan mendengar

kejadian itu.

Kadang-kadang disyaratkan bahwa majikan sebelum melaku-

kan pemberhentian itu, harus memberi kesempatan untuk mem

bela diri.

Di beberapa negara ketentuan dimuat dalam perundang-

undangan. Di India misalnya, diadakan prosedur penyelidikan di

depan seorang pegawai penyelidik yang memberi saran-saran

mengenai maksud pemberhentian tersebut.

Di Indonesia sendiri, di mana pemberhentian semacam itu harus

dimintakan izin terlebih dahulu dengan disertai alasan-alasannya

seperti halnya dengan pemberhentian lainnya pada umumnya,

pemberhentian secara mendadak tidak mungkin dilakukan dan setiap

alasan untuk memperhentikan buruh diselidiki oleh yang berwenang.


Memang benar perundang-undangan mengenai kejadian-kejadian yang meupakan alasan cukup
untuk tidak menolak permintaan izin

ari nihak majikan, yaitu bila buruh melanggar hukum atau merugikan

nerusahaan, seperti pencurian, penggelapan; penganiayaan

nengusaha, keluarga pengusaha atau teman sekerja; memikat

nengusaha atau teman sekejanya untuk berbuat sesuatu yang

melanggar hukum atau tata-susila merusak dengan sengaja atau

karena kecerobohan milik perusahaan; memberikan keterangan

palsu; mabuk di tempat kerja; menghina secara kasar atau

mengancam pengusaha, keluarga pengusaha atau teman sekerja;

membongkar rahasia perusahaan atau rahasia rumah tangga

pengusaha; menolak perintah yang layak walaupun telah

diperingatkan; melalaikan kewajiban secara serampangan; tidak

cakap melakukan pekerjaan walaupun sudah dicoba di mana-mana.

Namun pemberhentian secara mendadak tidak dikenal!

6. PENGURANGAN BURUH

Di banyak negara rupa-rupanya sistem umum mengenai pem-

berhentian perseorangan berlaku pula bagi pemberhentian karena

pengurangan buruh berdasarkan alasan ekonomis.

etapi di sebagian besar negara-negara dirasakan keperluan-

nya untuk mengadakan ketentuan-ketentuan mengenai pember

nentian berdasarkan alasan-alasan ekonomis atau alasan lain yang

bersangkutan dengan jalannya perusahaan.

Alasan untuk mengurangi buruh yang bersangkutan dengan

Jalannya perusahaan, biasanya bersifat ekonomis, teknis atau

organisatoris.)

Ada yang timbul langsung dari aturan yang berhubungan

dengan jalannya perusahaan seperti modernisasi, automatisasi,

mekanisasi dan rasionalisasi, perubahan hasil produksi atau

perubahan dalam era produksi dan daiam keahlian yang diperlukan,

penutupan bagian-bagian dan lain-lain.


Sebaliknya pengurangan buruh dapat diakibatkan karena fak-

tor dari luar perusahaan, misalnya kesulitan penjualan dan men-

dapat kredit, tidak adanya pesanan atau bahan mentah, kekurang

an bahan bakar atau listrik. Menurunnya permintaan, kebijaksanaan

Pemerintah, meningkatnya persaingan dan sebagainya.

Jadi pengurangan buruh itu tidak ada hubungannya dengan

pribadi buruh, yaitu di luar kemampuannya untuk mencegahnya

dan tidak ada sangkut-pautnya dengan tingkah-lakunya. Pengu-

rangan buruh juga tidak merupakan pemberhentian perorangan,

tetapi mengenai sejumlah buruh tertentu.

Untuk itu dirasakan perlunya ada prosedur khusus dibedakan

dari peraturan mengenai pemberhentian perseorangan yang ha-

rus memperhatikan faktor-faktor khusus yang melekat pada pem-

berhentian karena keadaan perusahaan.

Di negara di mana pemutusan hubungan-kerja tidak diatur

dalam perundang-undangan, tetapi dalam perjanjian-perburuhan

misalnya di Kanada dan Amerika Serikat, biasanya perjanjian-

perburuhan tidak mengatur pemberhentian karena pengurangan

buruh. Dengan perkataan lain, di negara itu alasan di luar tang-

gung jawab buruh, pada umumnya tidak merupakan alasan untuk

pemberhentian termaksud.

Dalam keadaan seperti diuraikan di atas, orang pada umum-

nya menggunakan aturan dalam perjanjian-perburuhan yang

mengatakan bahwa kelcbihan buruh dapat dihemat. Penghematan

buruh (lay-off) itu meliputi pemberhentian sementara dan pem-

berhentian tetap yang harus dilakukan sesuai dengan prosedur

yang diatur dalam perjanjian-perburuhan.

Prosedur itu biasanya menetapkan antara lain urutan buruh

yang akan diperhentikan, jaminan hak buruh untuk dipanggil kembali jika dan bilamana ada
pekerjaan lagi, yaitu ditempatkan kembali

(atau ditawarkan penempatan kembali) mnenurut urutan tertentu


(kebanyakan menurut urutan secbaliknya dari urutan pember-

hentian) dan sebelum menerima buruh baru.

Selama pemberhentian sementara buruh tidak menerima upah

dan pendapatan lain, kecualı beberapa hak seperti tanggungan

jaminan sakit, jaminan kecelakaan dan biasanya masa-kerjanya

terus dihitung.

Di banyak negara, khususnya di Amerika Latin dan juga di

beberapa negara di Eropa, dalam hal pada suatu waktu terjadi

kebanyakan buruh dalam suatu perusahaan, undang-undang mem-

beri kemungkinan kepada majikan untuk menangguhkan (suspend-

ing) hubungan-kerja tanpa memperhentikan buruh. Selama waktu

penangguhan majikan tidak membayar upah, dan buruh tidak

melakukan pekerjaan. Lamanya waktu penangguhan ini dibatasi.

Jika waktu itu lewat, majikan harus memperhatikan buruhnya dan

memenuhi segala kewajiban yang diharuskan pada pemberhentian,

seperti pesangon dan lain-lain.

Pengurangan buruh atau penghematan buruh ini di negara kita

dalam perundang-undangan secara kurang tepat disebut: pem-

berhentian secara besar-besaran atau pemberhentian massal. Kata

besar-besaran dan kata massal menonjolkan jumlahnya. Memang

pemberhentian semacam itu pada umumnya mengenai banyak or-

ang buruh. Tetapi bukanjumlah yang menjadi ciri khas. Karena itu

cDih tepat bila dipakai istilah: pengurangan atau penghematan buruh.

Dalam menghadapi permintaan izin untuk pemberhentian se

acam ini, kepada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan

ua, yaitu instansi yang berwenang, pernah diinstruksikan supaya

pula memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

rganisasi buruh supaya diajak berunding, khususnya mengenai:

2 pengurangan kerja lembur,

I. jumlah pengurangan,

perundingan harus dilakukan dalam waktu yang layak


sebelum pemutusan,

4. pemilihan siapa yang harus diperhentikan dahuiu;

0. pemberhentian supaya menurut suatu ukuran (kriteria) terten

tu, diperhatikan baik kepentingan perusahaan maupun ke

pentingan buruh.

Dalam ukuran tersebut supaya diperhatikan:

1. kelancaran pekerjaan di perusahaan,

2. keahlian, kemampuan, kecakapan buruh masing-masing.

3. lamanya masa kerja,

4. umurburuh,

5. keadaan keluarga buruh;

c. dalam hal perusahaan memerlukan buruh lagi, supaya diberi

prioritas kepada buruh yang hubungan-kerjanya diputuskin

karena pengurangan tenaga kerja.

Sayang bahwa ketentuan-ketentuan di atas ini hanya berluku

bagi buruh di perusahaan swasta, tidak juga berlaku bagi buruh di

perusahaan negara (PN). Buruh PN ini tidak dilindungi oleh hukum

perburuhan, sehingga tidak mempunyai kepastian-tetap-ketja (job

security).

Buruh PN inijuga tidak mengenyam perlindungan dari peraturan

kepegawaian (negeri), sehingga-seperti halnya dengan segala

sesuatu yang terkatung-katung - menjadi bulan-bulanan dari

tindakan semena-mena, di mana dan bilamana pimpinan perusa-

haan negara tidak dijiwai oleh kemanusian yang adil dan beradab.

Sehubungan dengan itu, Menteri Tenaga Kerja- dengan ber-

lindung pada alasan: "mengingat kemungkinan yang negatif dari

pemberhentian (secara massal) itu bagi masyarakat sebagai ke

seluruhan, sekalipun tindakan tersebut berdasarkan alasan-alasan

yang dapat diterima dan mungkin secara bedrijfsekonomis meng-

untungkan perusahaan yang bersangkutan"- menge luarkan in-

struksi tentang larangan pemberhentian tenaga kerja secara massal


oleh perusahaan negara tanpa konsultasi dengan "Departemen

Tenaga Kerja, yang isinya tidak membolehkan" perusahaan negara,

yaitu perusahaan yang modal seluruhnya atau untuk sebagian

dimiliki Negara, termasuk ke dalamnya yang berbentuk Perseroan Terbatas, melakukan


pemberhentian tenaga kerja secara massal

tanpa terlebih dahulu mengadakan konsultasi dengan Departemen

Tenaga Kerja".

Mudah-mudahan semua perusahaan negara - kepada siapa

tentunya instruksi itu ditujukan-akan tunduk kepada instruksi itu

dan departemen yang membawahi perusahaan negara tidak

menghalang-halangi!

Bagaimanapun juga buruh perusahaan negara belum mem-

punyai kepastian-tetap-bekerja (job security) seperti buruh

perusahaan swasta yang diawasi oleh Panitia Penyelesaian

Perselisihan Perburuhan Pusat.

IL. PEMUTUSAN HUBUNGAN-KERJA OLEH BURUH

Di atas telah dikatakan bahwa menurut teori buruh berhak pula

untuk memutuskan hubungan-kerja. Teori ini merupakan akibat

dari pandangan dunia barat bahwa kepada buruh harus pula.

diberikan hak yang sama dalam hukum. Jika majikan mempunyai

hak untuk meiugakhiri hubungan-kerja, maka buruh harus diberi

hak yang sama pula untuk mengakhiri hubungan-kerja. Demikian

itu adalah sesuai pula dengan prinsip bahwa buruh tidak boleh

dipaksa untuk terus bekerja, bila ia sendiri tidak menghendakinya.

Hubungan-kerja yang diadakan untuk waktu yang tidak

ditentukan atau sampai dinyatakan berakhir, buruh berhak

mengakhirinya dengan pernyataan pengakhiran. Pernyataan

pengakhiran ini hanya boleh dilakukan menjelang hari terakhir

bulan takwin. Dalam pernyataan pengakhiran harus diindahkan

tenggang waktu selama satu bulan. Dalam perjanjian tertulis atau

dalam peraturan-majikan dapat ditetapkan bahwa tenggang waktu


tersebut diperpanjang dengan selama-lamanya satu bulan. jika

hubungan-kerja pada waktu pernyataan pengakhiran ini telah

berlangsung sedikit-dikitnya dua tahun terus-menerus.

Buruh dapat juga mengakhiri hubungan-kerja itu tanpa

pernyataan pengakhiran atau tanpa mengindahkan aturan yang

berlaku bagi pernyataan pengakhiran, tetapi buruh yang berbuat demikian tanpa persetujuan pihak
majikan, bertindak berlawanan

berlawanan

dengan hukum.

Untuk menghindarkan segala akibat dari tindakan yano

berlawan dengan hukum itu, buruh harus secepat-cepatnya mem-

ayar ganti-rugi atau buruh mengakhiri hubungan n-kerja secara

ba)

demikian itu dengan alasan mendesak yang seketika itu juga harus

diberitahukan kepada pihak majikan.

Ganti-rugi itu adalah sebesar satu bulan upah buruh.

Jika pemutusan hubungan-kerja itu terjadi dalam keadaan yang

sedemikian rupa sehingga kerugian yang diderita tidak dapat

dipandang terganti oleh ganti-rugi yang diterima itu, pihak majikan

dapat menuntut ganti-rugi lagi di muka Pengadilan Negeri.

Alasan mendesak tersebut adalah keadaan yang sedemikian

rupa sehingga mengakibatkan bahwa dari pihak buruh adalah ti-

dak layak mengharapkan untuk meneruskan hubungan-kerja. A las-

an mendesak dapat dipandang antara lain ada:

1. apabila majikan menganiaya, menghina secara kasar atau

melakukan ancaman yang membahayakan pihak buruh,

anggota keluarga atau anggota rumah-tangga buruh, atau

membiarkan perbuatan semacam itu dilakukan oleh anggota

rumah-tangga atau buruh bawahan majikan;

2. apabila majikan membujuk atau mencoba membujuk buruh

anggota keluarga atau anggota rumah-tangga buruh mela-


kukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang

atau dengan tata-susila atau membiarkan pembujukan atau

percobaan pembujukan semacam itu dilakukan oleh anggota

rumah-tangga atau buruh bawahan majikan;

3. apabila majikan tidak membayar upah pada waktunya;

4. apabila majikan di mana makan dan pemondokan diperjanji-

kan, tidak memenuhinya secara layak;

5. apabila majikan tidak memberi cukup pekerjaan kepada buruh

yang upahnya ditetapkan berdasarkan hasil pekerjaan yang

dilakukan;

6. apabila majikan tidak memberi atau cukup memberi bantuan yang diperjanjikan kepada buruh
yang upahnya ditetapkan

berdasarkan hasil pekerjaan yang dilakukan;

7. apabila majikan dengan jalan lain seccara keterlaluan mela-

kukan kewajiban yang dibebankan padanya oleh perjanjian;

8. apabila majikan dalam hal sifat hubungan-kerja tidak men-

cakupnya, menyuruh buruh, meskipun telah ditolak, untuk

melakukan pekerjaan di perusahaan seorang majikan lain

9. apabila terus berlangsungnya hubungan-kerja bagi buruh dapat

menimbulkan bahaya besar yang mengancam jiwa, kesehatan,

kesusilaan atau nama baiknya yang tidak terlihat pada waktu

pembuatan perjanjian-kerja;

10. apabila buruh karena sakit atau alasan lain di luar kesalahan-

nya, menjadi tidak mampu melakukan pekerjaan yang diper-

janjikan.

Jika alasan mendesak yang digunakan buruh untuk memutuskan

hubungan-kerja itu, diberikan oleh pihak majikan dengan sengaja

atau karena kesalahannya, maka pihak majikanlah yang harus

membayar ganti-rugi menurut masa-kerja buruh atau ganti-rugi

sepenuhnya.

Sebagai kelanjutan dari prinsip bahwa buruh tidak boleh dipaksa


untuk terus bekerja bila ia sendiri tidak menghedakinya, diadakan

ketentuan bahwa buruh dapat mengakhiri hubungan-kerja yang

diadakan untuk waktu lebih lama dari lima tahun atau untuk se-

lama hidupnya seseorang tertentu, sejak saat lewatnya lima tahun

dari permulaan hubungan-kerja, dengan mengindahkan tenggang

wartu enam bulan.

II HUBUNGAN-KERJA PUTUS DEMI HUKUM

Selain diputuskan oleh pihak majikan atau oleh pihak buruh,

hubungan-kerja dapat berakhir demi hukum.

Hubungan-kerja yang diadakan untuk waktu tertentu, putus demi

hukum bila waktu yang ditentukan itu lampau. Dengan habisnya

waktu berlakunya itu, hubungan-kerja putus dengan sendirinya

artinya tidak disyaratkan adanya pernyataan pengakhiran atau adanya tenggang waktu pengakhiran.

Untuk menjaga agar buruh tidak sekonyong-konyong meng-

hadapi kenyataan tidak mempunyai pekerjaan lagi, ada baiknya

dimintakan dari pihak majikan agar sebelumnya dalam waktu yang

layak, memberitahukan akan berakhirnya hubungan-kerja itu

kepada buruh.

Di dunia pelayaran kita mengenal perjanjian-kerja untuk satu

pelayaran tertentu. Dengan selesainya pelayaran atau perjalanan

itu, hubunga-kerja putus demi hukum.

Hubungan-kerja putus demi hukum pula, bila buruh meninggal

dunia.

Hubungan-kerja tidak berakhir dengan meninggalnya majikan,

kecuali bila watak hubungan-kerja atau perjanjian-kerja itu sendiri

menghendaki sebaliknya.

Ketentuan bahwa meninggalnya majikan tidak memutuskan

hubungan-kerja sebenarnya hanya merupakan cetusan dari prinsip

yang lebih tinggi, yaitu bahwa pemindah-tanganan suatu perusahaan

tidak memutuskan hubungan-kerja.

Ketentuan tersebut di atas ini diperlemah oleh ketentuan lain


yang memberi wewenang kepada ahli waris untuk -setelah

menerima penerusan hubungan-kerja itu- mengakhiri hubungan-

kerja itu. Bahkan diberi wewenang memutuskan hubungan-kerja

yang diadakan untuk waktu tertentu menurut cara dan syarat

seolah-olah hubungan-kerja itu diadakan untuk waktu tidak

tertentu.

Wewenang ahli waris ini sekarang dengan adanya Undang-

undang No. 12 tahun 1964 sangat dibatasi, karena ahli waris itu

bagaimanapun juga harus minta izin terdahulu dari Panitia Pe-

nyelesaian Perselisihan Perburuhan untuk mengadakan pemutusan

hubungan-kerja.

V PEMUTUSAN HUBUNGAN-KERJA OLEH PENGADILAN

Masing-masing pihak, yaitu pihak majikan dan buruh, setiap wak

tu, juga sebelum pekerjaan dimulai, berwenang berdasarkan alasan penting, mengajukan
permintaan tertulis kepada pengadilan

Negeri di tempat kediamannya yang sebenarnya untuk menyata-

kan perjanjian-kerja putus.

Dipandang sebagai alasan penting, selain mendesak, adalah

iuga perubahan keadaan pribadi atau kekayaan dari pemohon atau

pihak lainnya atau perubahan dalam hal pekerjaan dilakukan, yang

sedemikian rupa sifatnya sehingga adalah layak segera atau dalam

waktu pendek diputuskannya hubungan-kerja itu.

Pengadilan meluluskan permintaan itu hanya setelah mendengar

atau memanggil secara sah pihak lainnya.

Jika Pengadilan meluluskan permintaan tersebut. Pengadilan

menetapkan saat hubungan-kerja itu akan berakhir.

Pemutusan hubungan-kerja yang dilakukan Pengadilan atas

permintaan pihak majikan dengan sendirinya tidak memerlukan

izin lagi dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan.

Demikianjuga halnya dengan pemutusan hubungan-kerja yang

dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan untuk kepentingan majik-


an yang dinyatakan pailit dan pemutusan hubungan-kerja yang

dilakukan oleh Perwakilan Indonesia di luar Indonesia untuk

kepentingan pengusaha kapal.

Terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut tidak ada jalan

untuk melawannya, dengan tidak mengurangi wewenang Jaksa

Agung untuk, semata-mata demi kepentingan undang-undang,

mengajukan permintaan kasasi terhadap putusan tersebut.

6. PENYELESAIAN PERSELISIHAN PERBURUHAN

Perselisihan perburuhan menurut perumusan Undang-undang

tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan sendiri adalah per-

lentangan antara majikan atau perkumpulan majikan dengan

Serikat buruh atau gabungan serikat buruh berhubung dengan

taak adanya persesuaian pahanm mengenai hubungan-kerja,

Syarat-syarat kerja danlatau keadaan perburuhan.

Sehubungan dengan perumusan itu maka mengenai perseli-

Sinan perburuhan dibeda-bedakan antara perselisihan-hak rechtsgeschil)) dan perselisihan-


kepentingan (belangengeschil).1)

Dengan perselisihan-hak dimaksudkan perselisihan yang timbul

Karena salah satu pihak pada perjanjian-kerja atau perjanjian-per-

buruhan tidak memenuhi isi perjanjian itu atau peraturan-nmajikan

ataupun menyalahi ketentuan hukum.

Mengenai perselisihan-hak "Reglement op de Rechterliike

Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesia" (RO stbl 1847 no.

23) menetapkan pada pasal 116g bahwa penagihan mengenai

perjanjian-kerja dan perjanjian-perburuhan dengan tidak melihat

jumlahnya uang dan tidak melihat golongan warganegara dari pihak-

pihak yang bersangkutan pada tingkat pertama diadili oleh hakim-

residensi (residentie-rechter). Dengan dihapuskannya hakim residensi

itu (Undang-undang Darurat no. 1 tahun 1951, LN 1951 no. 9),

sekarang soal perselisihan-hak masuk wewenang Pengadilan Negeri.

Dengan tidak mengubah ketentuan itu, Undang-undang tentang


Penyelesaian Perselisihan Perburuhan mengenai perselisihan-hak

tersebut, memberi wewenang kepada Panitia Penyelesaian Per-

selisihan Perburuhan untuk menyelesaikannya."Tidak adanya

persesuaian paham mengenai hubungan-kerja" adalah tidak lain

dari pada perselisihan-hak.

Dengan demikian maka mengenai perselisihan-hak di bidang

perburuhan ada dua badan atau instansi yang berwenang menye-

lesaikan, yaitu Pengadilan Negeri dan Panitia Penyelesaian Per-

selisihan Perburuhan.

Tetapi dalam pada itu ada dua perbedaan yang pokok, yaitu

1. yang dapat menuntut di muka Panitia Penyelesaian Perselisih-

an Perburuhan hanyalah majikan dan organisasi buruh, tidak

juga buruh perseorangan, sedang di muka Pengadilan Negeri

buruh perseorangan dapat mengajukan tuntutannya;

2.sanksi putusan Pengadilan Negeri adalah semata-mata sanksi

perdata, sedang pihak yang tidak tunduk pada putusan Panitia

Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dapat pula dikenakan

nidana kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda

setinggi-tingginya sepuluh ribu rupiah.

Perselisihan-kepentingan adalah mengenai usaha mengadakan

nerubahan daiam syarat-syarat perburuhan yang oleh organisasi

huruh dituntutkan kepada pihak majikan atau menurut perumusan

di atas pertentangan berhubung dengan tidak adanya persesuaian

paham mengenai syarat-syarat kerja dan/atau keadaan perbu-

ruhan

Perselisihan-kepentingan ini hanya dapat diajukan kepada

Penitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, tidak kepada Penga-

dilan Negeri. Memang maksud Undang-undang tentang Penye-

lesaian Perselisihan Perburuhan adalah pertama-tama dan teruta-

ma untuk menampung perselisihan kepentingan tersebut, yang

sebelumnya - bahkan sekarang masih di kebanyakan negara lain


- terserah kepada adu-kekuatan (free fight) antara pihak-pihak

yang bersangkutan dengan senjata: pemogokan (strike). mem-

perlambat pekerjaan (slow-down) dan penutupan perusahaan (lock

out).

Perselisihan perburuhan seperti halnya dengan tiap perse-

lisihan lainnya - dapat diselesaikan secara damai oleh mereka

yang berselisih sendiri baik tanpa maupun dengan bantuan pihak

ketiga atau secara tidak damai diserahkan kepada Panitia Penye-

lesaian Perselisihan Perburuhan (selanjutnya disebut: Panitia).

I. PENYELESAIAN SECARA SUKARELA

Ferselisihan perburuhan biasanya dimulai dengan tuntutan dari pi-

hak organisasi buruh kepada pihak majikan mengenai misalnya

kenaikan upah.

untutan ini pertama-tama harus diselesaikan oleh kedua belah

pihak dengan jalan perundingan. Hasil perundingan, bila merupa-

Kan persetujuan dapat disusun menjadi suatu perjanjian-perburuhan menurut ketentuan-ketentuan


dalam Undang-undang Perjanjian

Perburuhan.

JIka dalam perundingan tersebut oleh pihak-pihak yang berse

lisih sendiri tidak dapat diperoleh persesuaian paham, maka

sebetulnya barulah terjadi suatu perselisihan perburuhan, yaitu

pertentangan antara majikan dengan serikat buruh berhubung

dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai syarat-syarat

kerja

Bagi yang berselisih itu hanya ada dua jalan yang dapat ditem-

puh yaitu:

1. menverahkan perselisihan mereka secara sukarela kepada

seorang juru atau sebuah badan/dewan pemisah untuk

diselesaikan dengan arbitrase atau

menyerahkan perselisihan itu kepada pegawai Perburuhan.

Penyerahan perselisihan kepada juru pemisah atau dewan


pemisah harus dilakukan dengan surat perjanjian antara kedua

belah pihak. Dalam surat perjanjian itu diterangkan:

a. pokok persoalan yang menjadi perselisihan dan yang akan

diserahkan kepada juru atau dewan pemisah untuk diselesaikan,

b. nama pengurus atau wakil serikat buruh dan majikan serta

tempat kedudukan mereka,

c. siapa yang ditunjuk menjadi juru pemisah atau dewan pemisah

serta tempat tinggalnya,

d. bahwa kedua belah pihak akan tunduk kepada putusan yang

akan diambil oleh juru pemisah atau dewan pemisah,

e. hal-hal yang perlu untuk melancarkan pemisahan.

Penunjukan juru pemisah atau pembentukan dewan pemisah,

demikian pula mengenai tata cara pemisahan, terserah sepenuhnya

kepada persetujuan kedua belah pihak.

Pegawai Perburuhan atau Panitia Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan Daerah- selanjutnya disebut Panitia Daerah-yang

telah pernah memberi peraturan, dapat puladipilih menjadi juru

pemisah atau dewan pemisah atau atas permintaan membantu

kedua belah pihak dalam memilih juru pemisah atau membentuk dewan pemisah dan menyusun
tata cara pemisahan. Dalam prak-

ik sering kali Panitia Daerah ditunjuk sebagai dewan pemisah.

karena dengan demikian pihak-pihak yang berselisih tidak usah

mengeluarkan biaya bagi pemisahan itu!

Sebetulnya sama saja putusan Panitia Daerah selaku dewan

emisah dan putusan Panitia Daerah sebagai instansi "pengadil-

an" perburuhan. Bahkan putusan Panitia Daerah selaku dewan

pen.isah dapat merugikan karena tidak dapat dimintakan banding

kepada Panitia Pusat!

Putusan juru atau dewan pemisah harus memuat:

hal-hal yang temuat dalam surat perjanjian penyerahan tersebut


di atas,

b. ikhtisar tuntutan, balasan dan penjelasan lebih lanjut oleh kedua

belah pihak,

c. pertimbangan yang menjadi dasar putusan itu.

d. pokok putusan.

Putusan harus diberi tanggal, dibubuhi nama tempat putusan

itu diambil dan ditanda-tangani oleh juru atau anggota-anggota

dewan pemisah.

TerhadaP putusan juru pemisah atau dewan pemisah tidak

dapat dimintakan pemeriksaan ulangan.

Terhadap putusan juru pemisah atau dewan pemisah dapat

dimintakan pengesahan dari Panitia Pusat dan Panitia Pusat ini

harus memberi pengesahannya, kecuali:

1. Jika ternyata putusan itu melampaui kekuasaan juru atau de-

wan pemisah;

2.di dalamnya terdapat hal-hal yang menunjukkan iktikad buruk;

3. di dalamnya terdapat hal-hal yang bertentangan dengan undang-

undang tentang ketertiban umum atau dengan tata susila.

Jika Panitia Pusat menolak pengesahan itu Panitia Pusat harus

mengatur akibat penolakan itu.

Putusan yang disahkan oleh Panitia Pusat memperoleh ke-

Kuatan hukum sebagai putusan Panitia Pusat artinya:

.dapat dimintakan kepada Pengadilan Negeri supaya putusan itu dinyatakan dapat dijalankan (fiat
executie) dan selanjutnya

dilaksanakan menurut aturan yang biasa untuk menjalankan

Suatu putusan perdata.

2. pihak yang tidak tunduk pada putusan itu diancam dengan pidana

kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda setinggi-

tingginya sepuluh ribu rupiah.

Sehubungan dengan putusan P-4 (Panitia Penyelesaian Per-

selisihan Perburuhan) dapat dimintakan fiat eksekusi (pernyataan


dapat dijalankan) oleh pihak yang bersangkutan maka perlu

diperhatikan akan Surat Edaran Mahkamah Agung no. I tahun

1980 yang memberi penjelasan serta petunjuk perihal fiat eksekusi

dan kewenangan (kompetensi) P4 dalam penyelesaian perselisih-

an perburuhan.

II. PENYELESAIAN SECARA WAJIB

Tiap perselisihan yang tidak dapat diselesaikan dengan perunding-

an dan oleh yang berselisih tidak diserahkan kepada juru atau

dewan pemisah, oleh pihak-pihak tersebut atau oleh salah satu

dari mereka, harus diberitahukan dengan surat kepada pe-

gawai Perburuhan, yaitu pegawai Kementerian Perburuhan yang

oleh Menteri Perburuhan ditunjuk untuk memberi perantaraan

dalam perselisihan perburuhan.

Pemberitahuan wajib ini dipandang sebagai permintaan kepada

pegawai Perburuhan untuk memberi perantaraan guna mencari

penyelesaian dalam perselisihan tersebut.

Perantaraan yang wajib diberikan itu dimulai dengan mengadakan

penyelidikan tentang duduk perkara perselisihan dan sebab-sebabrya

Dalam waktu tujuh hari selambat-lambatnya, pegawai meng

adakan perundingan dengan pihak-pihak yang berselisih dan

mengusahakan serta memimpin perundingan antara pihak-pi.1ak

itu ke arah mencapai penyelesaian secara damai, artinya mencapal

persesuaian paham antara pihak-pihak itu.

Persetujuan yang tercapai dalam perundingan itu mempunyal

kekuatan hukum sebagai perjanjian-perburuhan.

Jika perundingan itu tidak menghasilkan persetujuan dan ka-

rena itu pegawai berpendapat bahwa perselisihan itu tidak dapat

diselesaikan dengan perantaraan olehnya, maka hal itu olehnya

ceoera diserahkan kepada Panitia Daerah dengan memberitahu-

kan hal itu kepada pihak-pihak yang bersangkutan.

Panitia Daerah pertama-tama juga memberi perantaraan, yaitu


segera setelah menerima penyerahan perselisihan, mengadakan

perundingan dengan pihak-pihak yang berselisih.

Jika perundingan itu menghasilkan persetujuan, persetujuan ini

juga mempunyai kekuatan hukum sebagai perjanjian-perburuhan.

Jika perundingan tidak menghasilkan persetujuan, Panitia Dae

rah bersiap-siap untuk mengambil putusan. Panitia Daerah me-

nimbang segala sesuatu dengan mengingat hukum, perjanjian

yang ada, kebiasaan, keadilan dan kepentingan negara.

Putusan Panitia Daerah dapat bersifat anjuran, yaitu meng-

anjurkan kepada pihak-pihak yang bersangkutan agar menerima

penyelesaian menurut ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam

putusan itu.

Jika Panitia Daerah berpendapat bahwaperselisihan itu sukar

dapat diselesaikan dengan putusan yang berupa anjuran, maka

Panitia Daerah memberi putusan yang bersifat mengikat.

Salinan surat putusan itu segera disampaikan kepada kedua

belah pihak yang berselisih dengan surat tercatat atau dengan

perantaraan pegawai kepaniteraan masing-masing selembar.

Putusan yang bersifat mengikat ini, jika terhadapnya dalam

waktu 14 hari setelah putusan itu diambil, tidak dimintakan peme-

riksaan ulangan kepada Panitia Pusat, dapat mulai dilaksanakan.

Jika putusan itu tidak dilaksanakan secara sukarela, maka untuk

neiaksanakan putusan itu oleh yang bersangkutan dapat dimintakan

Kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat

Kedudukan pihak terhadap siapa putusan itu akan dijalankan, supaya

putusan itu dinyatakan dapat dijalankan. Sesudah dinyatakan dapat

dijalankan demikian oleh Pengadilan Negeri itu, putusan dilaksanakan

menurut aturan yang biasa untuk menjalankan putusan perdata.

Barang siapa tidak tuduk kepada putusan yang bersifat meng.

IKat itu, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya tiga

Dulan atau denda setinggi-tingginya sepuluh ribu rupiah.


Terhadap putusan Panitia Daerah yang bersifat mengikat itu,

dalam waktu 14 hari setelah putusan diambil, salah satu pihak

yang berselisih dapat minta pemeriksaan ulangan kepada Panitia

Pusat, kecuali bila menurut pendapat Panitia Pusat putusan itu

mengenai soal yang khusus bersifat lokal.

Yang menurut Panitia Pusat sendiri adalah soal yang khusus

bersifat lokal ialah yang tidak mengenai hal-hal sebagai berikut:

1. soal yang meliputi lebih dari satu wilayah Pan tia Daerah;

2. perselisihan mengenai perjanjian-perburuhan atau upah di

perusahaan perkebunan, pelabuhan, minyak tanah (aardolie),

timah, rokok, beras, pelayaran, pengangkutan udara dan ril;

3. Perselisihan mengenai pemberhentian massal (lebih dari 9 orang);

4. Perselisihan mengenai pembentukan/perubahan peraturan

pensiun/jaminan hari tua dan jaminan sakit;

5. semua putusan Panitia Daerah yang bertentangan dengan

undang-undang atau bertentangan dengan perjanjian-perburuhan

yang beriaku.

Selain menerima permintaan pemeriksaan ulangan, Panitia Pu-

sat dapat pula menarik perselisihan perburuhan dari tangan pega-

wai atau Panitia Daerah untuk diselesaikan, bila perselisihan itu

menurut pendapatnya dapat membahayakan kepentingan negara

atau kepentingan umum.

Bahkan dalam praktik Panitia Pusat acap kali menarik putusan

Panitia Daerah yang berupa anjuran yang oleh salah satu pihak

ditolak atau salah satu pihak tidak menyatakan pendiriannya

menerima atau menolak anjuran itu!

Penarikan yang terakhir ini sebenarnya tidak mempunyai dasar

dalam Undang-undang No. 22 tahun 1957.

Dalam mengambil putusan, Panitia Pusat menimbang sesuatu

dengan mengingat hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan, keadilan

dan kepentingan negara.


Semua putusan Panitia Pusat bersifat mengikat.

ika Perlu, untuk melaksanakan putusan Panitia Pusat, oleh

pihak yang bersangkutan dapat dimintakan kepada Pengadilan

Neoeri di Jakarta, supaya putusan itu dinyatakan dapat dijalan-

kan. Kemudian putusan itu dilaksanakan menurut aturan yang

biasa untuk menjalankan putusan perdata.

Barang siapa tidak tunduk pada putusan Panitia Pusat itu

diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya tíga bulan atau

denda setinggi-tingginya sepuluh ribu rupiah.

Dalam waktu 14 hari setelah putusan itu diambil, Menteri Per

buruhan dapat membatalkannya atau menunda pelaksanaannya,

jika demikian itu dipandangnya perlu untuk memelihara ketertiban

umum dan melindungi kepentingan negara.

Dalam surat keputusan pembatalan atau penundaan itu diatur

akibat-akibat pembatalan atau penundaan tersebut.

Penyelesaian perselisihan seperti yang' diuraikan di atas ini,

adalah penyelesaian yang biasanya disebut: pemisahan wajib

atau arbitrase wajib atau dalam bahasa asing compulsory arbi-

tration, sedang penyelesaian seperti diuraikan terdahulu disebut

pemisahan sukarela atau arbitrase sukarela atau dalam bahasa

asing: voluntary arbitration. Dengan demikian jelas bahwa Un-

dang-undang No. 22 tahun 1957 bukanlah membentuk"pengadilan

khusus yaitu "pengadilan perburuhan", melainkan hanya meng-

adakan arbitrase wajib.

Undang-undang No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Per-

selisihan Perburuhan ini yang dibentuk pada zaman berlakunya

Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dalam satu hal di bawah

ini, adalah tidak sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufä-

Kat karena masih membolehkan suatu pihak melakukan tindakan

terhadap pihak lainnya, yaitu:

.dari pihak majikan: menolak buruh-buruh seluruhnya atau


sebagian untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat per

selisihan perburuhan, dilakukan dengan maksud untuk menekan

atau memba.tu majikan lain menekan supaya buruh menerima hubungan-kerja, syarat-syarat kerja
dan atau keadaan er.

uruhan (= penutupan, uitsluiting, lock out) tertentu;

dari pihak buruh: secara kolektif menghentikan pekerjaun (

pemogokan, staking, strike) atau memperlambatjalannya pekerjaan

slow down), sebagai akibat perselisihan perburuhan, dilakukan

dengan maksud untuk menekan atau membantu golongan buruh

lain menckan supaya majikan menerima hubungan-kerja,

syarat-syarat kerja dan atau keadaan perburuhan tertentu.

Peraturan lain yang pada dasarnya melarang pemogokan dan

penutupan perusahaan adalah Undang-undang No. 7 PRPS 1963

tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau Penutupan (Lock Out)

di Perusahaan-perusahaan, Jawatan-jawatan dan Badan-badan

yang Vital. Semula isi undang-undang ini terdapat dalam Penetap-

an Presiden No. 7 tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan

dan/atau Penutupan (Lock Out) di Perusahaan-perusahaan, Ja

watan-jawatan dan Badan-badan yang Vital, yang kemudian

ditingkatkan sebagai undang-undang dengan Undang-undang No.

5 tahun 1969 (L.N. 1969 No. 36).

Prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat yang menja-

di dasar peri kehidupan bangsa dan negara Indonesia tidak

mengenal tekan-menekan atau hantam-hantaman dengan

Senjata, penutupan dan pemogokan!

III. PEMBERIAN 1ZIN PEMBERHENTIAN

Tugas dan wewenang Panitia Penyelesaian Perselisihan Per-

buruhan mengenai pemberian izin pemberhentian, sebenarmya lebih

tepat masuk Bab Pemutusan Hubungan Kerja. Karena itu soal ini

akan dibahas secara singkat saja.

Undang-undang tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Pe


rusahaan Swasta menghendaki supaya maksud hendak mem

perhentikan buruh, mendapat izin terlebih dahulu dan menunjuk

sebagai instansi pemberi izin itu, Panitia Daerah jika mengenal

pemberhentian buruh perseorangan dan Panitia Pusat bila mengena

pemberhentian massal.

Menurut undang-undang pengusaha pertama-tama harus

mengadakan segala usaha untuk menghindarkan pemberhentian

hDalam praktik terjadi sebaliknya. Justru karena pengusaha

tidak lagi dapat mempertahankan buruh itu, timbul maksud hendak

memperhentikan bunuh.

AMaksud itu harus dirundingkan dengan organisasi buruh yang

hers.angkutan atau dengan buruh sendiri dalam hal buruh ini tidak

menjadi anggota dari salah satu organisasi buruh. Jika dalam

perundingan itu tercapai persetujuan, yaitu organisasi buruh atau

huruh menyetujui pemberhentiannya, maka sebenarnya soal

pemberhentian itu telah terselesaikan secara damai.

Walaupun demikian, tetapi dalam hal pemberhentian itu disetujui

oleh buruh, surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No. 362/67 meng-

hendaki supaya pemberhentian itu tetap dimintakan izin!

Jika dalam perundingan tidak tercapai persetujuan, hingga

terdapat suasana: pertentangan antara majikan dengan organisasi

buruh atau buruh, berhubung dengan tidak adanya persesuaian

paham mengenai hubungan-kerja.

Formilnyaperselisihan" ini tidak dapat diberitahukan kepada

pegawai perburuhan untuk minta perantaraannya oleh pihak bu-

ruh atau pihak serikat buruh. Juga pengusaha tidak dapat minta

perantaraan dari pegawai tersebut.

Untuk menyelesaikan persoalan itu majikan harus mengajukan

permohonan izin untuk memperhatikan buruh dengan jalan meng-

1SI daftar-isian yang telah disediakan untuk itu disertai alasan-

alasan untuk pemberhentian.


Segera setelah Panitia menerima surat permohonan izin itu,

Panitia memanggil pihak-pihak yang bersangkutan untuk

mengadakan perundingan. Dalam praktik bukanlah diadakan

perundingan, melainkan Panitia hanya mengadakan pembicaraan

Secara terpisah dengan pihak-pihak yang bersangkutan.

JIka daläm perundingán itu tidak tercapai persetujban, Panitia

Dersiap-siap untuk mengambil putusan memberi atau menolak

permohonan izin itu.

Karena dilarang, maka Panitia akan menolak pemberian izin pemberhentian:

Selama buruh berhalangan menjalankan pekerjaan karena

Keadaan sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak

melampaui dua belas bulan terus-menerus;

.selama buruh berhalangan menjalankan pekerjaan karena

memenuhi kewajiban terhadap negara yang ditetapkan dengan

undang-undang atau oleh Pemerintah atau karena menjalan-

kan ibadat yang diperintahkan agamanya dan yang disetujui

Pemerintah:

3. bila didasarkan atas:

a. hal yang berhubungan dengan keanggotaan serikat buruh

atau Karena kegiatan dalam gerakan buruh di luar jam kerja

atau dengan izin majikan sewaktu jam kerja;

b. pengaduan buruh kepada yang berwajib mengenai tingkah-

laku majikan karena terbukti melanggar peraturan negara;

c. faham, agama, aliran, suku, daerah, golongan atau kelamin.

Pemintaan izin dapat dikabulkan, bila alasannya adalah buruh

telah melanggar hukum atau merugikan perusahaan, misalnya:

pencurian, penggelapan;

dengan sengaja atau karéna kecerobohan merusak milik pe-

rusahaan;

memberi keterangan palsu;

mabuk di tempat kerja,


dan lain sebagainya.

Mengenai permintaan izin untuk pemberhentian massal telah

kita bicarakan di atas (hal. 92).

Dalam pemberian izin Panitia dapat menetapkan syarat-syarat

tertentu, misalnya kewajiban pengusaha untuk memberi uang

pesangon, uang jasa dan ganti-rugi lainnya.

Misalnya uang pesangon itu jumlahnya adalah sedikit-dikitnya:

masa kerja kurang dari satu tahun

1 bulan upah,

masa kerja satu tahun atau lebih tetapi

2 bulan upah,

kurang dari dua tahun

masa kerja dua tahun atau lebih tetapi

3 bulan upah,

kurang dari tiga tahun

masa kerja tiga tahun atau lebih tetapi

kurang dari empat tahun

4 bulan upah.

masa kerja empat tahun atau lebih tetapi

kurang dari lima tahun

5 bulan upah.

masa kerja lima tahun atau lebih tetapi

kurang dari enam tahun

6 bulan upah.

masa kerja enam tahun atau lebih

7 bulan upah.

Terhadap pemolakan pemberian 1Zin atau pemberian izin dengan

svarat, dalanm waktu empat belas hari setelah putusan Panitia

Daerah diterima oleh pihak-pihak yang bersangkutan, baik buruh

dan/atau pengusaha ataupun organisasi buruh yang bersangkutan,

dapat minta banding kepada Panitia Pusat.


Pada tingkat banding ini buruh perorangan dapat menjadi

penggugat di muka Panitia Pusat.

Pemutusan hubungan-kerja tanpa izin adalah batal karena hukum.

Jika majikan tanpa izin memberhentikan seorang buruh dan

karena itu tidak bersedia membayar upah buruh, kepada siapakah

buruh ini dapat mengadu?

Jika ia anggota organisasi buruh, organisasi buruh ini dapat

mengadu kepada Panitia Daerah. Tetapi jika ia tidak tergabung

dalam organisasi buruh, formilnya ia tidak dapat mengadu kepada

Panitia Daerah, karena Panitia Daerah ini tidak dapat menerima

perorangan sebagai pihak buruh yang mengadu. Buruh perorangan

1adi tidak dapat pula maju di muka Panitia Pusat, karena perkaranya

bukanlah perkara banding.

Satu-satunya jalan melalui Pengadilan Negeri, adalah sangat

panjang! dan mahal!

Karena itu harus diambil kebijaksanaan agar buruh dalam hal

Sedemikian itu, dapat mengadu kepada pegawai perburuhan. se

B8a bila perlu, melalui pegawai perburuhan ini, persoalannya

aapat disalurkan sampai ke tangan Panitia Daerah atau langsung

kepada Panitia Daerah ini.

Dan memang seiak awal tahun 1969 instansi perburuhan

mengambil kebijaksanaan tersebut

Nyatanya masih banyak buruh diberhentikan oleh pengusaha

tanpa mengindahkan tata cara perizinan. Karena itu ada baiknya

pelanggaran semacam itu diancam dengan pidana berdasarkan

Undang-undang No. 14 tahun 1969. Sebaiknya ada beberapa Pani-

tia Daerah di seluruh Indonesia yang seluas 26 Propinsi!!

Anda mungkin juga menyukai