Anda di halaman 1dari 13

RESUME BUKU

Constitutionalism: Ancient and Modern

Charles Howard McIlwain

Buku ini membahas tentang konstitusionalisme dari zaman klasik


(yunani kuno) sampai ke abad modern, terdiri dari 6 bab pada setiap bab
membahas secara lugas beberapa definisi dan konsep tentang
konstitusionalisme.

Dimulai pada Bab I menjabarkan beberapa definisi tentang


konstitusionalisme modern, dilanjutkan pada Bab II menjelaskan beberapa
konsep konstitusi pada zaman klasik. Dilanjut pada Bab III membahas tentang
konstitusi dan beberapa pengaruhnya di zaman Romawi. Kemudian di Bab IV
membahas bagaimana definisi dan konsep konstitusi di abad pertengahan.
Pada Bab V khusus membahas bagaimana transisi pemahaman konsep dan
definisi konstitusi dari abad pertengahan ke abad modern, dan terakhir pada
Bab VI membahas tentang definisi dan konsep konstitusi modern serta
beberapa permasalahannya.

Berikut ini penulis coba menjabarkan secara singkat dan jelas bab per
bab yang telah disebutkan di atas.

1
BAB I

Beberapa Definisi Konstitusionalisme Modern

Seiring berjalannya waktu prinsip umum konstitusi dari zaman klasik


sampai sekarang selalu diperdebatkan. Dunia seakan bingung bagaimana
menyeimbangkan antara prosedur hukum dan proses yang memaksa seakan-
akan terlihat cepat dan efektif. Kita mesti membuat keputusan antara dua
permasalahan ini (prosedur hukum dan/atau proses yang memaksa), jika kita
membuat keputusannya secara bijak maka pilihan itu akan masuk akal dan
dapat diterima, entah pada akhirnya kita memutuskan itu adalah prosedur
hukum atau keputusan yang memaksa, maka dari itu kita mesti menyelidiki
kembali sejarah konstitusi kita. Penulis sebisa mungkin menjelakan secara
jelas bagaimana prosedur hukum dan keputusan yang memaksa.

Pada tahun 1792 Arthur Young berusaha menguraikan gagasan


konstitusi Perancis, dia mengatakan, ''adalah sebuah istilah baru yang telah
diadopsikan; dan yang mereka gunakan seakan konstitusi adalah sebuah
puding yang dibuat dengan tanda terima.'' Pada waktu yang sama Thomas
Paine menulis, baru-baru ini Amerika menulis konstitusi adalah ''kebebasan",
di tempat lain ia mengatakan konstitusi pada umumnya:

Pengertian konstitusi dibuat oleh rakyat untuk membentuk, bukan


sebaliknya ditetapkan oleh pemerintah untuk rakyat, bahkan lebih lanjut
dikatakan oleh Thomas Paine "konstitusi itu mendahului pemerintahan,
karena pemerintahan itu justru dibentuk berdasarkan konstitusi, oleh karena
itu konstitusi itu lebih dulu ada dari pemerintahan".

Pada 1766 Lord Chancellor Northington mengatakan dalam proses


perdebatan tentang pencabutan UU Stamp: ''Setiap pemerintah dapat
sewenang-wenang memaksakan hukum pada semua hal; harus ada
kekuasaan tertinggi di setiap negara; apakah monarki, aristokrasi, demokrasi,

2
atau campuran. Dan semua komponen negara terikat oleh hukum yang dibuat
oleh pemerintah.''

Pada 1791 Burke, meskipun menentang doktrin radikalisme, dengan


tegas mengulangi pernyataan sebelumnya bahwa Amerika dalam
pemberontakan mereka melawan Inggris telah terjadi ''dalam hubungannya
dengan Inggris, seperti yang telah dilakukan Raja James kedua, di tahun
1688.''

Ilustrasi perubahan konsep perbudakan dan konstitusi itu mesti diambil


secara definitif materi-materinya pada abad ke 17 dan 18.

Dalam kontras teori ''mengerikan'' undang-undang septenial yang


dipengaruhi revolusi Whig, Bolingbroke menyatakan bahwa parlemen
konvensional adalah bertindak tidak sebagai tubuh dengan otoritas yang
melekat, sewenang-wenang, berdaulat tetapi hanya sebagai suara dari seluruh
rakyat.

Pada waktunya, seperti Parlemen Konvensi 1660, konvensi ini


dinyatakan sebagai parlemen dalam arti kata sebagai tindakan restorasi; tetapi
memilih ''Model lama'' bukan baru, tidak ada indikasi bahwa wakil dari
''Tubuh berpolitik'' pernah benar-benar diberikan, atau pernah berpikir untuk
berunding pada diri mereka sendiri sebagai parlemen baru, otoritas hukum
tidak dinikmati oleh parlemen sebelum revolusi. Ini akan diperlukan nanti
untuk menunjukkan bahwa otoritas ini adalah bukan menjadi otoritas
sewenang-wenang pada parlemen sebelumnya.

3
BAB II

Konsep Konstitusionalisme Klasik

Dalam catatan sejarah klasik terdapat dua perkataan yang berkaitan


erat dengan pengertian kita sekarang tentang konstitusi, yaitu dalam
perkataan Yunani kuno "politeia" dan perkataan bahasa Latin "constitutio"
yang juga berkaitan dengan kata "jus". Dalam kedua perkataan "politeia" dan
"constitutio" itulah awal mula gagasan konstitusionalisme diekspresikan oleh
umat manusia beserta hubungan diantara kedua istilah tersebut dalam
sejarah. Jika kedua istilah tersebut dibandingkan, dapat dikatakan bahwa
yang paling tua usianya adalah kata "politeia" yang berasal dari kebudayaan
Yunani.

Namun, dalam bahasa Yunani kuno tidak dikenal adanya istilah yang
mencerminkan pengertian kata "jus" ataupun "constitutio" seperti dalam tradisi
Romawi yang datang kemudian. Dalam keseluruhan sistem berpikir para
filosof Yunani kuno, perkataan "constitution" seperti yang kita maksudkan
sekarang, tidak dikenal. Bersamaan dengan banyak aspek dari hukum
Romawi yang dipinjam ke dalam sistem pemikiran hukum di kalangan gereja,
maka istilah teknis "constitution" juga dipinjam untuk menyebut peraturan-
peraturan eklesiastik yang berlaku di seluruh gereja ataupun untuk beberapa
peraturan eklesiastik yang berlaku di gereja-gereja tertentu. Karena itu, kitab-
kitab Hukum Romawi dan Hukum Gereja (kanonik) itulah yang sering
dianggap sebagai sumber rujukan paling awal mengenai penggunaan
perkataan "constitution" dalam sejarah.

Di Inggris, peraturan yang pertama kali dikaitkan dengan istilah


konstitusi adalah "Constitutions of Clarendon 1164" yang disebut oleh Henry II
sebagai "constitutions", "avitae constitutions or leges, a recordatio vel
recognition", menyangkut hubungan antara gereja dan pemerintahan negara
pada masa pemerintahan kakeknya, yaitu Henry I. Isi peraturan yang disebut
sebagai konstitusi tersebut masih bersifat eklesiastik, meskipun

4
pemasyarakatannya dilakukan oleh pemerintahan sekuler. Namun, di masa-
masa selanjutnya, istilah "constitutio" itu sering pula dipertukarkan satu sama
lain dengan istilah "lex" atau "edictum" untuk menyebut berbagai "secular
administrative enactments". Glanvill sering menggunakan kata "constitution"
untuk "a royal edict" (titah raja atau ratu).

Pendapat Cato dapat dipahami secara lebih pasti bahwa konstitusi


republik bukanlah hasil kerja satu waktu ataupun satu orang, melainkan
kerja kolektif dan akumulatif. Karena itu, dari sudut etimologi, konsep klasik
mengenai konstitusi dan konstitusionalisme dapat ditelusuri lebih mendalam
dalam perkembangan pengertian dan penggunaan perkataan "politeia" dalam
bahasa Yunani dan perkataan "constitutio" dalam bahasa Latin, serta
hubungan di antara keduanya satu sama lain di sepanjang sejarah pemikiran
maupun pengalaman praktek kehidupan kenegaraan dan hukum.
Perkembangan-perkembangan itulah yang pada akhirnya mengantarkan
perumusan perkataan "constitutio" itu dalam bahasa inggris modern seperti
yang tergambar dalam Kamus Bahasa Ingrris, Oxford Dictionary, dimana
perkataan "constitution" dikaitkan dengan beberapa arti, yaitu "...the act of
establishing or of ordaining, or the ordinance or regulation so established".
Dalam pengertiannya yang demikian itu, konstitusi selalu dianggap
"mendahului" dan "mengatasi" pemerintahan dan segala keputusan serta
peraturan lainnya.

Secara tradisional, sebelum abad ke-18, konstitusionalisme memang


selalu dilihat sebagai seperangkat prinsip-prinsip yang tercermin dalam
kelembagaan suatu bangsa dan tidak ada yang mengatasinya dari luar serta
tidak ada pula yang mendahuluinya.

Menurut Sir Paul Vinogradoff:

"The Greeks recognized a close analogy between the organization of the State
and the organism of the individual human being. They hought that the two

5
elements of body and mind, the former guided and governed by the latter, had a
parallel in two constitutive elements of the State, the rulers and the ruled."

Pengaitan yang bersifat analogis antara organisasi negara dan organisme


manusia tersebut, menurut W.L. Newman, memang merupakan pusat
perhatian (center of inquity) dalam pemikiran politik di kalangan para filosof
Yunani kuno. Plato menyebutkan bahwa "Our whole state is an imitation of the
best and noblest life". Socrates menyebutkan bahwa "the politeia is the soul of
the polis with power over it like that of the mind over the body". Keduanya sama-
sama menunjuk kepada pengertian konstitusi.

Aristoteles sendiri juga membayangkan keberadaan seorang pemimpin


negara yang bersifat "superman" dan berbudi luhur. Karena, sejarah
kenegaraan Yunani pada zamannya sangat labil. Pertama, di zamannya, belum
ada mekanisme yang tersedia untuk merespons keadaan atau tindak-tindakan
revolusioner yang dalam pengertian sekarang disebut sebagai tindakan yang
"inkonstitusional". Kedua, revolusi-revolusi semacam itu jika terjadi tidak
hanya mengubah corak "public law", tetapi juga menjungkirbalikkan segala
institusi yang ada secara besar-besaran, dan bahkan berakibat pada tuntutan
perubahan keseluruhan "way of life" (masyarakat) "polity" yang bersangkutan.
Dalam keadaan demikian, Aristoteles berpendapat keseluruhan "polity" dan
konstitusi mengalami kehancuran atau bubar. Ketiga, revolusi demkian selalu
terjadi dengan disertai kekerasan (violence), proscription, ostracism, dan
bahkan kematian, sehingga orang Yunani dihinggapi oleh penyakit "fear of
statis".

6
BAB III

Konstitusionalisme Romawi Dan Pengaruhnya

Salah satu sumbangan penting filosofi romawi, terutama setelah cicero


mengembangkan karyanya de re publica dan de legibus adalah pemikiran
tentang hukum yang berbeda sama sekali dari tradisi yang sudah
dikembangkan sebelumnya para filosof yunani. Bagi para filosof romawi
terutama Ulpian : a ruler’s will actually is a law ‘ a command of the emperor in
due for is a lex.

Dengan kata lain, disini jelas dan tegas sekali dipakainya istilah “lex”
yang kemudian menjadi kata kunci untuk memahami konsepsi politik dan
hukum di zaman romawi kuno. Sebaigama dikemukakan oleh Gaius pada
abad ke 2 “a lex is what the people orderds and has established” setelah abad
ke 4 kemudian ‘a lex’ didefinisikan sebagai ‘what the roman people was
accustomed to establish when initialed by a senatorial magistrate such a consul’.
Penggunaan perkataan ‘lex’ itu nampaknya lebih luas cakupan maknanya
daripada ‘leges’ yang mempunyai arti yang lebih sempit. Konstitusi mulai
dipahami sebagai sesuatu yang berada diluar bahkan dan bahkan diatas
Negara. Tidak seperti masa sebelumnya, konstitusi mulai dipahami sebagai
‘lex’ yang menentukan bagaimana bangunan kenegaraan harus dikembangkan
sesuai dengan prinsip ‘the higher law’. Prinsip hirarki hukum juga makin
dipahami secara tegas kegunaannya dalam praktek penyelenggaraan
kekuasaan.

Disamping itu, para filosof romawi jugalah yang secara tegas


membedakan dan memisahkan antara pengertian hukum public (jus publicum)
dan hukum privat. Namun demikian, baik kepentingan umum dan privat
sebenarya tetap berkaitan dengan kepentingan individu setiap warga Negara.

Pemikiran politik Cicero didasarkan atas penerimaannya yang kuat


terhadap ‘the stoic universal law of nature’ yang merangkul dan mengikat

7
seluruh umat manusia. Cicero juga menegaskan adanya ‘one common master
and ruler of men, namely God who is the author of this law, it sinterpreter and
tis sponsor’. Tuhan bagi Cicero tak ubahnya bagaikan Tuan dan Penguasa
semua manusia serta merupakan pangeran atau penulis, penafsir dan sponsor
hukum. Oleh karena itu Cicero sangat mengutakaman peranan hukum dalam
pemahamannya tentang persamaan antara umat manusia. Baginya, konsepsi
tentang manusia tidak bisa dipandang hanya sebagai ‘political animal’ atau
insan politik melainkan lebih utama adalah kedudukannya sebagai ‘legal
animal’ atau hukum.

Selain itu, beberapa kesimpulan dapat ditarik dari pengalaman sejarah


konstitusionalisme Romawi kuno adalah : pertama untuk memahami konsepsi
yang sebenarnya tentang ‘the spirit of our constitutional antecedents’ dalam
sejarah, ilmu hukum haruslah dipandang penting atau sekurang-sekurangya
sama pentingya dibandingkan dengan sekedar perbincangan mengenai materi
hukum. Kedua, ilmu pengetahuan hukum yang dibedakan dari hukum sangat
bercorak romawi sesuai asal mula pertumbuhannya. Ketiga pusat perhatian
dan prinsip pokok yang dikembangkan dalam ilmu hukum romawi bukanlah
‘the absolute of a prince’ sebagaimana sering dibayangkan oleh banyak ahli,
terutama justru terletak pada doktrin kerakyataan, yaitu bahwa rakyat
merupakan sumber dari semua legitimasi kewenangan politik dalam satu
Negara. Dengan demikian rakyatlah dalam perkembangan pemikiran Romawi
yang dianggap sebagai sumber yang hakiki dari hukum dan system
kekuasaan.

8
BAB IV

Konstitusionalisme Di Abad Pertengahan

Pada zaman pertengahan di dunia barat terkenal dengan istilah lain


yaitu zaman kegelapan "dark age". Pada zaman tersebut titah gereja adalah
absolut, di zaman itu salah satu konstitusi yang dibahas adalah negara
Inggris. Inggris adalah salah satu negara yang tidak memiliki konstitusi, di
negara ini yang menduduki jabatan tertinggi adalah parlemen bukan
konstitusi.

Glanvill sering menggunakan kata ‘constitution’ untuk ‘a royal edict’


(titah raja atau ratu). Ia juga mengaitkan Henry "ill’s write creating the remedy
by grand assize as legalis is a constito". Dari sini, kita dapat memahami
pengertian konstitusi dalam dua konsepsi, pertama konstitusi sebagai the
natural frame of the state yang dapat ditarik ke belakang dengan
mengaitkannya dengan pengertian politea dalam tradisi yunani kuno. Kedua
konstitusi dalam arti jus publicum regni yakni the public law of realm.

9
BAB V

Transisi Konstitusionalisme Dari Abad Pertengahan Ke Abad Modern

Seperti yang telah kita lihat sebelumnya kelemahan mendasar konstitusi


yang ada di zaman pertengahan terlalu bergantung kepada keputusan yang
memaksa, bukan hanya untuk melatih atau mengancam hak-hak individu.

Pada zaman tersebut tidak semua negara-negara di eropa mengadopsi


konstitusi tetapi parlemen seperti monopoli Inggris dan Prancis.

10
BAB VI

Konstitusionalisme Modern Dan Permasalahannya

Menurut Brian Thompson, secara sederhana pertanyaan : "what is a


constitution" dapat dijawab bahwa "...a constitution is a document which
contains the rules for the operation of an organization". Organisasi dimaksud
beragam bentuk dan kompleksitas strukturnya, mulai dari organisasi
mahasiswa, perkumpulan masyarakat, serikat buruh, organisasi politik
sampai ke organisasi tingkat dunia semuanya membutuhkan dokumen dasar
yang disebut konstitusi.

Kebutuhan akan naskah konstitusi tertulis itu merupakan sesuatu yang


niscaya, terutama dalam organisasi yang berbentuk badan hukum (legal
entity). Demikian pula negara, pada umumnya selalu memiliki naskah yang
disebut sebagai konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Hanya Inggris dan
Israel saja yang sampai sekarang dikenal tidak memiliki satu naskah tertulis
yang disebut Undang-Undang Dasar. UUD di kedua negara ini tidak pernah
dibuat, tetapi tumbuh menjadi konstitusi dalam pengalaman praktek
ketatanegaraan. Namun para ahli tetap dapat menyebut adanya konstitusi
dalam konteks hukum tata negara Inggris, yaitu sebagaimana dikemukakan
oleh Phillips Hood and Jackson sebagai berikut:

"a body of laws, customs and conventions that define the composition and
powers of the organs of the State and that regulate the relations of the various
State organs to one another and to the private citizen".

Konstitusi Inggris itu menurutnya adalah suatu bangun aturan, adat


istiadat, kebiasaan-kebiasaan yang menentukan susuan dan kekuasaan
organ-organ engara dan yang mengatur hubungan-hubungan di antara
berbagai organ negara itu satu sama lain, serta hubungan organ-organ negara
itu dengan warga negara.

11
Dengan demikian, ke dalam konsep konstitusi itu tercakup juga
pengertian peraturan tertulis, kebiasaan dan konvensi-konvensi kenegaraan
(ketatanegaraan) yang menentukan susunan dan kedudukan organ-organ
negara, mengatur hubungan antar organ-organ negara itu, dan mengatur
hubungan organ-organ negara tersebut dengan warga negara.

Semua konstitusi selalu menjadi kekuasaan sebagai pusat perhatian,


karena kekuasaan itu sendiri pada intinya memang perlu diatur dan dibatasi
sebagaimana mestinya.

Berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat


didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut
dalam suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat,
maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah
paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu
konstitusi. Hal inilah yang disebut oleh para ahli sebagai "constituent power"
yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem
yang diaturnya. Karena itu, di lingkungan negara-negara demokrasi, rakyatlah
yang dianggap menentukan berlakunya suatu konstitusi.

12
NAMA KELOMPOK :

1. DEVY
2. GUNTORO
3. UCU SUMARNA
4. ZAMHARI

13

Anda mungkin juga menyukai