Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSA “CKR (CEDERA KEPALA RINGAN)”


DI RAWAT INAP GARUDA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH S. K LERIK KOTA KUPANG

OLEH:

NAMA : IMELDA NATONIS

NIM : 171111018

PROGRAM STUDI SI KEPERAWATAN

UNIVERSITAS CITRA BANGSA

KUPANG

2020
CKR (CEDERA KEPALA RINGAN)

a) KONSEP DASAR PENYAKIT


a.1 Pengertian
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau
tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik,
kognitif , psikososial, bersifat temporer atau permanen (Riskesdas,2013).
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada
kepala, bukan bersifat congenital ataupun degenerative, tetapi disebabkan oleh serangan atau
benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Muttaqin, 2018).
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa
disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak
(Hudak&Gallo,2010)
Cidera kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 15 (sadar penuh) tidak ada
kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala,hematoma,abrasi,dan laserasi
(Mansjoer,2010).
Cidera kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 13-15 yang dapat terjadi
kehilangan kesadaran atau amnesia akan tetapi kurang dari 30 menit, tidak terdapat fraktur
tengkorak serta tidak ada kontusio serebral dan hematoma.

a.2 Epidemiologi
Menurut WHO setiap tahun di Amerika Serikat hamper 1.500.000 kasus cedera kepala.
Dari jumlah tersebut 80.000 diantaranya mengalami kecacatan dan 50.000 orang meninggal
dunia. Saat ini di Amerika terdapat sekitar 5.300.000 orang dengan kecacatan akibat cedera
kepala (Moore&Argur, 2012). Di Indonesia, cedera kepala berdasarkan hasil Riskesdas 2013
menunjukan insiden cedera kepala dengan CFR sebanyak 100.000 jiwa meninggal dunia
(Depkes RI, 2013). Di Jawa Tengah terdapat kasus cedera kepala yang sebagian besar
disebabkan oleh kecelakaan lalulintas dengan jumlah kasus 23.628 dan 604 kasus diantaranya
meninggal dunia.
a.3 Etiologi
Beberapa etiologi cedera kepala ringan (Mansjoer,2010) yakni:
 Kecelakaan lalu lintas
 Jatuh
 Trauma akibat persalinan: sewaktu lahir dibantu dengan forcep atau vakum
 Pukulan
 Cidera olah raga

a.4 Klasifikasi
Menurut Mansjoer (2010) cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan
mekanisme, keparahan dan morfologi cedera yaitu:
a. Mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi durameter
1. Trauma tumpul
 Kecepatan tinggi (tabrakan otomobil)
 Kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)
2. Trauma tembus (luka tembus peluru dan cedera lainnya)
b. Keparahan cedera
 Ringan    :  GCS 14-15
 Sedang   :  GCS 9-13
 Berat      :  GCS 3-8  
c. Morfologi
 Fraktur tengkorak
Kranium:  linear/ stelatu, depresi/ non depresi, terbuka/ tertutup
Basis:  dengan/ tanpa kebocoran cairan serebro spinalis, dengan/ tanpa
kelumpuhan nervus VII
 Lesi intra kranial
Fokal:  epidural, subdural, intra serebral
Difus:  konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus
Sedangkan Cedera Kepala menurut dewantoro, dkk (2007) di klasifikasikan menjadi 3
kelompok berdasarkan nilai GCS (Glasglow Coma Scale) adalah sebagai berikut :

Tabel 1.1. Kategori penentuan keparahan cedera kepala


berdasarkan nilai Glasgow Coma Scale (GCS)

Penentuan Deskripsi
Keparahan

Minor/ringan GCS 13-15


Sadar penuh, membuka mata bila dipanggil. Dapat terjadi kehilangan kesadaran
atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit dan disorientasi. Tidak ada fraktur
tengkorak, tidak ada kontusia, cerebral dan hematoma.
Sedang GCS 9-12
Kehilangan kesadaran, namun masih menuruti perintah yang sederhana atau
amnesia lebih dari 30 mneit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur
tengkorak
Berat GCS 3-8
Kehilangan kesdaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Juga meliputi
kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intracranial. Dengan perhitungan GCS
sebagai
berikut :
 Eye : nilai 1 atau 2
 Motorik : nilai 5 taau <5
 Verbal : nilai 2 atau 1

Tabel 1.2. Kategori nilai Glasgow Coma Scale (GCS)

1. Membuka mata
Spontan 4
Terhadap rangsang suara 3
Terhadap nyeri 2
Tidak ada 1
2. Respon verbal
Orientasi baik 5
Orientasi terganggu 4
Kata-kata tidak jelas 3
Suara tidak jelas 2
Tidak ada respon 1
3. Respon motorik
Mampu bergerak 6
Melokalisasi nyeri 5
Fleksi m enarik 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi 2
Tidak ada respon 1

Total 3-15

Cedera kepala pada praktek klinis sehari-hari dikelompokkan atas empat gradasi
sehubungan dengan kepentingan seleksi perawatan penderita, pemantauan diagnostik –
klinis penanganan dan prognosisnya, yaitu :
1. Tingkat I
Bila dijumpai adanya riwayat kehilangan kesadaran / pingsan yang sesaat setelah
mengalami trauma, dan kemudian sadar kembali. Pada waktu diperiksa dalam
keadaan sadar penuh, orientasi baik, dan tidak ada defisit neurologis.
2. Tingkat II  
Kesadaran menurun namun masih dapat mengikuti perintah-perintah yang sederhana,
dan dijumpai adanya defisit neurologis fokal.
3. Tingkat III   
Kesadaran yang sangat menurun dan tidak bisa mengikuti perintah (walaupun
sederhana) sama sekali. Penderita masih bisa bersuara, namun susunan kata-kata dan
orientasinya kacau, gaduh gelisah. Respon motorik bervariasi dari keadaan yang
masih mampu melokalisir rasa sakit sampai tidak ada respons sama sekali. Postur
tubuh dapat menampilkan posisi dekortikasi - deserebrasi.
4. Tingkat IV 
Tidak ada fungsi neurologis sama sekali.

a.5 Manifestasi klinis


a. Pingsan tidak lebih dari sepuluh menit
b. TTV dalam batas normal atau menurun
c. Setelah sadar timbul nyeri
d. Pusing
e. Muntah
f. GCS: 13-15
g. Tidak terdapat kelainan neurologis
h. Pernafasan secara progresif menjadi abnormal
i. Respon pupil lenyap atau progresif menurun
j. Nyeri kepala dapat timbul segera atau bertahap (Mansjoer,2010)

a.6 Patofisiologi
Patofisiologi dari cedera kepela traumatic dIbagi dalam proses primer dan proses
sekunder. Kerusakan yang terjadi di anggap karena gaya fisika yan berkaitan degan suatu
trauma yang relative yang baru terjadi dan bersifat irreversible untuk sebagian besar daerah
otak. Walaupun kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan otak, terutama pada kutub
temporal dan permukaan orbital dari lobus frontalis, menberikan tanda – tanda jelas tetapi
selam lebih dari 30 tahun penyebab utama kehilanggan kesedaran berkepanjangan, gangguan
respon motorik dan pemulihan yang tidak komplit yang merupakan penanda pasien yang
menderita cedera kepala traumatic berat.
a). Proses Primer
proses primer timbul langgsung pada saat trauma terjadi.cedera primrr biasanya fokal
(perdarahan konusi) dan difusi (jejas akson difus). Proses ini adalah kerusakan otak tahap
awal yang diakibatkan aleh benturan mekanik pada kepala, derajat kerusakan tergantumg
pada kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang bergerak diam, percepat dan perlambat
gerak kepala. Proses primer menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera intracranial,
robekan regangan serabu saraf dan kematian langsung pada daerah yang terkena.
b). proses sekunder
kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma musyul kerusakan
primer.dapat dibagi menjadi penyebab sistemekdari intracranial. Dari berbagain gangguan
sistemik hipoksia dan hipotesi merupakan gangguan yang paling berarti. Hipotesi
menurunnya tekana perfusi otak sehingga mengakibatkan terjadinya iskemik dan infark otak,
gangguan hormone, pengeluaran bahan-bahan neurotrasmiter dan radikal bebas. Trauma
safar proses primer atau sekunder akan membulkan gejala-gejala neorologi yag tergantung
lokasi kerusakan
gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion basal. Kerusaka-kerusakan saraf-
saraf cranial dan traktus-traktus panjang memimbulkan gejala neorologi khas. Nafas dangkal
tak teratur yang dijumpai pada kerusakann medulla oblongata aka memimbulkan timbulnya
asidesi. Nafas yang cepat dan dalam yang terjadinpada gangguan setinggi diensefalon dan
mengakibatkan alkolosisi respiratorik.
a.7 Pathway
a.8 Pemeriksaan penunjang
 CT Scan : tanpa/dengan kontras mengidentifikasi adanya hemorogik, menentukan
ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
 Angiografi serebral : menunjukan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan, dan trauma.
 X-Ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan atau edema), fragmen tulang.
 Analisa gas darah : medeteksi fentilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intracranial.
 Elektrolit : untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan
tekanan intrakranial.
 MRI (Mangnetik Resonance Imaging) : untuk mengevaluasi cedera vascular serebral
dengan cara noninvasive
 EEG ( elektrol ensefalogram) : mengukur aktifitas gelombang oytak disemua region
korteks dan berguna dalam mendiagnosis kejang serta meningkatkan pemeriksaan
neotrologi

a.9 Komplikasi
a. Edema pilmonal
Komplikasi paru yang paling serius pada pasien cedera kepala adalah edema paru. Ini
mungkin terutama berasal dari gangguan neorologi atau akibat dari sindrom distress
pernapasan dewasa edema paru dapat terjadi akibat dari cedera pada otak yang
menyebabkan adanya refleksi cushing.
b. Kebocoran cairan serebral
Hal yang umum pada beberapa pasien cedera kepala dengan fraktur tengkorak untuk
mengalami kebocoran CSS dari telinga atau hidung. Ini dapat akibat dari fraktur dapa
fosso antrous dekat senus frontal atau dari fraktur tengkorak badiliar bagian petrous
tulang temporal.

c. Kerusakan saraf cranial


1. Anosmia
Kerusakan nervus olfoctorius menyebabkan gangguan senssasi pembauan yang
jika total disebut dengan anosmia dan bila parsial disebut hiposmia.
2. Gangguan penglihatan
Gangguan pada nervus opticus timbul segera setelah mengalami cedera (trauma)
gejala klinik berupa penurunan firus, skotomaa, dilatasi pupil dengan reaksi
cahaya negative, atau hemanianopia bitemporal. Dalam waktu 3-6 minggu setelah
cedera yang mengakibatkan kebutaan, terjadi atrofi papil yang difusi, menunjukan
bahwa kebutuhan pada mata tersebut bersifat irreversible.
3. Oftalmoplegi
Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata, umumnya
disertai proptosis dan pupil yang midriatik. Tidak ada pengobatan khusus untuk
oftalmoplegi, tetapi bisa diusahakan dengan latihan ortoptik dini.
4. Peresis fasiasis
Umumnya gejala klinik muncul saat cedera beruppa gangguan pengecapan pada
lidah, hilanhnya kerutan dahi, kesulitanmenutup mata, mulut momcong semuanya
pada sisi yang mengalami kerusakan.
5. Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya disertai vertigo dan
nistagmus karena ada hubungan yang erat antara koklea, vestibula dansaraf.
Dengan demikian adanya cedera yang berat pada salah satu organtersebut
umumnya juga menimbulkan kerusakan pada organ lain.
d. Disfasia
Secara ringkas , disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk memahami atau
memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit system saraf pusat. Penderita disfasia
membutuhkan perawatan yang lebih lama, rehabilitasinya juga lebih sulit karena
masalah komunikasi. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk disfasia kecuali
speech therapy.

e. Hemiparesis
Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau kanan) merupakan
manifestasi klinik dari kerusakan jaras pyramidal di korteks, subkorteks, atau di
batang otak. Penyebabnya berkaitan dengan cedera kepala adalah perdarahan otak,
empiema subdural , dan herniasi transtentorial
f. Sindrom pasca trauma kepala
Sindrom pascatrauma kepala ( postconcussional syndrome) merupakan kumpulan
gejala yang kompleks yang sering dijumpai pada penderita cedera kepala. Gejala
klinisnya meliputi nyeri kepala, vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan
konsentrasi, penurunan daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidur, dan gangguan
fungsi seksual.
g. Defisit neurologi dan Defisit psikologi

a.10 Penatalaksanaan Medis


a. Penatalaksaan Keperawatan
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan
untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta
memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu
penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Untuk penatalaksanaan penderita cedera kepala,
Adveanced Cedera Life Support (2004) telah menepatkan standar yang disesuaikan
dengan tingkat keparahan cedera yaitu ringan, sedang dan berat.
Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survey primer dan survei
sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer halhal yang diprioritaskan antara lain : A
(airway), B (breathing), C (circulation), D (disability), dan E (exposure/environmental
control) yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi.
Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer
sangatlah penting untuk mencegah cedera otak skunder dan menjaga homeostasis otak.
Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari
mulut ke mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan
dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat atau jika
penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat, bila
memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal.
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran
dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada
tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur
tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya
menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik.
Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya
dipertahankan di atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat.
Bila ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka. Setelah
survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi. Cairan resusitasi yang
dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua jalur intra vena.
Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down (kepala
lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena di kepala dan
menaikkan tekanan intracranial. Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder
sangat menentukan keluaran penderita. Survei sekunder dapat dilakukan apabila keadaan
penderita sudah stabil yang berupa pemeriksaan keseluruhan fisik penderita.
Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala meliputi respos buka mata,
respon motorik, respon verbal, reflex cahaya pupil, gerakan bola mata (doll’s eye
phonomenome, reflex okulosefalik), test kalori dengan suhu dingin (refleks okulo
vestibuler) dan refleks kornea.

a. Penatalaksanaan Khusus:
Cedera kepala ringan: pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan
ke rumah tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan bila memenuhi kriteria berikut:
 Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya berjalan)
dalam batas normal
 Foto servikal jelas normal
 Ada orang yang bertanggung-jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam
pertama, dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika
timbul gejala perburukan

Kriteria perawatan di rumah sakit:


 Adanya darah intracranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan
 Konfusi, agitasi atau kesadaran menurun
 Adanya tanda atau gejala neurologia fokal
 Adanya penyakit medis komorbid yang nyata Tidak adanya orang yang dapat
dipercaya untuk mengamati pasien di rumah

II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian Data
a. Identitas klien
Nama, jenis kelamin, alamat, pekerjaan. Terdapat identitas lengkap penderita CKR
b. Keluhan utama
Sering terjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan tergantung seberapa
jauh dampak dari trauma kepala disertai penurunan tingkat kesadaran.
c. Riwayat penyakit sekarang
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala yang akibat dari kecelakaan lalu
lintas, jatuh dari ketinggian, trauma langsung ke kepala. Pengkajian yang didapat,
meliputi tingkat kesadaran menurun, konfulse, muntah, sakit kepala, lemah, liquor
dari hidung dan telinga serta kejang.
d. Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu dipertanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi, riwayat
cidera sebelumnya, DM, dan penggunaan obat-obatan.
e. Riwayat penyakit keluarga
Adanya anggota generasi terdahulu yang menderita hipertensi dan DM

Pengkajian Pola Aktivitas Sehari-hari


a. Pola makan atau cairan
Kaji pola nutrisi sebelum MRS dan saat MRS biasanya pada klien CKR timbul mual
dan muntah serta mengalami selera makan

b. Pola istirahat tidur


Kaji perubahan pola tidur sebelum dan saat sakit. Biasanya klien mengalami 
perubahan pada pola istirahat tidur karena nyeri dan ansietas
c. Pola eliminasi
Kaji bagaimana pola defekasi sebelum dan saat sakit
d. Pola katifitas dan latihan
Klien dengan CKR biasanya mengalami kelemahan, letih, dan terkadang terjadi
perubahan kesadaran.
e. Pola presepsi dan konsep diri
Kaji bagaimana klien mamandang dirinya serta penyakit yang dideritanya
f. Pola peran hubungan
Kaji bagaimana peran dan fungsi serta hubungan dengan masyarakat
g. Pola nilai dan kepercayaan
Kaji bagaimana pengaruh agama terhadap penyakit yang dialami klien
h. Pola kebersihan diri
Kaji bagaimana tidankan klien dalam menjaga kebersihan dirinya.

Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum penurunan kesadaran pada CKR umumnya GCS 13-15.
b. Breathing
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga
terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa
berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi,
wheezing (kemungkinan karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi
sputum pada jalan napas.
c. Blood
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan
pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke
jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia,
takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
d. Brain
Cidera kepala menyebabkan berbagai defisit neurologis terutama akibat pengaruh
peningkatan TIK yang disebakan adanya perdarahan.
 Pengkajian tingkat kesadaran:  tingkat keterjagaan klien dan respon terhadap
lingkungan.
 Pengkajian fungsi cerebral: status mental, fungsi intelektual, lobus frontalis,
hemisfer.
 Pengkajian saraf kranial:
- Saraf I : kelainam pada penciuman
- Saraf II : kelainan pada lapang pandang
- Saraf III,IV,VI  : gangguan mengangkat kelopak mata
- Saraf V : gangguan penurunan kemampuan kordinasi gerakan mengunyah
- Saraf VII : presepsi pengecapan mengalami perubahan
- Saraf VIII : perubahan fungsi pendengaran
- Saraf IX dan X : kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan membuka
mulut
- Saraf XI : mobilitas leher tidak ada gangguan
- Saraf XII : indra pengecapan mengalami perubahan.
e. Blader
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri,
ketidakmampuan menahan miksi.
f. Bowel
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin
proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia)
dan terganggunya proses eliminasi alvi.
g. Bone
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi
yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi
spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena
rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal
selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Perfusi jaringan tidak efektif (spesifik serebral) berhubungan penurunan suplai darah
dan oksigen ke jaringan oksigen.
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury fisik.
3. Pola nafas tak efektif berhubungan dengan hipoventilasi
4. Kerusakan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kemampuan kognitif,
afektif, dan motorik)
5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kemampuan kognitif,
motorik, dan afektif.
6. Defisit perawatan diri: makan/ mandi, toileting berhubungan dengan kelemahan fisik
dan nyeri.
7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan penurunan kemampuan kognitif, motorik,
dan afektif.
8. Resiko aspirasi berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran.
9. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan status hipermetabolik.
10. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma/ laserasi kulit kepala
11. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan mual, muntah.

C. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Tujuan dan kriteria
No Intervensi
Keperawatan  hasil
1 Perfusi jaringan NOC: Monitor Tekanan Intra Kranial
cerebral tidak 1.   Status sirkulasi 1.   Catat perubahan respon klien
efektif b.d 2.   Perfusi jaringan terhadap stimu-lus / rangsangan
penurunan suplai serebral 2.   Monitor TIK klien dan respon
darah dan oksigen neurologis terhadap aktivitas
ke jaringan Setelah dilakukan 3.   Monitor intake dan output
tindakan keperawatan 4.   Pasang restrain, jika perlu
-   Perubahan respon selama ….x 24 jam, 5.   Monitor suhu dan angka leukosit
motorik klien mampu men- 6.   Kaji adanya kaku kuduk
-    Perubahan status capai : 7.   Kelola pemberian antibiotik
mental 1.   Status sirkulasi 8.   Berikan posisi dengan kepala elevasi
-    Perubahan dengan indikator: 30-40O dengan leher dalam posisi
respon pupil ·Tekanan darah sis- netral
-    Amnesia tolik dan diastolik 9.   Minimalkan stimulus dari
retrograde (gang- dalam rentang yang lingkungan
guan memori) diharapkan 10. Beri jarak antar tindakan
·Tidak ada ortostatik keperawatan untuk meminimalkan
hipotensi peningkatan TIK
Tidak ada tanda tan-da 11. Kelola obat obat untuk
PTIK mempertahankan TIK dalam batas
spesifik
2.   Perfusi jaringan
serebral, dengan Monitoring Neurologis (2620)
indicator : 1.   Monitor ukuran, kesimetrisan, reaksi
Klien mampu berko- dan bentuk pupil
munikasi dengan je-las 2.   Monitor tingkat kesadaran klien
dan sesuai ke- 3.   Monitor tanda-tanda vital
mampuan 4.   Monitor keluhan nyeri kepala, mual,
Klien menunjukkan dan muntah
perhatian, konsen-trasi, 5.   Monitor respon klien terhadap
dan orientasi pengobatan
Klien mampu mem- 6.   Hindari aktivitas jika TIK meningkat
proses informasi 7.   Observasi kondisi fisik klien
Klien mampu mem-
buat keputusan de-ngan Terapi Oksigen (3320)
benar 1.   Bersihkan jalan nafas dari secret
Tingkat kesadaran 2.   Pertahankan jalan nafas tetap efektif
klien membaik 3.   Berikan oksigen sesuai instruksi
4.   Monitor aliran oksigen, kanul
oksigen, dan humidifier
5.   Beri penjelasan kepada klien tentang
pentingnya pemberian oksigen
6.   Observasi tanda-tanda hipoventilasi
7.   Monitor respon klien terhadap
pemberian oksigen
8.   Anjurkan klien untuk tetap memakai
oksigen selama aktivitas dan tidur
2 Nyeri akut b.d NOC: Manajemen nyeri (1400)
dengan agen injuri 1.  Nyeri terkontrol 1.   Kaji keluhan nyeri, lokasi,
fisik, dengan 2.  Tingkat Nyeri karakteristik, onset/durasi, frekuensi,
batasan 3.  Tingkat kualitas, dan beratnya nyeri.
karakteristik: kenyamanan 2.   Observasi respon ketidaknyamanan
- Laporan nyeri ke- secara verbal dan non verbal.
pala secara verbal Setelah dilakukan 3.   Pastikan klien menerima perawatan
atau non verbal asuhan keperawatan analgetik dg tepat.
- Respon autonom selama …. x 24 jam, 4.   Gunakan strategi komunikasi yang
(perubahan vital klien dapat : efektif untuk mengetahui respon
sign, dilatasi pupil) 1.  Mengontrol nyeri, penerimaan klien terhadap nyeri.
- Tingkah laku eks- de-ngan indikator: 5.   Evaluasi keefektifan penggunaan
presif (gelisah, me- - Mengenal faktor- kontrol nyeri
nangis, merintih) faktor penyebab 6.   Monitoring perubahan nyeri baik
-  Gangguan tidur - Mengenal onset nyeri aktual maupun potensial.
(mata sayu, menye- - Melaporkan gejala- 7.   Sediakan lingkungan yang nyaman.
ringai, dll) gejala nyeri kepada 8.   Kurangi faktor-faktor yang dapat
tim kesehatan. menambah ungkapan nyeri.
- Nyeri terkontrol 9.   Ajarkan penggunaan tehnik relaksasi
sebelum atau sesudah nyeri
2.  Menunjukkan berlangsung.
tingkat nyeri, 10. Kolaborasi dengan tim kesehatan
dengan indikator: lain untuk memilih tindakan selain
-  Melaporkan nyeri obat untuk meringankan nyeri.
-  Frekuensi nyeri 11. Tingkatkan istirahat yang adekuat
-  Lamanya episode untuk meringankan nyeri.
nyeri
-  Ekspresi nyeri; wa-  Pengelolaan analgetik (2210)
jah 1.   Periksa perintah medis tentang obat,
- Perubahan respirasi dosis & frekuensi obat analgetik.
rate 2.   Periksa riwayat alergi klien.
- Perubahan tekanan 3.   Pilih obat berdasarkan tipe dan
darah beratnya nyeri.
- Kehilangan nafsu 4.   Pilih cara pemberian IV atau IM
makan untuk pengobatan, jika mungkin.
5.   Monitor vital sign sebelum dan
3.   Tingkat sesudah pemberian analgetik.
kenyamanan, 6.   Kelola jadwal pemberian analgetik
dengan indicator : yang sesuai.
- Klien melaporkan 7.   Evaluasi efektifitas dosis analgetik,
kebutuhan tidur dan observasi tanda dan gejala efek
istirahat tercukupi samping, misal depresi pernafasan,
mual dan muntah, mulut kering, &
konstipasi.
8.   Kolaborasi dgn dokter untuk obat,
dosis & cara pemberian yg
diindikasikan.
9.   Tentukan lokasi nyeri, karakteristik,
kualitas, dan keparahan sebelum
pengobatan.
10. Berikan obat dengan prinsip 5 benar
11. Dokumentasikan respon dari
analgetik dan efek yang tidak
diinginkan
3 Defisit self care b.d NOC: NIC: Membantu perawatan diri klien
dengan nyeri Perawatan diri : Mandi  dan toiletting
(mandi, Makan Aktifitas:
Toiletting, berpakaian) 1.   Tempatkan alat-alat mandi di tempat
yang mudah dikenali dan mudah
Setelah diberi motivasi dijangkau klien
perawatan selama 2.   Libatkan klien dan dampingi
….x24 jam, ps 3.   Berikan bantuan selama klien masih
mengerti cara mampu mengerjakan sendiri
memenuhi ADL secara NIC: ADL Berpakaian
bertahap sesuai Aktifitas:
kemam-puan, dengan 1.   Informasikan pada klien dalam
kriteria : memilih pakaian selama perawatan
·     Mengerti secara 2.   Sediakan pakaian di tempat yang
seder-hana cara  mandi, mudah dijangkau
makan, toileting, dan 3.   Bantu berpakaian yang sesuai
berpakaian serta mau 4.   Jaga privcy klien
mencoba se-cara aman 5.   Berikan pakaian pribadi yg digemari
tanpa cemas dan sesuai
·     Klien mau
berpartisipasi dengan NIC: ADL Makan
senang hati tanpa 1.   Anjurkan duduk dan berdo’a
keluhan dalam bersama teman
memenuhi ADL 2.   Dampingi saat makan
3.   Bantu jika klien belum mampu dan
beri contoh
4.   Beri rasa nyaman saat makan
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G.M., Buther, H.K.,dkk. 2016. Nursing Intervention Classification(NIC) edisi ke-6.
Singapore: Elsevier.

Dewanto, George., Suwono, Wita. J., Riyanto, Budi., Turana, Yuda. (2009). Panduan Praktis
Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf . Jakarta: ECG.
Dewantaro, Rudy.,& Nurhidayat, S. (2014). Peningkatan Tekanan intrakr anial & gangguan
peredaran darah otak. Yogyakarta: ANDI.
Herdman T. Heather. 2018, NANDA-I Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi2018-
2020. Jakarta:EGC

Hudak dan Gallo. (2010). Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik . Edisi 6. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Kementerian Kesehatan RI, (2013), Pusat Data dan Informasi Kesehatan, Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI.
Mansjoer, A. (2010). Kapita Selekta Kedokteran, edisi 4. Jakarta: Media Aesculapius.
Moorhead, S., Johnson. M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2016). Nursing Outcomes
Classification (NOC), 5th edition.Singapore: Elsevier
Muttaqin, A. (2018). Asuhan Keperawatan Klien dengan gangguan Persyarafan.
Musliha.(2010). Keperawatan Gawat Darurat.Yogyakarta:Nuha Medika.
Wijaya, S.A & Putri, M.Y. (2013). Keperawatan Medikal bedah 2.Yogyakarta : Salemba
Medika.

Anda mungkin juga menyukai