Anda di halaman 1dari 32

DISKUSI BESAR

INFEKSI ODONTOGENIK

Erika Odina Bedu 20170720109


Fanny Halim 20170720111
Ajeng Priyahita 20180720012
Clara Leona A 20180720017
Fenisia Budiman 20180720020
Harum Azania 201820720022

BAGIAN BEDAH MULUT


RUMAH SAKIT GIGI DAN MULUT NALA HUSADA
SURABAYA
2020
PENDAHULUAN

Infeksi yang berasal dari gigi atau struktur penyangga gigi merupakan infeksi
odontogenik. Infeksi odontogenik telah menjadi salah satu penyakit yang sering ditemukan
dalam bagian bedah mulut dan maksilofasial. Infeksi odontogenik adalah suatu penyakit yang
sukar dikendalikan dalam bidang kedokteran gigi. Meskipun pada umumnya infeksi odontogenik
dapat dirawat dengan prosedur pembedahan minor dan terapi medikal suportif, dokter gigi harus
waspada bahwa infeksi odontogenik dapat menjadi parah dan membahayakan nyawa dalam
waktu singkat. Infeksi odontogenik dapat disebabkan oleh gigi yang karies dan penyakit
periodontal dimana penyakit tersebut dapat meluas ke jaringan sekitar atau gigi tetangga sampai
ke wajah, rahang dan leher.

Menurut penelitian Sanchez dkk di Madrid 33,8% pencetus infeksi odontogenik berasal
dari bakteri. Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat mendorong terjadinya infeksi
odontogenik. Faktor tersebut adalah merokok, alkohol, penyakit sistemik, kebersihan rongga
mulut, flora normal dalam mulut, jenis kelamin dan usia. Menurut penelitian tentang faktor
resiko terjadinya infeksi odontogenik di West Scotland Oral & Maxillofacial Service Centres,
United Kingdom, dari 25 pasien yang diteliti, 80% adalah perokok, 16% mengkonsumsi alkohol
lebih dari 25 unit per minggu dan 24% mempunyai penyakit sistemik. Penelitian yang dilakukan
oleh Davis B di Kanada, menemukan bahwa 50% infeksi odontogenik disebabkan oleh bakteri
anaerob dan 44% gabungan bakteri anaerob dan aerob.

Penelitian di Iran menunjukkan dari 102 kasus infeksi odontogenik, sebanyak 58,8%
terjadi pada pria dan 41,18% pada wanita. Dari penelitian ini menunjukkan pria kurang memberi
perhatian pada kebersihan mulut dibanding wanita. Insidensi infeksi odontogenik terjadi pada
usia sekitar 33 tahun. Pasien dengan usia >33 tahun mempunyai tingkat resiko lebih tinggi untuk
terjadinya infeksi odontogenik.Infeksi odontogenik dapat dijumpai pada gigi atau struktur
penyangga gigi baik di bagian maksila maupun mandibula. Berdasarkan penelitian di Britania,
infeksi odontogenik sering terjadi di bagian bukal 96% dan di bagian submandibula 68%.
Penelitian di Madrid pada 85 orang pasien, infeksi odontogenik paling sering terjadipada gigi
posterior bawah (premolar dan molar) 61,5% dan Molar tiga bawah 26,6% dari 37 kasus. Pasien
yang menderita infeksi odontogenik dapat dirawat dengan berbagai cara.
Tujuan utama dari perawatan infeksi odontogenik adalah menghilangkan faktor infeksi
dan drainase pus serta debris nekrotik. Perawatan tersebut seperti ekstraksi gigi, drainase pus,
pemberian obat antibiotik dengan atau tanpa insisi. Perawatan tergantung keparahan infeksi
odontogenik tersebut. Menurut penelitian di Royal Adelaide Hospital Australia 38 kasus 79%
dilakukan drainase pus, 16% dari 8 kasus dilakukan drainase cairan serous dan 98% dari 47
kasus diberikan antibiotik intravena. Antibiotik yang sering diberikan pada pasien infeksi
odontogenik adalah Penisilin 67,7% diikuti dengan Metronidazole 65,2% dan klindamisin
37,2%. Berdasarkan beberapa penelitian dari berbagai negara yang berbeda menunjukkan adanya
perbedaan prevalensi infeksi odontogenik.
1. INFEKSI ODONTOGEN

1.1 Definisi Infeksi Odontogen


Infeksi odontogenik merupakan salah satu diantara beberapa infeksi yang paling sering
kita jumpai pada manusia. Kebanyakan pasien infeksi ini bersifat minor atau kurang
diperhitungkan dan seringkali ditandai dengan drainase spontan di sepanjang jaringan gingiva
pada gigi yang mengalami gangguan.
Infeksi odontogenik merupakan infeksi rongga mulut yang paling sering terjadi. Infeksi
odontogenik dapat merupakan awal atau kelanjutan penyakit periodontal, perikoronal, trauma,
atau infeksi pasca pembedahan. Infeksi odontogenik juga lebih sering disebabkan oleh beberapa
jenis bakteri seperti streptococcus. Infeksi dapat terlokalisir atau dapat menyebar secara cepat ke
sisi wajah lain.
Infeksi bisa bersifat akut atau kronis dan bersifat subyektif. Suatu kondisi akut biasanya
disertai dengan pembengkakan dan rasa sakit yang hebat dengan manifestasi sistemik yaitu
malaise dan demam yang berkepanjangan. Bentuk kronis bisa berkembang dari penyembuhan
sebagian keadaan akut, serangan yang lemah atau pertahanan yang kuat. Infeksi-infeksi kronis
sering ditandai dengan ketidaknyamanan dalam berbagai tingkatan dan rasa sakit, serta reaksi
ringan dari jaringan sekitarnya.

1.2 Etiologi Infeksi Odontogen


Infeksi odontogen disebabkan oleh bakteri yang merupakan flora normal dalam mulut,
yaitu bakteri dalam plak, dalam sulkus gingiva, dan mukosa mulut. Bakteri yang utama
ditemukan adalah bakteri kokus aerob gram positif, kokus anaerob gram positif dan batang
anaerob gram negatif. Bakteri-bakteri tersebut dapat menyebabkan karies, gingivitis, dan
periodontitis jika mencapai jaringan yang lebih dalam melalui nekrosis pulpa dan pocket
periodontal yang dalam sehingga akan terjadi infeksi odontogen.
Infeksi odontogen biasanya disebabkan oleh bakteri endogen. Lebih dari setengah kasus
infeksi odontogen yang ditemukan yaitu sekitar 60% disebabkan oleh bakteri anaerob.
Organisme penyebab infeksi odontogen yang sering ditemukan pada pemeriksaan kultur adalah
alpha-hemolytic Streptococcus, Peptostreptococcus, Peptococcus, Eubacterium, Bacteroides
(Prevotella) melaninogenicus, dan Fusobacterium. Bakteri aerob sendiri jarang menyebabkan
infeksi odontogen yaitu hanya sekitar 5%. Bila infeksi odontogen disebabkan oleh bakteri aerob,
biasanya organisme penyebabnya adalah species Streptococcus. Infeksi odontogen juga banyak
yang disebabkan oleh infeksi campuran bakteri aerob dan anaerob yaitu sekitar 35%.

1.3 Patogenesis Infeksi Odontogen


Infeksi gigi biasanya dimulai dari permukaan gigi yaitu adanya karies gigi yang masuk
sampai ruang pulpa, kemudian akan berlanjut menjadi pulpitis dan akhirnya akan terjadi
kematian pulpa gigi atau nekrosis pulpa. Adanya gigi yang nekrosis menyebabkan bakteri dapat
masuk ke ruang pulpa sampai apeks gigi. Foramen apikalis dentis pada pulpa tidak dapat
mendrainase pulpa yang terinfeksi. Selanjutnya proses infeksi tersebut menyebar progresif ke
ruangan atau jaringan lain yang dekat dengan struktur gigi yang nekrosis.
Penjalaran infeksi odontogen akibat dari gigi yang nekrosis dapat menyebabkan abses,
abses ini dapat dibagi menjadi dua yaitu penjalaran yang tidak berat sehingga akan memberikan
prognosis yang baik dan penjalaran yang berat yang akan memberikan prognosis yang tidak baik.
Adapun yang termasuk penjalaran tidak berat adalah serous periostitis, abses subperiosteal, abses
submukosa, abses subgingiva, dan abses subpalatal, sedangkan yang termasuk penjalaran yang
berat antara lain abses perimandibular, osteomielitis, dan phlegmon dasar mulut. Gigi yang
nekrosis juga merupakan fokal infeksi penyakit ke organ lain, misalnya ke otak menjadi
meningitis, ke kulit menjadi dermatitis, ke mata menjadi konjungtivitis dan uveitis, ke sinus
maxilla menjadi sinusitis maxillaris, ke jantung menjadi endokarditis dan perikarditis, ke ginjal
menjadi nefritis, dan ke persendian menjadi arthritis.

1.4 Faktor-faktor yang berperan pada penyebaran infeksi


Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan penyebaran infeksi odontogenik adalah:
1. Jenis dan virulensi kuman penyebab.
2. Daya tahan tubuh penderita.
3. Jenis dan posisi gigi sumber infeksi.
4. Panjang akar gigi sumber infeksi terhadap perlekatan otot-otot.
5. Adanya tissue space dan potential space.
Timbulnya infeksi disebabkan karena adanya interaksi dari tiga faktor yaitu adanya inang
(host), lingkungan, dan mikroorganisme. Apabila terjadi ketidakseimbangan maka timbul
infeksi. Terjadinya patogen dipengaruhi oleh virulensi dan kuantitas mikroba. Virulensi adalah
kualitas atau kemampuan mikroba merusak host termasuk sifat invasif dan keluarnya produk
yang dapat merusak host, sedangkan jumlah mikrooganisme yang menginfeksi host semakin
banyak maka virulensi akan meningkat. Ketika host defense menurun dan kuantitas mikroba
meningkat akan mengakibatkan potensi patogen sehingga terjadi infeksi. Produk
mikroogranisme merangsang sitokin dari sistem inflamatori dan koagulasi (aktivasi koaguasi,
hambatan fibrinolisis, dan aktivasi platelet). Produk mikroorganisme terdiri dari bakteri gram
negatif produknya endotoksin dan bakteri gram positif produknya peptidoglycan.
Klasifikasi odontogenik berdasarkan organisme infeksi terdiri dari bakteri, virus, parasit,
dan mikotik. Berdasarkan jaringan terdiri atas odontogenik dan odontogenik. Berdasarkan
tinjauan klinis terdiri dari akut dan kronis. Dan berdasarkan spasia yang terkena terdiri dari
spasia primer maksila, mandibula, dan sekunder wajah. Beratnya infeksi tergantung pada
virulensi bakteri, daya tahan tubuh dan lokasi anatomi. Infeki gigi dapat mengenai pulpa dan
periodontal. Penyebaran infeksi melalui foramen apikal berawal dari kerusakan gigi atau karies,
kemudian terjadi proses inflamasi di sekitar periapikal di daerah membran periodontal berupa
periodontitis apikalis hingga menyebabkan abses periapikal. Karena jumlah bakteri yang banyak,
maka infeksi yang terjadi akan menyebar ke tulang spongiosa sampai tulang kortikal. Jika tulang
ini tipis, maka infeksi akan menembus dan masuk ke jaringan lunak. Penyebaran infeksi ini
tergantung dari daya tahan jaringan dan tubuh. Infeksi odontogenik dapat menyebar melalui
jaringan ikat (perikonntinuitatum), pembuluh darah (hematogenous), dan pembuluh limfe
(limfogenous).
1.5 Tanda dan Gejala
1.Adanya respon inflamasi
Inflamasi merupakan respon tubuh terhadap agen penyebab infeksi. Saat keadaan ini
berlangsung, substansi yang beracun akan dilapisi dan dinetralkan. Serta dilakukan juga
perbaikan jaringan. Respon inflamasi ini berlangsung dengan proses yang cukup kompleks
dan dapat disimpulkan dalam beberapa tanda:
a. Adanya hiperemi yang disebabkan oleh vasodilatasi arteri dan kapiler serta
peningkatan permeabilitas dari venula dengan berkurangnya aliran darah pada vena.
b. Berkumpulnya leukosit pada sekitar jaringan serta keluarnya eksudat yang kaya
akan protein plasma, antibodi dan nutrisi.
c. Berkurangnya faktor permeabilitas, leukotaksis yang mengikuti migrasi leukosit
polimorfonuklear dan kemudian monosit pada daerah yang luka.
d. Jalinan fibrin dari eksudat mulai terbentuk, lalu menempel pada dinding lesi.
e. Fagositosis dari bakteri dan organisme lainnya.
f. Pengawasan oleh makrofag dari debris yang nekrotik.
2. Adanya gejala infeksi
Gejala infeksi dapat ditandai dengan adanya rubor, tumor, dolor, kalor dan fungsiolaesa.
Rubor merupakan kemerahan yang terlihat pada daerah permukaan infeksi yang disebabkan
oleh vasodilatasi. Tumor atau edema merupakan pembengkakan daerah infeksi, kalor
merupakan panas yang disebabkan oleh aliran darah dan meningkatnya metabolisme. Dolor
merupakan rasa sakit yang diakibatkan dari rangsangan pada saraf sensorik yang disebabkan
oleh pembengkakan atau perluasan infeksi. Rasa sakit juga dapat disebabkan oleh aksi faktor
bebas atau faktor aktif seperti kinin, histamin, metabolit atau bradikinin pada akhiran saraf.
Fungsiolaesa merupakan kehilangan fungsi, seperti misalnya ketidakmampuan mengunyah
dan kemampuan bernafas yang terhambat. Kehilangan fungsi pada daerah inflamasi
disebabkan oleh faktor mekanis dan refleks inhibisi dari pergerakan otot yang disebabkan
oleh rasa sakit.
3. Limphadenopati
Kelenjar limfe pada infeksi akut akan membesar, lunak dan sakit. Kulit disekitarnya
memerah dan jaringan yang berhubungan akan membengkak. Kelenjar limfe pada infeksi
kronis lebih atau kurang keras tergantung derajat inflamasi, seringkali tidak lunak dan
pembengkakan jaringan di sekitarnya biasanya tidak terlihat. Daerah indikasi terjadinya
infeksi tepat pada lokasi pembesaran kelenjar limfe. Jika organisme penginfeksi menembus
sistem pertahanan tubuh pada kelenjar, maka supurasi kelenjar akan terjadi menyebabkan
terjadinya reaksi seluler dan produksi pus. Proses ini dapat terjadi secara spontan dan
memerlukan insisi dan drainase.

1.1 Lokasi kelenjar limfe kepala dan leher

1.6 Klasifikasi Infeksi Odontogen

Berdasarkan tingkat penyebaran infeksi odontogenik dibagi menjadi superficial dan deep fascia
1. Superficial
Tingkat superficial terdiri atas intraalveolar, subperiosteal, submucosal, dan
subcutaneous.
a. Intraalveolar
Abses intraalveolar merupakan infeksi purulen akut yang berlokasi pada regio
apikal gigi pada tulang alveolar.

1.2 Abses Intraalveolar


b. Subperiosteal
Abses periosteal melibatkan akumulasi purulen yang terbatas yaitu semi-fluktuan.
Abses periosteal berlokasi diantara tulang dan periosteum, pada bukal, palatal, atau
lingual dari gigi yang bersangkutan dengan infeksi.

1.3 Abses Subperiosteal


c. Submucosal
Abses ini terletak tepat dibawah mukosa vestibular labial atau bukal dari maksila
atau mandibula juga bagian palatal atau lingual gigi yang bersangkutan dengan infeksi.

1.4 Abses Submucosal


d. Subcutaneous
Abses ini terlokalisir pada berbagai area pada wajah dibawah kulit dengan
karakteristik adanya pembengkakan fluktuatif.

1.5 Abses Subcutaneous

2. Deep Fascia
1. Spasium subperiosteal
Gejala klinis abses subperiosteal ditandai dengan selulitis jaringan lunak mulut
dan daerah maksilofasial. Pembengkakan yang menyebar ke ekstra oral, warna kulit
sedikit merah pada daerah gigi penyebab. Penderita merasakan sakit yang hebat,
berdenyut dan dalam serta tidak terlokalisir. Pada rahang bawah bila berasal dari gigi
premolar atau molar pembengkakan dapat meluas dari pipi sampai pinggir mandibula,
tetapi masih dapat diraba. Gigi penyebab sensitif pada sentuhan atau tekanan.

1.6 a. Ilustrasi gambar; b. Gambaran klinis

2. Spasium kaninus
Fosa kanina sering merupakan tempat infeksi yang bersal dari gigi rahang atas
pada regio ini terdapat jaringan ikat dan lemak, serta memudahkan terjadinya akumulasi
cairan jaringan. Gejala klinis ditandai dengan pembengkakan pada muka, kehilangan
sulkus nasolabialis dan edema pelupuk mata bawah sehingga tampak tertutup. Bibir atas
bengkak, seluruh muka terasa sakit disertai kulit yang tegang berwarna merah.

1.7 a. Ilustrasi gambar; b. Gambaran klinis


3. Spasium bukal
Spasium bukal berada diantara m. Masseter, m. Pterygoideus interna dan
m.Buccinator. Berisi jaringan lemak yang meluas ke atas ke dalam diantara otot
pengunyah, menutupi fosa retrozigomatik dan spasium infratemporal. Abses dapat
berasal dari gigi molar kedua atau ketiga rahang atas masuk ke dalam spasium bukal.
Gejala klinis abses ini terbentuk di bawah mukosa bukal dan menonjol ke arah rongga
mulut. Pada perabaan tidak jelas ada proses supuratif, fluktuasi negatif dan gigi penyebab
kadang-kadang tidak jelas. Masa infeksi/pus dapat turun ke spasium terdekat lainnya.
Pada pemeriksaan estraoral tampak pembengkakan difus, tidak jelas pada perabaan.

1.8 a. Ilustrasi gambar; b. Gambaran klinis


4. Spasium infratemporal
Abses ini jarang terjadi, tetapi bila terjadi sangat berbahaya dan sering
menimbulkan komplikasi yang fatal. Spasium infratemporal terletak di bawah dataran
horisontal arkus-zigomatikus dan bagian lateral di batasi oleh ramus mandibula dan
bagian dalam oleh m.Pterygoideus interna. Bagian atas dibatasi oleh m.pterigoid
eksternus. Spasium ini dilalui a.Maksilaris interna dan n.Mandibula, Mylohyoid, Lingual,
Buccinator dan n.Chorda timpani. Berisi pleksus venus Pterigoid dan juga berdekatan
dengan pleksus faringeal.
1.9 a. Ilustrasi gambar; b. Gambaran klinis
5. Spasium submental
Spasium ini terletak diantara m.milohioid dan m.plastima. di depannya melintang
m.digastrikus, berisi kelenjar limfe submental. Perjalanan abses kebelakang dapat meluas
ke spasium mandibula dan sebaliknya infeksi dapat berasal dari spasium submandibula.
Gigi penyebab biasanya gigi anterior atau premolar. Gejala klinis ditandai dengan
selulitis pada regio submental. Tahap akhir akan terjadi supuratif dan pada perabaan
fluktuatif positif. Pada pemeriksaan intra oral tidak tampak adanya pembengkakan.
Kadang-kadang gusi disekitar gigi penyebab lebih merah dari jaringan sekitarnya. Pada
tahap lanjut infeksi dapat menyebar juga kearah spasium yang terdekat terutama kearah
belakang.

1.10 a. Ilustrasi gambar; b.


Gambaran klinis
6. Spasium sublingual
Spasium sublingual dari garis median oleh fasia yang tebal, terletak diatas
m.Mylohyoid dan bagian medial dibatasi oleh m.Genioglosus dan lateral oleh permukaan
lingual mandibula. Gejala klinis ditandai dengan pembengkakan dasar mulut dan lidah
terangkat, bergerser ke sisi yang normal. Kelenjar sublingual dan tampak menonjol
karena terdesak oleh akumulasi pus di bawahnya. Penderita akan mengalami kesulitan
menelen dan terasa sakit.
1.11 a. Ilustrasi gambar perkembangan abses di daerah sublingual;
b. Ilustrasi pembengkakan dasar mulut dan elevasi lidah kearah berlawanan
7. Spasium parafaringeal
Spasium parafaringeal berbentuk konus dengan dasar kepala dan apeks bergabung
dengan selubung karotid. Bagian luar dibatasi oleh muskulus pterigoid interna dan
sebelah dalam oleh muskulus konstriktor faring. Sebelah belakang oleh glandula parotis,
muskulus prevertebalis dan prosesus stiloideus serta struktur yang berasal dari prosesus
ini. Kebelakang dari spasium ini merupakan lokasi arteri karotis, vena jugularis dan
nervus vagus, serta sturktur saraf spinal, glosofaringeal, simpatik, hipoglosal dan kenjar
limfe. Infeksi pada spasium ini mudah menyebar keatas melalui berbagai foramina
menuju bagian otak. Kejadian tersebut dapat menimbulkan abses otak, meningitis atau
trombosis sinus. Bila infeksi berjalan ke bawah dapat melalui selubung karotis sampai
mediastinuim.

1.12 Anatomi letak parafaringeal

8. Spasium submasseter
Spasium submasseter berjalan ke bawah dan ke depan diantara insersi otot
masseter bagian superfisialis dan bagian dalam. Spasium ini berupa suatu celah sempit
yang berjalan dari tepi depan ramus antara origo m.masseter bagian tengah dan
permukaan tulang. Keatas dan belakang antara origo m.masseter bagian tengah dan
bagian dalam. Disebelah belakang dipisahkan dari parotis oleh lapisan tipis lembar
fibromuskular. Infeksi pada spasium ini berasal dari gigi molar tiga rahang bawah,
berjalan melalui permukaan lateral ramus ke atas spasium ini. Gejala klinis dapat berupa
sakit berdenyut diregio ramus mandibula bagian dalam, pembengkakan jaringan lunak
muka disertai trismus yang berjalan cepat, toksik dan delirium. Bagian posterior ramus
mempunyai daerah tegangan besar dan sakit pada penekanan.

1.13 a. Ilustrasi gambar; b. Gambaran


klinis
9. Spasium submandibula
Spasium ini terletak dibagian bawah m.mylohioid yang memisahkannya dari
spasium sublingual. Lokasi ini di bawah dan medial bagian belakang mandibula. Dibatasi
oleh m.hiooglosus dan m.digastrikus dan bagian posterior oleh m.pterigoid eksternus.
Berisi kelenjar ludah submandibula yang meluas ke dalam spasium sublingual. Juga
berisi kelenjar limfe submaksila. Pada bagian luar ditutup oleh fasia superfisial yang tipis
dan ditembus oleh arteri submaksilaris eksterna. Infeksi pada spasium ini dapat berasal
dari abses dentoalveolar, abses periodontal dan perikoronitis yang berasal dari gigi
premolar atau molar mandibula.

1.14 a. Ilustrasi gambar; b. Gambaran


klinis
10. Spasium masseter
11. Spasium pterigomandibular
12. Spasium temporal
13. Spasium faringeal
14. Spasium retrofaringeal
15. Spasium prevertebral

1.7 Prinsip Penatalaksanaan Pasien Infeksi Odontogenik


Prinsip Terapi Pasien Infeksi Odontogenik
1. Menentukan tingkat keparahan infeksi
Biasanya tingkat keparahan infeksi hanya ringan sampai sedang sehingga hanya
memerlukan bedah minor. Namun asassement harus dilakukan untuk menentukan tingkat
keparahan penyakit pasien, yaitu berdasarkan riwayat keluhan yang diderita pasien dan
pemeriksaan fisik lengkap.
- Riwayat
Keluhan yang biasanya diutarakan pasien adalah : sakit (pain), bengkak, panas,
kemerahan, fungsiolesa, trismus, kesulitan mengunyah (disfagia), kesulitan bernapas
(dispnea) dan malaise
- Pemeriksaan fisik
 Tanda vital :
1. Suhu > 38,3 > sistemik
2. Tekanan darah > kecemasan atau sakit yang hebat > sistol naik
3. Denyut nadi >100x per menit
4. dan laju pernapasan > perhatikan obstruksi jalan napas, normal 14-16/menit,
infeksi bisa > 18/menit
pasien dengan tanda vital yang baik dan hanya mengalami kenaikan suhu yang tidak
terlalu signifikan, cendrung untuk mengalami infeksi ringan dan bisa langsung ditangai
oleh dokter gigi umum, sementara pasien dengan tanda vital yang buruk perlu dilaukan
evaluasi lebih lanjut oleh dokter gigi bedah mulut.
 Penampilan pasien secara umum : apabila infeksi berat biasanya penampilan
umum pasien buruk, nampak kelelahan, demam dan malaise > toxic appereance
 Periksa area kepala dan leher > perhatikan cardinal signs, apakah ada
pembengkakak dan eritema. Minta pasien untuk membuka mulut dengan lebar,
bernapas dan menelan, sehingga dapat diperhatikan apakah ada kesulitan
fungsional.
Biasanya pasien yang harus segera dirujuk ke ruang gawat darurat ditemukan : trismus
(maksimal 20 mm) 73%, disfagia 78% dan dispnea 14%.
 Periksa area yang bengkak dengan palpasi  periksa konsistensi, tenderness
(keras dan lunaknya) serta suhunya. Fleshly swelling, feeling indurated dan
fluktuan (seperti balon yang dipenuhi cairan)
 Periksa IO pasien untuk menentukan etiologi infeksi. Karies, penyakit periodontal
serta abses. Periksa apakah ada sinus track
 Pemeriksaan radiograf, biasanya panoramic karena pasien sudah kesulitan untuk
membuka mulut
Setelah dilakukan pemeriksaan yang lengkap maka dokter gigi harus mengkategorikan
tingkat keparahan infeksi yang dialami pasien.
 Very soft, mildly tender
 Edema : inokulasi > soft atau doughy
 Indurated swelling : cellulitis
 Central fluctuant : abses
Memiliki bentuk yang lebih kecil dan tepinya jelas, biasanya dibedakan dari hasil palpasi.
Ketika dilakukan palpasi biasanya fluktuan > berisi pus
Keadaan akut > bengkak terlokalisasi, tidak terlalu sakit
Keadaan sudah kronis bila ditemukan drainase, biasanya sudah tidak sakit atau tidak
terlalu sakit.

1.2 Pemeriksaan Fluktuan


Pemeriksaan palpasi yang dilakukan dengan menggunakan dua jari dilakukan penekanan
pada satu sisi, jika pada sisi lain terangkat dan sebaliknya maka fluktuasi dikatakan positif.

2. Evaluasi status pertahanan tubuh pasien


 Kondisi sistemik
Berikut keadaan yang biasanya ditemukan pada pasien dengan system imun yang menurun
 Metabolism buruk contoh pada DM, renal disease, alokohilisme > malnutrisi >
penurunan leukosit > kemampuan kemotaksis, fagositosis juga menurun. Yang paling
umum dijumpai adalah pasien dengan DM yang menunjukkan resistensi terhadap infeksi
menurun secara signifikan.
 Gangguan system imun > leukemia, limfoma atau kanker. Terjadi penurunan jumlah dan
fungsi darah putih, sertapembetukan antibody.
 Pasien HIV
 Efek farmakoterapi
Pasien yang sedang mengonsumsi obat-obatan tertentu dapat mempengaruhi tingkat pertahanan
tubuh, seperti
 pasien yang sedang menjalani kemoterapi, terjadi penurunan jumlah sel darah putih yang
sangat signifikan. Biasanya kurang dari 1000cell/mL
 pasien yang sedang menjalani terapi imunosupresive > transplantasi organ atau penyakit
autoimun
contoh obat : kortikosteroid, menurunkan sel limfosit T dan B, fungsi limfosit dan produksi
immunoglobulin.
Perlu diperhatikan bahwa efek obat-obatan ini masih bisa dirasakan pasien walaupun terapi obat
sudah selesai, biasanya setahun pasca terapi.
Keadaan pasien, baik secara sistemik dan kondisi farmakoterapi, perlu diperhatikan untuk
rencana perawatan, dan apabila ditemukan keadaan pasien seperti ini maka pada setiap tindakan
bedah perlu diberikan antibiotic profilaksis (menurut AHA).

3. Menentukan apakah pasien perlu dirujuk kepada spesialis bedah mulut


Pasien dengan tingkat infeksi yang rendah biasanya menunjukkan hasil yang positif
ketika dilakukan bedah minor dan terapi antibiotic oleh dokter gigi umum. Namun pada infeksi
berat dan dapat mengancam nyawa, maka penting bagi dokter gigi untuk menentukan apakah
pasien membutuhkan tindakan segera dari spesialis bedah mulut. Rujukan ini bertujuan untuk
mengurangi resiko komplikasi.
Biasanya keadaan yang menghambat jalan napas adalah pertimbangan major dilakukannya
rujukan.

Perhatikan jika pasien :


 Infeksi memburuk dengan cepat > biasanya baru dimulai 1 atau 2 hari yang lalu, namun
memburuk dengan cepat dan hebat.
 Kesulitan bernapas, biasanya pasien tidak mau berbaring karena sulit bernapas, kesulitan
bicara
 Disfagia yaitu sulit menelan bahkan saliva
jika pasien datang dengan keadaan seperti datas, maka harus segera dilakukan rujukan ke ruang
gawat darurat.
Pasien yang juga harus dirujuk adalah :
 Melibatkan ekstraoral yang rumit > pembengkakan di bukal, submandibular > diperlukan
insisi dan drainase
 Pasien dengan peningkatan suhu tubuh yang signifikan
 Trismus : ringan (20-30mm), sedang (10-20mm) dan berat (<10mm)
Biasanya disebabkan oleh adanya inflamasi ada otot, retrofaringeal dan letral faringeal
 Pasien dengan toxic face

4. Lakukan tindakan bedah


Prinsip utama penangan infeksi odontogenik adalah melakukan drainase dan menghilangkan
etiologi.
Tindakan bedah yang dilakukan dapat berupa perforasi > akses endodontic, ekstirpasi pulpa yang
sudah nekrosis atau bahkan insisi jaringan lunak pada area submandibula dan leher dan drainase
mediastinum (pada infeksi berat).
Kemungkinan tindakan yang dilakukan :
 Typical
Biasanya ditandai dengan karies dalam dengan gambaran radiolusen di periapikal dengan abses
vestibular.
Tindakan dapat berupa :
 Endodontik dengan drainase melalui apical foramen
 Ekstraksi baik setelah dilakukan perforasi atau tanpa perforasi biasanya pada abses yang
sudah cukup besar pada aerea vestibulum dapat dilakukan insisi, sehingga pus dan debris
dapat dieliminasi dalam waktu yang cepat. Kemudian hal ini menurunkan tekanan
hodrostatik > dekompresi jaringan > suplai pembuluh darah membaik sehingga system
pertahanan tubuh dapat bekerja lebih optimal.
Pada cellulitis di area wajah perrlu dilakukan insisi sehingga dapat terjadi drainase, hal ini
memiliki tujuan utama untuk menghambat penyebaran infeksi. Setelah dilakukan insisi dan
drainase, maka area mukosa dibersihkan dengan antiseptic (povidone iodine).
Pasien dengan fase inokulasi biasnya tidak membutuhkan insisi dan drainase, cukup
menghilangkan etiologi seperti pulpa yangs udah nekrosis atau dilakukan ekstraksi. Kemudian
dapat diberikan antibiotik untuk melawan bakteri. Apabila sudah sampai pada tahap cellulitis
maka dilakukan insisi dan drainase, dan jika dilakukan ekstraksi serta drainase cukup hanya
melalui soket maka tidak diperlukan insisi dan drainase yang terpisah.

5. Memberikan dukungan medis


 Hal-hal yang berkaitan dengan kondisi sistemik yang dapat memperparah keadaan pasien
perlu ditanggulangi. Seperti pada pasien DM maka dilakukan control gula dengan ketat
 Perlu diberikan masukan kepada pasien untuk memperhatikan nustrisi setelah tindakan,
biasanya pasien masih sulit membuka mulut dan makan, maka anjurkan untuk minum
cukup atau mengonsumsi jus agar nutrisi tetap terpenuhi.
 Pasien juga harus diberikan analgesic agar tetap merasa nyaman
 Berikan instruksi self-care

6. Memilih antibiotik yang tepat


Dokter gigi harus melakukan pertimbangan yang tepat ketika akan memberikan
antibiotic, karena antibiotic tidak hanya memiliki resolusi yang baik terhadap infeksi namun juga
memiliki efek samping yang buruk seperti resistensi.
Antibiotik hanya perlu diberikan ketika invasi bakteri sudah sampai pada jaringan yang
lebih dalam dan tidak dapat ditoleransi oleh system pertahanan tubuh. Pasien dengan gangguan
imun perlu diberikan antibiotic walaupun infeksi masih ringan, atau pasien dengan infeksi dan
tidak dilakukan tindakan segera, maka perlu diberikan antibiotik.
Antibiotik sebaiknya hanya digunakan pada pasien dengan infeksi yang sudah menembus
tulang alveolar sehingga sudah menyebar cukup luas. Untuk terapi infeksi ringan hanya
diberikan kepada pasien dengan gangguan system imun. Apabila memberikan antibiotic maka
gunakan antibiotic yang empiris dan spectrum spesifik, dan pada infeksi odontogenik maka
pilihan obat utamanya adaah penicillin. Penicillin bersifat bakterisidal, spectrum spesifik
terhadap bakteri ora, toksisitas rendah dan harga murah. Alternative untuk pasien dengan alergi
penicillin adalah clindamycin, metronidazole, moxifloxacin.

7. Meresepkan antibiotik yang rasional


Meresepkan antibiotik sebaiknya dalam dosis yang cukup dan efektif, tidak dalam dosis
yang besar karena dapat menimbulkan reaksi toksisitas. Kemudian pertimbangkan kepatuhan
pasien, apakah kemungkinan dapat mengonsumsi obat 3-4 kali sehari slama 5 hari, apabila dirasa
rendah maka dapat menggunakan alternative antibiotic yan dberikan 1x sehari saja.

8. Evaluasi pasien secara berkala


Pasien harus datang untuk kontrol 2 hari setelah dilakukan tindakan. Biasanya saat pasien
datang, keadaan pasien sudah banyak berubah. Hal-hal yang harus dievaluasi adalah :
 Pembengkakan dan rasa sakit, apakah berkurang atau tidak
 Apabila dilakukan insisi dan drainase, dilihat apakah drainase sudah cukup atau belum,
apabila dirasa sudah maka drainase dapat dilepas.
Apabila perbaikan tidak signifikan, maka harus dicari penyebab kegagalannya.

2. INSISI DRAINASE
Drainase bedah diindikasikan untuk penderita dengan abses atau ancaman terjadinya
komplikasi. Ruang primer yang terkena dan perluasan keruang lainnya harus dibuka dan di
drainase. Drainase dapat berupa aspirasi abses atau insisi dan eksplorasi, tergantung pada luasnya
abses dan komplikasi yang ditimbulkannya.
2.1 Alat dan Bahan
 Untuk pengamanan operator :
- Sarung tangan
- Masker
- Gown / apron
 Untuk tindakan antiseptik dan anestesi :
- Larutan antiseptik povidone iodine 10%
- Cotton pelet steril
- Anestetikum lokal : Lidocaine 1%.
- Sputi 2,5 mL
- Spuit 5 – 10 mL
 Untuk insisi dan drainase :
- Scalpel blade (nomor 11 atau 15) dengan handle
- Klem arteri (hemostat) ujung lengkung ukuran kecil
- Larutan NaCl 70% (normal saline) dalam mangkuk steril
- Spuit ukuran besar untuk irigasi luka.
- Cotton swab steril untuk mengambil sampel jika diperlukan untuk pemeriksaan
kultur.
- Rubber drain
- Gunting
- Benang dan jarum suturing
2.2 Tahapan Insisi Drainase
1. Lakukan informed consent dan mintalah persetujuan tertulis dari pasien/ orang tua atau
kerabat terdekat pasien.
2. Lakukan pengecekan apakah alat yang akan dipergunakan sudah dipersiapkan dengan
lengkap, dapat berfungsi dengan baik, diletakkan di atas tray nierbekken dan di tempat
yang mudah dijangkau oleh operator.
3. Posisikan pasien sedemikian rupa sehingga area abses yang akan diinsisi terpapar
sepenuhnya namun pasien tetap merasa nyaman.
4. Sesuaikan terang lampu sehingga visualisasi abses optimal.
5.Operator melakukan UP mencuci tangan dengan air dan sabun, menggunakan sarung
tangan, masker, dan gown atau apron
6. Siapkan obat anestesi lokal dalam spuit
7. Lakukan asepsis dengan povidone iodine 10%, dimulai dari puncak abses, memutar ke
arah luar sampai di luar medan insisi.
8. Lakukan anestesi infiltrasi
9. Lakukan insisi dengan menggunakan scalpel dan blade
- Insisi dilakukan dengan menghindari luka saluran (Wharton, Stensen) dan pembuluh
darah besar serta saraf
- Drainase yang memadai diperbolehkan. Insisi dilakukan secara dangkal, pada titik
terendah dari akumulasi, untuk menghindari nyeri dan memfasilitasi evakuasi nanah di
bawah gravitasi.
- Insisi dan drainase abses harus dilakukan pada waktu yang tepat. Ini adalah saat nanah
telah menumpuk di jaringan lunak dan berfluktuasi selama palpasi

2.1 Insisi dengan scalpel dan blade


10. Insersikan hemostat ujung lengkung dalam keadaan tertutup ke dalam kavitas abses
sampai terasa tahanan dari jaringan yang sehat, kemudian buka ujung hemostat dan
lakukan diseksi tumpul dengan gerakan sirkular untuk membuka kavitas abses secara
komplit.
2.2 Penempatan hemostat pada rongga abses
11. Lakukan irigasi luka dengan normal saline menggunakan spuit
12. Masukkan rubber drain ke dalam rongga abses lalu fiksasi dengan suturing

2.3 Rubber drain difiksasi dengan suturing

2.4 Tahapan Insisi Drainase

2.2 Post Insisi Drainase

1. Pemberian Antibiotik
Dokter gigi harus melakukan pertimbangan yang tepat ketika akan memberikan
antibiotik, karena antibiotik tidak hanya memiliki resolusi yang baik terhadap infeksi
namun juga memiliki efek samping yang buruk seperti resistensi.
A. Menentukan kebutuhan akan antibiotik
Setidaknya terdapat 3 pertimbangan utama ketika akan memberikan
antibiotik, yaitu :
1. Tingkat keparahan infeksi
2. Tingkat keberhasilan prosedur bedah
3. Tingkat imunitas pasien
Infeksi parah, terutama yang melibatkan ruang fasia yang lebih dalam dan
mereka yang menderita selulitis, mendapat manfaat dari terapi antibiotik setelah
kontrol sumber menyeluruh serta insisi dan drainase. Karena beberapa spasium
deep fascia (misalnya, spasium infratemporal, spasium lateral faringeal, spasium
retropharyngeal) tidak dapat diperiksa secara memadai tanpa computed
tomography imaging, terdapat risiko yang lebih besar drainase tidak adekuat atau
tidak selesai, dibandingkan dengan infeksi vestibular oral superfisial yang mudah
diakses untuk pemeriksaan dan pembedahan. Karena itu perannya terapi antibiotik
tambahan lebih signifikan pada infeksi berat yang melibatkan spasium yang lebih
dalam.
B. Menggunakan terapi antibiotik empiris yang rutin
Infeksi odontogenik hampir selalu disebabkan oleh kondisi normal flora oral
(terutama streptokokus oral fakultatif, anaerobik streptococci, dan spesies Prevotella dan
Fusobacterium) dan biasanya memiliki komposisi bakteri yang dapat diprediksi.
Prediktabilitas ini membuat penggunaan kultur bakteri dan pengujian sensitivitas tidak
diperlukan dan tidak praktis karena organisme penyebab sudah diketahui.
Seperti disebutkan sebelumnya, pengujian mikrobiologi harus dilakukan untuk
keadaan khusus seperti infeksi yang berkembang pesat, osteomielitis, infeksi
nonresponsive atau rekuren, dan pertahanan tubuh yang terganggu. Organisme penyebab
yang dapat diprediksi pada infeksi odontogenik juga mendukung penggunaan antibiotik
terbatas pada jumlah tertentu. Yaitu penisilin, amoksisilin, klindamisin, dan azitromisin,
yang efektif melawan streptokokus aerobik dan fakultatif serta anaerob oral. Dosis juga
harus dipertimbangkan, karena ini berhubungan langsung dengan keefektifan terapi
antibiotik.
Seperti yang sudah diketahui sebelumnya, bahwa bakteri penyebab infeksi
odontogenik sudah diketahui jenisnya, sehingga tidak perlu dilakukan kulturisasi dan uji
sensitifitas antibiotik. Berdasarkan jenis bakteri penyebab infeksi odontogenik, maka
jenis antibotik yang biasa digunakan dan efektif adalah :
- Penicillin : 4x sehari
- Amoxicillin : 3x sehari
- Clindamycin : 3x sehari
- Azithromycin
- Metronidazole : untuk obligate anaeorobik
- Moxifloxacin : 1x sehari
- Erythromycin : 4x sehari

Namun kulturisasi tetap diperlukan jika :


- Infeksi berat yang terjadi dengan cepat (progress)
- Pasien yang kembali setelah 3-4 hari dilakukan tindakan operatif namun pada
awalnya tidak menimbulkan keluhan, maka dicurigai bakteri penyebab infeksi bukan
berasal dari gigi
- Infeksi yang tidak pulih sama sekali
- Infeksi berulang
- Pasien dengan gangguan sistem imun

C. Menggunakan spektrum yang paling spesifik


Antibiotik yang diberikan sebaiknya yang paling sesuai dengan bakteri penyebab
infeksi. Contoh : penicillin efektif membunuh streptokokus dan bakteri anaerob yang
terdapat di rongga mulut, dan tidak terlalu efektif membunuh staphilokokus yang terdapat
di kulit dan saluran pencernaan, sehingga tidak mengganggu keseimbangan flora normal
di jaringan lain. Berbeda dengan amoxicillin-calvulanate yang juga efektif membunuh
streptokokus dan bakteri anaerob di rongga mulut, tetapi juga bakteri yang terdapat di
kulit dan saluran pencernaan sehingga dapat mengganggu keseimbangan flora dan terjadi
resistensi.
Berikut jenis-jenis obat yang direkomendasikan oleh ADA`s untuk menggunakan
antibiotik dengan spectrum spesifik pada infeksi ringan. Dimana antibiotik spectrum luas
hanya digunakan untuk infeksi yang berat/kompleks, seperti pada kasus yang sudah
melibatkan tulang alveolar, abses vestibulum atau yang sudah mencapai jaringan lunak.

Berikut karakteristik infeksi sederhana/ringan dan infeksi yang kompleks

D. Gunakan antibiotik dengan efek samping dan toksisitas paling rendah


Pada zaman dahulu antibiotik memiliki tingkat toksisitas yang sangat minim, dan efek
samping yang ringan, namun antibiotik generasi sekarang ini memiliki toksisitas dan efek
samping yang harus dipertimbangkan.
Contohnya :
o Penicillin yang dapat mengakibatkan reaksi alergi, sekitar 2-3% penduduk di
dunia alergi terhadap penicillin. Namun penicillin tidak memiliki toksisitas dan efek
samping yang buruk bila diberikan dalam dosis normal.
o Clindamycin, amoxicillin, cephalosporins yang dapat mengakibatkan diare, yang
disebut pseudomembranous colitis. Hal ini disebabkan oleh terganggunya keseimbangan
flora normal didalam usus, menyebabkan resistensi clostridium difficile, lalu
menghasilkan toxin dan mengakibatkan colitis.
o Moxifloxacin mengakibatkan kelelahan pada otot, gangguan mental, dan memiliki
efek yang fatal bila bereaksi dengan obat kardiovaskular. Kontraindikasi untuk anak dan
ibu hamil.
o Antibiotik golongan cephalosporins, seperti cephalexon, cefadroxil sudah jarang
digunakan untuk infeksi odontogenik, karena kurang efektif. Dapat menyebabkan reaksi
alergi seperti penicillin. Berhati-hati dengan pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap
penicillin.
o Begitu juga dengan golongan macrolide seperti erythromycin yang efektifitas
melawan bakteri oral nya berkurang
o Tetracycline juga sudah tidak efektif untuk infeksi odontogenik, kecuali diberikan
secara topikal dengan konsentrasi tinggi. Potensi toksisitasnya juga ringan,
kemungkinannya seperti nausea dan diare (namun sangat jarang). Menyebabkan
diskolorasi gigi pada bayi bila dikonsumsi ibu sewaktu mengandung, karena bereaksi
dengan kalsium saat pebentukan gigi.
o Golongan metronidazole, memiliki efek yang mematikan pada pasien yang
mengkonsumsi ethanol (alcohol). Efek samping ringan seperti diare.

E. Gunakan antibiotik yang bersifat bakterisidal


Mekanisme kerja antibiotik dapat secara aktif langsung membunuh bakteri
(bakterisidal) dan dapat juga mengganggu reproduksi bakteri (bakteriostatik).
Keuntungan antibiotik yang bersifat bakterisidal ini adalah tidak membutuhkan peran
yang banyak dari system pertahan tubuh, sehingga menguntungkan bagi pasien dengan
gangguan imun, atau pasien yang sedang menjalani kemoterapi. Antibiotik bakterisidal
merusak dinding sel bakteri, sehingga langsung membunuh bakteri. Sementara
bakterisidal mengganggu reproduksi bakteri secara perlahan, sehingga memerlukan
respon system imun yang adekuat, oleh karena itu obat ini harus dihindari pemakaiannya
pada pasien dengan gangguan imun.

2. Pemberian Analgesik
Analgesik menghilangkan rasa sakit sementara sampai faktor penyebab infeksi terkendali.
Pilihan analgesik harus didasarkan pada kesesuaian pasien. Obat anti inflamasi nonsteroid
digunakan pada nyeri ringan sampai sedang. Analgesik opioid, seperti dihidrokodein dan petidin,
digunakan untuk rasa sakit yang parah. Parasetamol, ibu profen dan aspirin cukup untuk
sebagian besar nyeri ringan akibat infeksi gigi.

2.3 Kontrol
Kontrol dilakukan 2 hari setelah dilakukan tindakan. Pada infeksi yang telah dirawat
dengan ekstraksi gigi dan insisi intraoral dan drainase, jadwal follow-up yang paling tepat
biasanya 2 hari pasca operasi dengan alasan berikut :
1. Biasanya drainase sudah berhenti dan drain dapat dihentikan pada saat ini.
2. Biasanya tanda dan gejala akan semakin baik atau semakin buruk,memungkinkan
untuk menentukan rencana perawatan berikutnya
Pada infeksi odontogenik deep fascia yang cukup serius untuk rawat inap, evaluasi
klinis harian dan perawatan luka diperlukan. Pada 2 sampai 3 hari pasca insisi drainase,
tanda-tanda klinis akan membaik, seperti pembengkakan yang berkurang, demam
menurun, drainase luka, sel darah putih menurun, malaise menurun, dan penurunan
pembengkakan saluran napas sehingga ekstubasi dapat dipertimbangkan.
Jika tanda-tanda perbaikan klinis di atas tidak tampak, maka mungkin perlu untuk
memulai penyelidikan untuk kemungkinan kegagalan pengobatan. Penyebab kegagalan
pengobatan pada infeksi odontogenik tercantum pada tabel dibawah ini.
Sangat penting untuk memastikan menghilangkan sumber infeksi secara menyeluruh.
Jika gigi telah diekstraksi, lokasi ekstraksi perlu diperiksa dengan cermat untuk
memastikan tidak ada sisa fragmen gigi, sekuestra tulang, atau benda asing (mis., pecahan
duri atau file). Juga gigi di sekitar area infeksi mungkin perlu dievaluasi ulang
menentukan apakah mereka berkontribusi pada infeksi persisten.
KESIMPULAN

Infeksi odontogen merupakan infeksi rongga mulut yang paling sering terjadi yang
disebabkan oleh bakteri yang merupakan flora normal dalam mulut, yaitu bakteri dalam plak,
dalam sulkus gingiva, dan mukosa mulut. Perluasan infeksi odontogenik atau infeksi yang
mengenai struktur gigi (pulpa dan perio dontal) ke daerah periapikal, selanjutnya menuju kavitas
oral dengan menembus lapisan kortikal vestibular dan periosteum dari tulang rahang. Fenomena
ini biasanya terjadi di sekitar gigi penyebab infeksi, tetapi infeksi primer dapat meluas ke regio
yang lebih jauh , karena adanya perlekatan otot atau jaringan lunak pada tulang rahang. Dalam
hal ini, infeksi odontogenik dapat menyebar ke bagian bukal, fasial, dan subkutaneus servikal
kemudian berkembangan menjadi selulitis fasial, yang akan mengakibatkan kematian jika tidak
segera diberikan perawatan yang adekuat. Meskipun berpotensi mengancam nyawa, infeksi ini
dapat dilakukan tindakan pencegahan dimana lebih baik mencegah daripada mengobati.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hupp JR, Ellis E, Tucker MR. 2009. Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery, 5th
Ed
2. Fragiskos. 2007. Oral surgery. Greece: Springer. Verlag Berlin Heidelberg. p.205-08.
http://dent.zaums.ac.ir/uploads/1_296_oral%20surg.pdf
3. Sandor GB. Low DE. Davidson RJ. Antimicrobial treatment options in the management
of odontogenic infections. ADC Journal. [on line] http://www.cda-adc.ca/jcda/vol-
64/issue-7/antimicrobial-t.html
4. Topazian dkk. Oral and Maxillofacial Infection. 4th ed. Philadelphia, W.B. Saunders Co.
5. Wazir S, Khan M, Mansoor N, Wazir A. Odontogenic fascial space infections in
pregnancy -a study. Pakistan Oral & Dental Journal 2013: 33(1); p.17-22
6. Anggraini, Nurul Amalia. 2017. Prevalensi Infeksi Odontogenik di RSUD Dr. Pirngadi
Kota Medan Tahun 2013-2016. Skripsi. p.9-10
7. Zamiri B, Hashemi SB, Hashemi SH, Rafiee Z, Ehsani S. Prevalence of odontogenic
deep head and neck spaces infection and its correlation with length of hospital stay.
Shiraz University of Dentistry, 2011:29-35
8. Sanchez R, Mirada E, Arias J, Pano JR, Burgueno M. Severe odontogenic infections:
Epidemiological, microbiological and therapeutic factors. Madrid: OPCB, 2011: 670-676
9. Bakathir AA, Moos KF, Ayoub AF, Bagg J. Factors contributing to the spread of
odontogenic infections. Sultan Qaboos University Medical Journal, 2009: 296-304.
10. Hutomo, Cinthia. 2018. Infeksi Odontogen Submandibular dengan Komplikasi Perluasan
ke Temporal. Denpasar. FKG Universitas Udayana
11. Khairunnisa, R. Nindya, T. 2019. Manajemen Kedaruratan Dental pada Abses

Submandibula Dextra et causa Nekrosis Pulpa gigi 44 (dental emergency management of

submandibular dextra abscess et causa necrosis pulp 44). medika kartika : jurnal

kedokteran dan kesehatan (2019);3(1):62-70.


12. https://skillslab.fk.uns.ac.id/wp-content/uploads/2018/08/BEDAH-MINOR-2018-smt-
7.pdf

Anda mungkin juga menyukai