Anda di halaman 1dari 7

Buat Cintaku

Kau pernah bertanya padaku, takutkah aku


kehilanganmu. Bagaimana mungkin aku bisa kehilangan
engkau, kekasihku. Sedangkan aku lahir ke dunia ini tak
memiliki apa pun. Aku pun akan mati tak memiliki apa
pun.
Kau bukan milikku. Aku bukan milikmu. Kita bahkan
mungkin tak memiliki diri kita sendiri.
Bagaimana mungkin aku kehilangan jika aku tak pernah
memiliki? Kita merasa kehilangan hanya karena kita
merasa memiliki. Kita merasa punya banyak waktu
sehingga kita kehilangan banyak waktu. Begitulah
manusia.
Kita takut kehilangan banyak hal yang sebenarnya tak
pernah kita miliki. Lucu kan?
Kita disibukkan oleh ilusi kepemilikan. Pikiran kita
begitu bising oleh ambisi keduniaan sehingga tak
mampu lagi menangkap suara murni dari kedalaman
hati. Kita dialihkan oleh banyak hal yang bersifat
artifisial kebendaan sehingga lalai dengan hal yang
substansial.
Duhai Cintaku,
Apakah kelak kau akan bisa memahamiku? Apakah kau
siap menanggung derita bersamaku? Derita adalah
bagian yang tak bisa dipisahkan dari hidup manusia.
Kita tak bisa menghindarinya. Derita adalah mekanisme
umpan balik yang berguna bagi manusia.
Engkau merasa terbakar jika kulitmu menyentuh api dan
perasaan terbakar itu memberimu pelajaran berharga
agar tak main-main dengan api. Begitu juga penderitaan
secara batin. Ia ada untuk memberi kita pelajaran.
Cintaku, aku selalu bertanya-tanya, apakah kita bisa
membebaskan diri dengan pernikahan atau kita akan
semakin terkurung ilusi yang menyesatkan.
Aku ingin kau menjadi manusia yang bebas. Aku ingin
kau menjadi manusia seutuhnya. Menyadari siapa
dirimu sesungguhnya dan apa peranmu di dunia ini.
Apakah kau pernah bertanya-tanya sepertiku? Aku suka
mempertanyakan banyak hal dalam hidupku.
Aku mempertanyakan apa saja karena aku tak begitu
mudah percaya dengan apa yang kulihat dan kudengar.
Aku mempertanyakan diriku sebagai pendidik. Aku
mempertanyakan diriku sebagai anak. Aku
mempertanyakan diriku sebagai bagian dari masyarakat.
Bahkan, aku kerap mempertanyakan pikiran dan
emosiku.
Ketakutan akan kehilangan sesuatu membuat kita rapuh.
Itu membuat kita terkurung dalam pikiran kita sendiri.
Dulu aku pernah mengalaminya.
Aku begitu takut kehilangan seseorang dan karenanya
aku begitu rapuh. Rasa takut kehilangan itu menyebar
cepat ke seluruh dinding jiwa. Melemahkan aku.
Mereka, rasa takut kehilangan itu, beranak pinak dalam
diriku. Aku takut akan pandangan orang lain tentang
diriku. Aku sibuk mengkhawatirkan penilaian orang lain
atas diriku karena aku takut tak diterima di sekitar
mereka.
Aku begitu takut sampai aku kehilangan penilaian atas
diriku sendiri.
Aku telah membuang jauh rasa takut kehilangan. Itulah
mengapa saat kau bertanya kepadaku takutkah aku
kehilanganmu, kujawab dengan mantap bahwa aku tak
takut kehilanganmu.
Duhai Cintaku,
Kau adalah gadis tercantik yang pernah kukenal.
Aku menyukai aroma rambutmu yang hangat, yang
meski berantakan tetap terlihat indah di mataku.
Bibirmu yang lembut ketika kukecup seperti sepotong
surga yang kutemukan di kegersangan dunia. Aku suka
telingamu yang seperti jamur kayu. Dingin ketika
kugigit. Seperti daun mint. Juga lehermu yang meski tak
jenjang, terasa hangat di tanganku. Rambut-rambut kecil
di sekitar pundakmu begitu halus di tanganku. Lidahmu
yang kenyal ketika bermain-main dengan lidahku
membuatku ingin berlama-lama di belaian bibirmu yang
sepotong surga itu. Dahimu yang lebar, ingin sekali aku
mendaratkan kecupan di sana setiap malam sebelum
tidur dan setiap pagi ketika bangun.
Aku suka memelukmu dari belakang sambil meremas
susumu yang begitu anggun di dadamu itu. Besar seperti
buah melon yang ranum. Dengan susumu yang besar
dan ranum itu, aku tak perlu takut kelak anakku
kelaparan dan menangis malam-malam. Kau akan
menjadi penenangku. Kau kedamaian untuk jiwaku
yang gersang. Kau mata air yang membuatku hidup lagi.
Kau menyejukkanku namun kau juga begitu hangat dan
menghangatkan. Aku terbakar gelora ketika
memelukmu. Perutmu yang berlemak itu begitu empuk.
Aku membayangkan betapa nyamannya berada di sana.
Lebih empuk dari kasur paling empuk di dunia
mungkin. Aku hanya bisa bilang mungkin, karena aku
belum pernah merasakan kasur terempuk di dunia. Juga
bokongmu yang aduhai itu. Aku suka mendaratkan
tanganku di sana dan merasakan bokongmu bergetar
seperti ponsel jadul menerima SMS. Juga pahamu yang
nyaman untuk tidur siang. Keseluruhan dirimu mungkin
diciptakan dari secuil surga.
Kadang aku membayangkan kita bergumul di ranjang
pada malam-malam yang dingin dan beku. Kita
hangatkan lagi ciuman-ciuman sebagai menu sabtu
malam. Atau malam-malam lain juga boleh. Aku
membayangkan kita menyatukan entitas badaniah kita.
Mengusir segala kesuntukan hidup. Membelaimu dari
ujung rambut hingga ujung kaki. Hingga telapak kaki.
Di sanalah surga buat anak-anakku kelak.
Tapi, ini semua bukan alasanku memilihmu. Bibirmu
yang sepotong surga itu akan mengerut suatu hari nanti.
Rambutmu akan memutih dan mungkin rontok. Susumu
yang besar dan ranum seperti buah melon akan
mengendur suatu hari nanti. Mungkin ketika beranak
satu atau dua. Pipimu akan menyusut. Bokongmu tak
mungkin kencang selamanya. Semua itu tak selamanya.
Semua itu sementara. Lebih sementara dari embun pagi
di dedaunan yang menguap terkena sinar matahari.
Buat apa aku memilihmu karena tubuh dan
kecantikanmu jika suatu saat itu semua akan hilang?
Buat apa aku memilih sesuatu yang hanya sementara
itu? Buat apa?
Sekarang kau mungkin bertanya-tanya, jika bukan
karena kecantikan dan tubuhmu, lantas apa yang
membuatku memilihmu.
Tidak. Aku tidak akan menjawabnya di surat ini. Akan
terlalu panjang jika aku menjawabnya di surat ini.
Kau bilang kau tak suka membaca bukan? Ini sudah
hampir 1000 kata. Mungkin matamu sekarang sudah
terbakar. Otakmu sudah gosong karena terlalu lama
membaca suratku. Maka, Cintaku, aku akan
menjawabnya kapan-kapan jika aku sedang punya
waktu untuk menulis lagi. Atau jika sedang bersamamu
mungkin. Entah kapan.
Cinta, aku ingin kau suka membaca. Bacalah aku. Aku
adalah buku yang tak akan pernah selesai kau baca.
Bacalah juga buku-buku. Bacalah hidup ini. Bacalah
dirimu sendiri.
Aku tak suka orang dungu. Orang yang menganggap
dirinya sudah tahu segalanya sehingga ia berhenti
belajar. Ia merasa sudah cukup pintar sehingga tak mau
lagi membaca hal-hal di sekitarnya. Aku tak suka sikap
seperti itu.
Kau juga seorang pembelajar. Kau juga mengajarkan.
Maka, jangan berhenti belajar.
Aku juga berusaha terus membaca dirimu. Kau yang
takut kehilangan aku. Ya, kau bilang bahwa takut
kehilangan adalah wajar bagi seorang perempuan. Ya,
itu memang benar. Aku memahami perasaanmu.
Nikmatilah ketakutanmu. Jangan menghindarinya.
Suatu hari mungkin saja aku pergi meninggalkanmu.
Atau, mungkin saja aku akan selalu di sisimu. Semua itu
tetaplah kemungkinan. Tak ada yang pasti.
Di dunia ini tak ada yang pasti selain kematian. Aku tak
bisa menolongmu mengatasi rasa takut kehilangan.
Kaulah yang harus berusaha sendiri mengatasinya, jika
kau merasa itu perlu. Berjuanglah untuk dirimu. Aku
juga akan berjuang untuk diriku.
Aku tak ingin bergantung pada siapa pun. Aku juga
ingin kamu seperti itu. Jika kelak kita menikah nanti,
aku ingin kita adalah dua manusia mandiri yang bersatu.
Paling tidak, kita telah mampu mandiri secara
emosional dan mental.
Sekian dulu suratku kali ini, semoga kau menikmatinya.
Pucung Sari, Rabu 20 Januari 2021, 08.16 WIB
Dari laki-laki paling setia di muka bumi ini
Aji Budi Riyanto

Anda mungkin juga menyukai