0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
16 tayangan7 halaman
Surat ini membahas tentang ketakutan akan kehilangan, ilusi kepemilikan, dan pentingnya belajar sepanjang hidup. Penulis mengatakan bahwa kita tidak sebenarnya memiliki apa pun di dunia ini dan rasa takut kehilangan hanya muncul karena kita merasa memiliki. Dia mengingatkan pembacanya untuk terus belajar dan membaca agar tidak menjadi orang yang dungu.
Surat ini membahas tentang ketakutan akan kehilangan, ilusi kepemilikan, dan pentingnya belajar sepanjang hidup. Penulis mengatakan bahwa kita tidak sebenarnya memiliki apa pun di dunia ini dan rasa takut kehilangan hanya muncul karena kita merasa memiliki. Dia mengingatkan pembacanya untuk terus belajar dan membaca agar tidak menjadi orang yang dungu.
Surat ini membahas tentang ketakutan akan kehilangan, ilusi kepemilikan, dan pentingnya belajar sepanjang hidup. Penulis mengatakan bahwa kita tidak sebenarnya memiliki apa pun di dunia ini dan rasa takut kehilangan hanya muncul karena kita merasa memiliki. Dia mengingatkan pembacanya untuk terus belajar dan membaca agar tidak menjadi orang yang dungu.
kehilanganmu. Bagaimana mungkin aku bisa kehilangan engkau, kekasihku. Sedangkan aku lahir ke dunia ini tak memiliki apa pun. Aku pun akan mati tak memiliki apa pun. Kau bukan milikku. Aku bukan milikmu. Kita bahkan mungkin tak memiliki diri kita sendiri. Bagaimana mungkin aku kehilangan jika aku tak pernah memiliki? Kita merasa kehilangan hanya karena kita merasa memiliki. Kita merasa punya banyak waktu sehingga kita kehilangan banyak waktu. Begitulah manusia. Kita takut kehilangan banyak hal yang sebenarnya tak pernah kita miliki. Lucu kan? Kita disibukkan oleh ilusi kepemilikan. Pikiran kita begitu bising oleh ambisi keduniaan sehingga tak mampu lagi menangkap suara murni dari kedalaman hati. Kita dialihkan oleh banyak hal yang bersifat artifisial kebendaan sehingga lalai dengan hal yang substansial. Duhai Cintaku, Apakah kelak kau akan bisa memahamiku? Apakah kau siap menanggung derita bersamaku? Derita adalah bagian yang tak bisa dipisahkan dari hidup manusia. Kita tak bisa menghindarinya. Derita adalah mekanisme umpan balik yang berguna bagi manusia. Engkau merasa terbakar jika kulitmu menyentuh api dan perasaan terbakar itu memberimu pelajaran berharga agar tak main-main dengan api. Begitu juga penderitaan secara batin. Ia ada untuk memberi kita pelajaran. Cintaku, aku selalu bertanya-tanya, apakah kita bisa membebaskan diri dengan pernikahan atau kita akan semakin terkurung ilusi yang menyesatkan. Aku ingin kau menjadi manusia yang bebas. Aku ingin kau menjadi manusia seutuhnya. Menyadari siapa dirimu sesungguhnya dan apa peranmu di dunia ini. Apakah kau pernah bertanya-tanya sepertiku? Aku suka mempertanyakan banyak hal dalam hidupku. Aku mempertanyakan apa saja karena aku tak begitu mudah percaya dengan apa yang kulihat dan kudengar. Aku mempertanyakan diriku sebagai pendidik. Aku mempertanyakan diriku sebagai anak. Aku mempertanyakan diriku sebagai bagian dari masyarakat. Bahkan, aku kerap mempertanyakan pikiran dan emosiku. Ketakutan akan kehilangan sesuatu membuat kita rapuh. Itu membuat kita terkurung dalam pikiran kita sendiri. Dulu aku pernah mengalaminya. Aku begitu takut kehilangan seseorang dan karenanya aku begitu rapuh. Rasa takut kehilangan itu menyebar cepat ke seluruh dinding jiwa. Melemahkan aku. Mereka, rasa takut kehilangan itu, beranak pinak dalam diriku. Aku takut akan pandangan orang lain tentang diriku. Aku sibuk mengkhawatirkan penilaian orang lain atas diriku karena aku takut tak diterima di sekitar mereka. Aku begitu takut sampai aku kehilangan penilaian atas diriku sendiri. Aku telah membuang jauh rasa takut kehilangan. Itulah mengapa saat kau bertanya kepadaku takutkah aku kehilanganmu, kujawab dengan mantap bahwa aku tak takut kehilanganmu. Duhai Cintaku, Kau adalah gadis tercantik yang pernah kukenal. Aku menyukai aroma rambutmu yang hangat, yang meski berantakan tetap terlihat indah di mataku. Bibirmu yang lembut ketika kukecup seperti sepotong surga yang kutemukan di kegersangan dunia. Aku suka telingamu yang seperti jamur kayu. Dingin ketika kugigit. Seperti daun mint. Juga lehermu yang meski tak jenjang, terasa hangat di tanganku. Rambut-rambut kecil di sekitar pundakmu begitu halus di tanganku. Lidahmu yang kenyal ketika bermain-main dengan lidahku membuatku ingin berlama-lama di belaian bibirmu yang sepotong surga itu. Dahimu yang lebar, ingin sekali aku mendaratkan kecupan di sana setiap malam sebelum tidur dan setiap pagi ketika bangun. Aku suka memelukmu dari belakang sambil meremas susumu yang begitu anggun di dadamu itu. Besar seperti buah melon yang ranum. Dengan susumu yang besar dan ranum itu, aku tak perlu takut kelak anakku kelaparan dan menangis malam-malam. Kau akan menjadi penenangku. Kau kedamaian untuk jiwaku yang gersang. Kau mata air yang membuatku hidup lagi. Kau menyejukkanku namun kau juga begitu hangat dan menghangatkan. Aku terbakar gelora ketika memelukmu. Perutmu yang berlemak itu begitu empuk. Aku membayangkan betapa nyamannya berada di sana. Lebih empuk dari kasur paling empuk di dunia mungkin. Aku hanya bisa bilang mungkin, karena aku belum pernah merasakan kasur terempuk di dunia. Juga bokongmu yang aduhai itu. Aku suka mendaratkan tanganku di sana dan merasakan bokongmu bergetar seperti ponsel jadul menerima SMS. Juga pahamu yang nyaman untuk tidur siang. Keseluruhan dirimu mungkin diciptakan dari secuil surga. Kadang aku membayangkan kita bergumul di ranjang pada malam-malam yang dingin dan beku. Kita hangatkan lagi ciuman-ciuman sebagai menu sabtu malam. Atau malam-malam lain juga boleh. Aku membayangkan kita menyatukan entitas badaniah kita. Mengusir segala kesuntukan hidup. Membelaimu dari ujung rambut hingga ujung kaki. Hingga telapak kaki. Di sanalah surga buat anak-anakku kelak. Tapi, ini semua bukan alasanku memilihmu. Bibirmu yang sepotong surga itu akan mengerut suatu hari nanti. Rambutmu akan memutih dan mungkin rontok. Susumu yang besar dan ranum seperti buah melon akan mengendur suatu hari nanti. Mungkin ketika beranak satu atau dua. Pipimu akan menyusut. Bokongmu tak mungkin kencang selamanya. Semua itu tak selamanya. Semua itu sementara. Lebih sementara dari embun pagi di dedaunan yang menguap terkena sinar matahari. Buat apa aku memilihmu karena tubuh dan kecantikanmu jika suatu saat itu semua akan hilang? Buat apa aku memilih sesuatu yang hanya sementara itu? Buat apa? Sekarang kau mungkin bertanya-tanya, jika bukan karena kecantikan dan tubuhmu, lantas apa yang membuatku memilihmu. Tidak. Aku tidak akan menjawabnya di surat ini. Akan terlalu panjang jika aku menjawabnya di surat ini. Kau bilang kau tak suka membaca bukan? Ini sudah hampir 1000 kata. Mungkin matamu sekarang sudah terbakar. Otakmu sudah gosong karena terlalu lama membaca suratku. Maka, Cintaku, aku akan menjawabnya kapan-kapan jika aku sedang punya waktu untuk menulis lagi. Atau jika sedang bersamamu mungkin. Entah kapan. Cinta, aku ingin kau suka membaca. Bacalah aku. Aku adalah buku yang tak akan pernah selesai kau baca. Bacalah juga buku-buku. Bacalah hidup ini. Bacalah dirimu sendiri. Aku tak suka orang dungu. Orang yang menganggap dirinya sudah tahu segalanya sehingga ia berhenti belajar. Ia merasa sudah cukup pintar sehingga tak mau lagi membaca hal-hal di sekitarnya. Aku tak suka sikap seperti itu. Kau juga seorang pembelajar. Kau juga mengajarkan. Maka, jangan berhenti belajar. Aku juga berusaha terus membaca dirimu. Kau yang takut kehilangan aku. Ya, kau bilang bahwa takut kehilangan adalah wajar bagi seorang perempuan. Ya, itu memang benar. Aku memahami perasaanmu. Nikmatilah ketakutanmu. Jangan menghindarinya. Suatu hari mungkin saja aku pergi meninggalkanmu. Atau, mungkin saja aku akan selalu di sisimu. Semua itu tetaplah kemungkinan. Tak ada yang pasti. Di dunia ini tak ada yang pasti selain kematian. Aku tak bisa menolongmu mengatasi rasa takut kehilangan. Kaulah yang harus berusaha sendiri mengatasinya, jika kau merasa itu perlu. Berjuanglah untuk dirimu. Aku juga akan berjuang untuk diriku. Aku tak ingin bergantung pada siapa pun. Aku juga ingin kamu seperti itu. Jika kelak kita menikah nanti, aku ingin kita adalah dua manusia mandiri yang bersatu. Paling tidak, kita telah mampu mandiri secara emosional dan mental. Sekian dulu suratku kali ini, semoga kau menikmatinya. Pucung Sari, Rabu 20 Januari 2021, 08.16 WIB Dari laki-laki paling setia di muka bumi ini Aji Budi Riyanto