Anda di halaman 1dari 17

Nama : Dina Emilia Sari

NIM : 195120201111001

Kelas : E.KOM.4

Mata Kuliah : Metode Penelitian Komunikasi II

BAB 4

Teknik Praktis Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan, dan Manfaat
Riset

MENULIS JUDUL

Judul mencerminkan sebuah isi dari sebuah tulisan seperti skripsi, tesis, dan disertasi.
Isi tersebut dapat berupa metode riset, teori yang digunakan, dan objek yang di riset. Jadi,
hanya dengan membaca judul pembaca akan mengetahui isi dari tulisan tersebut. Dalam
menulis judul, penulis harus memperhatikan prinsip - prinsip menulis judul yaitu :

1. Judul harus menarik dan berisi hal - hal yang baru, inovatif, dan memunculkan
perasaan pro dan kontra dalam diri membaca
2. Judul harus relevan dan konsisten dengan rumusan masalah
3. Judul harus mengandung tiga komponen penting yaitu metode, objek atau subjek
riset, dan tujuan riset
4. Judul harus dikemas dengan semenarik mungkin

PERUMUSAN MASALAH

Dalam membuat rumusan masalah, penulis harus mempertimbangkan dua aspek yaitu
pertimbangan objektif dan pertimbangan subjektif. Namun pertimbangan objektif lebih
bersifat objektif ilmiah sehingga harus diprioritaskan.

1. Pertimbangan Objektif
 Apakah masalah yang di reset termasuk kedalam fenomena atau kajian
komunikasi? Periset juga harus mengaitkannya dengan objek formal
komunikasi
 Apakah hasil riset bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan masyarakat serta
bermanfaat secara akademis / teoritis dan praktis?
 Apakah riset mengandung kebaruan dan inovasi?
 Apakah ada teori dan konsep yang relevan di dalam riset? Apakah ada hasil
riset terdahulu? Apakah masalah dapat dikonsepsikan? Apakah dapat
dioperasionalkan dan memiliki batasan yang jelas? Apakah dapat
dihipotesiskan? Apakah memiliki sumber data yang jelas? Apakah memiliki
referensi teoritis yang jelas? Apakah memiliki alat ukur yang jelas? Apakah
dapat dianalisis dengan teknik analisis yang jelas?
2. Pertimbangan Subjektif
 Apakah permasalahan sesuai dengan minat periset?
 Apakah sesuai dengan teoretis periset? Teori memiliki manfaat yang berbeda-
beda dalam setiap riset. Pada riset kuantitatif, teori bermanfaat sebagai
pedoman untuk menyusun instrumen pertanyaan. Sedangkan pada riset
kualitatif, teori sebagai alat mendiskusikan temuan data.
 Apakah periset memiliki waktu yang cukup? Untuk melakukan riset, periset
harus memiliki waktu karena akan membutuhkan waktu untuk pengumpulan
data dan sebagainya.
 Apakah memiliki tenaga dan data yang cukup? Riset memiliki tujuan untuk
membuktikan kebenaran suatu fenomena sosial sehingga akan membutuhkan
bukti - bukti atau data yang cukup agar riset dapat dikatakan sebagai riset yang
berkualitas.
 Apakah dana tersedia? Apakah periset memiliki dana yang cukup untuk
melakukan sebuah riset? Untuk melakukan riset, diperlukan adanya dana agar
riset berjalan dengan lancar. Namun, tidak semua riset yang memiliki dana
besar akan menjadi riset yang bermanfaat, dan sebaliknya, tidak semua riset
yang berdana kecil menghasilkan riset yang tidak berkualitas.
 Mendapat izin dari pihak yang berwenang dalam pengumpulan data. Periset
harus menanyakan kesediaan responden atau informan sebelum meriset agar
tidak melanggar hak - hak yang mereka miliki. Hal ini dapat diawali dengan
pendekatan personal.
3. Perumusan masalah dapat dikatakan baik apabila :
 Berupa kalimat pertanyaan, karena permasalahan merupakan wujud
keingintahuan riset atas jawaban suatu fenomena
 Sesuai dengan judul
 Konsep riset harus jelas
 Mengandung informasi tentang jenis metode, objek atau subjek riset, dan
tujuan riset dengan jelas
4. Permasalahan riset dapat berasal dari berbagai sumber :
 Pengalaman pribadi
 Hasil diskusi dengan dosen, periset senior, atau mendapat dana dari lembaga
pemberi dana
 Kegiatan kepustakaan atau literature review seperti membaca buku dan
mengeksplorasi teori - teori, jurnal ilmiah, majalah, atau bahkan menonton
televisi

APA ISI LATAR BELAKANG MASALAH?

Latar Belakang Masalah atau LBM merupakan deskripsi yang melatari permasalahan
yang diriset dan periset menjelaskan unsur penting riset seperti keinovasian dan kebaruan
tema sehingga riset tersebut bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan dunia praktis. Riset
harus berangkat dari masalah. Riset merupakan upaya menjawab masalah yang terwujud
dalam solusi atau rekomendasi memecahkan masalah. Masalah dapat disebut masalah jika
muncul dari adanya kesenjangan atau discrepancy / gap. Karena tanpa kesenjangan, masalah
tidak akan muncul. Misalnya dalam kehidupan sehari - hari, ketika kita mengharapkan
sesuatu dan berusaha untuk mewujudkannya namun mendapatkan hasil atau kenyataan yang
tidak sesuai dengan harapan tersebut, maka hal tersebut disebut sebagai kesenjangan.
Sehingga akan muncul pertanyaan di dalam diri kita seperti “Bagaimana bisa? Mengapa itu
terjadi?” pertanyaan tersebut disebut sebagai masalah. Kemudian, kita akan mulai berteori
seperti “Padahal aku sudah berusaha dengan baik”. Teori di dalam diri kita ini kemudian akan
memunculkan dugaan atau asumsi seperti “Mungkin terjadi sebuah kesalahan”. Selain
disebut sebagai asumsi, dugaan juga disebut sebagai hipotesis. Dugaan ini merupakan
jawaban kita sebagai rasa keingintahuan untuk memahami penyebab terjadinya kenyataan
yang diperoleh. Namun, kita masih belum yakin dengan jawaban tersebut. Sehingga, kita
akan berusaha mencari tahu jawaban yang pasti sampai menemukannya beserta alasan atau
penyebabnya. Usaha mencari jawaban yang benar tersebut disebut dengan riset. Ketika
mengetahui penyebab tersebut adalah karena kita membuat kesalahan, kita akan berusaha
memperbaiki diri agar selanjutnya harapan yang tadinya tidak terwujud menjadi terwujud.
Hal tersebut disebut dengan solusi terhadap masalah.
Dengan demikian, latar belakang masalah atau LBM harus mampu memunculkan atau
berisi kesenjangan atau research gap. Kesenjangan tersebut kemudian akan memunculkan
asumsi atau hipotesis tentang jawaban terhadap masalah. Pembuktian kebenaran asumsi
tersebut semakin menguatkan bahwa riset harus dilakukan. Kesenjangan dapat terjadi apabila
penulis menyampaikan setidaknya dua fakta yang bertentangan. Jadi, periset harus
menyintesiskan atau memadukan berbagai fakta dari berbagai sumber ilmiah. Sumber -
sumber tersebut antara lain :

1. Hasil riset terdahulu yang terkait dengan tema riset, terutama dalam jurnal ilmiah
internasional dan nasional
2. Buku - buku, artikel yang di presentasikan dalam seminar ilmiah, dan hasil pemikiran
ilmiah lainnya
3. Artikel dan pemberitaan di media massa seperti di televisi, radio, koran, twitter,
instagram, dan media online lainnya
4. Data dari Biro Pusat Statistik, lembaga survei, aturan perundang-undangan, dan
sumber lain yang relevan
5. Data awal di lapangan, seperti hasil observasi dan wawancara atau survei
pendahuluan, data awal sangat diperlukan dalam riset konstruktivis atau kualitatif
karena riset berangkat dari data ( induktif )

Berbagai fakta atau data dari sumber di atas harus disintesiskan sehingga
menghasilkan skripsi tentang :

1. State of the art dalam bidang yang dikaji, artinya melihat dan mengenali bidang kajian
termasuk berbagai perspektif kajian
2. Topik yang di riset merupakan realitas / fenomena / objek formal kajian komunikasi
atau masalah komunikasi, yaitu produksi, proses, dan pengaruh sistem simbol dalam
kehidupan manusia. Apabila dapat mendeskripsikan state of the art kajian tema riset,
maka riset juga dapat diposisikan sebagai riset komunikasi
3. Menjelaskan bahwa eksplorasi literatur mendasari munculnya kesenjangan ( research
gap ) atau masalah sehingga penting di riset. Kesenjangan bisa terjadi dalam tataran
teoretis atau kajian teoretis dan antara tataran teoretis dan praktis atau empiris.
Kesenjangan ini akan menjadi dasar perumusan hipotesis atau asumsi.
4. Berangkat dari adanya keinginan membuktikan atau mengonfirmasi asumsi. Dengan
adanya upaya membuktikan asumsi, itu berarti periset juga menawarkan solusi
masalah ( fill the gap )

Latar Belakang Masalah atau LBM yang memiliki hipotesis ini berlaku pada seluruh
riset baik kuantitatif maupun kualitatif. Asumsi riset atau hipotesis berfungsi agar periset
tidak buta lapangan dan tahu apa yang akan di riset. Riset kuantitatif membuktikan asumsi
atau hipotesisnya dengan uji statistik untuk melihat generalisasinya, sedangkan riset kualitatif
membuktikan hipotesis atau asumsi risetnya dengan cara melihat kecenderungan hasil dialog
data.

RISET HARUS BARU?

Riset harus baru dan inovatif. Baru bukan berarti belum pernah ada. Baru juga dapat
diartikan sebagai adanya inovasi dari riset sebelumnya atau pembaharuan dari riset
sebelumnya. Inovasi dapat berarti pengembangan riset terdahulu dengan cara menambahkan
variabel baru, menguji teori yang sama dalam konteks yang berbeda, atau menguji hasil riset
terdahulu dalam karakter responden atau informan yang berbeda. Sehingga periset harus
mengeksplor riset terdahulu seperti jurnal nasional atau internasional yang terakreditasi
seperti Scopus, Thomson – Reuter, DOAJ, EBSHO, dan Copernicus. Inovasi dapat muncul
akibat kreativitas periset dalam menemukan fakta menarik mengenai fenomena yang akan di
riset. Kreativitas tersebut dapat diperoleh dengan membaca literatur teori, hasil riset
terdahulu, berita di media massa, dan situasi terkini di masyarakat.

TEKNIK PRAKTIS MEMBUAT LBM

Untuk membuat latar belakang masalah atau LBM yang baik, periset dituntut untuk
membaca literatur sebanyak mungkin agar dapat memunculkan kesenjangan dan masalah.
Masalah yang muncul harus berdasarkan fakta atau data ilmiah, bukan argumen pribadi yang
tidak diperkuat oleh sumber ilmiah. Latar belakang masalah atau LBM setidaknya harus
berkisar 10 atau 20 lembar ( dengan font Times New Roman, font size 12, double spasi, dan
ukuran kertas A4 ), karena halaman yang terlalu sedikit berpotensi membuat latar belakang
masalah atau LBM tidak berkualitas. Sebaliknya, halaman yang banyak berpotensi berisi latar
belakang masalah atau LBM yang baik. Buku ini menyarankan agar sebelum membuat latar
belakang masalah atau LBM, periset harus memulai dengan membuat matriks terlebih dahulu
sebagai fondasi logika pemikiran agar membuat latar belakang masalah atau LBM terjaga
sistematikanya serta dapat memunculkan kesenjangan atau masalah. Matriks merupakan
contoh memadukan berbagai sumber ilmiah agar menjadi fakta-fakta yang bertentangan.
Sehingga, latar belakang masalah atau LBM harus berisi kesenjangan yang berupa kata
“namun”, “demikian”, “tetapi”, “di sisi lain”, dan sebagainya. Latar belakang masalah atau
LBM dapat dikatakan baik apabila mengembangkan matriks dalam tabel dengan lebih lanjut.
Ukuran baik sebuah latar belakang masalah atau LBM adalah adanya kesenjangan ( research
gap ) dan menawarkan solusi ( fill the gap ). Kategori latar belakang masalah atau LBM yang
baik antara lain :

1. Memfokuskan alinea pertama langsung dengan menulis tema dan tidak membahas hal
yang lain
2. Menggunakan riset terdahulu untuk menghasilkan kesenjangan atau masalah yang
terwujud dalam hipotesis riset. Pertama, periset dapat membuat simpulan dari riset –
riset terdahulu, kemudian membandingkannya dengan membuat kesenjangan seperti
“di sisi lain” sehingga akan memunculkan masalah
3. Alasan melakukan riset yang jelas yaitu untuk membuktikan asumsi riset yang
dirumuskan oleh periset
4. Tidak mencantumkan opini pribadi, artinya pernyataan harus berdasarkan sumber
ilmiah yang jelas. Seperti mencantumkan rujukan dalam setiap kalimat
5. Menyampaikan perkembangan kajian berupa teori dan riset terdahulu untuk
memunculkan masalah dan menunjukkan bahwa riset merupakan bagian dari kajian
komunikasi
6. Terdapat dasar argumen ilmiah
7. Konsisten dalam menggunakan satu teknik mengutip, yaitu menggunakan sistem APA
Style
8. Tata bahasa yang telah tertata dengan baik.

Contoh LBM yang Baik

Berikut merupakan contoh Latar Belakang Masalah yang dapat disebut sebagai LBM
yang baik, karena seluruh kriteria teknik praktis yang telah disebutkan terdapat didalamnya.
Latar belakang masalah ini berasal dari riset Kriyantono ( 2015 ) dengan judul “Public
Relations and Corporate Social Responsibility in a Mandatory Era Approach in Indonesia”.

Over several decades, the study of CSR in profit organization has developed gradually
(Lee & Shin, 2010; Maignan, 2001; Shah & Chen, 2010). CSR has been an important concept
in practical business as well as in scientific study (Dincer & Dincer, 2013; Turker, 2009),
which has been a research area covering a large amounts of literature (Seth, 2006). The
researchers have found that many companies have obtained the benefit of this study
(Bhattacharya, Korschum, & Sen, 2009; Hai-yan, Amezaga, & Silva, 2012; Kanji & Chopra,
2010). CSR is a program enable a company participate in social matters by giving
contribution and valuable benefit toward economic and social welfare development within
the company's daily operations (Kanji & Chopra, 2010; Kriyantono, 2012a; L'Etang, 1994;
Turker, 2009).

The development of democracy, technology, and globalization raises pub lic claims to
business companies to be ethical, environmentally and socially responsible (Wong, 2009)
since they use row materials from the environment (Kri yantono, 2015). Most people demand
the company to have broader responsibility rather than just producing and selling goods at the
lowest price (Harrison, 2009; Regester & Larkin, 2008). It is "a societal aspect of the
products and companies" (Shah & Chen, 2010, p. 141). Therefore, CSR is important factor
for consumers to purchase by evaluating the company's credibility (Regester & Larkin, 2008;
Tesler & Malone, 2008; Vanhamme & Grobben, 2009), evaluating market tenden cy (Qu,
2007), and increasing reputation in crisis (Coombs, 1995; Jeong, 2009; Kriyantono, 201 2b;
Tesler & Malone, 2008).

As a result of the gradual development of CSR, academics and practitioners give


various definitions (Dincer & Dincer 2013: Hai-yan et al., 2012, Seth, 2006 Turker, 2009:
Wong, 2009) which consist of Carroll's (1979) four aspects of social responsibility (corporate
citizenship) economic, legal, ethical, and philanthropic. Economic responsibility is company's
effort to provide good product and service. Legal and ethical responsibilities means that
company must obey the law and do the right thing as well as do the thing right in daily
operations. While the philanthropic responsibility means that company must contribute to
create social welfare. However, there is no consensus who should apply CSR, whether it
should be directly managed by CEO or public relations function (Seth, 2006) and whether the
goals is for gaining profit or as part of company's responsibility to society (Kanji & Chopra,
2010; Ross, 2006).

Although CSR grews with various worldviews, Battacharya et al (2009) and Turker
(2009) found that there is a lack of measurement and comprehensive multidiscipline model.
The situation linked with Chernov & Tsetsura's (2012) work that both Ukrainian Government
and corporations still explored the standards for the CSR and the Western standards were
adopted in their international businesses. Turker (2009) conducted survey to 269 business
practitioners in Turkey to build a new measurement scale of four CSR dimensional structures,
i.e. CSR for social and non-social stakeholder, employees, customers, and government In
addition Kanji & Chopra (2010) introduced a model of Kanji Chopra Corporate Social
Responsibility (KCCSR) to evaluate whether CSR is used for gaining social welfare or not
After surveying corporations over the UK, Kanji & Chopra found that CSR index was only
47.09% (moderate level). A study conducted by Awan, Kamal, Rafique, and Khan (2012) in
Pakistan also revealed the similar result. KCCSR is a model based on four dimensions of
measurement indexes, i.e. social accountability and investment, environmental protection and
sustainability corporate governance and economic responsibility, ethic and human resources
(Kanji & Chopra, 2010).

It can be concluded that it is necessary to evaluate the CSR implementation, whether


it has been a tool to gain reputation or to gain profit only. Furthermore, although there is
index dimensional difference, KCCSR model and Turker's scale actually have similarity,
namely to make CSR beneficial for stakeholders because they meet Carroll's (1979) aspects
of responsibility and these models have been applied in both Western and Eastern contexts.
The conclusions lead to a question how if the models are combined? As Turker (2009, p. 411)
states that "lack of measurement of CSR can be solved by providing a new scale in term of
the expectations of various stakeholders", the researcher combines these two models to meet
Turker's expectation CSR is research area consists of various literature so that the
combination provides a solid foundation to understand CSR (Seth, 2006). In addition,
referring to Salam (2009) statement that this combination aims to develop CSR study by
reducing the similarity in process of replication to gain greater potential contribution.

The current research aims to evaluate CSR in Indonesia, the first country adopting a
mandatory approach to CSR (Gentile, 2014. Simon & Fredrik, 2009). After the long debate
whether CSR shoud be regulated by government or by the respective company, CSR is
finally stated as an obligation in Indonesia (Gayo. 2012. Maris, 2014). There are seven
regulations which give CSR an attribution of obligatory (Rahmatullah, 2013), they are mostly
influenced by environmental reasons following several human rights violations committed by
multinational enterprises throughout Indonesia (Gayo, 2012). The highest are the violation to
Act numberv40/2007 (article 74), which states that CSR is obligatory for limited liability
companies operating in certain business sectors related to natural resources, and the Act
number 25/2007 (article 15). which states that every investing company must implement
corporate social and environmental responsibility Despite the fact that the Acts have required
CSR as compulsory, they have not determined the CSR measurement. In addition, generally,
CSR has not been perceived important among Indonesia companies, although the companies
provide large amounts of money for CSR, the budget can reach USD 23,749,231 (Kayo,
2014). Chapple & Moon (2005) study on CSR activities revealed that among 7 Asia countries
(India, Indonesia, Singapore. Malaysia, Thailand, South Korea, and Philippines). Indonesia
got the lowest score (24%) while India got the highest score (72%).

The research in Indonesia aims to widen CSR study in developing country CSR study
has been conducted gradually in Asian companies (Salam, 2009). Many scholars have
developed CSR research in Asian countries, such as Awan et al (2012): Chapple and Moon
(2005); Qu (2007): Salam (2009), Shah and Chen (2010); Simon and Fredrik (2009); and
Wong (2009), however, the number are much fewer than that of in Western Countries
(Muthuri & Gilbert, 2011: Wong, 2009). CSR has been well developed in Western countries
like USA and Europe in the early of the 20 century and it became scientific study in 1950s-
1960s (Hai-yan et al., 2012. Seth, 2006), then it was transferred to Asia (Wong, 2009). Yet,
most research have been conducted more in developed countries rather than in developing
countries, such as Asian, Latin America, and Middle Eastern, the academic publication
therefore is constructed in more Western centric (Khan, Al-Maimani & AI-Yafi, 2013).

The phenomenon above becomes crucial issue in Asia. Gunaratne (2009 and
Littlejohn and Foss (2008) stated that Asian people emphasizes the reciprocal responsibility
and harmony between individual and society, on the other hand the West emphasizes
individualism and controls each other. For example, Indonesian practiced gotong royong'
(voluntary social working or mutual assistance and cooperation) for centuries as their local
wisdoms (Kriyantono, 2014), that something essential to all Indonesia societies which helps
reproduce social order (Sullivan 1991); Morrow (2014) found that CSR practices in China
has been influenced by "Guanxi (business relationship) whereas CSR in West (USA) has
been driven by legitimacy, brand image protecting, and sophisticated business strategy.
However. Asian modern enterprises was late to conduct CSR (Hai-yan et al., 2012). CSR was
introduced in China in 1996-2000, therefore, during the periods Chinese enterprises have not
prepared to do so (Wong, 2009). Similarly, in Indonesia, CSR started formally in 1989 when
Minister of Finance issued a policy for state ow ned-companies to financially support the
small and medium enterprises for their business operation (Gayo, 2012).
The cultural characters above is related to scholars' statements that there are cultural
and social norms differences among the countries that are assumed to affect CSR
implementation (Morrow, 2014; Muthuri & Gilbert, 2011; Prajarto, 2012: Wong, 2009).
Regarding the obligation of CSR in Indonesia, it is interesting to reveal whether CSR is
representative of local wisdom (voluntary help others) or it is just a form of obligation.
Although Simon and Fredrik (2009) found that CSR in Indonesia founded in cultural and
ethical norms, the current research specifically aims to offer a general standard to apply in
different regions in Indonesia.

Finally, the current research also aims to discover public relations positions on CSR
implementation in Indonesia. Seth (2006) found that majority of research conducted has
focused on CEOs, few studies have proven that public relations influence CSR, and the rest
found that both CEO and public relations may influence CSR. Although it is possible that
public relations and CSR are separate actions, L'Etang (1994) found that CSR is often
managed and as a part of public relations activities to communicate with the public. In this
current research, the author assumes that the majority of companies consider that CSR is
public relations concern, Public relations is communication management between
organization and its public to create goodwill, to serve public interest, and to maintain good
morals and manners (Cutlip. Center, & Brown, 2006; Grunig & Hunt, 1984: L'Etang, 1994;
Lattimore, Baskin, Heiman, & Toth, 2007).

Ciri - ciri LBM yang Harus Dihindari

Terdapat ciri - ciri latar belakang masalah atau LBM yang harus dihindari karena isi
yang berseberangan dengan kriteria latar belakang masalah atau LBM yang baik seperti yang
telah dijelaskan. Ciri - ciri tersebut antara lain :

a. Belum terdapat kajian literatur, baik riset terdahulu maupun teori – teori di dalam latar
belakang masalah atau LBM
b. Latar belakang masalah atau LBM belum menjelaskan bahwa eksplorasi literatur
dipadu dengan sumber ilmiah lain (seperti artikel seminar, berita media, data awal,
dan data statistik) dan telah mendasari munculnya kesenjangan atau masalah sehingga
perlu untuk di riset
c. Latar belakang masalah atau LBM belum mampu memunculkan asumsi atau hipotesis
berdasarkan kesenjangan
d. Latar belakang masalah atau LBM belum membuktikan asumsi yang berarti periset
belum menawarkan solusi terhadap masalah
e. Latar belakang masalah atau LBM hanya menyampaikan fakta atau data dari literatur
atau kajian riset, berita media, dan sumber ilmiah lainnya tanpa berupaya memadukan
untuk memunculkan kesenjangan
f. Kalimat atau paragraf awal latar belakang masalah atau LBM tidak langsung
membahas mengenai hal yang terkait tema tetapi dengan menulis mengenai hal yang
terlalu luas dan bertele-tele
g. Sistematika atau logika pemikiran dalam latar belakang masalah atau LBM belum
tertata dengan baik karena periset tidak membuat matriks latar belakang masalah atau
LBM terlebih dahulu
h. Tidak adanya hubungan antar paragraf yang runtut dalam latar belakang masalah atau
LBM. Agar hubungan antar paragraf tetap terjaga, penulis harus kembali menulis kata
kunci dari paragraf sebelumnya pada paragraf selanjutnya atau paragraf yang baru
i. Latar belakang masalah atau LBM menyampaikan argumen yang lemah secara
ilmiah, karena tidak didukung oleh sumber ilmiah yang jelas. Hal ini menyebabkan
latar belakang masalah atau LBM berisi opini pribadi penulis
j. Latar belakang masalah atau LBM tidak menggunakan teknik referensi yang jelas,
seperti cara mengutip, cara menulis tabel, cara menulis daftar pustaka atau catatan
kaki. Sehingga hal tersebut dapat menyebabkan plagiarisme
k. Latar belakang masalah atau LBM belum mampu menjelaskan alasan munculnya
metode dan objek yang di riset

MENULIS TUJUAN DAN MANFAAT RISET

Tujuan riset memiliki definisi yang berbeda dengan tujuan periset. Tujuan di dalam
riset adalah untuk menjawab permasalahan riset. Sehingga apabila perumusan masalah
berupa kalimat tanya atau pertanyaan, maka tujuan riset akan berupa kalimat pernyataan.
Sedangkan tujuan periset merupakan tujuan pribadi yang tidak ada kaitannya dengan upaya
menjawab masalah riset. Sehingga kedua hal tersebut tidaklah sama. Berdasarkan jenisnya,
manfaat riset dapat di bagi menjadi 4 jenis, yaitu manfaat teoretis atau manfaat akademis,
manfaat praktis, manfaat sosial, dan manfaat metodologis.

Manfaat Teoretis atau Akademis


Sebuah riset dapat dikatakan memiliki manfaat teoritis atau manfaat akademis apabila
riset tersebut berkontribusi untuk pengembangan keilmuan komunikasi yaitu apabila riset
bersifat mengkaji, menerapkan, menguji, menjelaskan, atau menciptakan teori – teori,
konsep, model, maupun hipotesis - hipotesis tertentu. Misalnya, periset menanyakan apakah
sebuah teori masih layak digunakan untuk menjawab dan memecahkan fenomena atau periset
mengamati fenomena lalu menciptakan teori baru. Untuk menuliskan manfaat riset, periset
harus menggunakan bahasa yang lebih konkret yaitu menjelaskan apa yang dimaksud dengan
mengembangkan kajian ilmu komunikasi tersebut. Manfaat riset dapat ditulis dengan hanya
meniru atau “ copy – paste “ dari rumusan masalah yang ada di latar belakang masalah atau
LBM sehingga penulis tidak perlu mengarang tulisan lagi.

Manfaat Praktis

Sebuah riset dapat disebut memiliki manfaat praktis apabila riset tersebut selain
bermanfaat untuk akademik, juga bermanfaat untuk konsumsi praktisi komunikasi. Riset juga
harus bermanfaat sebagai rekomendasi bagi para praktisi komunikasi, baik di bidang
jurnalistik, hubungan masyarakat atau public relations, periklanan atau advertising,
komunikasi pemasaran atau marketing communication, maupun manajemen kampanye.
Misalnya riset tentang perilaku konsumen. Riset tersebut dapat memberikan rekomendasi
kepada para praktisi komunikasi pemasaran dalam menyiapkan strategi yang sesuai dengan
karakteristik konsumen. Dalam menuliskan manfaat praktis ini, penulis juga harus
menuliskannya dengan bahasa yang konkret ( siapa praktisi yang diberi rekomendasi dan apa
rekomendasinya ).

Manfaat Sosial

Sebuah riset dapat dikatakan memiliki manfaat sosial apabila riset tersebut
mempunyai manfaat bagi upaya untuk mengubah struktur sosial dan mengubah cara pandang
atau cara berpikir yang keliru dalam masyarakat. Riset ini mencoba untuk mengkritisi
struktur sosial dalam masyarakat yang menurutnya kurang ideal karena tidak adil dan di
dominasi oleh kelompok tertentu serta mengasingkan kelompok marginal. Sehingga riset ini
dikenal dengan aliran kritis

Manfaat Metodologis
Sebuah riset dapat di katakan memiliki manfaat metodologis apabila riset tersebut
bermanfaat untuk menghasilkan atau mengembangkan sebuah metode riset yang baru.
Manfaat metodologis dapat digabungkan dengan manfaat teoretis atau manfaat akademis.

MANFAAT RISET BAGI STUDI DAN PRAKTIK KOMUNIKASI

Riset memegang peran penting dalam studi dan praktik komunikasi. Berbagai kajian
komunikasi ( hubungan masyarakat atau public relations, periklanan atau advertising,
komunikasi pemasaran atau marketing communication, penyiaran atau broadcasting, dan
jurnalistik ) bertujuan untuk menciptakan komunikasi yang efektif. Komunikasi dapat disebut
efektif apabila terdapat pertukaran informasi dan kesamaan makna antara komunikator dan
komunikan. Tubs dan Moss ( 2000 ) dalam buku Human Communication mengemukakan
bahwa komunikasi dapat dikatakan efektif apabila terjadi pengertian, menimbulkan
kesenangan, pengaruh pada sikap, hubungan semakin baik, dan perubahan perilaku yang
diinginkan oleh komunikator. Namun apabila dalam proses komunikasi terjadi miss -
understanding seperti khalayak atau komunikan yang tidak mengerti atau tidak paham
maksud dari komunikator, maka telah terjadi kegagalan proses komunikasi primer. Apabila
setelah bicara pihak yang satu merasa tidak senang, marah, dan hubungan semakin renggang,
maka telah terjadi kegagalan komunikasi sekunder.

Komunikasi yang efektif dapat terjadi apabila ada kesamaan antara kerangka berpikir
dan bidang pengalaman antara komunikator dan komunikan. Untuk menciptakan komunikasi
yang efektif, komponen – komponen dalam sebuah proses komunikasi juga harus
dipersiapkan secara matang. Komponen – komponen tersebut adalah komunikator, pesan,
saluran komunikasi, komunikan, efek, umpan balik atau feedback, dan gangguan atau noise.
Artinya, proses komunikasi harus didahului dengan pemeriksaan terhadap pertanyaan seperti
siapa komunikatornya, apa pesannya, melalui media apa pesan disampaikan, sasarannya siapa
( kepada siapa pesan ditujukan ), dan bagaimana efeknya pada sasaran. Upaya menyiapkan
komponen – komponen komunikasi tersebut harus didasari oleh data empiris yang diperoleh
melalui kegiatan riset, sehingga keputusan yang diambil mencerminkan situasi realitas yang
akan dihadapi. Misalnya seperti bagaimana kriteria komunikator yang dipercaya oleh
khalayak, pesan apa yang cocok dan dibutuhkan oleh khalayak, bagaimana umpan balik yang
akan diterima setelah menyampaikan pesan, dan lain sebagainya. Pertanyaan – pertanyaan
tersebut memerlukan jawaban yang berdasarkan data yang benar dan dapat dipercaya yang
hanya dapat diperoleh melalui riset ilmiah. Praktisi komunikasi diharuskan untuk selalu
mengembangkan ilmu melalui riset. Maka dari itu, pentingnya menemukan pemikiran –
pemikiran baru untuk mewujudkannya. Ilmu bersifat tidak sempurna dan tentatif atau dapat
di debat, sehingga seluruh ilmu tidaklah lebih dari penyempurnaan pemikiran sehari – hari.

Riset dalam Kajian dan Praktik Public Relations

Riset sangat penting dalam kajian public relations. Hal ini sejalan dengan pendapat
dari Ann H. Barkelew, senior Vice President of Fleisman – Hillard’s Minneapolis Office
( Cutlip & Center, 2000, h. 351 ) yaitu anda tidak akan sukses dan efektif dalam
melaksanakan kegiatan public relations tanpa melalui riset. Selain itu Kriyantono ( 2012 )
juga menemukan bahwa public relations menempatkan riset sebagai kegiatan yang penting
untuk dilakukan. Terdapat beberapa tokoh yang mengemukakan beberapa model riset dalam
kajian dan praktik public relations, tokoh – tokoh tersebut antara lain :

 Cutlip, dkk. ( 2006 ) mengenalkan model empat tahap yaitu defining problems,
planning and programming, action, communicating. Dalam model – model ini riset
merupakan prosedur untuk mendefinisikan atau mengeksplorasi masalah.
 John E. Marston ( 1979 ) mengenalkan model RACE atau Research, Action,
Communication, Evaluation
 Jerry A. Hendrix ( 2000 ) mengenalkan model ROPE atau Research, Objectives,
Program, Evaluation
 Ronald D. Smith ( 2002 ) mengenalkan model FoSTE atau Formative research,
Strategy, Tactics, Evaluation research. Fase formative research dilakukan di awal
sebelum merumuskan program. Lalu menggunakan riset untuk memonitor
pelaksanaan dan melakukan evaluasi kegiatan. Artinya, seorang public relations harus
mengetahui seluk beluk kondisi organisasi dan publik sebelum melaksanakan
program PR ( Public Relations ) yang dapat diperoleh dengan melakukan riset.

Doug Newsom, Alan Scott & Judy Turk dalam buku This is PR : The Realities of
Public Relations ( 1996, h. 89 ) mengatakan bahwa seorang public relations dituntut untuk
harus melakukan riset untuk mengumpulkan fakta – fakta. Fakta tersebut akan dijadikan
dasar untuk merencanakan program public relations, lalu public relations harus memonitor
perkembangan apakah program yang sudah direncanakan berjalan dengan baik atau apakah
perlu adanya perubahan. Lalu public relations harus mengevaluasi apa yang telah dicapai
dalam sebuah program agar dapat menentukan rencana untuk masa depan atau program yang
akan datang. Riset dalam kegiatan PR ( Public Relations ) merupakan rangkaian proses yang
tidak berkesudahan atau berkelanjutan seperti lingkaran. Newsom & Turk ( 1996 )
mengemukakan keterkaitan riset dalam praktik public relations sebagai berikut :

a. Riset dapat dimulai dari kegiatan rutin public relations dalam melakukan perekaman
atau kegiatan pengumpulan fakta atau informasi untuk keperluan perencanaan
kegiatan
b. Setelah tujuan public relations dirumuskan, fakta – fakta yang telah terkumpul
digunakan untuk memformulasikan hipotesis, mengujinya, dan membuat revisi
apabila terjadi kegagalan.
c. Lalu public relations harus melakukan pengumpulan data lagi untuk mencari
informasi tambahan tentang situasi, publik, atau media yang digunakan. Public
relations harus mengevaluasi citra publik mengenai perusahaan, menemukan cara
terbaik untuk menyampaikan tujuan perusahaan kepada publik, menentukan waktu
yang tepat untuk menyebarkan informasi atau pesan maupun melakukan kegiatan,
menentukan metode yang tepat untuk mencapai publik, serta menentukan untuk
menggunakan metode penyebaran pesan apa yang efektif
d. Public relations harus memonitor selama kegiatan atau program berlangsung untuk
meyakinkan apakah perencanaan sudah berjalan atau belum
e. Public relations harus melakukan evaluasi terhadap kegiatan atau program sebagai
dasar perencanaan kegiatan di masa yang akan datang

Untuk mengevaluasi, public relations harus mencari data atau fakta sebagai informasi
untuk perencanaan yang baru. Dalam fungsi manajemen organisasi, riset mendukung tiga
aspek mendasar untuk terbentuknya tujuan organisasi. Ketiga aspek tersebut antara lain :

 Mereportase yang terjadi di dalam manajemen


 Mereportase apa yang terjadi di dalam perusahaan
 Menganalisis apa yang terjadi secara keseluruhan

Riset dalam Kajian dan Praktik Manajemen Komunikasi Bisnis

Kriyantono dalam buku Manajemen Periklanan ( 2013, h. 92 ) menyampaikan bahwa


riset di dalam kajian komunikasi bisnis menjadi dasar tahapan atau proses manajemen
periklanan. Dalam komunikasi bisnis, manajemen periklanan memiliki beberapa tahap yang
mencakup tahap persiapan hingga tahap kampanye. Riset merupakan kegiatan analisis situasi
dan evaluasi tentang situasi eksternal dan situasi internal. Situasi eksternal yaitu mencangkup
situasi pasar dan posisi persaingan, sedangkan situasi internal yaitu situasi di dalam
perusahaan seperti bagaimana kemampuan sumber daya manusia atau SDM, kekuatan modal,
maupun sarana dan prasarana. Kemudian, program pemasaran diaplikasikan ke dalam strategi
periklanan sebagai bentuk komunikasi persuasi kepada konsumen. Lalu dari kegiatan riset
akan diketahui karakteristik khalayak disesuaikan dengan karakter produk, bagaimana posisi
produk di tengah persaingan dengan para kompetitor, bagaimana sikap khalayak terhadap
produk, media mana yang paling efektif dan efisien untuk dipilih sebagai media periklanan,
dan informasi marketing lainnya. Dari riset yang dilakukan dapat diambil keputusan
mengenai tujuan periklanan, apakah iklan bertujuan untuk informasi, persuasi, atau
mengingatkan konsumen akan suatu produk. Tujuan tersebut akan mempengaruhi tahapan
berikutnya ( seperti penentuan anggaran, strategi kreatif periklanan, pemilihan media, hingga
cara berkampanye ). Apabila seluruh tahapan telah dilakukan, maka harus dilakukan evaluasi
untuk menjadikannya masukan untuk masa yang akan datang. Evaluasi tersebut dilakukan
dengan melakukan riset, seperti apakah khalayak memahami kreatif iklan yang disampaikan,
bagaimana respons khalayak terhadap iklan, dan apakah frekuensi iklan di media cukup.
Riset tentang produk sangat penting tetapi melakukan riset terhadap perilaku dan
karakteristik konsumen harus lebih di prioritaskan.

Riset dalam Kajian Komunikasi Massa / Studi Media

Komunikasi massa merupakan proses komunikasi yang di mediasi oleh media massa
sehingga pesan dapat tersebar secara luas dan diterima secara cepat, serentak, simultan, dan
menjangkau khalayak yang luas dan heterogen. Dalam hal ini, khalayak dipandang
berdasarkan dua perspektif yaitu khalayak aktif dan khalayak pasif. Khalayak dapat disebut
pasif apabila mereka mengindikasikan bahwa pesan media memiliki kekuatan penuh
mempengaruhi perilaku khalayak. Sebaliknya, khalayak dapat disebut aktif apabila mereka
menganggap khalayak memiliki kemampuan seleksi terhadap pesan karena didorong oleh
motif kebutuhan tertentu dan memiliki kemampuan berdiskusi secara personal dengan para
pemuka pendapat untuk membahas pesan media massa. Sehingga khalayak aktif menganggap
media massa hanya memiliki pengaruh yang terbatas. Riset komunikasi massa banyak
berkembang untuk mengkaji isi pesan, sehingga dari riset tersebut dapat ditemukan realitas
interaksi antara pesan - kepentingan kelompok - pengaruh terhadap kesadaran masyarakat.
Seorang praktisi komunikasi dapat melakukan riset dengan lebih bebas, dalam artian tanpa
aturan – aturan yang ketat.
Relasi Tujuan dan Manfaat dengan Simpulan dan Saran

Hubungan tujuan dan manfaat dengan simpulan dan saran yaitu tujuan riset
berkorelasi dengan bab hasil dan pembahasan ( analisis dan interpretasi data ) dan bab
simpulan riset, karena semua berisi hasil dari menjawab rumusan masalah. Sedangkan
manfaat berkorelasi dengan bab saran, artinya manfaat bisa dioptimalkan apabila periset
menyampaikan saran-sarannya. Manfaat riset merupakan sesuatu yang diharapkan oleh
periset dapat tercapai melalui riset yang dilakukan. Di dalam bab saran ini, periset
menyarankan agar dapat dilakukan riset yang lebih mampu untuk mengembangkan atau
menindaklanjuti temuan datanya agar ilmu dapat lebih berkembang.

DAFTAR PUSTAKA

Kriyantono, Rachmat. 2020. Teknik Praktis Riset Komunikasi Kuantitatif dan Kualitatif.
Jakarta : Prenada Media Group.

Anda mungkin juga menyukai