Anda di halaman 1dari 26

BAGIAN ORTOPEDI DAN TRAUMATOLOGI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN September 2020

UNIVERSITAS HASANUDDIN

CERVICAL MYELOPATHY

DISUSUN OLEH :

DITO J PAYANGAN C014182055


SESILIA C HONGDYANTO C014182090
MUHAMMAD FALIH A C014182154
AMIRA ZAFIRAH C014182192

RESIDEN PEMBIMBING :
dr. Astrawinata/ dr. Radinal Irwinsyah

SUPERVISOR PEMBIMBING :
Dr. dr. Karya Triko Biakto, Sp.OT (K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ORTOPEDI DAN TRAUMATOLOGI FAKULTAS
KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini, menerangkan bahwa:

Nama : Dito J Payangan C014182055


Sesilia C Hongdyanto C014182090
Muh. Falih Abrar C014182154
Amira Zafirah C014182192

Asal Institusi : Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

Judul Referat : Cervical Myelopathy

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian


Ortopedi dan Traumatologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, September 2020

Mengetahui,

Residen Pembimbing Residen Pembimbing

dr. Astrawinata dr. Radinal Irwinsyah

Supervisor Pembimbing

Dr. dr. Karya Triko Biakto, Sp.OT (K)

ii
DAFTAR ISI

Contents

HALAMAN PENGESAHAN.....................................................................ii

DAFTAR ISI...............................................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN..........................................................................iii

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA..................................................................3

2.1 Anatomi dan Fisiologi.......................................................................3

2.2 Definisi..............................................................................................8

2.3 Epidemiologi.....................................................................................8

2.4 Etiologi..............................................................................................9

2.5 Patomekanisme................................................................................12

2.6 Diagnosis.........................................................................................13

2.7 Diagnosis Banding...........................................................................18

2.8 Tatalaksana......................................................................................19

2.9 Prognosis.........................................................................................19

BAB 3 KESIMPULAN..............................................................................21

DAFTAR PUSTAKA................................................................................22

iii
BAB 1 PENDAHULUAN

Servikal mielopati, juga dikenal sebagai spondylosis servikal mielopati,


merupakan penyebab paling umum dari disfungsi medulla spinalis bagian servikal
pada individu yang berusia lebih dari 55 tahun. Pada usia 40, sebagian besar akan
mengalami perubahan degeneratif yang terlihat pada radiografi. Faktanya, pada
usia 60-65 tahun, 95% pria tanpa gejala dan 70% wanita tanpa gejala
menunjukkan perubahan degeneratif pada foto polos. Perubahan degeneratif
sering dimulai di segmen bawah tulang belakang leher, C4-7, tetapi bisa muncul
di semua tingkatan, terutama pada orang tua.1,2
Konsep patofisiologi saat ini berfokus pada kombinasi elemen statis dan
dinamis yang menyebabkan kerusakan sawar darah- tulang belakang di lokasi
kompresi yang mengakibatkan peradangan lokal, disfungsi seluler, dan apoptosis.
Servikal mielopati menyebabkan disfungsi neurologis progresif yang
menyebabkan gejala seperti kelemahan dan disfungsi sensorik ekstremitas atas,
kelemahan dan spastisitas ekstremitas bawah yang menyebabkan
ketidakseimbangan dan jatuh, disfungsi sfingter yang berkembang menjadi
inkontinensia, serta nyeri leher dan ekstremitas. Diagnosis terutama dilakukan
melalui klinis dan radiologi. MRI menjadi pilihan utama dalam membantu
menjelaskan penyebab dan luasnya patologi.3,4,5
Keterlambatan diagnosis merupakan masalah yang utama pada servikal
mielopati, hal ini berkontribusi pada pemulihan yang tidak lengkap dan cacat
seumur hidup. Pada penyakit progresif, seperti servikal mielopati, hal ini
menyebabkan peningkatan kecacatan dan membatasi peningkatan fungsional
pasca operasi. Tidak adanya algoritme diagnostik, kesadaran yang buruk tentang
penyakit, dan gejala yang sering tidak jelas dan tidak spesifik (misalnya, nyeri dan
mati rasa pada anggota tubuh, koordinasi yang buruk, ketidakseimbangan, dan
masalah kandung kemih) yang sering keliru dikaitkan dengan penuaan atau
kondisi lain (misalnya, carpal tunnel syndrome, multiple sclerosis) menjadi
penyebab utama yang berkontribusi pada keterlambatan diagnosis. Selain itu
urutan gejala dan tanda yang biasanya berkembang tidak diketahui, sehingga
menambah kesulitan dalam mendiagnosis lebih awal sebelum menyebabkan
kerusakan neurologis.1,4

1
Perawatan saat ini terbatas pada operasi yang bertujuan untuk meredakan
kompresi sumsum tulang belakang. Diagnosis dan pengobatan yang tepat waktu
sangat penting untuk mencegah kerusakan lebih lanjut, mengurangi kecacatan,
dan meningkatkan kualitas hidup pasien.1,6

2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI

Pada bidang sagital, kelengkungan tulang belakang pada awalnya cekung


di anterior, disebut sebagai kurva primer. Sebagai tanggapan untuk elevasi kepala
dan ambulasi, servikal dan lumbal melakukan kompensasi dengan membentuk
kelengkungan sekunder pada servikal dan lumbal, yang cekung pada posterior di
bidang sagittal.7

Gambar 1. Kurvatura vertebra

Tulang servikal terdiri atas tujuh tulang belakang dengan saraf spinal C1
sampai C8. Atlas atau C1 merupakan struktur yang unik dan tidak memiliki
badan, sehingga memberi penampakan seperti cincin. Daripada memiliki badan,
atlas memiliki tuberkulum anterior, yang berfungsi sebagai penempel otot longus
colli. Musculus rectus capitis posterior minor dan membran suboccipital
menempel pada tuberkulum posterior. Musculus obliquus capitis superior berorigo
pada processus transversal C1 dan insersio pada dasar tulang oksipital. Musculus
obliquus capitis inferior berasal daari processus transversal C1 dan masuk ke
dalam proccesus spinosus C2. Proccesus transversal memiliki foramen

3
transversarium, yang dilalui oleh arteri vertebralis. Atlas terdiri dari 2 lengkungan,
bagian posterior dan anterior. Lateral mass terletak di pertemuan lengkung
anterior dan posterior.7
Facet superior dari lateral mass berartikulasi dengan condylus occipital,
dan facet inferior yang lebih datar dari lateral mass berartikulasi di bawah dengan
C2 atau axis. Tepat di posterior lateral mass adalah alur untuk arteri vertebralis.
Artikulasi atlanto-oksipital diperkuat oleh ekstensi cephalic dari anterior
longitudinal ligament (ALL) dan ligamentum flavum, yang masing-masing
disebut membran atlanto-oksipital anterior dan posterior. Artikulasi atlanto-
oksipital terutama memungkinkan ekstensi dan fleksi, serta fleksi lateral.7

Gambar 2. Atlas

C2 atau axis juga unik, karena adanya processus odontoid atau dens. Dens
menonjol ke superior untuk berartikulasikan dengan aspek posterior atlas sebagai
sendi sinovial. Dens ditahan pada tempatnya oleh ligamentum transversal, yang
merupakan struktur penstabil utama artikulasi atlantoaksial. Ligamentum
cruciform terbentuk dari proyeksi cephalad dan caudal ligamentum transversal.
Timbul dari sisi dens dan mengarah ke aspek medial condyllus oksipital, ligamen
alar adalah penstabil tambahan untuk artikulasi atlantoaksial. Ligamentum
apikalis adalah bagian sisa dari notochord dan menghubungkan puncak dens ke
aspek anterior foramen magnum.7
Prosesus spinosus bifidus adalah tempat musculus rectus capitis posterior
mayor dan musculus obliquus capitis inferior menempel. Dari posterior ke
anterior, pedikel yang relatif besar menonjol ke arah medial dan superior. Lima
puluh persen dari rotasi tulang belakang leher terjadi pada artikulasi atlantoaxial.

4
Di daerah servikal atas, diameter kanalis spinalis lebih besar dibandingkan dengan
daerah servikal bawah. 7

Gambar 3. Axis

Vertebra C3 sampai C6 mirip satu sama lain, dan terdiri dari body,
processus transversal, dan pedikel. Processus spinous yang menghubungkan
secara kaudal bersifat bifida. Bagian body oval lebih kecil dibandingkan dengan
vertebra yang lebih caudal. Pelat ujung superior body cekung dan pelat ujung
inferior cembung pada bidang koronal. Diameter koronal body lebih besar
dibanding diameter sagital. Pada permukaan superior dari body terdapat prosesus
yang menonjol ke atas seperti kait yang disebut prosesus uncinate, yang masing-
masing berartikulasi dengan daerah yang tertekan pada aspek lateral inferior body
pada vertebral superior, membentuk sendi uncovertebral atau sendi luschka, yang
mencegah translasi posterior tubuh vertebral dan fleksi lateral yang berlebihan.7

Gambar 4. Kolumna vertebra

5
Artikulatio dari bagian inferior vertebra yang lebih cranial dan bagian
superior vertebra yang lebih caudal membentuk sendi facet. Sendi facet dikelilingi
oleh ligamentum kapsuler dan dilapisi oleh sinovium. Persendian facet kaya akan
reseptor proprioseptif dan nyeri, suatu fitur yang menjelaskan nyeri servikal pada
gangguan facet. Sendi ini memfasilitasi fleksi dan ekstensi di tulang belakang
leher.7
Canalis spinalis berbentuk segitiga, dengan apeks pada bagian posterior
dan ujung yang membulat. Nervus spinal keluar dari foramen intervertebralis,
yang dibatasi oleh badan vertebralis dan diskus intervertebralis di anterior, oleh
facet di posterior, dan oleh pedikel di bagian superior dan inferior. 7

Gambar 5. Foramen intravertebral

Vertebra C7 unik karena merupakan titik transisi antara tulang servikal


yang lebih mobile dan tulang thorakal yang kaku. Processus spinous C7 bukanlah
bifid. Penonjolan tulang posterior yang besar dari prosesus spinosus C7
mengidentifikasinya sebagai vertebra prominens. Hubungan cervicothoracic ini
merupakan daerah transisi dimana C7 mirip dengan T1 dan T2. Sendi faset antara
C7 dan T1 mirip dengan artikulasi faset toraks, dan lateral mass C7 lebih tipis
dibandingkan dengan tingkat servikal atas. 7

6
Struktur neurologis utama dari tulang belakang leher adalah medulla
spinalis dan radiks saraf spinal. Medula spinalis terletak di dalam canalis
vertebralis columna vertebra dan dibungkus oleh meningen serta diliputi oleh
cairan serebrospinal. Bagian medula spinalis mulai dari perbatasan dengan medula
oblongata (decussatio pyramidum) sampai setinggi vertebra L1-2 yang terdiri dari
31 segmen: 8 servikal, 12 torakal, 5 lumbal, 5 sakral, 1 koksigeal. Pada bagian
bawah, medula spinalis menipis menjadi conus medularis dan berlanjut sebagai
filum terminale yang melekat pada os coccygea. Akar saraf lumbal dan sakral
terkumpul dan disebut dengan cauda equina.7,8
Masing-masing segmen membentuk sepasang radiks saraf spinal yang
keluar melalui foramen intervertebral yaitu bagian dorsal dan ventral. Akar bagian
dorsal berisi serabut saraf sensorik dan memiliki struktur ganglia yang berisi
neuron sensoris, sedangkan akar bagian ventral berisi serabut saraf motorik
dengan neuron motoriknya terletak pada cornu anterior medula spinalis.8
Medula spinalis tersusun oleh substansia alba yang berwarna putih di
bagian luar dan substansia grisea yang berwarna abu-abu di bagian dalam.
Substansia grisea membentuk cornu anterior dan posterior sehingga tampak
seperti gambaran huruf H atau kupu-kupu pada potongan melintang. Di dalam
substansia alba berisi lintasan-lintasan asenden dan desenden. Di dalam substansia
grisea pada daerah cornu anterior terdapat motor neuron yang bertanggung jawab
dalam penghantaran impuls motorik somatik. Medula spinalis dilindungi oleh
tulang vertebra dan ligamen.8

7
Gambar 6. Medulla spinalis
Medula spinalis diperdarahi oleh satu arteri spinalis anterior dan dua arteri
spinalis posterior yang berasal dari arteri vertebralis dari dalam intrakranial dan
berjalan secara longitudinal di sepanjang medula spinalis dan bergabung dengan
arteri segmental dari masing-masing regio yang merupakan cabang dari arteri
besar yang memperdarahi masing-masing regio, seperti:
 Arteri vertebralis yang berasal dari arteri subklavia di leher
 Arteri intercostalis posterior yang berasal dari aorta thorakalis
 Arteri lumbalis yang berasal dari aorta abdominalis
 Arteri sacral lateral yang berasal dari arteri iliaka interna pelvis.8

Aliran pembuluh vena medula spinalis berawal dari vena radikularis yang
bergabung menuju vena segmentalis kemudian terkumpul di:
 Vena cava superior
 Sistem vena azygos thorakalis
 Vena cava inferior.8

2.2 DEFINISI
Servikal mielopati merupakan suatu kondisi yang menggambarkan
kompresi pada tingkat servikal dari tulang belakang yang mengakibatkan
spastisitas (kontraksi otot berkelanjutan), hiperrefleksia, refleks patologis,
kekakuan jari / tangan, dan / atau gangguan gaya berjalan. Servikal mieolopati
berkembang secara bertahap dengan penurunan fungsional. Karena mobilitasnya,
tulang belakang leher sangat rentan terhadap perubahan degeneratif seperti
herniasi diskus, hipertrofi atau osifikasi ligamen, dan pembentukan osteofit.9,10
2.3 EPIDEMIOLOGI
Salah satu jenis mielopati servikal yang umum adalah mielopati servikal
spondilotik. Istilah spondilotik mengacu pada salah satu kemungkinan penyebab
mielopati – degenerasi spine secara bertahap yang terjadi seiring bertambahnya
usia. Mielopati servikal spondilotik adalah gangguan yang paling umum dari
sumsum tulang belakang pada orang yang berusia lebih dari 55 tahun. Perubahan
spondilotik radiologis meningkat dengan bertambahnya usia pasien asimtomatik
yang berusia lebih dari 70 tahun dimana mereka mengalami beberapa bentuk
perubahan degeneratif pada tulang belakang servikal (90%). Mielopati servikal

8
akibat penyempitan sagital kanalis spinalis dan kompresi dari spinal cord terjadi
pada 90% individu pada dekade ke-7 kehidupan. Tidak ada perbedaan antara jenis
kelamin pria dan wanita. Servikal spondilotik biasanya dimulai lebih awal pada
pria (50 tahun) dibandingkan pada wanita (60 tahun).11,12,13
Tidak semua pasien dengan perubahan degenerative pada pencitraan akan
menunjukkan tanda dan gejala mielopati servikal spondilotik. Faktanya, kejadian
perubahan degenerative yang dilaporkan dalam literatur lebih tinggi daripada
kejadiaan mielopati servikal spondilotik klinis. Penelitian terhadap cadaver
menunjukkan tingkat stenosis pada 4,9% pada populasi orang dewasa, dengan
tingkat yang lebih tinggi ditemukan pada individu yang lebih tua, mencapai 9%
pada dekade ke-8. Dalam studi radiografi, 95% dari pasien pria asimtomatik pada
dekade ke-7 kehidupan memiliki kelainan degeneratif pada film biasa. Bahkan
pada pasien di bawah 40 tahun, MRI telah menunjukkan perubahan degenerative
hingga 14%. Data ini menunjukkan bahwa mielopati servikal spondilotik yang
dihasilkan dari stenosis kanal adalah proses yang lambat dimana tidak semua
pasien dengan penyakit tulang belakang yang degeneratif akan mengembangkan
gambaran klinis dan bahwa mielopati adalah diagnosa klinis bukan diagnosis
radiografi. Insiden dan prevalensi mielopati servikal spondilotik tidak dilaporkan
dengan baik dalam literatur. Wu et al., (2013) melaporkan insiden rawat inap
terkait mielopati spondilotik servikal pada 4,04 per 100.000 orang setiap tahunnya
di Asia timur. Gejala/tanda ekstremitas atas dapat mengarah pada pencitraan
lumbal, yang dapat mengarahkan pengobatan ke arah stenosis lumbal. Orang Asia
berisiko tinggi mengalami mielopati servikal (1,9% hingga 4,3% pada individu
yang berusia lebih dari 30 tahun) karena peningkatan prevalensi pengerasan
ligamentum longitudinal posterior yang merupakan sumber kompresi.9
2.4 ETIOLOGI
Mielopati adalah istilah yang berkaitan dengan hasil dari kompresi spinal
cord, stenosis adalah istilah yang menggambarkan penyempitan saluran. Pada
tulang belakang servikal, pasien tertentu lebih cenderung mengalami mielopati
karena saluran tulang belakang servikal yang menyempit. Perkembangan
selanjutnya dari stenosis atau herniasi servikal kemungkinan besar akan
menyebabkan mielopati. Perubahan degeneratif biasanya terjadi pada C5 dan C6
atau C6 dan C7. Hal-hal seperti olisthesis, osteofit, dan hipertrofi facet juga bisa
menjadi kontributor terjadinya penyempitan saluran.14
9
Penyebab mielopati servikal dapat dibagi menjadi beberapa kategori:
1. Faktor Statis
Penyempitan ukuran kanalis spinalis umumnya terjadi akibat perubahan
degeneratif pada anatomi tulang belakang servikal (spondylosis servikal)
seperti degenerasi discus, spondylosis, stenosis, pembentukan ostefit pada
tingkat sendi faset, osifikasi segmental ligamentum longitudinal posterior
dan hipertrofi ligament, kalsifikasi atau osifikasi. Pasien dengan kanalis
spinalis yang sempit (<13mm) memiliki resiko tinggi untuk
berkembangnya gejala mielopati servikal.
2. Faktor Dinamis
Karena kelainan mekanis atau ketidakstabilan tulang belakang servikal.
3. Faktor Vaskular dan Seluler
Iskemia medula spinalis mempengaruhi oligodendrosit, yang
menyebabkan demielinasi yang menunjukkan gambaran gangguan
degeneratif kronis. Toksisitas glutamatergic, cedera sel dan apoptosis juga
dapat terjadi.13

Mielopati Spondilotik Servikal muncul dari perubahan degeneratif yang


terjadi di tulang belakang seiring bertambahnya usia. Perubahan degeneratif pada
diskus ini sering disebut artritis atau spondilosis. Mielopati spondilotik servikal
juga bisa disebabkan oleh adanya degenerasi diskus servikal dan herniasi diskus.
Seiring bertambahnya usia, diskus di tulang belakang mulai membengkak. Mereka
juga kehilangan kadar air, mulai mengering, dan menjadi lebih kaku. Masalah ini
menyebabkan penciutan ruang diskus. Saat diskus menciut, tulang belakang
bergerak semakin dekat. Tubuh merespons diskus dengan membentuk lebih
banyak tulang disebut bone spurs di sekitar diskus untuk memperkuatnya. Bone
spurs ini berkontribusi pada pengerasan tulang belakang. Mereka juga dapat
membuat kanal tulang belakang menyempit atau menekan sumsum tulang
belakang.15

10
Gambar 7. Diskus intervertebral 15

Diskus mengalami herniasi ketika pusatnya yang seperti jeli (nukleus


pulposus) mendorong cincin luarnya (annulus fibrosus). Jika diskus sangat aus
atau cedera, nukleus dapat menekan seluruhnya. Ketika hernia diskus menonjol ke
arah kanal tulang belakang, hal itu dapat memberi tekanan pada sumsum tulang
belakang atau akar saraf. Saat diskus memburuk seiring bertambahnya usia,
mereka menjadi lebih rentan terhadap herniasi. Disk hernia sering terjadi dengan
gerakan mengangkat, menarik, menekuk, atau memutar.15

Gambar 8. Diksus yang mengalami herniasi 15


Mielopati juga bisa timbul dari kondisi lain yang menyebabkan kompresi
sumsum tulang belakang. Meskipun kondisi ini tidak terkait dengan degenerasi
discus, kondisi ini dapat menyebabkan gejala yang sama dengan mielopati
spondilotik servikal. Adapun kondisi lain yang dimaksud adalah terjadinya artritis
rheumatoid dan cedera pada leher. Artritis rheumatoid adalah penyakit autoimun.
Ini berarti sistem kekebalan menyerang jaringannya sendiri. Pada artritis
rheumatoid, sel kekebalan menyerang synovium, selaput tipis yang melapisi
sendi. Saat sinovium membengkak, hal itu dapat menyebabkan rasa sakit dan
kekakuan, dalam kasus yang parah, kerusakan sendi faset di tulang belakang
servikal. Ketika ini terjadi, tulang belakang atas dapat menuju ke depan di atas
tulang belakang bawah, mengurangi jumlah ruang yang tersedia untuk sumsum
tulang belakang. Yang dimaksud dengan cedera adalah cedera pada leher seperti
akibat kecelakaan mobil, olahraga, atau jatuh juga dapat menyebabkan mielopati.
Misalnya, tabrakan mobil yang mengenai leher dapat menyebabkan hiperekstensi,
gerakan leher ke belakang melebihi batas normalnya, atau hiperfleksi, gerakan
leher kedepan melebihi batas normalnya. Karena jenis cedera ini sering
mempengaruhi otot dan ligamen yang menopang tulang belakang, cedera ini dapat
menyebabkan kompresi sumsum tulang belakang.15

11
2.5 PATOMEKANISME

Gambar 7. Ilustrasi perubahan patofisiologi16


Mielopati servikal degeneratif (DCM) disebabkan oleh beberapa hal yang
mencakup beberapa etiologi termasuk mielopati spondilotik servikal, osifikasi
ligamentum longitudinal posterior, osifikasi ligamentum flavum, dan penyakit
degneratif discus vertebralis. Masing-masing penyebab ini menyajikan
patofisiologi yang unik, banyak patogenesis yang saling terkait, sering kali
bercampur menjadi gambaran mielopati yang kompleks.16
a. Degenerasi Diskus dan Restrukturisasi Tulang Belakang
Secara umum, degenerasi tulang belakang pada leher terjadi seiring waktu
sebagai akibat dari beban struktural, mikrotrauma berulang, dan perubahan
fisiologi tulang, otot, dan diskus intervertebralis terkait usia. Proses degeneratif
biasanya dimulai dengan ausnya diskus dimana diskus ini berfungsi untuk
mendistribusikan gaya tekanan secara merata pada endplate vertebral dan sendi
faset. Melalui hilangnya proteoglikan dan air, diskus kehilangan sifat elastisitas
dan suportifnya dan mulai menimbulkan gaya tekanan yang tidak merata pada
tulang belakang yang berdekatan, yang kemudian menghasilkan perkembangan

12
osteofit. Vertebra juga secara progresif kehilangan tingginya dan semakin
melebar. Puncak dari proses ini terjadi dalam bentuk stenosis kanalis vertebral
yang menyebabkan kompresi kronis sumsum vertebra dan akhirnya berkembang
menjadi mielopati. Untuk alasan ini, pasien dengan kanalis vertebra yang sempit
atau sumsum vertebra yang besar (ketidakcocokan kanal-kanal) berada pada
peningkatan risiko untuk mengembangkan DCM selama hidup mereka. Selain
cedera statis, perubahan anatomis yang parah ini juga dapat menyebabkan
peningkatan mobilitas atau spondylolisthesis yang mungkin stabil atau tidak
stabil. Saat tidak stabil, peningkatan rentang gerak dapat menyebabkan cedera
dinamis dan trauma minor berulang. Dari perspektif patofisiologis, cedera pada
sumsum tulang belakang pada akhirnya mengganggu sawar darah-sumsum tulang
belakang yang mengakibatkan peradangan saraf, iskemia, dan apoptosis, yang
secara kolektif berkontribusi pada demielinasi, astrogliosis, dan degenerasi
aksonal. Hal ini akhirnya berujung pada manifestasi mielopati simptomatik
dengan temuan klinis yang khas.17
b. Hipertrofi dan Osifikasi Ligamentum Kanalis Spinalis
Kompresi medula spinalis akibat perubahan degeneratif juga dapat terjadi
karena pembesaran dan pengerasan ligamentum pada kanalis spinalis, khususnya
ligamentum longitudinal posterior (PLL) dan ligamentum flavum (LF).
Pembesaran ligamen dapat terjadi sebagai akibat dari pembengkakan diskus ke
dalam kanal yang menyebabkan pembesaran PLL, terkadang berkembang menjadi
osifikasi PLL yang reaktif, dan hilangnya ketinggian diskus, seringkali
mengakibatkan inbuckling dan jarang terjadi osifikasi dari LF dan kompresi
sumsum tulang belakang dari posterior. Faktor genetik juga telah terlibat dalam
perkembangan osifikasi ligamen tulang belakang ini, dan pasien ini mungkin tidak
menunjukkan temuan degeneratif yang jelas.16,17
2.6 DIAGNOSIS
2.6.1 KLASIFIKASI
Banyak klasifikasi mengikut tingkat keparahan penyakit telah digunakan
seperti Nurick’s Functional Scale, dan the modified Japanese Orthopaedic
Association Scoring System. Meskipun mereka membantu dalam menentukan
tingkat keparahan, mereka memiliki keterbatasan.2

13
Tabel 1. Klasifikasi Nurik untuk Mielopati2

Wada dan Kolega merekomendasikan penggunaan kombinasi dari temuan


klinis pasien, status fungsional pra operasi sebagai diukur dengan skala Japan
Orthopedic Assosiation (JOA), dan temuan radiografi untuk menentukan perlunya
operasi intervensi. Mereka merekomendasikan operasi bila gejala seperti
gangguan gaya berjalan dan hilangnya kontrol motorik halus dalam kombinasi
dengan skor JOA kurang dari 13 dan hasil dari radiografi membuktikan adanya
kompresi sumsum tulang belakang. Skor maksimum 17 mencerminkan fungsi
normal, dan tingkat pemulihan menggambarkan dimana banyaknya skor yang
kembali normal pasca operasi.18

Tabel 2 : Modified Japanese Orthopedic Association (JOA) Score for Cervical

Myelopathy18

2.6.2 GEJALA KLINIS


14
Anamnesis yang menyeluruh, pemeriksaan klinis dan penunjang temuan
radiologi sangat penting dalam mendiagnosis mielopati servikal.2
Pada tahap awal mielopati, biasanya pasien dengan gangguan klasik yaitu
`spastic gait”, yang mungkin terjadi bungkuk atau tersentak-sentak. Nyeri lebih
jarang dikeluhkan dan ketidakhadirannya sering kali menyebabkan keterlambatan
diagnosa. Gangguan gait dikatakan merupakan presentasi yang paling umum,
diikuti oleh kehilangan kendali motorik halus pada tangan yang terkait mati rasa.
Mati rasa atau paresthesia di bagian ekstremitas atas biasanya tidak spesifik.
Mielopati servikal sering muncul sebagai mati rasa dan kesemutan pada bagian
satu ekstremitas atau lebih.2
Penyedia perawatan primer harus memiliki kecurigaan yang tinggi dalam
mengevaluasi pasien yang datang dengan paresthesia (misalnya, jika pasien
melaporkan gejala di satu tangan, tanyakan secara khusus tentang gejala di
ekstremitas lain dan tanda serta gejala terkait lainnya). Pasien mungkin
mengeluhkan "kecanggungan" seperti kesulitan menaikkan kancing atau
mengubah tulisan tangan. Untuk individu yang datang ke klinik perawatan primer
dengan semua atau sebagian dari tungkai atas atau nyeri leher, keluhan sensorik
(parasthesia) atau motorik (kelemahan, kecanggungan) pada ekstremitas (lengan,
tungkai, atau keduanya), dan gaya berjalan yang tidak stabil.18
Dengan gerakan leher tertentu (biasanya fleksi dan ekstensi), pasien
mungkin merasakan sensasi seperti sengatan listrik yang meluas ke seluruh tubuh
(tanda Lhermitte). Inkontinensia kandung kemih dan / atau usus dan quadriparesis
biasanya menandakan mielopati stadium lanjut dan berkembang, mengakibatkan
mengurangi kontrol sfingter, dan mempengaruhi antara 15% sampai 50% pasien.19
2.6.3 PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan pasien yang memiliki mielopati servikal biasanya
mengeluhkan tanda lesi lower motor neuron setinggi lesi servikal (kelemahan dan
hiporefleksia) dan tanda lesi upper motor neuron (spastisitas, hyperreflexia,
klonus, tanda Hoffman dan Babinski). Karena, mielopati servikal paling sering
memengaruhi bagian bawah servikal saraf tulang belakang (C5-7), yang paling
sering terkena adalah dermatom dan kelompok otot yang sesuai dengan level ini.2
Temuan upper dan lower motor neuron dan mungkin campuran hadir di
ekstremitas atas . Atrofi otot mungkin juga hadir. Sensasi mungkin terganggu
tergantung pada tingkat lesi servikal. Nyeri dan perubahan suhu paling sering
15
dicatat. Propriosepsi , getaran dan sensasi sentuhan mungkin terganggu pada sisi
ipsilateral ke lesi, sedangkan sensasi nyeri dan suhu akan terjadi gangguan pada
sisi kontralateral karena dekusasi tali pusat. Refleks pada ekstremitas atas dapat
berupa refleksif hipo atau hiper refleksif.2

Tabel 3. Temuan pemeriksaan klinis pada bagian servikal2

Pemeriksaan fisik harus mencakup :


 Saraf kranial
 Pengerakkan range of motion bagian servikal
 Perhatikan terhadap hilangnya ROM dan hasil dari tes atau gerakan tulang
belakang servikal (yaitu, jika ekstensi servikal menghasilkan gejala pada
ekstremitas)
 Pemeriksaan range of motion pada ekstremitas atas
 Miotom dan dermatom (pertimbangkan miotom dan dermatome bagian
ekstremitas bawah dan sakral jika ada gejala)
 Tes spurling, refleks tendon dalam, tonus, spastisitas, klonus, tanda
Babinski, dan tanda Hoffmann
 Gangguan gait
 Pemeriksaan colok dubur (jika gejala memerlukan penilaian nada)19

Tes untuk mielopati servikal, berikut ini adalah pemeriksaan fisik sugestif
mielopati servikal:
• Tanda Hoffmann - fleksi ibu jari yang tidak disengaja dan jari telunjuk
distal phalanx dengan menjentikkan jari phalanx terminal dari jari tengah
• Finger escape sign - abduksi jari kelingking saat pasien diminta untuk
meregangkan tangannya ke depan

16
• Finger fatigue sign - kelelahan pasien saat diminta membuka dan menutup
kepalan tangannya dengan cepat
• Tanda Lhermitte - sensasi seperti sengatan listrik di sepanjang tulang
belakang jika tulang belakang tertekuk
• klonus - gerakan cepat dari kaki yang dipicu oleh gerakan pasif yang kuat
pada pergelangan kaki menjadi dorsofleksi dari posisi plantar.20

2.6.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis mielopati, antara lain:
 Rontgen vertebra
Standar tulang belakang bagian servikal harus mencakup
anteroposterior, pandangan lateral dan miring 45 ° (diambil dengan cara
memutar seluruh tubuh sebesar 45 ° bukan hanya kepala pasien). Diameter
sagital rata-rata yang diukur pada sinar-X lateral, dari C3 menjadi C7
berkurang dari 17 mm pada individu normal menjadi 8-13 mm atau lebih
sedikit pada pasien dengan mielopati servikal.18
Ruang disk yang sempit, bone spurs, osteofit, subluksasi sendi,
arthrosis sendi facet, spondylolisthesis, dan osifikasi ligamen longitudinal
posterior dapat divisualisasikan pada film standar. Sebuah 'stenosis mutlak
' telah didefinisikan sebagai diameter kanal saggital <10 mm dan "stenosis
relatif" dengan kanal tulang belakang yang menyempit lebih sedikit dari
13 mm. Tampilan ekstensi-fleksi dapat digunakan di evaluasi radiografi
ketidakstabilan servikal. Kanal tulang belakang yang sempit (dilihat pada
pandangan miring) dapat dihitung menggunakan rasio Pavlov. Ini dapat
dihitung dengan membagi diameter AP dari kanal tulang belakang dengan
diameter AP dari badan vertebral. Rasio jika <0,8 menunjukkan stenosis.2
 MRI
MRI tulang belakang bagian servikal dapat berfungsi sebagai tes
awal untuk pasien dengan dugaan mielopati servikal. Perubahan yang
terlihat di sumsum tulang belakang dengan T2 weighted imaging dapat
menunjukkan kerusakan sumsum tulang belakang permanen atau
myelomalacia. MRI memiliki sensitivitas rendah untuk mendeteksi

17
kerusakan sumsum tulang belakang halus, terutama pada pasien dengan
gejala kronis.21
 Mielografi
Mielografi adalah sarana penting untuk evaluasi kompresi sumsum
tulang belakang sebelum munculnya MRI. Itu hanya menunjukkan derajat
pemusnahan subaraknoid ruang yang menggambarkan blok yang lengkap
atau tidak lengkap.18

Gambar 8 : Stenosis tulang belakang dan mielopati. Sagittal T2 MRI pada


seorang pasien pria usia 69 tahun dengan tulang belakang stenosis dan mielopati.
Perhatikan beberapa degenerasi tulang belakang leher dan hiperintens pada level
C5 – C620
2.7 DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding untuk mielopati servikal umumnya dari segi
penyebabnya. Oleh karena itu, investigasi neurologis lengkap diperlukan untuk
menghilangkan diagnosis lain seperti multiple sclerosis (gejala episodik),
amyotrophic lateral sclerosis (disfungsi motorik), syringomyelia dan tumor
sumsum tulang belakang.20
Kesan degenerasi dan defisiensi vitamin-B12 di saluran kortikospinalis
dan posterior tract symptoms , dengan keterlibatan sensorik ekstremitas bawah

18
yang lebih besar. Pasien dengan neuropati perifer metabolik atau idiopatik
memiliki sensorik gejala yang mirip dengan mielopati.18
2.8 TATALAKSANA
DCM hampir selalu dianggap sebagai masalah pembedahan, dengan antara
20 hingga 62 persen pasien memburuk pada 3 hingga 6 tahun masa tindak lanjut
jika ditangani dengan penuh harapan. Lebih lanjut, pada pasien yang datang tanpa
gejala dengan kompresi tali pusat, kejadian perkembangan mielopati simptomatik
adalah sekitar 8 persen pada 1 tahun dan hampir 23 persen pada 4 tahun masa
tindak lanjut. Sebuah studi terbaru oleh Zhang et al. menunjukkan perbaikan pada
semua kelompok umur yang ditangani dengan pembedahan, dengan pemulihan
yang signifikan dalam waktu 1 minggu dan pada 6 bulan setelah pembedahan, dan
tidak ada perbedaan antara usia pada komplikasi pasca operasi. Berdasarkan
temuan ini, dan dari beberapa penelitian lain termasuk yang dilakukan oleh
Fehlings et al. yang menyelidiki hasil dalam dekompresi bedah, hampir secara
universal direkomendasikan bahwa DCM diintervensi melalui pembedahan sedini
mungkin untuk mencegah perkembangan dan memungkinkan potensi maksimum
untuk pemulihan. Pendekatan bedah untuk dekompresi sumsum tulang belakang
dapat dilakukan dengan menghilangkan patologi tekan yang menyinggung,
memperluas kanal tulang belakang melalui pengangkatan atau manipulasi lamina
posterior vertebra. Pendekatan anterior biasanya disukai pada pasien dengan
kifosis servikal dan pada mereka dengan patologi anterior yang besar, sedangkan
pendekatan posterior disukai dengan kompresi servikal multilevel atau OPLL.16,22
Uji klinis yang sedang berlangsung menunjukkan bahwa mungkin ada
peran untuk pengobatan farmakologis tambahan, seperti mengatasi
eksitotoksisitas yang diinduksi glutamat dengan riluzole, dalam hubungannya
dengan dekompresi bedah. Penyelidikan lebih lanjut diperlukan di bidang ini,
tetapi rejimen terapeutik di masa depan kemungkinan akan melibatkan pendekatan
multi-segi di samping intervensi bedah tradisional.22
2.9 PROGNOSIS
Sebuah penelitian prospektif selama 27 tahun menunjukkan bahwa rata-
rata harapan hidup pasien cedera medula spinalis lebih rendah dibanding populasi
normal. Penurunan rata-rata lama harapan hidup sesuai dengan beratnya cedera.
Penyebab kematian utama adalah komplikasi disabilitas neurologi yaitu:
pneumonia, emboli paru, septikemia, dan gagal ginjal.14
19
Pasien dengan nyeri leher memiliki radical symptoms setelah dermatom
otot, kemungkinan besar ia akan membaik setelah operasi dibandingkan pasien
tanpa nyeri radikuler. Kemungkinan besar nyeri ini memiliki sumber dan asal
yang dapat diprediksi jika ada myotome tertentu yang mengikutinya. Sekitar 65%
pasien yang mengalami nyeri leher dan gejala radikuler akan mendapat manfaat
dari dekompresi bedah.14

20
BAB 3 KESIMPULAN

Cedera medula spinalis merupakan salah satu penyebab utama disabilitas


neurologis akibat trauma. Kondisi itu dapat mengenai berbagai kalangan usia,
namum umum ditemukan pada pasien usia tua yaitu mielopati servikal. Ada
banyak penyebab dari mielopati servikal, dan umumnya bersifat progresif. Pada
kasus-kasus mielopati, pemeriksaan status neurologis lokal merupakan hal yang
sangat penting. Terapi cedera medula spinalis terutama ditujukan untuk
meningkatkan fungsi sensoris dan motoris. Terapi konservatif umumnya diberikan
pada pasien dengan resiko tinggi operasi atau dengan keadaan yang stabil dengan
gejala minimal yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari dengan berat. Terapi
operatif sangat tergantung dengan kondisi pasien. Cedera medula spinalis
inkomplit cenderung memiliki prognosis yang lebih baik.

Take Home Message


Dokter harus menanyakan tentang gejala tungkai bawah bila pasien
mengalami nyeri leher dan / atau neurologi tungkai atas. Mengidentifikasi tanda
atau gejala neurologi abnormal pada kaki akan membantu dokter untuk tidak
melewatkan masalah seperti servikal mielopati, yang mungkin memerlukan
pembedahan segera.

21
DAFTAR PUSTAKA
1. The Lancet Neurology. 2019. A focus on patient outcomes in cervical
myelopathy. The Lancet Neurology. 18(7) : 615. doi:10.1016/s1474-
4422(19)30168-1 
2. Virdi, G. 2017. Cervical Myelopathy: Pathophysiology, Diagnosis, and
Management. Spine Research. 03(02). doi:10.21767/2471-8173.100032 
3. Wilson, J. R., Tetreault, L. A., Kim, J., Shamji, M. F., Harrop, J. S., Mroz,
T., Fehlings, M. G. 2017. State of the Art in Degenerative Cervical
Myelopathy: An Update on Current Clinical Evidence. Neurosurgery,
80(3S): S33–S45. doi:10.1093/neuros/nyw083 
4. Hilton B, Tempest-Mitchell J, Davies B, Kotter M. 2018. Assessment of
degenerative cervical myelopathy differs between specialists and may
influence time to diagnosis and clinical outcomes. PLoS ONE. 13(12):
e0207709. https:// doi.org/10.1371/journal.pone.0207709
5. Gautham, K. T., Girish ,C.R. 2018. Clinical profile of patients with
Cervical Myelopathy. International Journal of Orthopaedics Sciences.
4(1): 992-994
6. Davies BM, Munro CF, Kotter MR. 2019. A Novel Insight Into the
Challenges of Diagnosing Degenerative Cervical Myelopathy Using Web-
Based Symptom Checkers. J Med Internet Res. 21(1):e10868
7. Shen,F. a. 2014. Textbook of the Cervical Spine. Elsevier Health
Sciences.p. 4-21
8. Hansen JT. 2010. Netter’s clinical anatomy. 2nd Ed. Philadelphia; Saunders
Elsevier. p.60-3.
9. Donnally III CJ, Hanna A, Odom CK. Cervical Myelopathy. 2020. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482312/
10. Davies Benjamin M, Mowforth Oliver D, Smith Emma K, Kotter Mark
RN. 2018. Degenerative cervical myelopathy. BMJ. 360:k 186
11. Cook C, Brown C, Isaacs R, Roman M, David S and Richardson W. 2010.
Clustered clinical findings for diagnosis of cervical spine myelopathy. J Man
Manip Ther. 18(4): 175–180.
12. Amenta PS, Ghobrial GM, Krespan K, Nguyen P, Ali M, Harrop JS. 2014.
Cervical spondylotic myelopathy in the young adult: a review of the

22
literature and clinical diagnostic criteria in an uncommon demographic. Clin
Neurol Neurosurg. 120:68-72.
13. Koakutsu T,Nakajo J, Morozumi N, Hoshikawa T, Ogawa S, and Ishii Y.
2015. Cervical myelopathy due to degenerative spondylolisthesis. Ups J Med
Sci. 116(2): 129–132.
14. David M, Stuart B, Richard B, Sarah M. 2018. Cervical Radiculopathy and
Cervical Myelopathy: Diagnosis and Management in Primary Care. NCBI.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5737310/
15. Nilesh M. Patel, MD, Stuart J. Fischer, MD, Louis G. Jenis, MD. 2015. Cervical
Spondylotic Myelopathy (Spinal Cord Compression). AAOS. Available from:
https://orthoinfo.aaos.org/en/diseases--conditions/cervical-spondylotic-
myelopathy-spinal-cord-compression/
16. J. Gibson et al. 2018. “Degenerative cervical myelopathy: A clinical review,”
Yale J. Biol. Med. 9(1) pp. 43–48.
17. F. C. H. Sr, E. C. Benzel, and A. R. Vaccaro. 2017. Pathophysiology of Cervical
Myelopathy: Biomechanics and Deformative Stress, Fourth Edi. Elsevier Inc.
18. Kulkarni G, Babkulhar S. 2016. Textbook of Orthopedics and Trauma. 3rd
ed. New Delhi: The Health Science Publisher.
19. Milligan J, Ryan K, Fehlings M, Bauman C. 2019. Degenerative cervical
myelopathy: Diagnosis and management in primary care. Can Fam
Physician.65(9):619-624.
20. Blom A, Warwick D, Whitehouse M. 2018. Apley and Solomon's System
of Orthopedics and Trauma. 10th ed. London: CRC Press;.
21. Bakhsheshian J, Mehta VA, Liu JC. 2017. Current Diagnosis and Management of
Cervical Spondylotic Myelopathy. Global Spine J. 7(6):572-586.
doi:10.1177/2192568217699208
22. R. A. Roy, J. P. Bouchera, and A. S. Comtoisa. 2016. “Cervical Myelopathy:
Pathophysiology, Diagnosis, and Management,” Spine Res. 2(1):pp. 1–6. doi:
10.21767/2471-8173.100012.

23

Anda mungkin juga menyukai