Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN KASUS

ILMU PENYAKIT JANTUNG & PEMBULUH


SINDROMA BRUGADA

Disusun untuk Melaksanakan Tugas Dokter Internsip


RS Perkebunan Jember Klinik

Disusun oleh:
dr. Shalahuddin Galih Pradipta

Dokter Pembimbing:
dr. Elfan Moeljono, SpJP, FIHA
dr. Anita Fadhilah, MMRS
dr. Rizky Imansari

PT. NUSANTARA MEDIKA UTAMA


RS PERKEBUNAN (JEMBER KLINIK)
2018
BAB I

PENDAHULUAN

Sindroma Brugada merupakan channelopathy dan kelainan aritmik jantung bersifat


dominan autosom diturunkan.1 Sindroma Brugada ditandai dengan ditemukannya kenaikan
segmen ST diikuti oleh inversi gelombang T pada sadapan prekordial kanan (V 1-V3) tanpa
adanya kelainan struktural jantung.2 Kondisi ini meningkatkan resiko kematian jantung
mendadak/sudden cardiac death (SCD) yang disebabkan oleh timbulnya takikardi ventrikel (VT)
polimorfik atau fibrilasi ventrikel (VF). Prevalensi Sindroma Brugada bersifat variatif dimulai
dari 0,14% di populasi Jepang; 0,61% di populasi Eropa, hingga setinggi 3% di populasi Asia
Tenggara. Laporan menunjukkan bahwa angka kejadian banyak ditemukan pada jenis kelamin
laki-laki di usia dekade ketiga hingga keempat.1

Penyebab dari Sindroma Brugada dicurigai berasal dari mutasi gen SCN5A yang
mengode channel Na. Mutasi tersebut menyebabkan hambatan fungsi channel Na sehingga
berpengaruh pada pembentukan potensial aksi jantung pada fase 0. Kondisi tersebut
menyebabkan irama jantung bersifat aritmogenik dan bisa menimbulkan aritmia dan kematian
jantung mendadak.1-3

Sebagian besar penderita Sindroma Brugada tidak menunjukkan gejala. Apabila aritmia
terpicu, penderita Sindroma Brugada bisa menunjukkan beberapa gejala dengan gejala tersering
adalah pingsan, sesak, dan gelisah sebelum timbul aritmia atau kematian jantung mendadak.
Apabila timbul gejala maka bacaan elektrokardiografi (EKG) bisa menunjukkan irama VT
polimorfik, VF, ataupun asistol.1

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1 Elektrofisiologi Dasar4

Kontraksi ritmis jantung tergantung pada penghantaran impuls listrik sesuai dengan jalur
konduksinya. Penanda stimulasi listrik, potensial aksi dibentuk dari rangkaian arus ion yang
mengalir melalui channel yang terdapat pada sarcolemma. Sel-sel jantung dengan aktivitas
elektrik dibagi menjadi 3 tipe elektrofisiologi yang berbeda tergantung jenis selnya yaitu:

1. sel pacemaker (contoh: nodus sinoatrial (SA) dan nodus atrioventricular (AV))

2. jaringan penghantar arus cepat khusus (contoh: sel serabut Purkinje)

3. sel otot atrial dan ventrikular.

Sarcolemma pada ketiga jenis sel di atas merupakan membran fosfolipid lapis ganda yang
tidak dapat ditembus oleh ion-ion. Tersebar di permukaan sarcolemma tersebut rangkaian
protein-protein khusus yang berperan sebagai channel ion, co-transporter, dan active
transporter. Jalur-jalur ion tersebut memiliki fungsi untuk mempertahankan gradien konsentrasi
ion dan perbedaan muatan antara lingkungan intraseluler dan ekstraseluler.

Gambar 2.1 Struktur channel ion pada sarcolemma4

1.1. Pergerakan Ion dan Channel Ion

2
Pergerakan ion melintasi membrane sarcolemma dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu
kecenderungan energi dan permeabilitas membran terhadap ion. Dua daya utama yang
memengaruhi kecenderungan energi perpindahan ion adalah gradien konsentrasi ion dan
potensial transmembran. Molekul selalu bergerak dari area dengan konsentrasi molekul lebih
tinggi menuju area dengan konsentrasi molekul rendah. Potensial transmembran memengaruhi
pergerakan ion sesuai dengan muatannya. Ion Na+ akan memiliki kecenderungan untuk masuk ke
area di dalam sel karena memiliki konsentrasi ekstraselular yang lebih tinggi dan tertarik oleh
potensial transmembran miosit yang memiliki voltase negatif (-90mV).
Kecenderungan ion Na+ untuk masuk ke dalam sel dibatasi oleh tingkat permeabilitas
membran fosfolipid sel. Membran fosfolipid sel bersifat hidrofobik yang mencegah partikel-
partikel hidrofilik bermuatan listrik menembusnya. Permeabilitas membran bergantung pada
pembukaan dan aktivitas dari channel ion yang berada di permukaannya yang aktif dalam
kondisi tertentu. Sebagian besar channel ion terdiri dari domain transmembran berulang dan 6
segmen yang menembus membran. Segmen keempat mengandung rantai asam amino bermuatan
positif yang bereaksi dengan adanya potensial aksi dan berperan dalam kepekaan channel
terhadap aktivitas kelistrikan jantung. Sifat channel ion dibagi menjadi dua jenis berdasarkan
cara kerjanya yaitu selective dan gated. Selective channel bersifat hanya mampu dilalui oleh satu
atau beberapa jenis ion yang spesifik disebabkan oleh ukuran dan struktur channel yang hanya
bisa dilewati jenis ion spesifik. Gated channel bekerja dengan prinsip buka-tutup gerbang,
gerbang channel tersebut terbuka atau tertutup tergantung dari aktivitas kelistrikan sel jantung.
Ion hanya bisa melewati gated channel bila channel tersebut teraktivasi dan terbuka. Contoh
gated channel yang penting dalam mengatur denyut dan irama jantung adalah fast Na+ channel
yang akan terbuka apabila terjadi depolarisasi dan perubahan voltase membran fosfolipid ganda
menjadi lebih positif. Channel tersebut hanya akan terbuka sepersekian detik namun mampu
mengalirkan ion Na+ dalam jumlah yang signifikan sebelum akhirnya tertutup kembali. Fast Na+
channel akan mampu terbuka kembali setelah membran sel repolarisasi dan depolarisasi ulang.
Karakteristik khusus dari fast Na+ channel adalah apabila dibiarkan dalam kondisi depolarisasi
ringan maka channel tersebut akan terinaktivasi secara sendirinya tanpa perlu melalui
pembukaan gerbang channel terlebih dahulu. Hal tersebut bisa ditemukan pada sel-sel
pacemaker jantung (nodus SA dan nodus AV) yang memiliki voltase permukaan membran yang
lebih positif secara konstan.

1.2. Potensial Istirahat

Sel-sel jantung dalam kondisi istirahat sebelum mengalami eksitasi berada dalam
potensial istirahat yang berasal dari perbedaan muatan listrik transmembran. Potensial istirahat
dipengaruhi oleh dua faktor yaitu (1) gradien konsentrasi ion dalam dan luar sel, (2)
permeabilitas relatif dari channel ion saat kondisi potensial istirahat. Seperti pada jaringan lain
seperti sel saraf dan sel otot lurik, konsentrasi kalium sel jantung lebih tinggi di intraseluler
dibandingkan di ekstraseluler. Kondisi tersebut terjadi karena aktivitas salah satu transporter
membran, Na+K+ATPase. Transporter ini menggunakan energi yang dihasilkan dari hidrolisis
ATP untuk mengeluarkan tiga ion Na+ dari dalam sel dan memasukkan dua ion K+ ke dalam sel.
Aktivitas transporter Na+K+ATPase mempertahankan konsentrasi rendah ion Na+ intraseluler
dan konsentrasi tinggi ion K+ intraseluler.

3
Sel miosit jantung memiliki beberapa channel ion K+ yang senantiasa terbuka pada
potensial istirahat yang memperbolehkan ion K+ untuk keluar dari dalam sel. Kondisi ini
membuat membran sel jantung akan lebih permeabel terhadap ion K+ dalam potensial istirahat
guna mempertahankan kondisi muatan negatif intraseluler. Ketika ion K + keluar dari sel, protein-
protein intraseluler yang bermuatan negatif dan tidak bisa menembus membran sel membuat
kondisi intraseluler bermuatan lebih negatif dibandingkan muatan listrik ekstraseluler.
Muatan negatif intraseluler akan menarik kembali ion-ion K+ karena muatan berlawanan
akan saling tarik menarik. Kondisi keseimbangan antara keluar dan masuknya ion K + akan
menghasilkan potensial ekuilibrium/keseimbangan dengan hasil bersih perpindahan ion K+ nol.
Potensial ekuilibrium kalium dalam miosit ventrikel ±91 mV dan sangat mendekati nilai
potensial listrik pada potensial istirahat.

Gambar 2.2 Keseimbangan perpindahan ion K+ pada potensial istirahat4

Permeabilitas membran fosfolipid ganda pada ion Na+ pada saat potensial istirahat tetap
membolehkan ion Na+ masuk ke dalam sel namun sangat minim sehingga potensial istirahat sel
jantung memiliki nilai -90mV. Sebagian besar ion-ion Na+ yang masuk ke dalam sel saat
potensial istirahat akan dikeluarkan kembali melalui transporter Na+K+ATPase.

1.3. Potensial Aksi

Perubahan voltase membran sel jantung akan mengubah permeabilitas membran terhadap
ion-ion disebabkan oleh aktivitas voltage-gated channel. Masing-masing channel akan memiliki
aktivitas yang berbeda tergantung dengan progresi sinyal listrik yang terjadi. Sebelum
mendapatkan stimulasi, potensial istirahat dari sel otot jantung stabil ±90mV. Kondisi istirahat
dari sel otot jantung dsebut sebagai fase 4 dari potensial aksi. Mengikuti fase 4, terdapat 4 fase
selanjutnya yang menunjukkan aktivitas depolarisasi sel otot jantung.

Fase 0: Pada saat dalam potensial istirahat, channel Na+ dan Ca2+ pada membran
fosfolipid ganda sel jantung akan tertutup. Proses apapun yang menyebabkan perubahan
membran potensial lebih tidak negative akan menyebabkan beberapa channel Na+ terbuka
sehingga ion-ion Na+ akan masuk secara cepat ke intrasel. Masuknya ion Na+ ke dalam sel akan
menyebabkan potensial transmembran akan menjadi kurang negatif secara cepat sehingga
membuat lebih banyak channel Na+ yang terbuka dan menambah aliran masuk ion Na+ ke dalam

4
sel. Apabila voltase membran mencapai potensial threshold ±70 mV maka channel Na+ yang
terbuka akan cukup untuk menghasilkan aliran Na+ yang menghasilkan potensial bersih positif.
Aliran masuk ion Na+ akan berlangsung sangat cepat disebabkan terbukanya channel yang hanya
sepersekian detik namun sudah mampu menghasilkan aliran Na+ masuk ke dalam sel secara
signifikan dan bisa memancing terjadinya potensial aksi. Channel yang berperan besar di sini
adalah fast Na+channel.

Fase 1: Fase ini mengikuti fase 0 dengan menunjukkan aktivitas repolarisasi sesaat yang
mengembalikan potensial ke voltase 0 mV. Kondisi ini terjadi karena berhentinya aktivitas
channel Na+ disertai dengan keluarnya ion K+ menuju keluar sel melalui channel K+ yang aktif.

Fase 2: Fase 2 akan berlangsung lebih Panjang dibandingkan fase potensial aksi yang
lain. Hal ini terjadi karena terjadi keseimbangan antara keluarnya ion K+ dan masuknya ion Ca2+.
Voltase membran akan membentuk gambaran datar karena tidak terjadi perubahan voltase
membran. Aliran masuk ion Ca2+ sudah terjadi mulai fase 0 namun tidak secepat dan progresif
aliran masuk ion Na+. Ion Ca2+ melalui L-type calcium channel yang akan terbuka lebih lama
dibandingkan fast Na+ channel. Masuknya ion Ca2+ juga berperan penting dalam pengaktifan
retikulum sarkoplasma yang berperan penting dalam kontraksi otot jantung. Saat channel Ca2+
mulai tidak aktif maka aliran keluar ion K+ akan melebihi aliran masuk ion Ca2+ dan dimulailah
fase 3.

Fase 3: Fase 3 adalah fase terakhir dimana terjadi repolarisasi dan pengembalian
potensial membran sel jantung menjadi -90mV kembali. Terjadinya aliran keluar terus menerus
dari ion K+ dan minimnya permeabilitas membran untuk kation lain menyebabkan aliran muatan
bersih mengarah ke negative. Setelah voltase membran kembali ke -90mV maka sel jantung
kembali ke potensial istirahat atau fase 4. Untuk mempertahankan gradien konsentrasi maka Ca2+
dikeluarkan melalui Na+─ Ca2+exchanger dan Ca2+ATPase. Ion Na+ dan K+ akan dijaga
konsentrasinya oleh Na+K+ATPase seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

5
Gambar 2.3 Skema potensial aksi dan aliran ion4

Sistem Konduksi Khusus: Proses yang telah dijelaskan sebelumnya berlaku untuk
potensial aksi pada sel otot jantung. Pada sel-sel sistem konduksi aliran listrik jantung (contoh:
serabut Purkinje) memiliki karakteristik aktivitas serupa dengan sel otot jantung. Perbedaan
ditemukan pada potensial istirahat yang lebih bersifat negatif dan fase 0 yang berlangsung lebih
cepat.

Sel Pacemaker: Sel otot jantung tidak akan mengubah voltase membrannya dan
menghasilkan potensial aksi tanpa adanya stimulasi dari sel-sel di sekitarnya. Terdapat sel
jantung khusus yang bersifat mandiri dalam memulai potensial aksinya dan memiliki
karakteristik depolarisasi ritmis yang disebut sebagai sel pacemaker. Sel ini mengalami
depolarisasi spontan saat mencapai fase 4 tanpa menunggu stimulasi dari luar. Sel yang
menunjukkan aktivitas pacemaker adalah nodus AV dan nodus SA. Pada kondisi tertentu sel otot
atrium dan ventrikel jantung akan bersifat mandiri dan memiliki karakteristik pacemaker,
contohnya akibat efek iskemia otot jantung. Karakteristik sel-sel pacemaker adalah sebagai

berikut:
Gambar 2.4 Potensial aksi sel pacemaker4

1. Voltase negatif membran sel pacemaker maksimal adalah ±-60 mV yang kurang
negative disbanding voltase membran sel otot jantung lain. Kondisi ini menyebabkan
tidak aktifnya fast Na+ channel secara permanen.

2. Fase 4 potensial aksi sel pacemaker tidak menunjukkan gambaran datar seperti sel otot
jantung lain, namun akan menghasilkan gambaran tanjakan landai yang disebabkan
depolarisasi spontan perlahan. Depolarisasi spontan ini disebabkan oleh aliran
pacemaker (If). Menurut penelitian depolarisasi perlahan sel pacemaker disebabkan
oleh aliran masuk ion Na+ yang berbeda dengan sel otot jantung biasa dan melalui
channel yang berbeda dengan fast Na+ channel. Channel Na+ pada sel pacemaker
sudah mulai terbuka di fase 3 atau repolarisasi saat voltase negatif membran sel nyaris
mencapai nilai maksimalnya. Aliran ion Na+ yang masuk secara dini inilah yang

6
menyebabkan voltase negatif membran sel pacemaker kurang negative dibandingkan
sel otot jantung lain.

3. Tanjakan fase 0 pada potensial aksi sel pacemaker naik lebih lambat dan memiliki
amplitude yang lebih kecil daripada potensial sel otot jantung lain. Hal ini disebabkan
karena fast Na+channel yang inaktif sehingga tanjakan fase 0 bergantung pada aliran
masuk Ca2+ melalui channel lambat ion Ca2+.

Repolarisasi sel-sel pacemaker menyerupai sel jantung lainnya dengan mekanisme


inaktivasi channel ion Ca2+ dan keluarnya ion K+ dari dalam sel.

1.4. Periode Refrakter

Sel otot jantung memiliki potensial aksi yang lebih panjang dibandingkan dengan sel otot
tipe lain sehingga memiliki periode refrakter yang juga lebih panjang. Periode refrakter adalah
waktu dimana sel otot jantung belum dapat di restimulasi. Periode refrakter yang panjang
diperlukan untuk memberikan waktu terhadap ventrikel melakukan pemompaan sempurna dan
mengosongkan isinya sebelum kontraksi selanjutnya. Tingkat periode refrakter tergantung
jumlah fast Na+ channel yang dan siap aktif kembali. Periode refrakter dibagin menjadi 3 jenis
yaitu:

1. Periode refrakter absolut: sel otot jantung tidak dapat dipicu sama sekali dengan
stimulus baru.

2. Periode refrakter efektif: sel otot jantung dapat dipicu dengan stimulus baru saat
permulaan fase 3 potensial aksi namun stimulus tersebut hanya menghasilkan
potensial aksi yang sangat lemah dan tidak akan menguat.

3. Periode refrakter relative: sel otot jantung dapat dipicu dengan stimulus baru dan
menghasilkan potensial aksi yang menguat namun tidak sekuat potensial aksi normal
disebabkan karena masih adanya fas Na+ channel yang belum aktif.

4. Periode refrakter supranormal: Sel otot jantung dapat dipicu oleh stimulus yang
lebih lemah daripada seharusnya dan menghasilkan potensial aksi.

7
Gambar 2.4 Periode refrakter dan jenisnya4

1.5. Konduksi Impuls

Ketika terjadi depolarisasi impuls listrik menyebar ke stiap sel jantung dan dari satu sel
ke sel yang lain karena setiap miosit akan dihubungkan oleh gap junction dengan tahanan
rendah. Kecepatan depolarisasi jaringan dan konduksi impuls bergantung pada jumlah channel
Na+ dan voltase membran saat potensial istirahat. Jaringan dengan banyak channel Na+ seperti
serabut purkinje memiliki aliran ion Na+ yang tinggi sehingga depolarisasi dan konduksi dapat
cepat terjadi. Kondisi itu berkebalikan dengan sel-sel pacemaker yang memiliki channel Na+
inaktif sehingga depolarisasi dan penghantaran impuls lebih lambat.

1.6. Sekuens Normal Depolarisasi Jantung

Aktivasi elektrik dari denyut jantung berawal dari nodus SA. Impuls menyebar melalui
otot jantung di sekitarnya melalui gap junctions interseluler. Impuls dilanjutkan hingga mencapai
nodus AV. Jaringan ikat menyelubungi katup jantung sehingga katup jantung tidak bisa
menghantarkan impuls dan memfasilitasi impuls agar hanya melalui nodus AV dalam perjalanan
jalur impulsnya.

Ketika impuls listrik mencapai nodus AV maka aka nada penundaan penghantaran
impuls sekitar 0,1 detik. Hal ini disebabkan karena serabut penghantar impuls di nodus AV
berdiameter kecil. Penundaan penghantaran impuls di nodus AV bermanfaat karena akan
memberikan waktu atrium jantung untuk melakukan pengosongan sebelum terjadi stimulasi
ventrikel. Selain itu nodus AV akan berperan sebagai “gatekeeper” konduksi dari atrium menuju
ventrikel yang penting untuk membatasi denyut ventrikel ketika atrium memiliki denyut cepat
tidak normal.

8
2. Sindroma Brugada

Sindroma Brugada merupakan channelopathy dan kelainan aritmik jantung diturunkan.


Penyakit ini merupakan penyakit dominan autosom diturunkan. Kondisi ini ditandai dengan
kenaikan segmen ST diikuti inversi gelombang T pada sadapan prekordial kanan (V 1-V3) tanpa
ditemukan kelainan struktural jantung. Pertama kali dilaporkan pada tahun 1992, sindrom ini
berhubungan erat dengan kejadian kematian jantung mendadak/sudden cardiac death (SCD),
takikardi ventrikel (VT), atau fibrilasi ventrikel (VF).

2.1. Epidemiologi

Prevalensi terjadinya corak EKG dengan gambaran sindroma Brugada dalam populasi
orang sehat bervariasi, mulai dari 0,14% pada populasi Jepang; 0,61% pada populasi Eropa, dan
bisa mencapai setinggi 3% di daerah endemik Asia Tenggara. Angka kejadian di populasi
Amerika sekitar 0,012% hingga 0,43% tergantung jenis demografi populasi yang diteliti.
Karakteristik EKG dari Sindroma Brugada yang tidak tipikal dan dapat terselubung bila tanpa
dipicu pencetus atau dilakukan penantangan dengan obat maka cukup sulit untuk mendapatkan
prevalensi sesungguhnya pada populasi umum. Tanpa penyebab yang jelas Sindroma Brugada
lebih sering terjadi di negara-negara timur khususnya Asia Tenggara dan bersifat endemik pada
lokasi tersebut.

Sindroma Brugada ditransmisikan secara dominan autosom dari orang tua ke anaknya
dengan tingkat transmisi yang variatif. Kondisi ini bisa bersifat sporadik hingga 60% pada kasus-
kasus yang ditemukan. Pasien-pasien pada kasus yang bersifat sporadik tidak memiliki orang tua
dan kerabat yang mengalami kematian jantung mendadak, takikardi ventrikel, ataupun fibrilasi
ventrikel. Riwayat keluarga dengan kematian jantung mendadak tanpa penyebab yang jelas
dimiliki oleh 20%-40% pasien dengan Sindroma Brugada di populasi negara barat.1

Meskipun Sindroma Brugada merupakan penyakit yang diturunkan melalui gen dominan
autosom, terdapat angka kejadian yang jauh lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki
dibandingkan perempuan dengan perbandingan hingga 8:1. Belum ditemukan penjelasan
mengapa jenis kelamin laki-laki memiliki angka kejadian yang jauh lebih tinggi dibandingkan
perempuan. Kondisi tersebut sejauh ini diperkirakan dipengaruhi oleh hormon seks dan usia.
Kejadian Sindroma Brugada dengan gejala (sinkop atau henti jantung) paling banyak ditemukan
pada rentang usia dekade ketiga hingga keempat namun terdapat beberapa kasus yang
menunjukkan gejala pada usia di bawah satu tahun hingga delapan puluh tahun.1

2.2. Etiologi

Sindroma Brugada merupakan channelopathy yang menyebabkan disfungsi aliran ion


pada channel ion dan berperan dalam gangguan pembentukan potensial aksi. SCN5A, adalah gen
yang mengode subunit alfa (Nav1.5) dari channel ion Na+ jantung dan yang pertama kali
dihubungkan dengan Sindroma Brugada. Meskipun sebagian besar mutasi terjadi pada gen
SCN5A yang berhubungan dengan channel Na+, mutasi pada gen lain yang berhubungan dengan
L-type Ca2+ channel atau transient outward K+ channel juga ditemukan pada pasien-pasien
dengan Sindroma Brugada. Jenis channelopathy tersebut menunjukkan bahwa Sindroma

9
Brugada memiliki tiga fenotip yaitu yang melemahkan INa, melemahkan ICaL, dan memperkuat Ito.
Namun, mutasi gen pada Sindroma Brugada tidak bersifat prediktif dimana mutasi pada gen
berbeda dapat menimbulkan gejala yang menyerupai fenotip Sindroma Brugada. Sebaliknya,
mutasi pada gen SCN5A dapat menyebabkan sindrom lain.

Pada 18%-30% dari kasus Sindroma Brugada disebabkan oleh mutasi gen SCN5A yang
mengode subunit alfa dari channel Na+ sehingga mengganggu fungsi channel Na+. Mutasi pada
gen SCN5A lebih bersifat familial daripada sporadik. Lebih dari 200 kasus Sindroma Brugada
berhubungan dengan gen SCN5A yang menunjukkan kelainan lalu lintas ion dalam melewati
membran sel, gangguan konduksi ion, atau kelainan fungsi gating channel. Sebagian mutasi
yang terjadi adalah mutasi missense yaitu tergantinya salah satu asam amino pada gen dengan
asam amino lain. Mutasi pada gen SCN5A bisa mengurangi INa hingga 50%. Mutasi pada gen ini
juga dihubungkan pada penyakit gangguan konduksi jantung progresif (Lev-Lenegre disease)
dan penyakit lain seperti Long QT syndrome tipe 3 (LQTS3). Pasien Sindroma Brugada dengan
mutasi gen SCN5A umumnya mengalami perlambatan konduksi yang lebih lama dan bersifat
progresif, sering ditemukannya kompleks QRS berfragmen, dan aritmia ventrikel yang berasal
dari luar Right Ventricular Outflow Tract (RVOT). Gen- gen lain berhubungan dengan aliran ion
Na+ seperti gen SCN1B, SCN3B, dan GPD1L juga mengalami mutasi pada beberapa kasus
Sindroma Brugada.

Pada 11% hingga 12 % kasus Sindroma Brugada disebabkan oleh mutasi channel ion
2+
Ca yang berakibat kepada berkurangnya ICaL pada depolarisasi. Sindroma Brugada tipe 3
disebabkan oleh mutase gen CACNA1C yang mengode subunit alfa1 (Cav1.2) dari L-type
Ca2+channel. Sindroma Brugada tipe 4 disebabkan oleh mutase gen CACNB2 yang mengode
subunit beta2 (Cavβ2) dari Cav1.2 yang mengatur gating dari ICaL. Mutasi dari subunit alfa dan
beta dari channel Ca2+ akan menyebabkan interval QT lebih pendek.

Mutasi penambahan fungsi pada gen KCNE3 yang mengode subunit beta tambahan
(MiRP2) dari channel aliran keluar sementara K+ (Kv4.3), berakibat pada peningkatan arus Ito dan
menghasilkan Sindroma Brugada tipe 6.

2.3. Tanda Klinis

Pasien dengan Sindroma Brugada memiliki resiko yang sangat tinggi untuk mengalami
VT polimorfik cepat, VF, dan kematian jantung mendadak. Sinkop, pernafasan agonal, napas
berat di malam hari dengan agitasi, dan “kejang” adalah gejala yang diketahui sebelum
terjadinya kematian jantung mendadak. Sindroma Brugada adalah penyebab utama kematian
laki-laki kurang dari umur 40 tahun khususnya di negara atau daerah yang endemis. Sindroma
Brugada bertanggungjawab untuk 4% hingga 12% dari semua kejadian kematian jantung
mendadak, dan paling tidak 20% pasien yang meninggal tersebut memiliki struktur jantung yang
normal. Sindroma Brugada juga dinyatakan sebagai penyebab sudden infant death syndrome
(SIDS) dan sudden unexplained nocturnal death syndrome (SUNDS). Meskipun Sindroma
Brugada menyebabkan kondisi-kondisi di atas, sebagian besar penderita tidak memiliki gejala
atau kejadian yang mengancam nyawa, kira-kira hanya 10%-15% pasien akan mengalami satu
atau lebih episode henti jantung sebelum usia 60 tahun.

10
Aritmia jantung pada penderita Sindroma Brugada sebagian besar terjadi di dini hari saat
tidur atau dalam kondisi bradikardi. Variasi circadian dari keseimbangan simpatovagal, hormon
dan faktor metabolik lainnya dicurigai berperan dalam kecenderungan terjadinya aritmia jantung
dini hari pada penderita Sindroma Brugada. Kondisi seperti ketidakseimbangan fungsi otonom
juga turut serta dalam memicu terjadinya aritmia pada penderita Sindroma Brugada.

Beberapa episode sinkop dan kematian jantung mendadak bisa dipicu demam, makan
dalam jumlah besar (distensi gaster), keracunan alcohol dan kokain, dan juga pengaruh obat-
obatan. Sekitar 20% pasien dengan Sindroma Brugada menghasilkan aritmia supraventrikuler.
Atrioventricular nodal reentrant tachycardia dan sindrom Wolff-Parkinson-White pernah
ditemukan pada penderita Sindroma Brugada. Penelitian terbaru melaporkan bahwa terjadinya
aritmia ventrikuler berkorelasi positif dengan riwayat aritmia atrial. Pada pasien dengan indikasi
pemasangan ICD, insidensi terjadinya aritmia atrial sebanyak 27% dibanding 13% pada pasien
yang tidak terindikasi pemasangan ICD, hal ini menunjukkan bahwa terjadi proses penyakit yang
lebih kompleks pada penderita Sindroma Brugada yang pernah mengalami aritmia atrial.

Identifikasi terjadinya kelainan konduksi jantung (interval PR ≥210 ms dan interval HV


≥60 ms) berhubungan dengan mutasi pada gen SCN5A. Oleh karena itu semua pasien yang
terbukti mengalami mutasi gen SCN5A harus dimonitor secara ketat untuk kemungkinan
blokade konduksi.

2.4. Gambaran Elektrokardiografi

Kenaikan Segmen ST Sindroma Brugada

Terdapat 3 tipe gambaran EKG pada sadapan prekordial kanan yang dimiliki oleh
penderita Sindroma Brugada. Tipe gambaran EKG tersebut adalah sebagai berikut:

1. Tipe 1: gambaran EKG tipe 1 ditandai dengan kenaikan segmen ST ≥2 mm dengan


morfologi menyerupai lembah, disertai dengan right bundle branch block (RBBB)
komplit atau inkomplit dan inversi gelombang T, dengan atau tanpa pemisahan
isoelektris.

2. Tipe 2: gambaran EKG tipe 2 menyerupai gambaran bentuk pelana kuda dengan
kenaikan segmen ST ≥2 mm dengan gelombang T yang terinversi atau bifasik.

3. Tipe 3: gambaran EKG tipe 3 dapat menunjukkan gambaran lembah atau pelana kuda
dengan kenaikan segmen ST yang lebih minimal yaitu ≤2 mm.

Dalam kepentingan penegakan diagnosis hanya gambaran EKG tipe 1 yang menegakkan
diagnosis Sindroma Brugada, sedangkan gambaran tipe 2 dan 3 hanya bersifat meningkatkan
kecurigaan namun tidak spesifik. Pemasangan sadapan prekordial kanan secara lebih superior

11
(hingga ICS 2) dapat meningkatkan sensitivitas pendeteksian gambaran EKG tipe 1, baik dengan
tantangan obat atau tidak.

Keberadaan gambaran EKG tipe 1 bersifat dinamis, dan jarang ditemukan pasien dengan
gambaran EKG yang sama setiap waktu. Untuk itu penting dilakukan perekaman EKG serial
atau penggunaan monitor Holter untuk mengantisipasi perubahan gambaran EKG yang
berbahaya khususnya saat dini hari ketika terjadi perubahan fungsi otonom.

Gambaran EKG Sindroma Brugada apabila tidak nampak atau terselubung dapat
dicetuskan atau dipicu oleh kondisi-kondisi tertentu seperti stress, demam, stimulus vagal, agen
vagotonic, kombinasi glukosa dan insulin, hyperkalemia, hypokalemia, hiperkalsemia, keracunan
alcohol dan kokain, obat anti aritmia kelas I, dan beberapa obat non kardiak lainnya.

Pemanjangan Interval QT Sindroma Brugada

Sedikit pemanjangan interval QT biasanya ditemukan pada pasien Sindroma Brugada


dengan kenaikan segmen ST. Pemanjangan interval QT lebih Nampak dan lebih Panjang pada
EKG di sadapan prekordial kanan dibanding sadapan prekordial kiri, kemungkinan disebabkan
karena pemanjangan potensial aksi di ventrikel kanan yang disebabkan oleh penguatan takik
potensial aksi.

Fragmentasi Kompleks QRS Sindroma Brugada

Fragmentasi kompleks QRS (beberapa puncak dalam satu kompleks) ditemukan di 40%
pasien Sindroma Brugada. Pembentukan kompleks QRS seperti ini diduga disebabkan oleh
adanya substrat aritmogenik yang beresiko tinggi menimbulkan aritmia ventrikuler. Sebagian
besar fragmentasi kompleks QRS ditemukan pada sadapan prekordial kanan yang diduga
menunjukkan kelainan konduksi pada daerah RVOT. Gelombang menyerupai gelombang epsilon
dan pemanjangan kompleks QRS di sadapan prekordial kaanan juga ditemukan pada beberapa
pasien.

Abnormalitas Konduksi

Kelainan depolarisasi pada Sindroma Brugada yang termasuk di dalamnya pemanjangan


gelombang P, interval PR, dan durasi QRS sering ditemukan khususnya pada pasien yang
mengalami mutasi SCN5A. Pemanjangan interval PR menunjukkan terjadi perlambatan konduksi
HV. Selain itu perlambatan pemulihan dan durasi konduksi sinus SA, perlambatan konduksi
atrial, dan standstill atrial juga dilaporkan berhubungan dengan sindroma ini.

Tes Aktivitas Fisik

Tes treadmill memiliki potensi untuk memperparah abnormalitas EKG pada Sindroma
Brugada seperti pelebaran kompleks QRS, pemanjangan durasi QTc, dan penguatan kenaikan
segmen ST. Namun tes ini tidak dilaporkan meningkatkan kemungkinan terjadinya aritmia pada
penderita Sindroma Brugada.

12
Gambar 2.5 Pola EKG Sindroma Brugada

13
2.5. Patofisiologi Sindroma Brugada

2.5.1. Mekanisme Pembentukan Pola EKG pada Sindroma Brugada

Perubahan pada segmen ST dan gelombang T pada Sindroma Brugada disebabkan karena
terjadinya perubahan signifikan pada proses repolarisasi ventrikel, khususnya pada hubungan
repolarisasi endokardium dan epikardium. Perubahan tingkat seluler yang terjadi pada proses
tersebut berhubungan dengan hilangnya fungsi normal channel Na+ (mengurangi INa) yang
mengubah morfologi potensial aksi di endokardium dan epikardium.

Ito merupakan aliran ion yang penting dalam proses repolarisasi. Fungsi aliran ion
tersebut adalah membentuk fase 1 potensial aksi, menentukan tinggi dataran fase 2 yang
membuat timbulnya gambaran takik potensial aksi, dan bersama aliran Ca 2+ membentuk
gambaran “spike & dome” dari fase 2. Channel untuk Ito memiliki jumlah yang berbeda di
masing-masing daerah jantung, ditemukan paling banyak di ventrikel kanan, epikardium, dan
dasar jantung. Potensial aksi di daerah yang kaya akan channel Ito yang salah satunya adalah
epikardium akan membuat terjadinya potensial transmural terhadap endokardium dan
ditunjukkan oleh gambaran gelombang J pada EKG.

Malfungsi channel INa menyebabkan menguatnya takik repolarisasi yang disebabkan oleh
Ito. Kondisi tersebut menyebabkan hilangnya sebagian atau seluruh “kubah” potensial aksi,
mempertajam takik repolarisasi, repolarisasi dini, dan hilangnya modulasi voltase yang
mengurangi ICaL. Kondisi ini sangat memengaruhi daerah-daerah jantung yang kaya akan
channel Ito (contohnya adalah RVOT). Endokardium yang memiliki lebih sedikit channel Ito tidak
mengalami perubahan signifikan pada potensial aksi yang dibentuknya meskipun terjadi
malfungsi INa. Perubahan ini berpengaruh pada EKG yang akan menunjukkan gambaran
repolarisasi, naiknya titik J, melandainya bagian akhir dari kompleks QRS, dan timbulnya
kenaikan segmen ST. Semakin tingginya aliran ion repolarisasi akan semakin membentuk
perbedaan repolarisasi endokardium dan epikardium dan menghasilkan gambaran EKG patologis
yang lebih jelas. Malfungsi dari INa juga memperlambat pembentukan fase 0 potensial aksi yang
berujung pada perlambatan konduksi atrial dan ventrikular.

2.5.2. Mekanisme Aritmia Ventrikuler pada Sindroma Brugada

Terjadinya perbedaan repolarisasi dari endokardium dan epikardium dimana epikardium


mengalami repolarisasi terlalu dini akan memancing terjadinya eksitasi reentrant yang berasal
dari endokardium dengan lokasi tersering di RVOT. Seperti penjelasan di atas gangguan aliran
INa dan menguatnya repolarisasi yang disebabkan oleh Ito menyebabkan “kubah” potensial aksi
yang relative normal di endokardium disebarkan ke arah epikardium yang mengalami
repolarisasi dini. Kondisi ini akan menghasilkan gambaran gelombang ekstrasistol yang bisa
memicu terjadinya VT polimorfik bahkan VF.

Meskipun yang menjadi penyebab utama dalam pembentukan aritmia di sindroma


Brugada adalah kelainan repolarisasi, kelainan depolarisasi yang diakibatkan lambatnya fase 0

14
akan menentukan perburukan dari gambaran EKG Sindroma Brugada. Perlambatan konduksi
yang disebabkan lambatnya pembentukan fase 0 potensial aksi akan mempertahankan bahkan
memperburuk aritmia yang terjadi dan mampu mengubah VT menjadi VF.

Gambar 2.6 Perbandingan potensial aksi pada endokardium dan epikardium dengan
provokasi Pinacidil

15
Gambar 2.7 Mekanisme aritmia Sindroma Brugada

2.5.3. Mekanisme Efek Usia dan Jenis Kelamin pada Sindroma Brugada

Efek jenis kelamin pada fenotipe Sindroma Brugada (lebih banyak terjadi pada laki-laki
dibanding perempuan) diduga disebabkan perbedaan intrinsik dari ekspresi channel Na+ dan
lebih tingginya Ito pada laki-laki atau lebih disebabkan pengaruh hormonal. Penelitian
melaporkan bahwa hormone estrogen menekan ekspresi channel K+ sehingga mengurangi Ito,
sedangkan testosteron memperkuat Ito.

2.5.4. Mekanisme Sensitivitas Temperatur pada Sindroma Brugada

Mekanisme pasti temperatur memicu aritmia pada Sindroma Brugada masih belum
diketahui secara pasti. Mutasi gen pada Sindroma Brugada diduga dapat memengaruhi
sensitivitas fast Na+ channel pada temperatur. Selain itu kenaikan temperature diduga akan
menyebabkan percepatan inaktivasi channel Na+ dan pemulihan channel Na+ berujung pada
turunnya INa, pertajaman tukik repolarisasi potensial aksi, dan memperparah Sindroma Brugada.

2.5.5. Mekanisme Pengaruh Aktivitas Fisik pada Sindroma Brugada

Mekanisme pengaruh aktivitas fisik terhadap Sindroma Brugada bersifat kompleks


karena melibatkan faktor genetic-molekuler yang berbeda-beda. Tes aktivitas fisik mampu
memperparah gambaran EKG Sindroma Brugada namun diduga membutuhkan dukungan faktor
lain seperti system saraf otonom dan ketidakseimbangan aliran ion. Namun, belum didapatkan
bukti bahwa aktivitas fisik bisa memancing terjadinya aritmia.

Sindroma Brugada dengan mutasi gen SCN5A akan mengalami penurunan INa dalam
kondisi takikardia yang disebabkan oleh akumulasi dari channel Na+ abnormal dalam kondisi
penurunan fungsi atau inaktif. Secara fisiologis, channel Na+ butuh waktu pemulihan yang terjadi
selama interval diastolik. Ketika terjadi denyut jantung yang cepat maka waktu interval diastole
akan memendek dan channel Na+ akan mengalami kesulitan dalam pemulihan fungsinya. Hal ini
mengakibatkan saat siklus kontraksi jantung berjalan lagi jumlah channel Na+ yang aktif akan
semakin sedikit.

2.5.6. Mekanisme Pengaruh Obat pada Sindroma Brugada

Agen farmakologis yang menghambat INa tanpa menghambat Ito (flecainide, ajmaline, dan
procainamide) akan semakin mengurangi INa yang sudah berkurang dalam kondisi Sindroma
Brugada. Fakta ini menjelaskan mengapa obat golongan penghambat channel Na+ digunakan
untuk memancing timbulnya gambaran EKG Sindroma Brugada yang tersembunyi namun
dengan resiko terjadinya aritmia. Berbeda dengan obat-obatan yang menghambat I Na relatif kuat
menghambat Ito seperti quinidine akan mengurangi gambaran kenaikan segmen ST dan
kemungkinan terjadinya aritmia ventrikular pada Sindroma Brugada.

16
Stimulasi beta-adrenergik memicu peningkatan ICaL dan mengurangi aliran ion Ca2+ keluar
sehingga akan menguraangi gambaran kenaikan segmen ST pada sadapan prekordial kanan yang
menjadikan dasar dari keuntungan terapeutik pemberian isoproterenol dalam mencegah aritmia
pada penderita Sindroma Brugada dalam kondisi electrical storm. Fungsi agonis beta ditemukan
pada pemberian asetilkolin yang memperkuat hilangnya “kubah” potensial aksi dengan menekan
aliran ICaL dan/atau memperkuat arus K+.

2.6. Diagnosis Sindroma Brugada

2.6.1. Kriteria Diagnosis

Diagnosis Sindroma Brugada dapat ditegakkan secara klinis berdasarkan kriteria


diagnosis klinis gambaran EKG Sindroma Brugada tipe 1 disertai dengan paling tidak salah satu
kriteria di bawah ini:

1. Terjadinya VF yang terekam.

2. Terjadinya VT polimorfik.

3. Riwayat keluarga dengan kematian jantung mendadak tanpa penyebab yang jelas di
usia kurang dari 45 tahun.

4. Riwayat keluarga dengan gambaran EKG kenaikan segmen ST menyerupai lembah.

5. Timbulnya VT dengan stimulasi elektris terprogram.

6. Sinkop

7. Pernafasan agonal nokturnal.

Diagnosis Sindroma Brugada juga dapat dipertimbangkan positif bila ditemukan


gambaran EKG tipe 2 atau tipe 3 dalam kondisi baseline di lebih dari satu sadapan prekordial
kanan atau berubahnya gambaran EKG tersebut menjadi tipe 1 dengan provokasi penghambat
channel Na+. Perubahan EKG menjadi gambaran EKG sindroma Brugada tipe 2 atau 3 dimana
sebelumnya tidak ditemukan gambaran tersebut bersifat inkonklusif untuk penegakan diagnosis
Sindroma Brugada.

2.6.2. Tes Provokasi Obat

Gambaran EKG Sindroma Brugada tersembunyi dapat ditampakkan dengan pemakaian


penghambat channel Na+ yang kuat (agen kelas IA atau IC). Tes provokasi obat jarang dilakukan
pada pasien yang menghasilkan gambaran EKG Sindroma Brugada tipe 1 spontan dan tidak akan
dilakukan apabila tidak memiliki manfaat diagnostik ataupun prognostik. Perlu diingat bahwa
pemberian agen penghambat channel Na+ mampu memprovokasi terjadinya aritmia.

17
Tes provokasi obat melibatkan pemberian ajmaline, flecainide, procainamide, atau
pilsacainide dengan monitoring ketat dengan alat resusitasi sudah siap. Pada tata laksana di
Amerika adiministrasi intravena hanya menggunakan procainamide meskipun dalam konsensus
dinyatakan bahwa pemakaian ajmaline dan flecainide lebih aman karena waktu paruh yang lebih
pendek.

Tes provokasi dihentikan apabila terdapat hal-hal di bawah ini:

1. Gambaran EKG Sindroma Brugada tipe 1 sudah nampak

2. Kenaikan segmen ST pada gambaran EKG Sindroma Brugada meningkat setinggi


minimal 2 mm dari baseline.

3. Timbul PVC atau bentuk aritmia yang lain.

4. Kompleks QRS melebar 30% atau lebih dari baseline.

Meskipun melakukan tes provokasi obat umumnya aman, masih ada kemungkinan
terpancingnya bentukan aritmia maligna atau blok AV, khususnya pada pasien yang memiliki
gangguan konduksi intraventrikuler sebelumnya atau perlambatan konduksi AV infranodal.
Isoproterenol dan sodium laktat adalah antidotum pilihan dalam kondisi tersebut. Sensitivitas dan
Spesifisitas penggunaan flecainide dalam penegakan diagnosis Sindroma Brugada adalah sekitar
77% dan 80%. Perlu diketahui bahwa quinidine yang tergolong pada penghambat channel Na+
golongan IA akan menurunkan kenaikan segmen ST karena juga memiliki mekanisme
menurunkan Ito

Jenis Obat Dosis dan Cara Pemberian

Ajmaline 1mg/kgBB IV selama 5 menit

Flecainide 2 mg/kgBB selama 10 menit maksimal 150 mg IV, atau 400 mg oral

Procainamide 10 mg/kgBB IV selama 10 menit

Pilsicainide 1 mg/kg IV selama 10 menit


Tabel 2.1 Obat-obatan tes provokasi Sindroma Brugada

18
Gambar 2.7 Gambaran EKG Sindroma Brugada sebelum dan sesudah dilakuakan
provokasi menggunakan flecainide

2.6.3. Tes Genetik

Tes genetik diagnostik dapat dilakukan pada pasien Sindroma Brugada yang memiliki
gejala klinis. Namun, dengan diketahuinya profil genetik pasien tidak akan membantu dalam
menentukan prognosis dan penatalaksanaan. Manfaat dari tes genetik adalah untuk mengetahui
kemungkinan anggota keluarga yang memiliki resiko mengalami Sindroma Brugada meskipun
tidak menunjukkan gejala dan memiliki gambaran EKG normal. Hasil tes genetik yang negatif
tidak mengeksklusikan kemungkinan Sindroma Brugada. Skrining gen SCN5A secara acak pada
pasien Sindroma Brugada memiliki hasil yang minimal dan membutuhkan biaya besar. Kelainan
gen SCN5A hanya ditemukan pada 13% pasien Sindroma Brugada dengan gambaran EKG tipe 1
dengan atau tanpa provokasi obat, 4% pada penderita Sindroma Brugada dengan EKG tipe 2 dan
3, dan hanya 2% pada pasien dengan VF idiopatik atau yang memiliki riwayat keluarga dengan
kematian jentung mendadak. Data tersebut menunjukkan bahwa skrining genetik memberikan
manfaat lebih banyak pada pasien Sindroma Brugada dengan EKG tipe 1 dan pemanjangan
interval PR.

19
2.7. Diagnosis Banding Sindroma Brugada

Banyak agen farmakologis yang menghasilkan kenaikan segmen ST menyerupai


Sindroma Brugada, namun kemampuan memicu aritmia dari agen tersebut masih dipertanyakan.
Secara umum, faktor-faktor yang memperbanyak aliron ion keluar atau mengurangi aliran ion
masuk pada akhir dari fase 1 potensial aksi bisa berpotensi untuk memperkuat atau membentuk
gambaran kenaikan segmen ST menyerupai Sindroma Brugada.

Di antara obat-obatan antiaritmia, obat-obatan yang tergolong kelas IC (flecainide,


propafenone, pilsicainide) paling efektif memperkuat kenaikan segmen ST akibat kemampuan
menghambat INa. Di sisi lain, obat-obatan jenis yang sama pada kelas IA (ajmaline,
procainamide, disopyramide) memiliki kemampuan menghambat INa lebih lemah sehingga akan
menghasilkan gambaran kenaikan segmen ST yang lebih lemah dibandingkan yang dihasilkan
obat-obatan kelas IA. Selain itu obat-obatan antiaritmia kelas IC juga memiliki mekanisme
menghambat Ito yang mampu menutupi mekanisme penghambatan INa dan berpengaruh pada
gambaran kenaikan segmen ST yang dihasilkan. Obat antiaritmia kelas IB (lidokain, mexiletine)
menghambat fast Na+ channel utamanya pada takikardia sehingga obat kelas ini memiliki
manfaat yang minimal menghasilkan gambaran kenaikan segmen ST pada denyut jantung yang
normal atau lambat.

Beberapa obat psikotropika dilaporkan dapat menunjukkan gambaran kenaikan segmen


ST seperti Sindroma Brugada, umumnya pada kondisi overdosis. Obat-obatan lain yang bisa
menghasilkan gambaran EKG menyerupai kenaikan segmen ST Sindroma Brugada adalah
verapamil, lithium, antihistamin H1, propofol, keracunan alcohol, keracunan kokain,
kemungkinan nitrat, agen vagomimetik, dan penghambat beta. Apakah efek obat-obat di atas
(selain golongan antiaritmia yang bersifat diagnostik) benar-benar bisa menunjukkan penyakit
Sindroma Brugada atau hanya menghasilkan gambaran EKG yang menyerupainya saja masih
belum diketahui. Prognosis pasien tanpa gejala dengan gambaran EKG menyerupai Sindroma
Brugada yang dipengaruhi obat namun tanpa riwayat keluarga yang mendukung, umumnya baik
selama obat dihentikan dan pasien memang benar-benar tidak memiliki Sindroma Brugada.

Selain gambaran EKG menyerupai sindroma Brugada yang dipengaruhi obat terdapat
beberapa kondisi patologis dan fisiologis yang mampu menghasilkan gambaran EKG serupa.
Beberapa kondisi yang bisa menghasilkan gambaran EKG menyerupai Sindroma Brugada adalah
RBBB atipikal, hipertropi ventrikel kiri, emboli paru, pericarditis akut, berbagai gangguan
system saraf sentral atau otonom, hyperkalemia, hiperkalsemia, ARVD, kompresi mekanis
RVOT, pectus excavatum, hipertermia, dan hipotermia. Infark miokard akut di daerah RVOT
bisa menghasilkan gambaran kenaikan segmen ST menyerupai Sindroma Brugada. Beberapa
gambaran EKG pasca kardioversi menggunakan arus DC dapat menyerupai gambaran EKG
Sindroma Brugada. Sindroma repolarisasi dini juga dapat menghasilkan gambaran EKG
menyerupai Sndroma Brugada. Kenaikan segmen ST pada atlet yang sehat tidak akan
menghasilkan respon terhadap pemberian penghambat channel Na+.

2.8. Stratifikasi Resiko

20
Pasien Sindroma Brugada yang mengalami kematian jantung mendadak yang berhasil
ditangani adalah kelompok pasien dengan resiko rekurensi tertingi (69% dalam rentang waktu 54
bulan±54 bulan dari follow-up). Pasien dengan gambaran klinis sebatas sinkop atau gambaran
EKG tipe 1 memiliki kemungkinan rekurensi hingga 19% dalam 26 bulan±36 bulan follow-up.
Penentuan prognosis dan stratifikasi resiko pada pasien tanpa gejala sampai saat ini masih
menjadi bahan perdebatan dan kontroversi. Beberapa penelitian melaporkan bahwa jenis kelamin
laki-laki dengan gambaran EKG Sindroma Brugada tipe 1 memiliki resiko yang lebih besar
untuk mengalami kegawatan jantung. Penelitian-penelitian tersebut juga melaporkan bahwa
pasien tidak bergejala yang gambaran EKG Sindroma Brugada yang dimilikinya hanya muncul
dengan provokasi penghambat channel Na+ memiliki resiko aritmia yang rendah.

Kasus-kasus Sindroma Brugada yang bersifat familial tidak ditemukan memiliki


prognosis yang lebih buruk daripada kasus berjenis sporadik, sehingga memiliki riwayat
keluarga dengan Sindroma Brugada tidak menentukan outcome perjalanan penyakit. Penelitian
juga melaporkan jika terdapat riwayat keluarga yang memiliki genotipe mutasi SCN5A tidak
menjadi penentu outcome yang buruk pada pasien tanpa gejala. Kepentingan induksi aritmia
vemtrikel untuk memberikan manfaat terhadap prediksi prognosis masih menjadi bahan
perdebatan dan belum menemukan titik temu. Hal tersebut disebabkan oleh hasil penelitian yang
menunjukkan hasil variatif yang mungkin disebabkan karakteristik sampel yang berbeda-beda,
kriteria diagnosis yang berbeda, atau protokol induksi yang tidak terstandar.

Pasien-pasien yang memiliki gambaran EKG tipe 2 dan tipe 3 yang tidak mengalami
konversi gambaran EKG menjadi EKG tipe 1 umumnya memiliki prognosis yang baik, Namun
hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa pasien-pasien Sindroma Brugada dengan gambaran
EKG non-tipe 1 akan memiliki prognosis yang kurang lebih sama dengan pasien dengan
gambaran EKG tipe 1 spontan ataupun yang terpancing dengan obat.

2.9. Tata Laksana

2.9.1. Non-Medikamentosa

Menurut penelitian terbaru, penatalaksanaan yang telah terbukti bermanfaat bagi


Sindroma Brugada adalah pemasangan Implantable Cardioverter Defibrillator (ICD). Konsensus
merekomendasikan pemasangan ICD pada pasien-pasien Sindroma Brugada dengan gambaran
EKG tipe 1 dan riwayat kematian jantung mendadak atau gejala khas seperti sinkop, kejang, atau
pernapasan agonal denga syarat penyebab lain telah dikesampingkan. Efektifitas pemasangan
ICD penggunaan ICD adalah 18%, 24%, 32%, 36%, dan 38% pada rentang follow up pada tahun
1, 2, 3, 4, dan 5. Pemasangan ICD harus deprogram secara hati-hati dan seksama agar tidak
menimbulkan aktivasi shock pada saat tidak tepat, terlebih sering terjadi aritmia atrial pada
pasien-pasien dengan sindroma ini. Pemrograman zona VF pada denyut jantung ≥210x/menit
dan zona monitoring pada denyut jantung ≥180x/menit sangat disarankan.

Belum ada konsensus yang menentukan penatalaksanaan secara spesifik untuk penderita
Sindroma Brugada tanpa gejala. Para ahli menyarankan dilakukan follow-up rutin jangka pendek,
saran lain menyebutkan perlunya evaluasi induksi VT/VF dengan stimulasi untuk menentukan
stratifikasi resikonya dan menentukan perlu tidaknya dilakukan pemasangan ICD pada pasien

21
yang menunjukkan gambaran EKG tipe 1. Perlu diketahui bahwa pemasangan ICD juga
memiliki resiko komplikasi, Laporan menunjukkan bahwa terjadinya kesalahan shock terjadi 2.5
kali lebih sering dibanding penghantaran shock yang tepat. Pelaporan tersebut menunjukkan
diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai stratifikasi resiko pasien-pasien Sindroma Brugada
tanpa gejala. Pasien dengan gambaran EKG dasar normal dan tidak merespon dengan induksi
VT/VF cukup dilakukan edukasi dan control rutin.

Pasien Sindroma Brugada yang memiliki frekuensi episode VT/VF, seringnya didasari
dengan PVC monomorfik di RVOT atau jaringan Purkinje RV. Ablasi RF fokal dari PVC
bermanfaat untuk mengurangi aritmia dan beban ICD. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa
ablasi ekstensif dari epikardium RVOT bisa merubah corak EKG menjadi normal dan
menghilangkan episode VT/VF.

2.9.2. Medikamentosa

Sampai saat ini belum ditemukan terapi farmakologis untuk mencegah kematian jantung
mendadak pada pasien Sindroma Brugada. Ito yang berperan kuat dalam aritmogenesis membuat
obat-obatan yang bisa menghambat Ito bersifat protektif. Selain itu, obat-obatan yang
memperkuat ICaL menunjukkan nilai terpeutik yang baik. Kedua jenis obat ini menunjukkan
mampu mengembalikan kubah potensial aksi epikardium di RV sehingga menormalkan segmen
ST dan mencegah reentry fase 2 yang memicu VT. Meskipun belum banyak bukti ilmiah yang
menunjukkan manfaat jangka panjang pencegahan kematiaan jantung mendadak dari kedua jenis
obat, penggunaannya disarankan khususnya bagi pasien yang bukan kandidat pemasangan ICD,
pasien yang sering mengalami kesalahan dalam terapi ICD, dan pasien yang mengalami VF
storm. Kedua jenis obat ini juga dapat diberikan pada masa awal penggunaan ICD apabila
ditemukan respon pasien baik. Penelitian lebh lanjut mengenai pengobatan farmakologis oran
SIndroma Brugada perlu dilakukan guna mencapai kesimpulan terapi yang pasti.

Quinidine, penghambat channel Na+ memiliki efek yang relative kuat dalam memblokade
Ito dan efektif dalam mengurangi sensitifitas induksi aritmia. Denopamin, sebuah stimulant
alfa/beta adreergik juga berpotensi efektif sebagai terapi kronis, kemungkinan dengan
mekanisme memperkuat ICaL. Cilostazol, penghambat fosfodiesterase III yang memeperkuat ICaL
dilaporkan efektif dalam menekan kejadian VF di Sindroma Brugada. Bepridil juga ditemukan
memiliki kemampuan blokade Ito. Tedisamil obat eksperimental yang memblokade Ito tanpa
mengganggu aliran ion masuk ke dalam sel mungkin ke depannya dapat menjadi opsi
pengobatan.

Isoproterenol, agonis beta-adrenergik dilaporkan dapat mengurangi kenaikan segmen ST


dan mengurangi VF berulang. Salah satu penelitian menemukan bahwa lima dari tujuh pasien
berhasil ditangani dengan pemberian isoproterenol. Hal yang perlu dipertimbangkan adalah
apabila isoproterenol dihentikan maka aritmia cenderung akan kembali dan durasi pemberian
isoproterenol cukup panjang (rata-rata 20 hari). Sebelum pemberian isoproterenol harus
dipastikan terlebih dahulu bahwa penyebab VF adalah murni karena Sindroma Brugada.
Pemberian isoproterenol pada VF karena penyebab lain bisa memperparah VF.

22
Mexiletine, penghambat channel Na+ kelas IB memiliki karakteristik seebagai terapi pada
mutasi spesifik pada pasien-pasien dengan mutasi gen SCN5A. Mexiletine akan menempel secara
spesifik pada protein mutan pada sarkolema dan mampu memperbaiki I Na. Maeskipun begitu
kegunaan agen ini masih dipertanyakan karena memiliki efek hambatan channel Na+ yang bisa
memperparah gambaran EKG pada penderita Sindroma Brugada.

Obat-obat yang perlu dihindari pada kasus Sindroma Brugada adalah obat antiaritmia
(kelas IA dan IC), penghambat beta, antidepresan trisklik, anestesi local, analgesic opioid,
propofol, pemicu channel K+, lithium, kokain, agonis adrenergic alfa, agen vagomimetic.
Penggunaan obat lain khususnya pengurang gejala yang memicu aritmia sangat disarankan untuk
diberikan.

2.9.3. Edukasi

Meskipun hubungan antara aktivitas fisik dengan kematian jantung mendadak masih
belum terlalu jelas, pembatasan keikutsertaan pada olahraga kelas IA boleh dianjurkan, terlebih
lagi apabila olahraga tersebut rawan untuk memancing hipertermia yang bisa memacu aritmia.
Pasien dengan pemasangan ICD juga disarankan untuk menghindari olah raga kelas IA.

Sebagian besar penderita Sindroma Brugada mendapatkan mutase genetik yang


diturunkan dari orang tuanya. Sindroma Brugada yang diturunkan secara autosomal dominan
akan membuat anak dari penderita Sindroma Brugada memiliki kemungkinan 50% mendapatkan
mutasi. Terdapat kondisi langka dimana mutasi terjadi tanpa diturunkan sehingga mutase terjadi
secaa spontan/de novo. Sulitnya mendeteksi riwayat keluarga pada Sindroma Brugada bisa
disebabkan oleh beberapa faktor seperti orang tua yang meninggal lebih awal sebelum
menunjukkan gejala peringatan, onset munculnya gejala yang terlambat. Oleh karena itu, tidak
ada riwayat keluarga dengan Sindroma Brugada tidak mengesampingkan kemungkinan adanya
penyakit. Pemeriksaan EKG rutin setiap satu sampai dua tahun bagi orang dari kelompok
beresiko sangat disarankan. Pemeriksaan EKG yang kurang sensitif dapat didukung dengan
pemeriksaan genetik.

23
BAB III

LAPORAN KASUS

3. Status Pasien

3.1. Identitas Pasien

1. Nama : Tn. J
2. Jenis Kelamin : Laki-laki
3. Umur : 33 tahun
4. Alamat : Gunung Kidul Semin
5. Suku : Jawa
6. Agama : Islam
7. Tanggal MRS : 13 Maret 2018
8. No. Rekam Medis : 236877

3.2. Anamnesis

 Keluhan Utama : Nyeri dada


 Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang dengan keluhan nyeri dada kiri sejak ± 1 jam SMRS. Keluhan timbul saat
beraktivitas ringan dan mendadak. Nyeri dada dirasakan seperti ditusuk dan ditekan. Keluhan
tidak menghilang saat istirahat. Keluhan tidak menjalar ke tangan kiri, leher, punggung, atau ulu
hati. Keluhan yang timbul tidak semakin parah dengan berjalannya waktu. Keluhan tidak disertai
dengan penurunan kesadaran, sesak, keringat dingin, mual, dan muntah. Pasien tidak memiliki
keluhan serupa sebelumnya.
Pasien merupakan seorang perokok aktif yang sudah merokok > 10 tahun dan pasien
tidak mengetahui secara pasti mulai merokok pada usia berapa. Pasien tidak mengonsumsi
alkohol. Pasien jarang mengonsumsi makanan-makanan berlemak. Pasien jarang berolahraga.
Pasien belum pernah melakukan general check-up sebelumnya. Pasien mengaku tidak memiliki
kencing manis dan darah tinggi.

24
 Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya.

 Riwayat Pengobatan

Pasien tidak memiliki riwayat pengobatan jangka lama.

 Riwayat Atopi atau Alergi

Pasien tidak memiliki riwayat alergi.

 Riwayat Keluarga

Riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskuler tidak ada. Keluarga yang meninggal
dengan penyebab tidak diketahui tidak ada.

3.3. Pemeriksaan Fisik

 Keadaan Umum : tampak sakit berat


 Kesadaran : Compos Mentis
 Tanda Vital :
o Tekanan Darah : 120/80 mmHg
o Nadi : 78x/menit
o Respirasi : 20x/menit
o Suhu : 36o C
 Head to Toe Examination
o Kepala :
 Bentuk dan Ukuran : normal, deformitas (-)
 Rambut : hitam, tidak mudah rontok
 Mata :
 Konjungtiva anemis -/-

25
 Sklera ikterus -/-
 Edema palpebra -/-
 Refleks cahaya +/+
o Hidung : sekret (-), pernapasan cuping hidung (-)
o Telinga : sekret (-)
o Mulut : mulut kering dan pecah-pecah, ulkus (-)
o Faring : d.b.n.
o Tonsil : T2/T2, hiperemis (-)
o Leher :
 KGB : d.b.n.
o Toraks :
 Bentuk : normal dan simetris
 Jantung :
 Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
 Palpasi : iktus kordis teraba pada 2 cm lateral dari
midclavicular line setinggi ICS 5
 Perkusi : batas jantung d.b.n.
 Auskultasi : S1S2 tunggal regular, suara tambahan (-)
 Paru :
Kanan Kiri
I : simetris, retraksi I : simetris, retraksi
Depan
subkostal (-) subkostal (-)
P : fremitus raba (+) dbn P : fremitus raba (+) dbn
P : Sonor P : Sonor
A :Ves + Rh - ; Wh - A :Ves + Rh - ; Wh -
Belakang I : simetris, retraksi (-) I : simetris, retraksi (-)
P : fremitus raba (+) dbn P : fremitus raba (+) dbn
P : Sonor P : Sonor
A :Ves + Rh - ; Wh - A :Ves + Rh - ; Wh -

o Abdomen :
 Inspeksi : datar

26
 Auskultasi : BU (+) N
 Perkusi : timpani
 Palpasi : hepar & lien d.b.n.; tidak ada nyeri tekan
o Ekstremitas :
 Ekstremitas atas : hangat, edema -/-
 Ekstremitas bawah : hangat, edema +/+ (pitting)

3.4. Diagnosis Banding

1. Angina Stabil

2. Sindroma Koroner Akut

3. Sindroma Brugada

3.5. Pemeriksaan Penunjang

 Darah Lengkap
o Hb : 17,6 g/dL
o Leukosit : 5600/µL
o Trombosit : 308.000/ µL
o PCV : 54,6%
 Hitung Jenis
o Eosinofil :5
o Basophil :1
o Stab :-
o Segmen : 55
o Monosit : 11
o Limfosit : 28
 Faal Ginjal
o S. Kreatinin : 1,16
o BUN : 17,3
o Asam Urat : 5,8

27
 Glukosa Darah
o KGA : 98 mg/dL

 Faal Hati
o SGOT (AST) : 18 U/L
o SGPT (ALT) : 26 U/L
 EKG

o Irama : Normal Sinus


o Frekuensi : 72-73x/menit
o Aksis : d.b.n.
o Gelombang P : d.b.n.
o Interval PR : d.b.n.
o Kompleks QRS : d.b.n.
o Segmen ST : terjadi kenaikan di V1-V3 dengan gambaran saddleback
dengan kenaikan ≥ 2mm

28
o LVH/RVH : (-)/(-)
o Gelombang T : Inversi gelombang T pada V1-V3

 Ekokardiografi
o Dimensi ruang jantung normal
o LVH (-)
o Fungsi sistolik LV global dan segmental normal EF 69%
o Fungsi diastolik LV normal
o Kontraktilitas RV normal
o PH (-)

3.6. Resume

Pasien datang dengan keluhan nyeri dada kiri sejak ± 1 jam SMRS. Keluhan timbul saat
beraktivitas ringan dan mendadak. Nyeri dada dirasakan seperti ditusuk dan ditekan. Keluhan
tidak menghilang saat istirahat. Keluhan tidak menjalar ke tangan kiri, leher, punggung, atau ulu
hati. Keluhan yang timbul tidak semakin parah dengan berjalannya waktu. Keluhan tidak disertai
dengan penurunan kesadaran, sesak, keringat dingin, mual, dan muntah. Pasien tidak memiliki
keluhan serupa sebelumnya. Pasien memiliki faktor resiko sebagai perokok aktif. Riwayat
keluhan serupa sebelumnya tidak ada. Pasien tidak pernah mengonsumsi obat-obatan jangka
panjang. Pasien tidak memiliki alergi. Riwayat penyakit sebelumnya tidak ada.

Pemeriksaan penunjang laboratorium dalam batas normal. Gambaran EKG


menunjukkan gambaran Sindroma Brugada tipe 2. Pemeriksaan ekokardiografi dalam batas
normal.

3.7. Diagnosis

Sindroma Brugada

3.8. Penatalaksanaan

3.8.1. Medikamentosa

29
 IVFD RL + N5000 10 gtt/menit

 Antrain 3x1 amp/hari

 Ranitidin 2x1 amp/hari

3.8.2. Non-Medikamentosa

 Edukasi Sindroma Brugada

3.9. Prognosis

 Ad Vitam : Ad Bonam

 Ad Functionam : Ad Malam

 Ad Sanationam : Dubia

30
BAB IV

PEMBAHASAN

Diagnosis Sindroma Brugada tidak mudah untuk ditegakkan apabila hanya berdasar
pemeriksaan klinis. Pasien datang dengan keluhan nyeri dada kiri sejak ± 1 jam SMRS. Keluhan
timbul saat beraktivitas ringan dan mendadak. Nyeri dada dirasakan seperti ditusuk dan ditekan.
Keluhan tidak menghilang saat istirahat. Keluhan tidak menjalar ke tangan kiri, leher, punggung,
atau ulu hati. Keluhan yang timbul tidak semakin parah dengan berjalannya waktu. Keluhan
tidak disertai dengan penurunan kesadaran, sesak, keringat dingin, mual, dan muntah. Pasien
tidak memiliki keluhan serupa sebelumnya. Pasien memiliki faktor resiko sebagai perokok aktif.
Riwayat keluhan serupa sebelumnya tidak ada. Pasien tidak pernah mengonsumsi obat-obatan
jangka panjang. Pasien tidak memiliki alergi. Riwayat penyakit sebelumnya tidak ada.
Pemeriksaan penunjang laboratorium dalam batas normal. Gambaran EKG menunjukkan
gambaran Sindroma Brugada tipe 2. Pemeriksaan ekokardiografi dalam batas normal.

Temuan klinis yang ditemukan pada pasien ini adalah nyeri dada. Temuan klinis
tersebut masih memiliki diagnosis banding yang banyak. Diagnosis banding yang paling
mendekati adalah angina stabil, sindroma koroner akut, dan Sindroma Brugada itu sendiri.
Diagnosis banding tersebut juga didukung oleh adanya faktor risiko pasien sebagai perokok
aktif. Sindroma Brugada sendiri merupakan diagnosis banding yang paling tidak terdukung oleh
temuan klinis. Sindroma Brugada baru dapat diduga dengan dukungan hasil pemeriksaan EKG,
data endemisitas penyakit ini di Asia Tenggara dan usia pasien. Apabila dilihat dari syarat
penegakan diagnosis pun kondisi pasien belum memenuhi kriteria-kriteria yang ada. Berdasarkan
temuan yang ada dalam kasus ini, Sindroma Brugada yang diderita pasien bersifat sporadik
karena tidak ditemukan riwayat keluarga dengan faktor risiko yang sama. Hal ini menyebabkan
diperlukannya pemeriksaan lanjutan seperti melakukan tes provokasi obat menggunakan agen
penghambat channel Na+. Namun karena keterbatasan obat di rumah sakit tempat perawatan
pasien maka tidak memungkinkan untuk melakukan tes tersebut. Selain itu, penentuan
stratifikasi risiko pada pasien ini pun sulit diawali dengan pasien yang meminta pulang paksa
sehingga hal minimal yang bisa dilakukan yaitu observasi pun tidak dapat dilaksanakan. Sifat

31
Sindroma Brugada yang sporadik dari pasien ini juga membutuhkan stratifikasi risiko bagi
anggota keluarganya untuk menentukan kemungkinan terjadinya hal yang sama pada keturunan
pasien ini. Berdasarkan uraian di atas sangat diperlukan pemeriksaan dan evaluasi yang lebih
mendalam sebelum menentukan apakah benar pasien mengalami Sindroma Brugada atau tidak.

Selama dirawat pasien hanya mendapatkan terapi simtomatik minimal dan terbatas.
Terapi yang diberikan adalah cairan ringer laktat ditambah N5000, Antrain, dan Ranitidin
intravena. Terapi lanjutan tidak bisa diberikan disebabkan pasien meminta untuk pulang paksa.
Pemasangan ICD memerlukan benarnya penegakan stratifikasi risiko dan evaluasi indikasi
pemasangan. Hal tersebut tidak memungkinkan karena pasien tidak bisa dievaluasi lebih lanjut
dan terbatasnya pusat kesehatan dan ahli yang mampu melaksanakannya.

Edukasi yang diberikan kepada pasien adalah kemungkinan penyakit yang diderita oleh
pasien. Sindroma Brugada merupakan penyakit yang diturunkan dan kemungkinan pasien
menurunkan penyakit ini ke anaknya adalah 50%. Pasien juga diberitahu bahwa diperlukan
observasi lebih lanjut untuk benar-benar menegakkan diagnosis ini. Metode pengobatan yang
terbatas dan keilmuannya yang masih terus berkembang juga dijelaskan ke pasien.

32
BAB V

KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

 Pasien laki-laki 33 tahun, datang dengan keluhan nyeri dada didiagnosa dengan Sindroma
Brugada.
 Sindroma Brugada merupakan channelopathy diturunkan secara autosom dominan yang
berisiko menimbulkan aritmia.
 Diagnosis Sindroma Brugada sulit dilakukan apabila tidak ditemukan temuan klinis yang
khas, faktor risiko yang mendukung, dan gambaran EKG tipe 1.
 Pengobatan Sindroma Brugada harus didahului oleh penentuan stratifikasi risiko yang
tepat dan terpenuhinya indikasi apabila diperlukan pemasangan ICD. Keterbatasan
modalitas dan fasilitas dalam penatalaksanaan pasien seperti ini menyebabkan kasus ini
merupakan tantangan yang berat bagi petugas medis.

5.2 Saran

 Penegakan diagnosis Sindroma Brugada yang menantang membutuhkan ditambahkannya


lebih banyak modalitas dan fasilitas medis yang mendukung.
 Kejadian Sindroma Brugada yang endemis pada masyarakat di Asia Tenggara
menyebabkan para petugas medis harus selalu memikirkan kemungkinan diagnosis ini
apabila menemukan temuan klinis yang khas.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Issa ZF, Miller JM, Zipes DP, editors. Clinical Arrhythmology and Electrophysiology: A Companion
to Braunwald's Heart Disease. 2 ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012.

2. Mizusawa Y, Wilde AAM. Brugada Syndrome. American Heart Association. 2012;5:606-16.

3. Braunwald E, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, Libby P, editors. Braunwald's Heart Disease: A
Textbook of Cardiovascular Medicine. 9 ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2012.

4. Lilly LS, editor. Pathophysiology of Heart Disease. 5 ed. Philadephia: Wolters Kluwer Lippincott-
William & Wilkins; 2011.

34

Anda mungkin juga menyukai