Anda di halaman 1dari 30

STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG

REPUBLIK INDONESIA NOMOR 306/K/PDT.SUS/2010


TENTANG KEPASTIAN MASA PENANGGUHAN
EKSEKUSI OBJEK JAMINAN OLEH KREDITOR
SEPARATIS DALAM KEPAILITAN

USULAN PENELITIAN
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna menempuh Seminar
Usulan Penelitian

Oleh:
Rafie Thaqif Altamis
110110160306
Program Kekhususan : Hukum Ekonomi

Pembimbing:
Hj. Aam Suryamah, S.H., M.H.
Dr. Ema Rachmawaty, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

2021
CANTUMKAN NOMOR HALAMAN !

BAB I

LATAR BELAKANG PEMILIHAN KASUS

A. Latar Belakang Pemilihan Kasus

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu tolak ukur kemakmuran

suatu negara. Saat ini Indonesia menunjukan tren pertumbuhan ekonomi

positif yang di tandai dengan terbukanya kesempatan bagi para pelaku usaha

untuk mengembangkan usahanya. Salah satu cara untuk menjawab

kebutuhan untuk perkembangan usaha adalah pemberian kredit oleh

perbankan.

Dalam memberi kredit bank wajib melakukan penilaian terhadap calon

debitor, penilaian tersebut digunakan bank untuk mengidentifikasi keadaan

debitor, sehingga nantinya pemberian kredit dapat dipertanggungjawabkan.

Penilaian terhadap calon debitor tersebut umumnya memeriksa watak

(Character), Modal (Capital), Kondisi Ekonomi (Condition Of Economic),

Kemampuan (Capability) dan Jaminan (Collateral), setelahnya juga diadakan

pemeriksaan aspek 3R, yaitu persentase keuntungan bank atas pemberian

kredit (Return), kemampuan debitor dalam mengembalikan kredit

(Repayment) dan kekuatan debitor untuk menanggung pertanggungjawaban

kredit (Risk Bearing)1.

Perbankan tentu dihadapkan dengan risiko kredit macet walaupun

penilaian calon debitor telah dilakukan secara seksama. Kredit macet

umumnya disebabkan oleh kendala dalam usaha debitor yang membuat

debitor tidak mampu melunasi utangnya, untuk mengatasi hal tersebut

perbankan perlu mengambil inisiatif agar dapat menyelamatkan kredit. Dalam

POJK Nomor 40/POJK.03/2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum

1 Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Bandung: CV Alfabeta, 2005, hlm. 153
dijelaskan bahwa bank dapat mengambil langkah preventif penyelamatan

kredit melalui restrukturisasi kredit, solusi yang dihadirkan dalam

restrukturisasi kredit umumnya adalah perpanjangan jatuh tempo pelunasan

kredit, pengecilan bunga atau penundaan pembayaran pokok kredit 2. Tidak

semua langkah penyelamatan kredit dapat berjalan sebagaimana mestinya,

terkadang terdapat beberapa debitor yang telah direstrukturisasi kreditnya

tetap menunjukan ketidakmampuan (non performing) untuk membayar

utangnya.

Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUKPKPU)

menawarkan pailit sebagai opsi untuk kreditor apabila debitor tidak lagi

membayar utang-utangnya. Pailit adalah kondisi dimana seluruh harta

kekayaan debitor yang tidak membayar utangnya disita seluruhnya menurut

hukum untuk diambil alih oleh kurator guna dikumpulkan, diurus dan

dibereskan dibawah pengawasan Hakim Pengawas, yang mana nantinya

seluruh harta kekayaan debitor yang diurus kurator tersebut ditujukan untuk

dijual dalam rangka melunasi seluruh utang-utang debitor 3. Tidak setiap

keadaan tidak membayar utang disebut pailt, perlu diperhatikan syarat-syarat

dalam Pasal 2 Ayat (1) UUKPKPU, yaitu :

1. Mempunyai dua atau lebih kreditor

2. Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang

3. Utang debitor telah jatuh tempo dan dapat ditagih

4. Permohonan pailit dimohonkan oleh satu atau lebih kreditor

Dalam mekanisme pailit, setelah seluruh harta kekayaan debitor yang

telah terkumpul berhasil dijual oleh kurator, hasilnya akan dibagikan kepada
2 POJK Nomor 40 Tahun /POJK.03/2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum /
3 I Wayan Asna Astara, Hukum Kepailitan : Teori dan Praktek, Denpasar: Warmadewa University
Press, 2018, hlm.27
kreditor-kreditor sesuai jumlah tagihan masing-masing, pada dasarnya setiap

kreditor dalam kepailitan akan dibagikan hak-hak pelunasannya secara pro

parte pari passu dimana setiap kreditor diberikan porsi pelunasan utangnya

secara proporsional sesuai dengan Pasal 1132 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata (yang selanjutnya disebut KUH Perdata) yang berbunyi :

“Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditor

terhadapnya hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut

perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara para kreditor

itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan”.

Atas pengaturan tersebut dapat diartikan bahwa semua harta

kekayaan debitor dijadikan jaminan untuk melunasi semua utang-utangnya,

terkecuali terdapat alasan-alasan yang sah menurut undang-undang untuk

kreditor didahulukan pelunasan utangnya, pengecualian tersebut antara lain;

a. Kreditor Preferen

Kreditor Preferen adalah kreditor yang memiliki hak istimewa berupa

didahulukannya pelunasan piutang karena sifat piutangnya.

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PU-XI/2013,

Mahkamah mengabulkan sebagian judicial review Pasal 95 Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (yang

selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan) yang mana

menempatkan upah buruh sebagai hal yang harus didahulukan

pelunasan nya ketimbang utang-utang lain termasuk atas tagihan

kreditor separatis, tagihan hak negara, kantor lelang dan badan

umum yang dibentuk pemerintah.

b. Kreditor Separatis

Kreditor jenis ini mendapat privilege dalam hal pelunasan utang dari

debitor pailit berupa hak mendahului sebagaimana yang diatur

dalam Pasal 1134 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (yang


selanjutnya disebut KUH Perdata), privilege ini timbul mengingat

kreditor memegang jaminan atas hak kebendaan (droit de suite).

c. Kreditor Konkuren

Kreditor ini merupakan kreditor yang paling umum diantara semua

kreditor dalam kepailitan, untuk kreditor ini tidak mucul hak untuk

mendahului pelunasan utangnya. Timbulnya hak tagih dari kreditor

ini disebabkan adanya pencocokan utang dari kurator kepada

debitor pailit

Pasal 55 Ayat (1) UUKPKPU menerangkan bahwa setiap kreditor

dalam kepailitan yang memegang jaminan atas hak kebendaan dapat

mengeksekusi objek jaminan seakan-akan tanpa terjadi kepailitan, sekilas hal

ini memperlihatkan pertentangan antara UUKPKPU dengan Undang-Undang

Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (yang selanjutnya disebut

UUJF), frasa seolah-olah tanpa kepailitan seakan-akan dimaknai bahwa

benda yang dibebani dengan jaminan kebendaan menjadi kebal dari

kepailitan (Bankrupcty Proof) dengan tidak melepas fakta bahwa benda

tersebut tetap merupakan bagian dari harta pailit, namun kewenangan

eksekusinya diberikan kepada kreditor pemegang jaminan kebendaan

tersebut 4.

Pada praktiknya tidak mudah untuk melaksanakan eksekusi harta pailit

yang dibebani jaminan oleh kreditor meskipun undang-undang telah

mengakomodir hal tersebut, banyak hal yang menyebabkan eksekusi tidak

berjalan semestinya seperti ; perlunya fiat dari pengadilan untuk

mengeksekusi karena objek berada dibawah penguasaan debitor, tidak

adanya kepastian yang jelas mengenai jangka waktu kreditor dapat

melaksanakan eksekusi objek jaminan dan masih rancu nya status hukum

pada objek jaminan pasca dikumpulkan dalam harta pailit.

4 Ivida Dewi Amrih dan Herowati Poesoko Hak Kreditor Separatis dalam Mengeksekusi Benda
Jaminan Debitor Pailit, Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2011, hlm.101
Salah satu kerancuan seputar pelaksanaan eksekusi kreditor terdapat

dalam putusan kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor

306/K/Pdt.Sus/2010. Dalam pertimbangan putusan tersebut Mahkamah

menyatakan bahwa apabila terdapat harta benda yang telah terkumpul dalam

harta pailit pernah terhubung dalam sebuah hubungan hukum yang bertujuan

untuk mengalihkan hak milik atas benda tersebut di saat debitor masih

merupakan pemilik sah (sebelum jatuh pailit), maka benda tersebut tidak

menjadi bagian dari harta pailit apabila jauh hari sebelum jatuh pailit benda

yang bersangkutan telah sempurna pengalihan haknya dari pemilik sah

(Debitor) kepada penerima (pihak ke tiga) yang sah secara hukum,

selanjutnya penyerahan tersebut haruslah ditandai dengan terbitnya sertifikat

hak milik sehingga benda tersebut dapat berdiri sendiri di luar harta pailit.

Kerancuan juga terlihat saat Mahkamah memperbolehkan salah satu kreditor

separatis melaksanakan eksekusi sebelum masa Insolvensi sesuai Pasal 59

Ayat (1) UUKPKPU.

Adapun yang menjadi bahan studi kasus ini adalah perkara PT Bank

Mega selaku kreditor yang memegang hak jaminan kebendaan bersama-

sama dengan KPKNL Bandar lampung selaku pelelang dan PT Perkebunan

Indonesia Lestari selaku pemenang lelang yang masing-masing

berkedudukan sebagai Pemohon I, Pemohon II dan Pemohon III berturut-

turut mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung yang tercatat dengan

nomor register 306/K/Pdt.Sus/2010, sebagai upaya hukum untuk mencari

pertimbangan atas tindakan PT Bank Mega melaksanakan eksekusi secara

sepihak objek jaminan yang masuk harta pailit PT Tripanca Group, selain

mencari pertimbangan atas tindakannya, pengajuan kasasi oleh PT Bank

Mega tersebut juga didasari atas gugatan yang diajukan oleh kurator PT

Tripanca Group yang termuat dalam putusan kasasi Nomor


814/K/Pdt.Sus/2010 yang pada pokoknya menggugat bahwa perbuatan Bank

Mega tersebut merugikan harta pailit dan menghambat kinerja kurator.

Perkara Kasasi Nomor 306/K/Pdt.Sus/2010 tersebut diputus dengan

mengabulkan seluruh permohonan para pemohon dan mengukuhkan hak PT

Bank Mega untuk melaksanakan Parate Executie melalui penetapan lelang

Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 29/Eks.F/2008/PN.TK dengan

berdasar bahwa objek agunan berupa persediaan biji kopi yang diikat secara

fidusia dalam gudang dipandang sebagai benda yang berdiri sendiri di luar

harta pailit PT Tripanca group yang pailit melalui putusan Nomor

33/Pailit/2009/pn.Niaga.JKT.PST, selanjutnya Mahkamah melihat bahwa

peralihan hak atas biji kopi tersebut sudah terbit sertifikatnya sebelum diputus

pailit pada 3 Agustus 2009, sehingga Pasal 55 UUKPKPU Jo.Pasal 27 Ayat

(3) UUJF lebih mendapat perhatian Mahkamah daripada Pasal 34

UUKPKPU.

Peneliti merasa bahwa kasus ini menarik untuk dibahas karena :

1. Hingga saat sebelum keluarnya putusan kasasi nomor

306/K/Pdt.Sus/2010 belum terdapat satu kesatuan pemahaman

diantara Lembaga Kepailitan mengenai jangka waktu pelaksanaan

Eksekusi objek agunan oleh kreditor separatis setelah pernyataan

pailit diucapkan meskipun sudah diatur dalam Pasal 59 Ayat

(1)UUKPKPU.

2. Mahkamah dalam memutus memberi garis batas mengenai status

hukum objek jaminan yang terkumpul dalam harta pailit secara jelas

sehingga menarik untuk dibahas.

3. Terlihat kesenjangan terkait hak pelunasan diantara para kreditor

separatis, sehingga kepastian hukum atas pelaksanaan hak kreditor

menjadi pertanyaan.
Sepanjang pencarian kembali, peneliti belum mendapati tugas akhir

yang membahas mengenai masa penangguhan kreditor separatis, adapun

penelitian serupa dengan penelitian yang peneliti lakukan, didapati beberapa

tugas akhir yang membahas mengenai kedudukan para kreditor separatis

dalam kepailitan, yaitu :

1. Nurjaman, tahun 2005, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran,

berbentuk studi kasus dengan judul “Studi Kasus Terhadap Putusan

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 19/PK/N/2001 Tentang

Kedudukan Kreditor Separatis (BPPN) Dalam Perkara Kepailitan

Yang Diajukan Oleh PT Sumberdaya Swatama Terhadap PT Alika

Ekaputera”.

2. Leonard Pitara G.Simanjuntak, tahun 2007, Fakultas Hukum

Universitas Padjadjaran, berbentuk studi kasus dengan judul “Studi

Kasus Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Nomor 14/K/N/2004 Tentang Penolakan Permohonan Pailit PT Thirta

Ria Oleh Sojitz CorporationSebagai Kreditor Separatis Pemegang

Jaminan Fidusia”.

Sehubungan dengan hal-hal yang telah dijabarkan, maka penulis ingin

mengetahui lebih lanjut mengenai alasan Mahkamah Agung Republik

Indonesia pada perkara Kasasi Nomor 306/K/Pdt.Sus/2011 tertanggal 26 Juli

2010 memutus dengan pertimbangan tersebut, serta perlindungan hukum

apa yang dapat diperoleh Bank Mandiri selaku kreditor lain mengingat Bank

Mandiri masih memiliki hak tagih yang belum terpenuhi.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis bermaksud untuk

menganalisis putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor

306/K/Pdt.Sus/2010 sebagai penelitian tugas akhir berbentuk studi kasus

yang diberi judul “Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik


Indonesia Nomor 306/K/Pdt.Sus/2010 Tentang Kepastian Masa

Penangguhan Eksekusi Objek Jaminan Oleh Kreditor Separatis Dalam

Kepailitan”

B. Kasus Posisi

Berawal dari PT Tripanca Group yang merupakan gabungan badan

usaha (Holding Company) yang terdiri atas PT Tripanca dan PT Prabu Tirta

Jaya Lestari yang masing-masing menjalankan usaha di bidang yang

berbeda mengajukan kredit pada tanggal 11 Mei 2006 kepada 4 kreditor

secara bilateral (masing-masing), yaitu Bank Mandiri, Bank BRI, Bank Mega

dan Indonesian Eximbank.

Sepanjang Juni 2006 sampai dengan Desember 2008, masing-masing

kreditor telah mengikat agunan dari PT Tripanca Group, dalam pengikatan

tersebut terdapat beberapa objek agunan yang diikat secara bersamaan oleh

para kreditor sehingga bersinggungan satu dengan lainnya, yaitu agunan

Bank Mandiri, Bank Mega dan Indonesian Eximbank berupa persediaan biji

kopi seberat 25.939.913 Kg yang terletak di 3 gudang berbeda, antara lain

gudang “Dharmala” Jalan Yos Sudarso Nomor 103, gudang “Lakop” Jalan

Ir.Sutami Nomor 17 dan gudang “Asenda” Jalan HL.M.Salim Nomor 26,

Bandar Lampung.

Pada tanggal 3 Agustus 2009 dikarenakan tidak dapat melunasi utang

setelah diupayakan pendekatan penyelamatan kredit, PT Tripanca Group

dinyatakan pailit oleh majelis hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat dengan Nomor 33/Pailit/2009/PN.JKT.PST., berdasar

putusan pailit tersebut diangkatlah Jandri Siadari, S.H., LL.M. sebagai kurator

untuk mengumpulkan, mengurus dan membereskan semua harta kekayaan

PT Tripanca Group sesuai dengan Pasal 24 Ayat (1) UUKPKPU.


Dalam proses pengumpulan, pengurusan dan pemberesan harta pailit

oleh kurator terdapat permasalahan, permasalahan diawali dengan tindakan

Bank Mega memohon kepada Pengadilan Negeri Tanjung Karang untuk

mengeluarkan penetapan lelang objek jaminan fidusia berupa persediaan biji

kopi yang merupakan bagian dari harta pailit PT Tripanca Group, lalu

pengadilan mengeluarkan penetapan bernomor 29/Eks.F/2008/PN.Tk

tertanggal 1 September 2009 guna melelang persediaan kopi sebanyak

25.939.913 Kg melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang

Bandar Lampung (yang selanjutnya disebut KPKNL Bandar Lampung). Pada

tanggal 1 Oktober 2009 berdasar penetapan bernomor 29/Eks.F/2008/PN.Tk

tersebut, KPKNL Bandar Lampung melakukan pelelangan pertama dengan

menjual isi persedian ketiga gudang tersebut dengan hasil gagal dikarenakan

tak ada peserta lelang sama sekali yang mengikuti lelang tersebut,

selanjutnya pada tanggal 2 November 2009 Pengadilan Negeri Tanjung

Karang dengan dasar penetapan lelang yang sama melakukan lelang

kembali dan berhasil memenangkan PT Perkebunan Indonesia Lestari

sebagai pemenang lelang dan berhak atas isi persediaan biji kopi di 3

gudang tersebut, karena hal ini kurator dan para kreditor lainnya merasa tidak

puas.

Keberatan atas pelaksanaan lelang tersebut sebelumnya telah

dilayangkan secara terbuka oleh kurator , para kreditor pemegang agunan

dan pihak-pihak lain dengan pernyataan surat tertulis sebagai berikut :

1. Pengumuman Peringatan dari Penggugat pada Harian Lampung

Post pada tanggal 25 September 2009

2. Pengumuman dari Angkatan Muda Indonesia Bersatu di harian

Lampung Post pada tanggal 25 September 2009


3. Pengumuman PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk di harian Lampung

Post pada tanggal 8 Oktober 2009 dan pada harian Kompas

tanggal 9 Oktober 2009

4. Pengunguman Himpunan Kerukunan Tani Indonesia di harian

Lampung Post pada tanggal 7 Oktober 2009

PT Perkebunan Indonesia Lestari muncul sebagai pemenang lelang

setelah menawar persediaan biji kopi dengan nilai Rp. 277.500.000.000 (dua

ratus tujuh pulu tujuh miliar lima ratus juta rupiah) , atas berita tersebut

kurator memberi peringatan kepada Bank Mega agar uang hasil lelang biji

kopi dalam 3 gudang tersebut ditujukan ke dalam harta pailit sesuai dengan

Pasal 98 UUKPKPU. Menghiraukan peringatannya, kurator Jandri Siadari

dengan kedudukannya (atas pengurusan harta pailit) menggugat bank mega

melalui perkara kasasi Nomor 814/K/Pdt.Sus/2010.

Menanggapi gugatan kurator, Bank mega bersama-sama dengan

KPKNL Bandar Lampung dan PT Perkebunan Indonesia Lestari mengambil

tindakan hukum (Legal Action) dengan mengajukan upaya hukum kasasi

kepada Mahkamah Agung dengan Nomor perkara 306K/Pdt.Sus/2010. Para

pihak dalam perkara tersebut adalah Bank Mega yang berkedudukan di

Menara Bank Mega Lantai 17 dan 24, Jalan Kapten Tendean 12-24 A,

Jakarta Selatan. Kantor Pelayanan Kekayaan dan Lelang Negara (KPKNL)

Bandar Lampung berkedudukan di Jalan Rahman Basuki Nomor 12, Bandar

Lampung serta PT.Perkebunan Indonesia Lestari yang berkedudukan di

Jalan Teuku Umar No.16, Kedaton, Kec. Kedaton, Kota Bandar Lampung,

Lampung 35141 yang masing-masing selanjutnya disebut sebagai Pemohon

Kasasi dahulu Tergugat I, Tergugat II Dan Turut Tergugat I secara berturut-

turut.
Di lain pihak terdapat kurator Jandri Siadari yang berkedudukan di

Jalan Mesjid Nomor 6, Bendungan Hilir, Pejompongan, Kota Administrasi

Jakarta Pusat. Bank Mandiri yang berkedudukan di Plaza Mandiri Jalan Gatot

Subroto kavling 36-38, Kota Administrasi Jakarta Selatan serta Indonesian

Eximbank yang berkedudulan di Indonesia Stock Exchange Building, Jalan

Jendral Sudirman kavling 52-53, Kota Administrasi Jakarta Selatan yang

masing-masing disebut sebagai Termohon Kasasi dahulu sebagai Penggugat

Dalam perkara tersebut para pemohon pada pokoknya menuntut

kepada Mahkamah pada tingkat kasasi untuk menjatuhkan putusan sebagai

berikut :

Provisi :

1. Memerintahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri Tanjung Karang

untuk memberikan uang Hasil lelang sebesar 227.500.000.000,- (dua

ratus tujuh puluh tujuh milyar lima ratus juta rupiah) dan juga seluruh

bunga dari hasil uang hasil lelang dimaksud kepada Tergugat I

dan/atau Tergugat II maupun Turut Tergugat I.

Primair :

1. Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk seluruh nya

2. Menyatakan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Tanjung Karang

Nomor : 29/Eks.F/2008/PN.TK, tanggal 1 September 2009 tentang

Pelaksanaan lelang atas objek jaminan fidusia adalah sah secara

Hukum

3. Menetapkan biaya perkara ini sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku

Atau :
Apabila Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara ini

berpendapat lain, mohon kiranya berkenan memeriksa dan memutuskan

perkara ini dengan putusan yang seadil-adilnya berdasarkan Ketuhanan yang

Maha Esa (Ex Aequo Et Bono Ex Meritus Justitiae)

Atas perkara tersebut Mahkamah Agung pada perkara kasasi Nomor

306/K/Pdt.Sus/2010 mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya,

sehingga berakibat hukum lelang-lelang yang telah terjadi pada 1 Oktober

2009 dan 2 November 2009 menjadi sah secara hukum. Dengan diputusnya

perkara 306/K/Pdt.Sus/2010 tersebut membuat para kreditor lainnya

kehilangan sumber pelunasan utang tanpa adanya kepastian hukum yang

dapat melindungi hak mereka, mengingat masing-masing kreditor telah

mengikat persediaan kopi jauh hari sebelum debitor PT Tripanca Group jatuh

pailit lewat perjanjian pemberian kredit yang pengalihan agunannya telah

terbit sertifikat sebagaimana dalam pertimbangan yang diberi Mahkamah

dalam perkara Kasasi tersebut.


BAB II

MASALAH HUKUM DAN TINJAUAN TEORITIK

A. Masalah Hukum

1. Apakah pertimbangan hukum Mahkamah ? dalam putusan nomor

306/K/Pdt.Sus/2010 dalam hal eksekusi agunan dikaitkan dengan

hukum kepailitan sudah tepat?

2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap kreditor separatis

lainnya (PT Bank Mandiri Persero Tbk) berdasarkan Putusan

62/PK/Pdt.Sus/2011 jo. 306/K/Pdt.Sus/ 2010 dikaitkan dengan Hukum

Kepailitan?

B. Tinjauan Teoritik

1. Aspek Hukum Dalam Pemberian Kredit

a. Pemberian kredit umum

Pemberian kredit diawali dengan perjanjian pokok utang piutang

diantara dua belak pihak, umumnya perjanjian pokok utang piutang tersebut

diikuti dengan perjanjian pengikatan agunan (Accesoir) yang dijadikan

sebagai alas hak atas agunan debitor. Dalam pemberian kredit, bank wajib

mengikuti aturan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

Perbankan (yang selanjutnya disebut UU Perbankan) dan syarat-syarat

dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:

a) Para pihak sepakat untuk mengikatkan dirinya

b) Para pihak dalam kondisi cakap untuk membuat sebuah perjanjian

c) Suatu hal yang halal


d) Suatu hal tertentu yang tidak bertentangan dengan Perundang-

undangan

Syarat dalam sebuah perjanjian kredit tidaklah sama dengan syarat

yang tertera dalam Pasal 1320 KUH Perdata, karena dalam perjanjian

pemberian kredit terdapat sifat khusus yang diatur dalam Pasal 1754 KUH

Perdata yang menentukan ;

“Perjanjian pinjam mengganti ialah persetujuan dengan mana pihak yang

satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-

barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang

belakangan ini akan mengambalikan sejumlah yang sama dari macam dan

keadaan yang sama pula”.

Apabila pihak kreditor dan debitor telah sepakat mengenai unsur

perjanjian pinjam mengganti, maka tidak berarti perjanjian pinjam mengganti

tersebut telah lahir, perjanjian pinjam mengganti baru lahir apabila uang telah

diserahkan pihak kreditor kepada debitor. Selain aspek hukum pemberian

kredit dalam Pasal 1754 KUH Perdata, terdapat agunan yang harus

disanggupi oleh debitor dikarenakan agunan merupakan aspek penting

dalam meniadakan atau setidak-tidaknya mengurangi resiko yang ditanggung

oleh kreditor apabila debitor wanprestasi 5.

b. Pemberian kredit sindikasi

Pemberian kredit umumnya diberikan oleh satu kreditor saja, tetapi

pada perkembangannya tidak menutup kemungkinan terdapat pemberian

kredit secara sindikasi. Pemberian kredit secara sindikasi ini dilakukan

karena jumlah kredit dan risiko yang terlalu besar untuk satu kreditor saja,

pemberian kredit yang terlalu besar sangat berisiko tinggi meskipun kreditor

mampu memberi kredit tersebut, sehingga diperlukan pemerataan risiko


5 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009, hlm.152
(spread of risk) atas fasilitas kredit yang diberikan6. Secara umum kredit

sindikasi mempunyai dasar hukum yang sama dengan kredit umum, dalam

pemberian kredit sindikasi perlu diperhatikan pihak-pihak yang terlibat di

dalamnya, antara lain;

a) Debitor

b) Para kreditor

c) Arranger

Untuk menentukan legalitas dalam pemberian kredit sindikasi perlu

diperhatikan kedudukan para pihak yang terlibat, dikarenakan tidak semua

pihak bertanggungjawab secara penuh atas perbuatan memberi kredit,

hubungan diantara pihak tersebut adalah 7 :

a. Hubungan antara debitor dengan Arranger

Hubungan hukum yang terbentuk antara debitor dengan arranger

bermula saat debitor memberi mandat kepada arranger, dengan

mandat tersebut arranger lalu menegosiasikan kredit yang dibutuhkan

calon debitor dengan bank-bank peserta atas nama calon debitor.

b. Hubungan antara debitor dengan para kreditor

Hubungan hukum antara debitor dengan para kreditor adalah

hubungan vertikal, dimana kreditor berkedudukan lebih tinggi

ketimbang debitor. Kewajiban para kreditor adalah menyediakan dana

atau kredit sesuai dengan jangka waktu perjanjian, apabila debitor

menciderai janji (wanprestasi), maka para kreditor sewaktu-waktu

berhak untuk mengakhiri perjanjian.

c. Hubungan antara kreditor dengan Arranger

6 Mohamad Kharis Umardani, “Kredit sindikasi Dalam Perspektif Hukum Dan Peraturan Perbankan
(Studi Kasus Pada PT Bank DKI), dalam Jurnal Fakultas hukum Universitas YARSI Jakarta, No. 41,
Juni 2014, Jakarta : Fakultas Hukum Universitas YARSI, 2014, hlm. 12
7 Mohamad Kharis Umardani, ibid, hlm.14
Hubungan hukum yang tercipta antara arranger dengan para kreditor

terbentuk saat arranger bertindak dengan mandat yang diberikan oleh

debitor menegosiasikan kredit dengan para kreditor, dalam negosiasi

kredit tersebut apabila disetujui oleh para kreditor, maka kreditor akan

memberi kuasa kepada arranger untuk mengatur teknis pemberian

kredit dengan debitor, sehingga hubungan hukum yang terbentuk

antara kreditor dengan arranger bersifat pemberian kuasa.

2. Tinjauan Umum Tentang Kepailitan

a. Pengertian, Dasar Pengaturan dan Syarat Dalam Kepailitan

Dalam ketentuan umum UUKPKPU, Kepailitan diartikan sebagai sita

umum atas semua harta kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan

pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan Hakim

Pengawas sesuai undang-undang ini 8. Dari definisi ketentuan umum tersebut

dapat ditarik kesimpulan bahwa Kepailitan berunsur 9 :

a) Sita Umum

Penyitaan yang dimaksud sebagai sita umum adalah penyitaan

terhadap seluruh harta kekayaan debitor pailit selain yang diatur lain

dalam UUKPKPU yang tidak diperkenankan untuk dimasukan kedalam

harta pailit.

b) Pengurusan dan Pemberesan oleh Kurator

Sejak debitor dinyatakan pailit, debitor kehilangan haknya untuk

mengurus dan menguasai hartanya sehingga debitor dalam keadaan

tidak cakap (onbekwaam) untuk mengurus dan menguasai harta

kekayaannya.

c) Diawasi oleh Hakim Pengawas

8 Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang
9 Man Suparman Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
Bandung: Penerbit Alumni, 2006, hlm.18
Sesuai dengan ketentuan UUKPKPU, Hakim Pengawas ditunjuk oleh

Hakim yang memeriksa dan memutus permohonan pailit untuk

mengawasi jalannya pemberesan dan pengurusan harta pailit sebagai

wakil pengadilan.

Unsur-unsur kepailitan yang ditemukan tersirat dalam ketentuan umum

UUKPKPU diatas dapat diartikan bahwa kepailitan adalah sita umum

terhadap harta kekayaan debitor yang diperuntukan untuk kepentingan

kreditor yang diurus dan dibereskan oleh Kurator 10. Sita umum dalam

kepailitan sebenarnya adalah konsekuensi logis atas hubungan hukum

antara kreditor sebagai si berpiutang dengan debitor sebagai si berutang,

sehingga atas hubungan tersebut timbul hak dan kewajiban diantara para

pihak, lebih lanjut hubungan hukum tersebut dikonkritisasi dalam Pasal 1131

KUH Perdata yang berbunyi11;

“Segala kebendaan si berutang baik yang bergerak maupun yang tidak

bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian

hari, akan menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”

Dari pasal tersebut diketahui bahwa setiap hak atas kebendaan yang

melekat kepada seseorang yang berutang, secara mutatis mutandis menjadi

objek jaminan apabila yang bersangkutan tidak memenuhi kewajibanya

terhadap utang-utangnya, lalu mengenai sifat pengikatannya kebendaan si

berutang tersebut ditentukan lebih lanjut oleh Pasal 1132 KUH Perdata yang

berbunyi :

“Harta kekayaan debitor menjadi agunan Bersama-sama bagi semua

kreditor-kreditornya; hasil penjualan harta kekayaan itu dibagi-bagi

menurut keseimbangan, yaitu menurut perbandingan besar-kecilnya

10 Rudy Abdur Lontoh, Penyelesaian Utang-Piutang: Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang , Bandung ; Penerbit Alumni, 2001, hlm. 45
11 Sri Soemarti Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran ,Yogyakarta :
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Seksi Hukum Dagang, 2001, hlm. 121
tagihan masing-masing kreditor, kecuali apabila diantara para kreditor

itu terdapat alasan yang sah untuk didahulukan oleh kreditor lainnya”.

Pengaturan Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata tersebut secara tidak

langsung meletakan dasar Kepailitan sebagai salah satu penyelesaian

sengketa bisnis12. Dalam Pasal 2 Ayat (1) UUKPKPU dibatasi mengenai

pemailitan debitor, pembatasan tersebut dikonkritkan dengan syarat-syarat

pailit, antara lain;

a) Terdapat 2 (dua) atau lebih kreditor

Keberadaan dua kreditor merupakan syarat yang disebutkandalam

UUKPKPU, hal ini juga dikuatkan dalam Pasal 1132 KUH Perdata

bahwa harta kekayaan debitor harus dibagi secara adil kepada setiap

kreditor

b) Debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang kepada

kreditor

Pengertian keadaan berhenti membayar utang-utang harus diartikan

sebagai suatu keadaan bahwa debitor tidak membayar utang-

utangnya yang seharusnya dibayar, apabila debitor yang

bersangkutan baru membayar satu kali dari beberapa cicilan (dalam

konteks perjanjian pelunasan dengan angsuran), maka ia tidak dapat

dipailitkan.

c) Utang debitor telah jatuh tempo dan dapat ditagih

Utang jatuh waktu dan dapat ditagih memiliki pengertian yang

berbeda. Utang yang telah jatuh tempo dengan sendirinya menjadi

utang yang dapat ditagih, namun utang telah dapat ditagih belum tentu

utang telah jatuh tempo13. Utang dikatakan jatuh tempo apabila telah

sampai jadwal waktunya untuk dilunasi oleh debitor, Suatu utang


12 Sri Soemarti Hartono, Ibid, hlm.123
13 Munir Fuady, Hukum Pailit 1998: Dalam Teori dan Praktek, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1998,
hlm.52
sekalipun waktunya belum tiba tetapi mungkin saja utang itu dapat

ditagih karena terjadi wanprestasi.

b. Azas-azas dalam Kepailitan

Semenjak diberlakukannya UUKPKU menggantikan Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan (yang selanjutnya disebut UUK)

mengandung beberapa prinsip, yaitu :

a) Azas persetujuan pailit didasarkan atas persetujuan para kreditor

Sesuai Pasal 2 Ayat (1) UUKPKPU, kreditor dalam kepailitan

berjumlah dua atau lebih. Untuk menghindari tindakan main hakim

oleh kreditor dan menghormati hak azasi debitor Pasal 150 UUKPKPU

mengharuskan persetujuan minimal setengah dari jumlah kreditor

menyetujui bahwa debitor akan dipailitkan 14.

b) Azas mengakui hak separatis kreditor pemegang jaminan hak

kebendaan

Awal berkembangnya azas ini terdapat dalam Pasal 65 UUK yang

sampai saat ini konsepnya masih diatur dalam Pasal 55 UUKPKPU.

Kreditor pemegang hak atas jaminan kebendaan dijewantahkan dalam

Pasal 55 UUKPKPU tersebut sebagai yang berhak untuk melakukan

eksekusi dalam rangka untuk mendahului pelunasan dari debitor

ketimbang kreditor lainnya (droit de suite)15.

c) Azas keseimbangan

Azas ini mengemukakan bahwa seharusnya pengaturan-pengaturan

dalam Kepailitan dapat mengakomodir kepentingan kreditor serta

melindungi hak azasi debitor

d) Azas kelangsungan usaha

14 I Wayan Asna Astara, Hukum Kepailitan : Teori dan Praktek, Denpasar: Warmadewa University
Press, 2018, hlm.27
15 I Wayan Asna Astara, Ibid, hlm. 28 2
Azas ini mengedepankan keberlangsungan usaha debitor yang masih

prospektif sehingga Kepailitan menjadi langkah terakhir (Ultimum

Remidium)

e) Azas Integrasi

Ketentuan-ketentuan mengenai hukum materiil (substansi aturan) dan

hukum formiil (tata cara penegakan hukum) dalam kaidah Kepailitan

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menjadi satu kesatuan

didalamnya.

c. Akibat hukum Kepailitan

UUKPKPU mengatur mengenai akibat apabila seseorang telah jatuh

pailit, pengaturan tersebut termuat dalam pasal 21 sampai dengan pasal 64

UUKPKPU. Dalam akibat pernyataan pailit kepada debitor yang berdampak

hanyalah ketidakcakapan debitor dalam mengelola keuangannya dan hal ini

tidak serta merta menghilangkan hak-hak melangsungkan perbuatan hukum

secara keperdataan lainnya seorang debitor pailit, dampak-dampak tersebut

yang memengaruhi debitor pailit antara lain ;

a) Akibat terhadap diri debitor pailit

Sesuai Pasal 24 UUKPKPU, seorang yang telah jatuh pailit menjadi

kehilangan hak untuk mengurus dan menguasai harta kekayaannya

yang telah menjadi harta pailit sejak diputus pailit 16. Sebuah perseroan

apabila telah dinyatakan pailit maka para pengurus perseroan tersebut

tidak memliki daya kuasa untuk menjalankan kuasanya sebagaimana

telah diambil oleh kurator, karenanya para pengurus ini menjadi

functus officio17.

b) Akibat terhadap kekayaannya debitor pailit

16 Sri Soemarti Hartono, Op.Cit, hlm.152


17 Zainal Asikin, Op.cit, hlm.135
Pasal 21 UUKPKPU menghendaki bahwa setelah putusan pailit, maka

seluruh harta yang dimiliki oleh debitor menjadi harta pailit, termasuk

bila debitor pailit mendapat kekayaan setelah diputus pailit, kekayaan

tersebut menjadi bagian dari harta pailit18.

c) Akibat terhadap perikatan yang dibuat oleh debitor

Setelah diputus pailit, semua perikatan yang dibuat oleh debitor

setelah putusan pernyataan pailit diputus tidak lagi dapat diambil

pembayarannya dari harta pailit, melainkan dari harta pribadi debitor,

terkecuali apabila perikatan tersebut dapat menguntungkan bagi harta

pailit (menerima pembayaran utang dari pihak ketiga).

d) Akibat terhadap penjualan benda milik debitor

Penjualan benda-benda yang sebelumnya dimiliki oleh debitor apabila

dijual setelah diputus pailit, dalam Pasal 33 UUKPKPU dikatakan

bahwa kurator selaku yang berwenang tetap dapat melanjutkan

penjualan apabila jauh hari sebelum putusan pailit telah sempurna

pengikatannya19.

e) Akibat terhadap kreditor pemegang hak jaminan

Pasal 55 Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang mengakomodir privilege para kreditor pemegang

hak kebendaan untuk menjalankan haknya setelah masa

penangguhan paling lama 90 hari sejak putusan pailit diputus.

f) Akibat terhadap tuntutan hukum oleh pihak lain terhadap debitor

Setelah pailit, sejalan dengan Pasal 24 UUKPKPU maka harta pailit

yang sebelumnya milik debitor menjadi dikuasai oleh kurator, maka

dari itu sebagai pihak yang berwenang sudah sepantasnya apabila

18 Sri Soemarti Hartono, Op.cit, hlm.153


19 Ibid, hlm. 154
ada tuntutan hukum yang datang dari pihak ke 3 (tiga) ditujukan

terhadap kurator yang menguasai harta pailit debitor 20.

d. Hubungan antara lembaga jaminan dengan kepailitan

a) Eksistensi Jaminan dalam ruang lingkup Kepailitan

Lembaga Jaminan mempunyai tempat khusus dalam kepailitan, yang

mana dalam pembahasan diatas bahwa konsep dasar pengaturan pailit

terdapat dalam Pasal 1131 KUH Perdata, terhadap piutang istimewa yang

diatur dalam Pasal 1133 KUH Perdata mengatakan;

“Hak untuk didahulukan di antara orang-orang berpiutang terbit dari hak

istimewa, dari gadai dan hipotik”

Sehingga apabila terdapat kreditor selain yang memiliki tagihan yang

dimaksudkan dalam Pasal 1133 KUH Perdata dengan diikuti perkembangan

zaman seperti tagihan yang dijamin dengan hak tanggungan dan hak fidusia,

maka terhadap mereka memiliki pula kedudukan yang harus didahulukan

terhadap kreditor-kreditor konkuren, Selain hak jaminan yang bersifat

kebendaan kepailitan juga mengenal jaminan oleh orang atau badan hukum

yang berarti orang perorangan atau badan hukum akan menjadi penjamin,

sehingga para penjamin yang menjaminkan dirinya apabila debitor yang ia

jamin menciderai prestasi (wanprestasi), maka ia harus melunasi kewajiban

terjamin (debitor)21.

b) Hak mendahului yang timbul pada kreditor pemegang hak

jaminan

Sesuai dengan Pasal 56 ayat (1) UUKPKPU, diberikan aturan main

kepada kreditor yang hendak melaksanakan haknya untuk mengambil

20 Ibid, hlm. 155


21 Sutan Remy Sjahdeini, Memahami Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan ,
Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2002, hlm. 71
pelunasan atas utangnya dengan cara mengeksekusi setelah melewati masa

penangguhan selama paling lama 90 (Sembilan puluh) hari. Tujuan utama

penangguhan tersebut menurut UUKPKPU adalah memberi waktu kepada

kurator untuk mengoptimalkan harta pailit dengan cara melelang harta benda

pailit, membuka kesempatan kepada debitor untuk mengajukan perdamaian

atau mengawasi kelangsungan usaha debitor.

Dalam Pasal 59 ayat (1) UUKPKPU, disebut bahwa lama waktu untuk

melaksanakan eksekusi diberi selama 2 (dua) bulan setelah jangka waktu

paling lama 90 (sembilan puluh) hari dan apabila telah lewat dari 2 (dua)

bulan harta debitor tidak dapat dieksekusi oleh kreditor, maka kurator harus

menuntut penyerahan barang yang menjadi agunan untuk selanjutnya dijual

sesuai dengan Pasal 185 UUKPKPU dalam rangka untuk mengambil uang

pelunasannya. Apabila kreditor pemegang hak sebagaimana dalam Pasal 55

Ayat (1) UUKPKPU melaksanakan eksekusi dan berhasil terjual, setelahnya

kreditor tersebut harus memberi pertanggungjawaban kepada kurator

mengenai hasil penjualan benda yang menjadi harta pailit (agunannya) dan

menyerahkan sisa hasil penjualan benda yang menjadi agunan dan

menyerahkan sisa hasil penjualan setelah dikurangi dengan jumlah utang,

bunga dan biaya kurator.

3. Konsep umum Eksekusi sebagai hak kreditor.

a. Konsep Eksekusi sebagai pelaksanaan hak bagi pihak yang

dimenangkan dalam gugatan perdata

Eksekusi dapat diartikan sebagai pelaksanaan kewajiban terhadap pihak

yang dikalahkan dalam sebuah sengketa untuk memenuhi prestasi yang

tercantum dalam amar putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Eksekusi

umumnya merupakan rangkaian terakhir dalam sebuah proses pemeriksaan

sengketa perdata, sehingga kreditor baru dapat mengeksekusi harta debitor


apabila dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan bahwa debitor wanprestasi

atau cidera janji22. Dalam melaksanakan eksekusi terdapat 3 (tiga) cara yang

dapat ditempuh oleh kreditor untuk mengeksekusi, antara lain :

a) Eksekusi melalui penjualan dibawah tangan

Eksekusi dengan penjualan dibawah tangan umumnya dilakukan

dengan tujuan untuk mencari harga tertinggi agar tidak merugikan

debitor, untuk menjual dibawah secara bawah tangan kreditor haruslah

mendapat persetujuan dari debitor. Pelaksanaan penjualan di bawah

tangan baru dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan

sejak diberitahukan secara tertulis oleh kreditor dan atau debitor

dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang

bersangkutan (Pasal 29 ayat (2) UUJF.

b) Eksekusi melalui Fiat pengadilan

Eksekusi ini didasarkan dengan Pasal 224 HIR yang mana

dilakukan oleh kreditor dengan cara mengajukan permohonan kepada

Ketua Pengadilan Negeri agar sertifikat sebagai bukti penguasaan atas

hak jaminan atas kebendaan dapat dieksekusi. Permohonan diajukan

oleh kreditor dengan menyerahkan sertifikat kepada Ketua Pengadilan

Negeri agar diterbitkan fiat atau surat perintah sehingga eksekusi dapat

dijalankan secara paksa bahkan dengan bantuan aparat penegak

hukum.

c) Parate Executie melalui Pelelangan

Eksekusi untuk menjual obyek jaminanatas kekuasaan sendiri

dikenal dengan istilah “parate executie”, parate executie merupakan

hak kreditor pemegang jaminan kebendaan berdasarkan Pasal 29

ayat (1) huruf b UUJF. Untuk melaksanakan hak tersebut haruslah

22 Yahya harahap, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan
Putusan Pengadilan , Jakarta : Sinar Grafika, 2005, hlm.205
dipertegas dengan janji secara tegas yang menyatakan bahwa

apabila debitor cidera janji, kreditor pemegang jaminan kebendaan

berhak menjual obyek yang dijamin melalui penjualan umum tanpa

terlebih dahulu mendapatkan persetujuan atau fiat dari Pengadilan


23
Negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (3) UUJF . Sisa

utang pasca penjualan benda jaminan debitor tidak hapus setelah

dilakukan penjualan, melainkan masih dapat dituntut lagi

dikemudian hari atas harta lainnya.

Permintaan untuk segera melakukan eksekusi dimungkinkan

berdasarkan perjanjian utang-piutang yang pada umumnya mencantumkan

klausul bahwa utang menjadi jatuh tempo apabila terjadi sebagaimana

disebut dalam klausul perjanjian utang-piutang kredit, jika ditegaskan dalam

perjanjian kredit, kejadian-kejadian yang dapat menyebabkan atau dianggap

sebagai wanprestasi dan mengakibatkan kredit jatuh tempo dan apabila

terjadi salah satu peristiwa yang disebut dalam perjanjian utang-piutang

tersebut, maka demi hukum utang yang terdapat dalam perjanjian kredit

menjadi jatuh tempo dan setelahnya apabila kreditor pemegang agunan

dapat mengajukan permintaan eksekusi melalui proses gugatan secara

perdata terlebih dahulu.

b. Pelaksanaan putusan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu

(Uitvoerbar Bij Voorrad) dalam konteks eksekusi di ruang lingkup

kepailitan

Pelaksanaan putusan oleh hakim umumnya memerlukan kekuatan

hukum yang tetap (inkracht van gewijsde) agar dapat dijalankan amarnya.

Dalam beberapa sengketa keperdataan tertentu, putusan majelis dapat

23 Pasal 15 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
dilaksanakan terlebih dahulu sebelum adanya kekuatan hukum yang tetap

sehingga seluruh keadaan hukum yang meliputi objek sengketa dapat

berubah dengan adanya putusan yang dapat dijalankan terlebih dahulu

tersebut. Putusan yang dapat dijalankan terlebih dahulu atau Uitvoerbar Bij

Voorrrad adalah putusan yang dapat dijalankan meskipun nantinya terdapat

upaya hukum baik Banding, Kasasi maupun Peninjauan Kembali 24.

Dari segi putusan akhir terdapat perbedaan antara pemeriksaan acara

perdata biasa dengan kepailitan, putusan pernyataan pailit berprinsip bahwa

putusan dapat terlebih dahulu dijalankan meskipun terhadap putusan

tersebut diajukan suatu upaya hukum dikarenakan perkara kepailitan

menggunakan proses pembuktian sumir (cepat), sehingga putusan yang ada

juga dianggap sederhana25. Seringkali hak azasi debitor sesaat setelah

dinyatakan jatuh pailit menjadi terancam dikarenakan sifat putusan

pernyataan pailit yang serta merta mulai mengintai harta kekayaan debitor,

diawali dengan ketentuan Pasal 21 UUKPKPU yang mengatur bahwa seluruh

harta benda debitor pailit menjadi harta pailit saat diputus pailit serta

dikuatkan dengan Pasal 1132 KUH Perdata yang mengatur bahwa

kebendaan debitor menjadi jaminan pelunasan piutang menyebabkan harta

kekayaan debitor siap untuk dijual untuk pelunasan kapanpun setelah diputus

pailit26. Pasal 24 UUKPKPU juga turut mengancam debitor karena terhitung

sejak ditetapkannya putusan pernyataan pailit, debitor kehilangan hak

menguasai dan mengurus kekayaannya yang selanjutnya pengurusan

tersebut akan diserahkan kepada kurator yang diangkat oleh pengadilan,

atas itu debitor menjadi tidak cakap (onbekwaam).

24 Yahya harahap,Op.cit , hlm.787


25 Ni Gusti Ayu Dyah Setyawati, Tinjauan Yuridis Pada Surat Edaran Mahakamah Agung Nomor 3
Tahun 2000 Tentang Putusan Serta Merta (Uit Voerbar Bij Voorrad) Terhadap Putusan Pailit, dalam
Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana,No.15, Agustus 2017, Denpasar: Fakultas Hukum
Universitas Udayana, 2017, hlm. 2
26 Ni Gusti Ayu Dyah Setyawati, Ibid, hlm.3
Kurator sesuai Pasal 59 Ayat (2) UUKPKPU berkewajiban untuk

meminta harta benda debitor yang gagal dieksekusi oleh kreditor pemegang

jaminan kebendaan untuk dijual sesuai dengan cara Pasal 185 UUKPKPU,

sifat wajibnya kurator untuk menuntut penyerahan harta benda pailit (agunan)

dari kreditor separatis tersebut berasal dari sifat serta mertanya putusan

pernyataan pailit yang berawal dari pengaturan Pasal 21 dan Pasal 24

UUKPKPU, sehingga dapat dilihat kepailitan dalam UUKPKPU secara

otomatis memerlukan sifat putusan yang uitvoerbar bij voorrad untuk

menjalankan akibat-akibat hukumnya27.

Daftar Pustaka

Buku

Azikin, Zainal (nama tidak dibalik). 2010 (tahun simpan di belakang Kota).
Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Utang Di Indonesia,
(Penerbit dulu) Jakarta : PT Radja Grafindo Persada.

Berlaku untuk data buku semuanya, perbaiki !

27 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Jakarta : Kencana
Prenada Media Group, 2008, hlm.34
Djumhana, Muhammad. 2009. Hukum Perbankan di Indonesia, Bandung :
Citra Aditya Bakti.

Sastrawidjaja, Man Suparman. 2006. Hukum Kepailitan dan Penundaan


Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: Penerbit Alumni

Kartono. 1989. Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, Jakarta : Pradnya


Paramita

Sjahdeini, Sutan Remy. 2002. Memahami Undang-Undang No.37 Tahun


2004 tentang Kepailitan, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti,

Lontoh, Rudy Abdur. 2001. Penyelesaian Utang-Piutang: Melalui Pailit atau


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung ; Penerbit Alumni

Hartono, Sri Soemarti. 2001. Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan


Pembayaran, Yogyakarta : Penerbit Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada Seksi Hukum Dagang

Fuady, Munir. 1998. Hukum Pailit : Dalam Teori dan Praktek, Bandung : PT
Citra Aditya Bakti

Astara, I Wayan Asna. 2018. Hukum Kepailitan : Teori dan Praktek,


Denpasar: Warmadewa University Press

Harahap,Yahya. 2005. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan,


Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta : Sinar Grafika

Shubhan, Muhammad Hadi. 2008. Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma, dan


Praktik di Peradilan, Jakarta : Kencana Prenada Media Group

Perbaiki urutannya !
Peraturan Perundangan-undangan

Sumber lain
Jurnal Ilmiah
Umardani, Mohamad Kharis. 2014. Kredit sindikasi Dalam Perspektif Hukum
Dan Peraturan Perbankan (Studi Kasus Pada PT Bank DKI), dalam Jurnal
Fakultas hukum Universitas YARSI, Jakarta : Fakultas Hukum Universitas
YARSI

Setyawati, Ni Gusti Ayu Dyah. 2017. Tinjauan Yuridis Pada Surat Edaran
Mahakamah Agung Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Putusan Serta Merta (Uit
Voerbar Bij Voorrad) Terhadap Putusan Pailit, dalam Jurnal Fakultas Hukum
Universitas Udayana, Denpasar : Fakultas Hukum Universitas Udayana
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

Anda mungkin juga menyukai