Anda di halaman 1dari 4

KONSEP NEUROSAINS, NEUROPLASTISITAS, dan

NEUROBEHAVIOR DALAM PENINGKATAN DERAJAT


KESEHATAN MANUSIA

Mirza Wafiyudin Baehaqi dan Yudha Nurdian

Faculty of Medicine, University of Jember, Indonesia

INTISARI: Otak manusia benar-benar unik, satu organ ini dapat melakukan berbagai
hal yang menakjubkan mulai dari fungsi kognisi (neurokognisi), pengaturan perilaku individu
(neurobehavioral), pemrosesan rangsangan sensoris dan motoris, keseimbanganm, dan lain –
lain. Tidak berlebihan rasanya jika banyak orang yang mengganggap otak adalah bagian
utama dari manusia. Namun, sayangnya dahulu orang percaya bahwa kemampuan otak
beserta neuronnya yang luar biasa ini tidak diimbangi dengan kemampuannya untuk
memulihkan diri ketika rusak, mereka beranggapan otak adalah sesuatu yang sudah
didapatkan dari lahir dan tidak dapat diubah.
Beruntungnya, berkat kemajuan teknologi modern, para peneliti kini dapat melihat
cara kerja otak yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Ketika studi neurosains modern
berkembang, para peneliti menunjukkan bahwa orang tidak terbatas pada kemampuan mereka
sejak lahir dan bahwa otak yang rusak seringkali cukup mampu melakukan perubahan yang
luar biasa. Kemampuan ini yang kemudian disebut neuropplastisitas. Tapi, apa sebenarnya
neuroplastisitas dan mengapa ini adalah studi baru mengubah paradigma bidang neurosains?
Secara singkat, neuroplastisitas adalah kemampuan otak untuk terus berubah semasa
hidup. Neuroplastisitas merupakan suatu penemuan luar biasa dari neurosains, yakni ilmu
yang mengkhususkan pada studi saintifik mengenai sistem saraf yang mempelajari hal-hal
meliputi struktur,fungsi sejarah evolusi, pengembangan, genetika, biokimia, fisiologi,
informatika, komputasi dan patologi sistem saraf. Terdapat 4 bentuk neuroplastisitas yang
terdapat pada manusia yaitu : homologous area adaptation, cross modal reassignment, map
expansion, and compensatory masquerade.

Salah satu bentuk neuroplastisitas, homologous area adaptation tampak paling aktif
selama tahap awal perkembangan manusia mendasari gagasan bahwa, kerusakan pada
wilayah otak tertentu dan fungsi kognitifnya dapat dikompensasi dengan menggeser operasi
dari area yang mengalami kerusakan ke area otak lain yang tidak mengalami kerusakan,
misalkan seseorang mengalami cedera otak (toksin, stroke, infeksi, stroke) beberapa neuron
akan mati dan berhenti mengantarkan sinyal. Neuron yang lainnya akan terus hidup walaupun
ketika sirkuit otak “mati” neuron akan terus mengirimkan beberapa sinyal listrik, meskipun
pada tingkat yang berbeda, sering kali lebih lambat daripada ketika diaktifkan dan “menyala”.
Neuron bisa bekerja secara bersama-sama, berkomunikasi melalui networks di otak.

Bentuk kedua neuroplastisitas yaitu, cross modal assignment melibatkan pengenalan


input baru ke wilayah otak yang telah kehilangan input utamanya. Ketiga yaitu, map
expansion menunjukkan fleksibilitas daerah otak yang dikhususkan untuk jenis pengetahuan
tertentu/fungsi kognitif. Studi baru-baru ini menunjukkan bahwa ukuran peta kortikal untuk
fungsi proses informasi tertentu dapat membesar dengan skilled practice atau sering terpapar
dengan stimulus.

Keempat yaitu, compensatory masquerade artinya reorganisasi dari jaringan saraf


fungsional yang sudah ada. Kemampuan otak untuk beradaptasi dan melakukan
neuroplastisitas setelah terpapar stressor merupakan hal yang cukup mengubah pandangan
dikarenakan sebelumnya ilmuan berpikir bahwa neuron otak tidak dapat mengalami
perubahan, jadi ketika seseorang mengalami kerusakan maka kerusakan itu akan terjadi
secara permanen dan mempengaruhi aspek kehidupan pasien selamanya. Tidak terkecuali
aspek neurobehaviour, yakni proses mental yang dapat dimodelkan secara saintifik berkaitan
dengan perilaku dan kognitif pada hubungannya dengan sistem saraf.

Misalkan pada kasus PTSD (Post Traumatic Stress Disorder), seorang veteran mengalami
stress psikologis berupa trauma selama di kawasan militer perang, sehingga membuat kesehatan
mentalnya terganggu dan akhirnya mengalami PTSD. PTSD ini memberikan konsekuensi berupa
perubahan struktur amigdala dan hipokampus, yakni bagian yang memegang peranan penting bagi
neurobehaviour, oleh karena itu banyak pasien penderita PTSD mengalami perubahan perilaku
menjadi lebih mudah marah, cepat merasa terganggu, cemas berlebihan, dan lain – lain. Terapi
paradigma lama hanya berfokus pada pemberian farmakoterapi antidepressant dan anti-cemas saja
yang akan menghilangkan gejala untuk sementara.

Dengan adanya pengetahuan baru bahwa otak manusia mempunyai kemampuan


plastisitas, kini fokus klinisi dapat berubah menjadi bagaimana cara mengubah struktur otak
yang sebelumnya telah rusak menjadi baik kembali. Hal ini memberikan wawasan baru untuk
mengembangkan terapi yang memanfaatkan fisiologi neuroplastisitas seperti stimulasi otak
dan pengembangan obat yang menstimulasi jalur persinyalan yang terlibat dalam
pengkondisian rasa takut dan plastisitas sinaptik di amygdala, mungkin dengan itu dapat
menghilangkan rasa takut yang tidak perlu atau mencegah pengembangan ketakutan pada
pasien yang rentan terhadap PTSD.
Sayangnya, pemahaman ilmuan terkait neuroplastisitas masih sangat rendah.
Pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana mekanisme adaptif plastisitas otak di setiap
tingkatan, dari tingkat molekul, sinapsis, jaringan, hingga perilaku, dapat diperoleh dari
kolaborasi berulang antara peneliti laboratorium dan klinis. Data dapat diperoleh dari
mempelajari bidang yang terkait dengan plastisitas, seperti perkembangan penyakit setelah
dilakukan intervensi tertentu, periode kritis penyakit, dan bagaimana respon terhadap
penyakit.
PENUTUP: Dibutuhkan sarana yang lebih baik untuk menilai neuroplastisitas pada
manusia, termasuk biomarker untuk memprediksi dan memantau respons pengobatan.
Neuroplastisitas terjadi dengan banyak variasi, dalam banyak bentuk, dan dalam banyak
konteks. Oleh karena itu, masih banyak sekali penelitian lanjutan lintas disiplin untuk
integrasi informasi yang harapannya memanfaatkan neuroplastisitas ke dalam terapi klinis
yang efektif.

Referensi

Helmstetter, S. 2014. The Power Neuroplasticity

C. Léna, J.-P. Changeux (auth.), J. Grafman Ph.D., Yves Christen Ph.D. (eds.) 2014.
Neuronal Plasticity Building a Bridge from the Laboratory to the Clinic

Elzinga BM, Schmahl CS, Vermetten E, van Dyck R, Bremner JD. Higher cortisol levels
following exposure to traumatic reminders in abuse-related PTSD. Neuro-
psychopharmacology. 2003;28:1656–1665.

Norman Doidge, M.D. 2015. The brain's way of healing remarkable discoveries and
recoveries from the frontiers of neuroplasticity

Adolphs R. 2003. Cognitive Neuroscience Of Human Social Behaviour

Steven Johnson. 2005. Mind Wide Open Your Brain and the Neuroscience of Everyday Life

Dale Purves, George J. Augustine, David Fitzpatrick, William C. Hall, Anthony-Samuel


Lamantia, James O. McNamara, S. Mark Williams. 2004. Neuroscience Sinauer
Associates
Kaminska M, Harris J, Gijsbers K, Dubrovsky B. Dehydroepiandrosterone sulfate (DHEAS)
counter-acts decremental effects of corticosterone on dentate gyrus LTP: implications
for depression. Brain Res. Bull. 2000;52:229–234

Bremner JD, Vermetten E, Kelley ME. 2007. Cortisol, dehydroepiandrosterone, and estradiol
measured over 24 h in women with childhood sexual abuse-related posttraumatic
stress disorder. J. Nerv. Ment. Dis.

Jatzko A, Rothenhofer S, Schmitt A, Gaser C, Demirakca T, Weber-Fahr W, Wessa M,


Magnotta V, Braus DF. Hippocampal volume in chronic posttraumatic stress disorder
(PTSD): MRI study using two different evaluation methods. J. Affect. Disord.
2006;94:121–126.

Anda mungkin juga menyukai