Konsep Neurosains, Neuroplastisitas, Dan Neurobehavior Dalam Peningkatan Derajat Kesehatan Manusia
Konsep Neurosains, Neuroplastisitas, Dan Neurobehavior Dalam Peningkatan Derajat Kesehatan Manusia
INTISARI: Otak manusia benar-benar unik, satu organ ini dapat melakukan berbagai
hal yang menakjubkan mulai dari fungsi kognisi (neurokognisi), pengaturan perilaku individu
(neurobehavioral), pemrosesan rangsangan sensoris dan motoris, keseimbanganm, dan lain –
lain. Tidak berlebihan rasanya jika banyak orang yang mengganggap otak adalah bagian
utama dari manusia. Namun, sayangnya dahulu orang percaya bahwa kemampuan otak
beserta neuronnya yang luar biasa ini tidak diimbangi dengan kemampuannya untuk
memulihkan diri ketika rusak, mereka beranggapan otak adalah sesuatu yang sudah
didapatkan dari lahir dan tidak dapat diubah.
Beruntungnya, berkat kemajuan teknologi modern, para peneliti kini dapat melihat
cara kerja otak yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Ketika studi neurosains modern
berkembang, para peneliti menunjukkan bahwa orang tidak terbatas pada kemampuan mereka
sejak lahir dan bahwa otak yang rusak seringkali cukup mampu melakukan perubahan yang
luar biasa. Kemampuan ini yang kemudian disebut neuropplastisitas. Tapi, apa sebenarnya
neuroplastisitas dan mengapa ini adalah studi baru mengubah paradigma bidang neurosains?
Secara singkat, neuroplastisitas adalah kemampuan otak untuk terus berubah semasa
hidup. Neuroplastisitas merupakan suatu penemuan luar biasa dari neurosains, yakni ilmu
yang mengkhususkan pada studi saintifik mengenai sistem saraf yang mempelajari hal-hal
meliputi struktur,fungsi sejarah evolusi, pengembangan, genetika, biokimia, fisiologi,
informatika, komputasi dan patologi sistem saraf. Terdapat 4 bentuk neuroplastisitas yang
terdapat pada manusia yaitu : homologous area adaptation, cross modal reassignment, map
expansion, and compensatory masquerade.
Salah satu bentuk neuroplastisitas, homologous area adaptation tampak paling aktif
selama tahap awal perkembangan manusia mendasari gagasan bahwa, kerusakan pada
wilayah otak tertentu dan fungsi kognitifnya dapat dikompensasi dengan menggeser operasi
dari area yang mengalami kerusakan ke area otak lain yang tidak mengalami kerusakan,
misalkan seseorang mengalami cedera otak (toksin, stroke, infeksi, stroke) beberapa neuron
akan mati dan berhenti mengantarkan sinyal. Neuron yang lainnya akan terus hidup walaupun
ketika sirkuit otak “mati” neuron akan terus mengirimkan beberapa sinyal listrik, meskipun
pada tingkat yang berbeda, sering kali lebih lambat daripada ketika diaktifkan dan “menyala”.
Neuron bisa bekerja secara bersama-sama, berkomunikasi melalui networks di otak.
Misalkan pada kasus PTSD (Post Traumatic Stress Disorder), seorang veteran mengalami
stress psikologis berupa trauma selama di kawasan militer perang, sehingga membuat kesehatan
mentalnya terganggu dan akhirnya mengalami PTSD. PTSD ini memberikan konsekuensi berupa
perubahan struktur amigdala dan hipokampus, yakni bagian yang memegang peranan penting bagi
neurobehaviour, oleh karena itu banyak pasien penderita PTSD mengalami perubahan perilaku
menjadi lebih mudah marah, cepat merasa terganggu, cemas berlebihan, dan lain – lain. Terapi
paradigma lama hanya berfokus pada pemberian farmakoterapi antidepressant dan anti-cemas saja
yang akan menghilangkan gejala untuk sementara.
Referensi
C. Léna, J.-P. Changeux (auth.), J. Grafman Ph.D., Yves Christen Ph.D. (eds.) 2014.
Neuronal Plasticity Building a Bridge from the Laboratory to the Clinic
Elzinga BM, Schmahl CS, Vermetten E, van Dyck R, Bremner JD. Higher cortisol levels
following exposure to traumatic reminders in abuse-related PTSD. Neuro-
psychopharmacology. 2003;28:1656–1665.
Norman Doidge, M.D. 2015. The brain's way of healing remarkable discoveries and
recoveries from the frontiers of neuroplasticity
Steven Johnson. 2005. Mind Wide Open Your Brain and the Neuroscience of Everyday Life
Bremner JD, Vermetten E, Kelley ME. 2007. Cortisol, dehydroepiandrosterone, and estradiol
measured over 24 h in women with childhood sexual abuse-related posttraumatic
stress disorder. J. Nerv. Ment. Dis.