NPM : 110110180083
1. Pembuktian
Pembuktian atau dengan kata lain membuktikan dikenal dalam arti logis atau ilmiah.
Membuktikan disini berarti memberi kepastian yang bersifat mutlak dan relatif dimana
didasarkan atas perasaan (conviction in time) dan didasarkan atas pertimbangan akal (conviction
rasonnee) karena berlaku bagi setiap orang. Pembuktian dalam hukum acara mempunyai arti
yuridis dimana pembuktian konvensional yang memiliki sifat khusus. Pembuktian dalam arti
yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak sehingga dilakukan secara historis dimana
mencoba untuk menetapkan apa yang telah terjadi secara konkreto. Sehingga pembuktian pada
dianggap benar.1 Tujuan pembuktian adalah memberikan kepastian pada Hakim untuk menilai
tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi dimana putusan yang dikeluarkan oleh Hakim
didasarkan atas pembuktian tersebut. dalam perkara perdata pembuktian yang tidak secara tegas
mensyaratkan adanya keyakinan dan menetapkan hubungan hukum antara kedua belah pihak.
Pembuktian memiliki dua unsur yakni unsur materiil maupun formil, dimana unsur pembuktian
materil mengatur tentang dapat tidaknya diterima pembuktian dengan alat-alat bukti di
1
Sudikno Mertukusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Revisi, (Yogyakarta:Cahaya Atma Pustaka, 2013),
hlm. 143.
unsur pembuktian formil mengatur tentang caranya mengadakan pembuktian. 2 Hukum
pembuktian dalam acara perdata diatur dalam HIR, Rbg dan BW buku IV. Yang tercantum
dalam HIR dan Rbg adalah hukum pembuktian baik yang metriil maupun formil. Apa yang
tecantum dalam BW buku IV adalah hukum pembuktian materiil, serta sumber hukum
pembuktian formil lainnya kecuali yang termuat dalam HIR dan Rbg adalah Rv.
Hakim dalam menangani pembuktian mendapati peran sebagai pencari kebenaran dan
menetapkan atau mengkonstatir peristiwa yang terjadi. Dalam pembuktian yang harus dibutikan
adalah peristiwanya bukan hukumnya. Hukumnya tidak harus diajukan atau dibuktikan oleh para
pihak, tetapi secara ex officio dianggap harus diketahui dan diterapkan oleh Hakim (berlandaskan
kepada ius curia novit). Ketentuan ini dapat disimpulkan dari Pasal 178 Ayat 1 HIR (Pasal 189
Ayat 1Rbg) dan Pasal 50 Ayat 1 Rv. 3 Peristiwa-peristiwa yang telah dikemukakan diatas
merupakan peristiwa yang terjadi dan dikemukakan oleh penggugat dan tergugat, dimana
peristiwa tersebut di saring oleh hakim dan harus dipisahkan mana yang lebih penting (relevant,
material) bagi hukum dan mana yang tidak (irrelevant, immaterial). Peristiwa yang relevan
itulah yang harus ditetapkan dan oleh karena itu harus dibuktikan. Dari peristiwa tersebut yang
harus dibuktikan adalah kebenarannya, dalam hukum acara perdata kebenaran yang harus dicari
oleh Hakim adalah kebenaran formil, berarti bahwa Hakim tidak boleh melampaui batas-batas
yang diajukan oleh yang berperkara. Pasal 178 Ayat 3 HIR (Pasal 189 Ayat 3 Rbg. 50 Ayat 3
Rv) melarang Hakim untuk menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut. Dalam
Sekalipun peristiwa yang disengketakan telah diajukan pembuktian, pembuktian itu masih harus
dinilai. Dimana pembentuk Undang-undang dapat mengikat Hakim pada alat-alat bukti tertentu
2
Ibid, hlm. 145.
3
Ibid, hlm. 146.
sehingga Ia tidak bisa bebas menilai dan sebaliknya Pembentuk Undang-undang dapat
Sebagaimana tertera dalam Pasal 165 HIR, 285 Rbg. 1870 BW “Terhadap akta yang merupakan
alat bukti tertulis misalnya, Hakim terikat dalam penilaiannya. Sebaliknya dalam Pasal 172 HIR,
309 Rbg, 1908 BW “Hakim tidak wajib mempercayai seorang saksi yang berarti bahwa ia bebas
memiliki kesaksian. Pada umumnya, sepanjang Undang-undang tidak mengatur sebaliknya maka
Hakim bebas untuk menilai pembuktian. Apabila alat bukti oleh Hakim dinilai cukup memberi
kepastian tentang peristiwa yang disengketakan untuk mengabaikan akibat hukum yang dituntut
oleh penggugat, kecuali ada bukti lawan, bukti itu dinilai sebagai bukti lengkap atau sempurna. 4
Tiap pembuktian walau dengan bukti lengkap, dapat dilumpuhkan oleh bukti lawan. Pembuktian
lawan adalah setiap pembuktian yang bertujuan untuk menyangkut akibat hukum yang
dikehendaki oleh pihak lawan atau untuk membuktikan ketidakbenaran peristiwa yang diajukan
oleh puhak lawan atau untuk membuktikan ketidakbenaran peristiwa yang diajukan oleh pihak
lawan.5 Tentang menilai pembuktian terdapat 3 (tiga) teori yang menjelaskan mengenai
pembuktian yakni:6
bahwa ketentuan ini harus membatasi pada larangan kepada Hakim untuk melakukan
4
Ibid, hlm. 149.
5
Ibid.
6
Ibid.
sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi Hakim disini dilarang dengan
Teori ini mengehendaki adanya perintah kepada Hakim. Disini Hakim diwajibkan tetapi
Beban pembuktian diatur dalam Pasal 163 HIR (Pasal 283 Rbg, 1865 BW) “Barang siapa
yang mengaku mempunyai hak atau yang mendasar pada suatu peristiwa untuk menguatkan
haknya itu atau untuk menyangkut hak orang lain, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa
itu”. Berarti bahwa kedua belah pihak penggugat dan tergugat dapat dibebani dengan beban
tergugat berkewajiban membuktikan bantahannya. Jika salah satu pihak dibebani dengan
pembuktian dan ia tidak dapat membuktikan, maka ia akan dikalahkan. Dalam ilmu pengetahuan
terdapat beberapa teori tentang beban pembuktian yang dapat merupakan pedoman bagi Hakim
yakni:7
Menurut teori ini yang mengemukakan sesuatu maka harus membuktikannya bukan yang
mengingkarinya. Dasar hukum dari teori ini ialah pendapat bahwa hal-hal yang negatif
tidak mungkin dibuntikan (negative non sunt probanda). Peristiwa negatif tidak dapat
menjadi dasar dari suatu hak sekalipun pembuktiannya mungkin hal ini tidak penting dan
7
Ibid, hlm 152-155.
2. Teori Hukum Subjektif
khusus yang bersifat menimbulkan hak. Sedangkan tergugat harus membuktikan tidak
menghalang-halangi dan yang bersifat membatalkan. Teori ini mendasar pada Pasal 1865
BW. Teori ini hanya dapat memberi jawaban apabila gugatan penggugat didasarkan atas
hukum subjektif.
Menurut teori ini mengajukan tuntutan hak atau gugatan berarti bawha penggugat
terhadap peristiwa yang diajukan. Oleh karena itu penggugat harus membuktikan
kebenaran dari peristiwa yang diajukan dan kemudian mencari hukum objektifnya untuk
Menurut teori ini mencari kebenaran suatu peristiwa didalam peradilan merupakan
kepentingan publik. Oleh karena itu, Hakim harus diberi wewenang yang lebih besar
untuk mencari kebenaran. Disamping itu, para pihak memiliki kewajiban yang sifatnya
Menurut teori ini berlandaskan kepada Asas kedudukan prosesuil (audi et alterum
partem) yang sama dari para pihak di muka Hakim. Hakim harus membagi beban
yang sama dari para pihak membawa akibat bahwa kemungkinan untuk menang bagi para
pihak harus sama. Oleh karena itum Hakim harus membebani para pihak dengan
pembuktian secara seimbang atau patut. Merujuk pada asasnya maka siapa yang
pembagian beban pembuktian itu baru dirasakan adil dan tepat apabila yang dibebani
pembuktian itu adalah pihak yang paling sedikit dirugikan jika disuruh membuktikan.
Menurut sistem HIR, dalam hukum acara perdata Hakim terikat pada alat-alat bukti yang
sah, berarti bahwa Hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang
ditentukan oleh Undang-undang saja. Alat-alat bukti yang disebutkkan oleh Undang-undang
(Pasal 164 HIR. 284 Rbg. 1866 BW) ialah : alat bukti tertulis, pembuktian dengan saksi,
Alat bukti tertulis diatur dalam Pasal 138, 165, 167 HIR, 164, 285-305 Rbg. S 1867 No.
29 dan Pasal 1867-1894 BW (baca juga Pasal 138-147 Rv). Alat bukti tertulis atau surat ialah
segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati
atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang yang dipergunakan sebagai pembuktian. 8
Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi menjadi 2 (dua) yakni surat akta dan surat bukan akta.
1. Akta
Akta merupakan surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa
yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja
untuk pembuktian.9 Keharusan ditanda tanganinya surat untuk dapat disebut akta
8
Ibid, hlm. 158.
9
Ibid.
tercantum dalam Pasal 1869 BW. Fungsi tanda tangan adalah memberi ciri atau untuk
mengindividualisir suatu akta. Dipersamakan dengan tanda tangan pada suatu akta
dibawah tangan ialah sidik jari (cap jari atau cap jempol) yang dikuatkan dengan suaru
keterangan yang diberi tanggal oleh seorang notaris atau pejabat lain yang ditunjuk. 10
Yang lebih dikenal dengan istilah waarmerking. Dimana para pihak sedniri yang
menetapkan isi dan menandatangani akta yang bersangkutan, sedangkan notaris hanya
membuat nomor pendaftarannya saja dalam buku daftar waarmerking. Alat bukti tertuilis
yang diajukan dalam acara perdata harus dibubuhi dengan materai untuk memenuhi Pasal
2 (1) a Undang-undang Bea Materia 1986 (UU No. 13 Tahun 1985). Menurut bentuknya,
a. Akta Otentik
Akta otentik adalah surat yang sejak semula dengan sengaja secara resmi dibuat dengan
tujuan untuk pembuktian dikemudian hari jika terjadi sengketa.11 Akta otentik diatur
dalam Pasal 1868 KUHPerdata “Suatu akta otentik adalah akta yang bentuknya
ditentukan oleh Undang-undang (welke in de wttelijke vorm is verdelen) dan dibuat oleh
ambtenaren) yang berkuasa untuk itu (daartoe bevoegd) di tempat akta dibuatnya.
Menurut Pasal 165 HIR (Pasal 285 Rbg. 1870 BW) akta otentik merupakan bukti yang
sempurna bagi kedua belah pihak, ahli warisnya, dan orang-orang yang mendapat hak
daripadanya yang berarti bahwa akta otentik itu masih juga dapat dilumpuhkan oleh bukti
lawan. Terhadap pihak ketiga, akta otentik merupakan alat bukti dengan kekuatan
10
Ibid, hlm. 159.
11
Ibid, hlm. 162.
12
Ibid, hlm. 164.
b. Akta di Bawah Tangan
Akta di bawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak
tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara para pihak yang
berkepentingan.13 Ada ketentuan khusus mengenai akta dibawah tangan, yaitu akta bawah
tangan yang memuat utang sepihak untuk membayar sejumlah uang tunai atau
menyerahkan suatu benda harus ditulis seluruhnya dengan tangan sendiri oleh orang yang
menandatangani. Keterngan ini dikenal dengan “bon pour cent florins”. Bila tidak
demikian akta dibawah tangan itu hanya dapat diteriman sebagai permulaan bukti
tertulis.14
Akta memiliki fungsi formil yang berarti bahwa untuk lengkapnya atau sahnya suatu perbuatan
Hakim haruslah dibaut suatu akta. Disini akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu
perbuatan Hakim.15 Disamping formil akta mempunyai fungsi sebagai alat bukti. Mengenai
Merupakan kekuatan yang didasarkan atas keadaan lahir, apa yang tampak pada lahirnya.
Yaitu bahwa surat yang tampaknya (dari lahir) seperti akta, dianggap (mempunyai
Merupakan kekuatan yang menyangkut atas benar tidaknya ada pertanyaan oleh yang
bertanda tangan dibawah akta itu. Kekuatan pembuktian formil ini memberi kepastian
13
Ibid, hlm. 165.
14
Ibid, hlm. 168.
15
Ibid, hlm. 169.
16
Ibid, hlm. 169-170
peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat
dalam akta.
Merupakan kekuatan yang memberi kepastian tentang materi suatu akta, memberi
kepastian bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan seperti yang dimuat
dalam akta.
Mengenai surat-surat lainnya yang bukan akta baik HIR, Rbg, maupun BW tidak
mengatur dari kekuatan pembuktian dari surat-surat yang bukan akta. Pasal 1881 BW dan 1883
BW mengaur secara khusus beberapa surat dibawah tangan yang bukan merupakan akta, yaitu
buku daftar (register), surat-surat rumah tangga dan catatan-catatan yang dibutuhkan oleh
seorang kreditur pada suatu alas hak selamanya dipegangnya. Kekuatan pembuktian dari bukan
akta diserahkan kepada pertimbangan Hakim. Serta mengenai salinan Undang-undang hanya
mengatur kekuatan pembuktian dari salinan akta, sehingga kekuatan pembuktian dari salinan
surat-surat lainnya diserahkan kepada pertimbangan dari Hakim. 17 Salinan suatu akta mempunyai
kekuatan pembuktian sepanjang sesuai dengan akta aslinya (Pasal 301 Rbg. 1888 BW). Dimana
Hakim selalu berwenang untuk memerintahkan kepada pihak yang bersangkutan untuk
peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang
17
Ibid, hlm. 175.
yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang di panggil dalam persidangan. 18 Sehingga
merupakan keterangan tentang peristiwa yang kejadiannya dialami sendiri. Yang dapat didengar
sebagai saksi adalah pihak ketiga dan bukan salah satu pihak yang berperkara (Pasal 139 Ayat 1
HIR, 165 Ayat 1 Rbg). Dalam penilaian alat bukti saksi berdasarkan Pasal 172 HIR (Pasal 309
Rbg. 1908 BW) Hakim harus memerhatikan kesesuaian antara keterangan para saksi yang
sekiranya memengaruhi tentang dapat atau tidak dipercayanya seorang saksi. Dalam setiap
kesaksiannya harus disebut segala sesuatu sebab pengetahuan saksi (Pasal 171 Ayat 1 HIR, 308
Ayat 1 Rbg. 1907 BW) ia harus menerangkan bagaimana ia sampai dapat mengetahuinya sebab
musabab sampai ia dapat mengetahui peristiwanya harus disebukan. Yang dapat didengar dan
bertindak sebagai saksi dan tidak dapat didengar dan tidak dapat bertindak sebagai saksi yakni:19
I. Ada segolongan orang yang dianggap tidak mampu untuk bertindak sebagai saksi:
1. Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang harus dari salah satu
pihak (Pasal 145 Ayat 1 sub HIR, 172 Ayat 1 sub 1 Rbg, 1910 Alinea 1 BW). Kecuali
berhubungan dengan kedudukan keperdataan dari para pihak seperti pemberian nafkah,
2. Suami atau Istri dari salah satu pihak, meskipun sudah bercerai (Pasal 145 Ayat 1 sub 2
1. Anak-anak yang belum mencapai umur 15 tahun (Pasal 145 Ayat 1 sub 3 jo. Ayat 4 HIR,
18
Ibid, hlm. 176.
19
Ibid, hlm. 181-183
2. Orang gila atau dibawah pengampuan (Pasal 145 Ayat I sub 4 HIR, 172 ayat I sub 5 Rbg,
1912 BW).
II. Ada segolongan orang yang atas permintaan mereka sendiri dibebaskan dari kewajibannya
untuk memberi kesaksian. Mereka yang boleh mengundurkan diri ini diatur dalam Pasal 146
a. Saudara laki-lakai dan perempuan serta ipar laki-laki dan perempuan dari salah satu
pihak.
b. Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki-laki dan perempuan
c. Semua orang yang karena martabat, jabatan, atau hubungan kerja yng sah diwajibkan
mempunyai rahasia, akan tetapi semata-mata hanya tentang hal yang diberitahukan
Terdapat tiga kewajiban bagi seseorang yang dipanggil sebagai saksi, yaitu:20
Kewajiban untuk mengahdap di muka persidangan diatur dalam Pasal 140 dan 141 HIR
(Pasal 166, 167 Rbg), yang menentukan adanya sanksi bagi saksi yang tidak mau datang
setelah dipanggil dengan patut. Apabila pada hari yang telah ditetapkan saksi yang telah
dipanggil tidak datang, ia dihukum untuk membaayar biaya yang telah dikeluarkan sia-sia
an ia akan dipanggil sekali lagi. Jika setelah pemanggilan keedua ia tidak juga datang
menghadap, maka kedua kalinya ia dihukum untuk membayar biaya yang telah sia-sia
20
Ibid, hlm. 184-186.
dikeluarkan dan dihukum pula untuk mengganti kerugian yang diderita oleh para pihak
karena ketidakhadirannya (Pasal 140 HIR). Hakim dapat memerintahkan agar saksi
Saksi apabila tidak mengundurkan diri, sebelum memberi keterangan harus disumpah
menurut agamanya (Pasal 147 HIR, 175 Rbg. 1911 BW jo. ps. 4 s. 1920 No. 69). Sumpah
ini disebut sebagai promissoir, lain dengan sumpah alat bukti yang disebut sumpah
confirmatoir. Sebagai pengganti sumpah saksi dapat mengucapkan janji apabila agama
atau kepercayaannya melarang untuk mengucapkan sumpah (Pasal 5. 6. S. 1920 No. 69,
177 Rv).
Apa yang ditanyakan kepada saksi harus disampaikan oleh pihak yang bersangkutan
kepada Hakim. Hakim karena jabatannya dapat memanggil saksi-saksi yang tidak
daiajukan oleh para pihak. Segala keterangan saksi yang diberikan di persidangan harus
dicatat dalam berita acara pemeriksaan persidangan (Pasal 152 HIR, 179 Rbg).
Keterangan dari pihak ketiga untuk memperoleh kejelasan bagi Hakim dari suatu
peristiwa yang disengketakan, kecuali dari saksi, kita peroleh dari ahli (deskundigenbericht,
expertise) yang dalam praktik pengadilan disebut sebagai “saksi ahli”. 21 Keterangan ahli diatur
dalam Pasal 154 HIR (Pasal 181 Rbg, 215 Rv), yang menentukan bahwa apabila pengadilan
berpendapat bahwa perkaranya dapat dijelaskan oleh seorang ahli, atas pemintaan salah satu
pihak karena jabatannya, pengadilan dapat mengangkat seorang ahli. Ahli itu diangkat oleh
21
Ibid, hlm. 205.
berlangsung. Dimana keterangan ahli merupakan keterangan pihak ketiga yang objektif dan
bertujuan untuk membantu Hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan Hakim
sendiri.
2.3. Persangkaan
Persangkaan dijelaskan dalam Pasal 164 HIR (Pasal 284 Rbg. 1866 BW) dimana
persumtions). Persangkaan adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung. Misalnya pembuktian
dari ketidakhadiran seseorang pada suatu waktu ditempat tertentu dengan membuktikan
kehadirannya pada waktu yang sama ditempat lain. Dengan demikian, setiap alat bukti dapat
menjadi persangkaan. Bahkan Hakim dapat menggunakan peristiwa prosesuil maupun peristiwa
notoir. sebagai persangkaan.22 Mengenai pembuktian alat bukti, disini persangkaan termasuk
pada persoalan apakah alat bukti itu memberikan kepastian yang langsung mengenai peristiwa
yang diajukan untuk dibuktikan atau mengenai persitiwa yang tidak diajukan untuk dibuktikan.
Sebagai contoh surat yang tidak ditandatangani yang langsung ada sangkut pautnya dengan suatu
perjanjian yang disengketakan, maka bukan merupakan persangkaan.23 Pendapat lainnya ada
yang mengemukakan bahwa persangkaan itu sesungguhnya bukanlah merupakan alat bukti
karena yang dipakai sebagai alat bukti sebetulnya bukan dari persangkaan sendiri, melainkan
alat-alat bukti lainnya, sehingga alat bukti disamping alat-alat bukti lainnya ditinggalkan.
Persangkaan diatur dalam HIR (Pasal 173), Rbg (Pasal 310), dan BW (Pasal 1915-1922).
Persangkaan merupakan bukti yang tidak langsung dan dibedakan seperti berikut:24
22
Ibid, hlm. 187.
23
Ibid.
24
Ibid, hlm. 188.
1. Persangkaan Pada Kenyataan
Undang-undang yang menetapkan hubungan antara peristwa yang diajukan dan harus
undang atau Hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terang nyata ke arah peristiwa lain yang
belum terang kenyataannya. Pasal 173 HIR menyatakan bahwa persangkaan didasarkan atas
1. Perbuatan-perbuatan yang oleh Undang-undang hanya dinyatakan batal, karena sift dan
undang.
4. Kekuatan yang diberikan oleh Undang-undang kepada pengakuan atau sumpah oleh salah
satu pihak.
diatur dalam Pasal 1921 ayat 2 BW, yaitu yang dapat menjadi dasar untuk membatalkan
perbuatan-perbuatan tertentu (Pasal 184, 911, 1681 BW). Persangkaan yang tidak
memungkinkan bukti lawan pada hakikatnya bukan persangkaan.25 Telah menjadi pendapat
umum bahwa persangkaan menurut Undang-undang di dalam ilmu pengetahuan tidak perlu
diserahkan kepada pertimbangan Hakim, yang hanya boleh memperlihatka persangkaan yang
semacam itu hanya boleh diperhatikan dalam hal undang-undang membolehkan pembuktian
dengan saksi. Demikian pula apabila diajukan suatu bantahan terhadap suatu perbuatan atas
suatu akta berdasarkan alasan adanya itikad buruk atau penipuan (Pasal 1922 BW).27
2.4. Pengakuan
keterangan sepihak, baik tertulis maupun lisan yang tegas dan dinaytakan oleh salah satu pihak
dalam perkara di persidangan, yang membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suatu
25
Ibid, hlm. 190.
26
Ibid.
27
Ibid.
peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya, yang mengakibatka
pemeriksaan lebih lanjut oleh Hakim tidak perlu lagi. 28 Dimana pengakuan merupakan
pernyataan tegas, karena pengakuan secara diam-diam tidaklah memberikan kepastian kepada
Hakim tentang kebenaran suatu peristiwa. Pengakuan merupakan keterangan yang membenarkan
peristiwa, hak, atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawan. Pasal 1916 BW menentukan
bahwa kekuatan yang diberikan pada pengakuan merupakan persangkaan menurut Undang-
undang. Dengan demikian, dengan adanya pengakuan maka sengketanya dianggap selesai
sekalipun pengakuannya tersebut tidak sesuai dengan kebenaran, dan Hakim tidak perlu meneliti
pengakuan tersebut.29 Pengakuan dalam Pasal 1926 bahwa pengakuan di muka Hakim pada
persidangan tidak dapat ditarik kembali, kecuali kalau terbukti bahwa pengakuan itu adalah
akibat dari kekeliruan. Pasal 174 HIR (persidangan. 311 RBg, 1925 BW) menentukan bahwa
pengakuan merupakan bukti sempurna terhadap yang melakukannya, baik secara pribadi maupun
diwakilkan secara khusus. Serta merupakan alat bukti yang bersifat menentukan, yang tidak
Pasal 176 HIR yang pada pokokya tidak berbeda dengan Pasal 1942 BW berbunyi :
“Tiap pengakuan harus diterima keseluruhannya dan hakim tidak bebas untuk menerima
Yang dimaksudkan adalah pengakuan harus diterima bulat. Hakim tidak boleh memisah-
misah atau memecah-mecah pengakuan itu dan menerima sebagian dari pengakuan
sehingga tidak perlu lagi dibuktikan dan menolak sebagian lainnya yang masih perlu
28
Ibid, hlm. 191.
29
Ibid.
dibuktikan lebih lanjut. Ilmu pengetahuan membagi pengakuan menjadi 3 (tiga) yakni
1. Pengakuan Murni
Pengakuan yang sifatnya sederhana dan sesuai sepenuhnya dengan tuntutan pihak lawan.
Pengakuan yang disertai dengan sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan. Pada
hakikatnya pengakuan dengan kualifikasi ini tidak lain adalah jawaban tergugat yang
jawaban tergugat seluruhnya merupakan sangkalan terhadap gugatan penggugat. Hakim baru
tambahan pengakuan itu tidak benar. Dalam hal ini, pembuktian kebenarannya dibebankan
kepada pihak tergugat. Karena pemisahan itu, pengakuan tergugat menjadi pengakuan biasa,
yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan bersifat mengikat. Berdasarkan Pasal
176 (Pasal 313 Rbg., 1924 BW) Hakim tidak boleh menolak permohonan penggugat tersebut.
Pengakuan di luar persidangan ialah keterangan yang diberikan oleh salah satu pihak
30
Ibid, hlm.193-194.
31
Ibid, hlm. 195.
yang dibenarkan oleh lawannya.32 Diatur dalam Pasal 175 HIR (Pasal 312 Rbg, 1927, 1928 BW)
yang mengatakan bahwa kekuatan pembuktian daripada pengakuan lisan di luar persidangan
diserahkan kepada pertimbangan Hakim (Pasal 1928 BW). Sedangkan Pasal 1927 BW
menentukan bahwa suatu pengakuan lisan di luar persidangan tidak dapat digunakan selain
dalam hal-hal dimana diizinkan untuk membuktikan dengan saksi. Pengakuan di luar
persidangan masih harus dibuktikan di persidangan, maka bukanlah sebagai alat bukti.
2.5. Sumpah
Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau
diucapkan pada waktu memberi janji atau keternagan dengan mengingat akan sifat mahakuasa
Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar dihukum
olehNya maka sumpah merupakan tindakan yang bersifat religius yang digunakan dalam
peradilan.33 Dapat disimpulkan adan 2 (dua) macam sumpah yaitu sumpah untuk berjanji
melakukan atau tidak melakukan sesuatu, dimana adalah sumpah saksi dan sumpah saksi ahli,
karena sebelum memberikan kesaksiannya harus diucapkan pernyataan atau janji memberi
keterangan yang benar dan tidak lain dari sebenarnya (sumpah promissoir) dan sumpah untuk
memberi keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu itu benar demikian atau tidak, dimana
32
Ibid, hlm. 196.
33
Ibid, hlm. 97.
34
Ibid.
35
Ibid, hlm. 198-204.
Sumpah suppletoir ialah sumpah yang diperintahkan oleh Hakim karena jabatannya
kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa
kekuatan pembuktian sempurna yang masih memungkinkan adanya bukti lawam. Pihak
lawan boleh membuktikan bahwa sumpah itu palsu apabila putusan yang didasarkan atas
sumpah suppletoir itu telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti, maka bagi pihak
yang dikalahkan terbuka kesempatan mengajukan request civil setelah putusan yang
menyatakan bahwa sumpah itu palsu. Siapapun bisa dibebani sumpah suppletoir oleh
Hakim. Pihak yang diperintahkan oleh Hakim untuk bersumpah suppletoir tidak boleh
mengembalikan sumpah suppletoir tersebut kepada lawannya. (Psal 1943 BW) ia hanya
Sumpah penaksiran adalah sumpah yang diperintahkan oleh Hakim karena jabatannya
kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti kerugian.36 Sumpah penaksiran
dapat dibebankan oleh Hakim kepada penggugat apabila penggugat telah dapat
membuktikan haknya atau ganti kerugian itu serta jumlahnya masih belum pasti dan tidak
ada cara lain untuk menentukan jumlah ganti kerugian tersebut kecuali dengan taksiran.
3. Sumpah Decisoir
Sumpah decisoir adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak
kepada lawannya (Pasal 156 HIR, 183 Rbg, 1930 BW). Pihak yang minta lawannya
mengucap sumpah disebut deferent, sedangkan pihak yang harus bersumpah disebut
delaat. Sumpah decisori ini dapat dibebankan mengenai segala peristiwa yang menjadi
sengketa dan bukan mengenai pelbagai pendapat tentang hukum atau hubungan hukum
36
Ibid, hlm. 199.
(Pasal 1930 BW). Kalau perbuatan itu dilakukan oleh kedua belah pihak dan pihak yang
sumpah itu kepada lawannya (relaat). Kalau perbuatan yang dimintakan sumpah itu
bukan merupakan perbuatan yang dilakukan bersama oleh kedua belah pihak, melainkan
hanya dilakukan oleh pihak yang dibebani sumpah saja, sumpah itu tidak boleh
dikembalikan (Pasal 1933 BW). Sumpah decisoir dapat berupa sumpah pocong, sumpah
Sumpah harus dilakukan di persidangan, kecuali kalau karena alasan-alasan yang sah
penyumpahan tidak dapat dilangsungkan di persidangan, dan hanya dapat dilakukan dihadapan
lawanya. (Pasal 158 HIR, 185 Rbg, 1944, 1945 BW). Serta sumpah yang tidak memberi
pembuktian selain untuk keuntungan atau kerugian yang memerintahkan atau yang
mengembalikannya atau ahli warisnya, serta mereka yang memperoleh hak daripadanya. (Pasal
1937 BW).
Pembuktian dalam perkara perdata berkaitan dengan alat bukti elektronik dapat dilakukan
berdasarkan ketentuan Pasal 1866 KUHPerdata juncto Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, yaitu dengan cara
mencari alat-alat bukti sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1866 KUHPerdata. Informasi
elektronik dan atau dokumen elektronik dapat diajukan sebagai alat bukti pada proses
37
Ibid, hlm. 202.
pembuktian dalam kasus perdata harus didukung oleh keterangan ahli bahwa alat bukti
elektronik tersebut memang merupakan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang
relevan dalam perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik yang sedang diperiksa. 38
Penggunaan alat bukti elektronik dalam perkara perdata, yaitu alat bukti lain berupa Informasi,
Dokumen, dan Tanda Tangan Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum
yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah apabila menggunakan Sistem
Elektronik sesuai dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.39 Bab III Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008
Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, mengatur Informasi, Dokumen, dan Tanda Tangan
Elektronik pada penjelasan Pasal 5 mengenai alat bukti elektronik sebagai berikut:
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum
(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan
Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
a. Surat yang menurut Undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis, dan
38
Refly Aditia Mamitoho, Penggunaan Alat Bukti Elektronik Dalam Pemeriksaan Perkara Perdata, Jurnal Lex Et
Socialis, Vol. II/No. 1/Januari/2014, hlm. 65.
39
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
b. Surat beserta dokumennya yang menurut Undang-undang harus dibuat dalam akta notaril
Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini”.
utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan peratran perundang-undangan,
c. Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan sistem
elektronik tersebut,
d. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi,
atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan
Pasal 6:
“Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang
mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya
dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga
Pasal 7:
“Setiap Orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang telah ada, atau menolak hak Orang
lain berdasarkan adanya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik harus memastikan
bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ada padanya berasal dari
Mekanisme mengenai proses tanda tangan yang bersifat elektronik diatur dalam Pasal 11 Ayat
(1):
(1) Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama
a. Data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan,
b. Data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik
c. Segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu
d. Segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan
e. Terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa Penandatangannya, dan
f. Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan telah memberikan
muncul sebagai alat bukti baru yang memiliki sifat perluasan. Dokumen elektronik yang
merupakan sebagai salah satu bentuk pembaruan hukum acara perdata dalam beberapa putusan
pengadilan terguncang eksistesinya. Hal ini dapat dilihat dalam Putusan Pengadilan Tinggi
Denpasar No. 150/PDT/2011/PT.Dps yang mengakui email sebagai alat bukti yang sah. Dimana
email merupakan salah satu wujud dari dokumen elektronik. Namun, dalam putusan tersebut foto
yang merupakan bagian dari dokumen elektronik tidak dianggap sebagai alat bukti. Hal ini sama
menyatakan rekaman suara tidak dapat dijadikan alat bukti dipengadilan yang mana rekaman
suara juga merupakan salah satu dokumen elektronik. Dalam 2 (dua) putusan tersebut tidak
disebutkan apa yang menjadi alasan para hakim tidak memperhatikan atau mempertimbangkan
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Jurnal:
Refly Aditia Mamitoho, Penggunaan Alat Bukti Elektronik Dalam Pemeriksaan Perkara
40
Muhammad Iqbal Tarigan Runtung, Budiman Ginting, Dedi Harianto, Dokumen Elektronik Sebagai Bukti Dalam
Perspektif Pembaruan Hukum Acara Perdata Indonesia, Usu Law Journal, Vol. 4. No. 1 (Januari 2016), hlm. 136.
Muhammad Iqbal Tarigan Runtung, Budiman Ginting, Dedi Harianto, Dokumen Elektronik
Sebagai Bukti Dalam Perspektif Pembaruan Hukum Acara Perdata Indonesia, Usu Law Journal,
Peraturan Perundang-undangan: