Anda di halaman 1dari 25

Nama : Esti Putri Wulansari

NPM : 110110180083

Kelas : Hukum Acara Perdata B

Dosen : 1. Linda Rachmainy, S.H.,M.H.

2. Rai Mantili, S.H.,M.H.

PEMBUKTIAN DAN JENIS ALAT BUKTI (ALAT BUKTI SURAT, SAKSI,

PENGAKUAN, PERSANGKAAN, SUMPAH) SERTA ALAT BUKTI ELEKTRONIK

1. Pembuktian

Pembuktian atau dengan kata lain membuktikan dikenal dalam arti logis atau ilmiah.

Membuktikan disini berarti memberi kepastian yang bersifat mutlak dan relatif dimana

didasarkan atas perasaan (conviction in time) dan didasarkan atas pertimbangan akal (conviction

rasonnee) karena berlaku bagi setiap orang. Pembuktian dalam hukum acara mempunyai arti

yuridis dimana pembuktian konvensional yang memiliki sifat khusus. Pembuktian dalam arti

yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak sehingga dilakukan secara historis dimana

mencoba untuk menetapkan apa yang telah terjadi secara konkreto. Sehingga pembuktian pada

hakikatnya berarti mempertimbangkan secara logis mengapa peristiwa-peristiwa tersebut

dianggap benar.1 Tujuan pembuktian adalah memberikan kepastian pada Hakim untuk menilai

tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi dimana putusan yang dikeluarkan oleh Hakim

didasarkan atas pembuktian tersebut. dalam perkara perdata pembuktian yang tidak secara tegas

mensyaratkan adanya keyakinan dan menetapkan hubungan hukum antara kedua belah pihak.

Pembuktian memiliki dua unsur yakni unsur materiil maupun formil, dimana unsur pembuktian

materil mengatur tentang dapat tidaknya diterima pembuktian dengan alat-alat bukti di

persidangan (toelaabaarheid, admissibility) serta kekuatan pembuktiannya. Sedangkan unsur

1
Sudikno Mertukusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Revisi, (Yogyakarta:Cahaya Atma Pustaka, 2013),
hlm. 143.
unsur pembuktian formil mengatur tentang caranya mengadakan pembuktian. 2 Hukum

pembuktian dalam acara perdata diatur dalam HIR, Rbg dan BW buku IV. Yang tercantum

dalam HIR dan Rbg adalah hukum pembuktian baik yang metriil maupun formil. Apa yang

tecantum dalam BW buku IV adalah hukum pembuktian materiil, serta sumber hukum

pembuktian formil lainnya kecuali yang termuat dalam HIR dan Rbg adalah Rv.

Hakim dalam menangani pembuktian mendapati peran sebagai pencari kebenaran dan

menetapkan atau mengkonstatir peristiwa yang terjadi. Dalam pembuktian yang harus dibutikan

adalah peristiwanya bukan hukumnya. Hukumnya tidak harus diajukan atau dibuktikan oleh para

pihak, tetapi secara ex officio dianggap harus diketahui dan diterapkan oleh Hakim (berlandaskan

kepada ius curia novit). Ketentuan ini dapat disimpulkan dari Pasal 178 Ayat 1 HIR (Pasal 189

Ayat 1Rbg) dan Pasal 50 Ayat 1 Rv. 3 Peristiwa-peristiwa yang telah dikemukakan diatas

merupakan peristiwa yang terjadi dan dikemukakan oleh penggugat dan tergugat, dimana

peristiwa tersebut di saring oleh hakim dan harus dipisahkan mana yang lebih penting (relevant,

material) bagi hukum dan mana yang tidak (irrelevant, immaterial). Peristiwa yang relevan

itulah yang harus ditetapkan dan oleh karena itu harus dibuktikan. Dari peristiwa tersebut yang

harus dibuktikan adalah kebenarannya, dalam hukum acara perdata kebenaran yang harus dicari

oleh Hakim adalah kebenaran formil, berarti bahwa Hakim tidak boleh melampaui batas-batas

yang diajukan oleh yang berperkara. Pasal 178 Ayat 3 HIR (Pasal 189 Ayat 3 Rbg. 50 Ayat 3

Rv) melarang Hakim untuk menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut. Dalam

kebenaran formil Hakim perdata cukup membuktikan dengan “preponderance of evidence”.

Sekalipun peristiwa yang disengketakan telah diajukan pembuktian, pembuktian itu masih harus

dinilai. Dimana pembentuk Undang-undang dapat mengikat Hakim pada alat-alat bukti tertentu

2
Ibid, hlm. 145.
3
Ibid, hlm. 146.
sehingga Ia tidak bisa bebas menilai dan sebaliknya Pembentuk Undang-undang dapat

menyerahkan dan memberikan kebebasan kepada Hakim dalam menilai pembuktian.

Sebagaimana tertera dalam Pasal 165 HIR, 285 Rbg. 1870 BW “Terhadap akta yang merupakan

alat bukti tertulis misalnya, Hakim terikat dalam penilaiannya. Sebaliknya dalam Pasal 172 HIR,

309 Rbg, 1908 BW “Hakim tidak wajib mempercayai seorang saksi yang berarti bahwa ia bebas

memiliki kesaksian. Pada umumnya, sepanjang Undang-undang tidak mengatur sebaliknya maka

Hakim bebas untuk menilai pembuktian. Apabila alat bukti oleh Hakim dinilai cukup memberi

kepastian tentang peristiwa yang disengketakan untuk mengabaikan akibat hukum yang dituntut

oleh penggugat, kecuali ada bukti lawan, bukti itu dinilai sebagai bukti lengkap atau sempurna. 4

Tiap pembuktian walau dengan bukti lengkap, dapat dilumpuhkan oleh bukti lawan. Pembuktian

lawan adalah setiap pembuktian yang bertujuan untuk menyangkut akibat hukum yang

dikehendaki oleh pihak lawan atau untuk membuktikan ketidakbenaran peristiwa yang diajukan

oleh puhak lawan atau untuk membuktikan ketidakbenaran peristiwa yang diajukan oleh pihak

lawan.5 Tentang menilai pembuktian terdapat 3 (tiga) teori yang menjelaskan mengenai

pembuktian yakni:6

1. Teori Pembuktian Bebas

Teori ini tidak menghenedaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat Hakim,

sehingga penilaian pembuktian sedapat mungkin diserahkan kepadanya.

2. Teori Pembuktian Negatif

Teori ini menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat bersifat negatif,

bahwa ketentuan ini harus membatasi pada larangan kepada Hakim untuk melakukan

4
Ibid, hlm. 149.
5
Ibid.
6
Ibid.
sesuatu yang berhubungan dengan pembuktian. Jadi Hakim disini dilarang dengan

pengecualian (Pasal 169 HIR. 306 Rbg. 1905 BW).

3. Teori Pembuktian Positif

Teori ini mengehendaki adanya perintah kepada Hakim. Disini Hakim diwajibkan tetapi

dengan syarat (Pasal 165 HIR. 285 Rbg. 1870 BW).

Beban pembuktian diatur dalam Pasal 163 HIR (Pasal 283 Rbg, 1865 BW) “Barang siapa

yang mengaku mempunyai hak atau yang mendasar pada suatu peristiwa untuk menguatkan

haknya itu atau untuk menyangkut hak orang lain, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa

itu”. Berarti bahwa kedua belah pihak penggugat dan tergugat dapat dibebani dengan beban

pembuktian. Terutama penggugat wajib membuktikan peristiwa yang diajukannya, sedangkan

tergugat berkewajiban membuktikan bantahannya. Jika salah satu pihak dibebani dengan

pembuktian dan ia tidak dapat membuktikan, maka ia akan dikalahkan. Dalam ilmu pengetahuan

terdapat beberapa teori tentang beban pembuktian yang dapat merupakan pedoman bagi Hakim

yakni:7

1. Teori Pembuktian Yang Bersifat Menguatkan Belaka (Bloot Affirmatief)

Menurut teori ini yang mengemukakan sesuatu maka harus membuktikannya bukan yang

mengingkarinya. Dasar hukum dari teori ini ialah pendapat bahwa hal-hal yang negatif

tidak mungkin dibuntikan (negative non sunt probanda). Peristiwa negatif tidak dapat

menjadi dasar dari suatu hak sekalipun pembuktiannya mungkin hal ini tidak penting dan

oleh karena itu tidak dapat dibebankan kepada seseorang.

7
Ibid, hlm 152-155.
2. Teori Hukum Subjektif

Menurut teori ini penggugat berkewajiban membuktikan adanya peristiwa-peristiwa

khusus yang bersifat menimbulkan hak. Sedangkan tergugat harus membuktikan tidak

adanya peristiwa-peristiwa dan adanya peristiwa-peristiwa khusus yang bersifat

menghalang-halangi dan yang bersifat membatalkan. Teori ini mendasar pada Pasal 1865

BW. Teori ini hanya dapat memberi jawaban apabila gugatan penggugat didasarkan atas

hukum subjektif.

3. Teori Hukum Objektif

Menurut teori ini mengajukan tuntutan hak atau gugatan berarti bawha penggugat

meminta kepada Hakim agar Hakim menerapkan ketentuan-ketentuan Hukum Objektif

terhadap peristiwa yang diajukan. Oleh karena itu penggugat harus membuktikan

kebenaran dari peristiwa yang diajukan dan kemudian mencari hukum objektifnya untuk

diterapkan pada peristiwa tersebut.

4. Teori Hukum Publik

Menurut teori ini mencari kebenaran suatu peristiwa didalam peradilan merupakan

kepentingan publik. Oleh karena itu, Hakim harus diberi wewenang yang lebih besar

untuk mencari kebenaran. Disamping itu, para pihak memiliki kewajiban yang sifatnya

hukum publik untuk membuktikan dengan segala macam alat bukti.

5. Teori Hukum Acara

Menurut teori ini berlandaskan kepada Asas kedudukan prosesuil (audi et alterum

partem) yang sama dari para pihak di muka Hakim. Hakim harus membagi beban

pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak. Asas kedudukan prosesuil

yang sama dari para pihak membawa akibat bahwa kemungkinan untuk menang bagi para
pihak harus sama. Oleh karena itum Hakim harus membebani para pihak dengan

pembuktian secara seimbang atau patut. Merujuk pada asasnya maka siapa yang

mengemukakan sesuatu yang harus dibebani dengan pembuktian, di dalam praktiknya

pembagian beban pembuktian itu baru dirasakan adil dan tepat apabila yang dibebani

pembuktian itu adalah pihak yang paling sedikit dirugikan jika disuruh membuktikan.

2. Jenis Alat Bukti

Menurut sistem HIR, dalam hukum acara perdata Hakim terikat pada alat-alat bukti yang

sah, berarti bahwa Hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang

ditentukan oleh Undang-undang saja. Alat-alat bukti yang disebutkkan oleh Undang-undang

(Pasal 164 HIR. 284 Rbg. 1866 BW) ialah : alat bukti tertulis, pembuktian dengan saksi,

persangkaan-persangkaan, pengakuan, dan sumpah).

2.1. Alat Bukti Tertulis (Surat)

Alat bukti tertulis diatur dalam Pasal 138, 165, 167 HIR, 164, 285-305 Rbg. S 1867 No.

29 dan Pasal 1867-1894 BW (baca juga Pasal 138-147 Rv). Alat bukti tertulis atau surat ialah

segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati

atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang yang dipergunakan sebagai pembuktian. 8

Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi menjadi 2 (dua) yakni surat akta dan surat bukan akta.

1. Akta

Akta merupakan surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa

yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja

untuk pembuktian.9 Keharusan ditanda tanganinya surat untuk dapat disebut akta
8
Ibid, hlm. 158.
9
Ibid.
tercantum dalam Pasal 1869 BW. Fungsi tanda tangan adalah memberi ciri atau untuk

mengindividualisir suatu akta. Dipersamakan dengan tanda tangan pada suatu akta

dibawah tangan ialah sidik jari (cap jari atau cap jempol) yang dikuatkan dengan suaru

keterangan yang diberi tanggal oleh seorang notaris atau pejabat lain yang ditunjuk. 10

Yang lebih dikenal dengan istilah waarmerking. Dimana para pihak sedniri yang

menetapkan isi dan menandatangani akta yang bersangkutan, sedangkan notaris hanya

membuat nomor pendaftarannya saja dalam buku daftar waarmerking. Alat bukti tertuilis

yang diajukan dalam acara perdata harus dibubuhi dengan materai untuk memenuhi Pasal

2 (1) a Undang-undang Bea Materia 1986 (UU No. 13 Tahun 1985). Menurut bentuknya,

akta dibagi menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan.

a. Akta Otentik

Akta otentik adalah surat yang sejak semula dengan sengaja secara resmi dibuat dengan

tujuan untuk pembuktian dikemudian hari jika terjadi sengketa.11 Akta otentik diatur

dalam Pasal 1868 KUHPerdata “Suatu akta otentik adalah akta yang bentuknya

ditentukan oleh Undang-undang (welke in de wttelijke vorm is verdelen) dan dibuat oleh

atau di hadapan pegawai-pegawai umum (door of ten overstaan van openbare

ambtenaren) yang berkuasa untuk itu (daartoe bevoegd) di tempat akta dibuatnya.

Menurut Pasal 165 HIR (Pasal 285 Rbg. 1870 BW) akta otentik merupakan bukti yang

sempurna bagi kedua belah pihak, ahli warisnya, dan orang-orang yang mendapat hak

daripadanya yang berarti bahwa akta otentik itu masih juga dapat dilumpuhkan oleh bukti

lawan. Terhadap pihak ketiga, akta otentik merupakan alat bukti dengan kekuatan

pembuktian bebas yaitu bahwa penilaiannya diserahkan kepada pertimbangan Hakim.12

10
Ibid, hlm. 159.
11
Ibid, hlm. 162.
12
Ibid, hlm. 164.
b. Akta di Bawah Tangan

Akta di bawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak

tanpa bantuan dari seorang pejabat. Jadi semata-mata dibuat antara para pihak yang

berkepentingan.13 Ada ketentuan khusus mengenai akta dibawah tangan, yaitu akta bawah

tangan yang memuat utang sepihak untuk membayar sejumlah uang tunai atau

menyerahkan suatu benda harus ditulis seluruhnya dengan tangan sendiri oleh orang yang

menandatangani. Keterngan ini dikenal dengan “bon pour cent florins”. Bila tidak

demikian akta dibawah tangan itu hanya dapat diteriman sebagai permulaan bukti

tertulis.14

Akta memiliki fungsi formil yang berarti bahwa untuk lengkapnya atau sahnya suatu perbuatan

Hakim haruslah dibaut suatu akta. Disini akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu

perbuatan Hakim.15 Disamping formil akta mempunyai fungsi sebagai alat bukti. Mengenai

kekuatan pembuktian akta dibagi menjadi tiga (3) yakni:16

1. Kekuatan Pembuktian Lahir

Merupakan kekuatan yang didasarkan atas keadaan lahir, apa yang tampak pada lahirnya.

Yaitu bahwa surat yang tampaknya (dari lahir) seperti akta, dianggap (mempunyai

kekuatan) seperti akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya.

2. Kekuatan Pembuktian Formil

Merupakan kekuatan yang menyangkut atas benar tidaknya ada pertanyaan oleh yang

bertanda tangan dibawah akta itu. Kekuatan pembuktian formil ini memberi kepastian
13
Ibid, hlm. 165.
14
Ibid, hlm. 168.
15
Ibid, hlm. 169.
16
Ibid, hlm. 169-170
peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat

dalam akta.

3. Kekuatan Pembuktian Materiil

Merupakan kekuatan yang memberi kepastian tentang materi suatu akta, memberi

kepastian bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan seperti yang dimuat

dalam akta.

Mengenai surat-surat lainnya yang bukan akta baik HIR, Rbg, maupun BW tidak

mengatur dari kekuatan pembuktian dari surat-surat yang bukan akta. Pasal 1881 BW dan 1883

BW mengaur secara khusus beberapa surat dibawah tangan yang bukan merupakan akta, yaitu

buku daftar (register), surat-surat rumah tangga dan catatan-catatan yang dibutuhkan oleh

seorang kreditur pada suatu alas hak selamanya dipegangnya. Kekuatan pembuktian dari bukan

akta diserahkan kepada pertimbangan Hakim. Serta mengenai salinan Undang-undang hanya

mengatur kekuatan pembuktian dari salinan akta, sehingga kekuatan pembuktian dari salinan

surat-surat lainnya diserahkan kepada pertimbangan dari Hakim. 17 Salinan suatu akta mempunyai

kekuatan pembuktian sepanjang sesuai dengan akta aslinya (Pasal 301 Rbg. 1888 BW). Dimana

Hakim selalu berwenang untuk memerintahkan kepada pihak yang bersangkutan untuk

mengajukan akta aslinya di muka sidang.

2.2. Alat Bukti Saksi

Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada Hakim di persidangan tentang

peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang

17
Ibid, hlm. 175.
yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang di panggil dalam persidangan. 18 Sehingga

merupakan keterangan tentang peristiwa yang kejadiannya dialami sendiri. Yang dapat didengar

sebagai saksi adalah pihak ketiga dan bukan salah satu pihak yang berperkara (Pasal 139 Ayat 1

HIR, 165 Ayat 1 Rbg). Dalam penilaian alat bukti saksi berdasarkan Pasal 172 HIR (Pasal 309

Rbg. 1908 BW) Hakim harus memerhatikan kesesuaian antara keterangan para saksi yang

sekiranya memengaruhi tentang dapat atau tidak dipercayanya seorang saksi. Dalam setiap

kesaksiannya harus disebut segala sesuatu sebab pengetahuan saksi (Pasal 171 Ayat 1 HIR, 308

Ayat 1 Rbg. 1907 BW) ia harus menerangkan bagaimana ia sampai dapat mengetahuinya sebab

musabab sampai ia dapat mengetahui peristiwanya harus disebukan. Yang dapat didengar dan

bertindak sebagai saksi dan tidak dapat didengar dan tidak dapat bertindak sebagai saksi yakni:19

I. Ada segolongan orang yang dianggap tidak mampu untuk bertindak sebagai saksi:

a. Mereka yang tidak mampu secara mutlak (absolut)

1. Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang harus dari salah satu

pihak (Pasal 145 Ayat 1 sub HIR, 172 Ayat 1 sub 1 Rbg, 1910 Alinea 1 BW). Kecuali

berhubungan dengan kedudukan keperdataan dari para pihak seperti pemberian nafkah,

penyelidikan yang menyebabkan pencabutan kekuasaan orang tua.

2. Suami atau Istri dari salah satu pihak, meskipun sudah bercerai (Pasal 145 Ayat 1 sub 2

HIR, 172 Ayat 1 sub 3 Rbg, 1910 Alinea 1 BW).

b. Mereka yang tidak mampu secara nisbi (relatif)

1. Anak-anak yang belum mencapai umur 15 tahun (Pasal 145 Ayat 1 sub 3 jo. Ayat 4 HIR,

1972 Ayat 1 sub 4 jo. 173 Rbg. 1912 BW).

18
Ibid, hlm. 176.
19
Ibid, hlm. 181-183
2. Orang gila atau dibawah pengampuan (Pasal 145 Ayat I sub 4 HIR, 172 ayat I sub 5 Rbg,

1912 BW).

II. Ada segolongan orang yang atas permintaan mereka sendiri dibebaskan dari kewajibannya

untuk memberi kesaksian. Mereka yang boleh mengundurkan diri ini diatur dalam Pasal 146

HIR, 174 Rbg, 190 Aline 2 BW: (hak ingkar, verschoningsrecht).

a. Saudara laki-lakai dan perempuan serta ipar laki-laki dan perempuan dari salah satu

pihak.

b. Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan saudara laki-laki dan perempuan

dari suami atau istri salah satu pihak.

c. Semua orang yang karena martabat, jabatan, atau hubungan kerja yng sah diwajibkan

mempunyai rahasia, akan tetapi semata-mata hanya tentang hal yang diberitahukan

kepadanya karena alasan diatas.

Kewajiban Seorang Saksi

Terdapat tiga kewajiban bagi seseorang yang dipanggil sebagai saksi, yaitu:20

1. Kewajiban Untuk Menghadap

Kewajiban untuk mengahdap di muka persidangan diatur dalam Pasal 140 dan 141 HIR

(Pasal 166, 167 Rbg), yang menentukan adanya sanksi bagi saksi yang tidak mau datang

setelah dipanggil dengan patut. Apabila pada hari yang telah ditetapkan saksi yang telah

dipanggil tidak datang, ia dihukum untuk membaayar biaya yang telah dikeluarkan sia-sia

an ia akan dipanggil sekali lagi. Jika setelah pemanggilan keedua ia tidak juga datang

menghadap, maka kedua kalinya ia dihukum untuk membayar biaya yang telah sia-sia

20
Ibid, hlm. 184-186.
dikeluarkan dan dihukum pula untuk mengganti kerugian yang diderita oleh para pihak

karena ketidakhadirannya (Pasal 140 HIR). Hakim dapat memerintahkan agar saksi

dibawa oleh polisi ke pengadilan (Pasal 141 HIR).

2. Kewajiban Untuk Bersumpah

Saksi apabila tidak mengundurkan diri, sebelum memberi keterangan harus disumpah

menurut agamanya (Pasal 147 HIR, 175 Rbg. 1911 BW jo. ps. 4 s. 1920 No. 69). Sumpah

ini disebut sebagai promissoir, lain dengan sumpah alat bukti yang disebut sumpah

confirmatoir. Sebagai pengganti sumpah saksi dapat mengucapkan janji apabila agama

atau kepercayaannya melarang untuk mengucapkan sumpah (Pasal 5. 6. S. 1920 No. 69,

177 Rv).

3. Kewajiban Untuk Memberi Keterangan

Apa yang ditanyakan kepada saksi harus disampaikan oleh pihak yang bersangkutan

kepada Hakim. Hakim karena jabatannya dapat memanggil saksi-saksi yang tidak

daiajukan oleh para pihak. Segala keterangan saksi yang diberikan di persidangan harus

dicatat dalam berita acara pemeriksaan persidangan (Pasal 152 HIR, 179 Rbg).

Keterangan dari pihak ketiga untuk memperoleh kejelasan bagi Hakim dari suatu

peristiwa yang disengketakan, kecuali dari saksi, kita peroleh dari ahli (deskundigenbericht,

expertise) yang dalam praktik pengadilan disebut sebagai “saksi ahli”. 21 Keterangan ahli diatur

dalam Pasal 154 HIR (Pasal 181 Rbg, 215 Rv), yang menentukan bahwa apabila pengadilan

berpendapat bahwa perkaranya dapat dijelaskan oleh seorang ahli, atas pemintaan salah satu

pihak karena jabatannya, pengadilan dapat mengangkat seorang ahli. Ahli itu diangkat oleh

Hakim untuk diminta pendapatnya. Pengangkatan ini dilakukan selama pemeriksaan

21
Ibid, hlm. 205.
berlangsung. Dimana keterangan ahli merupakan keterangan pihak ketiga yang objektif dan

bertujuan untuk membantu Hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan Hakim

sendiri.

2.3. Persangkaan

Persangkaan dijelaskan dalam Pasal 164 HIR (Pasal 284 Rbg. 1866 BW) dimana

menyebutkan sebagai alat bukti sesudah saksi: persangkaan-persangkaan (vermoedens,

persumtions). Persangkaan adalah alat bukti yang bersifat tidak langsung. Misalnya pembuktian

dari ketidakhadiran seseorang pada suatu waktu ditempat tertentu dengan membuktikan

kehadirannya pada waktu yang sama ditempat lain. Dengan demikian, setiap alat bukti dapat

menjadi persangkaan. Bahkan Hakim dapat menggunakan peristiwa prosesuil maupun peristiwa

notoir. sebagai persangkaan.22 Mengenai pembuktian alat bukti, disini persangkaan termasuk

pada persoalan apakah alat bukti itu memberikan kepastian yang langsung mengenai peristiwa

yang diajukan untuk dibuktikan atau mengenai persitiwa yang tidak diajukan untuk dibuktikan.

Sebagai contoh surat yang tidak ditandatangani yang langsung ada sangkut pautnya dengan suatu

perjanjian yang disengketakan, maka bukan merupakan persangkaan.23 Pendapat lainnya ada

yang mengemukakan bahwa persangkaan itu sesungguhnya bukanlah merupakan alat bukti

karena yang dipakai sebagai alat bukti sebetulnya bukan dari persangkaan sendiri, melainkan

alat-alat bukti lainnya, sehingga alat bukti disamping alat-alat bukti lainnya ditinggalkan.

Persangkaan diatur dalam HIR (Pasal 173), Rbg (Pasal 310), dan BW (Pasal 1915-1922).

Persangkaan merupakan bukti yang tidak langsung dan dibedakan seperti berikut:24

22
Ibid, hlm. 187.
23
Ibid.
24
Ibid, hlm. 188.
1. Persangkaan Pada Kenyataan

Hakim disini memutuskan berdasarkan kenyataannya, apakah mungkin dan sampai

berapa jauh kemungkinan untuk membuktikan suatu peristiwa tertentu dengan

membuktikan peristiwa lain.

2. Persangkaan Berdasarkan Hukum

Undang-undang yang menetapkan hubungan antara peristwa yang diajukan dan harus

dibuktikan dengan peristiwa yang tidak diajukan. Persangkaan berdasarkan Hukum

dibagi menjadi dua:

a. Praesumptiones juris tantum, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang

memungkinkan pembuktian lawan.

b. Praesumptiones juris et dure, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang tidak

memungkinkan pembuktian lawan.

Persangkaan menurut Pasal 1915 BW adalah “kesimpulan-kesimpulan yang oleh Undang-

undang atau Hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terang nyata ke arah peristiwa lain yang

belum terang kenyataannya. Pasal 173 HIR menyatakan bahwa persangkaan didasarkan atas

kenyataan. Serta persangkaan berdasarkan Undang-undang menrutu Pasal 1916 BW ialah

persangkaan-persangkaan yang oleh Undang-undang dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan

tertentu, antara lain:

1. Perbuatan-perbuatan yang oleh Undang-undang hanya dinyatakan batal, karena sift dan

keadaannya saja dapat diduga dilakukan untuk menghindari ketentuan-ketentuan undang-

undang.

2. Peristiwa-peristiwa yang menurut Undang-undang dapat dijadikan kesimpulan guna

menetapkan hak pemilikan atau pembebasan dari utang.


3. Kekuatan yang diberikan oleh Undang-undang kepada Putusan Hakim.

4. Kekuatan yang diberikan oleh Undang-undang kepada pengakuan atau sumpah oleh salah

satu pihak.

Tentang persangkaan menurut Undang-undang yang tidak memungkinkan pembuktian lawan

diatur dalam Pasal 1921 ayat 2 BW, yaitu yang dapat menjadi dasar untuk membatalkan

perbuatan-perbuatan tertentu (Pasal 184, 911, 1681 BW). Persangkaan yang tidak

memungkinkan bukti lawan pada hakikatnya bukan persangkaan.25 Telah menjadi pendapat

umum bahwa persangkaan menurut Undang-undang di dalam ilmu pengetahuan tidak perlu

dipertahankan.26 Maka yang patut dipertahankan adalah persangkaan berdasarkan kenyataan

(persumptiones facti, feitelijke, atau rechterlijke vermoedens), kekuatan pembuktiannya

diserahkan kepada pertimbangan Hakim, yang hanya boleh memperlihatka persangkaan yang

penting, saksama, tertentu, da nada hubungannya satu sama lain. Persangkaan-persangkaan

semacam itu hanya boleh diperhatikan dalam hal undang-undang membolehkan pembuktian

dengan saksi. Demikian pula apabila diajukan suatu bantahan terhadap suatu perbuatan atas

suatu akta berdasarkan alasan adanya itikad buruk atau penipuan (Pasal 1922 BW).27

2.4. Pengakuan

Pengakuan di muka hakim dalam persidangan (gerrechtelijke bekentenis) merupakan

keterangan sepihak, baik tertulis maupun lisan yang tegas dan dinaytakan oleh salah satu pihak

dalam perkara di persidangan, yang membenarkan baik seluruhnya atau sebagian dari suatu

25
Ibid, hlm. 190.
26
Ibid.
27
Ibid.
peristiwa, hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawannya, yang mengakibatka

pemeriksaan lebih lanjut oleh Hakim tidak perlu lagi. 28 Dimana pengakuan merupakan

pernyataan tegas, karena pengakuan secara diam-diam tidaklah memberikan kepastian kepada

Hakim tentang kebenaran suatu peristiwa. Pengakuan merupakan keterangan yang membenarkan

peristiwa, hak, atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawan. Pasal 1916 BW menentukan

bahwa kekuatan yang diberikan pada pengakuan merupakan persangkaan menurut Undang-

undang. Dengan demikian, dengan adanya pengakuan maka sengketanya dianggap selesai

sekalipun pengakuannya tersebut tidak sesuai dengan kebenaran, dan Hakim tidak perlu meneliti

pengakuan tersebut.29 Pengakuan dalam Pasal 1926 bahwa pengakuan di muka Hakim pada

persidangan tidak dapat ditarik kembali, kecuali kalau terbukti bahwa pengakuan itu adalah

akibat dari kekeliruan. Pasal 174 HIR (persidangan. 311 RBg, 1925 BW) menentukan bahwa

pengakuan merupakan bukti sempurna terhadap yang melakukannya, baik secara pribadi maupun

diwakilkan secara khusus. Serta merupakan alat bukti yang bersifat menentukan, yang tidak

memungkinkan pembuktian lawan. (Pasal 1916 Ayat 2 No. 4 BW).

a. Pengakuan Yang Tidak Boleh Dipisah-pisahkan (Onsplitsbareaveu)

Pasal 176 HIR yang pada pokokya tidak berbeda dengan Pasal 1942 BW berbunyi :

“Tiap pengakuan harus diterima keseluruhannya dan hakim tidak bebas untuk menerima

sebagian dan menolak selebihnya, sehingga merugikan yang memberi pengakuan”

Yang dimaksudkan adalah pengakuan harus diterima bulat. Hakim tidak boleh memisah-

misah atau memecah-mecah pengakuan itu dan menerima sebagian dari pengakuan

sehingga tidak perlu lagi dibuktikan dan menolak sebagian lainnya yang masih perlu

28
Ibid, hlm. 191.
29
Ibid.
dibuktikan lebih lanjut. Ilmu pengetahuan membagi pengakuan menjadi 3 (tiga) yakni

dijelaskan sebagai berikut:30

1. Pengakuan Murni

Pengakuan yang sifatnya sederhana dan sesuai sepenuhnya dengan tuntutan pihak lawan.

2. Pengakuan Dengan Kualifikasi

Pengakuan yang disertai dengan sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan. Pada

hakikatnya pengakuan dengan kualifikasi ini tidak lain adalah jawaban tergugat yang

sebagian terdiri dari pengakuan dan sebagian terdiri dari sangkalan.

3. Pengakuan Dengan Clausula

Pengakuan yang disertai dengan keterangan tambahan yang bersifat membebaskan.

Pengakuan yang tidak boleh dipisah-pisahkan adalah pengakuannya yang pembuktiannya

dibebakan kepada penggugat.31 Penggugat harus dibebani dengan pembuktian seakan-akan

jawaban tergugat seluruhnya merupakan sangkalan terhadap gugatan penggugat. Hakim baru

boleh memisah-misahkan pengakuan kalau penggugat berhasil membuktikan bahwa keterangan

tambahan pengakuan itu tidak benar. Dalam hal ini, pembuktian kebenarannya dibebankan

kepada pihak tergugat. Karena pemisahan itu, pengakuan tergugat menjadi pengakuan biasa,

yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan bersifat mengikat. Berdasarkan Pasal

176 (Pasal 313 Rbg., 1924 BW) Hakim tidak boleh menolak permohonan penggugat tersebut.

Pengakuan di Luar Persidangan

Pengakuan di luar persidangan ialah keterangan yang diberikan oleh salah satu pihak

dalam suatu perkara perdata di luar persidangan untuk membenarkan pernyataan-pernyataan

30
Ibid, hlm.193-194.
31
Ibid, hlm. 195.
yang dibenarkan oleh lawannya.32 Diatur dalam Pasal 175 HIR (Pasal 312 Rbg, 1927, 1928 BW)

yang mengatakan bahwa kekuatan pembuktian daripada pengakuan lisan di luar persidangan

diserahkan kepada pertimbangan Hakim (Pasal 1928 BW). Sedangkan Pasal 1927 BW

menentukan bahwa suatu pengakuan lisan di luar persidangan tidak dapat digunakan selain

dalam hal-hal dimana diizinkan untuk membuktikan dengan saksi. Pengakuan di luar

persidangan masih harus dibuktikan di persidangan, maka bukanlah sebagai alat bukti.

2.5. Sumpah

Sumpah pada umumnya adalah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau

diucapkan pada waktu memberi janji atau keternagan dengan mengingat akan sifat mahakuasa

Tuhan, dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar dihukum

olehNya maka sumpah merupakan tindakan yang bersifat religius yang digunakan dalam

peradilan.33 Dapat disimpulkan adan 2 (dua) macam sumpah yaitu sumpah untuk berjanji

melakukan atau tidak melakukan sesuatu, dimana adalah sumpah saksi dan sumpah saksi ahli,

karena sebelum memberikan kesaksiannya harus diucapkan pernyataan atau janji memberi

keterangan yang benar dan tidak lain dari sebenarnya (sumpah promissoir) dan sumpah untuk

memberi keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu itu benar demikian atau tidak, dimana

sebagai alat bukti karena sifatnya untuk meneguhkan (sumpah confirmatoir). 34

HIR menyebutkan 3 macam sumpah sebagai alat bukti, yaitu:35

1. Sumpah Suppletoir (Pasal 155 HIR, 182 Rbg, 1940 BW)

32
Ibid, hlm. 196.
33
Ibid, hlm. 97.
34
Ibid.
35
Ibid, hlm. 198-204.
Sumpah suppletoir ialah sumpah yang diperintahkan oleh Hakim karena jabatannya

kepada salah satu pihak untuk melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa

sebagai dasar putusannya. Mempunyai fungsi menyelesaikan perkara maka mempunyai

kekuatan pembuktian sempurna yang masih memungkinkan adanya bukti lawam. Pihak

lawan boleh membuktikan bahwa sumpah itu palsu apabila putusan yang didasarkan atas

sumpah suppletoir itu telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti, maka bagi pihak

yang dikalahkan terbuka kesempatan mengajukan request civil setelah putusan yang

menyatakan bahwa sumpah itu palsu. Siapapun bisa dibebani sumpah suppletoir oleh

Hakim. Pihak yang diperintahkan oleh Hakim untuk bersumpah suppletoir tidak boleh

mengembalikan sumpah suppletoir tersebut kepada lawannya. (Psal 1943 BW) ia hanya

dapat menolak atau menjalankannya.

2. Sumpah Penaksiran (Eastimatoir, Schattingseed)

Sumpah penaksiran adalah sumpah yang diperintahkan oleh Hakim karena jabatannya

kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti kerugian.36 Sumpah penaksiran

dapat dibebankan oleh Hakim kepada penggugat apabila penggugat telah dapat

membuktikan haknya atau ganti kerugian itu serta jumlahnya masih belum pasti dan tidak

ada cara lain untuk menentukan jumlah ganti kerugian tersebut kecuali dengan taksiran.

3. Sumpah Decisoir

Sumpah decisoir adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak

kepada lawannya (Pasal 156 HIR, 183 Rbg, 1930 BW). Pihak yang minta lawannya

mengucap sumpah disebut deferent, sedangkan pihak yang harus bersumpah disebut

delaat. Sumpah decisori ini dapat dibebankan mengenai segala peristiwa yang menjadi

sengketa dan bukan mengenai pelbagai pendapat tentang hukum atau hubungan hukum
36
Ibid, hlm. 199.
(Pasal 1930 BW). Kalau perbuatan itu dilakukan oleh kedua belah pihak dan pihak yang

disuruh bersumpah (delaat) tidak bersedia mengucapkan sumpah, dapat mengembalikan

sumpah itu kepada lawannya (relaat). Kalau perbuatan yang dimintakan sumpah itu

bukan merupakan perbuatan yang dilakukan bersama oleh kedua belah pihak, melainkan

hanya dilakukan oleh pihak yang dibebani sumpah saja, sumpah itu tidak boleh

dikembalikan (Pasal 1933 BW). Sumpah decisoir dapat berupa sumpah pocong, sumpah

mimbar (sumpah yang dilakukan di Gereja), dan sumpah klenteng.37

Sumpah harus dilakukan di persidangan, kecuali kalau karena alasan-alasan yang sah

penyumpahan tidak dapat dilangsungkan di persidangan, dan hanya dapat dilakukan dihadapan

lawanya. (Pasal 158 HIR, 185 Rbg, 1944, 1945 BW). Serta sumpah yang tidak memberi

pembuktian selain untuk keuntungan atau kerugian yang memerintahkan atau yang

mengembalikannya atau ahli warisnya, serta mereka yang memperoleh hak daripadanya. (Pasal

1937 BW).

2.6. Alat Bukti Elektronik

Pembuktian dalam perkara perdata berkaitan dengan alat bukti elektronik dapat dilakukan

berdasarkan ketentuan Pasal 1866 KUHPerdata juncto Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, yaitu dengan cara

mencari alat-alat bukti sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1866 KUHPerdata. Informasi

elektronik dan atau dokumen elektronik dapat diajukan sebagai alat bukti pada proses

37
Ibid, hlm. 202.
pembuktian dalam kasus perdata harus didukung oleh keterangan ahli bahwa alat bukti

elektronik tersebut memang merupakan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang

relevan dalam perkara perdata yang menggunakan alat bukti elektronik yang sedang diperiksa. 38

Penggunaan alat bukti elektronik dalam perkara perdata, yaitu alat bukti lain berupa Informasi,

Dokumen, dan Tanda Tangan Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum

yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah apabila menggunakan Sistem

Elektronik sesuai dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik.39 Bab III Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008

Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, mengatur Informasi, Dokumen, dan Tanda Tangan

Elektronik pada penjelasan Pasal 5 mengenai alat bukti elektronik sebagai berikut:

(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat

bukti hukum yang sah.

(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum

Acara yang berlaku di Indonesia.

(3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan

Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:

a. Surat yang menurut Undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis, dan

38
Refly Aditia Mamitoho, Penggunaan Alat Bukti Elektronik Dalam Pemeriksaan Perkara Perdata, Jurnal Lex Et
Socialis, Vol. II/No. 1/Januari/2014, hlm. 65.
39
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
b. Surat beserta dokumennya yang menurut Undang-undang harus dibuat dalam akta notaril

atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Pasal 5 Ayat (3):

“Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan

Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini”.

Pengoperasian Sistem Elektronik harus memenuhi persyaratan minimum, yaitu:

a. Dapat menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik secara

utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan peratran perundang-undangan,

b. Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan

informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut,

c. Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan sistem

elektronik tersebut,

d. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi,

atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan

sistem elektronik tersebut, dan

e. Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan dan

kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.

Pasal 6:

“Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang

mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya
dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga

menerangkan suatu keadaan.”

Pasal 7:

“Setiap Orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang telah ada, atau menolak hak Orang

lain berdasarkan adanya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik harus memastikan

bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ada padanya berasal dari

Sistem Elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.”

Mekanisme mengenai proses tanda tangan yang bersifat elektronik diatur dalam Pasal 11 Ayat

(1):

(1) Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama

memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan,

b. Data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik

hanya berada dalam kuasa Penanda Tangan,

c. Segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu

penandatanganan dapat diketahui,

d. Segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan

Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui,

e. Terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa Penandatangannya, dan

f. Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan telah memberikan

persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang terkait.


Mengenai alat bukti yang berlaku dalam hukum acara perdata Indonesia, dokumen elektronik

muncul sebagai alat bukti baru yang memiliki sifat perluasan. Dokumen elektronik yang

merupakan sebagai salah satu bentuk pembaruan hukum acara perdata dalam beberapa putusan

pengadilan terguncang eksistesinya. Hal ini dapat dilihat dalam Putusan Pengadilan Tinggi

Denpasar No. 150/PDT/2011/PT.Dps yang mengakui email sebagai alat bukti yang sah. Dimana

email merupakan salah satu wujud dari dokumen elektronik. Namun, dalam putusan tersebut foto

yang merupakan bagian dari dokumen elektronik tidak dianggap sebagai alat bukti. Hal ini sama

dengan Putusan Pengadilan Agama Bondowoso No. 1537/Pdt.G/2011/PA.Bdw, yang

menyatakan rekaman suara tidak dapat dijadikan alat bukti dipengadilan yang mana rekaman

suara juga merupakan salah satu dokumen elektronik. Dalam 2 (dua) putusan tersebut tidak

disebutkan apa yang menjadi alasan para hakim tidak memperhatikan atau mempertimbangkan

alat bukti tersebut.40

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Mertukusumo, Sudikno. 2013. Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Revisi.

Yogyakarta:Cahaya Atma Pustaka.

Jurnal:

Refly Aditia Mamitoho, Penggunaan Alat Bukti Elektronik Dalam Pemeriksaan Perkara

Perdata, Jurnal Lex Et Socialis, Vol. II/No. 1/Januari/2014.

40
Muhammad Iqbal Tarigan Runtung, Budiman Ginting, Dedi Harianto, Dokumen Elektronik Sebagai Bukti Dalam
Perspektif Pembaruan Hukum Acara Perdata Indonesia, Usu Law Journal, Vol. 4. No. 1 (Januari 2016), hlm. 136.
Muhammad Iqbal Tarigan Runtung, Budiman Ginting, Dedi Harianto, Dokumen Elektronik

Sebagai Bukti Dalam Perspektif Pembaruan Hukum Acara Perdata Indonesia, Usu Law Journal,

Vol. 4. No. 1 (Januari 2016).

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Anda mungkin juga menyukai