Anda di halaman 1dari 18

Tugas Kelompok

GEOLOGI TATA RUANG

MAKALAH

“GEOLOGI TATA RUANG DAERAH BUTON UTARA PROVINSI


SULAWESI TENGGARA”

OLEH :

KELOMPOK V

IRFAN ADE HIDAYAT RANTU R1C116019


LA ODE IKRA R1C116030
MARSABAN R1C116040
MASRANDI RESMIN R1C116041
MUH. IHSAN R1C116045
MUHAMMAD ADNAN SAMSURIQ R1C116043
PEKY ANGGRIAWAN R1C116046
RAJAB R1C116047
RISKA KARIM R1C116050
WA ODE MARWAHI R1C116058

JURUSAN TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji kami panjatkan kepada Allah SWT. Yang mana telah
memberikan kami kesehatan dan kesempatan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Tak lupa shalawat beriring salam kami sanjungkan
atas nabi besar kita Muhammad s.a.w.

Rasa hormat juga ingin kami sampaikan kepada dosen yang telah
membimbing kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
““Geologi Tata Ruang Daerah Buton Utara Provinsi Sulawesi Tenggara”.
Adapun makalah yang saya susun ini, saya sangat berharap kritik dan saran
dari pembaca untuk perbaikan makalah ini agar bisa menjadi lebih baik.

Kendari, 19 Juni 2019

Penulis,
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL.........................................................................................

KATA PENGANTAR.........................................................................................

DAFTAR ISI.........................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................
1.1.Latar Belakang...........................................................................................
1.2.Rumusan Masalah.....................................................................................
1.3.Tujuan........................................................................................................
BAB II GEOLOGI REGIONAL PULAU BUTON........................................
2.1. Geomorfologi Regional............................................................................
2.2. Stratigrafi Regional.................................................................................
2.3. Struktur Regional....................................................................................
BAB III PEMBAHASAN..................................................................................

BAB IV PENUTUP............................................................................................
4.1. Kesimpulan...............................................................................................
4.2. Saran.........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan rencana umum tata


ruang dan rencana rinci tata ruang. Rencana umum tata ruang disusun berdasarkan
pendekatan wilayah administratif dengan muatan substansi mencakup rencana
struktur ruang dan rencana pola ruang. Rencana rinci tata ruang disusun
berdasarkan pendekatan nilai strategis kawasan dan atau kegiatan kawasan dengan
muatan substansi yang dapat mencakup hingga penetapan blok dan subblok
peruntukan. Penyusunan rencana rinci tersebut dimaksudkan sebagai
operasionalisasi rencana umum tata ruang dan sebagai dasar penetapan peraturan
zonasi.

Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur tentang persyaratan


pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap blok
atau zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang.
Rencana rinci tata ruang wilayah kabupaten/kota dan peraturan zonasi yang
melengkapi rencana rinci tersebut menjadi salah satu dasar dalam pengendalian
pemanfaatan ruang sehingga pemanfaatan ruang dapat dilakukan sesuai dengan
rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang.

Pengendalian pemanfaatan ruang tersebut dilakukan pula melalui perizinan


pemanfaatan ruang. Perizinan pemanfaatan ruang dimaksudkan sebagai upaya
penertiban pemanfaatan ruang sehingga setiap pemanfaatan ruang harus dilakukan
sesuai dengan rencana tata ruang. Izin pemanfaatan ruang diatur dan diterbitkan
oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-
masing. Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, baik
yang dilengkapi dengan izin maupun yang tidak memiliki izin, dikenai sanksi
adminstratif, sanksi pidana penjara, dan/atau sanksi pidana denda.
Rencana tata ruang wilayah atau RTRW adalah hasil perencanaan ruang pada
wilayah yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang
batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif (Permen PU No.
16/PRT/M/2009). Rencana tata ruang dibuat karena pada dasarnya ruang memiliki
keterbatasan, oleh karena itu dibutuhkan peraturan untuk mengatur dan
merencanakan ruang agar dapat dimanfaatkan secara efektif. Produk atau hasil
dari perencanaan tata ruang wilayah dituangkan dalam bentuk dokumen berupa
peta rencana tata ruang wilayah.

Dokumen tata ruang sebagai produk hasil dari kegiatan perencanaan ruang
berfungsi untuk mengefektifkan pemanfaatan ruang dan mencegah terjadinya
konflik antar fungsi dalam proses pemanfaatan ruang, selain itu juga bertujuan
untuk melindungi masyarakat sebagai pengguna ruang dari bahaya-bahaya
lingkungan yang mungkin timbul akibat pengembangan fungsi ruang pada lokasi
yang tidak sesuai peruntukan.

Kesadaran akan pentingnya peranan perencanaan tata ruang untuk


pengurangan risiko bencana di Indonesia termasuk cukup lambat. Perencanaan
ruang berbasis pengurangan risiko bencana belum mendapatkan tempat terpenting
sebagai salah satu instrumen untuk usaha mengurangi risiko bencana yang
dibuktikan dengan usaha penanggulangan bencana dilakukan melalui mekanisme
koordinasi yang dibentuk ketika bencana terjadi. Konsep pengurangan risiko
bencana yang diterapkan secara umum di Indonesia pada saat ini yang dilakukan
melalui koordinasi yang dibentuk ketika bencana terjadi merupakan konsep yang
kurang efektif untuk menghadapi bencana, karena risiko yang ditimbulkan
kemungkinan akan lebih besar. Risiko yang terjadi tersebut timbul akibat
kurangnya persiapan yang seharusnya dipersiapkan pada saat bencana tidak/belum
terjadi. Pengurangan risiko bencana yang juga merupakan kegiatan mitigasi
bencana salah satunya dapat diwujudkan dalam perencanaan tata ruang berbasis
pengurangan risiko bencana. Konsep pengurangan risiko bencana melalui
perencanaan tata ruang dilakukan pada saat bencana tidak/belum terjadi, sehingga
risiko yang diperkirakan akan timbul akibat bencana sedapat mungkin dapat
diminimalkan.

Untuk mencapai tujuan penataan ruang Kabupaten buton Utara yaitu ruang
kabupaten yang tanggap bencana dapat diwujudkan melalui penataan kawasan,
khususnya penataan kawasan berdasarkan kondisi geologinya. Selain itu upaya
yang dapat dilakukan adalah pembatasan pembangunan di kawasan budidaya,
perikanan, pariwisata, kehutanan, pertanian, perkebunan, pusat pemerintahan
industri dan niaga berdasarkan kondisi geologinya.

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakangnya, maka permasalahan dalam makalah ini yaitu


bagaiamana rekomendasi Tata Ruang Kabupaten Buton Utara berdasarkan kondisi
geologinya.

1.3.Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui rekomendasi Tata


Ruang Kabupaten Buton Utara berdasarkan kondisi geologinya.
BAB II
GEOLOGI REGIONAL PULAU BUTON

Geologi regional daerah penelitian termasuk dalam Geologi Lembar:


Buton Sulawesi Tenggara skala 1:250.000. keadaan umum daerah penelitian
sebagian besar merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian antara 100 m
sampai 700 m di atas permukaan laut serta mempunyai kemiringan lereng yang
sangat terjal. (N. Sikumbang, P. Sanyoto, R.J.B. Supandjono & S. Gafoer, 1995).

Gambar 1. Peta Geologi Lembar Buton, Sulawesi Tenggara (N.


Sikumbang, 1995).

2.1. Geomorfologi Regional

Sikumbang dan Sanyoto (1981) membagi morfologi Buton menjadi lima


satuan, yaitu dataran rendah, karst, perbukitan bergelombang dengan puncak
membulat, perbukitan dengan lereng dan puncak yang tajam, dan pegunungan.
Dataran rendah umumnya memiliki ketinggian antara 0-50 meter dari permukaan
laut terdapat di daerah pesisir timur Buton yang dibentuk oleh endapan sungai,
pantai dan rawa. Morfologi karst dapat terlihat dengan jelas yang ditandai dengan
undak-undak batugamping pada pantai purba dan tebing yang terjal. Morfologi ini
mempunyai kemiringan lapisan yang landai antara 50 – 150.

Topografi perbukitan mendominasi hampir di keseluruhan Pulau Buton,


yang menempati bagian tengah dan selatan, berketinggian antara 100 – 400 meter
di atas permukaan laut. Perbukitan umumnya berupa perbukitan tajam dan
setempat berupa perbukitan landai. Topografi perbukitan ditempati oleh berbagai
macam batuan sedimen Pra Tersier seperti batugamping (Formasi Tondo, Formasi
Rumu, dan Formasi Tobelo) dan serpih serta batuan ultrabasa yang umumnya
membentuk topografi tajam yang dipotong oleh sungai-sungai yang bermuara ke
laut di sekeliling Pulau Buton.

Perbukitan bergelombang di Pulau Buton umumnya disusun oleh napal


dari Formasi Sampolakosa. Sedangkan perbukitan dengan lereng dan puncak
tajam dibentuk oleh sedimen klastik halus – kasar yang berasal dari Formasi
Tondo.

2.2. Stratigrafi Regional

Stratigrafi regional pulau Buton menurut Davidson (1991) dibagi menjadi


empat fase peristiwa tektonik/sedimentologi yaitu sedimentasi ”Pre-Rift”,
sedimentasi ”Rift-Drift”, sedimentasi ”Syn- and Post-Orogenic”, dan
sedimentasi”Recent Orogenic”.

a. Sedimentasi ”Pre-Rift”

Sedimentasi ”Pre-Rift” mencakup batuan metamorfik Doole berumur


awal Trias, Formasi Winto berumur Trias Tengah, dan Formasi Ogena berumur
Jura Akhir (Davidson, 1991).Formasi Doole, Stratigrafi Buton dimulai dari
batuan paling tua dari Formasi Doole yang terdiri dari batupasir, batulanau,
batusabak dan filit yang berasal dari erosi batuan granit dan metamorf (Tanjung
dkk., 2007).

Formasi Winto berumur Trias berada diatas Formasi Doole yang


terdiri dari sedimen klastik, terutama serpih. Diatas Formasi Winto di endapkan
Formasi Ogena berumur Jura Akhir yang terdiri dari endapan serpih dan karbonat
laut dalam. Serpih dari Formasi Winto dan Ogena mengandung banyak material
organik, yang dapat dijadikan sebagai sumber hidrokarbon.

Formasi Winto, terdiri dari batulempung, serpih, batupasir litik,


konglomerat, dan batugamping mikrit kristalin berukuran halus. Umur dari
Formasi ini diperkirakan mulai dari Trias Tengah–Trias Akhir (Tanjung
dkk.,2007).Formasi Ogena, secara stratigrafi batuan Formasi Winto ditutupi oleh
Formasi Ogena. Kontaknya diperkirakan selaras pada sumur Sampolakosa-1S
(Davidson, 1991). Litologinya terdiri dari batugamping kalsilutit berlapis baik
dan interkalasi serpih tipis. Formasi Ogena berumur Jura Awal dan
merupakan endapan laut dalam.

b. Sedimentasi ”Rift-Drift”

Sedimentasi ”Rift-Drift” (Davidson, 1991) mencakup Formasi Rumu


berumur Jura Akhir, Formasi Tobelo berumur Kapur hingga Oligosen, dan
batugamping alas Formasi Tondo berumur Miosen. Karbonat laut dalam
mendominasi sikuen ini. Formasi Tobelo yang berumur Kapur atas terdiri dari
rijang merah yang kadang hadir sebagai sisipan maupun nodul.

Formasi Rumu, di Buton Selatan, diinterpretasikan mengendap tidak


selaras diatas Formasi Ogena (Tanjung dkk., 2007). Formasi ini terdiri dari tiga
litologi yang berbeda, yaitu kalsilutit berwarna merah muda yang mengandung
rijang, batulempung abu-abu pucat yang mengandung belemnites dan
skeletalwackestones. Hal ini menunjukkan bahwa Formasi Rumu diendapkan
pada lingkungan laut dangkal. Di Buton Utara, Formasi Rumu tidak dijumpai,
kemungkinannya penyebaran Formasi ini terbatas atau merupakan fasies yang
ekivalen dengan suksesi dari Formasi Ogena.
Formasi Tobelo, Formasi termuda pada sekuen sedimen Pra-Neogen ialah
Formasi Tobelo. Umur batuannya diperkirakan dari Kapur Bawah sampai
Oligosen (Davidson, 1991). Litologinya berupa batugamping masif atau berlapis
dengan lensa-lensa atau nodul rijang. Batugampingnya mikritik, terekristalisasi,
sangat banyak uraturat kalsit dan stilolit. Conto batuan yang diambil untuk
analisis paleontology tidak mengandung fauna, kemungkinan akibat telah
terjadinya rekristalisasi. Kemungkinan Formasi Tobelo diendapkan pada
lingkungan Neritik–Batial (Davidson, 1991).

Anggota batugamping dari Formasi Tondo terdiri dari batugamping


massif dan batugamping mikrit yang diendapkan pada lingkungan neritik luar
(Tanjung dkk., 2007). Anggota batugamping dari Formasi Tondo ini sangat
jarang ditemukan pada daerah Buton Selatan.

c. Sedimentasi “Syn” dan “Post Orogenik”

Sedimen Syn-Orogenic dan Post-Orogenic terjadi pada Formasi Miosen


Tondo dan Formasi Pliosen Sampolakosa. Klastik Tondo berasal dari erosi
lapisan Pra-Miosen selama tumbukan Buton dan Muna/Sulawesi Tenggara yang
terjadi pada Miosen Awal-Tengah. Fasies klastik halus diinterpretasikan sebagai
turbidit distal, dan diatasnya diendapkan fasies klastik kasar secara selaras.
Litologi yang dominan adalah konglomerat, batupasir, batulanau, batulempung,
dan napal.

Formasi Tondo, kelompok Tondo dapat dibagi menjadi dua fasies


dominan (Tanjung dkk., 2007), yaitu fasies klastik kasar dan fasies klastik halus.
Fasies klastik kasar Formasi Tondo diendapkan tidak selaras di atas Anggota
Batugamping Formasi Tondo (Tanjung dkk., 2007). Fasies klastik kasar ini
terdiri dari konglomerat dan batupasir litik. Batugamping dan rijang banyak
ditemukan sebagai fragmen padakonglomerat maupun batupasir litik.

Fasies klastik kasar Formasi Tondo terdiri dari konglomerat dan batupasir
litik berbutir medium sampai kasar. Fasies ini di interpretasi sebagai himpunan
kipas turbidit laut dalam yang fragmennya berasal dari erosi batuan yang lebih
tua yaitu sedimen Pra-Neogen dan batuan ofiolit. Di Buton Selatan, sekuen
tersebut diperkirakan memiliki kisaran umur dari Miosen Awal (N3/N4) sampai
awal.

Miosen Akhir (N15/N16) (Davidson, 1991). Fasies klastik halus Formasi


Tondo di interpretasi sebagai endapan turbidit distal. Litologi dominannya berupa
batulempung, batulanau dan batupasir. Semua sedimen ini berlaminasi tipis dan
mengandung lapisan tipis karbonan serta hancuran tumbuhan. Batupasirnya
berbutir halus dan tersemen baik dengan kalsit ataupun dolomit. Foraminifera
planktonik sangat banyak ditemukan dan menunjukkan suatu pendalaman
gradual selama pengendapan di neritik luar sampai batial atas pada Miosen
Akhir (Davidson, 1991).

Formasi Sampolakosa, terdiri dari napal dan batugamping kalkarenit.


Formasi ini memiliki kisaran umur dari Miosen Akhir sampai Pliosen Akhir
(Tanjung dkk., 2007). Litologi dari formasi ini terdiri dari napal, batugamping
kalkarenit, dan batugamping terumbu. Kontak dengan Formasi Tondo berupa
ketidak selarasan (Tanjung dkk., 2007). Napal dari formasi ini di interpretasikan
terendapkan pada lingkungan laut dalam, namun lapisan kalkarenit
memperlihatkan lingkungan pengendapan laut dangkal (Tanjung dkk., 2007).

d. Sedimentasi “Recent Orogenic”

Formasi Wapulaka, berumur Pliosen Akhir-Pleistosen dan terdiri dari


batugamping bioklastik yang terkarstifikasi intensif, tersementasi buruk, dan
sering membentuk teras-teras. Formasi ini diendapkan pada lingkungan neritik
dalam (Tanjung dkk., 2007).
Ofiolit, singkapan terbesar batuan ofiolit ini terdapat di perbukitan
Kapantoreh Buton Selatan. Batuannya terutama berupa serpentinit, gabro dan
dolerit. Dan keberadaannya diatas sekuen Pra-Neogen di interpretasi akibat
proses tektonik yang terjadi pada saat terjadi kolisi. Batuan ofiolit yang dianalisa
menggunakan Radiometri diperkirakan memiliki rentang umur 7.88 juta tahun
lalu. sampai 2.27 juta tahun lalu (Davidson, 1991).

Gambar 2. Kolom Stratigrafi Regional (modifikasi dari Davidson, 1991).


2.3. Struktur Regional

Stuktur geologi adalah suatu struktur atau kondisi yang ada di suatu daerah
sebagai akibat terjadinya perubahan-perubahan pada batuan oleh proses tektonik
atau proses lainnya. Dengan terjadinya proses tektonik, maka batuan maupun
kerak bumi akan berubah susunannya dari keadaan semula.

Buton dianggap sebagai suatu pecahan dari benua Australia-New Guinea


sama halnya dengan busur kepulauan Banda lainnya (Gambar 3). Anggapan ini
diperoleh dari adanya kesamaan pada kandungan fosil yang berumur Mesozoik,
stratigrafi sebelum terjadi pemisahan, dan waktu pemisahan dengan busur
kepulauan Banda lainnya.

Sejarah tektonik dan stratigrafi dari kebanyakan pulau di busur Banda


dicirikan oleh beberapa kejadian yang sama. Ini termasuk peristiwa pre-rift
dengan pengendapan sedimen kontinen pada half graben, peristiwa rifting yang
dicirikan oleh uplift, erosi, dan vulkanisme yang terlokalisir, peristiwa drifting
yang dicirikan oleh penurunan dan pengendapan sedimen laut, dan peristiwa
tumbukan Neogen.
Gambar 3. Busur Kepulauan Banda yang merupakan fragmen dari
Australia. (Sumber: Daly dkk., 1987)

Pada awalnya Buton dipercaya terdiri dari 2 buah lempeng mikro-kontinen


yang terpisah. Lempeng pertama mencakup bagian timur Pulau Buton dan Pulau
Tukang Besi dan lempeng kedua mencakup bagian barat Pulau Buton dan Pulau
Muna (Hamilton, 1979 op.cit Davidson, 1991). Namun dengan data geologi dan
geofisika terbaru, dipercaya daerah Buton terdiri dari 3 buah lempeng mikro
kontinen yang terdiri dari Pulau Buton, Muna/SE Sulawesi, dan Tukang Besi,
yang terlibat dalam suatu tumbukan ganda.

Sejarah tektonik dan stratigrafi di Pulau Buton kurang lebih sama dengan
busur kepulauan Banda lainnya. Menurut Davidson (1991), Pulau Buton
dipengaruhi oleh 4 peristiwa tektonik (Gambar 4), yaitu:

a) Masa pre-rift pada Permian sampai Akhir Trias ketika Pulau Buton masih
menjadi bagian dari Australia
b) 2. Masa rift-drift ketika Pulau Buton mulai memisahkan diri dari
Australiadan menuju timurlaut pada Trias Akhir sampai Oligosen .
c) Masa deformasi. pembentukan cekungan dan pengisian cekungan
(synpostorogenic) pada Miosen Awal sampai Pliosen yang diawali
dengantumbukan Pulau Buton dengan Pulau Muna (Sulawesi Tenggara)
d) Masa deformasi yang lebih muda (recent orogenic) pada Pliosen
sampaisekarang yang dimulai dengan Tumbukan Pulau Buton dengan
PulauTukangbesi.
Gambar 4. Busur Kepulauan Banda yang merupakan fragmen dari
Australia. (Sumber: Daly dkk., 1987)

Efek tumbukan Pulau Buton – Muna/Sulawesi Tenggara terekam pertama


kali di selatan Buton pada Miosen Awal (N3) dimana sikuen sesar anjakan dan
lipatan terbentuk. Klastik Syn-Orogenic diendapakan pada cekungan Neogen
sebagai akibat dari sesar anjakan berarah timur dan erosi dari
pengangkatan lapisan yang berumur Trias hingga Oligosen. Subduksi, kompresi,
dan deformasi berlanjut hingga Miosen Tengah (N11) di bagian selatan. Hal ini
mengakibatkan pengangkatan, erosi klastik Syn-Orogenic Miosen Awal, dan
pembentukan ketidak selarasan regional. Tumbukan Buton-Muna/Sulawesi
Tenggara tidak mempengaruhi Buton utara hingga Miosen Tengah (Davidson,
1991).
BAB III
PEMBAHASAN

“Rekomendasi Tata Ruang Kabupaten Buton Utara Berdasarkan Kondisi


Geologinya”
BAB IV
PENUTUP

4.1. KESIMPULAN

4.2. SARAN
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai