Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN MINI PROJECT

TINGKAT PENGETAHUAN TERHADAP KEJADIAN PENYAKIT HIPERTENSI


PADA LANSIA DIPUSKESMAS SINGGANI PADA TAHUN 2019

Untuk Memenuhi Sebagian Syarat

Mengikuti Program Internsip Dokter Indonesia

Disusun Oleh :

dr. Riski Savina Akbar

dr. Milka

dr. Dini Laudia

Pendamping :

dr. Nurainun

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

PUSKESMAS SINGGANI

KOTA PALU

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hipertensi merupakan kondisi yang paling sering ditemukan di pelayanan
primer yang dapat memicu terjadinya penyakit kardiovaskuler, infark miokard,
stroke, gagal ginjal, atau kematian apabila tidak dideteksi dini dan tidak diterapi
dengan tepat.1 Hipertensi terjadi bila terjadi peningkatan tekanan darah sistolik ≥
140 mmHg atau diastolik ≥ 90 mmHg.2
Di seluruh dunia, peningkatan tekanan darah diperkirakan menyebabkan
sekitar 7,5 juta kematian (12,8% dari seluruh kematian). Peningkatan tekanan
darah merupakan penyakit yang berbahaya karena merupakan faktor risiko
terjadinya penyakit jantung koroner dan stroke hemoragik. Risiko penyakit
kardiovaskuler meningkat 2 kali lipat untuk setiap kenaikan 20/10 mmHg
(dimulai dari 115/75). Risiko penyakit lain yang mungkin terjadi adalah gagal
jantung, penyakit vaskuler perifer, gangguan ginjal, perdarahan retina, dan
gangguan visual.3
Secara global, peningkatan tekanan darah di usia 25 tahun ke atas sekitar
40% pada tahun 2008. Populasi yang terus bertambah dan penuaan, membuat
kasus hipertensi semakin banyak. Jumlah penderita hipertensi yang tidak
terkontrol meningkat dari 600 juta kasus pada tahun 1980 menjadi hampir 1
miliar penderita pada tahun 2008.3 Kebiasaan merokok terutama perokok sangat
berat dan indeks massa tubuh obesitas juga berhubungan dengan kejadian
hipertensi.4
Di wilayah Asia Tenggara, sekitar 35% populasi dewasa memiliki
hipertensi yang memberikan kontribusi pada 1,5 juta kematian per tahun. Data
nasional dari berbagai negara di Asia Tenggara menunjukkan peningkatan
prevalensi hipertensi. Di Indonesia, prevalensi hipertensi meningkat dari tahun
1995 sebesar 8% menjadi 32% pada tahun 2008. Dari WHO STEP di negara
India, Indonesia, Maldives, dan Nepal kurang dari 50% yang mengetahui bahwa
mereka memiliki hipertensi dan hanya kurang dari setengahnya yang
mendapatkan terapi. Dari subyek yang mendapatkan terapi, hanya kurang dari
setengahnya yang memiliki tekanan darah di bawah 140/90.5
Prevalensi hipertensi pada penduduk Indonesia diatas 15 tahun ke atas
berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah adalah sebesar 34,9% dari 643.300
individu. Menurut data Riskesdas tahun 2007, hipertensi banyak terjadi pada
kelompok usia 45-54 tahun sejumlah 49.226 jiwa, diikuti oleh kelompok usia 35-
44 tahun sejumlah 47.224 jiwa. 6
Pengendalian hipertensi hingga kini belum memuaskan, bahkan di negara
maju. Di banyak negara, pengendalian hipertensi baru mencapai 8% karena
berbagai kendala mulai dari faktor penderita, hingga sarana pelayanan yang
tersedia. Pengendalian hipertensi di Indonesia mencakup pencegahan, penemuan
dini, diagnosis, dan terapi. Pencegahan meliputi perubahan gaya hidup dan
pemeriksaan berkala untuk keperluan identifikasi hipertensi. Penemuan dini bisa
dilakukan dengan skrining pada populasi, serta meningkatkan kesadaran
masyarakat terutama mereka yang berisiko.6
Di Puskesmas Singgani, upaya ini belum terlaksana sepenuhnya dikarenakan
pengertian masyarakat mengenai lansia masih kurang karena mereka masih
menganggap bahwa peristiwa sakit pada masa lansia merupakan hal yang alami
dan biasa. Lansia banyak yang meminum obat tidak teratur dan bahkan banyak
yang mengira jika tekanan darah sudah terkontrol tidak perlu lagi minum obat dan
mengontrol tekanan darahnya. Selain itu, kelompok lansia juga kurang bisa
memanfaatkan posyandu lansia dan kurangnya kesadaran lansia untuk membina
sendiri kesehatannya.
Adapun data penyakit tertinggi di poliklinik lansia pada puskesmas singgani
adalah penyakit hipertensi, yakni tercatat 2.220 kasus pada tahun 2018.
Oleh karena itu berdasarkan hal tersebut diatas maka peneliti tertarik untuk
mengetahui Tingkat Pengetahuan penyakit hipertensi di puskesmas Singgani
2019.

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan, maka akan dilakukan
penelitian mengenai tingkat pengetahuan kejadian Penyakit hipertensi di
Puskesmas Singgani 2019

1.3 Tujuan penelitian


Tujuan Umum
a. Untuk mengetahui gambaran Tingkat Pengetahuan terhadap kejadian Penyakit
Hipertensi di Puskesmas SInggani Tahun 2019
b. Tujuan Khusus
 Untuk mengetahui pengaruhnya Usia Terhadap terjadinya penyakit
Hipertensi di puskesmas Singgani tahun 2019
 Untuk mengetahui pengaruhnya jenis kelamin terhadap terjadinya
penyakit Hipertensi di Puskesmas Singgani Tahun 2019
 Untuk mengetahui pengaruhnya riwayat Pendidikan Terhadap
terjadinya penyakit Hipertensi di puskesmas Singgani tahun 2019
1.4 Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan kesehatan masyarakat, terutama pentingnya pemeriksaan dan
mengetahui faktor yang meningkatkan terjadinya hipertensi di Puskesmas
Singgani Tahun 2019
b. Manfaat Praktis Langsung
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dalam rangka
meningkatkan upaya pencegahan hipertensi di Puskesmas Singgani.
c. Bagi Peneliti Sendiri
Merupakan pengalaman berharga dan wadah latihan untuk
memperoleh wawasan dan pengetahuan dalam rangka penerapan ilmu
pengetahuan yang telah diterima selama pendidikan.
d. Bagi Puskesmas
Sebagai bahan masukan dalam hal perencanaan dan penanggulangan
kejadian hipertensi pada penderita di Puskesmas Singgani Tahun 2019
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Profil Puskesmas


a. Keadaan Umum
Puskesmas Singgani berada di wilayah kecamatan Palu Timur yang
memiliki luas wilayah 104,02 km2 dan secara administratif pemerintahan
terdiri atas 5 kelurahan, 30 RW serta 94 RT. 7
Wilayah kerja Puskesmas Singgani mencakup lima kelurahan yaitu :
 Kelurahan Besusu Barat
 Kelurahan Besusu Tengah
 Kelurahan Besusu Timur
 Kelurahan Lasoani
 Kelurahan Poboya
Peta Wilayah Kerja Puskesmas Singgani :
b. Luas wilayah Puskesmas Singgani
Puskesmas Singgani dengan wilayah seluas 104,02 km2 dengan
pembagian wilayah sebagai berikut :
 Kelurahan Besusu Barat 0,87 km2
 Kelurahan Besusu Tengah 2,26 km2
 Kelurahan Besusu Timur 0,62 km2
 Kelurahan Lasoani 36,86 km2
 Kelurahan Poboya 63,41 km2
Puskesmas Singgani terletak dalam wilayah Kota Palu yang memiliki dua
musim, yaitu musim panas dan musim hujan sebagaimana daerah-daerah lain
yang ada di wilayah Sulawesi Tengah. Musim panas terjadi pada bulan April –
September, sedangkan musim hujan terjadi pada bulan Oktober – Maret. 7
2.2 Hipertensi
a. Definisi
Definisi Hipertensi adalah keadaan tekanan darah sistolik lebih dari
140 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg. Tekanan darah diukur
dengan spygmomanometer yang telah dikalibrasi dengan tepat (80% dari
ukuran manset menutupi lengan) setelah pasien beristirahat nyaman, posisi
duduk punggung tegak atau terlentang paling sedikit selama 5 menit sampai
30 menit setelah merokok atau minum kopi.1
Hipertensi adalah penyakit dimana tekanan darah melampaui tekanan
darah normal. Berdasarkan The Joint National Committee on Prevention,
detection, evaluation and treatment of high blood pressure (JNC) VII tahun
2003, tekanan darah disebut normal apabila tekanan sistolik < 120 mmHg dan
tekanan diastolik < 80 mmHg. 4
Hipertensi sering disebut sebagai the silent disease karena penderita
umumnya tidak mengetahui dirinya mengidap hipertensi sebelum
memeriksakan tekanan darahnya.4
b. Epidemiologi
Stroke, hipertensi dan penyakit jantung meliputi lebih dari sepertiga
penyebab kematian, dimana stroke menjadi penyebab kematian terbanyak
15,4%, kedua hipertensi 6,8%, penyakit jantung iskemik 5,1%, dan penyakit
jantung 4,6% (Hasil Riskesdas 2007). Data Riskesdas 2007 juga disebutkan
prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar 30% dengan insiden komplikasi
penyakit kardiovaskular lebih banyak pada perempuan (52%) dibandingkan
laki-laki (48%).1
Surveilans rutin penyakit tidak menular pada puskesmas sentinel di
Sulawesi Selatan pada tahun 2008, ditemukan sebanyak 99.862 kasus
penyakit tidak menular, yang terdiri dari perempuan (50.862) kasus dan laki-
laki (48.449) kasus. Jumlah kematian karena PTM sebanyak 666 orang
(0,7%).11
Lima penyakit urutan terbesar ditemukan pada puskesmas sentinel
antara lain hipertensi (57,48%), kecelakaan lalu lintas (16,77%), asma
(13,23%), diabetes mellitus (7,95%), dan osteoporosis (1,20%). Tetapi 5
urutan penyebab kematian karena PTM yang ditemukan pada puskesmas
sentinel antara lain hipertensi (63,66%), kecelakaan lalu lintas (14,86%), asma
(9,91%), diabetes mellitus (9,76%), dan tumor genital (1,50%).11

c. Klasifikasi
Menurut The Seventh Report of The Joint National Committe on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7),
klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok
normal, prahipertensi, hipertensi derajat 1, dan hipertensi derajat 2.11
Tabel ..
Klasifikasi Hipertensi
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi 2, yakni :
1. Hipertensi primer
Hipertensi primer (esensial) adalah suatu peningkatan persisten tekanan
arteri yang dihasilkan oleh ketidakteraturan mekanisme kontrol
homeostatik normal. Hipertensi ini tidak diketahui penyebabnya dan
mencakup 90% dari kasus hipertensi. Hipertensi esensial merupakan
multifaktorial yang timbul terutama karena interaksi antara faktor-faktor
yang mendorong timbulnya kenaikan darah.12
2. Hipertensi sekunder
Hipertensi sekunder memiliki patogenesis yang spesifik. Hipertensi
sekunder dapat terjadi pada individu dengan usia sangat muda tanpa
disertai riwayat hipertensi dalam keluarga. Individu dengan hipertensi
pertama kali pada usia di atas 50 tahun atau yang sebelumnya diterapi tapi
mengalami refrakter terhadap terapi yang diberikan mungkin mengalami
hipertensi sekunder. Penyebab hipertensi sekunder antara lain penggunaan
estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskuler ginjal, hiperaldosteronisme
primer dan sindroma cushing, feokromositoma, koarktasio aorta,
kehamilan, serta penggunaan obat-obatan.12

d. Etiologi
Etiologi hipertensi tergantung pada kecepatan denyut jantung, volume
sekuncup dan Total Peripheral Resistance (TPR). Maka peningkatan salah
satu dari ketiga variabel yang tidak dikompensasi dapat menyebabkan
hipertensi. Peningkatan kecepatan denyut jantung dapat terjadi akibat
rangsangan abnormal saraf atau hormon pada nodus SA. Peningkatan
kecepatan denyut jantung yang berlangsung kronik sering menyertai keadaan
hipertiroidisme. Namun, peningkatan kecepatan denyut jantung biasanya
dikompensasi oleh penurunan volume sekuncup atau TPR, sehingga tidak
meninbulkan hipertensi.13
Peningkatan volume sekuncup yang berlangsung lama dapat terjadi apabila
terdapat peningkatan volume plasma yang berkepanjangan, akibat gangguan
penanganan garam dan air oleh ginjal atau konsumsi garam yang berlebihan.
Peningkatan pelepasan renin atau aldosteron maupun penurunan aliran darah
ke ginjal dapat mengubah penanganan air dan garam oleh ginjal. Peningkatan
volume plasma akan menyebabkan peningkatan volume diastolik akhir
sehingga terjadi peningkatan volume sekuncup dan tekanan darah.
Peningkatan preload biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan
sistolik.13
Peningkatan Total Periperial Resistence yang berlangsung lama dapat
terjadi pada peningkatan rangsangan saraf atau hormon pada arteriol, atau
responsivitas yang berlebihan dari arteriol terdapat rangsangan normal. Kedua
hal tersebut akan menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Pada
peningkatan Total Periperial Resistence, jantung harus memompa secara lebih
kuat dan dengan demikian menghasilkan tekanan yang lebih besar, untuk
mendorong darah melintas pembuluh darah yang menyempit. Hal ini disebut
peningkatan dalam afterload jantung dan biasanya berkaitan dengan
peningkatan tekanan diastolik. Apabila peningkatan afterload berlangsung
lama, maka ventrikel kiri mungkin mulai mengalami hipertrofi (membesar).
Dengan hipertrofi, kebutuhan ventrikel akan oksigen semakin meningkat
sehingga ventrikel harus mampu memompa darah secara lebih keras lagi
untuk memenuhi kebutuhan tesebut. Pada hipertrofi, serat-serat otot jantung
juga mulai tegang melebihi panjang normalnya yang pada akhirnya
menyebabkan penurunan kontraktilitas dan volume sekuncup.13
Beberapa penyebab terjadinya hipertensi sekunder, diantaranya yakni :
1. Penyakit ginjal
2. Stenosis arteri renalis
3. Pielonefritis
4. Glomerulonefritis
5. Tumor-tumor ginjal
6. Penyakit ginjal polikista (biasaanya diturunkan)
7. Trauma pada ginjal (luka yang mengenai ginjal)
8. Terapi penyinaran yang mengenai ginjal
9. Kelainan hormonal
e. Faktor resiko
Faktor-faktor yang tidak dapat dimodifikasi antara lain faktor genetik,
umur, jenis kelamin, dan etnis. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi
meliputi stres, obesitas dan nutrisi.7
 Faktor genetic
Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan
keluarga itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan
dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara
potasium terhadap sodium Individu dengan orang tua dengan hipertensi
mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari
pada orang yang tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. 14
Selain itu didapatkan 70-80% kasus hipertensi esensial dengan riwayat
hipertensi dalam keluarga.6
 Umur
Insidensi hipertensi meningkat seiring dengan pertambahan umur.
Pasien yang berumur di atas 60 tahun, 50 – 60 % mempunyai tekanan
darah lebih besar atau sama dengan 140/90 mmHg. Hal ini merupakan
pengaruh degenerasi yang terjadi pada orang yang bertambah usianya.6
Hipertensi merupakan penyakit multifaktorial yang munculnya oleh
karena interaksi berbagai faktor. Dengan bertambahnya umur, maka
tekanan darah juga akan eningkat. Setelah umur 45 tahun, dinding arteri
akan mengalami penebalan oleh karena adanya penumpukan zat kolagen
pada lapisan otot, sehingga pembuluh darah akan berangsur-angsur
menyempit dan menjadi kaku. Tekanan darah sistolik meningkat karena
kelenturan pembuluh darah besar yang berkurang pada penambahan umur
sampai dekade ketujuh sedangkan tekanan darah diastolik meningkat
sampai decade kelima dan keenam kemudian menetap atau cenderung
menurun. Peningkatan umur akan menyebabkan beberapa perubahan
fisiologis, pada usia lanjut terjadi peningkatan resistensi perifer dan
aktivitas simpatik. Pengaturan tekanan darah yaitu reflex baroreseptor
pada usia lanjut sensitivitasnya sudah berkurang, sedangkan peran ginjal
juga sudah berkurang dimana aliran darah ginjal dan laju filtrasi
glomerulus menurun.7

 Jenis kelamin
Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita. Namun
wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause.
Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon
estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density
Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor
pelindung dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek
perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas
wanita pada usia premenopause. Pada premenopause wanita mulai
kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini
melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut
dimana hormon estrogen tersebut berubah kuantitasnya sesuai dengan
umur wanita secara alami, yang umumnya mulai terjadi pada wanita umur
45-55 tahun.6
 Etnis
Hipertensi lebih banyak terjadi pada orang berkulit hitam dari pada
yang berkulit putih. Sampai saat ini, belum diketahui secara pasti
penyebabnya. Namun pada orang kulit hitam ditemukan kadar renin yang
lebih rendah dan sensitifitas terhadap vasopressin lebih besar.8
 Obesitas
Berat badan merupakan faktor determinan pada tekanan darah pada
kebanyakan kelompok etnik di semua umur. Menurut National Institutes
for Health USA (NIH, 1998), prevalensi tekanan darah tinggi pada orang
dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) >30 (obesitas) adalah 38% untuk pria
dan 32% untuk wanita, dibandingkan dengan prevalensi 18% untuk pria
dan 17% untuk wanita bagi yang memiliki IMT <25 (status gizi normal
menurut standar internasional).9
Menurut Hall (1994) perubahan fisiologis dapat menjelaskan
hubungan antara kelebihan berat badan dengan tekanan darah, yaitu
terjadinya resistensi insulin dan hiperinsulinemia, aktivasi saraf simpatis
dan sistem renin-angiotensin, dan perubahan fisik pada ginjal.
Peningkatan konsumsi energi juga meningkatkan insulin plasma, dimana
natriuretik potensial menyebabkan terjadinya reabsorpsi natrium dan
peningkatan tekanan darah secara terus menerus.7
 Merokok
Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok berat
dapat dihubungkan dengan peningkatan insiden hipertensi maligna dan
risiko terjadinya stenosis arteri renal yang mengalami ateriosklerosis.
(Dalam penelitian kohort prospektif oleh dr. Thomas S Bowman dari
Brigmans and Women’s Hospital, Massachussetts terhadap 28.236
subyek yang awalnya tidak ada riwayat hipertensi, 51% subyek tidak
merokok, 36% merupakan perokok pemula, 5% subyek merokok 1-14
batang rokok perhari dan 8% subyek yang merokok lebih dari 15 batang
perhari. Subyek terus diteliti dan dalam median waktu 9,8 tahun.
Kesimpulan dalam penelitian ini yaitu kejadian hipertensi terbanyak pada
kelompok subyek dengan kebiasaan merokok lebih dari 15 batang
perhari. 10
 Tipe kepribadian
Secara statistik pola perilaku tipe A terbukti berhubungan dengan
prevalensi hipertensi. Pola perilaku tipe A adalah pola perilaku yang
sesuai dengan kriteria pola perilaku tipe A dari Rosenman yang
ditentukan dengan cara observasi dan pengisian kuisioner self rating dari
Rosenman yang sudah dimodifikasi. Mengenai bagaimana mekanisme
pola perilaku tipe A menimbulkan hipertensi banyak penelitian
menghubungkan dengan sifatnya yang ambisius, suka bersaing, bekerja
tidak pernah lelah, selalu dikejar waktu dan selalu merasa tidak puas.
Sifat tersebut akan mengeluarkan katekolamin yang dapat menyebabkan
prevalensi kadar kolesterol serum meningkat, hingga akan mempermudah
terjadinya aterosklerosis.6
Stress akan meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan curah
jantung sehingga akan menstimulasi aktivitas saraf simpatis. Adapun
stress ini dapat berhubungan dengan pekerjaan, kelas sosial, ekonomi, dan
karakteristik personal. 6
f. Patofisiologi
Hipertensi adalah penyakit multifaktorial yang timbul terutama karena
interaksi antara faktor-faktor risiko. Kaplan menggambarkan beberapa faktor
yang berperan dalam pengendalian tekanan darah yang mempengaruhi rumus
dasar :
Tekanan Darah = Curah Jantung x Tahanan Perifer.12
Mekanisme yang berhubungan dengan terjadinya hipertensi esensial,
antara lain:
 Curah jantung dan Tahanan Perifer
Keseimbangan curah jantung dan tahanan perifer sangat berpengaruh
terhadap kenormalan tekanan darah. Pada sebagian besar kasus hipertensi
esensial curah jantung biasanya normal tetapi tahanan perifernya
meningkat. Tekanan darah ditentukan oleh konsentrasi sel otot halus yang
terdapat pada arteriol kecil. Peningkatan konsentrasi sel otot halus akan
berpengaruh pada peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler.
Peningkatan konsentrasi otot halus ini semakin lama akan mengakibatkan
penebalan pembuluh darah arteriol yang mungkin dimediasi oleh
angiotensin yang menjadi awal meningkatnya tahanan perifer yang
irreversible.
 Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron
Gambar..
Patofisiologi Hipertensi
Ginjal mengontrol tekanan darah melalui pengaturan volume cairan
ekstraseluler dan sekresi renin. Sistem Renin-Angiotensin merupakan
sistem endokrin yang penting dalam pengontrolan tekanan darah. Renin
disekresi oleh juxtaglomerulus aparatus ginjal sebagai respon glomerulus
underperfusion atau penurunan asupan garam, ataupun respon dari sistem
saraf simpatetik.
Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya
angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin -converting enzyme
(ACE). ACE memegang peranan fisiologis penting dalam mengatur
tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi hati,
yang oleh hormon renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi
angiotensin I (dekapeptida yang tidak aktif). Oleh ACE yang terdapat di
paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II (oktapeptida yang
sangat aktif). Angiotensin II berpotensi besar meningkatkan tekanan darah
karena bersifat sebagai vasoconstrictor melalui dua jalur, yaitu:
 Meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus.
ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada
ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan
meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar
tubuh (antidiuresis) sehingga urin menjadi pekat dan tinggi
osmolalitasnya. Untuk mengencerkan, volume cairan ekstraseluler
akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian
intraseluler. Akibatnya volume darah meningkat sehingga
meningkatkan tekanan darah.
 Menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron
merupakan hormon steroid yang berperan penting pada ginjal. Untuk
mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi
ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus
ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan
cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya
akan meningkatkan volume dan tekanan darah.
 System Saraf Otonom
Sirkulasi sistem saraf simpatik dapat menyebabkan vasokonstriksi dan
dilatasi arteriol. Sistem saraf otonom ini mempunyai peran yang penting
dalam mempertahankan tekanan darah. Hipertensi dapat terjadi karena
interaksi antara sistem saraf otonom dan sistem renin-angiotensin
bersama-sama dengan faktor lain termasuk natrium, volume sirkulasi, dan
beberapa hormon.

Gambar..
Patofisiologi Hipertensi
 Disfungsi Endotelium
Pembuluh darah sel endotel mempunyai peran yang penting dalam
pengontrolan pembuluh darah jantung dengan memproduksi sejumlah
vasoaktif lokal yaitu molekul nitric oxide dan peptida endotelium.
Disfungsi endotelium banyak terjadi pada kasus hipertensi primer. Secara
klinis pengobatan dengan antihipertensi menunjukkan perbaikan gangguan
produksi dari nitric oxide.
Banyak sistem vasoaktif yang mempengaruhi transpor natrium dalam
mempertahankan tekanan darah dalam keadaan normal. Bradikinin
merupakan vasodilator yang potensial, begitu juga endothelin. Endothelin
dapat meningkatkan sensitifitas garam pada tekanan darah serta
mengaktifkan sistem renin-angiotensin lokal. Atrial natriuretic peptide
merupakan hormon yang diproduksi di atrium jantung dalam merespon
peningkatan volume darah. Hal ini dapat meningkatkan ekskresi garam
dan air dari ginjal.
g. Manifestasi Klinik
Individu yang menderita hipertensi kadang tidak menampakan gejala
sampai bertahun-tahun. Gejala bila ada menunjukan adanya kerusakan
vaskuler, dengan manifestasi yang khas sesuai sistem organ yang diperdarahi
oleh pembuluh darah bersangkutan. Perubahan patologis pada ginjal dapat
bermanifestasi sebagai nokturia (peningkatan urinasi pada malam hari) dan
peningkatan nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin. Keterlibatan pembuluh
darah otak dapat menimbulkan stroke atau serangan iskemik transien yang
bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada satu sisi (hemiplegia) atau
gangguan tajam penglihatan. Corwin menyebutkan bahwa sebagian besar
gejala klinis timbul setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun berupa nyeri
kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat
peningkatan tekanan darah intrakranial, penglihatan kabur akibat kerusakan
retina akibat hipertensi, ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan
susunan saraf pusat, nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan
filtrasi glomerolus, edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan
tekanan kapiler.
Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing,
muka merah, sakit kepala, keluaran darah dari hidung secara tiba-tiba,
tengkuk terasa pegal, dan lain-lain.
Sekitar 50% penderita hipertensi tidak menyadari bahwa tekanan darah
mereka meninggi. Selain itu adanya gejala pada orang tersebut juga
dikarenakan sikap acuh tah acuh penderita. Gejala baru timbul sesudah terjadi
komplikasi pada sasaran organ seperti ginjal, mata, sakit kepala, gangguan
fungsi ginjal, gangguan penglihatan, gangguan serebral atau gejala akibat
gangguan peredaran pembuluh darah otak berupa kelumpuhan, gangguan
kesadaran bahkan sampai koma. Gejala hipertensi sebagai berikut:7
a. Sakit kepala bagian belakang dan kaku kuduk, sulit tidur dan gelisah
atau cemas dan kepala pusing, dada berdebar-debar.
b. Lemas, sesak nafas, berkeringat, dan pusing.
Selain itu, stres cenderung menyebabkan kenaikan tekanan darah
untuk sementara waktu, jika stres telah berlalu, maka tekanan darah biasaanya
akan kembali normal. Jika penyebabnya adalah feokromositoma, maka
didalam urine bisa ditemukan adanya bahan-bahan hasil penguraian hormon
epinefrin dan norepinefrin. Biasanya hormon tersebut juga menyebabkan
gejala sakit kepala, kecemasan, palpitasi (jantung berdebar-debar), keringat
yang berlebihan, tremor (gemetar) dan pucat. Pemeriksaan untuk menentukan
penyebab dari hipertensi terutama dilakukan pada penderita usia muda.
Pemeriksaan ini bisa berupa rontgen dan radioisotope ginjal, rontgen dada,
serta pemeriksaan darah dan air kemih untuk hormon tertentu.17
h. Penatalaksanaan
Hipertensi esensial tidak dapat diobati tetapi dapat diberikan pengobatan
untuk mencegah terjadinya komplikasi. Langkah awal biasanya adalah
merubah gaya hidup penderita:12
 Penderita hipertensi yang mengalami kelebihan berat badan dianjurkan
untuk menurunkan berat badannya sampai batas ideal.
 Merubah pola makan pada penderita diabetes, kegemukan atau kadar
kolesterol darah tinggi. Mengurangi pemakaian garam sampai kurang dari
2,3 gram natrium atau 6 gram natrium klorida setiap harinya (disertai
dengan asupan kalsium, magnesium dan kalium yang cukup) dan
mengurangi alkohol.
 Olah raga teratur yang tidak terlalu berat. Penderita hipertensi esensial
tidak perlu membatasi aktivitasnya selama tekanan darahnya terkendali.
 Berhenti merokok karena merokok dapat merusak jantung dan sirkulasi
darah dan meningkatkan risiko penyakit jantung dan stroke.
 Pemberian obat-obatan:
 Diuretik thiazide biasanya merupakan obat pertama yang diberikan
untuk mengobati hipertensi. Diuretik membantu ginjal membuang
garam dan air, yang akan mengurangi volume cairan di seluruh tubuh
sehingga menurunkan tekanan darah. Diuretik juga menyebabkan
pelebaran pembuluh darah. Diuretik menyebabkan hilangnya kalium
melalui air, sehingga harus diberikan tambahan kalium atau obat
penahan kalium. Obat yang sering digunakan adalah obat yang daya
kerjanya panjang sehingga dapat digunakan dosis tunggal, diutamakan
diuretic yang hemat kalium seperti spironolacton, HCT, Furosemide.
 Penghambat adrenergik merupakan sekelompok obat yang terdiri dari
alfa- blocker, beta-blocker dan alfa-beta-blocker labetalol, yang
mengambat efek sistem saraf simpatis. Sistem saraf simpatis adalah
sistem saraf yang dengan segera akan memberikan respon terhadap
stres, dengan cara meningkatkan tekanan darah.
 Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACE-Inhibitor) Obat
penghambat ACE ini menurunkan tekanan darah dengan cara
menghambat angiotensin converting enzyme yang berdaya vasodilatori
kuat seperti captopril, lisinopril.
 Angiotensin II Blocker menyebabkan penurunan tekanan darah dengan
suatu mekanisme yang mirip dengan ACE-inhibitor.
 Antagonis kalsium menyebabkan melebarnya pembuluh darah dengan
mekanisme yang benar-benar berbeda. Mekanisme obat antagonis
kalisum adalah menghambat pemasukan ion kalsium ke dalam sel otot
polos pembuluh dengan efek vasidilatasi dari turunya tekanan darah
seperti : nipedipin,amlodipine, dan verapamil.
 Vasodilator langsung menyebabkan melebarnya pembuluh darah. Obat
dari golongan ini hampir selalu digunakan sebagai tambahan terhadap
obat anti hipertensi lainnya.
 Kedaruratan hipertensi (misalnya hipertensi maligna) memerlukan obat
yang menurutnkan tekanan darah tinggi dengan segara. Beberapa obat
bisa menurunkan tekanan darah dengan cepat dan sebagian besar
diberikan secara intravena: a) Diaxozide b) Nitroprusside c)
Nitroglycerin d) Labetalol. Diberikan secara oral : Nifedipine,
merupakan kalsium antagonis dengan kerja yang sangat cepat, tetapi
obat ini bisa menyebabkan hipotensi, sehingga pemberiannya harus
diawasi secara ketat.
i. Komplikasi
Menurut Sustrani (2006), membiarkan hipertensi membiarkan jantung
bekerja lebih keras dan membiarkan proses perusakan dinding pembuluh
darah berlangsung dengan lebih cepat. Hipertensi meningkatkan resiko
penyakit jantung dua kali dan meningkatkan resiko stroke delapan
kalindibanding dengan orang yang tidak mengalami hipertensi.
Selain itu hipertensi juga menyebabkan terjadinya payah jantung,
gangguan pada ginjal dan kebutaan. Penelitian juga menunjukkan bahwa
hipertensi dapat mengecilkan volume otak, sehingga mengakibatkan
penurunan fungsi kognitif dan intelektual. Yang paling parah adalah efek
jangka panjangnya yang berupa kematian mendadak.
 Penyakit jantung koroner dan arteri
Ketika usia bertambah lanjut, seluruh pembuluh darah di tubuh akan
semakin mengeras, terutama di jantung, otak dan ginjal. Hipertensi sering
diasosiasikan dengan kondisi arteri yang mengeras ini.
 Payah jantung
Payah jantung (Congestive heart failure) adalah kondisi dimana
jantung tidak mampu lagi memompa darah yang dibutuhkan tubuh.
Kondisi ini terjadi karena kerusakan otot jantung atau system listrik
jantung.
 Stroke
Hipertensi adalah faktor penyebab utama terjadinya stroke, karena
tekanan darah yang terlalu tinggi dapat menyebabkan pembuluh darah
yang sudah lemah menjadi pecah. Bila hal ini terjadi pada pembuluh
darah di otak, maka terjadi perdarahan otak yang dapat berakibat
kematian. Stroke juga dapat terjadi akibat sumbatan dari gumpalan darah
yang macet di pembuluh yang sudah menyempit.
 Kerusakan ginjal
Hipertensi dapat menyempitkan dan menebalkan aliran darah yang
menuju ginjal, yang berfungsi sebagai penyaring kotoran tubuh. Dengan
adanya gangguan tersebut, ginjal menyaring lebih sedikit cairan dan
membuangnya kembali kedarah. Gagal ginjal dapat terjadi dan diperlukan
cangkok ginjal baru.
 Kerusakan penglihatan
Hipertensi dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah di mata,
sehingga mengakibatkan mata menjadi kabur atau kebutaan.
2.3 Penatalaksanaan Hipertensi di Masyarakat
a. Tatalaksana
Tatalaksana pengendalian penyakit hipertensi dilakukan dengan
pendekatan:
1. Promosi kesehatan diharapkan dapat memelihara, meningkatkan, dan
melindungi kesehatan diri serta kondisi lingkungan sosial yang
diintervensi dengan kebijakan publik serta dengan meningkatkan
pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai perilaku hidup sehat
dalam pengendalian hipertensi.
2. Preventif dengan cara larangan merokok, peningkatan gizi seimbang dan
aktivitas fisik untuk mencegah timbulnya faktor risiko dan menghindari
rekurensi faktor risiko.
3. Kuratif dilakukan melalui pengobatan farmakologis dan tindakan yang
diperlukan.
4. Rehabilitatif dilakukan agar penderita tidak jatuh pada keadaan yang lebih
buruk dengan melakukan kontrol teratur dan fisioterapi komplikasi
hipertensi yang fatal dapat diturunkan dengan mengembangkan
manajemen rehabilitasi kasus kronis dengan melibatkan unsur organisasi
profesi, pengelola program, dan pelaksana pelayanan di berbagai
tingkatan.
b. Surveilance
Surveilans hipertensi meliputi faktor risiko, registri penyakit, dan
kematian. Surveilans faktor risiko dan gaya hidup yang diperoleh lewat
wawancara merupakan prioritas karena lebih fleksibel dan lebih sensitif
untuk mengukur hasil intervensi dalam jangka menengah.
Adapun daftar pihak yang dapat diikutsertakan antara lain:
1. Puskesmas, dokter praktek, poliklinik, bidan, dan perawat dengan
melakukan pencatatan dan pelaporan angka kesakitan dan faktor risik
2. Organisasi kemasyarakatan (posbindu)
3. Dinkes kabupaten/kota/propinsi
4. Rumah sakit
Dalam melaksanakan kegiatan skrining untuk mendeteksi faktor risiko
penyakit hipertensi dapat dilakukan beberapa tahapan sebagai berikut:
1. Wawancara dengan menggunakan kuesioner yang meliputi identitas diri,
riwayat penyakit, riwayat anggota keluarga yang menderita DM, PJK,
dan dislipidemia.
2. Pengukuran tekanan darah dan denyut nadi
3. Pengukuran indeks antropometri, yaitu pengukuran berat badan, tinggi
badan, lingkar pinggang, dan lingkar panggul
4. Pemeriksaan laboratotium darah antara lain Kadar Kolesterol Darah
(kolesterol total, LDL, HDL, dan trigliserida), Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) bagi yang belum tahu atau belum pernah terdiagnosis.
TTGO yaitu pemeriksaan kadar gula daran pada 2 jam setelah minum
larutan 75gr glukosa
c. Pencegahan dan Penatalaksanaan
Pengendalian faktor risiko PJK dapat saling berpengaruh terhadap
terjadinya hipertensi. Hal ini dapat dilakukan dengan usaha-usaha sebagai
berikut:
1. Mengatasi obesitas/kelebihan berat badan
Obesitas bukanlah penyebab hipertensi, akan tetapi prevalensi
hipertensi pada obesitas jauh lebih besar. Risiko relatif untuk menderita
hipertensi pada orang gemuk 5x lebih besar dibandingkan dengan orang
dengan berat badan normal.
2. Mengurangi asupan garam dalam tubuh
Nasehat pengurangan garam harus memperhatikan kebiasaan makan
penderita. Pengurangan asupan garam secara drastis akan sulit
dilaksanakan. Batasi garam maksimal 6 gram (1 sendok teh) per hari pada
saat memasak
3. Ciptakan keadaan rileks
4. Melakukan olahraga teratur
Berolahraga seperti senam aerobik atau jalan cepat selama 30-45 menit
sebanyak 3-4x seminggu diharapkan dapat menambah kebugaran dan
memperbaiki metabolisme tubuh yang akhirnya dapat menurunkan
tekanan darah.
5. Berhenti merokok
Merokok dapat menambah kekakuan pembuluh darah sehingga dapat
memperburuk hipertensi. Zat kimia seperti nikotin dan CO yang dihisap
melalui rokok yang masuk ke dalam aliran darah dapat merusak lapisan
endotel pembuluh darah arteri dan mengakibatkan proses arterosklerosis
dan tekanan darah tinggi. Tidak ada cara yang benar-benar efektif untuk
memberhentikan kebiasaan merokok
Pengobatan hipertensi dimulai dengan obat tunggal, masa kerja yang
panjang sehari sekali dan dosis dititrasi. Prinsip pemberian obat anti hipertensi
sebagai berikut:
1. Pengobatan hipertensi sekunder adalah menghilangkan penyebab
hipertensi
2. Pengobatan hipertensi esensial ditujukan untuk menurunkan tekanan darah
dengan harapan memperpanjang umur dan mengurangi timbulnya
komplikasi
3. Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat anti
hipertensi
4. Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan
pengobatan seumur hidup.
d. Rujukan
Rujukan dilakukan saat terapi yang diberikan di pelayanan primer belum
dapat mencapai sasaran pengobatan yang diinginkan atau dijumpai komplikasi
penyakit lainnya akibat penyakit hipertensi. Yang penting adalah
mempersiapkan penderita untuk rujukan tersebut sehingga tidak menimbulkan
persepsi yang salah akibat hasil pengobatan yang sudah dijalani
e. Pencatatan
Perlu suatu mekanisme pencatatan yang baik, formulir yang cukup
serta cara pengisian yang benar dan teliti. Pencatatan dilaksanakan sesuai
dengan jenis kegiatan yang dilaksanakan, yaitu pencatatan kegiatan pelayanan
pengendalian PTM khususnya tatalaksanan penyakit hipertensi. Formulir
pencatatan terdiri dari:
1. Kartu Rawat Jalan untuk mencatat identitas dan status pasien yang
berkunjung ke puskesmas / sarana kesehatan lainnya untuk memperoleh
layanan rawat jalan
2. Kartu Rawat Inap diperuntukkan bagi pasien rawat inap di Pueskesmas
Rawat Inap
3. Kartu Penderita Hipertensi yang berisikan identitas penderita hipertensi
yang dilayani di Puskesmas dan diberikan kepada penderitanya
4. Formulir Laporan Bulanan penyakit hipertensi
5. Buku Register Tatalaksana dan Rujukan
f. Pelaporan
Tabel ..
Pelaporan Pengendalian Penyakit Hipertensi
g. Evaluasi
Monitoring dan evaluasi merupakan salah satu fungsi manajemen untuk
menilai keberhasilan penemuan dan penatalaksaan penderita hipertensi.
Kegiatan ini dilaksanakan secara berkala untuk mendeteksi ketika ada
masalah dalam penemuan dan penatalaksanaan penderita hipertensi agar dapat
dilakukan tindakan perbaikan.
Pada prinsipnya semua kegiatan harus dimonitor dan dievaluasi antara lain
penemuan penyakit hipertensi mulai dari langkah penemuan penderita dan
faktor risikonya, penatalaksanaan penderita yang meliputi hasil pengobatan,
dan efek samping, sehingga kegagalan pengendalian penyakit hipertensi di
pelayanan primer dapat ditekan.
Seluruh kegiatan tersebut harus dimonitor baik dari input maupun output.
Cara pemantauan dapat dilakukan dengan menelaah laporan, pengamatan
langsung, dan wawancara dengan petugas pelaksana dan penderita hipertensi.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Design Penelitian


Design penelitian yang ini adalah deskriptif untuk menentukan gambaran
secara sistematik dan faktual karakteristik pasien hipertensi dan pengetahuan
terhadap hipertensi pada masyarakat wilayah kerja Puskesmas Singgani Tahun
2019.
Cross sectional adalah desain yang memilih subyek dimulai dari efek yang
terjadi, kemudian menelusuri ke belakang untuk mengindentifikasi adanya faktor
resiko dan dilakukan pengukuran pada suatu saat dan hanya satu kali.

3.2 Waktu & Tempat penelitian


a. Waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Lansia Puskesmas Singgani
tahun 2019
b. Tempat penelitian
Penelitian ini dilakukan selama kegiatan Poliklinik Lansia Puskesmas
Singgani pada bulan November 2019.

3.3 Populasi dan Teknik Sampling


1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien hipertensi yang
datang berkunjung ke Poli Lansia Puskesmas Singgani Tahun 2019
2. Teknik sampling
Teknik sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik
consecutive sampling (total sampling).Jadi semua penderita hipertensi yang
datang berkunjung ke puskesmas singgani Tahun 2019.
3.4 Instrumen Pengumpulan Data
Alat yang digunakan untuk pengumpulan data pada penelitian ini adalah
menggunakan kuesioner dan melakukan pengukuran tekanan darah. Kuesioner
terdiri dari beberapa poin pertanyaan yang akan diisi langsung oleh responden
yang datang berkunjung ke Poliklinik Lansia Puskesmas Singgai Tahun 2019

3.5 Teknik pengumpulan Data


Pengumpulan dilakukan dengan mengambil data primer yang dilakukan
dengan cara wawancara berstruktur dan observasi langsung kepada penderita
hipertensi yang dijadikan sampel. Adapun alat ukur yang digunakan dalam
penelitian ini adalah steteskop, tensi meter, meteran, timbangan berat dan badan

3.6 Pengolahan Data


1. Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk table dengan penjelasan table
serta disusun dan dikelompokan sesuai dengan tujuan penelitian.
2. Data diperoleh akan diolah melalui SPSS
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Singgani pada bulan Oktober Tahun


2019. Pasien hipertensi yang datang berkunjung ke puskesmas dijadikan sampel
sebanyak 68 orang. Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan teknik
pengisian kuesioner. Hasil analisa statistik ditampilkan dengan sistematika sebagai
berikut.

1. Distribusi Berdasarkan Usia


Distribusi Hipertensi berdasarkan umur di Poliklinik Lansia Puskesmas
Singgani dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Jumlah
No Umur
N %
1 45 – 59 tahun 44 54,54
2 60 – > tahun 24 45,45
Total 68 100
Tabel
Distribusi Hipertensi Berdasarkan Umur

Pada tabel 2 distribusi hipertensi yang berdasarkan umur menunjukkan lebih


dari setengah total responden berumur dibawah 60 tahun ke-atas yaitu sebanyak
24 orang (54,54%)

2. Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin


Distribusi Hipertensi berdasarkan jenis kelamin di Poliklinik Lansia di
Puskesmas Singgani dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Jumlah
No Jenis Kelamin
N %
1 Perempuan 42 65,90
2 Laki laki 26 34,09
Total 68 100
Tabel
Distribusi Hipertensi Berdasarkan Jenis kelamin

3. Distribusi Berdasarkan Riwayat Pendidikan


Distribusi Hipertensi berdasarkan status pendidikan di Polklinik Lansia
Puskesmas Singgani dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Jumlah
No Status pendidikan
N %
1 Tidak sekolah 10 9,09
2 Tamat SD 20 45.45
3 Tamat SMP 17 38.32
4 Tamat SMA 15 36.36
5 Perguruan tinggi 6 13,63
Total 68 100
Tabel
Distribusi Hipertensi Berdasarkan status pendidikan
Pada tabel 4 distribusi Hipertensi yang berdasarkan status pendidikan
menunjukkan lebih dari setengah total responden yang tamat SDyaitu sebanyak
20 orang (45,45%).

PEMBAHASAN
Penelitian ini berjudul “Tingkat Pengetahuan Terhadap Kejadian
Penyakit Hipertensi di Poliklinik Lansia di Puskesmas Singgani Tahun 2019”.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, dengan menggunakan design
penelitian Cross Sectional. Data yang diambil merupakan data primer yang
berasal dari pengisian kuesioner dan penukuran tekanan darah terhadap
responden. Subjek penelitian ini adalah pasien hipertensi yang datang
berobat di Poliklinik Lansia dengan total sampel sebanyak 44 sampel.
Berdasarkan umur, pada penderita didapatkan lebih banyak dibawah
umur 60 tahun yaitu sebanyak 24 orang (54,54 %). Berbagai perubahan
fisiologik berlaku seiring dengan peningkatan usia. Pada Usia diatas 50 tahun
ini mengalami kelainan hemodinamik yang utama adalah vasokonstriksi pada
arteriole. Kelainan hemodinamik yang berlaku pada kondisi ini adalah
penurunan disentibilitas arteri-arteri besar. 4
Berdasarkan kriteria jenis kelamin didapatkan dominasi penderita
perempuan dibanding laki laki,yaitu sebanyak 29 0rang (65,90%). Hal
tersebut telah sesuai dengan teori yang ada, karena pada perempuan
menunjukkan possibilitas terdapatnya kaitan dengan efek protektif estrogen.
Setelah menopause, prevalensi hipertensi meningkat dengan cepat pada
perempuan.4
Berdasarkan tingkat riwayat pendidikan, rata-rata pasien yang
menderita hipertensi adalah tamatan SD yaitu 45.45%. Hal tersebut telah
sesuai teori yang ada, dimana tingkat pendidikan memperngaruhi pengetahuan
penyakit Hipertensi. Berdasarkan penelitian yang kami lakukan juga, bahwa
mereka tidak mengkonsumi obat tekanan darah secara rutin dan mereka hanya
mengkonsumsi obat tekanan darah jika terdapat keluhan.4

BAB V
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA

1. James PA, et al. 2014 Evidence-Based Guideline for the Management of High
Blood Pressure in Adults: Report From the Panel Members Appointed to the
Eighth Joint National Committee (JNC 8). JAMA. 2014;311(5):507-520
2. U.S Department of Health and Human Services. Reference card from The
Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection,
Evaluation. And Treatment of High Blood Pressure. USA: U.S Department of
Health and Human Services; 2004
3. World Health Organization. Raised Blood Pressure. [Diunduh dari
:http://www.who.int/gho/ncd/risk_factors/blood_pressure_prevalence_text/en/]
4. Sarwanto, Wilujeng LK, Rukmini. Prevalensi Penyakit Hipertensi Penduduk di
Indonesia dan Faktor yang Berisiko. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan.
2009; vol 12; 154-162.
5. Krishnan A, Garg R, Kahandaliyanage A. Hypertension in the South-East Asia
Region: an Overview. Regional Health Forum. 2013; 17 (1); 7-14.
6. Indonesian Society of Hypertension. Konas InaSH 1. [Diunduh dari :
http://www.inash.or.id/news_detail.html?id=34; 2007.]
7. Price, Sylvia Anderson & Wilson, Lorraine M. Patofisiologi: Konsep Klinis
proses-proses penyakit. Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC; 2006
8. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS) 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia; 2008
9. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS) 2010. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2010
10. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS) 2013. Jakarta; Kementerian Kesehatan RI; 2013.
11. U.S. Department of Health and Human Services. The Seventh Report of the
Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation. And Treatment
of High Blood Pressure. USA: U.S. Department of Health and Human Services;
2004.
12. Sudoyo, Aru, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2007.
13. Sagala. Hipertensi; 2010. [Diunduh dari :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17124/ 4/Chapter%20II.pdf]
14. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC; 2007.
15. Sihombing M. Hubungan Perilaku Merokok, Konsumsi Makanan/Minuman,
dan Aktivitas Fisik dengan Penyakit Hipertensi pada Responden Obes Usia
Dewasa di Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia. 2010; 60(9); 406-12.
16. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Jakarta. Survei Kesehatan
Nasional (SURKESNAS) 2004: SKRT 2004-volume 2: Status Kesehatan
Masyarakat Indonesia. Jakarta: Badan Litbangkes; 2005
17. American Heart Association. Stress and Hypertension. USA: American Heart
Asociation; 2014.
18. Alwi H. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka; 2003.
19. Almatsier S. Penuntun Diet. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum; 2006.
20. Sugiharto A. Faktor-faktor risiko Hipertensi Grade II Pada Masyarakat (Studi
Kasus di Kabupaten Karanganyar). Tesis Program Studi Magister Epidemiologi
Program Studi Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Semarang : Tesis; 2007.
21. Amir IR. Hubungan Gaya Hidup dengan Indeks Massa Tubuh orang Dewasa di
Kotamadya Bandung Tahun 1996. Tesis Program Studi Magister Kesehatan
Masyarakat Uniersitas Indonesia. Depok : Tesis; 1997.
22. Medscape Medical Student. Alcohol Consumption and Hypertension.
Medscape. [Diunduh dari : www.medscape.com/viewarticle/403751_4].

Anda mungkin juga menyukai