Anda di halaman 1dari 3

Nama: Abdul Hadi Al Muttaqin

KAJIAN FRAMEWORK CONVENTION TOBACCO CONTROL (FCTC) &


PP 109 TAHUN 2012

Permasalahan mengenai penggunaan tembakau masih menjadi perhatian


khusus oleh beberapa negara di Dunia. Masalah kesehatan yang ditimbulkan oleh
penggunaan tembakau terlihat pada kompleksitas penyakit yang ditimbulkan.
Penggunaan tembakau umumnya dikenal pada produk berupa rokok yang sangat
marak diedarkan di beberapa negara, khususnya negara berkembang. Pada lingkup
global, IAKMI mengatakan bahwa terdapat kurang lebih 5 juta orang meninggal
dunia yang diakibatkan oleh penggunaan tembakau setiap tahunnya dan
diperkirakan akan mencapai angka 10 juta jiwa kematian di negara-negara
berkembang pada tahun 2030. Pada perspektif penggunaan tembakau dalam
produk rokok, diperkirakan terdapat 1,3 milyar jiwa perokok di seluruh dunia dan
mengalami peningkatan setiap tahunnya. Di Indonesia sendiri, jumlah perokok
aktif pada tahun 2009 berada pada posisi ketiga terbanyak di bawah Tiongkok dan
India. Selain itu, The Asian Tobacco Control Atlas 2013 melansir bahwa
prevalensi perokok dewasa di Indonesia menjadi yang tertinggi jika
dikomparasikan dengan 8 negara di ASEAN lainnya.
Inklusivitas penggunaan tembakau khususnya pada rokok di berbagai negara
di Dunia menjadi pertimbangan WHO dalam melakukan deliberasi sehingga
tersusunnya konvensi pengendalian tembakau. Proses penyusunan tersebut
berlangsung selama 4 tahun dan resmi menjadi traktat internasional pada sidang
umum kesehatan dunia ke 56 pada tahun 2003 silam. Traktat tersebut dinamakan
Framework Convention Tobacco Control (FCTC). Indonesia memiliki andil
dalam penyusunan FCTC tersebut. Namun, fakta yang terjadi ialah Indonesia
tidak ikut serta dalam penandatangan FCTC sampai akhir periode ratifikasi yakni
29 Juni 2004. Pada tanggal 27 Februari 2005, FCTC secara resmi menjadi hukum
internasional setelah 40 negara melakukan ratifikasi. Dan pada tahun 2013,
terdapat 176 negara yang telah melakukan ratifikasi dan aksesi FCTC.
Interpretasi dari tujuan FCTC sebagaimana dalam pembukaannya yaitu
melindungi generasi sekarang dan mendatang dari kerusakan kesehatan, sosial,
lingkungan dan konsekuensi ekonomi dari konsumsi tembakau serta paparan
terhadap asap tembakau. Dari tujuan tersebut, FCTC memiliki beberapa ketentuan
pokok yang secara umum mengatur mengenai pelarangan total terhadap iklan,
promosi, atau pemberian sponsor segala jenis produk tembakau, melindungi
perokok pasif dari paparan rokok dengan menerapkan Kawasan Tanpa Rokok
(KTR) secara total, 30% permukaan kemasan rokok diberikan label peringatan
kesehatan, dan lain sebagainya. Sekilas nampak bahwa FCTC memiliki tujuan
mulia dalam meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkan penggunaan
tembakau yang tidak terkontrol di seluruh dunia. Namun, industri tembakau
menentang adanya FCTC dengan dalih obsesi negara maju yang kompulsif negara
berkembang untuk menentukan kebijakan pengendalian dampak tembakau
nasional.
Berbicara mengenai pengendalian tembakau, kita diperhadapkan dengan
realitas bahwa Indonesia yang masih menjadi negara penghasil tembakau terbesar
ke 5 di dunia yaitu sebesar 136.000 ton. Rokok sebagai salah satu produk olahan
dari tembakau memiliki zat adiktif dengan kandungan 4.000 bahan kimia, dan 40
di antaranya bersifat karsinogenik yang merupakan berimplikasi pada 7 dari 8
kematian terbesar di dunia. Pengendalian penggunaan tembakau khususnya pada
produk rokok menimbulkan pro dan kontra pada masyarakat. Pertanyaan yang
umumnya timbul di masyarakat yaitu, “Bagaimana nasib para petani tembakau
ketika FCTC diberlakukan di Indonesia?” “Apakah dengan memberlakukan
FCTC dapat mempengaruhi konstelasi perekonomian di Indonesia?” serta
pertanyaan lain yang sifatnya impulsif demi melindungi kelestarian industri rokok
di Indonesia. Jika kita telisik lebih dalam, keuntungan dari tanaman tembakau
tidak lebih besar dari pada komoditas lainnya seperti bawang merah, cabe merah,
dan melon.
Distingsi persepsi di masyarakat mengenai dampak negatif tembakau
dibuktikan dengan sebuah realitas bahwa salah satu beban terbesar dari BPJS
Kesehatan yaitu sebesar 30% yang dianggarkan untuk membiayai penyakit tidak
menular yang diakibatkan oleh rokok. Selain itu, World Economic Forum juga
mengestimasikan bahwa Indonesia berpotensi mengalami kehilangan minimal US
4,47 triliun akibat penyakit tidak menular. Menteri Kesehatan Republik Indonesia
mengatakan bahwa proses penghitungan penyakit katastropik atau yang berbiaya
tinggi pada tahun 2015 dapat memakan biaya sebesar 33% dari BPJS Kesehatan,
serta penyakit kardiovaskular yang mengalami peningkatan pada tahun 2015
sebesar Rp 6,6 triliun yang semula sebesar Rp 3,5 triliun pada tahun 2014.
Ratifikasi FCTC yang terkesan terhambat di Indonesia menjadi sebuah
pertanyaan bahwa apakah terdapat kepentingan bisnis di kalangan industri rokok
di Indonesia? Sebab, Nila Moeloek selaku Menteri Kesehatan dalam
wawancaranya dengan pihak tirto.id menyebutkan bahwa pihaknya senantiasa
mendorong proses ratifikasi pengendalian tembakau (FCTC). Selain itu, ia
menambahkan bahwa proses pengendalian penggunaan tembakau di Indonesia
harus senantiasa melibatkan multisektoral agar pencapaian tujuan lebih optimal.
Berdasarkan perspektif historiografis, permasalahan pengendalian tembakau
menjadi salah satu penyebab hadirnya UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan.
Pada UU tersebut, terdapat berbagai pasal yang mengatur mengenai produk
tembakau yang terbahasakan sebagai produk yang mengandung zat adiktif. Selain
itu, pemerintah juga telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 109 Tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung
zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan. Regulasi yang hadir
seyogyanya mampu menjadi angin segar dalam menangani permasalah tembakau
di Indonesia. Namun, fakta yang terjadi di lapangan, masih ada beberapa pasal di
dalam PP 109 Tahun 2012 yang terkesan belum kuat dalam menangani
permasalahan tembakau di Indonesia. Pasal tersebut antara lain yaitu pasal 14, 15,
16, dan 17 tentang peringatan kesehatan serta pasal 26-40 tentang iklan, promosi,
dan sponsor produk tembakau. Tidak efektifnya beberapa pasal yang tertera di
dalam PP 109 Tahun 2012 terhadap kondisi faktual di lapangan seharusnya
menjadi atensi khusus pemerintah dalam memperbaharui PP 109 Tahun 2012.

Anda mungkin juga menyukai