Anda di halaman 1dari 22

POLITIK HUKUM POSITIVISASI HUKUM ISLAM DI

INDONESIA
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas perkuliahan mata kuliah Politik Hukum
yang diampu oleh Dr. Agus Riwanto, S.H., S.Ag., M.Ag.

Disusun Oleh :
Muhammad Isnaini Nur Iqbal
NIM. S322008014

MAGISTER HUKUM
PRODI ILMU HUKUM MINAT HUKUM BISNIS
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2020
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................................ii
I. LATAR BELAKANG................................................................................................1
II. RUMUSAN MASALAH :..........................................................................................2
III. METODE PENELITIAN..........................................................................................3
IV. TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................3
A.Hukum Islam..............................................................................................................3
1.Syari‘at.....................................................................................................................3
2.Fikih.........................................................................................................................4
3.Hukum Islam............................................................................................................4
B. Asas-Asas Hukum Islam............................................................................................4
1.Asas Keadilan...........................................................................................................4
2.Asas Kepastian Hukum............................................................................................4
3.Asas Kemanfaatan....................................................................................................6
4.Asas kebolehan atau mubah.....................................................................................6
5.Asas kemaslahatan hidup.........................................................................................6
6.Asas kebebasan dan kesukarelaan............................................................................7
7.Asas kekeluargaan atau asas kebersamaan yang sederajat........................................7
8.Asas mendahulukan kewajiban dari hak...................................................................7
9.Asas perlindungan hak.............................................................................................7
C. Politik Hukum..............................................................................................................8
D. Pluralisme Hukum........................................................................................................9
V. PEMBAHASAN...........................................................................................................11
A. Kedudukan Hukum Islam di dalam Hukum Indonesia...............................................11
1.Sejarah perkembangan Hukum Islam.....................................................................11
2.Kedudukan Hukum Islam.......................................................................................14
B. Politik Hukum Positivisasi Hukum Islam...................................................................15
VI. SIMPULAN..............................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................18
I. Latar Belakang

Sebagai negara dengan penduduknya yang mayoritas beragama islam


membuat Indonesia dan agama Islam menjadi dua bagian yang seperti tidak
dapat lagi terpisahkan. Seperti halnya dengan lima sila dari Pancasila yang
merupakan cerminan dari ajaran agama Islam sendiri.

Sesuai keyakinan dari seorang muslim, Islam merupakan agama yang


final dan sempurna. Sebagai sistem yang diciptakan oleh Allah Yang Maha
Luas lagi Maha Sempurna, Islam memiliki kesempurnaan yang tidak dimiliki
oleh sistem-sistem buatan manusia yang mana pun. Kesempurnaannya itu
dapat dilihat dari cakupannya terhadap ruang, waktu, dan kontennya .1

Pertama ialah cakupan waktu, Islam ada sejak awal penciptaan hingga
akhir zaman, dari Nabi pertama Adam AS, hingga Nabi terakhir Muhammad
‫ﷺ‬, ajaran mereka satu, yaitu penghambaan kepada Al-Khāliq.
Kedua cakupan ruang, Islam tidak diturunkan untuk bangsa arab saja, atau
bangsa mana pun di belahan bumi ini, ia adalah rahmat bagi seluruh alam.
Ketiga cakupan sistem, Islam merupakan sistem yang komprehensif yang
mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. 2 Tidak saja aspek spiritual atau
ibadah namun juga mengatur aspek-aspek muamalah seperti ekonomi, sosial,
budaya, politik, hukum, dan lain sebagainya.

Kesempurnaan Islam ini tidak saja disebutkan dalam Al-Qur’an


namun juga dapat dirasakan baik itu oleh para ulama dan intelektual muslim
sampai kepada non muslim. Seorang orientalis paling terkemuka bernama
H.A.R. Gibb mengatakan ,”Islam is much more than a system of theologi its a

1
Jasiman, Mengenal dan memahami Islam (Solo: PT. Era Adicitra Intermedia, 2011), 250.
2
Ibid., 251.
complete civilization (Islam bukan sekedar sistem theologi, tetapi merupakan
suatu peradaban yang lengkap) .3

Keberadaan Agama Islam juga menjadi warna tersendiri dalam


Pluralisme Hukum di Indonesia. Dalam perkembangannya, hukum Islam
menjadi pilihan bagi masyarakat karena ajarannya didasarkan pada keyakinan
dan dirasa dapat memberi kedamaian bagi penganutnya. Dengan diterimanya
ajaran tersebut, masyarakat dengan rela dan patuh serta tunduk mengikuti
ajaran Islam dalam berbagai dimensi kehidupan.

Sebagai salah satu unsur pembangunan hukum nasional, nilai-nilai


hukum Islam telah dimuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan
seperti : Undang-Undang tentang perbankan syari’ah, surat berharga syari’ah,
pengelolaan zakat, penyelenggaraan ibadah haji, perkawinan, kewarisan,
perwakafan, Peradilan Agama, dan juga otonomi khusus di Provinsi Daerah
Istimewa Aceh.

Karena, ada kebutuhan akan landasan dan dasar hukum bagi hakim
dalam memeriksa dan memutuskan perkara demi keseragaman dan kepastian
hukum. Hukum Islam bisa berlaku dalam sebuah negara harus melalui
positivisasi dengan cara memasukkan prinsip-prinsip hukum ke dalam
peraturan perundang-undangan.4 Upaya legislasi atau positivisasi hukum
islam ini tidak dapat leas dari sejarah dan politik hukum yang ada di masa
tersebut.

II. Rumusan Masalah :

1. Bagaimanakah kedudukan hukum islam di dalam hukum Indonesia?


2. Bagaimanakah pandangan politik hukum terhadap positivisasi hukum
islam di Indonesia?

3
(Veithzal Rivai, dan Rifki Ismail 2013:166)
4
Masruhan, “Positivisasi hukum islam di indonesia era reformasi,” Islamica 6, no. 1 (2011): 120.
III. Metode Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam penelitian hukum normatif berupa


penelitian kepustakaan (library research) dengan analisis data induksi-
interpretasi dan konseptualisasi. Penulis menggunakan penelitian kepustakaan
karena sumber primer yang dijadikan rujukan berupa bahan-bahan tulisan
berupa produk hukum di Indonesia. Disamping itu, tulisan ini juga
menggunakan pendekatan historis, karena penulis mengungkap tentang
beberapa aturan normatif yang berkaitan dengan hukum Islam di Indonesia.

IV. Tinjauan Pustaka

A. Hukum Islam

Ada 3 istilah yang sering diidentikkan yang sebenarnya mempunyai


makna yang berbeda. Ketiga istilah itu adalah Syari‘at (Islam), fikih dan
hukum Islam 5 :

1. Syari‘at

Syari‘at pada awalnya merujuk pada keseluruhan ajaran Islam


yang dibawa oleh Rasulullah ‫ﷺ‬. Maka syariah identik
dengan (agama) Islam itu sendiri. Namun baru baru ini, syariah juga
dimaknai sebagai perbuatan praktik ajaran Islam yang bersifat autentik
dan berasal langsung dari wahyu Allah (baik dalam al-Qur’an maupun
Sunnah) yang diterima oleh semia orang.

5
Ja’far Baehaqi, “Transformasi hukum Islam dalam hukum perbankan syariah di Indonesia,” Ijtihad :
Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan 14, No. 2, no. 2 (2014): 213.
2. Fikih

Fikih adalah ilmu tentang atau kumpulan hukum-hukum syara‘


yang bersifat praktis yang diperoleh dari dalil-dalil yang terinci.

3. Hukum Islam

Istilah Hukum islam merupakan terjemahan Islamic Law yang


diperkenalkan oleh para sarjana barat. Hukum Islam dimaknai sebagai
segenap aturan dari wahyu Allah SWT dan Sunnah Rasulullah
‫ ﷺ‬tentang perilaku manusia yang diakui, diyakini,
berlaku dan mengikat untuk semua yang beragama Islam.

B. Asas-Asas Hukum Islam

1. Asas Keadilan

Dalam kedudukan dan fungsinya dai dalam Hukum Islam,


Asas Keadilan menjadi asas yang sangat penting sehingga dalam Al-
Qur’an, keadilan disebut lebih dari 1000 kali.6

2. Asas Kepastian Hukum

Asas kepastian hukum seperti dikatakan di dalam QS Bani


Israil (17) ayat 15 :

‫ر‬oَ ‫از َرةٌ ِو ْز‬


ِ ‫ضلُّ َعلَ ْيهَا ۚ َواَل ت َِز ُر َو‬ َ ‫َّم ِن ٱ ْهتَد َٰى فَإِنَّ َما يَ ْهتَ ِدى لِنَ ْف ِس ِهۦ ۖ َو َمن‬
ِ َ‫ض َّل فَإِنَّ َما ي‬
‫ث َر ُسواًل‬ َ ‫أُ ْخ َر ٰى ۗ َو َما ُكنَّا ُم َع ِّذبِينَ َحتَّ ٰى نَ ْب َع‬

yang artinya seperti berikut :

Barangsiapa berbuat sesuai dengan petunjuk Allah, maka


sesungguhnya itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barang
siapa tersesat maka sesungguhnya kerugian itu bagi dirinya sendiri.

6
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 129.
Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain,
tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang
Rasul.7

Dan ada juga di QS Al-Maidah (5) ayat 95 :

‫ص ْي َد َواَ ْنتُ ْم ُح ُر ٌم ۗ َو َم ْن قَتَلَهٗ ِم ْن ُك ْم ُّمتَ َع ِّمدًا فَ َج ۤزَ ا ٌء ِّم ْث ُل َما‬ َّ ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تَ ْقتُلُوا ال‬
ْ‫ارةٌ طَ َعا ُم َم ٰس ِك ْينَ اَو‬ َ َّ‫قَتَ َل ِمنَ النَّ َع ِم يَحْ ُك ُم بِ ٖه َذ َوا َع ْد ٍل ِّم ْن ُك ْم هَ ْدي ًۢا ٰبلِ َغ ْال َك ْعبَ ِة اَوْ َكف‬
ُ ‫ق َوبَا َل اَ ْم ِر ٖه ۗ َعفَا هّٰللا ُ َع َّما َسلَفَ ۗ َو َم ْن عَا َد فَيَ ْنتَقِ ُم هّٰللا ُ ِم ْنهُ َۗوهّٰللا‬ َ ْ‫ لِّيَ ُذو‬o‫صيَا ًما‬ِ ‫ك‬ َ ِ‫َع ْد ُل ٰذل‬
‫َز ْي ٌز ُذو ا ْنتِقَ ٍام‬ِ ‫ع‬
Artinya sebagai berikut:

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu


membunuh hewan buruan, ketika kamu sedang ihram (haji atau
umrah). Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja,
maka dendanya ialah mengganti dengan hewan ternak yang sepadan
dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang
adil di antara kamu sebagai hadyu yang dibawa ke Ka‘bah, atau
kafarat (membayar tebusan dengan) memberi makan kepada orang-
orang miskin, atau berpuasa, seimbang dengan makanan yang
dikeluarkan itu, agar dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya.
Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa kembali
mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Dan Allah
Mahaperkasa, memiliki (kekuasaan untuk) menyiksa.8

Ada penegasan yang menyatakan bahwa Allah memaafkan


yang sudah terjadi di masa lampau. Dari ayat-ayat tersebut bisa kita
simpulkan asas kepastian hukum menyatakan bahwa tak ada perbuatan

7
“Qur’an Kemenag,” LPMQ Kemenag, n.d., https://quran.kemenag.go.id/.
8
Ibid.
yang dapat dihukum kecuali atas kuasa aturan hukum atau peraturan
perundang-undangan yang berlaku untuk perbuatan tersebut.9

3. Asas Kemanfaatan

Asas ini mengiringi dua atas sebelumnya. Dalam


melaksanakan hukum sebaiknya mempertimbangkan juga
kemanfaatannya, baik bagi yang bersangkutan ataupun orang lain.10

4. Asas kebolehan atau mubah

Asas ini menunjukkan adanya kebolehan melakukan perbuatan


perdata (sebagian muamalah) sepanjang tidak di larang atau ditentukan
lain di dalam Al Quran dan Sunnah.11

5. Asas kemaslahatan hidup

Setiap yang berguna untuk kehidupan disebut dengan


kemaslahatan hidup. Asas ini bermakna bahwa setiap hubungan
perdata boleh dilakukan selama mendatangkan kebaikan, berguna dan
bermanfaata bagi diri sendiri dan masyarakat, meskipun tidak ada
aturannya di dalam Al-Qur’an Sunnah.12

6. Asas kebebasan dan kesukarelaan

Asas ini bermakna bahwa tiap hubungan perdata harus bebas


dan sukarela. Kehendak bebas para pihak yang menimbulkan
kesukarelaan dalam persetujuan harus selalu diperhatikan. Asas ini
juga bermakna selama Al Quran dan Sunnah Nabi Muhammad
‫ ﷺ‬tidak mengatur suatu hubungan perdata, maka para

9
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, 129.
10
Ibid.
11
Ibid.
12
Ibid.
pihak bebas mengaturnya atas dasar kesukarelaan. Sumber dari asas
ini adalah QS An-Nisa (4) ayat 29.13

7. Asas kekeluargaan atau asas kebersamaan yang sederajat.

Asas ini mendasarkan pada hubungan perdata yang saling


menghormati, mengasihi dan tolong menolong dalam meraih tujuan
bersama. Asas ini menunjukkan hubungan perdata para pihak yang
seperi keluarga bersumber dari ayat 2 QS Al-Maidah (5) dan Hadits
yang menjelaskan bahwa manusia berasal dari satu keluarga.14

8. Asas mendahulukan kewajiban dari hak

Para pihak harus mememenuhi kewajibannya terlebih dahulu


sebelum meminta haknya.15

9. Asas perlindungan hak

Asas ini bermakna bahwa setiap hak yang didapat dengan sah
dan halal harus dilindungi. Bila dilanggar, pihak yang dirugikan
berhak menuntut pemenuhan haknya.16

C. Politik Hukum

Politik Hukum berasal dari dua kata yaitu “Politik” dan


“Hukum”, yang mana kedua istilah ini mempunyai keilmuannya
masing-masing, maka sudah sewajarnya bahwa Politik Hukum dapat
dilihat setidaknya dari dua sisi, yaitu dari Ilmu Hukum dan Ilmu
Politik.

13
Ibid.
14
Ibid.
15
Ibid.
16
Ibid.
Dari pandangan Ilmu Hukum, Padmo Wahjono mengartikan
politik hukum sebagai sebuah kebijakan dasar yang di dalamnya
menentukan arah, bentuk, atau isi dari hukum yang akan dibentuk.17
Sementara itu Hakim Konstitusi Enny Nurbaningrum dalam sebuah
acara dari Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Sekretariat
Negara mengartikan Politik Hukum sebagai suatu sarana atau alat
yang digunakan untuk menciptakan sebuah sistem hukum nasional
yang dikehendaki, untuk kemudian memenuhi cita hukum yang telah
dicita-citakan.18

Kemudian dari pandangan Ilmu Politik, menurut Abdul Latif


dan Hasbi Ali19 mengartikan politik hukum di pandang sebagai suatu
etik dan tehnik : (1) sebagai suatu etik untuk memilih dan menentukan
tujuan kehidupan bermasyarakat yang harus diperjuangkan dan (2)
sebagai sebuah teknik untuk memilih dan menentukan cara dan sarana
untuk mencapai tujuan kehidupan bermasyarakat yang telah dipilih
dan ditentukan oleh politik sebagai etik tersebut. Isharyanto
menjelaskan bahwa Politik dan hukum merupakan dasar dari politik
hukum dengan syarat bahwa pelaksanaan pengembangan politik
hukum tidak bisa dipisahkan dengan pelaksanaan pengembangan
politik secara keseluruhan, dengan kata lain, prinsip dasar yang
dipergunakan sebagai ketentuan pengembangan politik akan juga
berlaku bagi pelaksanaan politik hukum yang diwujudkan melalui
peraturan perundang-undangan.20

17
Frenki, “Politik hukum dan perannya dalam pembangunan hukum di indonesia pasca reformasi,”
Jurnal Asas 3, no. No 2 Juli 2011 (2011): 1.
18
Nano Tresna Arfana, “Enny Nurbaningsih: Hukum Merupakan Produk Politik,” Mahkaman
Konstitusi (mkri.id), 2020, https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=16605&menu=2.
19
Disarikan dari Perkuliahan Politik Hukum Dr. Hari Purwadi, S.H.,M.Hum, 2020
20
Isharyanto, Politik Hukum (Surakarta1: CV Kekata Group, 2016), 2.
Dijelaskan oleh Miro Cerar21, dalam kaitannya dengan hukum,
Politik dapat dimaknai sebagai kebijakan (policy), pemerintahan (polity),
dan politik (Politics). Perbedaan ketiganya terdapat dalam dimensinya :

1. Politik sebagai Polity / Pemerintahan berada di dalam Dimensi


Intitusional dan dalam bekerjanyan memerlukan berbagai institusi
negara dan non-negara, seperti : partai politik, gerakan sosial, media
masa, legislatif dan pemerintahan,
2. Politik sebagai Policy / Kebijakan berada di dalam Dimensi Normatif,
dalam bekerjanya memerlukan penciptaan ide atau ideal normatif yang
menetukan nilai dan tujuan kemasyarakatan dasar yang diarahkan pada
realisasi praktis,
3. Politic sebagai Politics / Politik, berada di dalam Dimensi Proses
(Berhubungan dengan Proses), yang diwujudkan dalam pembentukan
kehendak politik (political will) melalui implementasi kekuatan sosial
dan otoritas serta dibentuk melalui konflik dan konsensus.

D. Pluralisme Hukum

Pluralisme Hukum berasal dari pemikiran bahwa hukum


tidaklah tunggal. Pluralisme hukum secara umum didefinisikan
sebagai situasi dimana terdapat interaksi antara dua atau lebih sistem
hukum yang berada dalam suatu kehidupan sosial.22 Pluralisme hukum
adalah sesuatu yang ada di berbagai situasi, berlaku umum dalam
kehidupan masyarakat dimana setiap hukum maupun institusi hukum
yang ada dan berlaku dalam suatu masyarakat tidak berasal dari satu
sistem tetapi dari setiap aktivitas pengaturan diri sendiri yang ada pada
21
Miro Cerar, “The Relationship Between Law and Politics,” Annual Survey of International &
Comparative Law 15, no. 1 (2009): 20,
https://scholarlycommons.law.northwestern.edu/cgi/viewcontent.cgi?
article=1001&context=facultyworkingpapers.
22
Benni Setiawan, “Pluraslisme Hukum Islam, Sebuah Pembacaan Awal,” Humanika: Kajian Ilmiah
Mata Kuliah Umum 12, no. 1 (2012): 40.
berbagai wilayah sosial yang beragam.23 Aktivitas tersebut dapat
saling mendukung, melengkapi, mengabaikan atau mengacaukan satu
dengan yang lain sehingga hukum yang efektif secara nyata dalam
masyarakat adalah hasil dari proses interaksi, negosiasi, kompetisi, dan
isolasi yang kompleks dan tidak dapat diprediksi.24

Griffiths menggaris bawahi akan adanya dua jenis pluralisme


hukum yaitu weak legal pluralism dan strong legal pluralis.25

1. Pluralisme hukum yang lemah (weak legal pluralism)


Suatu kondisi dapat dikatakan weak legal pluralism jika
keberadaan pluralisme hukum itu bergantung kepada
pengakuan dari hukum negara.26 Tipe pluralisme ini dapat
dikatakan sama dengan sentralisme hukum, selain mengakui
keberadaan pluralisme hukum namun hukum negara tetap
dipandang sebagai superior.27
2. Pluralisme hukum yang kuat (strong legal pluralis)
Suatu kondisi dapat dikatakan strong legal pluralism
jika masing-masing sistem hukum yang beragam itu otonom
dan eksistensinya tidak tergantung kepada hukum negara. 28
Semua sistem hukum sama kedudukannya dalam masyarakat,
tidak ada hirarki (tingkatan) dari sistem hukum tersebut.29

23
Ibid.
24
Ibid.
25
Anak Agung Istri Ari Atu Dewi, “Eksistensi Otonomi Desa Prakraman dalam Perspektif Pluralisme
Hukum,” Jurnal Magister Hukum Udayana 7, no. 3 (2014): 519.
26
Bakti, “Pluralisme Hukum dalam Mekanisme Penyelesaian Sengketa Sumber Daya Alam di Aceh,”
Kanun Jurnal Ilmu Hukum 17, no. 65 (2015): 136, doi:10.24815/kanun.v17i1.6056.
27
Dewi, “Eksistensi Otonomi Desa Prakraman dalam Perspektif Pluralisme Hukum,” 519.
28
Bakti, “Pluralisme Hukum dalam Mekanisme Penyelesaian Sengketa Sumber Daya Alam di Aceh,”
136.
29
Dewi, “Eksistensi Otonomi Desa Prakraman dalam Perspektif Pluralisme Hukum,” 519.
Pluralisme hukum terus berkembang, tidak hanya sekedar
mendikotomikan antara satu sistem hukum dengan sistem hukum
lainnya. Perkembangan kajiannya juga mulai mengarah pada gejala
transnasional law seperti hukum yang dihasilkan oleh organisasi
bilateral atau multilateral serta lembaga keuangan internasional,
beserta hubungan saling ketergantungan dengan hukum nasional dan
hukum lokal.30

V. Pembahasan

A. Kedudukan Hukum Islam di dalam Hukum Indonesia

1. Sejarah perkembangan Hukum Islam

Masuknya Islam ke Asia Tenggara khususunya Indonesia


masihlah menjadi perdebatan dikalangan para ahli sejarah, ada yang
mengatakan Islam masuk ke Indonesia pada awal-awal pengaggalam
Hijriyah atau abad ke 7 Masehi ada pula yang mengatakan islam
masuk ke Indonesia pada abad ke 7 Masehi atau abad ke 13 Hijriyah.
Disamping itu juga masih ada beberapa versi mengenai kapan
masuknya islam ke Indonesia.

Dari awal masuk hingga saat ini, Islam terus berusaha agar
diterima di semua kalangan masyarakat Indonesia. Dari waktu ke
waktu tersebut juga nampak perubahan pendekatan ataupun kontribusi
Islam khususnya Hukum Islam di dalam kehidupan bangsa Indonesia.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, di dalam Al Quran


tidak dikenal isitilah Hukum Islam. Istilah ini muncul dari para sarjana
barat yang mengkaji hukum yang ada di dalam ajaran Islam.
Pemikiran mengenai hukum islam baik fikih maupun syariat sudah
30
Bakti, “Pluralisme Hukum dalam Mekanisme Penyelesaian Sengketa Sumber Daya Alam di Aceh,”
133.
berkembang di Indonesia sejak abad ke-13. Hal ini dibuktikan oleh
laporan Ibnu Batutah yang pada tahun 746 H / 1325 M mengunjungi
Kerajaan Samudera Pasai yang kala itu dipimpin oleh Sultan Malik
Az-Zahir putra Sultan Malikush Shaleh dalam perjalanannya dari
Delhi ke Cina. Ibnu Batutah menyatakan bahwa raja dan rakyatnya
bermazhab Syafi’i.31

Pada awal kedatangan Belanda, eksistensi hukum Islam diakui


sendiri oleh ahli hukum Belanda Van den Berg, yang mengatakan
bahwa hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum yang sesuai
dengan agama yang dipeluknya. Dengan kesadaran bahwa hukum
Islam adalah salah satu pilar kekuatan yang dapat melakukan
perlawanan atas kebijakan politik Belanda, maka atas saran ahli
hukum Belanda Hurgronje dan Van Vollenhoven pihak Belanda
menetapkan bahwa hukum Islam berlaku jika telah diadopsi oleh
hukum adat.32 Belanda juga melakukan pembatasan terhadap
penerapan hukum islam yang hanya pada masalah kekeluargaan.

Menjelang Kemerdekaan, para tokoh muslim berupaya


menempatkan hukum Islam pada kedudukannya semula dan agar
hukum Islam bisa diterapkan di wilayah Nusantara. Dalam upaya
mendapatkan kemerdekaan, para tokoh bangsa yang tergabung dalam
BPUPKI menghasilkan sebuah rancangan yang diberi nama Piagam
Jakarta. Pada prinsip Ketuhanan di dalam Piagam Jakarta terdapat
kalimat “ Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang diharapkan bahwa umat
Islam dapat menjalankan syariat agamanya di dalam Indonesia

31
Dahlia Haliah Ma’u, “Eksistensi Hukum Islam Di Indonesia (Analisis Kontribusi dan Pembaruan
Hukum Islam Pra dan Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia),” Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah 15, no. 1
(2017): 20, doi:10.30984/as.v15i1.471.
32
Ibid.
merdeka.33 Akhirnya, pada saat proklamasi dengan melalui kompromi
dan tujuan menjaga keutuhan bangsa, Sila pertama Piagam Jakarta
tersebut tidak digunakan dan diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha
Esa”.

Pada awal kemerdekaan perkembangan hukum islam


mengalami beberapa tantangan yang cukup berat. Seperti adanya
perubahan dalam bentuk negara Indonesia sebagai akibat berlakunya
konsitusi RIS (Reoublik Indonesia Serikat). Di periode itu juga ada
tantagan lain yakni adanya gerakan-gerakan pemberontakan yang
bernuansa Islam seperti DI/TII yang diprakrasai oleh Kartosuwirjo.

Masuknya era Orde Baru seperti menjadi harapan baru untuk


kembalu memasukkan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum
nasional. Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas
ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan. Hal
ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk
mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya
ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai
presiden menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan
penyebarluasannya kepada Menteri Agama. Beberapa UU juga lahir di
masa ini dengan berdasarkan atas hukum islam, seperti :

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;


b. Peraturan PemerintahNo. 48 Tahun 1977 tentang Wakaf;
c. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
d. Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia;
e. Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

33
Ibid., 21.
Pada masa Reformasi keberadaan Hukum Islam menjadi
semakin mudah ditemukan. Adanya UU mengenai Otonomi Daerah
juga berperan besar dalam penyebarluasan hukum Islam ini dinmana
setiap daerah diberi wewenang untuk mengatur wilayahnya sendiri.
Hal paling kentara terlihat di provinsi Nangroe Aceh Darussalam
dengan adanya Otonomi Khusus yang mana diberi keleluasaan untuk
menerapkan hukum Islam di wilayah tersebut. Perkembangan Hukum
Islam setelah masa refromasi ini juga menyebabkan transformasi yang
sangat cepat di bidang Ekonomi Syariah, seperti adanya UU
Perbankan Syariah dan berbagai produk yang bernuansa syariah
lainnya seperti saham syariah, reksadana syariah, dan obligasi syariah.

2. Kedudukan Hukum Islam

Indonesia sebagai negara yang heterogen menyebabkan adanya


berbagai hukum yang berkembang di masyarakat. Seperti adanya
Hukum Nasional, Hukum Islam, Hukum Adat, maupun adanya
Hukum Internasional. Dalam Pluralisme Hukum dapat dilihat bahwa
pluralisme hukum di Indonesia secara umum masih merupakan Weak
Legal Pluralism. Hal ini karena keberadaan sistem hukum lain seperti
Hukum Islam masih membutuhkan pengakuan dari Hukum yang lebih
superior yakni Hukum Nasional.

Secara eksistensial, kedudukan hukum Islam dalam hukum


nasional merupakan sub sistem dari hukum nasional.34 Karenanya,
hukum Islam juga mempunyai peluang untuk memberikan sumbangan
dalam rangka pembentukan dan pembaharuan hukum nasional, meski
harus diakui problema dan kendalanya yang belum pernah usai.
Secara sosiologis, kedudukan hukum Islam di Indonesia melibatkan
34
Mardani, “Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional,” Jurnal Hukum 16 (2009):
275.
kesadaran keberagaman bagi masyarakat, penduduk yang sedikit
banyak berkaitan pula dengan masalah kesadaran hukum, baik norma
agama maupun norma hukum, selalu sama-sama menuntut ketaatan.35

Dengan demikian terlihat bahwa hubungan antara Hukum


Islam dan Hukum Nasioanl sangat erat. Keduanya sama-sama
menuntut kepatuhan dan ketaatan dari masyarakat yang harus
dikembangkan secara searah, serasi, dan seimbang dan tidak saling
bertentangan.

B. Politik Hukum Positivisasi Hukum Islam

Dijelaskan bahwa negara yang menganut teori kedaulatan rakyat,


maka rakyatlah yang menjadi kebijakan politik tertinggi. Demikian pula
negara yang berdasar atas kedaulatan Tuhan, maka kedaulatan
negara/kekuasaan (rechtstaat) dan negara yang berdasar atas hukum
(machtstaat), sangat tergantung kepada gaya politik hukum ke- kuasaan
negara itu sendiri.36 Dari poin ini bisa ditarik gambaran bahwa hukum Islam
yang berlaku di Indonesia pada dasarnya juga atas kehendak penguasa. Dalam
pengertian bahwa bagaimana dan yang seperti apa hukum Islam yang akan
diberlakukan bagi masyarakat muslim Indonesia tersebut adalah menjadi
kebijakan politik penguasa sesuai dengan konfigurasi politik negara, karena
memang pemberlakuan hukum Islam sebagai hukum nasional perlu mendapat
legtimasi negara.37

35
Ibid.
36
Sumarni, “Kedudukan Hukum Islam dalam Negara Republik Indonesia,” Al-’Adalah 10, no. 4
(2012): 452.
37
Bani Syarif Maula dan Institut, “POLITIK HUKUM DAN UPAYA POSITIVISASI HUKUM
ISLAM DI INDONESIA : DAN UNDANG-UNDANG PERADILAN AGAMA,” Jurnal Penelitian
Agama 16, no. 1 (2015): 35.
Soetandyo Wignjosoebroto, menyatakan bahwa positivisasi norma-
norma hukum adalah suatu proses politik yang amat menentukan bagi
perkembangan hukum sebagai suatu applied art.38 Dapat dipahami bahwa
upaya positivisasi hukum Islam di Indonesia mengalami naik turun sesuai
dengan kebijakan politik dan hukum yang diterapkan. Positivisasi hukum
Islam dalam pembangunan hukum nasional memiliki dua bentuk yaitu
pertama, dalam perspektif pembangunan hukum nasional maka positivisasi
hukum Islam tidak bisa dilakukan karena kondisi pluralitas bangsa
Indonesia.39 Kedua, hukum Islam dapat menjadi hukum positif di Indonesia
yang berlaku bagi umat Islam melalui proses legislasi yang sah seperti dalam
bidang muamalah atau hukum privat.40
Dapat dikatakan bahwa ada 3 pola legislasi hukum Islam dalam
peraturan perundang-undangan hukum nasional.41
1. Pola unifikasi dengan diferensiasi. Dalam hal ini hukum Islam
berlaku untuk setiap warga negara dengan beberapa pengecualian.
Misalnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
2. Hukum Islam diundangkan dan hanya berlaku bagi umat Islam.
Misalnya, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
3. Hukum Islam yang masuk dalam peraturan perundang-undangan
nasional dan berlaku untuk setiap warga negara seperti Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1990 Tentang Kesehatan.

38
Dey Ravena, “Wacana Konsep Hukum Progresif Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia,” Jurnal
Wawasan Hukum 23, no. 2 (2010): 157.
39
M. Shohibul Itmam, Positivisasi Hukum Islam (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2015), 158.
40
Ibid.
41
Masruhan, “Positivisasi hukum islam di indonesia era reformasi,” 124.
VI. Simpulan

Pluralisme hukum di Indonesia secara umum masih merupakan Weak


Legal Pluralism. Sebagai sub sistem, keberadaan Hukum Islam masih
membutuhkan pengakuan dari Hukum yang lebih superior yakni Hukum
Nasional. Hubungan erat antara keduanya menuntut kepatuhan dan ketaatan
dari masyarakat yang harus dikembangkan secara searah, serasi, dan seimbang
dan tidak saling bertentangan.

Hukum Islam yang berlaku di Indonesia pada dasarnya juga atas


kehendak penguasa. Hukum Islam dapat menjadi hukum positif di Indonesia
yang berlaku bagi umat Islam melalui proses legislasi yang sah seperti dalam
bidang muamalah atau hukum privat.
DAFTAR PUSTAKA

Arfana, Nano Tresna. “Enny Nurbaningsih: Hukum Merupakan Produk Politik.”


Mahkaman Konstitusi (mkri.id), 2020. https://www.mkri.id/index.php?
page=web.Berita&id=16605&menu=2.

Bakti. “Pluralisme Hukum dalam Mekanisme Penyelesaian Sengketa Sumber Daya


Alam di Aceh.” Kanun Jurnal Ilmu Hukum 17, no. 65 (2015): 129–49.
doi:10.24815/kanun.v17i1.6056.

Cerar, Miro. “The Relationship Between Law and Politics.” Annual Survey of
International & Comparative Law 15, no. 1 (2009): 24.
https://scholarlycommons.law.northwestern.edu/cgi/viewcontent.cgi?
article=1001&context=facultyworkingpapers.

Dewi, Anak Agung Istri Ari Atu. “Eksistensi Otonomi Desa Prakraman dalam
Perspektif Pluralisme Hukum.” Jurnal Magister Hukum Udayana 7, no. 3
(2014).

Dey Ravena. “Wacana Konsep Hukum Progresif Dalam Penegakan Hukum Di


Indonesia.” Jurnal Wawasan Hukum 23, no. 2 (2010).

Frenki. “Politik hukum dan perannya dalam pembangunan hukum di indonesia pasca
reformasi.” Jurnal Asas 3, no. No 2 Juli 2011 (2011): 1–8.

Isharyanto. Politik Hukum. Surakarta1: CV Kekata Group, 2016.

Itmam, M. Shohibul. Positivisasi Hukum Islam. Ponorogo: STAIN Ponorogo Press,


2015.

Ja’far Baehaqi. “Transformasi hukum Islam dalam hukum perbankan syariah di


Indonesia.” Ijtihad : Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan 14, No. 2,
no. 2 (2014).
Jasiman. Mengenal dan memahami Islam. Solo: PT. Era Adicitra Intermedia, 2011.

Ma’u, Dahlia Haliah. “Eksistensi Hukum Islam Di Indonesia (Analisis Kontribusi dan
Pembaruan Hukum Islam Pra dan Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia).”
Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah 15, no. 1 (2017): 14–30. doi:10.30984/as.v15i1.471.

Mardani. “Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional.” Jurnal Hukum
16 (2009): 268–88.

Masruhan. “Positivisasi hukum islam di indonesia era reformasi.” Islamica 6, no. 1


(2011): 119–33.

Maula, Bani Syarif, dan Institut. “POLITIK HUKUM DAN UPAYA POSITIVISASI
HUKUM ISLAM DI INDONESIA : DAN UNDANG-UNDANG PERADILAN
AGAMA.” Jurnal Penelitian Agama 16, no. 1 (2015).

Mohammad Daud Ali. Hukum Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2014.

“Qur’an Kemenag.” LPMQ Kemenag, n.d. https://quran.kemenag.go.id/.

Setiawan, Benni. “Pluraslisme Hukum Islam, Sebuah Pembacaan Awal.” Humanika:


Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum 12, no. 1 (2012).

Sumarni. “Kedudukan Hukum Islam dalam Negara Republik Indonesia.” Al-’Adalah


10, no. 4 (2012).

Veithzal Rivai; Rifki Ismail. Islamic Risk Management for Islamic Bank. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2013.

Anda mungkin juga menyukai