Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

“Filsafat Sejarah Timur dan Pemikiran Tokoh Al-Kindi, Ibnu Sina dan Ar-Razi”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Sejarah

DOSEN PENGAMPU:

Nuriyadin, M.Fil.I

Disusun Oleh:

Ainun Salsabila (A02218008)


Silmi Aufi Nawawi (A72218076)
Hikmah Nurul Islami (A72218050)

PRODI SEJARAH PERADABAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah swt. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang telah
memberikan nikmat, taufik, inayah, serta hidayah-Nya kepada kami sehingga dapat
menyelesaikan tugas makalah berjudul “Filsafat Sejarah Timur dan Pemikiran Tokoh Al-Kindi,
Ibnu Sina dan Ar-Razi “. Tugas makalah ini dilakukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
filsafat sejarah yang telah kami selesaikan dengan maksimal berkat kerja keras dan bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, kami ucapkan banyak terimakasih kepada segenap pihak yang
telah berkontribusi secara optimal dan tepat waktu.

Namun demikian, kami menyadari bahwa masih banyak sekali kekurangan dan
kekeliruan di dalam penulisan makalah ini, baik dari segi tanda baca, tata bahasa maupun isi,
sehingga penulis mengharapkan kritikdan saran yang positif yang dapat membangun dari
pembaca sekalian.

Dengan demikian yang bisa kami sampaikan, semoga makalah ini dapat menambah ilmu
pengetahuan dan memberikan manfaat yang nyata untuk banyak orang khususnya bagi pembaca
makalah ini.

Gresik, 05 Desember 2020

Penulis
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Filsafat sejarah Timur diartikan sebagai falsafah hidup yang berkembang di
dunia Timur. Filsafat Sejarah Timur merupakan tradisi falsafi yang berkembang di Asia,
khususnya di India, Republik Rakyat Cina dan daerah-daerah lain yang pernah
dipengaruhi budayanya. Al-Kindi adalah filosof pertama dalam Islam, yang
menyelaraskan antara agama dan filsafat. Ia melicinkan jalan bagi Al-Farabi, Ibnu Sina,
dan Ibn Rusyd. Dalam makalah ini akan dijelaskan beberapa sub materi filsafat sejarah
Timur, khususnya yang berkembang di dunia Timur.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Filsafat Sejarah Filsafat?
2. Bagaimana Biografi dan Pemikiran Tokoh Al-Kindi?
3. Bagaimana Biografi dan Pemikiran Tokoh Ibnu Sina?
4. Bagaimana Biografi dan Pemikiran Tokoh Ar-Razi?
1.3 Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Pengertian Filsafat Sejarah
2. Untuk Mengetahui Biografi dan Pemikiran Tokoh Al-Kindi
3. Untuk Mengetahui Biografi dan Pemikiran Tokoh Ibnu Sina
4. Untuk Mengetahui Biografi dan Pemikiran Tokoh Ar-Razi
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Filsafat Sejarah Timur

Secara istilah, Filsafat Sejarah Timur didefinisikan sebagai falsafah yang berkembang di
dunia Timur. Menurut Moeflih Hasbullah, Filsafat Sejarah Timur merupakan tradisi falsafi yang
berkembang di Asia, khususnya di India, Republik Rakyat Cina dan daerah-daerah lain yang
pernah dipengaruhi budayanya. Dalam perkembangannya, filsafat sejarah Timur secara teritorial
dibagi menjadi dua, yaitu: pertama, filsafat sejarah Timur. Dan kedua, filsafat sejarah Timur
Tengah. Filsafat sejarah Timur dengan tokoh-tokohnya yaitu Sidharta Gautama, Bodhidharma,
Lao Tse, Kong Hu Chu, Zhuang Zi, dan Mao Zedong. Sedangkan, Sehingga filsafat sejarah
Timur oleh beberapa sejarawan lebih dipandang sebagai agama daripada filsafat. Hal ini
dikarenakan filsafat sejarah Timur dianggap sebagai pemikiran yang tidak rasional, tidak
sistematis dan tidak kritis sebab dalam filsafat sejarah Timur tidak menampilkan sistematika
seperti halnya filsafat Barat.

Sementara filsafat Timur Tengah, dilihat dari sejarahnya merupakan ahli waris tradisi
filsafat Barat. Para filsuf Timur (orang-orang Islam) mempelajari filsafat dari kebudayaan dan
tradisi filsafat Yunani. Filsafat Timur memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan filsafat Barat, yang
mana ciri-ciri agama terdapat juga di dalam filsafat filsafat sejarah Timur Tengah terdiri dari
tokoh filsuf yang didominasi dari orang-orang Muslim seperti Ibn Sina, Ar-Razi, Ibn Thufail, Al-
Kindi dan sebagainya. Timur, sehingga banyak ahli berdebat mengenai dapat atau tidaknya
pemikiran Timur dikatakan sebagai filsafat. Pemikiran Timur, sering dianggap sebagai pemikiran
yang tidak rasional, tidak sistematis dan tidak kritis.

Pemikiran-pemikiran tersebut lebih dianggap sebagai kepercayaan religius atau agama


dari pada filsafat, karena dianggap tidak rasional, tidak sistematis dan tidak kritis. Selain itu,
pemikiran Timur seringkali diterima begitu saja oleh para penganutnya tanpa suatu kajian kritis;
mereka hanya menafsirkan, berupaya memahami, dan kemudian mengamalkannya. Meskipun
keduanya antara Agama dan Filsafat bertujuan menemukan kebenaran, keduanya memiliki
perbedaan mendasar. Agama mengajarkan kepatuhan, filsafat mengandalkan kemampuan
berfikir kritis yang sering tampil dalam perilaku meragukan. Akan tetapi, sebenarnya hal itu
tidak bisa menjadi kriteria untuk menentukan pemikiran Timur digolongkan sebagai filsafat atau
tidak, sebab seringkali kategorisasi ‘filsafat’ dan bukan ‘filsafat’ ditentukan oleh ‘Barat’ yang
memaksakan kriteria-kriterianya terhadap ‘Timur’.

2.2 Biografi dan Pemikiran Tokoh Al-Kindi

Al-Kindi, alkindus, nama lengkapnya Abu Yusuf Ya’kub ibn Ishaq ibn Shabbah ibn
Imran ibn Ismail Al-Ash’ats ibn Qais Al-Kindi (Soleh, 2013: 88), lahir di Kufah, Iraq sekarang,
tahun 801 M, pada masa khalifah harun Al_Rasyid (786-809 M) dari Dinasti Bani Abbas (750-
1258 M). Nama Al-Kindi sendiri dinisbahkan kepada marga atau suku leluhurnya, salah satu
suku besar zaman pra- Islam. Menurut Faud Ahwani, Al-Kindi lahir dari keluarga bangsawan,
terpelajar, dan kaya. Ismail Al-Ash’ats ibn Qais, buyutnya, telah memeluk Islam pada masa Nabi
dan menjadi sahabat Rasul. Mereka kemudian pindah ke Kufah. Di Kufah, ayah Al-Kindi, Ishaq
ibn Shabbah, menjabat sebagai gubernur, pada masa Khalifah Al-Mahdsi (775-785 M), Al-Hadi
(785-876 M), dan Harun Al-Rasyid (786-909 M), masa kekuasaan Bani Abbas (750-1258 M).
Ayahnya meninggal saat Al-Kindi masih kecil.

Para sejarawan memberi julukan kepada Al-Kindi sebagai “Filosof Arab” disebabkan dia
adalah satu-satunya filosof muslim keturunan Arab asli yang bermoyang kepada Ya’qub ibn
Qahthan yang bermukim di kawasan Arab Selatan. Al-Kindi termasuk filosof Islam yang sangat
produktif. Dia telah menulis banyak karyayang meliputi berbagai macam bidang ilmu. Ibnu
Nadhim mengatakan bahwa Al-Kindi telah merilis 260 judul karya seperti, Filsafat, Logika
,Kosmologi. Akan tetapi, sedikit saja jumlah karya Al-Kindi yang sampai ke tangan orang-orang
setelahnya. Sebagian riwayat mengklaim bahwa karya-karya Al-Kindi hilang semasa
kepemimpinan Khalifah Al-Mutawakkil

Bangunan pemikiran filsafat Al-Kindi merupakan refleksi doktrin-doktrin yang


diperolehnya dari sumber-sumber Yunani klasik dan warisan Neo-Platonis yang dipadukan
dengan keyakinan agama yang dianutnya. Oleh karena itu, basis pemikiran filsafat yang
mendasari keseluruhan pemikiran Al-Kindi ditemukan dalam risalah Fi al-Hudud al-Asyya.
Dalam risalah tersebut, Al-Kindi melakukan peringkasan atas defenisi-defenisi dari literatur
Yunani dalam bentuk yang sederhana. Ringkasan yang pada awalnya hendak memaparkan
filsafat Yunani, oleh banyak sejarawan dinilai hanya merupakan ringkasan defenisi secara
harfiah saja yang merujuk kepada Aristoteles tanpa kepastian yang jelas atas validitas
sumbernya. Sementara dalam risalah Al-Kindi yang khusus memaparkan bagian permulaan dari
disiplin filsafat, Al-Kindi mengemukakan enam defenisi filsafat yang seluruhnya bercorak
Platonis.

Menurut Al-Kindi Filsafat adalah ilmu tentang hakikat sesuatu dalam batas kesanggupan
manusia yang meliputi ilmu ketuhanan, ilmu keesaan (wahdaniyyah), ilmu keutamaan (fadhilah)
dan kajian apapun yang berguna bagi kehidupan manusia. Al-Kindi juga berpandangan bahwa
tujuan para filosof dalam berteori adalah mengetahui kebenaran yang kemudian ditindaklanjuti
dengan amal perbuatan dalam tindakan, semakin dekat manusia pada kebenaran, akan semakin
dekat pula pada kesempurnaan. Oleh karena itu, pengetahuan tentang kebenaran dan hal-hal lain
yang diderivikasi dari problem kebenaran merupakan orientasi para filosof manapun tanpa
membedakan latar pemikiran dan jenis ataupun aliran yang dianut. Para filosof muslim
sebagaimana juga para filosof Yunani, percaya bahwa perihal kebenaran berada jauh di atas
batas-batas pengalaman. Karena kebenaran bersifat abadi di alam adialami, atau berada di alam
idea atau di dalam posisi yang meliputi seluruh yang ada. Dalam berteori, para filosof mencari
kebenaran, dan dalam praktek, menyesuaikan kebenaran itu dengan kenyataan empiris. Jika
pengetahuan tentang kebenaran merupakan orientasi yang hendak dicapai oleh para filosof, maka
Al-Kindi pun menetapkan tujuan utama Filsafat sebagai jalan menuju pengetahuan tersebut.
Menurut Al-Kindi, pengetahuan akan kebenaran mengharuskan manusia untuk menggabungkan
fisika dan Metafisika, sains dan teknologi. Berangkat dari asumsi ini, Al-Kindi mengupayakan
perpaduan antara doktrin filsafat dan agama. Filsafat, menurut Al-Kindi adalah batas mengetahui
hakikat suatu sejarah batas kemampusn manusia. Tujuan filsafat dalam teori adalah mengetahui
kebenaran, dan dalam praktik adalah mengamalkan kebenaran/kebajikan. Filsafat yang paling
luhur dan mulia adalah filsafat pertama (Tuhan), yang merupakan sebaba (‘illah) bagi setiap
kebenaran/realitas. Oleh karena itu, filosof yang paling sempurna dan mulia harus mampu
mencapai pengetahuan yang mulia itu. Mengetahui ‘illah itu lebih mulia dari mengetahui
akibat/ma’mul-nya, karena kita hanya mengetahui sesuatu dengan sempurna bila mengetahui
‘illah-nya. Pengetahuan tentang ‘illah pertama merupakan pengetahuan yang tersimpul mengenai
semua aspek lain dari filsafat. Dia, ‘illah pertama, Tuhan, adalah paling mulia, awal dari jenis,
awal dalam tertib ilmiah, dan mendahului zaman, karena dia adalah ‘illah bagi zaman Meskipun
banyak merujuk kepada Aristoteles, Al-Kindi tidak membatasi peran filsafat pada pemikiran
abstrak semata-mata. Sebagai muslim yang baik, dia meyakini peran penting filsafat dalam
mendampingi agama. Kebenaran yang dicari oleh para filosof tidak berbeda dengan kebenaran
yang disampaikan oleh para nabi kepada umat manusia. Kebenaran yang disampaikan oleh
“Nabi Muhammad Saw. Yang berkata benar dan yang diterimanya dari Allah”, bagi AlKindi,
bisa dibuktikan melalui pijakan-pijakan rasional. Al-Kindi dalam karyanya Kammiyah Kutub
Arsithateles memaparkan perbedaan antara doktrin agama dan filsafat sebagai berikut :

1. Filsafat merupakan bagian dari humaniora yang dicapai para filosof melalui proses
panjang pembelajaran, sedangkan agama adalah ilmu ketuhanan yang menempati
tingkatan tertinggi karena diperoleh tanpa proses pembelajaran dan hanya diterima secara
langsung oleh para Rasul melalui proses pewahyuan.
2. Jawaban filsafat menunjukkan ketidakpastian dan memerlukan perenungan yang
mendalam. Sedangkan agama lewat kitab suci memberikan jawaban yang pasti dan
meyakinkan.
3. Filsafat menggunakan metode Logika, sedangkan agama mendekati persoalan manusia
dengan keimanan.1

2.3 Biografi dan Pemikiran Tokoh Ibnu Sina

Nama lengkap dari Ibnu Sina adalah Abu Ali al-Husein ibn Abdulah Ibn Sina, seorang al-
hakim al-masyhur (filosof yang sangat terkenal). Beliau di beri gelar al-Syeikh al-Ra’is, lahir
pada tahun 370 H/980 M, di kampung Afsyanah dekat kawasan Bukhara. Di Eropa ia dikenal
dengan nama Aben Avicenna. Beliau meninggal di usia 57 tahun pada tahun 428 H/1037 M.
Sejak kecil beliau sudah meguasai banyak ilmu pengetahuan dan pada usia muda beliau sudah
dikenal sebagai dokter yang mampu mengobati segala macam penyakit. Beliau juga memahami
mengenai metafisika Aristoteles lewat buku yang beliau baca karangan al-Farabi.2

Ibnu Sina membuat sintetis final tentang Islam dengan filsafat Aristotelianisme dan
Neoplatonisme menjadi sebuah dimensi intelektual yang permanen dalam dunia Islam. Menurut
Ibnu Sina objek kajian falsafah (hikmah) dibagi menjadi dua: Pertama, hikmah nadzariyah (ilmu

1
Abu Bakar Madani, “Pemikiran Filsafat Al-Kindi”, (Jurnal Lentera Vol. IXX No. 2, 2015)
2
Mukhtar Gozali, “Agama dan Filsafat Dalam Pemikiran Ibnu Sina”, (Jurnal dan Filsafat Islam), 24.
teoritis) bertujuan untuk membersihkan jiwa melalui ma’rifat. Yang termasuk ilmu ini adalah
membahas mengenai masalah metafisika (ketuhanan). Kedua, hikmah ‘Amaliyah (Ilmu-Ilmu
Praktis). Yang termasuk bagian dari ilmu-ilmu praktis adalah: Etika (Khuluqiyah), mengatur
pergaulan keluarga dalam rumah tangga, ekonomi (Tadbir al-Manzil), mengatur pergaulan umat
dalam Negara (Tadbir al-Madinah).3

Ibnu Sina menekankan hubungan antara jiwa dan raga yang sangat erat. Ibnu Sina ingin
membuktikan saling keterhubungan antara keduanya. Bahwa jiwa manusia adalah suatu
substansi yang dapat mewujud secara terpisah dari tubuh. Dengan berupaya mengarahkan
kesadaran diri dan berupaya membuktikan kebukanbendaan akal. Jiwa manusia merupakan
rahasia Tuhan yang terdapat pada hamba-Nya dan menjadi kebesaran Tuhan pada makhluk-
makhluk-Nya serta teka-teki kemanusiaan yang belum dapat dipecahkan dan barangkali tidak
akan bisa dipecahkan dengan memuaskan. Ibnu Sina sangat memperhatikan terhadap persoalan
jiwa Manusia.4

Unsur-unsur pemikiran yang membentuk teorinya tentang kejiwaan ialah seperti


pemikiran Aristoteles, Galius atau Plotinus. Namun terutama pemikiran Aristoletes yang banyak
dijadikan sumber pikirannya. Terdapat empat dalil yang dikemukakan oleh Ibnu Sina untuk
membuktikan adanya jiwa, (1) Dalil alam-kejiwaan (natural psikologi); (2) Dalil Aku dan
kesatuan gejala-gejala kejiwaan; (3) Dalil kelangsungan (kontinuitas); (4) Dalil orang terbang
atau orang tergantung di udara.5

2.4 Biografi dan Pemikiran Tokoh Ar-Razi

Nama lengkapnya adalah Abu Bakr Muhammad ibn Zakaria ibn Yahya al-Razi dan di
Barat (Eropa) dikenal dengan nama Rhazes. Beliau lahir di Rayy, dekat Teheran pada 1 Sya’ban
251H/865M. Pada masa mudanya, beliau menjadi tukang intan, penukar uang, dan sebagai
pemusik kecapi. Gurunya bernama ‘Ali ibn Rabban al-Tabari, seorang dokter dan filosof lahir di
Merv tahun 192H/808M dan meninggal beberapa tahun setelah 240H/855M. Al-Razi belajar

3
Ibid, 25.
4
Fanny Tasyfia Mahdy, “Filsafat Hukum Ibnu Sina dan Perluasan Pemikiran Plato”, (Jurnal Ar.raniny Vol. 2 No.2,
2017), 201-202.
5
Ibid, 203.
kedokteran kepadanya dan belajar Filsafat belajar pada Al-Balakhi, seorang yang senang
mengembara, menguasai Filsafat, dan ilmu-ilmu kuno.6

Al-Râzî adalah seorang rasionalis murni, sangat mempercayai kekuatan akal, bebas dari
segala prasangka, dan sangat berani dalam mengemukakan gagasannya. Beliau juga seorang
yang rasionalis murni, hal ini dapat dilihat dari pemikirannya dan karya-karyanya. Beliau juga
seorang dokter yang sangat hebat dan juga seorang Filosof. Namun dalam masalah metafisika
(ketuhanan) pendapatnya banyak yang membahaya-kan dan bisa menghapus sendi-sendi ke-
imanan umat Islam. Pendapatnya juga mungkin bertentangan dengan paham yang dianut umat
Islam diantaranya yaitu: Tidak percaya adanya wahyu, Al-Qur’an bukan mu’jizat, Menentang
Adanya Nabi, Adanya hal-hal yang kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir selain
Tuhan.

Begitu juga dalam hal moral, tingkah laku seseorang mestilah berdasarkan akal, hawa
nafsu juga harus dikendalikan oleh akal. Beliau lebih mengutamakan akal daripada Agama.
Namun beliau bukan Atheis, beliau tetap mengakui adanya Allah Sang Pencipta bagi sekalian
alam. Ia tergolong dalam filosof yang rasionalis murni dalam kalangan filosof muslim. Beliau
juga seorang dokter yang paling orisional dan paling besar di antara dokter-dokter muslim
lainnya. Sehingga ia lebih dikenal sebagai dokter dibandingkan filosof, dan disiplin ilmu lain
yang ditekuninya meliputi: Ilmu Falak, Matematika dan Kimia.7

6
Agus Mubarak, “Eksistensi Wahyu, Injil, dan Al-Quran Menurut Muhammad Ibnu Zakaria Al-Razi”, (Jurnal
Komunikasi dan Sosial Agama Vol. 16 No. 1, 2014), 68.
7
Hambali, “Pemikiran Metafisika, Moral dan Kenabian dalam Pandangan Al-Razi”, (Jurnal Substansia Vol. 12 No. 2,
2010), 368.
BAB III

KESIMPULAN

Filsafat Sejarah Timur merupakan tradisi falsafi yang berkembang di Asia, khususnya di
India, Republik Rakyat Cina dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Al-
Kindi adalah filosof pertama dalam Islam, yang menyelaraskan antara agama dan filsafat. Ia
melicinkan jalan bagi Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibn Rusyd. Ia memberikan dua pandangan
berbeda. Pertama, mengikuti jalur ahli logika dan memfilsafatkan agama. Kedua, memandang
agama sebagai sebuah ilmu ilahiah dan menempatkannya di atas filsafat. Ilmu ilahiah ini
diketahui lewat jalur nabi. Oleh karena itu, melalui penafsiran filosofis, agama menjadi selaras
dengan filsafat. Bagi Al-Kindi, filsafat adalah ilmu dari segala ilmu dan kearifan dari segala
kearifan. Filsafat, dalam pandangan Al-Kindi, bertujuan untuk memperkuat agama dan
merupakan bagian dari kebudayaan Islam.
DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar Madani, “Pemikiran Filsafat Al-Kindi”, (Jurnal Lentera Vol. IXX No. 2, 2015)

Mukhtar Gozali, “Agama dan Filsafat Dalam Pemikiran Ibnu Sina”, (Jurnal dan Filsafat Islam),
24.

Fanny Tasyfia Mahdy, “Filsafat Hukum Ibnu Sina dan Perluasan Pemikiran Plato”, (Jurnal
Ar.raniny Vol. 2 No.2, 2017), 201-202.

Agus Mubarak, “Eksistensi Wahyu, Injil, dan Al-Quran Menurut Muhammad Ibnu Zakaria Al-
Razi”, (Jurnal Komunikasi dan Sosial Agama Vol. 16 No. 1, 2014), 68.

Hambali, “Pemikiran Metafisika, Moral dan Kenabian dalam Pandangan Al-Razi”, (Jurnal
Substansia Vol. 12 No. 2, 2010), 368.

Anda mungkin juga menyukai