Presiden Joko Widodo telah meminta jajarannya untuk mengakhiri pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Sebagai gantinya untuk menekan laju pertumbuhan Covid-19, pemerintah akan menerapkan sebuah kebijakan baru yang dinamai Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Berskala Mikro. Kebijakan itu akan berlangsung mulai tanggal 9 Februari 2021. Dalam PPKM Berskala Mikro itu diharapkan setiap desa bisa mendirikan posko tanggap Covid-19 yang berperan sebagai pendamping tim pelacak untuk melakukan penelusuran penyebaran Covid-19. PPKM Berskala Mikro ini menjadi pekerjaan rumah semua lini, tidak hanya menjadi tanggung jawab petugas kesehatan. Setidaknya dapat difahami bahwa pandemi dan kedaruratan medis adalah intervensi multisektor. Di tengah fakta semakin banyaknya warga masyarakat yang mengabaikan Covid-19, yang sebagiannya apatis, bahkan meski dengan operasi yustisi sekali pun, yang memang terkesan hilang hilang timbul, timbul pertanyaan besar apakah PPKM Berskala Mikro ini akan berjalan lancer. Saya mencatat beberapa ciri dari respon dan penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia selama ini. Pertama, konsepsi yang sangat lemah sehingga sangat terkesan trial and error. Banyak cerminannya yang dengan mudah terlihat bahkan oleh orang awam sekalipun. Soal silih-bergantinya istilah yang digunakan adalah salah satu saja dari sekian banyak indikasi lemahnya konsepsi itu. Terkadang dalam waktu singkat saja istilah yang satu belum difahami rakyat sudah diperkenalkan pula istilah yang baru. Konspesi yang lemah juga menyebabkan kefatalan serius. Ingatlah bahwa pada awal merebaknya wabah ini beberapa di antara para petinggi Indonesia terjebak dalam komunikasi politik yang kacau. Ada yang mengatakan Covid-19 susah masuk ke Indonesia karena rumitnya masalah perizinan. Perhatikanlah bahwa tanpa sadar sama sekali mereka telah mengekspresikan penjelasan lugas tentang perikeadaan buruk lainnya dalam tubuh pemerintahan, terutama dalam hal birokrasi (khususnya perizinan) yang menyandera Indonesia. Ada juga di antara petinggi negara itu yang mengatakan iklim di Indonesia tidak favourable bagi pewabahan Covid-19. Pada hal saat yang hamper bersamaan atau berjarak waktu singkat saja, mereka juga mengekspose sendiri data bahwa di negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura pandemi Covid-19 sudah sedemikian mewabah. Apa perbedaan iklim Malaysia dan Singapura dengan Indonesia? Tentu rakyat menjadi bingung. Salah satu puncaknya adalah digantinya Menteri Kesehatan menyusul terjadinya kelambanan yang parah dalam distribusi dana kementerian untuk masyarakat. Penggantinya yang bukan berkeahlian Kesehatan atau yang terkait dengan pandemi juga mengundang masalah baru, setidaknya keraguan besar atas arah kebijakan pemerintah. Bukan tidak banyak apologi yang bertebaran seputar masalah ini, namun tetap saja rakyat merasa curiga tentang kekuatan Tarik-menarik apa yang sedang berlangsung dalam orientasi yang memandu kerja pemerintahan. Semua ini tak pelak menyebabkan proses kemerosotan kewibawaan pemerintah yang pada gilirannha juga mengakibatkan penurunan drastis kepercayaan terhadap kebijakan yang dilahirkan. Dalam bidang anggaran pemerintah memperkenalkan istilah refocusing. Ini juga menunjukkan kesalahan besar. Sesuai makna istilah ini, yang dilakukan memestinya bukan refocusing, melainkan reformulasi. Karena akibat pandemi Covid-19 agenda lama (yang dapat ditelaah dalam dokumen APBN dan APBD) wajib direformulasi untuk menghadapi situasi yang tak terbayangkan sebelumnya, bukan justru pengembalian focus ke asumsi-asumsi lama yang baru saja dibatalkan oleh wabah pandemi covid-19. Kedua, ambivalensi dalam menentukan apakah kebijakan pemerintah menekankan sepihak save human first atau economic recovery. Ambivalensi itu berdampak sangat besar. Sangat terkesan adanya ketakutan manakala krisis ini meningkat menjadi krisis politik. “Pertengkaran” pemerintah nasional dengan pemerintah DKI beberapa waktu lalu soal pemberlakuan PSBB sesungguhnya berakar pada masalah ambivalensi tadi. Padahal pendekatan yang harus ditempuh seharusnya bersifat komprehensif. Bagaimana rumusannya? Semestinya terjawab oleh perppu yang memberi mandat yang amat luas kepada pemerintah (Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang segera diundangkan). Tetapi perppu ini selain menegaskan karakter ambivalensial pemerintah juga amat terkesan menumbuhkan keberuntungan by design bagi oligarki, terutama dengan alokasi anggaran yang lebih bersasaran kepada corporate. Banyak jenis usaha yang collaps, dan respon pemerintah antara lain adalah mengalokasikan suntikan dana besar kepada corporate dan dana relatif kecil kepada UMKM serta program prakerja yang menyedot dana distribusi publik kepada pengusaha yang beroleh keistimewaan atas nama wabah covid- 19. Isyu yang dianggap keren seperti transaksi digital sangat gandrung dipublikasi oleh pemerintah yang juga semakin memperkuat data kegagalan memahami (diagnosis) masalah. Padahal masalahnya adalah rakyat sudah banyak yang kehilangan pekerjaan, tiada lagi tabungan dan daya beli otomatis jauh merosot. Suntikan apa pun ke corporate dan UMKM tidak akan berdaya guna karena akar masalahnya adalah daya beli rakyat yang terus melemah. Aroma pisang goreng yang merebak dari lapak-lapak sector informal tetaplah menggoda selera, tetapi apa daya daya beli terus merosot dan timbul rasionalitas berhemat untuk mendahulukan kepentingan utama menyambung hidup. Ada fakta lain yang kurang diperhatikan, yakni orang dari kelas menengah yang tadinya (awal terjadinya pandemi Covid-19) mampu menyumbang, pun kini semakin jarang melakukannya. Kalangan ini juga perlahan terpaksa semakin pelit, karena memang stok makin menipis dan usahanya mengalami kemerosotan. Karena itu seyogyanya kebijakan yang wajib ditempuh adalah distribusi dana kepada pemerintah daerah. Katakanlah antara Rp 5-10 triliun kepada setiap Kabupaten dan Kota, serta Rp 15-20 triliun untuk setiap Provinsi. Dana itu digunakan untuk proyek infrastruktur padat karya, tidak seperti proyek infrastruktur modal China yang padat modal dan mengenyampingkan solusi pengangguran dalam negeri. Ingat, rakyat ada di daerah, baik yang mudah termonitor oleh kemajuan teknologi komunikasi, mau pun yang sebaliknya. Selain alokasi untuk proyek infrastruktur, suntikan dana dari APBN dimaksud dapat dipilih secara strategis untuk sasaran yang lebih tepat sesuai kondisi daerah, misalnya pertanian. Pertanyaan yang lazim saya terima dalam berbagai forum ketika mengemukakan solusi ini ialah “darimana uangnya”. Uangnya pasti ada dan memang seharusnya ada, karena terbukti dengan perppu covid-19 yang sudah diundangkan itu pemerintah ternyata bisa menambah anggaran secara inkonvensional dan dalam waktu singkat. Sayangnya langkah itu serba tanggung dan terus-menerus dibayang-bayangi oleh mitos inflasi dan sebagainya. Ini menggambarkan kajian yang tak tuntas dan konvensionalitas cara berfikir yang tidak mampu melahirkan kreativitas menjawab masalah. Ketiga, organisasi kerja yang lebih mengedepankan kesan formalisme dan lebih elitis. Selain memiliki organisasi sampai ke tingkat terendah, pemerintah Indonesia juga memiliki organisasi ekstra seperti PKK, organisasi profesi dan organisai kedinasan seperti kepolisian dan TNI ditambah organisasi sosial kemasyarakatan dan kepemudaan dengan segenap bentuknya dan lain-lain. Muhammadiyah salah satu di antara yang telah mencontohkan bagaimana bekerja habis-habisan melawan pandemi Covid-19. Saya tidak tahu mengapa pemerintah tidak pernah mendayagunakan semua itu dengan sebaik-baiknuya, kecuali sebatas melempar seruan dan himbauan belaka. Keempat, ketidakjujuran dalam menunjukkan masalah. Pemerintah melalui organisasinya sangat rajin mengupdate data dan dengan itu selalu berujung pada kegandrungan penunjukan daerah-daerah yang mengalami masalah covid-19 mulai dari ringan, menengah sampai berat. Umumnya media akan menunjukkan sorotan kepada daerah yang paling bermasalah sambil terkesan menyudutkan pemerintah daerah itu sebagai malas, tak bijak dan berbagai julukan negatif lainnya. Padahal pandemi covid-19 ini bersifat global yang harus disikapi secara bersama. Dalam lingkungan suatu negara tidak ada peluang sesuatu daerah mana pun untuk selamat sendirian, apalagi pemerintah sangat takut memilih kebijakan lockdown (meski jenis ini tidak dikenal dalam regulasi Indonesia) karena konsekuensi penyediaan dana untuk hidup rakyat. Tidak ada peluang untuk menyalahkan daerah, karena pandemi ini ditangani dengan organisasi nasional dan ketika satu daerah ingin PSBB saja justru izinnya dari pemerintahan nasional dan perdebatan dengan pemerintahan DKI tempohari saat mengusulkan kebijakan ini sudah lebih dari cukup sebagai bukti. Kelima, kegagalan mengemban amanah. Dana untuk Covid-19 pun dikorupsi. Salah seorang Menteri kena OTT. Jejaringnya terberitakan secara jelas melalui media. Betapa hal ini sangat besar memengaruhi proses radikalisasi rakyat.
Oleh karena itu, kebijakan PPKM Berskala Mikro itu terasa
akan sulit dilaksanakan jika semua faktor yang saya kemukakan di atas tidak diselesaikan. Persepsi dan mindset Jakarta beres, semua daerah tentu saja akan lekas beres. Jangan lupa, umumnya rakyat Indonesia itu terkenal patuh dan memiliki patronase yang kuat. Tetapi rakyat Indonesia harus diasupi informasi yang sahih dan tepat serta cepat. Tidak ada gunanya seakan merasa amat hero membuang-buang dana besar untuk mendata-grafiskan dan mengumumkan produksi hoaks tentang Covid-19 di tengah masyarakat. Akarnya ada pada muatan informasi, cara berkomunikasi dan keterpercayaan terhadap semua elemen itu. Penulis adalah dosen FISIP UMSU. Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS)