Anda di halaman 1dari 5

LAPANGAN MERDEKA MEDAN

Oleh Shohibul Anshor Siregar

 Jika ada keberanian kita, berilah semua pemangku kepentingan untuk berkegiatan di level
2 dan 3 bawah tanah LMM yang akan kita gali demi kebaikan bersama sembari belajar
kembali menegakkan kepala menyongsong peradaban masa depan. Level 1 ruang bawah
tanah LMM itu kita jadikan lapangan parkir, dan dari sana kita akan membuat
terowongan penghubung ke Gedung DPRD Kota, Provinsi, kantor Walikota, Kantor
Gubernur dan Gedung-gedung lain termasuk akses ke pintu tol terdekat.

 Pada FGD ini memang saya serukan kepada semua orang beberapa detik setelah forum
ini kita akan pergi ke kantor Walikota Medan atau ke kantor Gubernur Sumatera Utara
meminta sedikit saja kekuasaan dari mereka untuk mengukuhkan status LMM dan situs-
situs penting sejarah lainnya sebagai cagar budaya.

*****

TULISAN ini saya kembangkan dari paparan singkat yang saya sampaikan pada
Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh DHD Angkatan 45
Provinsi Sumut bekerjasama dengan Kwarda Pramuka Provinsi Sumut, Kamis 1
Oktober 2020, di Medan. FGD itu bertopik “Strategi Memungsikan Lapangan
Merdeka Sebagai Sidik Jari Proklamasi, Cagar Budaya, dan Ruang Terbuka
Hijau”.
Saya amat menyadari bahwa membicarakan pemungsian Lapangan Merdeka
Medan (LMM) sebagaimana diminta oleh tema itu tidak hanya membutuhkan
telaah amat teknis yang cukup rumit berdasarkan disiplin tertentu. Namun, di atas
segalanya, dimensi lain yang selalu lebih mengemuka secara berkelindan selama
ini ialah politik, budaya dan sejarah.
Kecuali itu saya sedikit menaruh keberatan tentang ungkapan “sidik jari
proklamasi”. Terasa mempersempit keterangan yang memaksudkan catatan sahih
dan penting sebuah kejadian bersejarah tanggal 6 Oktober 1945 di LMM, yakni
sebuah rapat raksasa pembacaan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Saya
memahami maksud ungkapan itu dari sudut komunikasi. Bahwa di LMM ada
jejak sejarah penting yang tak tergantikan lagi irreversible (tidak terulang). Meski
publikasi media cetak, radio dan pamplet digencarkan, namun pada masa itu tidak
mudah menyebar berita proklamasi 17 Agustus 1945 yang berlangsung di Jakarta
itu ke seluruh tanah air, termasuk ke Sumatera.
Tak terbantahkan kini, banyak perlakuan yang menyebabkan fungsi lapangan
merdeka itu menyimpang dalam penilaian sebagian masyarakat, setidaknya jika
diukur dari tiga hal. Pertama, fungsi yang disebut sebagai “Sidik Jari Proklamasi”
itu. Rapat raksasa menandai titik tolak awal kebebasan setelah terjajah dalam
kehinaan selama 3,5 abad. Kini pemerintahannya, politisinya, penguasa modalnya
dan orang-orang berpengaruh lainnya di kota ini sudah kesulitan mengapresiasi
sepantasnya. Tidak ada kepentingan memosisimagiskan hal yang tak pantas di
sini, apalagi untuk memberhalakannya.
Kedua, cagar budaya. LMM sebagai kawasan bersejarah memerlukan perlakuan
agar menjadi wahana pendidikan. Indonesia memiliki regulasi (UU 11 tahun
2010) yang menegaskan cagar budaya sebagai sumber daya (budaya) yang selain
sangat mungkin memiliki sifat rapuh, unik, langka, terbatas, dan tidak terbarui,
dalam upaya menjaganya dari ancaman karena aktivitas pembangunan fisik pun
juga sangat memerlukan pengaturan tersendiri agar keberadaannya terjamin.
Upaya pelestarian mencakup banyak hal, termasuk perlindungan, pengembangan,
dan pemanfaatan yang mengindahkan keseimbangan. Di sana tak hanya ada
kepentingan akademis belaka, karena peristiwa sejarah selalu sarat nilai ideologis.
Sebuah situs juga terus mengalami perkembangan fungsi lainnya, termasuk
ekonomis.
Ketiga, Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang dalam penggunaan yang lebih bersifat
terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik secara alamiah maupun yang sengaja
ditanam sesuai keinginan warga. Pertumbuhan penduduk secara ekologis
menyebabkan krisis peruntukan lahan. Diperlukan proporsionalitas penggunaan
sesuai prinsip keterjagaan keseimbangan lingkungan agar nyaman bagi
kehidupan. Karena itu RTH menjadi salah satu kawasan penting dalam
perencanaan wilayah, peruntukan ruang umum yang memasilitasi pertukaran
pikiran dan berbagai pengejawantahan diri warga. Bandingkanlah fungsi itu di
tengan perlakuan buruk atas LMM saat ini.
*****
Perlakuan Ke Depan
Saya meyakini tidak ada hal yang begitu rumit di LMM, melainkan hanya soal
mufakat terlanjur para pendahulu yang sesungguhnya masih berada (hidup)
bersama kita dalam transaksi bisnis biasa yang sangat mudah dijejaki. Mufakat itu
memuaskan bagi tiga pihak belaka (pengusaha, penguasa, dan politisi) karena
keuntungan material, tetapi sayang dengan mengorbankan kepentingan umum.
Mungkin ucapan Alwi Shihab dalam bukunya “Betawi: Queen of the East” (2002)
dapat menjelaskan. “Ini adalah benturan antara kepentingan ekonomi dan cagar
budaya dalam pesatnya pembangunan, dan yang terakhir inilah yang telah
dikalahkan." Itu lebih dari cukup untuk menyimpulkan pemahaman yang paling
tepat dan benar di antara kita atas LMM selama ini.
Sekarang saya ingin kita bergerak dari LMM untuk menghalau penyakit tuna
sejarah bangsa kita sembari memperkaya sumber pendidikan dan ketaatan atas
kiat ramah lingkungan. Kita kini hanya bisa beroleh posisi optimum lose-lose
solution. Jika ada keberanian pada diri kita, maka mintalah pergi semua
perusahaan yang beroperasi di Merdeka Walk itu. Jika ada keberanian kita,
berilah semua pemangku kepentingan untuk berkegiatan di level 2 dan 3 bawah
tanah LMM yang akan kita gali demi kebaikan bersama sembari belajar kembali
menegakkan kepala menyongsong peradaban masa depan. Level 1 ruang bawah
tanah LMM itu kita jadikan lapangan parkir, dan dari sana kita akan membuat
terowongan penghubung ke Gedung DPRD Kota, Provinsi, kantor Walikota,
Kantor Gubernur dan Gedung-gedung lain termasuk akses ke pintu tol terdekat.
Jika ada keberanian kita, mestinya melalui forum FGD ini, tepat meneriakkan
agar semua situs sejarah yang belum dikukuhkan sebagai kawasan cagar budaya
di Medan, tidak hanya LMM, melainkan juga semua situs penting yang ada di
sekitar Gedung Nasional Medan, disegerakan. Pada FGD ini memang saya
serukan kepada semua orang beberapa detik setelah forum ini kita akan pergi ke
kantor Walikota Medan atau ke kantor Gubernur Sumatera Utara meminta sedikit
saja kekuasaan dari mereka untuk mengukuhkan status LMM dan situs-situs
penting sejarah lainnya sebagai cagar budaya.
*****
Misteri-misteri dalam Sejarah
Banyak misteri dalam sejarah Indonesia yang memerlukan klarifikasi. Misalnya,
mengapa naskah Piagam Jakarta batal menjadi naskah Proklamasi, sesuai
keputusan Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Ketika menyinggung hal ini, buku Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi
(2016) sama sekali tidak memberi penjelasan. Dari berbagai sumber diperoleh
keterangan bahwa saat rapat malam hari tanggal 16 Agustus 1945, tidak seorang
pun di antara Bung Karno, Bung Hatta, Mr Subardjo, dan anggota Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) lainnya yang membawa naskah Piagam
Jakarta itu (Mohammad Hatta, Sekitar Proklamasi, 1970). Malam itu mereka
berkumpul di rumah Laksamana Tadashi Mayeda di Jl. Meiji Dori 1, Jakarta.
Ketika naskah Proklamasi hedak diketik, Laksamana Tadashi Mayeda
memerintahkan pembantunya, Satzuki Mishima, untuk mencari mesin tik
berhuruf Latin. Dengan naik jeep Satzuki segera pergi ke kantor militer Jerman
dan mendapatkan mesin tik huruf Latin itu dari seorang perwira Angkatan Laut,
Mayor Kandelar. Mereka berhasil menemukan mesin tik yang diperlukan, namun
tidak berhasil membawa naskah Piagam Jakarta. Saya berprasangka bahwa jika
mencari mesin tik mereka bisa kemana-mana, mengapa mengambil naskah
Piagam Jakarta tidak bisa? Tidak ada inisiatif sama sekali.
Siapa pemilik rumah proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur No 56? Pembacaan
naskah proklamasi dilakukan di rumah ini meski awalnya akan dilaksanakan di
Lapangan Ikada. Tetapi sekian lama luput dari pengetahuan umum bahwa rumah
itu adalah pemberian Faradj bin Said bin Awad Martak, seorang pedagang
Indonesia keturunan Arab. Ia menghibahkan dengan niat agar saksi sejarah itu
bisa dikelola dengan baik. Bukti tertulis bertanggal 14 Agustus 1950
ditandatangani Ir. Mananti Sitompoel selaku Menteri PU dan Perhubungan RI.
Misteri berikutnya tidak terjawab. Mengapa rumah proklamasi itu dirobohkan
pada 27 Agustus 1950? Saya tidak dapat menerima jika perobohan itu sebagai
konsekuensi pembangunan proyek di ibukota negara Jakarta. Dikatakan, Bung
Karno dan beberapa pejuang Indonesia serta perwakilan daerah melalui sebuah
Musyawarah Nasional menghasilkan "Pernjataan Bersama" (14 September 1957),
yang kemudian membentuk Dewan Perancang Nasional dengan agenda 335
proyek yang terbagi dua (Proyek A dan Proyek B). Proyek A mencakup seluruh
fasilitas dasar, sedangkan proyek B meliputi hasil bumi atau hasil kekayaan
Indonesia untuk membiayai proyek A.
Tak lama Bung Karno pun memutuskan untuk memulai pembangunan semesta
berencana itu dan melakukan pencangkulan pertama di Rumah Proklamasi meski
diprotes oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta Henk Ngantung. Bung Karno marah,
Henk Ngantung hanya mampu membuat maket kompleks Rumah Proklamasi itu.
Sebelum Rumah Proklamasi dirobohkan, pada saat bersamaan tengah dibangun
Gedung Pola yang berada di belakangnya.
Rumah Proklamasi yang menjadi saksi peristiwa luar biasa penting, sudah tidak
ada lagi. Kini hanya sebuah taman saja berikut tetenger berupa tugu yang seolah
tepat menandai dan menggantikan keberadaan teras rumah tempat pembacaan
naskah proklamasi. Berbentuk bulatan tinggi sekitar 17 meter, tugu ini berkepala
lambang petir mirip logo Perusahaan Listrik yang kemudian dikenal sebagai
Tugu Petir. Tak jauh dari Tugu Petir, berdirilah Tugu Proklamasi yang diresmikan
Soeharto pada tanggal 16 Agustus 1980.
*****
Penutup
Jika Bung Karno membiarkan bangunan roboh karena semangat anti kolonial,
maka kasus LMM berbeda. Tetapi banyak kota di dunia yang berhasil
menyeimbangkan pembangunan dan kebudayaan, pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan sosial, serta keberhasilan material dan kebahagiaan spiritual. Medan
belum termasuk dalam daftar kota-kota ini. Sejauh ini pembangunan hanya
mementingkan aspek pertumbuhan ekonomi belaka. Salah satu perwujudan yang
paling jelas dari prioritas pembangunan yang salah kaprah ini dapat dilihat di
LMM.
Asumsi-asumsi dasar telah dibangun, bahwa LMM tidak tepat hanya dilihat dari
perspektif modal. Kesadaran wajib dibangun dengan mengedepankan
penghargaan atas nilai heroisme, sejarah, pendidikan dan kiat taat dan sadar
lingkungan. Tak pelak lagi, perencanaan ulang dan memerdekakan LMM sudah
mesti hadir mengatasi motif-motif sangat adhoc yang mencederai banyak hal
penting dalam kehidupan kolektif kebangsaan, kenegaraan dan kemasyarakatan.

Penulis dosen FISIP UMSU.


Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

Anda mungkin juga menyukai