Muhammadiyah Dan Pan
Muhammadiyah Dan Pan
[1] Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah
bertepatan tanggal 18 November 1912 Miladiyah di Yogyakarta untuk jangka waktu tidak
terbatas. Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid,
bersumber pada Al-Qur`an dan As-Sunnah. Muhammadiyah berasas Islam. Maksud dan tujuan
Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya (Lihat Anggaran Dasar Muhammadiyah pasal 1-6).
[2] Untuk mencapai maksud dan tujuan, Muhammadiyah melaksanakan Da’wah Amar Ma’ruf
Nahi Munkar dan Tajdid yang diwujudkan dalam usaha di segala bidang kehidupan. Usaha
Muhammadiyah diwujudkan dalam bentuk amal usaha, program, dan kegiatan, yang macam dan
penyelenggaraannya diatur dalam Anggaran Rumah Tangga. Penentu kebijakan dan penanggung
jawab amal usaha, program, dan kegiatan adalah Pimpinan Muhammadiyah (Lihat Anggaran
Dasar Muhammadiyah pasal 7).
[3] Setelah Muktamar Muhammadiyah di Jakarta tahun 2000, muncul gagasan perlunya
pendirian Muhammadiyah di luar negeri. Ada beberapa alasan mengapa Muhammadiyah di luar
negeri perlu didirikan. Pertama, perlunya memperluas dakwah perjuangan Islam yang rahmatan
lil alamin dalam perspektif Muhammadiyah tidak hanya di negara Indonesia tetapi ke berbagai
negara. Kedua, banyaknya kader, anggota dan warga Muhammadiyah yang menyebar ke
berbagai negara baik karena alasan studi maupun kerja dan mereka memerlukan ruang untuk
berorganisasi. Atas dasar alasan dan tujuan di atas tersebut, pada akhirnya Muhammadiyah di
luar negeri dinamakan Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM).
Saat ini PCIM terus berkembang dan sudah mencapai 23 buah, di antaranya tersebar di berbagai
negara, seperti Mesir, Iran, Sudan, Belanda, Jerman, Inggris, Cina, Taiwan, Korea Selatan, Arab
Saudi, Malaysia, Australia, dan negara-negara lainnya (lihat
http://m.muhammadiyah.or.id/id/news-9297-detail-bagaimana-muhammadiyah-di-luar-negeri-
simak-cerita-mereka-para-kader-persyarikatan.html).
[4] “……. untuk menunaikan kewajiban mengamalkan perintahperintah Allah dan mengikuti
sunnah Rasul-Nya, Nabi Muhammad saw, guna mendapat karunia dan ridla-Nya di dunia dan
akhirat, dan untuk mencapai masyarakat yang sentausa dan bahagia, disertai nikmat dan rahmat
Allah yang melimpah-limpah, sehingga merupakan “Suatu negara yang indah, bersih suci dan
makmur di bawah perlindungan Tuhan Yang Maha Pengampun“. Maka dengan Muhammadiyah
ini, mudah-mudahan ummat Islam dapatlah diantarkan ke pintu gerbang Syurga “Jannatun
Na’im” dengan keridlaan Allah Yang Rahman dan Rahim” (Lihat Mukaddimah Anggaran Dasar
Muhammadiyah).
[5] Pernyataan Pers Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 09/Per/I.0/I/2020 Tentang
Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila. Bismillahirrahmanirrahim. Pimpinan
Pusat Muhammadiyah telah mengkaji dengan seksama materi Rancangan Undang-Undang
Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang sekarang sedang dalam pembahasan di Badan
Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat.
Berdasarkan pengkajian tahap pertama Tim Pimpinan Pusat Muhammadiyah, materi RUU HIP
banyak yang bertentangan dengan UUD 1945 dan sejumlah Undang-undang, terutama Undang-
undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah berpendapat RUU HIP tidak terlalu urgen dan tidak perlu
dilanjutkan pembahasan pada tahapan berikutnya untuk disahkan menjadi Undang-undang.
Secara hukum kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai Dasar Negara sudah sangat kuat.
Landasan Perundang-undangan tentang Pancasila telah diatur di dalam TAP MPRS nomor
XX/1966 juncto TAP MPR nomor V/1973, TAP MPR nomor IX/1978, dan TAP MPR nomor
III/2000 beserta beberapa Undang-undang turunannya sudah sangat memadai. Dalam pasal 5 (e)
UU 12/2011 dan penjelasannya disebutkan bahwa pembentukan Peraturan Perundang-undangan
harus dilakukan berdasarkan pada asas kedayagunaan dan kehasilgunaan: Peraturan Perundang-
undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Meniadakan atau tidak mencantumkan
TAP MPRS No XXV/1966 dalam salah satu pertimbangan RUU HIP juga termasuk masalah
serius, padahal dalam TAP MPRS tersebut pada poin (a) tentang menimbang secara jelas
dinyatakan "Bahwa paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme pada inti hakekatnya
bertentangan dengan Pancasila".
Rumusan Pancasila sebagai Dasar Negara adalah sebagaimana yang disebutkan dalam
Pembukaan UUD 1945. Di dalam UU 12/2011 disebutkan bahwa Pancasila adalah sumber
segala sumber hukum (pasal 2) dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan (Pasal 3 ayat 1). Pancasila
dengan sila-sila yang ada di dalamnya mengandung nilai-nilai fundamental yang tidak dapat dan
tidak seharusnya diubah atau ditafsirkan ulang karena berpotensi menyimpang dari maksud dan
pengertian yang sebenarnya serta melemahkan kedudukan Pancasila sebagai Dasar
Negara.Memasukkan Trisila dan Ekasila maupun Ketuhanan yang berkebudayaan ke dalam
pasal RUU HIP dengan alasan historis pidato Soekarno 1 Juni 1945 sama dengan mereduksi
Pancasila rumusan final pada 18 Agustus 1945, serta mengundang kontroversi dengan
mengabaikan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 sebagai satu kesatuan rangkaian proses kesejarahan.
Kontroversi akan berkembang jika Trisila dan Ekasila maupun Ketuhanan yang berkebudayaan
dimasukkan dengan alasan historis, maka 7 kata dalam Piagam Jakarta juga dapat dimasukkan ke
dalam pasal RUU HIP dengan alasan historis yang sama.Di dalam RUU HIP terdapat materi-
materi tentang Pancasila yang bertentangan dengan rumusan Pancasila sebagaimana disebutkan
dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya pada Bab III (Pasal 5, 6, dan 7). Selain itu terdapat
banyak materi yang menyiratkan adanya satu sila yang ditempatkan lebih tinggi dari sila yang
lainnya, termasuk yang mempersempit dan mengesampingkan rumusan final sila Ketuhanan
Yang Maha Esa. Materi-materi yang bermasalah tersebut secara substantif bertentangan dengan
Pancasila yang setiap silanya merupakan satu kesatuan yang utuh. Hal tersebut juga bertentangan
dengan asas kesesuaian antara jenis, hirarki, dan materi muatan sebagaimana diatur dalam pasal
5 (c) UU 12/2011 yang di dalam penjelasannya disebutkan bahwa pembentukan Peraturan
Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan
jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan.
RUU HIP mendapatkan penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Jika pembahasan
dipaksakan untuk dilanjutkan berpotensi menimbulkan kontroversi yang kontra produktif dan
membuka kembali perdebatan dan polemik ideologis dalam sejarah perumusan Pancasila yang
sudah berakhir dan harus diakhiri setelah tercapai kesepakatan luhur, arif dan bijaksana dari para
pendiri bangsa. Kontroversi RUU HIP akan menguras energi bangsa dan bisa memecah belah
persatuan, lebih-lebih di tengah negara dan bangsa Indonesia menghadapi pandemi Covid-19
yang sangat berat dengan segala dampaknya. Tujuan Undang-undang adalah untuk menciptakan
tertib sosial, kedamaian, kesejahteraan, perlindungan dan kepastian bagi setiap warga negara
bukan sebaliknya.
Kedudukan Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) yang dibentuk berdasarkan Keputusan
Presiden nomor 7/2018 sudah sangat kuat. Sebagai Badan yang bertugas membantu Presiden
kedudukan BPIP tidak perlu ditetapkan dengan UU secara khusus. Agenda terberat yang sangat
penting dan prioritas ialah menjalankan Pancasila secara nyata dalam seluruh aspek kehidupan
disertai keteladanan para pejabat negara dan ketaatan warga bangsa. Mengandalkan terus
menerus peneguhan dan pengamalan Pancasila pada perangkat Perundang-undangan lebih-lebih
yang kontroversial justru semakin menjauhkan diri dari implementasi Pancasila dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Dalam situasi Pandemi Covid-19 dan dampak-dampak yang ditimbulkannya, terutama dalam
bidang sosial dan ekonomi diperlukan situasi dan kondisi yang aman dan persatuan yang kuat.
Dalam hubungannya dengan Pancasila, yang sangat penting dilakukan dan diperkuat adalah
melaksanakan Pancasila dan nilai-nilai yang ada di dalamnya dalam kehidupan pribadi,
berbangsa, dan bernegara. Seluruh institusi kenegaraan di eksekutif, legislatif, yudikatif dan
lembaga-lembaga resmi pemerintahan lainnya semestinya berkonsentrasi penuh dan saling
bersinergi untuk menangani pandemi Covid-19 dan segala dampaknya secara serius dan optimal.
Muhammadiyah mendesak DPR untuk lebih sensitif dan akomodatif terhadap arus aspirasi
terbesar masyarakat Indonesia yang menolak RUU HIP dengan tidak memaksakan diri
melanjutkan pembahasan RUU HIP untuk kepentingan kelompok tertentu dan hendaknya
mengutamakan persatuan dan kemajuan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan
golongan. DPR maupun pemerintah dengan kewenangan yang dimilikinya memang secara
politik dapat menetapkan atau memutuskan apapun dengan mengabaikan aspirasi publik. Tetapi
politik demokrasi juga meniscayakan checks and balances serta agregasi aspirasi dan
kepentingan rakyat sebagai perwujudan jiwa dan semangat gotong royong dan permusyawaratan.
Selebihnya secara moral segala bentuk kekuasaan harus ditunaikan dengan benar dan amanah
karena bagi orang yang Berketuhanan Yang Maha Esa serta beragama semua amanat harus
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Yang Maha Kuasa.
Bangsa Indonesia perlu belajar dari dua pengalaman sejarah kekuasaan di masa lalu ketika
perumusan Perundang-undangan atau kebijakan penerapan ideologi Pancasila disalahgunakan
dan dijadikan instrumen kekuasaan yang bersifat monolitik oleh penguasa. DPR, Pemerintah dan
bangsa Indonesia hendaknya tidak mengulangi kesalahan sejarah tersebut, karena jelas
bertentangan dengan Pancasila dan merugikan kepentingan seluruh hajat hidup bangsa Indonesia
dalam mewujudkan cita-cita nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengimbau agar semua pihak di tubuh bangsa tetap tenang dan
memupuk kebersamaan dalam semangat Persatuan Indonesia. Semoga Allah SWT melindungi
bangsa Indonesia (http://www.muhammadiyah.or.id/id/download--1408.html).
[6] Secara historis Muhammadiyah memiliki hubungan yang sangat erat dengan pancasila.
Tokoh-tokoh Muhammadiyah, seperti Kasman Singodimedjo, Ki Bagus Hadikusumo, dan Kiai
Kahar Muzakkir, ikut serta dalam menyempurnakan rumusan Pancasila pada 18 Agustus 1945.
Hanya saja, permintaan itu (pemberlakuan asas tunggal) tidak bisa diterima Muhammadiyah
dengan begitu saja tanpa adanya pertimbangan.
Dalam pandangan Muhammadiyah, jika dasar Islam diganti dengan Pancasila, hal itu sama saja
dengan membunuh karakter dan jati diri Muhammadiyah sebagai ormas Islam. Menolak
Pancasila tentu tidak mungkin, tetapi menghapus asas Islam di Muhammadiyah jauh lebih tidak
mungkin lagi.
Dalam menyikapi hal itu, PP Muhammadiyah menggelar Sidang Tanwir (permusyawaratan
tertinggi di bawah Muktamar) pada Mei 1983. Sidang itu digelar karena agenda Muktamar ke-41
Muhammadiyah ditunda hingga pemerintah mengesahkan undang-undang mengenai asas tunggal
itu.
Lukman Harun dalam buku Muhammadiyah dan Asas Pancasila menjelaskan, Sidang Tanwir
menghasilkan tiga hal penting. Pertama, Muhammadiyah sepakat memasukkan Pancasila ke
dalam Anggaran Dasar, dengan tidak mengubah asas Islam. Kedua, mengingat masalah yang
sedang dihadapi adalah masalah nasional, maka PW, PD, dan yang ada dibawahnya tidak
diperbolehkan mengambil sikap terkait persoalan ini.
Setelah Muhammadiyah melaksanakan Muktamar ke-41 itu, Muhammadiyah menyatakan
menerima asas tunggal Pancasila. Persyarikatan pun segara menyesuaikan diri dengan mengubah
AD/ART (lihat antara lain: Lukman Harun, Muhammadiyah dan Asas Pancasila, Jakarta : Pustaka
Panjimas, 1986; https://ibtimes.id/pak-ar-fachruddin-sejarah-pancasila-di-muhammadiyah-dan-
peran-pak-ar/).
[7] Konsep Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom) adalah ideologi politik yang
dicetuskan Presiden Soekarno yang sekaligus menjadi ciri khas Demokrasi Terpimpin. Gagasan
ini sudah dicetuskannya sebelum Indonesia merdeka. Pada tahun 1927, ia menulis rangkaian
artikel berjudul "Nasionalisme, Islam, dan Marxisme" dalam Indonesia Moeda, sebuah publikasi
terbitan "Klub Studi Umum", klub yang didirikan Soekarno dan rekan-rekannya di Bandung.
Dalam artikel tersebut, Soekarno mendesakkan pentingnya sebuah persatuan nasional kaum
nasionalis, Islamis, Marxis dalam perlawanan tanpa kompromi (non-kooperatif) terhadap
Belanda. Seiring dengan pemberlakuan Nasakom, konsolidasi PKI pun meningkat sangat massif.
Muhammadiyah sendiri pada kurun waktu tersebut terjadi perang dingin dan perang ideologi,
dan dibubarkannya Masyumi menjadi tantangan bagi Muhamadiyah untuk berjuang sendiri. Juga
ketika PKI ingin membubarkan HMI, Muhammadiyah melakukan pembelaan sekuat tenaga.
[8] Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan (MEK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah pernah merilis
aset yang dimiliki persyarikatan. Amal usaha pendidikan jumlahnya 3.370 TK, 2.901 SD/MI,
1.761 SMP/MTs, 941 SMA/MA/SMK, 67 pondok pesantren, 167 perguruan tinggi. Amal usaha
kesehatan tercatat sebanyak 47 rumah sakit, 217 poliklinik, 82 klinis bersalin. Sedangkan amal
usaha ekonomi ada 1 bank syariah (saham Muhammadiyah 2,5%), 26 BPR/BPRS dan 275
BMT/BTM, 1 Induk Koperasi BTM, 81 Koperasi Syariah, 22 minimart dan 5 kedai pesisir. Amal
usaha pelayanan sosial memiliki lebih 400 panti asuhan, rumah singgah. Data lain menyebut
secara rinci 318 panti asuhan, 54 panti jompo, dan 82 rehabilitasi cacat. Seluruh aset
Muhammadiyah itu ada yang mencoba menaksir nilainya mencapai Rp 320 triliun. Belum lagi
ditambah kekayaan kas yang dimiliki amal usaha yang tersimpan di bank jumlahnya bisa
melebihi Rp 1.000 triliun (lihat: https://pwmu.co/141643/04/06/pengikut-muhammadiyah-kecil-
asetnya-besar-ini-kuncinya/).
[8] PP Muhammadiyah, Negara Pancasila Sebagai Dâr Al-‘Ahdi Wa Al-Syahâdah, Jogjakarta,
2015.
[9] https://pwmu.co/158805/08/18/intel-jepang-dorong-bung-hatta-hapus-tujuh-kata-pancasila/.
[10] Ilyas, Islam dan Kebangsaan: Pergumulan dalam BPUPKI, PPKI, dan Piagam Jakarta,
Buletin Al-Turas Vol. 26 No. 1 January 2020, pp. 19-35.
[11] Lihat antara lain disertasi Suwarno, Muhammadiyah dan Masyumi di Yogyakarta 1945-
1960, Program Ilmu-ilmu Humaniora (Sejarah) Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, jurnal patrawidya hlm 407-428, Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta.
[12] Lihat antara lain Siti Maisaroh, Pandangan Muhammadiyah terhadap perubahan politik era
orde baru, Thesis IAIN Sunan Ampel Surabaya, 1998.
[13]