Anda di halaman 1dari 9

MUHAMMADIYAH DAN PAN

Oleh Shohibul Anshor Siregar


Muhammadiyah tidak berpolitik (praktis). “Kiat” itu sudah ditancapkan sejak awal pendiriannya.
[1] Dalam konsistensinya seakan membiarkan keberlangsungan hiruk-pikuk perebutaan
kekuasaan dan maraknya korupsi yang seolah tak lagi menjadi tabu nasional, ia justru
menyibukkan diri mengurusi jama’ahnya yang kebanyakan adalah dhu’afa (orang lemah dan
miskin). Tekun melakukan kaderisasi dan berdakwah melalui begitu banyak amal usaha dan
cabang-cabang kegiatannya [2] hingga perluasan khusus yang kini terdapat di luar negeri.[3]
Tetapi ia bukan tidak perduli dan bukan awam politik sama sekali. Bagaimana mungkin sebuah
organisasi yang memiliki cita-cita politik yang besar, yakni mewujudkan sebuah negeri yang
indah, adil dan Makmur, yang tanpa cela, tak faham politik? Dalam bahasa khas organisasi ini
cita-cita besar itu digaungkan dengan ungkapan “baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur” [4].
Tersebab itu ia sangat resah ketika muncul tanda-tanda yang amat mengkhawatirkan tentang
diganggunya philosopgiesche Grondslag (Belanda) atau weltanschauung philosofi grounslah
(Jerman) itu. Iyalah, Muhammadiyah memang sudah lama resah. Bahkan jauh sebelum heboh
RUU HIP yang membawa perpecahan nasional yang amat serius itu.[5] Ia pun pastilah akan
terus sangat setia dan tetap akan sangat cermat membaca tanda-tanda yang membahayakan
tentang itu, serta dengan caranya sendiri, yang kerap seperti seolah menghindari tujuan, akan
terus melakukan perlawanan non-violence. Kisah paling representatif untuk itu ialah ketika
Soeharto ingin agar semua organisasi secara formal mencantumkan Pancasila sebagai dasar
pendirian. [6] Juga sebelumnya ketika Soekarno memsosialisasikan konsep Nasionalisme Agama
dan Komunisme (Nasakom) |7|
Dalam non-violence movementnya iakan akan berterus terang tentang dirinya yang lebih
mementingkan bangsa dan jama’ahnya dan tak akan rela berbenturan dengan kekuatan mana
pun, apalagi akan membawa korban. Dalam agendanya yang lembut ia ingin tak seorang pun
warganya tak tercerahkan dan karena ceroboh menjadi korban sia-sia dalam rangsangan liar
gejolak politik yang keras dan penuh tipu muslihat itu.
Bentuk perlawanan non-violencenya yang tak pernah surut sejak zaman penjajahan ialah
berdakwah amar makruf dan nahi munkar. Mendirikan banyak sekali amal usaha dan
menggerakkan pranata-pranata pemberdayaan adalah bentuk paling murni sebagai alterasi
substantif atas negara, meski tak harus disebut sebagai perfect state in the real state. Ia ingin tak
diganggu dalam kekayaan amal itu dan di sana dakwahnya menjejaki semua dimensi masalahat
hari ini dan masa depan yang bahkan negara bisa benar-benar abai terhadapnya.[7]
Ketika Muktamar ke 47 Tahun 2015 lalu di Makassar, ia pun memutuskan sebuah “panduan
berpancasila” untuk dirinya dan untuk ditawarkan kepada seluruh komponen bangsa yang
dinamai “al-dar al-ahdi wa al-syahadah”. [8] Konsep ini menegaskan pemahaman
Muhammadiyah tentang Negara Pancasila yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945,
sebagai sebuah hasil konsensus (kesepakatan) nasional, yang secara cita-cita dan perjuangan
wajib menjadi tempat pembuktian atau kesaksian untuk menjadi negeri yang aman dan damai,
menuju kehidupan yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat dalam naungan ridha
Allah SWT.
Kesepakatan (konsensus) nasional itulah yang diistilahkan dengan al-dar al-ahdi (Negara
Kesepakatan Nasional). Sedangkan istilah al-dar al-syahadah dimaknai sebagai Negara
Kesaksian (tekad dan cita-cita). Indonesia sebagai Negara Pancasila, terus-menerus wajib
diperjuangkan menapaki kondisi meningkat berjelanjutan (well-being) terus menapaki jalan lebih
baik dari waktu ke waktu.
Muhammadiyah meyakini pandangan kebangsaan yang bertolak dari konsep al-dar al-ahdi wa
al-syahadah ini sejalan dengan cita-cita Islam tentang Negara idaman yang dalam istilah yang
populer di lingkungan Muhammadiyah disebut baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negeri
yang baik dan berada dalam ampunan Allah SWT).
Secara optimistik Muhammadiyah memandang negara ideal berdasarkan konsep al-dar al-ahdi
wa al-syahadah (baca: addarul ahdi wasysyahadah) itu Indonesia benar-benar sangat berpeluang
beroleh berkah Allah SWT karena penduduknya memiliki sifat-sifat beriman dan bertaqwa.
Beribadah dan memakmurkannya, menjalankan fungsi kekhalifahan dan tidak membuat
kerusakan di dalamnya. Memiliki relasi harmonis dengan Allah, juga terhadap sesama manusia.
Juga diwajibkan mampu mengembangkan pergaulan global yang setara dan berdasarkan taqwa,
dan dengan semua itu diharapkan Indonesia dapat menjadi Negara unggulan yang bermartabat.
Dalam perspektif Muhammadiyah Islam adalah agama kemajuan yang diturunkan untuk
mewujudkan kehidupan umat manusia yang tercerahkan dan terbangunnya peradaban semesta.
Kehidupan kebangsaan maupun kemanusiaan universal yang digerakkan Muhammadiyah selalu
berlandaskan komitmen menyemai benih-benih kebenaran, kebaikan, kedamaian, keadilan,
kemaslahatan, kemamkmuran dan keutamaan hidup menuju peradaban utama yang melahirkan
keunggulan lahiriah dan ruhaniah.
Islam ditegakkan untuk menjunjung tinggi kemanusiaan tanpa driskiminasi, menggelorakan misi
anti-perang, anti-terorisme, anti-penindasan, anti-keterbelakangan, dan anti terhadap segala
bentuk pengrusakan di muka bumi seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan kejahatan
kemanusiaan, eksploitasi alam, serta berbagai kemungkaran.
Hal yang kini diperjuangkan Muhammadiyah bukanlah sesuatu yang baru. Organisasi yang
berdiri tahun 1912 ini melalui para kadernya tercatat memiliki keterlibatan aktif dalam usaha-
usaha menuju kemerdekaan. Dulu memang orang-orang Muhammadiyah ikut merumuskan
Pancasila. Menurut sejarah, bangsa Indonesia dari tanggal 22 Juni 1945 hingga tanggal 17
Agustus 1945 memiliki ideologi Pancasila seperti yang tertuang dalam Piagam Jakarta. Tetapi
pada 18 Agustus 1945, ada tokoh dari Indonesia Timur yang mengajukan keberatan atas tujuh
kata dalam Sila pertama Pancasila itu. Mereka, melalui Wakil Presiden Mohammad Hatta,
melakukan lobby intensif agar tujuh kata dalam Sila pertama Pancasila itu dihilangkan dan
akhirnya diterima oleh Panitia 9 dari kalangan ummat Islam. [9]
Tokoh-tokoh Muhammadiyah ikut menyelesaikan masalah dari sesuatu yang sudah disepakati
dengan bulat (bukan dengan voting) sebelumnya. Bukan sebuah apologi jika dikatakan bahwa
dari sejarah yang ada, mendahulukan kepentingan bangsa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh
Muhammadiyah dan tokoh umat Islam lainnya, [10]
Pada zaman Orde Lama Muhammadiyah berjuang merealisasikan aspirasi umat dan bangsa
melalui partai politik yang tersedia, khususnya Masyumi. [11] Tetapi bentuk keterlibatannya
bukan imitasi dari prinsip bebas aktif, melainkan pemisahan agenda dan kelembagaan
perjuangan. Tetap “mensucihamakan” Muhammadiyah dari politik praktis membuatnya tak
terimbas seperti penyesalan sebagaimana organisasi besar umat Islam lainnya yang, pernah,
setelah cukup letih, akhirnya mendeklarasikan kesadaran untuk segera kembali ke khittahnya
semula.
Muhammadiyah secara substantif memiliki kepemihakan yang jelas, merekomendasikan pilihan-
pilihan politik dalam pemilu kepada warganya dengan begitu halus dan santun. Dengan begitu
pastilah terbaca ia pernah mendukung PPP dengan cara yang begitu samar. Ada saja catatan yang
membawa ekses luas dan lama ketika cara yang ditempuh penguasa sedikit pongah atas nama
demokrasi dan pembangunan untuk berada pada pigaknya. Itu berulangkali dan Muhammadiyah
terkadang mengelus dada dan memperbanyak sabar. [12]
Dalam perulangan sistem politik multi partai seperti sekarang ini, terutama sejak tumbangnya
Orde Baru, Muhammadiyah mencatat perulangan jawaban prototype sikapnya yang orisinal.
Menggiurkan untuk bisa berkuasa di sebuah penghujung era yang mendasari sebuah awal
reformulasi anarkisme (ketiadaan pola) politik pasca kejatuhan Orde Baru. Seseorang belia yang
saat itu adalah penjabat nomor satu di dalam Muhammadiyah telah diijtihadkan lebih baik
meninggalkan Muhammadiyah secara organisatoris untuk diinfaqqan dalam dunia politik praktis.
Dialah Mohammad Amien Rais, anak kampus dari Jogja. Ia tak dilepas sendirian menjajal
kerumitan dan kekerasan politik. Berdirilah Partai Amanat Nasional (PAN). Partai yang
sesungguhnya beroleh “pisang bakubak” dalam mengembangkan jejaring ke seluruh wilayah
tanah air. Adalah aktivis Muhammadiyah yang berbakat menonjol dalam politik praktis yang
juga diinfaqqan mengikuti dan membantu Mohammad Amien Rais dalam mendirikan partai
reformasi itu.
Benar bahwa waktu itu warga Muhammadiyah banyak yang cukup frustrasi karena jejak
kepartaiannya selama sekian masa akan sedikit terganggu jika PAN akan menyedot dukungan.
Diketahui KH Dahlan, pendiri organisasi ini (1912), sangat serius mematwakan “pergilah
menabur dakwah dan karya profesional kemana saja dan jangan lupa untuk kembali dan jangan
menjadi kelapa condong yang setelah dibesarkan di dalam kawah candradimuka kaderisasi
Muhammadiyah justru lebih menguntungkan bagi pihak lain”. Orang-orang itu, politisi
Muhammadiyah yang ada di semua partai (Partai Orde Baru: PPP, Golkar dan PDIP) selalu
dapat memahami pesan sacral itu dan memang sejumlah orang pastilah tidak selalu dapat
berlapang dada menerima kenyataan itu.
Kini PAN juga tetap bukan pilihan tunggal dalam bathin warga Muhammadiyah. Ada kontestasi
damai yang terus berlangsung, khususnya antara PAN dan PKS. Tidak ada jaminan warga
Muhammadiyah akan menjadi pendukung mutlak salah satu di antara keduanya. Ada rumus
political marketing yang akan menghasilkan ketertarikan. Substansi keperwakilan kedua partai
inilah yang akan menentukan.
Pada saat sekarang PAN mengalami dinamika baru dengan bayang-bayang serius akan
dibentuknya sebuah partai baru oleh pendiri PAN yang dulu diinfaqqan secara ihlas, Mohammad
Amien Rais. Orang-orang PAN tidak perlu disaksikan menangis untuk mengetahui betapa
resahnya mereka berhadapan dengan rencana itu.
Diplomasi substantif diperlukan oleh PAN. Ada orang seperti Soetrisno Bachir (mantan Ketua
Umum PAN pengganti Mohammad Amien Rais) yang memiliki tautan bathin yang tak pernah
putus dengan Mohammad Amien Rais. Jika Bahasa bathin Soetrisno Bachir tak lagi efektif,
maka tibalah ancaman serius bagi PAN.
Diam-diam warga Muhammadiyah banyak yang membenarkan inisiatif Mohammad Amien Rais.
Mengapa? Mereka ikut kecewa sekecewa Mohammad Amien Rais. Muhammadiyah tetap
memiliki kebutuhan jaringan kelembagaan untuk memperjuangkan aspirasinya. Tetapi jika
keluhan Mohammad Amien Rais benar-benar diterjemahkan, begitu sukar untuk menahan
eksodus dukungan ke partai baru Mohammad Amien Rais itu.
Ini tidak pantang dibicarakan. Bahwa politik identitas itu abadi. Jika di antara sekian banyak
partai yang mengatasnamakan aspirasi umat Islam menambah lagi kesengitan kontestasinya
selama ini, maka pasca pemilu berikut ada kemungkinan dua scenario. Pertama, mereka akan
membagi agak berimbang semua suara captive, tetapi hanya menghasilkan angka perolehan
(suara pemilu) yang tak melewati ambang batas parliamentary threshold. Kedua, akan ada satu
di antara partai-partai itu yang mampu meraih suara melebihi yang lain sehingga partai yang lain
dengan sendirinya terpaksa membuat partai baru jika orang-orangnya masih berkeingin
menghadapi pemilu berikutnya.
Mereka tentu tidak bisa diberi amar “pasca pemilu mendatang semua harus melebur ke partai
yang paling memungkinkan (berdasarkan perolehan suara) dan karakter modernitas yang lebih
menjanjikan masa depan”. Itu tidak mungkin sama sekali.
Pertanyaan serius adalah apakah nanti PAN akan ditinggalkan oleh warga Muhammadiyah?
Buatlah optimisme untuk menjawab ini dengan pertama, memberi jawaban yang meyakinkan
tentang perspektif masa depan untuk merealisasikan gagasan dan cita-cita besar baldah
thayyibah wa rabbun ghafur dan penjagaan setia atas ancaman penyimpangan serius dari konsep
al-dar al-ahdi wa al-syahadah.
Tetapi langkah awalnya dapat dimulai dengan menseleksi figur terpenting yang paling
representatif menurut ukuran kekaderan Muhammadiyah untuk direkrut menjadi pengurus PAN
di daerah-daerah. Keresahan Muhammadiyah juga selalu termanifestasi dengan berbagai cara
ketika mereka menyaksikan partai yang dulu mereka support habis-habisan justru kini dalam
gagasan dan personalia kepartaian dan kursi legislatif sama sekali tak mencerminkan perjuangan
Muhammadiyah.
Penulis dosen FISIP UMSU. Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif &
Swadaya (‘nBASIS).

[1] Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah
bertepatan tanggal 18 November 1912 Miladiyah di Yogyakarta untuk jangka waktu tidak
terbatas. Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid,
bersumber pada Al-Qur`an dan As-Sunnah. Muhammadiyah berasas Islam. Maksud dan tujuan
Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud
masyarakat Islam yang sebenar-benarnya (Lihat Anggaran Dasar Muhammadiyah pasal 1-6).
[2] Untuk mencapai maksud dan tujuan, Muhammadiyah melaksanakan Da’wah Amar Ma’ruf
Nahi Munkar dan Tajdid yang diwujudkan dalam usaha di segala bidang kehidupan. Usaha
Muhammadiyah diwujudkan dalam bentuk amal usaha, program, dan kegiatan, yang macam dan
penyelenggaraannya diatur dalam Anggaran Rumah Tangga. Penentu kebijakan dan penanggung
jawab amal usaha, program, dan kegiatan adalah Pimpinan Muhammadiyah (Lihat Anggaran
Dasar Muhammadiyah pasal 7).
[3] Setelah Muktamar Muhammadiyah di Jakarta tahun 2000, muncul gagasan perlunya
pendirian Muhammadiyah di luar negeri. Ada beberapa alasan mengapa Muhammadiyah di luar
negeri perlu didirikan. Pertama, perlunya memperluas dakwah perjuangan Islam yang rahmatan
lil alamin dalam perspektif Muhammadiyah tidak hanya di negara Indonesia tetapi ke berbagai
negara. Kedua, banyaknya kader, anggota dan warga Muhammadiyah yang menyebar ke
berbagai negara baik karena alasan studi maupun kerja dan mereka memerlukan ruang untuk
berorganisasi. Atas dasar alasan dan tujuan di atas tersebut, pada akhirnya Muhammadiyah di
luar negeri dinamakan Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM).
Saat ini PCIM terus berkembang dan sudah mencapai 23 buah, di antaranya tersebar di berbagai
negara, seperti Mesir, Iran, Sudan, Belanda, Jerman, Inggris, Cina, Taiwan, Korea Selatan, Arab
Saudi, Malaysia, Australia, dan negara-negara lainnya (lihat
http://m.muhammadiyah.or.id/id/news-9297-detail-bagaimana-muhammadiyah-di-luar-negeri-
simak-cerita-mereka-para-kader-persyarikatan.html).
[4] “……. untuk menunaikan kewajiban mengamalkan perintahperintah Allah dan mengikuti
sunnah Rasul-Nya, Nabi Muhammad saw, guna mendapat karunia dan ridla-Nya di dunia dan
akhirat, dan untuk mencapai masyarakat yang sentausa dan bahagia, disertai nikmat dan rahmat
Allah yang melimpah-limpah, sehingga merupakan “Suatu negara yang indah, bersih suci dan
makmur di bawah perlindungan Tuhan Yang Maha Pengampun“. Maka dengan Muhammadiyah
ini, mudah-mudahan ummat Islam dapatlah diantarkan ke pintu gerbang Syurga “Jannatun
Na’im” dengan keridlaan Allah Yang Rahman dan Rahim” (Lihat Mukaddimah Anggaran Dasar
Muhammadiyah).
[5] Pernyataan Pers Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 09/Per/I.0/I/2020 Tentang
Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila. Bismillahirrahmanirrahim. Pimpinan
Pusat Muhammadiyah telah mengkaji dengan seksama materi Rancangan Undang-Undang
Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang sekarang sedang dalam pembahasan di Badan
Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat.
Berdasarkan pengkajian tahap pertama Tim Pimpinan Pusat Muhammadiyah, materi RUU HIP
banyak yang bertentangan dengan UUD 1945 dan sejumlah Undang-undang, terutama Undang-
undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah berpendapat RUU HIP tidak terlalu urgen dan tidak perlu
dilanjutkan pembahasan pada tahapan berikutnya untuk disahkan menjadi Undang-undang.
Secara hukum kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai Dasar Negara sudah sangat kuat.
Landasan Perundang-undangan tentang Pancasila telah diatur di dalam TAP MPRS nomor
XX/1966 juncto TAP MPR nomor V/1973, TAP MPR nomor IX/1978, dan TAP MPR nomor
III/2000 beserta beberapa Undang-undang turunannya sudah sangat memadai. Dalam pasal 5 (e)
UU 12/2011 dan penjelasannya disebutkan bahwa pembentukan Peraturan Perundang-undangan
harus dilakukan berdasarkan pada asas kedayagunaan dan kehasilgunaan: Peraturan Perundang-
undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Meniadakan atau tidak mencantumkan
TAP MPRS No XXV/1966 dalam salah satu pertimbangan RUU HIP juga termasuk masalah
serius, padahal dalam TAP MPRS tersebut pada poin (a) tentang menimbang secara jelas
dinyatakan "Bahwa paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme pada inti hakekatnya
bertentangan dengan Pancasila".
Rumusan Pancasila sebagai Dasar Negara adalah sebagaimana yang disebutkan dalam
Pembukaan UUD 1945. Di dalam UU 12/2011 disebutkan bahwa Pancasila adalah sumber
segala sumber hukum (pasal 2) dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundang-undangan (Pasal 3 ayat 1). Pancasila
dengan sila-sila yang ada di dalamnya mengandung nilai-nilai fundamental yang tidak dapat dan
tidak seharusnya diubah atau ditafsirkan ulang karena berpotensi menyimpang dari maksud dan
pengertian yang sebenarnya serta melemahkan kedudukan Pancasila sebagai Dasar
Negara.Memasukkan Trisila dan Ekasila maupun Ketuhanan yang berkebudayaan ke dalam
pasal RUU HIP dengan alasan historis pidato Soekarno 1 Juni 1945 sama dengan mereduksi
Pancasila rumusan final pada 18 Agustus 1945, serta mengundang kontroversi dengan
mengabaikan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 sebagai satu kesatuan rangkaian proses kesejarahan.
Kontroversi akan berkembang jika Trisila dan Ekasila maupun Ketuhanan yang berkebudayaan
dimasukkan dengan alasan historis, maka 7 kata dalam Piagam Jakarta juga dapat dimasukkan ke
dalam pasal RUU HIP dengan alasan historis yang sama.Di dalam RUU HIP terdapat materi-
materi tentang Pancasila yang bertentangan dengan rumusan Pancasila sebagaimana disebutkan
dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya pada Bab III (Pasal 5, 6, dan 7). Selain itu terdapat
banyak materi yang menyiratkan adanya satu sila yang ditempatkan lebih tinggi dari sila yang
lainnya, termasuk yang mempersempit dan mengesampingkan rumusan final sila Ketuhanan
Yang Maha Esa. Materi-materi yang bermasalah tersebut secara substantif bertentangan dengan
Pancasila yang setiap silanya merupakan satu kesatuan yang utuh. Hal tersebut juga bertentangan
dengan asas kesesuaian antara jenis, hirarki, dan materi muatan sebagaimana diatur dalam pasal
5 (c) UU 12/2011 yang di dalam penjelasannya disebutkan bahwa pembentukan Peraturan
Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan
jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan.
RUU HIP mendapatkan penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Jika pembahasan
dipaksakan untuk dilanjutkan berpotensi menimbulkan kontroversi yang kontra produktif dan
membuka kembali perdebatan dan polemik ideologis dalam sejarah perumusan Pancasila yang
sudah berakhir dan harus diakhiri setelah tercapai kesepakatan luhur, arif dan bijaksana dari para
pendiri bangsa. Kontroversi RUU HIP akan menguras energi bangsa dan bisa memecah belah
persatuan, lebih-lebih di tengah negara dan bangsa Indonesia menghadapi pandemi Covid-19
yang sangat berat dengan segala dampaknya. Tujuan Undang-undang adalah untuk menciptakan
tertib sosial, kedamaian, kesejahteraan, perlindungan dan kepastian bagi setiap warga negara
bukan sebaliknya.
Kedudukan Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) yang dibentuk berdasarkan Keputusan
Presiden nomor 7/2018 sudah sangat kuat. Sebagai Badan yang bertugas membantu Presiden
kedudukan BPIP tidak perlu ditetapkan dengan UU secara khusus. Agenda terberat yang sangat
penting dan prioritas ialah menjalankan Pancasila secara nyata dalam seluruh aspek kehidupan
disertai keteladanan para pejabat negara dan ketaatan warga bangsa. Mengandalkan terus
menerus peneguhan dan pengamalan Pancasila pada perangkat Perundang-undangan lebih-lebih
yang kontroversial justru semakin menjauhkan diri dari implementasi Pancasila dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Dalam situasi Pandemi Covid-19 dan dampak-dampak yang ditimbulkannya, terutama dalam
bidang sosial dan ekonomi diperlukan situasi dan kondisi yang aman dan persatuan yang kuat.
Dalam hubungannya dengan Pancasila, yang sangat penting dilakukan dan diperkuat adalah
melaksanakan Pancasila dan nilai-nilai yang ada di dalamnya dalam kehidupan pribadi,
berbangsa, dan bernegara. Seluruh institusi kenegaraan di eksekutif, legislatif, yudikatif dan
lembaga-lembaga resmi pemerintahan lainnya semestinya berkonsentrasi penuh dan saling
bersinergi untuk menangani pandemi Covid-19 dan segala dampaknya secara serius dan optimal.
Muhammadiyah mendesak DPR untuk lebih sensitif dan akomodatif terhadap arus aspirasi
terbesar masyarakat Indonesia yang menolak RUU HIP dengan tidak memaksakan diri
melanjutkan pembahasan RUU HIP untuk kepentingan kelompok tertentu dan hendaknya
mengutamakan persatuan dan kemajuan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan
golongan. DPR maupun pemerintah dengan kewenangan yang dimilikinya memang secara
politik dapat menetapkan atau memutuskan apapun dengan mengabaikan aspirasi publik. Tetapi
politik demokrasi juga meniscayakan checks and balances serta agregasi aspirasi dan
kepentingan rakyat sebagai perwujudan jiwa dan semangat gotong royong dan permusyawaratan.
Selebihnya secara moral segala bentuk kekuasaan harus ditunaikan dengan benar dan amanah
karena bagi orang yang Berketuhanan Yang Maha Esa serta beragama semua amanat harus
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Yang Maha Kuasa.
Bangsa Indonesia perlu belajar dari dua pengalaman sejarah kekuasaan di masa lalu ketika
perumusan Perundang-undangan atau kebijakan penerapan ideologi Pancasila disalahgunakan
dan dijadikan instrumen kekuasaan yang bersifat monolitik oleh penguasa. DPR, Pemerintah dan
bangsa Indonesia hendaknya tidak mengulangi kesalahan sejarah tersebut, karena jelas
bertentangan dengan Pancasila dan merugikan kepentingan seluruh hajat hidup bangsa Indonesia
dalam mewujudkan cita-cita nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengimbau agar semua pihak di tubuh bangsa tetap tenang dan
memupuk kebersamaan dalam semangat Persatuan Indonesia. Semoga Allah SWT melindungi
bangsa Indonesia (http://www.muhammadiyah.or.id/id/download--1408.html).
[6] Secara historis Muhammadiyah memiliki hubungan yang sangat erat dengan pancasila.
Tokoh-tokoh Muhammadiyah, seperti Kasman Singodimedjo, Ki Bagus Hadikusumo, dan Kiai
Kahar Muzakkir, ikut serta dalam menyempurnakan rumusan Pancasila pada 18 Agustus 1945.
Hanya saja, permintaan itu (pemberlakuan asas tunggal) tidak bisa diterima Muhammadiyah
dengan begitu saja tanpa adanya pertimbangan.
Dalam pandangan Muhammadiyah, jika dasar Islam diganti dengan Pancasila, hal itu sama saja
dengan membunuh karakter dan jati diri Muhammadiyah sebagai ormas Islam. Menolak
Pancasila tentu tidak mungkin, tetapi menghapus asas Islam di Muhammadiyah jauh lebih tidak
mungkin lagi.
Dalam menyikapi hal itu, PP Muhammadiyah menggelar Sidang Tanwir (permusyawaratan
tertinggi di bawah Muktamar) pada Mei 1983. Sidang itu digelar karena agenda Muktamar ke-41
Muhammadiyah ditunda hingga pemerintah mengesahkan undang-undang mengenai asas tunggal
itu.
Lukman Harun dalam buku Muhammadiyah dan Asas Pancasila menjelaskan, Sidang Tanwir
menghasilkan tiga hal penting. Pertama, Muhammadiyah sepakat memasukkan Pancasila ke
dalam Anggaran Dasar, dengan tidak mengubah asas Islam. Kedua, mengingat masalah yang
sedang dihadapi adalah masalah nasional, maka PW, PD, dan yang ada dibawahnya tidak
diperbolehkan mengambil sikap terkait persoalan ini.
Setelah Muhammadiyah melaksanakan Muktamar ke-41 itu, Muhammadiyah menyatakan
menerima asas tunggal Pancasila. Persyarikatan pun segara menyesuaikan diri dengan mengubah
AD/ART (lihat antara lain: Lukman Harun, Muhammadiyah dan Asas Pancasila, Jakarta : Pustaka
Panjimas, 1986; https://ibtimes.id/pak-ar-fachruddin-sejarah-pancasila-di-muhammadiyah-dan-
peran-pak-ar/).
[7] Konsep Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom) adalah ideologi politik yang
dicetuskan Presiden Soekarno yang sekaligus menjadi ciri khas Demokrasi Terpimpin. Gagasan
ini sudah dicetuskannya sebelum Indonesia merdeka. Pada tahun 1927, ia menulis rangkaian
artikel berjudul "Nasionalisme, Islam, dan Marxisme" dalam Indonesia Moeda, sebuah publikasi
terbitan "Klub Studi Umum", klub yang didirikan Soekarno dan rekan-rekannya di Bandung.
Dalam artikel tersebut, Soekarno mendesakkan pentingnya sebuah persatuan nasional kaum
nasionalis, Islamis, Marxis dalam perlawanan tanpa kompromi (non-kooperatif) terhadap
Belanda. Seiring dengan pemberlakuan Nasakom, konsolidasi PKI pun meningkat sangat massif.
Muhammadiyah sendiri pada kurun waktu tersebut terjadi perang dingin dan perang ideologi,
dan dibubarkannya Masyumi menjadi tantangan bagi Muhamadiyah untuk berjuang sendiri. Juga
ketika PKI ingin membubarkan HMI, Muhammadiyah melakukan pembelaan sekuat tenaga.
[8] Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan (MEK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah pernah merilis
aset yang dimiliki persyarikatan. Amal usaha pendidikan jumlahnya 3.370 TK, 2.901 SD/MI,
1.761 SMP/MTs, 941 SMA/MA/SMK, 67 pondok pesantren, 167 perguruan tinggi. Amal usaha
kesehatan tercatat sebanyak 47 rumah sakit, 217 poliklinik, 82 klinis bersalin. Sedangkan amal
usaha ekonomi ada 1 bank syariah (saham Muhammadiyah 2,5%), 26 BPR/BPRS dan 275
BMT/BTM, 1 Induk Koperasi BTM, 81 Koperasi Syariah, 22 minimart dan 5 kedai pesisir. Amal
usaha pelayanan sosial memiliki lebih 400 panti asuhan, rumah singgah. Data lain menyebut
secara rinci 318 panti asuhan, 54 panti jompo, dan 82 rehabilitasi cacat. Seluruh aset
Muhammadiyah itu ada yang mencoba menaksir nilainya mencapai Rp 320 triliun. Belum lagi
ditambah kekayaan kas yang dimiliki amal usaha yang tersimpan di bank jumlahnya bisa
melebihi Rp 1.000 triliun (lihat: https://pwmu.co/141643/04/06/pengikut-muhammadiyah-kecil-
asetnya-besar-ini-kuncinya/).
[8] PP Muhammadiyah, Negara Pancasila Sebagai Dâr Al-‘Ahdi Wa Al-Syahâdah, Jogjakarta,
2015.
[9] https://pwmu.co/158805/08/18/intel-jepang-dorong-bung-hatta-hapus-tujuh-kata-pancasila/.
[10] Ilyas, Islam dan Kebangsaan: Pergumulan dalam BPUPKI, PPKI, dan Piagam Jakarta,
Buletin Al-Turas Vol. 26 No. 1 January 2020, pp. 19-35.
[11] Lihat antara lain disertasi Suwarno, Muhammadiyah dan Masyumi di Yogyakarta 1945-
1960, Program Ilmu-ilmu Humaniora (Sejarah) Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, jurnal patrawidya hlm 407-428, Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta.
[12] Lihat antara lain Siti Maisaroh, Pandangan Muhammadiyah terhadap perubahan politik era
orde baru, Thesis IAIN Sunan Ampel Surabaya, 1998.
[13]

Anda mungkin juga menyukai