Anda di halaman 1dari 4

MEBIDANGRO

Oleh Shohibul Anshor Siregar

Proyek urbanisasi algomeratif Mebidangro (Medan-Binjai-Deli Serdang-Karo) adalah sebuah


ambisi perubahan besar yang direncanakan dan dikendalikan oleh para pemodal tingkat dunia
yang dilegitimasi oleh negara. Galibnya, taklah begitu susah menelusuri anatomi sejarah dan
mekanisme proyek semacam ini dari awal kemunculan penggagas hingga disahkan menjadi
“rencana milik negara”.

Proyek ini adalah salah satu dari 6 Kawasan Strategis Nasional (KSN) sebagaimana ditetapkan
oleh Peraturan Presiden Republik Indonesia No 62 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang
Kawasan Perkotaan Medan, Binjai, Deli Serdang, Dan Karo berdasarkan ketentuan UU No 26
Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.

Pada intinya rencana ini bertujuan merealisasikan ambisi yang secara formal dideklarasikan
untuk menciptakan kota-kota terhubung yang nyaman dihuni, produktif dan terbuka bagi
pelayanan kepentingan ekonomi dan modal global. Sangat kentara penataan ruangnya
diprioritaskan untuk mendukung aktivitas ekonomi, tentu saja. Kehidupan sosial dan budaya di
ruang-ruang publik dengan akses yang mudah juga diperhatikan dalam rencana itu.

Dibayangkan, nanti, pusat kota lama Medan dan Kawasan Tembakau Deli akan direvitalisasi
secara besar-besaran. Itu menuntut penataan kawasan ruang terbuka hijau yang juga bisa secara
historis diklaim menjadi semacam perlambang khas Mebidangro. Selain itu memantapkan
Koridor Hijau dianggap penting dalam aksentuasi keramah-tamahan atas lingkungan.

Ini akan ditempuh dengan meneguhkan kawasan hutan di hulu dan hilir Mebidangro sebagai
resapan air untuk melindungi flora dan fauna. Juga akan dibangun ruang terbuka hijau sepanjang
sempadan sungai, dalam bentangan Bukit Barisan sampai Selat Malaka, sempadan waduk/danau,
dan sempadan pantai Selat Malaka. Pengembangan akses strategis Mebidangro juga akan
dilakukan dengan membangun sistem jaringan angkutan massal (jalan raya, kereta api dan
memadukan sistem transportasi darat, udara, dan laut di Pelabuhan Belawan, Bandara
Kualanamu dan Stasiun Medan).

Memperkirakan Dampak

Jika nanti rencana itu benar-benar terwujud, konon dibayangkan penduduk Medan dan sekitarnya
sungguh akan ‘beruntung’. Karena hingga saat ini hanya 3 kota lain yang mendapatkan perhatian
serupa dari pemerintahan Nasional, yaitu Jabodetabekpunjur yang menggabungkan Jakarta dan
daerah-daerah sekitarnya. Mamminasata yang menggabungkan Makassar dan daerah-daerah
sekitarnya. Proyek Sarbagita akan menggabungkan kota Denpasar dan daerah-daerah sekitarnya.

Tetapi penduduk Medan dan sekitarnya juga akan sangat berpotensi untuk beroleh dampak serius
yang luas. Mengapa begitu? Gambaran tentang tanda-tanda akan hadirnya berbagai masalah

1 |Shohibul Anshor Siregar: Menimbang Mebidangro


sudah terlihat. Kepala Bappeda Sumatera Utara Riadil Akhir, misalnya, pernah berkata demikian
“Beberapa waktu lalu kami dikejutkan banjir di Medan, padahal sebelumnya belum pernah
banjir. (https://tataruang.atrbpn.go.id/Berita/Detail/2679).

Rupanya perkembangan proyek Mebidangro sudah menunjukkan indikasi negatif yang dalam
waktu yang belum terlambat masih saja tentu bisa direncanakan lebih humanis. Tetapi satu hal
yang pasti terasa sekali rencana besar ini tak boleh mengabaikan pencarian solusi makroskopik.

Perlulah dicatat di sini desakan moral yang telah muncul dari berbagai kalangan yang
menginginkan orientasi RTR Mebidangro berbasis ekosistem dan DAS, tidak hanya perkotaan
saja. Tentu saja juga UU Penanggulangan Bencana No. 24 Tahun 2007 harus dirujuk dengan
kecermatan yang tinggi, dan lain-lain.

Ketahuilah bahwa sesungguhnya telah lama menjadi perbincangan para analis di seluruh dunia
tentang sifat perencanaan kota yang selalu dihadapkan pada berbagai masalah besar, terutama di
kota berukuran kecil dan menengah yang dapat dianggap miskin melalui beberapa kriteria.
Kriteria itu antara lain ialah tingkat sosial ekonomi mayoritas penduduk, rendahnya tingkat
investasi publik, kualitas administrasi lokal yang lemah, dan dalam keadaan seperti itu menjadi
semakin begitu sempurna untuk memperbesar ketergantungan yang meniscayakan kepada donor
eksternal yang lazim dijuluki investor. Semua itu bernada tudingan yang terlalu berambisi untuk
mengesahkan Hasrat kapital. Janganlah lupa bahwa investor adalah penamaan sepihak untuk
mekanisme penggerusan keuntungan dari wilayah yang dieskploitasi atas nama modal meski
selalu dilabeli pembangunan bertema kesejahteraan rakyat.

Salah satu alasan utama dalam kemisteriusan ini adalah bahwa filosofi dan metode perencanaan
kota yang diterapkan pada konteks khusus seperti ini ialah bahwa sesungguhnya secara langsung
semua konsep dan pemikiran serta tujuan utanma adalah sesuatu yang direproduksi dari tradisi
Barat. Orang akan tersunglap memelorotkan daya nalar dan secara permisif menerima esensi
rencana perubahan yang dipaksakan meski sangat tidak sesuai dengan konteks lokal dan nasional
dalam hal kebutuhan, prioritas dan organisasi masyarakat, apalagi dari segi sumber keuangan dan
pembiayaan.

Ini adalah dilemma ajeg proses perencanaan kota yang bersifat eksogen, dalam arti tidak benar-
benar sesuai dengan permintaan masyarakat, tidak juga dengan sumber daya manusia, material
dan keuangan kota, dan oleh karena itu seyogyanya lebih baik menjadi akan sangat jarang
diterapkan dalam sebuah negeri yang memiliki tingkat kemandirian yang benar karena
kepemihakan atas kepentingan maslahat rakyat. Penyimpangan dan pengingaran serius ini sagat
mudah dijelaskan ketika kita mengetahui bahwa tata kota dalam desainnya, dimulai sebagai
bagian dari kerangka kerja sama antara pemerintah pusat dan investor asing atau yang terkadang
diplesetkan dengan istilah donor asing.

Diagnosis awal pastilah dibuat oleh profesional berkualitas tertentu tetapi terputus dari
administrasi lokal dan realitas sosial lainnya. Padahal pertimbangan semacam itu adalah

2 |Shohibul Anshor Siregar: Menimbang Mebidangro


kebutuhan moral dan praktikal yang harus dipenuhi. Tetapi faktanya, rencana yang dibuat dalam
konteks ini tidak dimaksudkan untuk keberfungsian sehat untuk memandu otoritas lokal dalam
pengembangan wilayah perkotaan saat ini dan pada masa depan. Juga bukanlah sesuatu yang
boleh disebut merupakan instrumen dialog antara pihak berwenang dan penduduk lokal.

Sebaliknya, setiap konsultasi dengan komunitas yang tidak menghasilkan kesepakatan dan
kompromi dari persilangan keras yang diharapkan pastilah akan selalu memperkuat
ketidakpercayaan, atau bahkan pembangkangan terhadap kekuatan publik, politik, dan
administratif. Risiko yang lazim adalah pengorbanan demi pengorbanan atas keluhuran
pengakuan atas hak-hakl rakyat. Tetapi paling-paling, rencana-rencana, yang kehilangan esensi
utamanya sebagai gerak besar untuk tujuan kesejahteraan rakyat, menjadi alat promosi, produk
pemasaran murni, katalog teknis atas niat komunitas-komunitas yang tidak punya uang atas belas
kasihan para investor, baik itu badan kerja sama negara atau luar negeri.

Berbagai pengalaman di dunia telah membuktikan bahwa distorsi tata kota senacam ini benar-
benar merusak keterpaduan proses, baik dalam menetapkan prioritas infrastruktur dan peralatan
yang akan diwujudkan, di bidang ekonomi dan sosial yang selalu secara formal diunggulkan.
Tidak ada lagi yang bisa diprogram, karena semua pekerjaan diselesaikan tergantung pada
pemberi dana eksternal tadi, tanpa kesinambungan, tanpa prinsip keterpanduan, dan tanpa
jaminan yang memungkinkan segala sesuatunya akan selesai tepat waktu happy ending, malah
sebaliknya berpotensi menciptakan disorganisasi jangka panjang.

Berdasarkan pengalaman-pengalaman ini dan dalam perbandingan dengan penelitian lain tentang
pembangunan perkotaan di kota-kota Afrika terasa harus dipertimbangkan kembali semua ini
dengan kerelaan sepenuhnya. Substansi terpenting (yang terlalu sering diabaikan) adalah
memulai dari diagnosis partisipatif atas situasi kota yang sebenarnya diperiksa dalam berbagai
dimensinya, baik demografis dan spasial, infrastruktur, tetapi juga ekonomi, sosial dan
lingkungan, yang memungkinkan semua pemangku kepentingan terfasilitasi dengan sehat untuk
memosisikan diri mereka sendiri (Jean-Claude Bolay, 2020).

Penutup

Salah satu retorika yang sering dilontarkan para elite Indonesia dan para pemimpin negara-
negara lemah adalah keingingan mereka untuk membangun kota metropolitan ‘kelas dunia’
sebagaimana London di Inggris, New York di Amerika dan Tokyo di Jepang. Sebetulnya mereka
tak lebih dari penyambung absesi rakus (komprador) bagi tangan pemodal skala dunia. Mengapa
begitu? Tak aka nada terbertik dalam Nurani komprador kenyataan sosial London yang telah
menjadi salah satu kota yang paling banyak dilanda kerusuhan dalam beberapa tahun terakhir.
Tokyo telah menjadi salah satu kota dengan biaya hidup termahal di dunia dengan penduduk
yang sangat gandrung memilih jalan bunuh diri. Tidak ketinggalan New York yang telah
menjelma menjadi salah satu kota maju tanpa Nurani tersebab telah menjadi fakta tempat
pemelihara tingkat kemiskinan tertinggi di dunia.

3 |Shohibul Anshor Siregar: Menimbang Mebidangro


Semua ini terjadi karena retorika pembangunan kota dunia itu sebenarnya adalah alat para elite
(penguasa dan pengusaha) memaksimalkan kesegaraan dan tingkat kepastian peraihan
keuntungan dengan mengorbankan mayoritas penduduk kota. Kota dunia hanya dimaksudkan
untuk menguntungkan penguasa dan pengusaha. Bukan mayoritas penduduk kota, apalagi
kalangan miskin yang pasti akan semakin miskin. Bangunan, budaya, dan aturan dirancang untuk
menjadikan kapital sebagai dasar sistem kehidupan dan hubungan sosial. Lebih ironis lagi,
mayoritas penduduk kota (dan tentu saja desa) yang miskin itulah yang sering menjadi pihak
yang terpaksa mendanai pembangunan kota dunia melalui hutang luar negeri dan berbagai
macam pajak yang diciptakan melalui kewenangan kekuasaan.

Jika secara sederhana saja dapat ditunjukkan kota-kota direkayasa agar lebih produktif dalam
penciptaan komoditi (barang dan jasa) sekaligus distributif dalam sirkulasi kapital, maka
bantahan atas ambisi membangun kota dunia adalah moralitas yang mestinya tumbuh subur.
Bukankah ekspresinya bisa dilihat dalam perluasan volume jalan raya, pengembangan
infrastruktur transportasi nasional dan internasional seperti pelabuhan dan bandar udara,
penciptaan pusat-pusat ekonomi primer hingga tersier. Simultan dengan pembentukan layout-
nya, kota juga disulap sebagai preservai industri MICE (Meeting, Incentive, Convention, and
Exhibition) dan area turisme, yang sebetulnya adalah sesuatu yang sesungguhnya tidak lebih
sebagai sirkulasi manusia ke berbagai tempat untuk mengkonsumsi, atau produk sampingan dari
sirkulasi komoditi?

Dengan proyek ini fakta kesenjangan Pantai Timur dan Pantai Barat Sumatera Utara telah
dipertegas kembali. Semua orang harus diingatkan bahwa unjuk rasa anarkis menuntut pendirian
Provinsi Tapanuli yang menewaskan Ketua DPRD Sumatera Utara A.Aziz Angkat tak berhenti
sampai penyelesaian perkara di pengadilan. Gerakan menuntut pendirian provinsi-provinsi baru
juga terjadi seperti Sumatera Tenggara.

Kecuali itu di Mebidangro Indonesia telah semakin menegaskan diri dalam pengingkarannya atas
konstitusi sendiri yang menginginkan kehidupan adil dan Makmur. Tentu saja membangun untuk
melawan kemiskinan tak mungkin tak menjadi gagasan ideologis yang seharusnya mendikte
pikiran siapa pun di sini.

Penulis dosen FISIP UMSU. Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS)

4 |Shohibul Anshor Siregar: Menimbang Mebidangro

Anda mungkin juga menyukai