Anda di halaman 1dari 17

PERANGKAP DINASTI POLITIK

DALAM
KONSOLIDASI DEMOKRASI

Alim Bathoro1

Absract

Democracy is necessity in the political system in


Indonesia. But a system is sometimes no always linear,
but can also be conjuncture or even a trap. It is
phenomenon of political dynasties. The phenomenon
appeard in both national and local politics. May be, the
phenomenon is beyond calculation so tends to cause
conflict and interfere with consolidation of democracy.
Threfore, in order not to disrupt the political system that is
being built by existing legislation, it should be able to
regulate this issue. Nevertheless, the possibility of
politicians using th rules of the cracks weakness will
always be there because it is typical of democracies that
promote free competition. Thus, the emergence of an
independent middle clas is needed in the transition of
democracy so that democratic consolidationprocess can
be run as the right direction. For exemple, the
emergences of this group may facilitate the recruitment of
members of political parties. If the process is going well
and then simmering in party cadres are good then
emergence of candidates qualified leaders will be a
reality. This allows future leaders rely not only one source
of the political dynasty, but also other sources.

Key words : political dynasty, political party, middle class,


consolidation of
democracy

1 Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Maritim Raja Ali Haji Ketua
Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Maritim Raja Ali Haji
116 Perangkap Dinasti Politik dalam Konsolidasi Politik

A. PENDAHULUAN
Setelah melewati sepuluh tahun demokrasi Indonesia
berjalan , ternyata demokrasi di Indonesia mengalami
ujian dengan munculnya fenomena political dinasty. Hal
itu dimulai dengan munculnya clientilsm dalam
pencalonan anggota legislatif dan pencalonan kepala
daerah, dan isu yang belakangan muncul adalah
clientislm dalam suksesi kepemimpinan nasional.
Sementara itu di tingkat politik lokal, di Provinsi
Kepulauan Riau misalnya, kemunculan Maya Suryanti
anak Walikota Suryatati A Manan dalam bursa Calon
Walikota Tanjungpinang dan Aida Ismeth dalam
pemilukada Kepulauan Riau Tahun 2010 yang lalu adalah
bukti fenomena political dinasti. Di daerah lain seperti
Provinsi Banten misalnya, jejak-jejaknya lebih kentara.
Ratu Atut Choisyah Gubernur
Banten 2007-2012 misalnya, keluarga besarnya memiliki
setidaknya 9 orang yang memimpin di masing masing
“kerajaannya”. Seperti dirinya sendiri yang memimpin
Banten, suami menjadi anggota DPR, anak menjadi
anggota DPD, menantu menjadi anggota DPRD Kota
Serang, adik menjadi anggota DPRD Banten, Adik tiri
mejadi wakil wali kota Serang, ibu tiri menjadi anggota
DPRD
Kabupaten Pandeglang, Ibu tirinya yang satu lagi menjadi
anggota DPRD kota Serang, dan adik iparnya Airin
menjadi WalikotaTangerang Selatan.
Di tingkat pusat, muncul isu bahwa Ani Yudhoyono,
istri presiden Susilo Bambang Yudoyono kemungkinan
akan menjadi calon presiden dari Partai Demokrat, pada
tahun 2014. Meskipun SBY sejak jauh hari mengatakan
tidak akan mengembangkan demokrasi clientilsm. Namun
beberapa orang tidak percaya akan hal ini, karena
sebagian orang justru percaya adanya skenario
pencalonan kerabat dekat SBY adalah realitas Partai
Demokrat yang tidak terbantahkan. Dan belakangan
santer muncul nama adik ipar SBY yang kini menjadi
KASAD Jend. TNI Pramono Edhi Wibowo dalam bursa
Calon Presiden RI 2014. Dan bagaimanapun juga, hal ini
mengemuka lantaran hingga saat ini, Partai Demokrat
belum memiliki calon presiden yang sekelas SBY.
Jurnal FISIP UMRAH Vol. 2, No. 2, 2011 : 115 - 125 117

Di dunia internasional, hal serupa juga terjadi.


Mendiang mantan Perdana Menteri Pakistan Benazir
Bhutto adalah politikus yang mewarisi bakat ayahnya, Ali
Bhutto. Selanjutnya, Bilawal pun terjun ke dunia politik.
Bahkan, suami Benazir, Asif Ali Zardari, kini menjadi
Presiden Pakistan. Demikian juga di Philipina, Presiden
Benigno Aquino jr adalah anak dari mendiang Corazon
Aquino, Presiden Philipina selepas genggaman rezim
Marcos.
Kenyataan di atas adalah sebuah trend yang menarik
untuk dikaji. Boleh jadi sebagian orang menganggap
wajar hal tersebut muncul, namun sebagaian lagi
menganggap hal itu distorsi atau tekanan terhadap
demokrasi. Demokrasi yang pada dasarnya, menuntut
transparansi dari semua proses politik tertekan oleh
dinasti politik. Oleh karena itu wajar bilamana munculnya
dinasti politik dianggap membahayakan kelangsungan
demokrasi di Indonesia.

B. PERMASALAHAN
Konsolidasi demokrasi membutuhkan lingkungan
demokrasi yang mendukung. Munculnya fenomena
dinasti politik akan mengancam fase transisi demokrasi
menuju konsolidasi demokrasi

C. METODE PENELITIAN
Penulisan artikel ini menggunakan metode penelitian
kualitatif untuk menganalisis fenomena perangkap dinasti
politik dalam konsolidasi demokrasi di Indonesia.

D. KERANGKA TEORI
Dalam kajian akademik, demokrasi menurut
Schumpeter (dalam Huntington 1991 : 5) adalah sebuah
metode yang memiliki prosedur kelembagaan untuk
mencapai keputusan politik dimana individu memperoleh
kekuasaan untuk membuat keputusan politik melalui
kompetisi merebut suara rakyat dalam pemilu.
Sementara itu, konsolidasi demokrasi menurut
Diamond (2000) adalah pembiasaan norma-norma ,
prosedur-prosedur dan harapan-harapan tentang
demokrasi kedalam perilaku aktor-aktor politik. Proses
tersebut dilalui dengan fase transisi demokrasi terlebih
dahulu yang menandai beralihnya sistem politik di sebuah
118 Perangkap Dinasti Politik dalam Konsolidasi Politik

negara dari otoriter ke demokrasi. Namun, dalam kasus


di Indonesia transisi demokrasi yang ada hingga saat ini
relatif belum berhasil membawa masyarakat seperti yang
dikategorikan oleh diamond. Pendek kata kekuataan
konsolidasi demokrasi sangat ditentukan bagaimana
seluruh elemen masyarakat dapat memilih wakil rakyat
dan kepala negara atau daerah terbebas dari tekanan.
Berbeda dengan masa orde baru yang tekanan itu berupa
ancaman fisik dan mental. Saat ini tekanan pada
masyarakat bisa berupa sebuah pencitraan yang penuh
dengan kepura-puraan. Hal ini tampak dari munculnya
para artis yang tiba-tiba menjadi tokoh politik tidak melalui
rekrutmen yang sewajarnya, yakni berjenjang, bertahap
dan melalui mekanisme penilaian, mereka tiba-tiba saja
melampui proses tersebut dan langsung menjadi tokoh
politik. Dengan demikian sejatinya popularitas di luar
prestasi politik (keartisan) mendongkrak suara sehingga
mereka melenggang dengan cepat ke parlemen atau
jabatan politik yang lain.
Fenomena yang sama terjadi dalam pada lingkungan
keluarga besar seorang tokoh politik. Popularitas sang
tokoh telah membawa sanak familinya menjadi orang
yang dikenal ditengah masyarakat. Sepak terjangnya
diikuti masyarakat, sehingga manakala sang tokoh tidak
bisa lagi menjadi pejabat karena usia, masa jabatan,
ataupun tutup usia. Maka sosok di lingkaran tokoh
tersebut dianggap mumpuni menggantikannya.
Studi yang dilakukan Agustino(2010)di Provinsi
Banten, menurut Agustino proses transisi menuju
demokrasi di Indonesia dengan studi Provinsi Banten
ditemukan dinamika politik yang fluktuatif. Bahkan, atas
kedinamikaan politik Banten tersebut tidak mengarah
pada tumbuhnya sistem demokrasi yang modern, sebab
logika politik kekeluargaan telah menjadi rasionalitas elit
politik Banten yang pada akhirnya membawa pada
tumbuh dan berkembannya dinasti politik di Banten.
Menurut Marcus Mietzner (2009), dalam paper yang
berjudul Indonesia’s 2009 Elections: Populisme,
Dynasties and the Consolidation of the Party System,
menilai bahwa kecenderungan politik dinasti cukup
menguat dalam politik kontemporer Indonesia. Praktik
politik dinasti menurutnya tidak sehat bagi demokrasi.
Jurnal FISIP UMRAH Vol. 2, No. 2, 2011 : 115 - 125 119

Antara lain karena kontrol terhadap pemerintah yang


diperlukan dalam demokrasi, misalnya checks and
balances, menjadi lemah.
Dinasti politik dalam dunia politik modern dikenal
sebagai elit politik yang berbasiskan pertalian darah atau
perkawinan sehingga sebagian pengamat politik
menyebutnya sebagai oligarkhi politik. Dalam konteks
Indonesia, kelompok elit adalah kelompok yang memiliki
kemampuan untuk yang mempengaruhi proses
pembuatan keputusan politik. Sehingga mereka kadang
relatif mudah menjangkau kekuasaan atau berta-rung
merperebutkan kekuasaan. Sebelum munculnya gejala
dinasti politik, kelompok elit tersebut diasosiasikan elit
partai politik, elit militer dan polisi, elit pengusaha atau
pemodal, elit agama, elit preman atau mafia, elit artis,
serta elit Aktifis.
Menurut Pareto dalam Varma (2007 : 206) yang
disebut dengan kelompok elit adalah sekelompok kecil
individu yang memiliki kualitas-kualitas terbaik, yang
dapat menjangkau pusat kekuasaan sosial politik. Elit
merupakan orang-orang yang berhasil, yang mampu
menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat.
Pareto meyakini bahwa elit yang tersebar pada sektor
pekerjaan yang berbeda itu umumnya berasal dari kelas
yang sama. Yakni orang-orang yang kaya dan pandai. Ia
menggolongkan masyarakat kedalam dua kelas, lapisan
atas (elite) dan lapisan bawah (non-elite). Lapisan atas
atau kelas elit terbagi dalam dua kelompok, yakni elit
yang memerintah (governing elite) dan elit yang tidak
memerintah (non-governing elite). Sementara Gaetano
Mosca menyebutkan bahwa di setiap masyarakat yang
berbentuk apapun senantiasa muncul dua kelas, yaitu
kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas
yang memerintah memiliki jumlah yang sedikit,
memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan
menikmati keuntungan- keuntungan yang didapatnya dari
kekuasaan, yang kadangkadang bersifat legal, arbitrer,
dan menggunakan kekerasan.
Mosca dalam Varma (2007: 204) meneliti komposisi
elit lebih dekat lagi dengan mengenali peran ‘kekuatan
sosial’ tertentu. Mosca mengenalkan konsep ‘sub elite’
yang merupakan kelas menengah dari para pegawai
120 Perangkap Dinasti Politik dalam Konsolidasi Politik

negeri sipil, para manajer industri, ilmuwan dan


mahasiswa. Kelas menengah ini dianggapnya sebagai
elemen vital dalam mengatur masyarakat. Menurutnya
stabilitas politik ditentukan oleh lapisan kelompok
menengah ini. Menurut Pareto, antara governing elitedan
non-governing elite senantiasa berebut kesempatan untuk
mendapatkan porsi kekuasaan sehingga terjadilah
sirkulasi elite. Setiap elite yang memerintah, hanya dapat
bertahan apabila secara kontinuitas memperoleh
dukungan dari masyarakat bawah. Akan tetapi sirkulasi
elite akan tetap berjalan karena secara individual baik
elite keturunan maupun elite yang diangkat atau ditunjuk
akan mengalami kemunduran sesuai dengan waktu dan
sebab-sebab biologis.
Kekuasaan elite menurut Mosca adalah sebagai akibat
sifat-sifat yang tak terbantahkan dari watak sosial
manusia. Selanjutnya dikatakan, bahwa kelas politik yang
tidak adaptatif dengan zaman tidak akan bisa
mempertahankan diri. Sementara elite lain akan terbentuk
dari kalangan yang diperintah, dan dengan perjalanan
waktu akan mengambil alih kekuasaan meskipun dengan
kekerasan. Sistem demokrasi, menurut Mosca tidak
memiliki dasar substantif sebagai kekuasaan mayoritas,
bahkan dianggap sebagai penyebab kemerosotan elite.
Oleh karenanya semua kelompok penguasa harus
mempertahankan sistem pewarisan secara turun temurun
agar tetap dapat memanipulasi kekuasaannya. Akan
tetapi Mosca juga menyadari, bahwa rekruitmen dari
kelas mayoritas sangat dibutuhkan demi stabilitas
organisasi politik.
Setelah berlangsung tiga kali pemilu dalam masa
reformasi, ada fenomena yang menarik kalau di dalam
teori politik kontemporer elit biasanya berdasar golongan,
misalnya militer, partai, birokrasi dan sebagainya. Maka
belakangan muncul varian lain dari elit politik, dimana elit
politik ini berbasis kekeluargaan.
Kenyataan tersebut cenderung akan memupuk
munculnya dinasti-dinasti politik di tingkat pusat atau
lokal.
Oleh karenanya, kedekatan politik keluarga inilah yang
kemudian menguatkan jaringan politik. Menurut Turner
( dalam Fadhillah : 2007) suatu jaringan mempunyai
Jurnal FISIP UMRAH Vol. 2, No. 2, 2011 : 115 - 125 121

pengaruh penting terhadap dinamika jaringan tersebut.


Dan, hal tersebut berdampak terhadap tertutupnya
rekrutmen politik.
Akhirnya manakala hal itu terjadi, maka dikhawatirkan
menjadi budaya politik di Indonesia sehingga
dikhawatirkan akan menganggu demokratisasi secara
keseluruhan. Karena menurut Chilcote (2003) budaya
politik merupakan serangkaian keyakinan, simbol-simbol.
Yang melatarbelakangi situasi di mana suatu peristiwa
politik terjadi. Bila sudah begitu, persoalan konsolidasi
demo-krasi di Indonesia boleh jadi hanya sekedar mimpi.

E. HASIL DAN PEMBAHASAN


Pertanyaan mendasar adalah mengapa political dinasti
tersebut muncul ditengah transisi demokrasi yang sedang
berlangsung. Dan, seberapa besar dinasti politik
menganggu konslidasi demokrasi. Dan bagaimana
solusinya agar demokratisasi di Indonesia berlangsung
wajar.
Proses demokrasi yang wajar menurut Robert A Dahl
(dalam Gaffar : 2000) dalam karyanya “Dilemma of
Pluralist Democracy” mengemukakan beberapa kriteria
yang mesti terwujud dalam suatu sistem demokratis yang
terkonsolidasi. Pertama, pengontrolan terhadap
keputusan pemerintah mengenai kebijakan secara
konstitusional diberikan kepada para pejabat yang terpilih.
Kedua, melalui pemilihan yang teliti dan jujur para pejabat
dipilih tanpa paksaan. Ketiga, semua orang dewasa
secara praktis mempunyai hak untuk memilih dalam
pemilihan pejabat pemerintahan.
Keempat, semua orang dewasa secara praktis juga
mempunyai juga hak untuk mencalonkan diri pada
jabatan-jabatan dalam pemerintahan, meskipun
pembatasan usia untuk menduduki jabatan politik
mungkin lebih ketat ketimbang hak pilihnya. Kelima,
rakyat mempunyai hak untuk menyuarakan pendapat
tanpa ancaman hukum yang berat mengenai berbagai
persoalan politik pada tataran yang lebih luas, termasuk
mengkritisi para pejabat, system pemerintahan, ideology
yang berlaku dan tatanan sosio-ekonomi. Keenam, rakyat
mempunyai hak untuk mendapatkan sumbersumber
informasi alternative yang ada dan dilindungi oleh hukum.
Ketujuh, dalam meningkatkan hak-hak rakyat, warga
122 Perangkap Dinasti Politik dalam Konsolidasi Politik

Negara mempunayi hak dan kebebasan untuk


membentuk suatu lembaga atau organisasiorganisasi
yang relatif independen, termasuk membentuk berbagai
partai politik dan perkumpulan yang independen.
Pemikran Robert A dahl ini menunjukkan tentang
indikator sebuah democratic political order sebagai
kerangka acuan dan tidaknya perwujudan demokrasi
dalam suatu pemerintahan negara.
Seluruh proses demokrasi, yang dimaknai dengan
demokrasi prosedural berupa pemilu , pemilu presiden,
dan pemilukada. Awalnya diniatkan agar masyarakat
dapat memilih sendiri pemimpin yang dia inginkan tanpa
ada tekanan. Dengan demikian, seorang politisi yang
duduk di parlemen, presiden, Gubernur, bupati dan
walikota memiliki legitimasi yang kuat karena ia dipilih
langsung. Dan, tentunya legitimasi ini adalah modal politik
yang sangat besar yang diperlukan dalam menjalankan
pemerintahan. Selain dari itu, terpilihnya seseorang
melalui pemilu akan melahirkan pemerintah yang
akuntabel karena ia dipilih oleh masyarakat. Dengan
demikian, pemerintahan itu, mudah mewujudkan
mekanisme checks and balances karena memiliki modal
politik yang kuat sehingga kestabilan sebuah
pemerintahan dengan sendirinya terjaga. Dan yang jelas
ketika pemilihan langsung dilakukan maka setiap
masyarakat yang memilih telah memperoleh haknya
berpartisipasi dalam demokrasi, yang pada akhirnya nanti
partisipasi politik tersebut akan meningkatkan kesadaran
politik.
Studi yang dilakukan Nankyung Choi dari S.
Rajaratnam Scholl of International Studies Nanyang
Technological University, mengungkapkan ditengah
liberalisasi politik, justru fenomena politik uang yang lebih
menonjol ketimbang penguatan system politik. Lebih jauh
Choi mengatakan :
More specially, both within and outside the shell of
formally democratic political instutions, we have observed
the emergence of decentralized money politics. Money
politics has emerged as a key issue in local politics in
postsoeharto.
Sekalipun, Choi hanya berkomentar ihwal politik lokal,
namun sebagian pihak melihat politik uang adalah
kecenderungan yang terjadi di level nasional. Politik uang
Jurnal FISIP UMRAH Vol. 2, No. 2, 2011 : 115 - 125 123

adalah salah satu dampak dari eksisnya elit politik yang


ada disebabkan mereka memiliki sumber daya ekonomi
yang lebih. Dengan demikian sebuah dinasti politik akan
menguatkan perannya dengan sumber daya ekonomi
yang dimilikinya agar kepentingan-kepentingan keluarga
yang telah dimiliki tidak beralih ke orang lain.
Menurut Puskapol UI dalam penelitiannya Tahun 2010
menyimpulkan kinerja parpol terutama dalam rekrutmen
politik masih di warnai oleh pola instan dan kedekatan
politik. Selain itu menurut Direktur Eksekutif Puskapol UI,
Sri Budi Eko Wardhani memaparkan kajian tentang caleg
perempuan yang juga menunjukkan kecenderungan yang
sama, yakni 82 persen anggota keluarga terlibat di partai
yang sama dengan calon perempuan terpilih tersebut.
Secara umum anggota perempuan terpilih di DPRD
provinsi tersebut memiliki suami yang terlibat di parpol
yang sama [94 persen]. Sementara caleg perempuan
tepilih lainnya memiliki orang tua [69 persen], saudara
kandung [89 persen], dan anak [87 persen] yang terlibat
di partai yang sama.
Menurut Ikrar Nusa Bakti dalam Kolom Seputar
Indonesia 1 juni 2010, ada beberapa faktor penyebab
munculnya fenomena adanya istri-istri bupati yang maju
untuk memperebutkan jabatan publik di daerah. Pertama,
para bupati yang masih menjabat dianggap berhasil oleh
masyarakat setempat, seperti dalam kasus di Kabupaten
Bantul atau di Kediri, namun kedua bupati tersebut tidak
dapat ikut pilkada karena masa jabatannya sudah dua
kali. Karena itu, masyarakat menginginkan agar istri
bupati maju dalam pilkada dengan asumsi bila istri
mantan bupati menang, berarti mantan bupati akan
berada di belakang istrinya sebagai “sang penuntun”. Jika
masa bakti lima tahun istrinya selesai, mantan bupati pun
akan maju lagi karena tidak dilarang oleh undang-undang.
Kedua, istri pertama dan istri kedua bupati sama-sama
maju untuk membuktikan siapa dari keduanya yang
memiliki legitimasi di mata rakyat di daerahnya.Motif
politiknya bisa adu popularitas atau jago siapa yang dapat
memenangi pertarungan tersebut. Ketiga, pembentukan
dinasti politik baru di daerah.Pada tahap awal suami yang
maju, tahap kedua istrinya,dan tahap ketiga adalah salah
seorang anak dari pasangan tersebut. Bangunan dinasti
politik ini akan kokoh jika masyarakat setempat menilai
124 Perangkap Dinasti Politik dalam Konsolidasi Politik

secara jujur bahwa keluarga tersebut adalah keluarga


kaya dan berpendidikan yang memang ingin membangun
daerahnya. Persoalan akan muncul jika ternyata
bangunan dinasti politik itu amat dipaksakan karena
kepala daerah biasanya juga pimpinan daerah dari partai
politik yang kuat di daerah tersebut.
Dalam perpektif sosiologi, suatu hubungan karena
kedekatan ini sering disamakan dengan patron-klien,
yang biasanya akan diperkuat menjadi sebuah jaringan
politik. Menurut Usman (dalam Fadhillah, 2007), suatu
jaringan lazim dikonsepsikan sebagai suatu tipe
hubungan antar aktor yang terjalin dalam masyarakat
merupakan suatu bentuk jaringan atau the building block
of network.
Tabel 1 : Caleg dalam Pemilu 2009 dan Hubugan dengan Tokoh
Politik Nasional

Sumber : Tanuwidjaja (diolah)


Motivasi jaringan keluarga dalam politik menurut
Hajrianto Yassin Thohari dalam Kolom Gatra 19 Januari
2011 karena secara psikopolitik, keluarga penguasa
selalu memiliki selfconfident yang tinggi. Pasalnya,
mereka terlahir dari keluarga kerajaan atau penguasa.
Sehingga pastilah merasa menjadi putra dan putri yang
sebenar-benarnya. Istri dan anakanak raja hidup di
istana . Mereka merasa dilahirkan sebagai orang
istimewa dan diistimewakan kerana kedudukan ayahnya.
Maka, mereka kemudian ingin mengulang dan
melangenggkan keistimewaan itu untuk selama-lamanya
Dengan demikian, dapat dipastikan dinasti politik akan
berpeluang menutup sirkulasi kekuasaan, dan justru
Jurnal FISIP UMRAH Vol. 2, No. 2, 2011 : 115 - 125 125

menjadikan kekuasaan hanya bergilir dalam satu


lingkungan keluarga besar. Yang jelas akan menekan
proses transisi menuju demokrasi yang terkonsolidasi,
lantaran mendorong munculnya (1) local strongmen,
roving bandit dan pemerintah bayangan, (2) melemahnya
kinerja parlemen, (3) menurunnya partispasi politik
masyarakat.

E.1. LAHIRNYA LOCAL STRONGMEN,


ROVING BANDITS, DAN
PEMERINTAH BAYANGAN
Menurut Agustino (2010), di tingkat politik lokal di
Indonesia masih ditawan oleh pengaruh local strongmen
dan roving bandits sehingga walaupun telah berlaku
transformasi politik lebih satu dekade, namun demokrasi
di tingkat lokal masih terpenjara oleh kepentingan elit
politik lokal.Selanjutnya, Agustino menambahkan, bahwa
kehidupan warga menjadi sangat suram. Dalam lima
tahun menjabat, kepala daerah mesti mengembalikan
dana pinjamannya beserta bunga (yang telah ditetapkan
sebelumnya). Tidak hanya itu, keinginan kepala daerah
untuk memperkaya diri (sendiri) pun menjadi motivasi lain
yang dapat dipastikan akan semakin menyengsarakan
rakyat. Langkah yang kerap kali dilakukan, antaranya
adalah: (i) intensifikasi dan ekstensifikasi pajak serta
retribusi, (ii) manipulasi anggaran proyek, (iii) penjualan
asset(milik) daerah, sampai dengan (iv) penjualan sumber
daya alam milik daerah dan negara.
Dengan demikian, perilaku semacam itu tidak ubahnya
seperti pelaku politik masa Orde Baru, yang dalam
kategori Agustino dianggap sebagai bandit baru di
daerah, karena mereka berperan secara langsung
malakukan perampokan dan perampasan kebebasan dan
hak politik masyarakat umum. Pertanyaan mengapa
mereka dianggap sebagai bandit?
Pada umumnya, ketika seorang terpilih menjadi ia
harus mengembalikan seluruh modal yang dikeluarkan
dalam kampanye. Oleh karenanya, para pemberi
pinjaman diatur sedemikian rupa mendapat konsesi
berupa proyek, sementara penguasaha lain, meskipun
secara kualitas dan kemampuan mampu mengerjakan
proyek, tapi karena ia tidak mendukung kepala daerah
terpilih ketika kampanye, maka jangan berharap
126 Perangkap Dinasti Politik dalam Konsolidasi Politik

mendapat proyek. Inilah yang dikatakan oleh Hidayat


(dalam Agustino : 2010) sebagai tindakan curang dan
parahnya lagi masyarakat tidak dapat mengkritik perilaku
ini, karena kepala daerah tidak akan mendengar kritikan
masyarakat tersebut. Yang terpenting bagi kepala daerah
selekas mungkin melunasi hutang yang dipinjam dengan
pelbagai proyek yang dijalankan pemerintah daerah. Dan
jika kemudian hari, hutangnya sudah lunas, maka sisa
proyek yang ada dipersiapkan sebagai modal mengikuti
pemilukada berikutnya.
Selain itu, Agustino dalam studinya juga menemukan
pemerintah bayangan. Pemerintah bayangan di
Indonesia setelah pilkada berbeda dengan kategori Reno
yang mengungkapkan bahwa pemerintah bayangan lahir
karena lapuknya pemerintah formal. Pemerintah
bayangan menurut Agustino lahir ketika muncul
kerjasama antara calon kepala daerah, local strongmen,
dan pengusaha. Aliansi ini semakin kuat bila sang calon
kepala daerah menang. Akibatnya proyek dijalankan oleh
pemerintah bukan ditetapkan oleh dinas terkait, tetapi
oleh aliansi tersebut. Oleh karena itu, aliansi tersebut
disebut dengan pemerintah bayangan. Merekalah yang
menetapkan proyek dan besaran biaya sebagai bentuk
kerjasama yang telah ditentukan sebelumnya.

E.2. LEMAHNYA KINERJA LEMBAGA LEGISLATIF


Munculnya pemerintah bayangan jelas akan
melemahkan kinerja pemerintah, karena mekanisme
anggaran sejatinya hanya untuk kepentingan penguasa.
Padahal seharusnya hal tersebut, juga menjadi wilayah
kerja
parlemen. Manakala parleman diwarnai oleh tokoh politik
nasional dan daerah memiliki dinasti politik maka
keadaan akan semakin suram. keinginan untuk
menguatkan pengaruhnya di
Pengaruh dinasti politik sangat relevan parlemen.
Tabel 2 berikut akan menjelaskan dalam rekrutmen
anggota legislatif, sebagian hubungan tersebut.
Jurnal FISIP UMRAH Vol. 2, No. 2, 2011 : 115 - 125 127

Tabel 2. Prediksi Kerabat Birokrat sebagai Anggota


DPR & DPD RI per 2009-2014

Sumber : Soebagio (2009)

Data tersebut adalah data menjelang periode yang


telah lalu saja produktivitas DPR pemilu 2009, dari data
tersebut maka kita bisa RI dalam membuat Undang
Undang tidak melihat bagaimana upaya dinasti politik
terlalu mengembirakan, dalam tabel berikut berupaya
mempengaruhi parlemen. Dalam akan menjelaskan.

Tabel 3: Realisasi UU Produksi DPR RI

Sumber : Soebagio (2009)


Bila dalam periode sebelumnya kinerjanya seperti
diatas, maka bisa jadi pada periode sekarang akan
128 Perangkap Dinasti Politik dalam Konsolidasi Politik

menurun. Lantaran dimungkinkan munculnya kerabat


para birokrat di parlemen seperti yang digambarkan pada
tabel 2. Dampak lain, dari dinasti politik di parlemen,
boleh jadi terlihat dari hasil survei Global Corruption
Barometer yang diterbitkan oleh Transparency Indonesia
yang menjelaskan bahwa dari 2005 sd 2007, secara
berturut-turut parlemen di Indonesia dan partai politik
secara variatif masuk dalam lembaga terkorup.
Sedangkan menurut Indonesian Corruption Watch (ICW),
dari 1421 terdakwa kasus korupsi, 700 orang diantaranya
adalah kader parpol yang duduk di parlemen pusat,
daerah dan pemerintah daerah.

E.3. TURUNNYA PARTISIPASI POLITIK


Dampak dari hal-hal tersebut diatas, tampaknya telah
berkontribusi terhadap menurunnya partisipasi politik
masyarakat.
Tabel 4: Partisipasi Politik Masyarakat

Sumber : KPU, BPS, Kompas 10 Mei 2009 (diolah)


Tabel berikut akan mengilustrasikan.
Dari tabel 3 diatas jelas terlihat menurunnya partisipasi
masyarakat ketika pemilu di masa reformasi. Menurut
Soebagio (2009), penurunan partisipasi politik dari tahun
ke tahun di masa reformasi, salah satunya disebabkan
kuatnya pengaruh elit politik di parlemen. Sehingga
Jurnal FISIP UMRAH Vol. 2, No. 2, 2011 : 115 - 125 129

kebijakan yang dilahirkan, lebih mengedepankan


kepentingan elit politik daripada kepentingan masyarakat.
Yang pasti, jika dengan elit politik saja pengaruhnya
demikian kuat terhadap menurunnya partisipasi politik.
Apalagi, bila elit politik tersebut dikuasai oleh dinasti-
dinasti politik, maka boleh jadi penurunanya lebih
dahsyat. Dengan demikian, fenomena dinasti politik harus
segera mungkin dicegah, baik dengan pendidikan politik
kepada masyarakat ataupun melalui perundang-
undangan

F. KESIMPULAN
Sekalipun demokrasi mengedepankan kesamaan hak,
sejatinya demokrasi memang dirancang oleh para
pengagasnya simultan dengan ekonomi liberal. Artinya,
di negaranegara perintis demokrasi di barat,
kesejahteraan sudah terasa, sehingga muncullah klas
menengah yang independen, yang pada gilirannya
mendukung demokrasi dengan sendirinya. Dan,
resikonya apabila kesiapan klas menengah belum
merata, maka terjadi deviasi, seperti munculnya
fenomena dinasti politik. Dinasti Politik muncul lantaran
belum adanya klas menengah yang mumpuni.
Oleh karenanya, memunculkan klas menengah yang
independen adalah tugas yang segera dituntaskan oleh
sistem politik Indonesia. Baik, itu dari segi rekrutmen
partai politik, pendidikan politik masyarakat, dan
perundang-undangan. Agar dimasa datang, keberadaan
dinasti politik dapat dikritisi oleh kelompok yang secara
politik memiliki kesadaran yang tinggi, sekaligus dari segi
ekonomi mereka tidak mudah dipengaruhi.
Apapun, demokrasi adalah pilihan yang mungkin, agar
masyarakat mendapat hak-hak kemanusiaannya. Akan
tetapi kita perlu menata ulang konsolidasi demokrasi yang
sedang berlangsung, dan itu mau tak mau kita harus
berupaya menumbuhkan klas menengah yang cukup
banyak, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Selanjutnya, perlu dicermati juga peraturan yang ada
sehingga mampu mengurangi kemunculan politik dinasti,
berikutnya perlunya rekrutmen kepemimpinan nasional
dan yang kokoh, dan hal itu dapat terjadi manakala ada
kaderisasi yang kuat di dalam partai-partai sehingga
muncul calon-calon pemimpin untuk sanggup
130 Perangkap Dinasti Politik dalam Konsolidasi Politik

berkompetisi dalam segala pertarungan politik. Untuk


mendapat-kan kader yang baik mutlak adanya rekrutmen
partai yang terbuka dan plural, oleh karena itu disinilah
dibutuhkan pendidikan politik dan sosialisasi politik yang
mumpuni sehingga anggota masyarakat tertarik menjadi
anggota partai politik.
Apabila, dinasti politik tidak mampu dicegah, maka
kejadian di Philipina bisa jadi muncul di Indonesia, yakni
munculnya dinasti politik yang berasal dari tuan-tuan
tanah atau orang-orang kaya lama. Di Philipina seperti
yang dituturkan Ikrar (2010) demokrasi justru menguatkan
orang-orang kaya lama. Dan apabila bangsa ini tidak
waspada, maka bisa jadi hal tersebut terjadi di negeri kita.
Oleh karena itu, kemunculan klas menengah yang kritis
adalah sarana ampuh menguatkan demokratisasi. Hanya
saja, klas menengah hanya dapat muncul manakala
pendidikan dan lapangan kerja relative tersedia. Dan, ini
adalah pekerjaan rumah semua elemen masyarakat yang
menginginkan klas menengah kritis menjadi the ruling
class di negeri ini. Tapi, apabila hal ini tidak dipedulikan
maka, boleh jadi the ruling class adalah golongan status
quo yang dapat memunculkan konflik sosial setiap saat.
DAFTAR PUSTAKA
Agustino, Leo & Mohammad Agus Chilcote, Ronald H, 2003. Teori
Yusoff, 2010, Pilkada dan Perbandingan Politik :
Pemekaran Daerah dalam Penelusuran Paradigma,
Demokrasi Lokal di terjemahan dari buku
Indonesia : Local Strongmen Theories of Comperatives
dan Roving Bandits, Jurnal Politics The Search for a
Jebat: Malaysian Journal of Freedom oleh Haris
History, politics & Strategic Munandar, Raja Grafindo
Studies Volume 37 th 2010, p Persada, Jakarta.
86-104 Choi, Nankyung, 2007. Local
Elections and
Yang pasti, jauh lebih berbahaya lagi manakala dinasti
politik menjadi budaya politik. Yang mana justru akan
menguatkan sebagian kecil warga masyarakat dan
menjadikan sebagian besar yang lain menjadi kaum
marjinal dikarenakan tidak memiliki bargaining position
dalam pengambilan keputusan politik.
Democracy in Indonesia : The Riau Archipelago,
dalam Journal of Contemporary Asia Volume 37 No
3 August 2007 , p 326-345
Jurnal FISIP UMRAH Vol. 2, No. 2, 2011 : 115 - 125 131

Diamond, L & Plattner MF, 2000, Hubungan Sipil-Militer


dan Konsolidasi Demokrasi, Jakarta, Raja Grafindo
Persada
Fadhilah, Amir, 2007. Budaya Politik: Studi Kasus Kyai
Pesantran di Kabupaten Pekalongan, Jurnal Al
Qalam, Vol. 24. No 1 Januari-April 2007, hal 38-54.
Gaffar, Afan, 2000. Politik Indonesia Menuju Transisi
Menuju Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Huntington, SP, 1991, Gelombang
Demokratisasi ketiga, Jakarta, PT Intermasa
Soebagio, 2009, Distorsi dalam Transisi Demokrasi di
Indonesia, Jurnal
Makara, Sosial Humaniora Vol 13 No 2
Desember 2009 p 111-116
Sundhaussen, Ulf, 1986, Politik Militer
Indonesia 1945-1967, Jakarta, LP3ES
Surbakti, Ramlan,2010. Memahami Ilmu
Politik, Jakarta, Gramedia.
Varma, SP, 2007, Teori Politik Modern, Jakarta,
Rajawali Press

Majalah, surat kabar, dan berita online


Puskapol UI, Kantor Berita Antara, 16 Desember 2010
Ikrar Nusa Bhakti, Polemik Istri Pejabat Maju
Pilkada, Seputar Indonesia, 1 juni 2010
Thohari, Hajrianto Yassin, Politik Dinasti atau Dinasti
politik, Gatra, 19 Januari 2011.
Tanuwidjaja, Sunny, Politik dan Keluarga, www.csis.or.id,
28 Sep 2011, 20: 22 wib
Supriyanto, Bagus, www.beritasatu.com,
Kamis, 16 Desember 2010 | 17:06 WIB
Taufik,Politik Dinasti, Pojok Jurnalisme, 25/07/
2010 at 7:14 pm

Anda mungkin juga menyukai