Anda di halaman 1dari 3

KABINET GENDUT

Oleh Shohibul Anshor Siregar

Empat puluh dua jumlah kabinet Indonesia sepanjang sejarah selalu dengan jumlah anggota yang bervariasi.
Seluruhnya mungkin dapat dibagi 4: langsing (10 sampai 20 menteri, 12 kabinet); sedang (21 sampai 25 menteri, 7
kabinet); gendut (26 sampai 35 menteri, 10 kabinet); dan amat gendut (35 ke atas, 13 kabinet).

Tentu saja ada argumen kejamakan dan kompleksitas urusan yang berbeda antara satu dan lain negara di balik
pembentukan kabinet langsing, sedang, gendut dan amat gendut ini. Tetapi tampaknya kegendutan adalah salah satu
masalah yang cukup ajeg dalam kabinet Indonesia sejak merdeka. Hampir selalu terlalu gendut, termasuk kabinet-
kabinet setelah ditinggalkan Soeharto. Kabinet Indonesia Maju sendiri memiliki 4 Kementerian Koordinator, 30
Kementerian, 4 Pejabat Setingkat Menteri, 2 Kepala Lembaga Nonkementerian, 2 Kepala Lembaga Nonstruktural
dan masih ada 14 Wakil Menteri.

Bagaimana asal-muasal kegendutan kabinet ini? Kemungkinan pertama, gagal memahami makna pesan pembukaan
UUD 1945. Kedua, ingin mengakomodasi apa yang dimaknai sebagai kepentingan nasional dengan karakter
kemajemukannya yang khas. Ketiga, kegagalan menangkap pesan-pesan zaman hingga seolah semua isyu yang
mengemuka dalam kehidupan nasional dan internasional yang secara sederhana ingin diakomodasi sebagai sebuah
urusan yang memerlukan kementerian khusus.

Pesan Pembukaan UUD 1945

Menurut UU Nomor 39 Tahun 2008 dalam menjalankan tugasnya Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara
yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan guna mencapai tujuan negara. UU ini diterbitkan tanpa
rujukan konsideran pada UU sebelumnya, melainkan langsung merujuk kepada UUD 1945. Artinya UU No 39
Tahun 2008 adalah UU pertama Indonesia tentang Kementerian.

Secara teknis seluruh Kementerian dapat dibagi menjadi 3 kategori. Pertama, Kementerian yang melaksanakan
urusan pemerintahan yang nomenklaturnya secara tegas disebutkan dalam UUD 1945 (luar negeri, dalam negeri,
dan pertahanan). Ketiganya lazim disebut sebagai triumvirat sebagaimana dimaksudkan oleh pasal 8 ayat (3) UUD
1945 (Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya
dalam masa jabatannya secara bersamaan, Pelaksana Tugas Kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri
Dalam Negeri, Menteri Pertahanan secara bersama-sama).

Kedua, Kementerian yang melaksanakan urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam UUD 1945
(urusan agama, hukum, keuangan, keamanan, hak asasi manusia, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial,
ketenagakerjaan, industri, perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi,
informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan). Tentu UUD 1945
yang dimaksud ialah setelah mengalami amandemen sebanyak 4 kali.

Ketiga, Kementerian yang melaksanakan urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan
sinkronisasi program pemerintah (urusan perencanaan pembangunan nasional, aparatur negara, kesekretariatan
negara, badan usaha milik negara, pertanahan, kependudukan, lingkungan hidup, ilmu pengetahuan, teknologi,
investasi, koperasi, usaha kecil dan menengah, pariwisata, pemberdayaan perempuan, pemuda, olahraga,
perumahan, dan pembangunan kawasan atau daerah tertinggal). Juga dinyatakan oleh UU ini bahwa untuk
kepentingan sinkronisasi dan koordinasi, Presiden dapat membentuk Kementerian Koordinasi (Menko). Inilah pasal
yang menjadi dasar bagi keberadaan Menko.

Meski pun jumlah Kementerian menurut pasal 15 UU ini paling banyak 34 (tiga puluh empat) dan dimungkinkan
mengangkat Wakil Menteri dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus pada
Kementerian tertentu, namun tidak untuk setiap urusan pemerintahan harus dibentuk satu Kementerian tersendiri.

Jika dibandingkan dengan tujuan bernegara menurut Pembukaan UUD 1945, terdapat 5 pesan utama. Pertama,
kemerdekaan sebagai hak segala bangsa. Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan. Kedua, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia. Ketiga, memajukan kesejahteraan umum. Keempat, mencerdaskan kehidupan bangsa. Kelima, ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Gagasan besar inilah yang kelihatannya tidak begitu diperhatikan dalam pembentukan kabinet, termasuk dalam
perumusan UU No 39 Tahun 2008. Baik dalam pengelompokan berdasarkan rumpun urusan mau pun perumusan
nomenklatur kementerian, para Presiden yang silih berganti sejak dahulu terjebak dalam cara berfikir campuran
amat teknis dan akomodasi kepentingan lain yang menyebabkan aspek konsistensi, koherensi dan korespondensi
kinerja setiap pemerintahan dengan tuntutan imperatif Pembukaan UUD 1945 tidak atau kurang kuat bersintuhan.

Tentu saja orang bisa berdalih sebagaimana disebutkan dalam UU Nomor 39 Tahun 2008 bahwa pembentukan
kabinet telah mengacu kepada UUD 1945. Dengan pengecualian atas pasal yang menyebutkan landasan
pembentukan kementerian berdasarkan pertimbangan nomenklatur yang secara tegas disebutkan dalam UUD 1945
(luar negeri, dalam negeri, dan pertahanan) dan ruang lingkup urusannya disebutkan dalam UUD 1945, terasa sekali
bahwa pertimbangan pelaksanaan urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi
program pemerintah yang begitu fleksible sehingga derajat konsistensi, koherensi dan korespondensinya dengan
Pembukaan UUD 1945 begitu tipis dan ringan (alakadarnya saja).

Menteri Koordinator

Jabatan Kementerian Koordinator mulai diadakan sejak Kabinet Kerja III (6 Maret 1962-13 Nopember 1963)
sebagai hasil reshuffle kabinet sebelumnya oleh Presiden Sukarno pada era Demokrasi Terpimpin dengan Soekarno
sebagai Perdana Menteri dibantu oleh Menteri Pertama Djuanda Kartawidjaja, Wakil Menteri Pertama J. Leimena
dan Wakil Menteri Pertama II Subandrio.

Berbeda dengan Menteri Koordinator sejak zaman Soeharto, ketika pertamakali dibentuk semua Menteri
Koordinator adalah Wakil Menteri Pertama. Ketika itu Kementarian Koordinator terbagi menurut bidang Dalam
Negeri/Hubungan Ekonomi Dalam Negeri, Bidang Pertahanan/Keamanan, Bidang Produksi, Bidang Distribusi,
Bidang Keuangan, Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Bidang Khusus (penerangan, penghubung
DPR/MPR/DPA/Bappenas, Front Nasional, penghubung Alim-Ulama).

Meski dengan penamaan berbeda, pada kabinet Ampera I terdapat sebutan Menteri utama yang jika ditilik dari
kewenangannya kurang lebih sama dengan Menteri Koordinator (bidang pertahanan dan Keamanan, bidang Politik,
bidang Kesejahteraan Rakyat, bidang keuangan dan ekonomi, dan bidang Industri dan Pembangunan). Waktu itu
Soeharto menjabat sebagai Presidium dan Menteri Utama yang membawahkan semua Menteri.

Pada Kabinet Pembangunan I (1968-1973) penamaan tegas (Menteri Koordinator) muncul dengan dua kementerian,
yakni Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri; dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat.
Namun pada Kabinet Pembangunan II (1973-1978) jabatan Koordinator hilang, untuk kemudian sebutan eksplisit
Menteri Koordinator muncul kembali pada Kabinet Pembangunan III (1979-1984) di bawah kepemimpinan
Soeharto. Waktu itu terdapat tiga Kementerian Koordinator, yakni bidang politik dan keamanan, bidang ekonomi
dan keuangan/Kepala BAPPENAS, dan bidang kesejahteraan rakyat.

Mungkin, selain politik akomodasi terbatas, hanya dua alasan lain diperlukannya Kementerian Koordinator.
Pertama, Presiden tidak diyakinkan bahwa dia mampu mempimpin sehingga diperlukan orang-orang lain yang
posisinya dalam praktik tak ubahnya seperti “presiden terbatas” dan atasan bagi para Menteri. Kedua, nilai
demokrasi yang belum jauh bergesera dari model kerajaan-kerajaan lama, yakni the king can do no wrong. Jadi
Presiden itu diposisikan selalu benar dan tidak boleh salah. Jika ada masalah ya seolah Menko itu yang paling
bertanggungjawab.

Sebetulnya dengan jabatan Wakil Presiden, seorang Presiden di Indonesia dapat terbantu untuk melakukan
koordinasi hingga keberadaan Menko tidak diperkukan sama sekali. Kecuali memang tak bersedia membagi tugas
atau posisi Wakil Presiden itu hanya simbol belaka yang menanti ada pemakzulan Presiden.
Memang untuk kondisi perpolitikan Indonesia seseorang yang berniat menjadi Presiden sangat memerlukan
kombinasi klaster dukungan hingga benar-benar inklusif. Jika hanya untuk tujuan itulah, untuk memenangi Pilpres,
seseorang diperukan untuk menjabat Wakil Presiden, Indonesia telah menyianyiakan energi besar.

Kegemukan kabinet itu masih ditambah lagi dengan para Wakil Menteri. Pesannya bisa bermakna bahwa menteri itu
tidak tahu apa-apa lantas harus diback up oleh figur ahli, itulah kapasitas Wakil Menteri. Dugaan ini sukar ditepis
karena untuk kementerian tertentu jumlah Wakil bisa berbilang.

Tidak sampai di situ, Indonesia pada era pertama kepemimpinan Joko Widodo telah membentuk jabatan khusus
untuk Luhut Binsar Panjaitan, yakni KSP. Kini dijabat oleh Moeldoko yang adalah mantan Panglima TNI. Latar
belakang sebagai mantan Panglima TNI itu dan latar belakang Luhut Binsar Panjaitan (Jenderal TNI) lebih dari
cukup untuk memperjelas tujuan, peran dan fungsi akomodasi KSP. Pernah ada seseorang sipil di sana, tetapi kita
lihat hanya sekejap.

Jokowi juga memerlukan staf khusus dengan kategori yang dia bikin sendiri, yakni milenial. Masih ada juru bicara-
juru bicara. Semua menambah keriuhan di samping kegemukan yang kesemuanya mencerminkan ketidak
terkordinasian.

Penutup

Efektivitas kabinet sama sekali tidak terkait dengan jumlahnya yang besar, melainkan konsistensinya, koherensi dan
korespondensinya dengan Pembukaan UUD 1945 dan UUD 1945. UU Nomor 39 Tahun 2008 selain terasa sangat
perlu direvisi, ketajaman memaknai isyu berkembang juga sangat diperlukan. Tidak semua isyu berkembang secara
lokal dan nasional serta-merta dapat menjadi alasan untuk diakomodasi menjadi kementerian khusus.

Berulangkali Presiden Joko Widodo menyebutkan pentingnya didirikan fakultas tertentu di perguruan tinggi, seperti
Fakultas Kelapa Sawit dan Fakultas Kopi. Para akademisi dan ilmuan tentu merasa geli dengan usul ini, dan harus
ada orang yang membisikkan letak kesalahan usul ini kepada Presiden Joko Widodo. Dari satu segi analogi ini
cocok untuk menjelaskan kegendutan kabinet Indonesia yang tidak efektif.

Pengkategorian kabinet langsing, sedang, gendut dan amat gendut dapat terasa sewenang-wenang bagi sebagian
orang. Tetapi jika dibandingkan dengan kabinet di negara lain, Amerika Serikat, misalnya, kategorisasi itu masuk
akal. Negara besar dan sangat berkuasa itu hanya memiliki 15 Kementerian dan 8 Pejabat Setingkat menteri. Di sana
tidak dikenal Kementerian Koordinator. Kabinet Amerika itu langsing dan amat efektif.

Penulis dosen FISIP UMSU. Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

Anda mungkin juga menyukai