Anda di halaman 1dari 3

Keamanan Transportasi Udara

Oleh Shohibul Anshor Siregar

Sangat menarik untuk ditelaah. Ada pihak yang mengajukan tuntutan “Copot Menteri Perhubungan”. Tuntutan itu
dikemukakan tidak dalam keadaan normal, karena faktanya disampaikan saat unjuk rasa. Atau unjuk rasa dirancang
khusus untuk mengemukakan tuntutan itu. Unjuk rasanya tidak pula sembarangan. Di depan Istana Negara dan di
Kemenhub, Kamis (14/1/2022), sekitar pukul 13:20 WIB. Mengapa di situ? Tentu berharap beroleh perhatian serius
dari “tukang angkat” menteri dan “mengamininya”.

Tentulah pemicu unjuk rasa dengan tuntutan “Copot Menteri Perhubungan” ini ialah peristiwa menyedihkan
jatuhnya pesawat Sriwijaya Air, 182, Sabtu 9/1/2021.

Sepintas pesan utama unjuk rasa ini cukup beralasan, karena selain jatuhnya pesawat Sriwijaya Air 182, dalam
kurun 2015-2021 saja telah terjadi beberapa kecelakaan penerbangan di Indonesia. Seakan dapat disimpulkan bahwa
semua kejadian buruk itu tidak memberi pelajaran untuk perubahan ke arah lebih baik.

Sesederhana itukah? Apakah jika Menteri Perhubungan diganti hari ini akan ada jaminan perbaikan yang diharapkan
dalam waktu yang tidak terlalu lama? Jangan-jangan setiap tahun pun mengganti Menteri Perhubungan kondisi yang
dikritik tidak dapat diperbaiki. Mengapa? Masalahnya sangat kompleks dan sistemik yang kelihatannya tidak hanya
terletak di Pundak seorang Menteri Perhubungan.

Mari kita mulai dengan mencermati data umum kecelakaan yang terjadi pada kurun 2015-2021. Kalau tidak salah,
pada kurun ini setidaknya terjadi 3 kali kecelakaan penerbangan di Indonesia. Tanggal 30 Juni 2015 AirAsia (8501)
jatuh di Selat Karimata, Laut Jawa, dengan korban meninggal 162 orang. Tanggal 30 Juni 2015 pesawat Hercules
TNI AU (C-130) jatuh di Medan dengan korban 143 orang meninggal. Tanggal 29 Oktober 2018 Boeing Max 737
Lion Air (610) jatuh di Laut Jawa, dekat Karawang, dengan korban 189 orang meninggal.

Bagaimana data kurun sebelumnya? Jika ditelusuri lebih ke awal lagi, berbagai sumber terbuka dengan akses online
mudah akan memberikan catatan berikut. Tanggal 22 April 1974 pesawat 707-312B Pan Am dengan nomor
penerbangan 812 yang mengangkut 107 penumpang, jatuh di Bali. Tanggal 5 Oktober 1991 pesawat Lockheed C-
130H-30 Hercules milik TNI AU (A-1324) jatuh di Jakarta Timur dengan 135 penumpang tewas. Tanggal 26
September 1997 Airbus A300B4-220 Garuda Indonesia nomor penerbangan 152 jatuh di sekitar Kota Medan.
Jumlah penumpang tewas 234 orang. Tanggal 19 Desember 1997 Boeing 737-36N milik SilkAir jatuh di Sungai
Musi dengan 104 penumpang tewas.

Tanggal 5 September 2005 Boeing 737-230 milik Mandala Airlines jatuh di Medan. Korbannya 149 orang, termasuk
para petinggi daerah. Tanggal 1 Januari 2007 Boeing 737-4Q8 milik Adam Air jatuh di Selat Makassar dengan
jumlah penumpang tewas 102 orang. Tanggal 20 Mei 2009 pesawat Lockheed C-130H miliki TNI AU (A-1325)
jatuh di sekitar Madiun. Sebanyak 99 penumpang tewas.

Ternyata meski “Indonesian Aircraft Accident/Incident Database” menyediakan informasi yang lebih lengkap,
terasa seolah catatan berhenti sebatas keterangan yang pesannya kurang atau tidak memberi dampak perubahan
sistem transportasi (udara).

Memang situs http://knkt.dephub.go.id/knkt/ntsc_aviation/aaic.htm (diakses 16 Januari 2021 pukul 06.05 WIB) itu
tidak memberi keterangan yang begitu rinci. Misalnya, tahun 1998 dicatat 35 kejadian yang di antara catatan yang
disediakan untuk kasus tertentu berbunyi begini “On landing, the main rotor struckanother helicopter's skid.” Atau
“On the landing preparation, the pilot saw an indication that the nose landing gear was unlocked. The pilot tried to
deploy the landing gear but failed and had to land due to limited fuel.”

Tahun 1989 tercatat dalam situs itu sebanyak 34 kejadian. Tahun 1990 (23 kejadian), 1991 (23 kejadian), 1992 (37
kejadian), 1993 (38 kejadian), 1994 (32 kejadian), 1995 (41 kejadian), 1996 (46 kejadian), 1997 (35 kejadian), 1998
(35 kejadian), 1999 (31 kejadian), 2000 (15 kejadian), 2001 (37 kejadian), 2002 (25 kejadian), dan 2003 (6
kejadian). Sumber ini tak menyediakan catatan kejadian tahun-tahun berikutnya (2004-2021).
Sebagaimana didefinisikan oleh Convention on International Civil Aviation, sebuah kecelakaan penerbangan adalah
kejadian yang memengaruhi atau dapat memengaruhi keselamatan operasi yang dapat mengakibatkan korban terluka
atau meninggal, pesawat mengalami kerusakan yang serius atau kegagalan struktural, atau pesawat hilang atau sama
sekali tidak dapat diakses oleh mode komunikasi.

Faktor penyebabnya cukup beragam. Tetapi mungkin dapat disederhanakan menjadi faktor teknis, faktor cuaca dan
faktor kesalahan manusia atau human error (Eko Poerwanto dkk, 2016). Dengan membedakan accident (kecelakaan)
dengan incident (kejadian selain kecelakaan yang terkait dengan pengoperasian pesawat udara, yang mempengaruhi
atau dapat mempengaruhi keselamatan operasi), Indonesia disebut memiliki frekuensi yang berbeda untuk
keduanya. Frekuensi kejadian yang masuk kelompok serius insiden ternyata lebih tinggi daripada kelompok
accident.

Penyelidikan objektif yang bertujuan untuk mencari tahu apa yang terjadi, menentukan tanggung jawab untuk setiap
kecelakaan yang mungkin menyangkut regulasi, berbagai kompensasi finansial, memeroleh pemahaman yang
memuaskan berdasarkan penjelasan yang dihasilkan oleh penyelidikan menyeluruh dan rinci, secara keseluruhan
mengarah kepada tujuan tunggal yakni menemukan informasi tentang kelemahan dalam sistem. Tentulah setiap
sistem yang direncanakan selalu memiliki obsesi perhitungan tingkat keselamatan yang tertinggi dan karena itu
setiap kecelakaan berdasarkan pandangan sistem yang direncanakan itu otomatis harus dianggap sebagai kegagalan
sistem. Dengan demikian penyelidikan selalu diharapkan memberikan peluang capaian harapan besar untuk
perbaikan dan atau peningkatkan sistem.

Pemikiran seperti itu sudah lama digaungkan oleh para ahli. Yaddy Supriyadi dalam Welly Pakan (2014),
menyebutkan bahwa kecelakaan pesawat yang sering terjadi di Indonesia menimbulkan tanda tanya tentang
kejujuran dan kepatuhan dalam pengelolaan penerbangan. Ia menegaskan perlunya dipertanyakan mengenai
kebenaran yang melandasi berbagai kebijakan kelayakan penerbangan dan kebijakan lainnya yang diterapkan di
Indonesia.

Benar apa yang dikatakan Sudibyo dalam Welly Pakan (2014), bahwa meski banyak faktor penyebab kecelakaan
(faktor pesawat, human error, cuaca, atau bahkan ketidakberfungsian dari fasilitas-fasilitas bandara) semuanya pasti
dapat diposisikan menjadi tanggung jawab siapa di antara para pihak yang terdapat dalam sistem (pengelola bandara
sebagai institusi penyedia jasa layanan lalu lintas udara, maskapai penerbangan, dan pemerintah melalui
Kementerian Perhubungan RI sebagai regulator). Sudibyo malah lebih maju mengatakan bahwa beberapa peristiwa
kecelakaan, yang melibatkan maskapai penerbangan justru menunjukkan belum seriusnya penegakan standar dan
prosedur keselamatan dari pemerintah.

Padahal Safety Management System (SMS) termasuk dalam pengelolaan transportasi udara menuntut serangkaian
upaya terencana dan sistematis dalam rangka melakukan pemantauan dan pembenahan segala aspek yang
mempengaruhi faktor keselamatan (Dominic Cooper, 2002). Tetapi terkadang implementasi dari sebuah sistem yang
diciptakan tidak serta merta dapat terlaksana. Mungkin orang suka bersikap sloganistik untuk sebuah rencana
perubahan, namun keadaan tidak dapat berubah oleh slogan meski diikuti oleh mobilisasi opinsi dan seremoni
betapa pun berbiaya mahal.

Dari musibah Sriwijaya Air kita mungkin bisa mencari sebuah petunjuk atas satu hal yang cukup serius dalam
totalitas sistem. Artikel Jamie Freed dan Stanley Widianto yang diterbitkan Reuter berjudul “Sriwijaya Air crash
places Indonesia's aviation safety under fresh spotlight” menyebut bahwa sejak tahun 2018 keselamatan
penerbangan di Indonesia memang menunjukkan peningkatan. Ia menunjuk salah satu indikator penting, yakni
kesediaan menerima evaluasi badan penerbangan PBB. Tetapi menurutnya, berdasarkan rujukan pada database
Aviation Safety Network, Indonesia ternyata kini adalah pasar penerbangan paling mematikan di dunia setelah Rusia,
Iran, dan Pakistan. (Before the crash, there had been 697 fatalities in Indonesia over the last decade including
military and private planes, making it the deadliest aviation market in the world - ahead of Russia, Iran and
Pakistan - according to Aviation Safety Network’s database).

Sangat tepat tohokannya yang lain dengan menyebut “Boeing sebaiknya memandu Indonesia untuk memulihkan
kepercayaan pada industri penerbangannya”.
Karena itu saya curiga alamat unjuk rasa ini akan sia-sia. Saya tak begitu berani mengatakan bahwa jika pun ganti
Menteri sekali dalam setahun, keadaan tidak akan lebih baik. Mengapa? Sebagaimana disebutkan dalam bagian awal
tulisan ini, masalahnya bersifat sistemik dan akarnya tidak berada di Kementerian Perhubungan saja. Karena itu saya
menawarkan tuntutan unjuk rasa ini berusaha menonjok hulu (akar) masalah.

Penulis dosen FISIP UMSU. Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

Anda mungkin juga menyukai