I. STATUS PASIEN
A. INDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn.T
Usia : 69 tahun
Alamat Berkoh RT 02 RW 03
Tgl masuk : 25 September 2018
Bangsal : Cendana
DPJP : dr. Moniqa, Sp.P
B. ANAMNESIS (Autoanamnesis)
1. Keluhan Utama:
Sesak napas
2. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke IGD RSMS dengan keluhan sesak napas sejak 5 hari
yang lalu. Sesak dirasakan terus menerus, mengganggu aktivitas, semakin
mudah lelah saat aktivitas disbanding hari hari sebelumnya dan semakin
memberat. Sesak napas diikuti napas berbunyi ngik ngik. Keluhan sesak
dirasakan semakin berat saat pasien beraktivitas dan membaik dengan
berbaring. Pasien rutin mengkonsumsi obat obatan yaitu seretide diskus.
Pasien juga mengeluhkan badan terasa panas dingin.
Awalnya, pasien mulai sering merasakan sesak sejak awal tahun 2013 dan
memiliki riwayat opname. Pasien rutin control di poli paru dan mengkonsumsi
obat rutin. Pasien mengaku sesak sering terasa kambuh namun semakin berat
5 hari terakhir ini. Pasien merupakan seorang buruh serabutan yang bekerja di
tempat banyak debu dan merupakan seorang perokok aktif dari kecil hingga
sekarang. Pasien mengaku dalam sehari dapat menghabiskan lebih dari satu
bungkus rokok
3. Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat memiliki keluhan yang sama : (+)
Riwayat gangguan lambung : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal
Riwayat penyakit jantung : disangkal
Riwayat diabetes mellitus : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat asma : disangkal
C. OBJEKTIF
1. Keadaan umum : Baik
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Vital sign
TD : 110/60 mmHg
N : 72 x/menit, kuat angkat, reguler
RR : 64 x/menit, reguler
S : 36.6 oC
D. PEMERIKSAAN FISIK
1. Pemeriksaan kepala
a. Bentuk kepala : Simetris, mesocephal
b. Rambut : Distribusi merata, warna hitam
c. Venektasi temporal : tidak ada
2. Pemeriksaan mata
a. Konjungtiva : Anemis (-/-)
b. Sklera : Ikterik (-/-)
c. Pupil : Isokor (3mm/3mm).
d. Palpebra : Oedem (-/-)
e. Reflek cahaya langsung/ tidak langsung : (+/+) / (+/+)
3. Pemeriksaan Hidung
a. Discharge : (-)
b. Nafas Cuping Hidung : (-)
4. Pemeriksaan mulut
a. Bibir sianosis : (-)
b. Lidah sianosis : (-)
c. Lidah kotor : (-)
d. Fetor hepaticum : (-)
5. Pemeriksaan leher
Simetris, deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Palpasi: JVP 5+2 cm
6. PemeriksaanThorax
Pulmo
Inspeksi
Simetris kanan kiri, retraksi (-), ketinggalan gerak (-)
Palpasi
Vokal fremitus lobus superior kanan sama dengan kiri.
Vokal fremitus lobus inferior kanan sama dengan kiri.
Perkusi
Sonor di semua lapang paru.
Auskultasi
Suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (+/-), RBH (-/-), RBK(-/-)
Jantung
Inspeksi
Ictus cordis tidak tampak, pulsasi epigastrium (-).
Palpasi
Ictus cordistidak teraba.
Perkusi
Batas atas kanan : SIC II LPSS
Batas atas kiri : SIC II LMCS
Batas bawah kanan : SIC V LPSD
Batas bawah kiri : SIC V LMCS
Auskultasi
S1>S2, reguler, murmur (-), gallop (-).
7. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi
Cembung, distensi (-),
Auskultasi
Bising usus (+)N
Perkusi
Timpani
Palpasi
Supel, nyeri tekan (+) di epigastrium
Hepar : tidak teraba
Lien : tidak teraba
8. Pemeriksaan Ekstremitas
Superior : Edema (-/-), akral dingin (-/-), sianosis (-/-), ikterik (-/-)
Inferior : Edema (-/-), akral dingin (-/-), sianosis (-/-), ikterik (-/-)
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium tanggal 24 September 2018
Hasil Satuan Nilai Normal
Hemoglobin 14,8 g/dl 11,2 – 17,3
Leukosit 6686 /ul 3.800 – 10.600
Hematokrit 47 % 40 – 52
Eritrosit 5,5 106/ul 4,4 – 5,9
Trombosit 252.000 /ul 150.000 –
440.000
MCV 85,2 fL (L) 80 – 100
MCH 26,8 Pg/cell 26 – 34
MCHC 31,4 (L) % 32 – 36
RDW 16,6 (L) % 11,5 – 14,5
MPV 10,1 fL 9,4 – 12,4
Hitung Jenis
Leukosit
Basofil 0,6 % 0–1
Eosinofil 6,9 (H) % 2–4
Batang 0,3 (L) % 3–5
Segmen 51,8 % 50 – 70
Limfosit 29,0 % 25 – 40
Monosit 9,4 (H) % 2–8
Kimia Klinik
Ureum 24,5 mg/dL 14.98 – 38.52
Kreatinin 0,99 mg/dL 0.55 – 1.02
GDS 92 mmol/dL <200
Natrium 140 mmol/dL 134-146
Kalium 4,6 (H) mmol/dL 3,4-4,5
Klorida 105 mmol/dL 96-100
SGOT 20 mg/dL
SGPT 23 mg/dL
G. PENATALAKSANAAN
1. Non Medikamentosa
a. Berhenti merokok
b. Rehabilitasi medis
c. Olahraga rutin
2. Medikamentosa
a. O2 4 lpm NK
b. Nebul combivent/6 jam
c. IVFD RL 20 tpm
d. Inj Metil Prednisolon 62,5 mg/8 jam
e. Inj Furosemid 1 amp/12 jam
f. PO NAC 3x200 mg
g. PO azitromisin 1x500 mg
h. PO salbutamil 3x2 mg
A. Definisi PPOK
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang dapat
dicegah dan diobati, yang ditandai dengan gejala pernapasan persisten dan
keterbatasan aliran udara karena kelainan saluran napas dan / atau alveolar
biasanya disebabkan oleh paparan yang signifikan partikel berbahaya atau gas.
Eksaserbasi dan komorbiditas berkontribusi pada pasien (GOLD, 2018).
Sedangkan berdasarkan PDPI 2015 PPOK didefinisikan sebagai penyakit
paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran nafas yang
bersifat progresif non reversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari
bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.
B. Epidemiologi
Menurut World Health Organization (WHO) (2008) PPOK merupakan
salah satu penyebab utama kematian di dunia dan akan menempati urutan ke-
tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker. Pada tahun 2002, 2004 dan
2005 ProportionalMortality Ratio (PMR) akibat PPOK di beberapa negara
maju masing-masing sebesar 3,9%, 3,5% dan 3,9% Di negara berkembang
masing-masing sebesar 7,6%, 7,45% dan 8,1serta di negara miskin masing-
masing sebasar 3,1%, 3,6% dan 3,4%. Angka - angka tersebut menunjukkan
semakin meningkatnya kematian akibat PPOK di dunia(WHO, 2008).
Laporan terbaru WHO menyatakan bahwa sebanyak 201 juta manusia
mengalami PPOK dan hampir 3 juta manusia meninggal akibat PPOK pada
tahun 2005. Diperkirakan pada tahu 2030, PPOK akan menjadi penyebab ke-
tiga kematian di seluruh dunia (WHO, 2008).Sedangkan data di Indonesia
berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013 (RISKESDAS), prevalensi PPOK
adalah sebesar 3,7%. Angka kejadian penyakit ini meningkat dengan
bertambahnya usia dan lebih tinggi pada laki-laki (4,2%) dibanding
perempuan(3,3%).
C. Faktor Resiko
Penentuan langkah untuk pencegahan dan penatalaksanaan PPOK dimulai
dari identifikasi faktor risiko. Meskipun saat ini pemahaman faktor risiko
PPOK dalam banyak hal masih belum lengkap, diperlukan pemahaman
interaksi dan hubungan antara faktor-faktor risiko sehingga memerlukan
investigasi lebih lanjut. Menurut GOLD (2018), faktor risiko terjadinya PPOK
meliputi :
1. Asap Rokok
Kebiasaan merokok merupakan penyebab paling penting untuk
diidentifikasi, sebab asap rokok mempunyai prevalensi yang tinggi sebagai
penyebab gejala respirasi dan gangguan fungsi paru. Dari beberapa
penelitian dilaporkan bahwa asap rokok menyebabkan penurunan rerata
VEP1.
Risiko PPOK pada perokok tergantung dari dosis rokok yang dihisap, usia
mulai merokok, jumlah batang rokok pertahun dan lamanya merokok
(Indeks Brinkman )
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
a. Riwayat merokok
· Perokok aktif
· Perokok pasif
· Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian
jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama
merokok dalam tahun :
· Ringan : 0-200
· Sedang : 200-600
· Berat : > 600
2. Polusi Udara
Berbagai macam partikel dan gas yang terdapat di udara sekitar dapat
menjadi penyebab terjadinya polusi udara. Ukuran dan macam partikel
akan memberikan efek yang berbeda terhadap timbulnya dan beratnya
PPOK. Agar lebih mudah mengidentifikasi partikel penyebab, polusi udara
terbagi menjadi (WHO, 2016):
a. Polusi di dalam ruangan
· Asap rokok
· Asap kompor
b. Polusi di luar ruangan
· Gas buang kendaraan bermotor
· Debu jalanan
c. Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)
3. Stres Oksidatif
Terdapat 2 jenis oksidan yaitu oksidan endogen dan eksogen. Oksidan
endogen timbul dari sel fagosit dan tipe sel lainnya sedangkan oksidan
eksogen dari polutan dan asap rokok.
Jika terdapat ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan, misalnya
peningkatan jumlah oksidan dan atau deplesi antioksidan akan
menimbulkan stres oksidatif. Stres oksidatif tidak hanya menimbulkan efek
kerusakan pada paru tetapi juga menimbulkan aktifitas molekuler sebagai
awal inflamasi paru.
4. Infeksi Saluran Nafas Bawah Berulang
Infeksi virus dan bakteri berperan dalam patogenesis dan progresifitas
PPOK. Kolonisasi bakteri menyebabkan inflamasi jalan napas, berperan
secara bermakna menimbulkan eksaserbasi. Infeksi saluran napas berat
pada anak akan menyebabkan penurunan fungsi paru dan meningkatkan
gejala respirasi pada saat dewasa.
Terdapat beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan penyebab
keadaaan ini, karena seringnya kejadian infeksi berat pada anak sebagai
penyebab dasar timbulnya hiperesponsif jalan napas yang merupakan faktor
risiko pada PPOK.
5. Sosial Ekonomi
Sosial ekonomi sebagai faktor risiko terjadinya PPOK belum dapat
dijelaskan secara pasti. Pajanan polusi di dalam dan luar ruangan,
pemukinan yang padat, nutrisi yang jelek, dan faktor lain yang
berhubungan dengan status sosial ekonomi kemungkinan dapat
menjelaskan hal ini.
6. Tumbuh Kembang Paru
Pertumbuhan paru ini berhubungan dengan proses selama kehamilan,
kelahiran, dan pajanan waktu kecil. Kecepatan maksimal penurunan fungsi
paru seseorang adalah risiko untuk terjadinya PPOK. Studi metaanalisis
menyatakan bahwa berat lahir mempengaruhi nilai VEP1 pada masa anak.
7. Asma
Asma kemungkinan sebagai faktor risiko terjadinya PPOK, walaupun
belum dapat disimpulkan. Pada laporan “The Tucson Epidemiological
Study” didapatkan bahwa orang dengan asma 12 kali lebih tinggi risiko
terkena PPOK daripada bukan asma meskipun telah berhenti merokok.
Penelitian lain 20% dari asma akan berkembang menjadi PPOK dengan
ditemukannya obstruksi jalan napas ireversibel.
8. Gen
PPOK adalah penyakit poligenik dan contoh klasik dari interaksi gen-
lingkungan. Faktor risiko genetik yang paling sering terjadi adalah
kekurangan alpha-1 antitrypsin sebagai inhibitor dari protease serin. Sifat
resesif ini jarang, paling sering dijumpai pada individu origin Eropa Utara.
Ditemukan pada usia muda dengan kelainan emphysema panlobular dengan
penurunan fungsi paru yang terjadi baik pada perokok atau bukan perokok
dengan kekurangan alfa-1 antitripsin yang berat. Banyak variasi individu
dalam hal beratnya emfisema dan penurunan fungsi paru.
Meskipun kekurangan alfa-1 antitrypsin yang hanya sebagian kecil dari
populasi di dunia, hal ini menggambarkan adanya interaksi antara gen dan
pajanan lingkungan yang menyebabkan PPOK. Gambaran diatas
menjelaskan bagaimana faktor risiko genetik berkontribusi terhadap
timbulnya PPOK.
D. Patologi
Perubahan patologis yang khas dari PPOK ditemukan di saluran udara,
parenkim paru, dan pembuluh darah pulmonal. Perubahan patologis yang
diamati pada PPOK termasuk peradangan kronis, dengan peningkatan jumlah
jenis sel inflamasi spesifik di berbagai bagian paru-paru, dan perubahan
struktural yang dihasilkan dari cedera dan perbaikan berulang. Secara umum,
perubahan inflamasi dan struktural pada saluran udara meningkat dengan
tingkat keparahan penyakit dan bertahan pada penghentian merokok.
Peradangan sistemik mungkin ada dan bisa berperan beberapa kondisi
komorbiditas yang ditemukan pada pasien dengan PPOK (GOLD 2018)
E. Patogenesis
Inflamasi saluran napas pasien PPOK merupakan amplifikasi dari respon
inflamasi normal akibat iritasi kronis seperti asap rokok. Mekanisme untuk
amplifikasi ini belum dimengerti, kemungkinan disebabkan faktor genetik.
Beberapa pasien menderita PPOK tanpa merokok, respon inflamasi pada
pasien ini belum diketahui. Inflamasi paru diperberat oleh stres oksidati dan
kelebihan proteinase. Semua mekanisme ini mengarah pada karakteristik
perubahan patologis PPOK.
Sel inflamasi PPOK ditandai dengan pola tertentu peradangan yan melibatkan
neutrofil, makrofag, dan limfosit. Sel-sel ini melepaskan mediator inflamasi
dan berinteraksi dengan sel-sel struktural dalam saluran udara dan parenkim
paru-paru.
1. Sel Inflamasi PPOK :
a. Neutrofil: meningkat dalam dahak perokok. Peningkatan neutrofil pada
PPOK sesuai dengan beratnya penyakit. Neutrofil ditemukan sedikit pada
jaringan. Keduanya mungkin berhubungan dengan hipersekresi lendir
dan pelepasan protease.
b. Makrofag: banyak ditemukan di lumen saluran napas, parenkim paru
dan cairan bronchoalveolar lavage (BAL). Berasal dari monosit yang
mengalami diferensiasi di jaringan paru. Makrofag meningkatkan
mediator inflamasi dan protease pada pasien PPOK sebagai respon
terhadap asap rokok dan menunjukkan fagositosis yang tidak sempurna.
c. Limfosit T: sel CD4+ dan CD8+ meningkat pada dinding saluran napas
dan parenkim paru, dengan peningkatan rasio CD8+: CD4+. Peningkatan
sel T CD8+ (Tc1) dan sel Th1 yang mensekresikan interferon-g dan
mengekspresikan reseptor kemokin CXCR3, mungkin merupakan sel
sitotoksik untuk sel-sel alveolar yang berkontribusi terhadap kerusakan
alveolar. Limfosit B meningkat dalam saluran napas perifer dan folikel
limfoid sebagai respon terhadap kolonisasi kuman dan infeksi saluran
napas Eosinofil meningkat di dalam sputum dan dinding saluran napas
selama eksaserbasi. Sel epitel: mungkin diaktifkan oleh asap rokok
sehingga menghasilkan mediator inflamasi
2. Mediator inflamasi
Berbagai macam mediator inflamasi yang telah terbukti
meningkat pada pasien PPOK menarik sel inflamasi dari sirkulasi
(faktor kemotaktik) menguatkan proses inflamasi (sitokin pro
inflamasi), dan mendorong perubahan struktural (faktor
pertumbuhan).
Tabel 1. Mediator Inflamasi dalam PPOK
3. Stres oksidatif
Stres oksidatif dapat menjadi mekanisme penguatan
penting dalam PPOK Biomarker stres oksidatif (misalnya,
peroksida hidrogen, 8-isoprostan meningkat dalam dahak,
kondensat hembusan napas dan sirkulas sistemik pada pasien
PPOK. Stres oksidatif lebih lanjut meningkat pad eksaserbasi.
Oksidan yang dihasilkan oleh asap rokok dan partikulat yang
dihiru lainnya yang dilepaskan dari sel-sel inflamasi ( seperti
makrofag da neutrophil ) diaktifkan. Mungkin juga ada
penurunan antioksidan endogenpada pasien PPOK.
Stres oksidatif memiliki beberapa konsekuensi yang
merugikan di paru termasuk aktivasi gen inflamasi, inaktivasi
antiproteases, stimulasi sekres lendir, dan stimulasi eksudasi
plasma meningkat. Banyak dari efe samping dimediasi oleh
peroxynitrite, yang dibentuk melalui interaks antara anion
superoksida dan oksida nitrat. Oksida nitrat yang dihasilka oleh
sintase oksida nitrat induktif, terdapat pada saluran udara perifer
da parenkim paru pasien PPOK. Stres oksidatif juga dapat
mencaku pengurangan dalam kegiatan histone deacetylase pada
jaringan paru dar pasien PPOK, yang dapat menyebabkan
peningkatan ekspresi ge inflamasi dan juga pengurangan tindakan
anti-inflamasi glukokortikosteroid.
4. Ketidakseimbangan protease-Antiprotease
Ada bukti kuat mengenai ketidakseimbangan protease dan
antiproteas pasien PPOK, yaitu protease yang memecah
komponen jaringan ikat da antiproteases yang melindunginya.
Beberapa protease, berasal dari selinflamasi dan sel epitel, yang
meningkat pada pasien PPOK. Proteasemediate perusakan elastin,
komponen jaringan utama penghubung dala parenkim paru-paru,
adalah faktor penting dari emphysema dankemungkinan tidak
dapat diubah
F. Klasifikasi
Tabel 2. Klasifikasi derajat keparahan PPOK (GOLD, 2018)
Derajat Klinis Faal Paru
Derajat 0 Gejala kronik (batuk, dahak). Normal
Terpajan faktor risiko
Derajat I : Gejala batuk kronik dan VEP1 / KVP < 70 %.
PPOK produksi sputum ada tetapi tidak VEP1 > 80% prediksi
Ringan sering. Pada derajat ini pasien
sering tidak menyadari bahwa
fungsi paru mulai menurun
Derajat II : Gejala sesak mulai dirasakan VEP1 /KVP < 70 %
PPOK saat aktivitas dan kadang 50% < VEP1 < 80%
Sedang ditemukan gejala batuk dan Prediksi
produksi sputum. Pada derajat
ini biasanya pasien mulai
memeriksakan kesehatannya
Derajat III Gejala sesak lebih berat, VEP1 /KVP < 70 %
PPOK penurunan aktivitas, rasa lelah 30% < VEP1 < 50%
Berat dan serangan eksaserbasi Prediksi
semakin sering dan berdampak
pada kualitas hidup pasien
Derajat IV: Gejala di atas ditambah tanda- VEP1/ KVP < 70 %
PPOK tanda VEP1< 30% prediksi atau
Sangat gagal napas atau gagal VEP1 < 50% prediksi
Berat jantung kanan dan disertai gagal napas
ketergantungan oksigen. Pada kronik
derajat ini kulitas hidup pasien
memburuk dan jika eksaserbasi
dapat mengancam jiwa
2. Pemeriksaan Fisik
a) Inspeksi
· Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup / mencucu)
· Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding)
· Penggunaan otot bantu napas
· Hipertropi otot bantu napas
· Pelebaran sela iga
· Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena
jugularis di leher dan edema tungkai
· Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit
kemerahan dan pernapasan pursed-lips breathing (pink puffer)
atau Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk
sianosis, terdapat edema tungkai dan rongki basah di basal paru,
sianosis sentral dan perifer (blue bloater).
b) Palpasi
· Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
c) Perkusi
· Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
d) Auskultasi
· Suara napas vesikuler normal, atau melemah
· Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau
pada ekspirasi paksa
3. Pemeriksaan Penunjang
a) Faal Paru
Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
· Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau
VEP1/KVP (%).
· Obstruksi : % VEP1 (VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75%
· VEP1 % merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk
menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit
· Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan,
APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai
alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak
lebih dari 20%
Tabel 4. Klasifikasi Tingkat Keparahan Berdasarkan Pengukuran
Spirometri
b) Laboratorium
Darah rutin, Analisis Gas Darah
c) Rontgen Thoraks
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru
lain. Pada emfisema terlihat gambaran hiperinflasi, hiperlusen, ruang
retrosternal melebar, diafragma mendatar dan jantung menggantung
(jantung pendulum/tear drop / eye drop appearance). Sedangkan pada
bronkitis kronik ditemukan gambaran corakan bronkovaskuler
bertambah pada 21% kasus.
Algoritma penegakkan diagnosis PPOK adalah sebagai berikut :
Tahap 1 – Apakah pasien memiliki penyakit saluran pernapasan
kronis?
Langkah pertama dalam mendiagnosis kondisi ini adalah
untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko, atau dengan
kemungkinan besar memilikipenyakit saluran napas kronis dan untuk
mengecualikan penyebab potensial lain dari gejala pernapasan. Hal
ini didasarkan pada rinciriwayat kesehatan, pemeriksaan fisik dan
investigasi (GINA, 2018).
a. Clinical history
Pertimbangkan penyakit saluran napas kronis bila (GINA, 2018):
b. Physical examination
Pemeriksaan fisik meliputi (GINA, 2018):
– Mungkin normal
– Hiperinflasi / insufisiensi pernapasan
– Wheeze dan atau crackle
c. Radiology
Pemeriksaan radiologi umumnya didapatkan hasil (GINA, 2018):
Mungkin normal, terutama dalam tahap awal
Abnormalitas Foto rontgen thorak atau CT scan (digunakan
untuk skrining tumor paru) termasuk hiper inflasi, penebalan
diniding pernapasan, udara yang terjebak, bulla atau gambaran
lain dari emphysema.
Mungkin diidentifikasi sebagai diagnosis alternatif, termasuk
bronkiektasis, pembuktian infeksi paru sebgaimana TBC,
penyakit intersisial paru atau gagal jantung.
Tahap 2. Diagnosa gejala Asma, COPD dan ACOS pada pasien
dewasa
Adanya gambaran tumpang tindih antara asma dan COPD, maka
pendekatan yang diusulkan berfokus pada gambaran yang paling
membantu dalam mengidentifikasi dan membedakan tipikal asma dan
COPD khas (GINA, 2018).
a. Kumpulkan gambaran yang mendukung diagnosis
Mulai dari riwayat yang cermat yang mempertimbangkan
usia, gejala (khususnya onset dan progresi, variabilitas, musim atau
periodisitas dan persistensi), riwayat masa lalu, faktor risiko sosial
dan pekerjaan termasuk riwayat merokok, sebelumnya telah
didiagnosa asma atau COPD dan pengobatan dan respon terhadap
pengobatan, fungsi paru-paru, gambaran yang mendukung
diagnostik profil asma atau COPD dapat ditegakkan. Kotak
centang di gambar 5 dapat digunakan untuk mengidentifikasi
gambaran yang paling konsisten dengan asma dan / atau COPD.
Perhatikan bahwa tidak semua gambaan asma dan COPD terdaftar,
tetapi hanya mereka yang paling mudah membedakan antara asma
dan COPD dalam praktek klinis (GINA, 2018).
b. Bandingkan jumlah gambaran yang mendukung diagnosis
Dari Kotak di gambar 5, hitung jumlah kotak yang
dicentang di setiap kolom. Jumlah yang memiliki beberapa (tiga
atau lebih) gambaan yang terdaftar baik untuk asma atau untuk
COPD, dengan tidak adanya gambaran untuk diagnosis alternatif,
memberikan kemungkinan kuat diagnosis yang benar untuk asma
atau COPD. Riwayat alergi meningkatkan kemungkinan bahwa
gejala pernapasan disebabkan asma, tetapi tidak penting untuk
diagnosis asma karena asma non-alergi adalah fenotipe asma yang
diakui; dan atopi adalah hal umum pada populasi termasuk pada
pasien yang mengalami perkembangan menjadi COPD di tahun-
tahun berikutnya. Ketika jumlah gambaan serupa pada asma dan
COPD, diagnosis ACOS harus dipertimbangkan (GINA, 2018).
c. Pertimbangkan tingkat kepastian seputar diagnosis asma atau
COPD, atau gambaan keduanya yang menunjukkan ACOS
Dalam praktek klinis, ketika suatu kondisi tidak memiliki
gambaan patognomonik, dokter mengakui bahwa diagnosis dibuat
berdasarkan berat bukti, asalkan tidak ada gambaan yang jelas
membuat diagnosis tidak bisa dipertahankan. Dokter bisa
memberikan perkiraan tingkat kepastiannya dan memasukkannya
ke dalam keputusan mereka untuk diobati. Jika ada keraguan yang
signifikan, mungkin dapat mengarahkan terapi ke pilihan teraman -
yaitu, pengobatan untuk kondisi yang tidak boleh dilewatkan dan
tidak ditangani. Semakin tinggi tingkat kepastian tentang diagnosis
asma atau COPD, lebih banyak perhatian harus diberikan pada
keamanan dan kemanjuran dari pilihan perawatan awal (GINA,
2018).
I. Penatalaksanaan
Terapi farmakologi berdasarkan sistem grading GOD menggunakan grup
ABCD adalah sebagai berikut (GOLD,2018) :
Gambar : terapi oksigen pada pasien PPOK (GOLD 2018)
a) Farmakologis (PDPI, 2015)
a) Bronkodilator
Pasien dengan PPOK mendapatkan terapi berupa bronkodilator yang
dapat diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, sedangkan
nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada
derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release)
atau obat berefek panjang (long acting). Macam - macam
bronkodilator (Wedzicha, 2011):
(1) Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali
perhari). Obat yang termasuk golongan antikolinergik di antaranya
yaitu atrovent. Efek samping obat ini yaitu sifatnya yang
mengentalkan dahak dan dapat pula menyebabkan takikardia.
Selain itu, dapat pula menyebabkan mulut kering, obstipasi, sukar
berkemih, dan penglihatan buram akibat gangguan akomodasi.
Penggunaanya sebagai inhalasi meringankan efek samping ini.
(2) Golongan agonis beta -2 (adrenergik)
Mekanisme kerjanya adalah dengan menstimulasi reseptor b 2 di trakea
dan bronkus yang kemudian menyebabkan aktivasi enzim
adenilsiklase. Enzim ini memperkuat pengubahan adenosintrifosat
(ATP) yang kaya energi menjadi cyclic-adenosin monophosphat
(cAMP) dengan pembebasan energi yang digunakan untuk proses-
proses dalam sel. Meningkatnya kadar cAMP di dalam sel
menghasilkan efek bronkodilatasi dan penghambatan pelepasan
mediator oleh sel mast.Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi
sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor
timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya
digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser
dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak
dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang.Bentuk injeksi
subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat. Contoh obat
yang termasuk golongan ini yaitu salbutamol.
(3) Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka
panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Contoh obat yang
termasuk golongan ini adalah aminofilin dan teofilin. Bentuk tablet
biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk
suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah.
b) Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat
perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal
250 mg.
c) Ekspektoran
Gunakan obat batuk hitam (OBH)
d) Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik
dengan sputum yang viscous (misalnya ambroksol, erdostein).
Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin.
e) Antitusif
Kodein hanya diberikan bila batuk kering dan iritatif.
J. Prognosis
Prognosis dari PPOK cukup buruk, karena PPOK tidak dapat disembuhkan secara
permanen, 30% penderita dengan sumbatan yang berat akan meninggal dalam
waktu satu tahun, 95% meninggal dalam waktu 10 tahun. Ini terjadi oleh
karena kegagalan napas, pneumonia, aritmia jantung atau emboli paru
(Kusumawati, 2013).
F. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah :
1. Gagal nafas :akut atau kronik
2. Infeksi berulang
3. Kor pulmonale
4. Pnuemothorax
DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan 2013, Riset Kesehatan
Dasar2013, Badan Litbang Kesehatan, Jakarta
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2018. Global
strategy for the diagnosis, management, and prevention ofchronic
obstructive pulmonary disease. National Institutes of Health.National Heart,
Lung and Blood Insitute.
PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia). 2013. Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK) Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan di
IndonesiaJakarta : PDPI.
World Health Organization (WHO).2008. Chronic obstructive pulmonary disease
(COPD).
Vestbo J, Hurd S, Agusti A, Jones P, Vogelmeier C, Anzueto A, et al. Global
strategy for the diagnosis, management, and prevention of chronic
obstructive pulmonary disease: GOLD executive summary. Am J Respir
Crit Care Med. 2014;187(4):347 - 65