Anda di halaman 1dari 32

I.

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. R
Usia : 30 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status : Sudah menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Gunungjaya 1/9, Belik
Tanggal masuk RS : 28 September 2018
Tanggal periksa : 29 September 2018
No. CM : 02069482

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Badan terasa lemas

2. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien rujukan dari RS Nirmala Purbalingga datang ke IGD RSMS
pada hari Jumat tanggal 28 September 2018 dengan keluhan badan terasa
lemas sejak 2 hari SMRS dan memberat sehari sebelum masuk rumah
sakit. Keluhan tersebut dirasa terus menerus dan mengganggu aktivitas.
Keluhan bertambah berat ketika pasien sedang berdiri lama, dan keluhan
membaik ketika istirahat. Selain itu, pasien juga mengeluhkan pusing
seperti hendak terjatuh serta badan terasa kaku.
Sebelumnya, pasien mengaku 6 bulan SMRS mengalami pegal dan
bengkak pada sendi terutama di kedua lutut, sikut, dan pergelangan
tangan. Keluhan tersebut dirasakan hilang timbul dan rasanya seperti
diperas dan menghilang beberapa saat kemudian setelah diistirahatkan.
Keluhan tersebut tidak mengganggu aktivitas sehingga pasien hanya
memberikan balsem atau minyak angin ketika rasa pegal kambuh. Empat

1
bulan SMRS daerah yang mengalami pegal dan bengkak sudah berkurang
akan tetapi muncul bercak luka di ekstremitas yang kemudian menyebar
hampir ke seluruh tubuh dan terkadang terasa gatal dan tebal. Selain itu,
timbul bercak kehitaman pada wajah terutama di daerah pipi dan hidung
pasien. Kemudian, mulai muncul keluhan lain seperti rambut rontok,
badan terasa kaku, pipis berwarna kecokelatan, serta kulit terasa terbakar
jika terkena sinar matahari. Pasien mengaku belum pernah mengobati
keluhan tersebut ke dokter dan hanya berobat ke mantri. Menurut pasien
keluhan tersebut tidak begitu mengganggu aktivitas pasien sehingga tidak
segera memeriksakan ke dokter atau rumah sakit terdekat.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : disangkal
d. Riwayat diabetes mellitus : disangkal
e. Riwayat asma : disangkal
f. Riwayat alergi : disangka
g. Riwayat maag : disangka
h. Riwayat asam urat : disangkal
i. Riwayat trauma : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat penyakit jantung : disangkal
d. Riwayat diabetes mellitus : disangkal
e. Riwayat asma : disangkal
f. Riwayat alergi : disangkal
g. Riwayat maag : disangkal
h. Riwayat asam urat : disangkal

2
5. Riwayat Sosial Ekonomi
a. Community
Pasien tinggal bersama suami dan kedua anaknnya. Hubungan
pasien dan keluarga baik.
b. Home
Pasien tinggal di lingkungan pedesaan. Ventilasi di rumah pasien
cukup baik. Lantai rumah pasien menggunakan keramik. Pasien sudah
memasak menggunakan kompor gas. Penggunaan air di rumah
menggunakan air sumur.
c. Occupational
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga yang sudah memiliki
dua orang anak. Pasien mengaku lebih sering melakukan aktivitas di
dalam rumah dibandingkan di luar rumah.
d. Personal Habit
Pasien mengaku makan dan minum 3 kali dalam sehari, dengan
nasi, sayur dan lauk pauk seadaanya. Nafsu makan pasien baik. Pasien
mengatakan tidak merokok dan mengaku jarang meminum kopi. Ayah
pasien diketahui merokok tetapi tidak rutin dan mengaku memiliki
keluhan yang sama. Suami pasien juga memiliki kebiasaan merokok
akan tetapi semenjak pasien mengalami keluhan suami jarang merokok
di dalam rumah.

C. PEMERIKSAAN FISIK

1. Keadaan Umum : Tampak pucat


2. Kesadaran : Compos mentis, GCS E4M6V5 (15)
3. BB : 50 kg
4. TB : 155 cm
5. IMT : 15,24
6. Vital sign
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Nadi : 120x/menit, reguler
RR : 20 x/menit, simetris

3
Suhu : 36,7oC

Status Generalis
Pemeriksaan Kepala
Bentuk Kepala : Mesochepal, simetris, wajah facies cholerica (-)
Rambut : Warna hitam, mudah rontok (+), distribusi
merata
Kulit : Terdapat bintik kehitaman di sekitar pipi dan
hidung, serta bercak luka di sekitar wajah hingga
leher
Pemeriksaan Mata
Palpebra : Edema (-/-), ptosis (-/-)
Konjunctiva : Anemis (+/+), SI (-/-), produksi air mata (+)
Sklera : Ikterik (-/-)
Pupil : Reflek cahaya (+/+), isokor Ø 3 mm
Pemeriksaan Telinga : Otore (-/-), deformitas (-/-), nyeri tekan (-/-),
pembesaran KGB (-)
Pemeriksaan Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-/-),
rinore (-/-)
Pemeriksaan Mulut : Bibir kering (-), tepi hiperemis (-), bibir
sianosis (-), lidah kotor (+), tremor (-),
sariawan (-), dingin posterior faring hiperemis
(-)

Pemeriksaan Leher
Trakea : Deviasi trakea (-)
Kelenjar Tiroid : Tidak membesar
Kel. Limfonodi : Tidak membesar, nyeri tekan (-)
Paru-Paru
Inspeksi : Gerak hemithorax simetris, tidak terdapat ketinggalan
gerak, retraksi (-)
Palpasi : Vocal fremitus apex sinistra sama dengan apex dextra
Perkusi : Sonor pada hemithorax dekstra dan sinistra
Auskultasi : SD vesikuler menurun/menurun, Ronkhi basah kasar -/-,
Ronkhi basah halus -/-, Wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC VI 2 jari medial LMCS, kuat

4
angkat (-)
Perkusi : Batas Jantung
Kanan atas : SIC II LPSD
Kiri atas : SIC II LPSS
Kanan bawah: SIC VI LPSD
Kiri bawah : SIC VI, 2 jari medial LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)
Hepar : Tidak teraba pembesaran
Lien : Tidak teraba pembesaran

Ekstremitas
Edema : -/- // -/-
Sianosis : -/- // -/-
Ikterik : -/- // -/-
Akral : Hangat

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 1.2. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan 28/9/18 30/9/18 1/10/18
Hemoglobin 5,1 (L) 7,8 (L) 9,5 (L)
Leukosit 7460 16120 (H) 15100 (H)
Hematokrit 17 (L) 27 (L) 32 (L)
Eritrosit 1,5 juta (L) 2,4 (L) 3 (L)
Trombosit 473000 (H) 373000 319000
MCV 114,8 (H) 109,9 (H) 106,8 (H)
MCH 34,2 (H) 32,1 32,2
MCHC 29,8 (L) 29,2 (L) 30,2 (L)
RDW 26,1 (H) 27,9 (H) 28 (H)
MPV 8,6 (L) 8,6 (L) 9 (L)
Basofil 0,0 0,1 0,1

5
Eosinofil 2,8 0,1 (L) 0,0 (L)
Segmen 69,9 4,8 3,2
Batang 1,7 (L) 73,2 (H) 75,9 (H)
Limfosit 21,2 (L) 14,6 (L) 13 (L)
Monosit 4,4 7,2 7,8
Granulosit 11930 (H)
SGOT 45 (H)
SGPT 31
GDS 92
Natrium 143
Kalium 3,4
Klorida 109 (H)
Ureum 12,37 (L)
Kreatinin 0,62

2. Pemeriksaan Foto Thoraks tanggal 26 September 2018


Kesan :
Kardiomegali CTR >50%
Sinus dan diafragma baik
Gambaran bronkopneumonia
Corakan bronkovaskuler dbn
Kedua paru suram homogen

3. Pemeriksaan Gambaran Darah Tepi 28 September 2018

E. DIAGNOSIS
1. Anemia hemolitik
2. SLE
3. Bronkopneumonia
4. Kardiomegali

F. TATALAKSANA
1. Farmakologis
a. O2 10 LPM NRM
b. IVFD NaCl 0,9% 20 tpm

6
c. Nebu combivent/ 8 jam
d. Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
e. Inf. Paracetamol 3x1 k/p
f. Inj. Metoklopramid 2x62,5 mg
g. Inj Rantidin 2x1 amp
h. Levofloksasin tab 1x500mg PC
i. Tabas syr 3x1 Cth
j. Curcuma 2x1
k. N Acetylsistein 3x1 kaps
l. 4 FDC 1x3 tab malam  1 A
m. B6 1x1 pagi
n. VIP albumin 3x2

2. Non Farmakologis
a. Edukasi pasien dan keluarga pasien mengenai penyakit, penularan,
pengobatan, efek samping obat dan komplikasi dari penyakit SLE.
b. Edukasi pasien untuk melakukan olahraga ringan, mengurangi stress,
menghindari kafein, dan makan makanan bergizi.
3. Monitoring
a. Keadaan umum dan kesadaran
b. Tanda vital
c. Evaluasi klinis
- Evaluasi klinis meliputi keluhan, pemeriksaan fisik, dan perbaikan
KU.
d. Evaluasi penunjang
Gambaran darah tepi
4. Prognosis
Prognosis penyakit SLE pada pasien ini dipengaruhi oleh :
a. Respon pasien terhadap terapi
b. Umur penderita
c. Penyakit yang menyertai

7
G. PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad fungtionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam

II. TINJAUAN PUSTAKA

8
A. Definisi TB
Definisi Tuberkulosis atau TB (singkatan yang sekarang ditinggalkan
adalah TBC) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi kompleks
Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini biasanya menyerang paru-paru
(disebut sebagai TB Paru), walaupun pada sepertiga kasus, organ-organ lain
ikut terlibat. Jika diterapi dengan benar tuberkulosis yang disebabkan oleh
kompleks Mycobacterium tuberculosis, yang peka terhadap obat, praktis dapat
disembuhkan. Tanpa terapi tuberkulosa akan mengakibatkan kematian dalam
lima tahun pertama pada lebih dari setengah kasus. (PDPI, 2006). Penyakit ini
menyebar lewat udara atau droplet yang mengandung bakteri Mycobacterium
tuberculosis dari penderita TB (Buntuan, 2014).

B. Etiologi TB

Penyebab penyakit ini adalah bakteri kompleks Mycobacterium


tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis merupakan jenis yang terpenting dan
paling sering dijumpai. Bakteri ini memiliki bentuk batang, aerob, obligat
intraselular dengan ukuran panjang 1-4 µm dan tebal 0,3-0,6 µ, dan bersifat
tahan asam, oleh karena itu dikenal juga sebagai Batang Tahan Asam (BTA)
(Buntuan, 2014). Sumber penularannya ialah penderita tuberkulosis BTA
positif pada waktu batuk atau bersin. Pada saat batuk atau bersin, penderita
menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Kuman
yang berada dalam droplet dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama
beberapa jam (Prasad et al., 2012).
Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam saluran
pernafasan. Setelah kuman tuberkulosis masuk ke dalam tubuh manusia
melalui pernafasan, kuman tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari paru
kebagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, saluran nafas, atau
penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari
seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari
parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular
penderita tersebut.Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman),

9
maka penderita tersebut dianggap tidak menular.Seseorang terinfeksi
tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya
menghirup udara tersebut (Prasad et al., 2012).

C. Epidemiologi TB
World Health Organization (WHO) 2013, melaporkan bahwa penyakit
tuberkulosis (TB) diperkirakan terdapat 8.6 juta kasus pada tahun 2012
dimana 1.1 juta orang (13%) diantaranya adalah pasien TB dengan HIV
positif. Sekitar 75% dari pasien tersebut berada di wilayah Afrika. Pada tahun
2012, diperkirakan terdapat 450.000 orang yang enderita TBMDR dan
170.000 orang diantaranya meninggal dunia. Meskipun kasus dan kematian
karena TB sebagian besar terjadi pada pria tetapi angka kesakitan dan
kematian wanita akibat TB juga sangat tinggi. Diperkirakan terdapat 2.9 juta
kasus TB pada tahun 2012 dengan jumlah kematian TB mencapai 410.000
kasus termasuk di antaranya adalah 160.000 orang wanita dengan HIV positif.
Separuh dari orang HIV positif meninggal karena TB pada tahun 2012 adalah
wanita (Kemenkes RI, 2014).
Pada tahun 2012, diperkirakan proporsi kasus TB anak diantara seluruh
kasus tuberculosis (TB) secara global mencapai 6% (530.000 pasien TB
nak/tahun). Sedangkan kematian anak (dengan status HIV negatif)
yangmenderita TB mencapai 74.000 kematian/tahun, atau sekitar 8% dari total
kematian yang disebabkan TB. Meskipun jumlah kasus TB dan jumlah
kematian TB tetap tinggi untuk penyakit yang sebenarnya bisa dicegah dan
disembuhkan tetap fakta juga menunjukkan keberhasilan dalam pengendalian
TB. Peningkatan angka insidensi TB secara global telah berhasil dihentikan
dan telah menunjukkan tren penurunan (turun 2% per tahun pada tahun 2012),
angka kematian juga sudah berhasil diturunkan 45% bila dibandingkan tahun
1990 (Kemenkes RI, 2014).

D. Klasifikasi TB

10
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) (2006), TB paru
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak
a. TB paru BTA (+)
Pasien dikatakan mengalami TB paru BTA (+) apabila sekurang-
kurangnya 2 dari 3 spesiman sputum menunjukkan hasil BTA (+) atau
satu spesimen dahak menunjukkan BTA (+) ditambah dengan gambaran
tuberkulosis pada foto toraks.
b. TB paru BTA (-)
Pasien dikatakan mengalami TB paru BTA (-) apabila dalam 3 kali
pemeriksaan sputum didapatkan hasil BTA (-), namun dari gambaran
klinis dan radiologis menunjukkan tuberkulosis aktif dan tidak respon
dengan pemberian antibiotik spektrum luas.

2. Berdasarkan tipe penderita


a. Kasus baru
TB paru kasus baru adalah penderita yang belum pernah minum
obat anti tuberkulosis atau sudah pernah minum obat anti tuberkulosis
kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh
TB paru kasus kambuh adalah penderita yang pernah mendapatkan
pengobatan tuberkulosis dan sudah dinyatakan sembuh, namun kembali
lagi dengan hasil pemeriksaan sputum BTA (+).
c. Kasus pindahan
Kasus pindahan adalah penderita yangsedang mendapatkan
pengobatan tuberkulosis di suatu kabupaten dan pindah ke kabupaten
lain. Pasien tersebut harus membawa surat rujukan/pindah.
d. Kasus lalai berobat
Kasus lalai berobat adalah penderita yang telah menerima
pengobatan tuberkulosis sekurang-kurangnya satu bulan dan telah
berhenti berobat selama dua minggu atau lebih, kemudian pasien datang
berobat kembali dengan hasil pemeriksaan sputum BTA (+).

11
e. Kasus gagal berobat
Kasus gagal berobat adalah penderita BTA (+) yang masih tetap
positif atau kembali menjadi positif pada akhir pengobatan bulan ke-5,
atau penderita dengan BTA (-) radiologik positif yang berubah menjadi
BTA (+) pada akhir pengobatan bulan ke-5.
f. Kasus kronik
Kasus kronik adalah penderita dengan hasil pemeriksaan sputum
BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan
pengawasan yang baik.

E. Patomekanisme TB
TB paru terdiri dari primer dan post primer, TB paru primer adalah
infeksi yang menyerang pada orang yang belum mempunyai kekebalan
spesifik, sehingga tubuh melawan dengan cara tidak spesifik. Pada fase ini
kuman merangsang tubuh membentuk sensitized cell yang khas sehingga uji
PPD (Purified Protein Derivative) akan positif. Di paru terdapat fokus primer
dan pembesaran kelenjar getah bening hilus atau regional yang disebut
komplek primer. Pada infeksi primer ini biasanya masih sulit ditemukan kuman
dalam dahak. (Silbernagl dan Lang, 2012)
Kuman tuberculosis yang masuk melalui saluran nafas akan bersarang
di jaringan paru sehinggaakan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut
sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian
mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer
akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis
lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembearan kelenjar getah bening
(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional
akan mengalami salah satu nasib berikut:
1. Sembuh dengan tidak meniggalkan cacat sama sekali (resuscitation ad
integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Gohn,
garis fibrotic, sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara:

12
a. Perkontinuatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contohnya
adalah epituberklosis.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun
ke paru sebelahnya atau tertelan
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini
berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman.
Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetapi
bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan
menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberculosis milier,
meningitis TB, dll. (PDPI, 2006)
TB paru post primer adalah TB paru yang menyerang orang yang
telah mendapatkan infeksi primer dan dalam tubuh orang tersebut sudah
ada reaksi hipersensitif yang khas. Infeksi ini berasal dari reinfeksi dari
luar atau reaktivasi dari infeksi se-belumnya. Proses awal berupa satu atau
lebih pnemonia lobuler yang disebut fokus dari Assman. Fokus ini dapat
sembuh sendiri atau menjadi progresif (meluas), melunak, pengejuan,
timbul kavitas yang menahun dan mengadakan penyebaran ke beberapa
tempat. (Depkes, 2005)
Gejala penting TB paru post primer adalah :
1) Batuk lebih dari 4 minggu, gejala ini paling dini dan paling sering
dijumpai, biasanya ringan dan makin lama makin berat.
2) Batuk darah atau bercak saja.
3) Nyeri dada yang berkaitan dengan proses pleuritis di apikal.
4) Sesak nafas yang berkaitan dengan retraksi, obstruksi, thrombosis, atau
rusaknya parenkim paru yang luas
5) Wheezing yang berkaitan dengan penyempitan lumen endo-bronkhial.
6) Gejala umum yang tidak khas yaitu lemah badan, demam, anoreksia,
berat badan turun

1. Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan
bersarang di jaringan paru, kemudian akan membentuk suatu sarang

13
pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini
dapat timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang
reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah
bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh
pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek
primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks
primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai
berikut (Borgdorff, et al., 2011):
a. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad
integrum).
b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon,
garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus) (Naik, et al., 2011).
c. Menyebar dengan cara (Borgdorff, et al., 2011):
1) Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya Salah satu contoh adalah
epituberkulosis, yaitu suatu kejadian dimana terdapat penekanan
bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang
membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas
bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan
menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang
atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis
tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
2) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke
paru sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus.
3) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini
sangat bersangkutan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi
basil. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan
tetapi bila tidak terdapat imunitas yang adekuat, penyebaran ini akan
menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier,
meningitis tuberkulosa, typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini
juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya,
misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya.

14
Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan (Borgdorff,
et al., 2011):
a) Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan
terbelakang pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis,
tuberkuloma).
b) Meninggal

2. Tuberkulosis Post-Primer
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian
tuberkulosis post-primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis
post primer mempunyai nama yang bermacam macam yaitu tuberkulosis
bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan
sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem
kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis
post-primer dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di
segmen apikal dari lobus superior maupun lobus inferior.Sarang dini ini
awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang
pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut
(Borgdorff, et al., 2011):
a. Direabsorbsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak
meninggalkan cacat.
b. Sarang tadi mulanya meluas, tapi segera terjadi proses penyembuhan
dengan penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus
diri menjadi lebih keras, terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam
bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga sarang tersebut menjadi
aktif kembali, membentuk jaringan keju dan menimbulkan kavitas bila
jaringan keju dibatukkan keluar.
c. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan
kaseosa). Kavitas akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju
keluar. Kavitas awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan
menjadi tebal (kavitas sklerotik). Selanjutnya kavitas ini dapat
(Borgdorff, et al., 2011):

15
1) Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik
baru. Sarang pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti
yang disebutkan diatas.
2) Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan
disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan
menyembuh, tapi mungkin pula aktif kembali, mencair lagi dan
menjadi kaviti lagi.
3) Kaviti bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open
healed cavity, atau kaviti menyembuh dengan membungkus diri,
akhirnya mengecil. Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang
terbungkus, dan menciut sehingga kelihatan seperti bintang
(stellate shaped).

Gambar 2.1. Skema perkembangan sarang tuberculosis post


primer dan perjalanan penyembuhannya (Borgdorff, et al., 2011).
F. Penegakkan diagnosis TB
1. Anamnesis
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu
gejala lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka
gejala lokal ialah gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat)
(Bing, 2012).
a. Gejala respiratorik

16
1) batuk-batuk lebih dari 2 minggu
2) batuk darah
3) sesak napas
4) nyeri dada
b. Gejala sistemik
1) Demam
2) Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari
organ yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat
tergantung luas kelainan struktur paru.Pada permulaan (awal)
perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan
kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior
terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 & S2), serta daerah apeks
lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain
suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-
tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum (Werdhani, 2014).
3. Pemeriksaan Bakteriologik
a. Bahan pemeriksasan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis.
Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak,
cairan pleura, liquorcerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,
kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan
jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH) (Bing, 2012).
b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS) (Bing, 2012).
1) Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
2) Pagi ( keesokan harinya )
3) Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi
3 hari berturut-turut.

17
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/
ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau
lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila
ada fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada gelas
objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium (Bing, 2012).
lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah
bila (Bing, 2012) :
1) 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif :BTA positif.
2) 1 kali positif, 2 kali negative :ulang BTA 3 kali kecuali bila ada
fasilitas foto toraks, kemudian
a) bila 1 kali positif, 2 kali negatif : BTA positif
b) bila 3 kali negatif : BTA negatif
4. Tes Mantoux
Test mantoux adalah  suatu cara yang digunakan untuk mendiagnosis
TBC. Tes mantoux itu dilakukan dengan menyuntikan suatu protein yang
berasal dari kuman TBC sebanyak 0,1ml dengan jarum kecil di bawah
lapisan atas kulit lengan bawah kiri. Pembacaan test mantoux adalah sebagai
berikut (Prasad et al., 2012) :
a. Hasil tes Mantoux dibaca dalam 48-72 jam, lebih diutamakan pada 72
jam.
b. Tentukan indurasi (bukan eritem) dengan cara palpasi.
c. Ukur diameter transversal terhadap sumbu panjang lengan dan catat
sebagai pengukuran tunggal.
d. Catat hasil pengukuran dalam mm (misalnya 0 mm, 10 mm, 16 mm)
serta catat pula tanggal pembacaan dan bubuhkan nama dan tandatangan
pembaca.
e.  Apabila timbul gatal atau rasa tidak nyaman pada bekas suntikan dapat
dilakukan kompres dingin atau pemberian steroid topikal.
5. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas
indikasi: foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto
toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk

18
(multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif
(Prasad et al., 2012).:
a. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah.
b. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular.
c. Bayangan bercak milier.
d. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif (Prasad et al., 2012) :
a. Fibrotik
b. Kalsifikasi
c. Schwarte atau penebalan pleura
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan
dapat dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA negatif) (Prasad et al.,
2012) :
a. Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru
dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak
di atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus
spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta
tidak dijumpai kavitas.
b. Lesi luas
Bila proses lebih luas dari lesi minimal

19
Gambar 2.2. Alur Dignosis TB paru (PDPI, 2006)

G. Penatalaksanaan TB
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien dan memperbaiki
produktivitas serta kualitas hidup, mencegah kematian, mencegah
kekambuhan, menurunkan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi
kuman terhadap OAT (Kemenkes RI, 2014).
1. Jenis, sifat dan dosis OAT
OAT yang digunakan untuk penderita TB dibagi menjadi dua lini.
Lini pertama merupakan obat utama yang direkomendasikan untuk terapi,
terdiri dari Rifampicin, Isoniazid, Pirazinamid, Etambutol, dan
Streptomisin. Sedangkan obat lini kedua adalah obat yang dapat dipilih
apabila pengobatan lini pertama mengalami resistensi atau hipersensitivitas,
yang terdiri dari amikasin, kuinolon, dan lain-lain. Berikut contoh obat lini
pertama untuk penderita TB beserta sifat dan dosisnya (Kemenkes RI, 2014)
:

20
Tabel 2.1 Jenis, sifat dan dosis OAT
Jenis OAT Sifat Dosis yang
direkomendasikan (mg/kg)
Harian 3x seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 10
(4-6) (8-12)
Rifampicin (R) Bakterisid 10 10
(8-12) (8-12)
Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25 35
(20-30) (30-40)
Streptomycin (S) Bakterisid 15 15
(12-18) (12-18)
Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 30
(15-20) (20-35)
(Kemenkes RI, 2014)

Tabel 2.2 Jenis, dan Efek Samping OAT


Jenis OAT Efek samping
Isoniazid (H) Neuropati perifer, psikosis toksik, gangguan
fungsi hati, kejang
Rifampicin (R) Flu syndrome, gangguan gastrointestinal, urine
berwarna merah, gangguan fungsi hati,
trombositopeni, demam, skin rash, sesak nafas,
anemia hemolitik
Pyrazinamide (Z) gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi
hati, gout artritis
Streptomycin (S) Nyeri ditempat suntikan, gangguan
keseimbangan dan pendengaran, renjatan
anafilaktik, anemia, agranulositosis,
trombositopeni
Ethambutol (E) Gangguan pengelihatan, buta warna, neuritis
perifer
(Kemenkes RI,
2014)

2. Prinsip Pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai
berikut (Kemenkes RI, 2014) :
a. Pengobatan diberikan dalam bentuk panduan OAT yang tepat
mengandung minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya
resistensi.
b. Diberikan dalam dosis yang tepat.

21
c. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh Pengawas
Menelan Obat (PMO) sampai selesai pengobatan.
d. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam
tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.
3. Tahapan pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan (Kemenkes RI, 2014) :
a. Tahap awal (intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.
b. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting
untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan.
4. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia (Kemenkes RI, 2014)
a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
1) Pasien baru TB paru BTA positif.
2) Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
3) Pasien TB ekstra paru

Tabel 2.3 Dosis untuk paduan OAT Kombinasi Dosis Tetap (KDT) untuk
Kategori 1
Berat Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan
tiap hari selama 56 hari 3 x seminggu selama 16
RHZE (150/75/400/275) minggu RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
(Kemenkes RI, 2014)

22
b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3) (Kemenkes RI, 2014)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah
diobati sebelumnya:
1) Pasien kambuh
2) Pasien gagal
3) Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus)

Tabel 2.4 Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2


Berat Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Badan tiap hari 3 x seminggu
RHZE (150/75/400/275)+S RH (150/150)+E(275)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
+ 500 mg + 2 tab Etambutol
Streptomisin
inj.
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
+ 750 mg + 3 tab Etambutol
Streptomisin
inj.
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
+ 1000 mg + 4 tab Etambutol
Streptomisin
inj.
≥71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
+ 1000 mg + 5 tab Etambutol
Streptomisin
inj.
(Kemenkes RI, 2014)

Catatan (Kemenkes RI, 2014):


a. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
b.Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
c.Berat badan pasien ditimbang setiap bulan dan dosis pengobatan harus
disesuaikan apabila terjadi perubahan berat badan.
d.Penggunaan OAT lini kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya
kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada
pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh

23
lebih rendah daripada OAT lini pertama. Disamping itu dapat juga
meningkatkan risiko terjadinya resistensi pada OAT lini kedua.
e.OAT lini kedua disediakan di Fasyankes yang telah ditunjuk guna
memberikan pelayanan pengobatan bagi pasien TB yang resistan obat.

H. Komplikasi TB
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum
pengobatan atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan.
Beberapa komplikasi yang mungikin timbul adalah (PDPI, 2006):
1. Batuk darah
2. Pneumotoraks
3. Gagal napas
4. Gagal jantung
5. Efusi pleura
Setelah diketahui bahwa TB paru terutama menyerang paru-paru,
kerusakan paru-paru merupakan salah satu komplikasi yang paling sering, dan
mungkin menyebabkan kegagalan paru-paru. Komplikasi TB paru antaranya
adalah gangren paru. Selain itu ditemukan juga trombosis vaskular dan arteritis.
Apabila penyakit ini tidak diobati atau belum diobati pada waktu yang tepat
dan cara yang tepat, penyakit ini bisa menjadi sangat serius bahkan mengancam
nyawa. Penyakit ini juga dapat menyebar ke bagian lain dari tubuh, sehingga
membuat pengobatan lebih sulit, terutama jika menyebar ke tulang, karena
kerusakan pada sendi diikuti dengan rasa sakit sangat mungkin akan dialami
kemudian. Selain itu terjadi juga pneumotoraks dan efusi pleura (Kemenkes RI,
2014).
Ginjal dan kelenjar getah bening adalah organ yang paling umum untuk
komplikasi tuberkulosis yang berkembang di luar paru-paru. Tuberkulosis juga
dapat mempengaruhi tulang, otak, rongga perut, membran sekitar jantung
(pericardium), sendi (pinggul dan lutut), dan organ reproduksi (Croft, 2002).

24
Tabel 2.3 Efek samping ringan (Depkes RI, 2014).

Tabel 2.4 Efek samping berat (Depkes RI, 2014).

I. Prognosis TB
Keberhasilan kesembuhan penyakit tuberkulosis tergantung pada:
1. Kepatuhan minum obat
2. Komunikasi dan edukasi serta pengawasan minum obat
3. Umur penderita
4. Penyakit yang menyertai
5. Resistensi obat
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad malam

25
Ad sanationam : dubia ad malam

Tabel 2.5 Hasil pengobatan TB (Depkes RI, 2014).

J. Pneumonia Komunitas dan Pneumonia Severity Index (PSI)


Pneumonia komunitas merupakan salah satu bentuk pneumonia yang
sering ditemukan. Pneumonia Komunitas adalah pneumonia yang didapat di
masyarakat pada individu yang belum pernah dirawat di rumah sakit dalam
kurun waktu 14 hari sebelum timbulnya gejala atau telah dirawat di rumah
sakit kurang dari 48 jam sebelum munculnya gejala. Studi di Amerika Serikat
dan Eropa mencatat insiden pneumonia komunitas sebanyak 1.600/100.000
populasi, termasuk diantaranya 250/100.000 yang membutuhkan rawat inap.
Studi prospektif selama 5 tahun di Kanada mendapatkan sekitar 25% pasien
pneumonia komunitas kembali membutuhkan penanganan di unit gawat
darurat dan 8% membutuhkan rawat inap ulang. Populasi dengan peningkatan
risiko kematian dan rawat inap mencakup pasien usia lanjut, pasien dengan
komorbid seperti penyakit kardiovaskular dan diabetes, pasien dengan
penyakit paru kronik, pasien alkoholik, serta pasien yang mendapatkan terapi
imunosupresan (Diatri, 2015).

26
Skor prediksi PSI mengklasifikasikan pasien ke dalam 5 kelas
mortalitas dan keunggulan skor ini untuk memprediksi angka mortalitas telah
dikonfirmasi melalui berbagai penelitian. Skor ini sangat baik untuk mengkaji
penderita dengan risiko mortalitas rendah yang sesuai untuk mendapat
penanganan rawat jalan daripada penderita dengan pneumonia berat yang
membutuhkan perawatan rumah sakit. Berdasarkan tingkat mortalitasnya
maka pasien dibagi menjadi: kelas risiko I dan II dirawat jalan (outpatients) ,
pasien kelas risiko III dirawat inap singkat atau dalam unit pengawasan, dan
pasien kelas risiko IV dan V dirawat inap (inpatients). Berdasarkan pedoman
ATS, pasien dengan kelas risiko III mungkin untuk dirawat jalan atau dirawat
inap singkat (Nabilah, 2015).
Karakteristik pasien Skor PSI
Faktor demografi
Usia laki-laki Usia
Usia wanita Usia – 10
Tinggal di rumah perawatan + 10
Penyakit komorbid
Keganasan + 30
Penyakit liver + 20
Gagal jantung kongestif + 10
Penyakit serebrovaskular + 10
Penyakit ginjal + 10
Temuan pem. Fisik
Penurunan kesadaran + 20
RR >= 30 x/menit + 15
TD sistolik < 90mmhg + 10
Suhu < 35 C/ >= 40 C + 10
HR >= 125 x/menit +10
Temuan lab
pH < 7,35 + 30
BUN>11mmol/L atau ≥30mg/dL + 20
Natrium <130 mmol/L + 20
Gula darah >14 mmol/L atau ≥250mg/dL + 10
Hematokrit <30% + 10
p02 <60mmHg + 10
Efusi pleura + 10

Tabel 2.6 Skor PSI (Nabilah, 2015)

27
III. KESIMPULAN

1. Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi


Mycobacterium tuberculosis.
2. Penegakkan diagnosis penyakit TB didasarkan dari anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang.
3. Hal-hal yang perlu dievaluasi selama pengobatan TB antara lain: keadaan
klinis, sputum bakterologis, foto radiologis, efek samping obat dan keteraturan
pengobatan.
4. Keberhasilan pengobatan TB berdasarkan pada kepatuhan minum obat, faktor
pencetus, dan penyakit yang menyertai.
5. Komplikasi tuberkulosis seperti batuk darah, pneumotoraks, gagal napas, gagal
jantung, dan efusi pleura
6. Pneumonia Komunitas adalah pneumonia yang didapat di masyarakat pada
individu yang belum pernah dirawat di rumah sakit dalam kurun waktu 14 hari
sebelum timbulnya gejala atau telah dirawat di rumah sakit kurang dari 48 jam
sebelum munculnya gejala

28
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Zulkifli dan Asril Bahar. 2006. Pengobatan TB termutakhir. In: Buku ajar
IPD. Jakarta: Balai pnerbit FKUI

Bing, K. 2012. Diagnostik dan klasifikasi tuberkulosis paru.Semarang : Medika

Borgdorff, M., Peter D., Guy M., Michael A., and Nadia A., 2015. 46th World
Conference on Lung Health of the International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease (The Union). The International Journal
of Tuberculosis and Lung Disease,19 (12)

Buntuan, V. 2014. Gambaran Basil Tahan Asam (BTA) Positif pada Penderita
Diagnosa Klinis Tuberkulosis Paru di Rumah Sakit Islam Sitti
Maryam Manado Periode Januari 2014 s/d Juni 2014. Jurnal E-
Biomedik. 2(2): 593-597.

Croft, J., Norman, H., and Fred, M., 2002. Tuberkulosis Klinik. Edisi 2.
Jakarta :Widya Medik

Diatri, MC. 2015. Hubungan Derajat Keparahan Pneumonia Komunitas dengan


Kadar Prokalistonin. Indonesian Journal of Chest. 2(4) :161-168.

Kementerian Kesehatan RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.


Edisi 2. Jakarta : Kemenkes RI

Nabilah, RA. 2015. Performa CURB-65 dibandingkan PSI dalam Menilai Derajat
Keparahan Pneumonia Komunitas Berdasarkan Angka Kematian 30
Hari. Indonesian Journal of Chest. 2(4) : 191-197.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2006. Tuberkulosis: Pedoman


Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : Indah Offset
Citra Grafika.

Persatuan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: PDPI

Prasad, J., Behera D., Lalit K., Rohit S., Khatri G.R. et al., 2012. Relationship
between sputum smear grading and smear conversion rate and treatment
outcome in the patients of pulmonary tuberculosis undergoing DOTS-
A prospective cohort study. Indian Journal of Tuberculosis, 59 (3)

Werdhani. 2014. Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klafisikasi Tuberkulosis. Jakarta:


FKUI-Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas

29
World Health Organization. 2014. Global Tuberculosis Report 2014. Geneva:
WHO

Yoga, T., Aditama M. S., Dyah E. M., Asik S., Adi U., et al., 2014. Strategi
Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. Jakarta: Menkes RI

30
Lampiran 1. Resep OAT fase intensif (Ny. D)

dr. AY
1234567
Jl.Gumbreg No. 1, Purwokerto, Banyumas
081322220054

Purwokerto, 2 Oktober 2018

R/

Pro : Ny. D
BB : 48 kg
Usia : 24 tahun
Alamat: Kebumen

31
32

Anda mungkin juga menyukai