Anda di halaman 1dari 20

Pengantar Kitab Jawhar Al-Haqaiq Syeikh

Syamsuddin Sumatrani
Posted on Agustus 11, 2012 by totoedi

Dengan nama Allah yang Maha Pengasih Maha Penyayang

[Ini termasuk salah satu karya Syeikh Syamsuddin Sumatrani yang terselamatkan dari
“pemusnahan” karena dianggap “nyeleneh” dan membahayakan akidah Ahlussunnah. Akan
tetapi, sebagian ahli menilai karya ini sebagai puncak pemikiran tasawuf falsafi dari Ulama
Indonesia yang layak dibaca oleh para ulama dan ilmuwan. Untuk memahami karya ini perlu
rujukan yang kuat, karena itu harap dibaca catatan kakinya.]

Penerjemah: Toto Edidarmo, UIN Jakarta

Segala puji milik Allah yang telah memunculkan pertama kali di dalam ilmu-Nya([1]) entitas-
entitas([2]), lalu menciptakan ruh-ruh([3]) kita setelah penciptaan ruh nabi kita (Muhammad
Saw), kemudian menjadikan di dalam unsur-unsur materi (al-‘anâshir)([4]) pola dasar tubuh
kita yang tampak (asybâh), dan akhirnya mewujudkan di dalam pola dasar itu wujud kita
yang sempurna (insân).([5])

Shalawat dan salam secara khusus disanjungkan kepada Rasul kita, keluarganya, dan para
sahabatnya—yang mereka dan generasi berikutnya (tabi‘i al-tabi‘in) mengikuti teladan
beliau—dan kepada generasi selanjutnya yang merupakan pemimpin-pemimpin kita, dan
generasi berikutnya yang merupakan saudara-saudara kita.([6])

Kita memohon kepada Allah agar Dia memudahkan kita untuk melalui sebab-sebab
penyatuan (asbâb([7]) al-wushûl)([8]) kepada-Nya, dan dengan itu tujuan menjadi sempurna,
serta (memudahkan kita) menuju utusan-Nya ke muka bumi. Kita juga memohon agar Dia
mengampuni apa-apa (dosa) yang kaki kita terperosok ke dalamnya atau menginjaknya
dengan sengaja. Dengan anugerah-Nya, kemuliaan-Nya, kemurahan-Nya, dan segala karunia-
Nya kepada kita.

Wa ba’du. Syamsuddin bin Abdullah yang mengakui kedurhakannya kepada Allah, yang
telah memohon petunjuk-Nya, memohon ampunan-Nya, meminta perlindungan-Nya, dan
mengharap pertolongan-Nya, telah berkata:

Wahai Saudaraku yang mulia…!

Ini adalah risalah kecil yang mencakup mutiara-mutiara sangat indah. Aku telah
menghimpunnya dari nama-nama yang halus, dan aku memerikan nama ‘Jawhar al-
Haqâ’iq’([9]) (Substansi Segala Hakikat). Aku susun risalah ini dengan urutan: mukadimah,
lima pasal, dan penutup tentang jalan menuju Allah.

Advertisement
REPORT THIS AD

Kami berharap Allah Taala menjadikan karya ini di dunia sebagai persembahan yang tulus ke
hadirat-Nya, dan di akirat sebagai penyelamat dari segala ketakutan dan bencana besar. Dan
dari Allah Taala, yang diharapkan adalah karya ini bermanfaat secara luas serta
mengingatkan orang lalai dengan cara menyimaknya dengan saksama. Sesungguhnya Dia
Maha Pengabul Permohonan dan Maha Penyetuju Kebenaran.

Adapun bagian Mukadimah berisi tentang cinta pada keesensialan Tuhan (hubb al-dzâtiyyah);
(
[10]) Pasal Pertama tentang wujud (eksistensi) dari sisi ahadiyyah([11])(keesaan transenden)
yang murni; Pasal Kedua tentang wujud dari wahdah jam‘iyyah ulûhiyyah([12]); Pasal
Ketiga tentang wujud dari sisi wahidiyyah jam’iyyah rahmaniyyah([13]); Pasal Keempat
tentang alam arwah muqaddasah([14]) (alam ruh universal); Pasal Kelima tentang alam
syahadah yang mutlak([15]); dan Penutup tentang cara zikir([16]), muraqabah([17]),
tawajjuh([18]), dan musyahadah([19]) ke hadirat (tataran, pangkuan) al-Jamâl al-Muthlaqal-
Haqq (Allah Sang Keindahan Tak-Terbatas Yang Mahabenar).

MUKADIMAH

Wahai Saudaraku yang mulia…!

Apa gerangan yang membuatmu tidak mengesakan Allah Subhanahu wa Taala dengan tauhid
hakiki,([20]) yang merupakan benteng Allah yang hakiki([21])? Padahal, Dia menciptakan
(raga) kamu dalam bentuk terbaik (ahsan taqwîm), dan menciptakan (jiwa) kamu dalam
shûrah (rupa lahiriah entitas) yang indah. Engkau adalah asal/sumber (al-ashl),([22]) dan
engkau adalah keseluruhan/totalitas (al-kull).([23]) Di dalam dirimu terdapat segalanya, dan
darimu segalanya terwujud.

Takutlah engkau dari melupakan dzat([24])-mu! Sebab, tidak ada sesuatu pun yang mencakup
Al-Haqq([25]) kecuali engkau, dan tiada sesuatu pun yang mampu memikul amanat([26])
selain dirimu. Dia benar-benar telah berfirman kepadamu, “Bumi-Ku dan langit-Ku tidak
mampu meliputi (diri-)Ku, dan yang mencakupnya adalah hati hamba-Ku yang beriman.”
(
[27]) Dan Dia Swt berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada
langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi semuanya engggan memikul amanat itu dan mereka
khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh.”(QS al-Ahzâb [33]: 72)

Apabila engkau tidak mengetahui kapasitas diri-mu, maka engkau telah berbuat zalim
terhadapnya. Maka, engkau telah merendahkannya di bawah kedudukan yang semestinya
bagimu. Sebab, kedudukanmu itu agung, dan martabatmu itu mulia. Ia adalah dzat (esensi)
bagi sifat-sifat.

Wahai Saudaraku…,

Esakanlah Allah Taala dan sucikanlah Dia dengan makrifat.([28]) Yakinilah Dia yang luhur
adalah Ilah([29])-mu (Tuhan-sembahanmu), Rabb([30])-mu (Tuhan-pencipta-penjagamu),
hakikat (realitas)-mu, wujud (keadaan lahir)-mu, dan batin (keadaan batin)-mu.

Maka hendaklah pengetahuan-makrifatmu kepada-Nya adalah makrifat yang sempurna, yaitu


pengetahuan yang menghimpun antara ketakterbandingan-Nya (tanzîhiyyah) ([31]) dan
keserupaan-Nya (tasybîhiyyah), ([32]) serta penyucian yang murni, hingga tidak lenyap
darimu pengetahuan tentang keserupaan-Nya (al-ma‘rifah al-tanzîhiyyah) yang merupakan
sisi penampakan Allah Taala di dalam tubuh fisik (ajsâm). Sebab, orang yang makrifatnya
kepada Allah sebatas tanzîhiyyah mahdhah([33])ialah ahli makrifat yang tidak sempurna
(‘ârif nâqish). Orang yang makrifatnya sebatas tasybîhiyyah mahdhah([34]) ialah orang bodoh
yang tertutup dari ketakterbandingan-Nya yang murni (tanzîhiyyah mahdhah) dan
keserupaan-Nya yang hakiki (tasybihiyyah mahdhah). Selanjutnya, orang yang makrifatnya
menghimpun antara tanzîhiyyah mahdhah dan tasybîhiyyah mahdhah kemudian tanzîhiyyah
mahdhah ialah orang arif yang sempurna lagi menyempurnakan (‘arif kamil mukammil).
Maka, Allah adalah Tuhan yang bersama (menetap di dalam) dirimu.

Berusahalah dengan kerja keras dan sungguh-sungguh di dalam mencari tauhid seperti ini.
(
[35]) Ia adalah rahmat yang besar bagimu dan nikmat yang agung([36]) untukmu. Sebab,
Hujjatul-Islam (Imam Al-Ghazali), semoga Allah menyucikan rahasianya,([37])berkata
kepadamu, “Barang siapa yang membaguskan prasangkanya kepada Allah([38]) berarti ia
berharap husnul-khâtimah (akhir kehidupan yang indah)”. Syeikh ‘Ali bin Ahmad al-
Muhayimi, semoga Allah menyucikan rahasianya, menjelaskan, “Maksud perkataan (Al-
Ghazali) tersebut ialah: ‘Barang siapa yang berburuk sangka kepada para wali,([39]) berarti ia
menghendaki akhir kehidupan yang buruk (sû’ al-khâtimah).’” Sekiranya ia meninggalkan
buruk sangka (kepada para wali dalam hal tauhid hakiki), tentu ia akan selamat; tetapi
keuntungan yang besar akan sirna dengan meninggalkan tauhid yang sempurna.

Wahai Saudaraku yang mengambil pelajaran (mustafîd)…!

Sungguh inilah yang aku peroleh dari guruku yang menuntun pikiran (mufîd) dan guruku
yang membimbing hati (mursyid). Hendaklah engkau mengambil ilmunya, menjaganya, dan
mencarikan kebenarannya dari Allah Taala, agar tidak samar di dalam hatimu pembenaran.
Sebab, orang yang tidak mendapati taufik (tawfîq)([40]) dan inayah (‘inâyah)([41]), ia buta
dari (melihat) cahaya akal (al-‘aql)([42]) dan cahaya hidayah. Maka, aku benar-benar
mengharapkan bisa memberimu pengetahuan tentang sesuatu yang menakjubkan dari kami,
dan bisa menghadiahkan kepadamu sesuatu yang istimewa dari kami.

Ketahuilah bahwa Al-Haqq, ketika hendak menjelaskan penerapan sabda-Nya:

)‫ فَبِ ْي ع ََرفُوْ نِ ْي‬، َ‫ق أِل ُ ْع َرف‬


َ ‫خَل‬ ُ ‫ْت أَ ْن أُ ْع َرفَ فَ َخلَ ْق‬
ْ ‫ت ْال‬ ُ ‫ت َك ْن ًزا َم ْخفِيًّا فَأَحْ بَب‬
ُ ‫( ُك ْن‬

“Aku adalah Khazanah Tersembunyi (kanzan makhfiyyan), lalu Aku ingin dikenal, dan
Kuciptakan makhluk (al-khalq)([43]) agar Aku dikenal. Oleh karena itu, bersama-Ku-lah
mereka mengenal Aku”, maka tampaklah keelokan-Nya (al-jamâl)([44]) di dalam cermin nama-
nama (asmâ’)([45]) dan sifat-sifat (kualitas-kualitas penyingkapan-Nya)([46]) secara global. Dalil
penguatnya ialah ungkapan: “Setiap saat Dia memandang (cermin asma dan sifat) dengan
pandangan keindahan kepada Wajah Keindahan(al-Jamâl).”([47])

Oleh karena itu, keagungan dari kemuliaan-Nya (kibriyâ’ ‘izzatihî)([48]) yang diibaratkan
dengan keesaan transendensi-Nya (ahadiyyah) semestinya secara intens mencintai makhluk
yang diciptakan itu (‘asyiqa bihi). Dan dari cinta yang intens tersebut, tampaklah entitas
universal yang mencakup (‘ain jâmi‘). Entitas universal inilah yang menggambarkan tentang
Hakikat Muhammadiyyah([49]) yang memiliki ketunggalan unik serba-mencakup
(wâhidiyyah al-jam‘i). Batin entitas universal adalah lafal “Bismillâh”, yaitu ungkapan
tentang nama dzat (ism al-dzât).([50]) Inilah sumber semua penurunan citra-citra Ilahiah dan
kesemestaan (al-ta‘ayyunât al-ilâhiyyah wa al-kiyâniyyah).

Kemudian, ketika Allah Subhanahu wa Taala hendak menjelaskan penerapan firman-Nya:


)29 :]55[ ‫﴿… ُك ِّل يَوْ ٍم هُ َو فِ ْي َشأْ ٍن ﴾ (سورة الرحمن‬

“Kulla yaumin Huwa fi sya’n([51]) (Setiap saat Dia berada di dalam keadaan)”, maka
tampaklah keperkasaaan-Nya (jalâl) dan keindahan-Nya (jamâl) yang tidak pernah habis
masing-masing keduanya dalam perbedaan forma/bentuk aturan-aturan ketuhanan
(rubûbiyyah)([52]) dan penghambaan (‘ubûdiyyah)([53]) setiap hari, bahkan setiap saat, bahkan
setiap kilas pandang—dalam ungkapan lain—secara terperinci. Inilah ungkapan tentang
Hakikat Insaniyyah([54]) (eksistensi kemanusiaan) yang memiliki keunikan dalam
kemajemukan (wâhidiyyah al-katsrah). Batin eksistensi kemanusiaan ialah lafal
“bismirrahmân”. Inilah ungkapan tentang nama dzat (ism al-dzât) dan himpunan semua nama
dan sifat ketuhanan (ulûhiyyah) dan kesemestaan (kiyâniyyah) yang berada di luar (khârij).

Kemudian, ketika Allah Subhanahu wa Taala hendak menjelaskan penerapan firman-Nya:

ٍ ‫﴿إِ َّن ُك َّل َش ْي ٍء خَ لَ ْقنَاهُ بِقَد‬


)49 :]54[ ‫َر﴾ (سورة القمر‬

“Sesungguhnya setiap sesuatu telah Kami ciptakan dengan sebuah ukuran”(QS Al-Qamar
[54]: 45)”, maka Dia menciptakan Ruh Muhammad Saw, menurut sebagian sufi, dari cahaya
sifat-sifat esensial (nûr shifât al-dzât), dan menurut sebagian yang lain, dari cahaya sifat yang
indah (nûr al-shifat al-jamâliyyah). Inilah pendapat Syeikh Najmuddin, Sang Poros sufi-sufi
kutub (quthb al-aqthâb)([55]) yang memperoleh inayah dari Allah Sang Raja Yang Maha
Pemberi Anugerah (Al-Malik Al-Wahhâb). Pendapat ini berasal dari Abu Bakr bin Jahdar al-
Syibli,([56]) Tuan para ahli makrifat (sayyid al-‘ârifîn), semoga Allah menyucikan rahasianya
dan meninggikan kedudukan dan pangkat spiritualnya.

Kemudian, sifat keperkasaan Allah (jalâl) dan keelokan-Nya (jamâl) itu bertemu (saling
mempengaruhi) lalu menanglah sifat keelokan. Maka, lahirlah dari keduanya Sang Ruh, yaitu
Ruh Muhammad Saw.([57]) Nabi Saw pernah bersabda, “Hai Jabir, makhluk pertama yang
diciptakan oleh Allah ialah Ruh Nabimu.”([58])

Wahai Saudaraku yang pandai…!

Jika engkau mengetahui kemuliaan dari apa yang kau perhatikan di dalam mukadimah ini,
maka engkau telah dianugerahi Hikmah.([59]) Barang siapa yang telah dianugerahi hikmah,
maka ia benar-benar telah memperoleh kebaikan yang berlimpah (QS Al-Baqarah [2]: 259).
Maka ketahuilah bahwa maujud pertama yang diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Taala
ialah Substansi Ruhani yang mencakup (Jawhar Basîth Rûhânî), yang tunggal (tak-
terbandingkan) dan tidak menempati ruang, menurut satu pendapat, dan menempati ruang,
menurut pendapat yang lain. Dialah pengganti Allah (khalîfatullâh) yang merupakan Pemilik
raga di dalam alam kecil (mikrokosmos). Dialah cermin itu, yang Allah menyaksikan diri-
Nya di dalamnya, yakni di dalam diri manusia.

Oleh karena itu, sesungguhnya ketika khalifah itu telah tercipta, Allah Taala berfirman
kepadanya:

ُ َ‫ت ْاألَ ْس َما ُء َوالصِّ ف‬


،‫ات‬ ُ ‫ى ْال َموْ جُوْ د‬
ِ ‫َات َوفِ ْيكَ ظَهَ َر‬ َ ِ‫ َوب‬،‫(أَ ْنتَ َك ِمرْ أَ ٍة‬
َّ َ‫ك يَ ْنظُ ُر ِإل‬

َ ُ‫ َوتَظَهَّ ُر فِ ْي ِه ْم بِ َما أَ ْعطَ ْيت‬، َ‫ك َخلِ ْيفَةً فِ ْي َحالِك‬


.)‫ك‬ َ ِ‫َوأَ ْنتَ ال َّدلِ ْي ُل َعلَى َوجْ هَت‬
“Engkau seperti cermin; bersamamu segala maujud memandang-Ku; di dalam dirimu nama-
nama (aspek permanen Esensi Ilahi) dan sifat-sifat (kualitas-kualitas pengungkapan Tuhan)
tampak jelas; dan engkaulah sang penunjuk atas wujud dirimu sebagai khalifah dalam
keadaan spiritual-mu (hâlika);([60]) dan engkau menjadi nyata (lebih jelas) di dalam berbagai
nama dan sifat karena apa yang telah Aku anugerahkan kepadamu.”

Para sufi telah mengungkapkan (kualitasmu) dengan “Khalifah Allah” dan dengan “Cermin
Al-Haqq”. Maka ingatlah dengan anugerah Allah itu, wahai orang yang menyukai
mukadimah ini, Allah Taala pasti akan menggenggam ubun-ubunmu([61])di jalan-Nya yang
lurus.

[1] Ilmu ialah Pengetahuan Ilahi sejak sebelum Dia menciptakan alam semesta atau masih
dalam Keesaan Transenden (Ahadiyyah). Melalui ilmu-Nya ini, Al-Haqq (istilah khas untuk
“Tuhan”) berkehendak menampakkan wujud-Nya dengan menciptakan alam/kosmos melalui
ta‘ayyun (penampakan wujud) dan tajallî (penyingkapan wujud) atau penurunan wujud
murni-Nya pada benda maklum yang dikehendaki-Nya. Wujud Al-Haqq pun bertransformasi
dari peringkat Ahadiyyah, lalu ke Wahdah, kemudian ke Wâhidiyyah, dan seterusnya.
(penerj.)

[2] Entitas ialah wujud konseptual manusia dan alam semesta yang masih berada dalam Ilmu
Ilahi. Ia maujud karena adanya proses entifikasi, individuasi, atau ta‘ayyun.

[3] Ruh memiliki berbagai pengertian, antara lain: pusat yang mampu menarik hati manusia
untuk kembali kepada Sumbernya, dan sumber yang menjadi tempat pencitraan Ruh Ilahi di
dalam diri manusia. Ruh manusia adalah juga Ruh Allah karena Allah yang meniupkan Ruh-
Nya ke dalam diri manusia. Adapun ruh manusia disebut al-ruh al-idhâfi (ruh yang
dinisbatkan kepada-Nya) karena ia berasal dari Allah dan memiliki status berupa sifat Ilahi
dan manusiawi. (Lihat Amatullah Armstrong, Khazanah Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia
Tasawuf [Bandung: Mizan, 2001], cet ke-4, h. 244, terjemahan dari Sufi Terminology (Al-
Qamus Al-Sufi): The Mystical Language of Islam, terbitan A.S. Noordeen, Malaysia, 1995).

[4] Unsur materi ada empat: debu/tanah, air, udara, api.

[5] Mukadimah kitab ini menunjukkan bahwa manusia diciptakan oleh Allah melalui empat
tahapan, yaitu (1) tahap konseptual dengan penciptaan ‘ain (entitas siap-cipta yang mampu
menerima pancaran Ruh Ilahi), (2) tahap penciptaan ruh manusia, setelah Ruh Muhammad
tercipta dan memancarkan Ruh Ilahi, (3) pembentukan pola dasar manusia (syabah), dan (4)
tahap penciptaan bentuk manusia secara sempurna yang mencakup kelengkapan fisik, jiwa,
ruh, otak, dan hati. Dari sini, konsepsi penciptaan manusia memiliki tiga tahap, yaitu konsep
entifikasi wujud (ta‘ayyun), konsep penciptaan ruh, dan konsep pencitraan Ruh Ilahi ke
dalam pola dasar manusia. (penerj.)

[6] Penulis menilai bahwa generasi sufi sebelum masanya adalah para imam yang mesti
diikuti dan generasi sufi sesudahnya, yakni tarekat-tarekat sufi yang tumbuh dan hidup pada
masanya, adalah para saudara (ikhwan) yang harus saling membantu dan tidak boleh
bermusuhan. Di sini tersimpan pesan humanisme penulis dalam menyikapi perbedaan di
kalangan ordo-ordo sufi yang tumbuh pada zamannya. (penerj.)
[7] Dalam filsafat wujud, “asbâb” ialah sebab-sebab sekunder yang ditetapkan sebagai sarana
manusia untuk mengetahui dan mengenal Allah. Setiap maujud adalah sebab sekunder yang
dapat mengantarkan manusia untuk dapat mengenali Allah. Sekalipun sebab itu seperti tirai
atau hijab atas hakikat, tanpa sebab ini, kita tidak akan punya sarana untuk menjangkau
Pengetahuan tentang Allah. (Lihat Amatullah, h. 37, 249)

[8] Wushûl atau washl dalam konteks filsafat wujud bukanlah pencapaian atau ketersampaian
melainkan persatuan dan penggabungan. Istilah ini menunjukkan gagasan tentang dualitas
karena peristiwa penggabungan. Dalam “kesatuan sempurna” (jam‘ ittihâd) tidak ada dualitas
demikian. Oleh karena itu, ia berada di bawah tingkat “kesatuan sempurna”. (Baca:
Amatullah, h. 317-8)

[9] “Jawhar”, artinya: mutiara atau substansi. Jawhar menunjukkan esensi sesuatu atau sifat
mutiara yang berharga.  “Haqâ’iq” jamak “haqîqah” yang berarti hakikat, kebenaran Ilahi,
atau hakikat esensial segala sesuatu. Inilah hakikat entitas. Jadi, “Jawhar Al-Haqâ’iq”
artinya: Mutiara Segala Hakikat, Substansi Segala Kebenaran Ilahi. (Anwar Fu’ad Abi
Khuzam, Mu‘jam al-Mushthalahât al-Shûfiyyah, (Beirut: Maktabah Lubnan Nasyirun, 1993),
cet. ke-1, h. 71, 76; Amatullah, h. 87-878, 132)

[10] “Dzât”, artinya: Esensi, Allah dalam diri-Nya sendiri tanpa memperhatikan ciptaan-Nya,
sifat-sifat-Nya atau nama-nama-Nya. Esensi ini berada di luar jangkauan pengetahuan dan
konseptualisasi. Jadi, “Dzât” mengingatkan kita pada Allah Yang Tersembunyi dari Segala
Yang Tersembunyi, Yang Gaib dari Segala Yang Gaib. Inilah alam non-manifestasi Mutlak.
Sedangkan “dzâtiyyah” (yang bersifat dzat) berlaku pada pengagungan Allah oleh alam
semesta. Pengagungannya bersifat intrinsik dan esensial. (Lihat Amatullah, h. 61-62)

[11] Ahadiyyah: Keesaan Transenden atau Keesaan Tertinggi. Ini merupakan aspek lahiriah
dari Esensi (Dzât) jika dibandingkan dengan aspek batiniah (‘amâ’). Jika Ahadiyyah
dipandang sebagai Keesaan Abstrak (turunan pertama dari Dzât), aspek batiniahnya ialah
Huwiyyah (ke-Dia-an) dan aspek lahiriahnya ialah Aniyyah (ke-Aku-an). (Baca: Abdul Karim
bin Ibrahim al-Jîliy, Al-Insân al-Kâmil fi Ma‘rifah al-Awâkhir wa al-Awâ’il, Beirut: Dar al-
Kutub al-Ilmiyyah, 1419 H/1992 M, cet. ke-1, h. 47; Aiman Hamdi, Qâmûs Mushthalahât al-
Shûfiyyah: Dirâsah Turâtsiyyah ma‘a Syarh Ishthilâhât Ahl al-Shafa min Kalam Khâtam al-
Awliyâ’ (Kairo: Dar Qubba, 2000), h. 45, Amatullah, h. 17)

[12] Wahdah: Kesendirian Tuhan (Al-Haqq). Wahdah berada di antara Keesaan Tertinggi
(Ahadiyyah) dan Ketunggalan Unik (Wâhidiyyah). Sedangkan al-Jam‘iyyah al-Ulûhiyyah
ialah sintesis atau pemaduan yang bersifat keserbameliputan (jam‘iyyah) dan keserbatinggian
(ulûhiyyah). Inilah keunikan Ilahi yang menyebabkan segala sesuatu bersifat unik. Al-
Ulûhiyyah ialah Tataran Tertinggi, di atasnya adalah Dzat yang tidak dapat diketahui. Melalui
Tataran Ketuhanan itulah kita dapat mengenal Allah. Sebab, Dzat Allah tidak dapat
diketahui. (Amatullah, h. 130)

[13] Wâhidiyyah: ketunggalan unik Tuhan (Al-Haqq). Al–Wâhidiyyah al-Jam‘iyyah al-


Rahmâniyyah berarti ketunggalan unik Tuhan yang memadukan keserbameliputan-Nya
dengan kemahakasihan-Nya. Al-Rahmaniyyah berada di pusat antara Esensi Gaib dan Nama-
nama Sifat yang berhadapan dengan ciptaan. Inilah penampakan Tuhan yang paling besar,
sempurna, dan serbameliput (Al-Jîliy, Al-Insân al-Kâmil, h. 49;Aiman Hamdi, Qâmûs
Mushthalahât al-Shûfiyyah, h. 50; Amatullah, h. 237-8.)
[14] Maksudnya, Alam Ruh Universal yang disucikan. Arwah merupakan hakikat-hakikat
yang bisa dijasadkan di dalam Alam Imajinasi.

[15] Maksudnya, alam kesaksian Tuhan secara absolut. Pada tahapan ini, semua konsentrasi
(tawajjuh) yang ditujukan kepada Allah akan membentuk dua pola. Pertama, secara batiniah
akan tertuju kepada Hadirat Allah. Kedua, secara lahiriah tertuju kepada Hadirat Al-Rahmân.
Adapun secara hakikat, ia tertuju kepada Wajah Allah (Dzat Transenden dari segala sesuatu
atau realitas batin dari setiap entitas). Di sini tersingkap Al-Jamâl Al-Muthlaq (Sang
Keindahan Absolut). (Baca: penjelasan mu’allif pada Pasal Kelima)

[16] Zikir: keluar dari area kelalaian menuju taman penyaksian Tuhan karena memuncaknya
rasa takut atau meluapnya rasa cinta kepada Allah. Anwar Fu’ad Abi Khuzam, Mu‘jam al-
Mushthalahât al-Shûfiyyah, (Beirut: Maktabah Lubnan Nasyirun, 1993), cet. ke-1, h. 87,
merujuk Ali Al-Tahanawi, Kasyyaf Mushthalahât al-Ulûm wa al-Funûn, juz 2. h. 319

[17] Murâqabah: pengetahuan hati tentang pengawasan Tuhan kepadanya setiap saat. Jika
muraqabah dilakukan terus menerus maka akan terjadi musyâhadah, yaitu keadaan saling
menyaksikan antara Tuhan dan manusia. (Lihat: Aiman Hamdi, Qâmûs Musthalahât al-
Shûfiyyah, h. 84)

[18] Tawajjuh: konsentrasi, perhatian, atau “menghadapkan wajah kepada sesuatu”. Tawajjuh
dapat mengacu kepada konsentrasi spiritual yang terjadi antara mursyid dan murid. Pada
tataran makna yang lebih tinggi, tawajjuh berarti perhatian Allah pada sesuatu yang mungkin
yang menyebabkan sesuatu itu mewujud. (Amatullah, h. 292)

[19] Musyâhadah: penyaksian atau visi, sejenis pengetahuan langsung tentang Hakikat.
Penyaksian ini terjadi dalam berbagai cara. Sebagian penempuh jalan spiritual dan kaum
tarekat menyaksikan Allah dalam segala sesuatu. Sebagian menyaksikan Allah sebelum,
sesudah, atau bersama segala sesuatu. Sebagian lain menyaksikan Allah sendiri. Dan karena
Allah tidak pernah mengungkapkan diri-Nya secara sama dalam dua momen berturut-turut
pada sesuatu, maka musyâhadah itu tidak terbatas dan tak berakhir. (penerj.)

[20] Tawhîd Haqîqiy: pernyataan tentang keesaan Allah dengan sebenarnya, yakni dengan
cara memadukan pengetahuan tentang tanzîhiyyah mahdhah dan tasybîhiyyah mahdhah.
Tauhid ini dijelaskan oleh mu’allif pada paragraf berikutnya (lihat catatan kaki no. 32-35).
Sebagian sufi memahami tauhid sebagai cahaya. Namun, Allah sendirilah yang meneguhkan
keesaan diri-Nya. Di dalam tasawuf, semua wujud adalah satu (tawhîd al-wujûdiyyah).
Kalangan sufi dan muhaqqiqûn (para penegas kebenaran) menyaksikan keesaan Allah di
dalam diri mereka sendiri. Menurut mereka, ada beberapa tipe tauhid, yaitu: tawhîd al-dzât
(keesaan Dzat Allah yang mutlak dan mustahil diketahui); tawhîd al-syuhûd (kesatuan
kesaksian); tawhîd al-ulûhiyyah (kesatuan ketuhanan), tawhîd al-wujûdiyyah (kesatuan
wujud, sinonim dengan wahdah al-wujûd). (penerj.)

[21] Maksud “benteng Allah yang hakiki” adalah rumah-Nya yang hakiki, atau dalam istilah
tasawuf, “surga Allah yang hakiki”. (penerj.)

[22] Al–Ashl: asal, akar, penopang, atau prinsip. Segala sesuatu memiliki asal-usul,
penopang, atau akar. Akar itu adalah Hakikat Tunggal, yakni Allah. (Anwar Fuad Abi
Khuzam, h. 148, Amatullah, h. 37)
[23] Al-Kull: keseluruhan, segala sesuatu, atau sesuatu yang bersifat universal. Ia adalah
nama untuk Allah. Allah adalah Esa dalam Esensi-Nya, dan Dia adalah Segala sesuatu (al-
kull) melalui segenap nama-Nya. (Baca: Anwar Fuad Abi Khuzam, h. 148, Amatullah, h.
150)

[24] Dzât: esensi. Maksudnya, esensi manusia secara hakikat, yaitu berasal dari dzat Allah.
Lihat catatan kaki no. 11

[25] Al-Haqq, artinya yang benar. Dalam tasawuf, Al-Haqq ialah Allah Sang Mahabenar,
Sumber Kebenaran, dan tempat segala makhluk bergantung dan rindu untuk menyatu kembali
dengan-Nya. Al-Haqq juga salah satu nama Allah yang indah. (penerj.)

[26] Yang dimaksud amanat ialah sebagaimana tersurat di dalam Surah al-Ahzab ayat 72:
Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung,
tetapi semuanya engggan memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan
melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu
sangat zalim dan sangat bodoh. (QS al-Ahzâb: 72)

[27] Al-Zarkasyi menyebutkan hadis qudsi ini di dalam Al-Tadzkirah fi al-Ahadits al-
Musytaharah, no. 135, Al-Sakhawi di dalam Al-Maqashid al-Hasanah, no. 990, Al-Mulla Ali
al-Qari di dalam Al-Asrar al-Marfu‘ah fi al-Akhbar al-Maudhu‘ah, no. 657, 810, 1021, dan
Al-Ajluni di dalam Kasyf al-Khafa’, no. 2256. Tidak ada sumbernya dari Nabi Saw.

[28] Makrifat: pengetahuan Ilahi yang bersumber dari cahaya Tuhan yang disorot pada hati
siapa saja yang dikehendaki-Nya. Pengetahuan ini datang melalui penyingkapan (kasyf),
penyaksian (musyâhadah), dan cita rasa (dzauq). (Amatullah, h. 177)

[29] “Ilâh”: Tuhan, diperbandingkan dengan “Allâh”. Menurut ahli bahasa, “Allâh” adalah
bentuk makrifat (khusus) dari “Ilâh” (nakirah, umum). Akan tetapi, tidak ada “Ilâh” kecuali
“Allâh”. “Ilâh” sendiri memiliki dua aspek/wajah; yaitu Aspek Gaib (Tersembunyi) yang
berpaling dari ciptaan-Nya, dan Apek Ketuhanan-Nya yang menghadap kepada ciptaan-Nya.
Aspek inilah yang disembah oleh manusia. (Amatullah, h. 111)

[30] “Rabb”: Tuhan segala sesuatu yang ada; Tuhan dari setiap hamba; Wajah Allah yang
dipalingkan kepadanya. (Amatullah, h. 235)

[31] Tanzîh/tanzîhiyyah: ketakterbandingan, transendensi, ketakterjangkauan. Tanzîh


menyatakan bahwa Allah melampaui segala kualitas dan sifat makhluk-makhluk-Nya. (Al-
Jîliy, h. 58; Amatullah, h. 286)

[32] Tasybîh/tasybîhiyyah: keserupaan-Nya. Tasybîh menyatakan bahwa Allah, tidak ada


sesuatu pun yang menyerupai Dia (QS Al-Syura/42: 11). Para sufi mengenal Allah dengan
cara memadukan ketaksebandingan-Nya (tanzîh) dengan keserupaan-Nya (tasybîh). (Al-Jîliy,
h. 59-60; Amatullah, h. 286)

[33] Makrifat sebatas tanzîhiyyah mahdhah artinya: mengesakan Allah dengan cara
mengetahui ketakterbandingan Allah dengan apapun, bahwa tidak ada sesuatu pun di muka
bumi ini yang sebanding  dengan-Nya. (penerj.)
[34] Makrifatsebatas tasybîhiyyah mahdhah artinya: mengesakan Allah dengan cara
mengetahui bahwa Allah memiliki keserupaan dengan segala sesuatu tetapi tidak disertai
pemahaman bahwa segala sesuatu itu tidak menyerupai Allah dan tidak sebanding dengan-
Nya. (penerj.)

[35] Maksudnya, tauhid yang ditempuh oleh para wali (kekasih Allah), yaitu mengesakan
Allah dengan cara memadukan ketaksebandingan-Nya (tanzîh) dengan keserupaan-Nya
(tasybîh).

[36] Dalam teks Arabnya: “rîhun ‘adhîm laka wa râ’ihun karîm alaika.” Secara harfiah
berarti “kenyamanan yang besar bagimu, dan wewangian yang mulia untukmu”. Ungkapan
ini majaz. “Rîh” sepadan dengan “rauh” yang bermakna: rahmat, sedangkan “râ’ih” sepadan
dengan “nikmat”. Akan tetapi, baik “rîh” maupun “râ’ih” memiliki akar kata “râha” yang
antara lain bermakna: usaha (sa‘y) dan karya (‘amal). Karena itu, ungkapan di atas bisa
bermakna: “usaha besar bagimu dan upaya mulia untukmu”.

[37] Dalam teks Arabnya: “Qaddasallâhu sirrahu”. Secara harfiah, “Semoga Allah
menyucikan rahasianya”. Ungkapan ini secara khusus ditujukan kepada para wali atau
kekasih Allah (awliyâ’). Sebab, merekalah yang telah memperoleh penyucian dari-Nya.
Mereka hidup di dalam Allah. Dan berkat rahmat Allah, seluruh cerapan mereka mengalami
spiritualisasi. Adapun “sirr” merujuk pada rahasia atau misteri Ilahi yang telah dicelupkan
oleh Allah kepada para sufi. Sirr merupakan substansi halus dan lembut (lathîfah) dari rahmat
Allah. Inilah relung kesadaran paling dalam, tempat komunikasi rahasia antara Allah (Rabb)
dan hamba-Nya. Inilah tempat paling tersembunyi di mana Allah memanifestasikan rahasia-
Nya kepada diri-Nya sendiri. (Lihat: Amatullah, h. 265, 287)

[38] Berbaik sangka kepada Allah ialah dengan cara mentauhidkan-Nya secara sempurna
sebagaimana yang dilakukan oleh para wali, yaitu dengan memadukan ketaksebandingan
Allah (tanzîh) dengan keserupaan-Nya (tasybîh).

[39] Maksudnya berburuk sangka kepada para wali dalam hal tauhid yang sempurna.

[40] Tawfîq: pertolongan Allah. Hakikatnya, semua upaya mulia dan bermakna adalah berkat
pertolongan Allah. Sebagaimana diungkapkan, “Wa-mâ tawfîqî illâ billâh” (tiada pertolongan
kecuali bersama Allah).

[41] Inâyah: rahmat Allah yang setiap saat meliputi kita. Kita tenggelam dalam rahmat dan
kasih sayang-Nya. Setiap langkah dalam Perjalanan Kembali menuju Allah diayunkan
dengan rahmat-Nya. Tanpa Allah, kita tak bisa berbuat apa-apa.

[42] Al-‘aql: intelek atau fakultas penalaran. Kata ‘aql berasal dari ‘iqâl yang berarti
“belenggu”. Akal membelenggu dan mencengkeram manusia, serta menghalangi dirinya
menempuh tahap-tahap akhir kenaikan menuju Allah (mi‘râj). Dalam kenaikan menuju Allah
ini, terdapat suatu tempat yang disebut dengan “Pohon Teratai di Batas Terjauh” (sidrah al-
muntahâ) yang menunjukkan akal (belenggu) harus ditanggalkan. Dari tempat ini, sang
penempuh jalan spiritual (sâlik) meneruskan perjalanan dengan cinta (‘isyq), kerinduan
(syauq), dan ketakjuban (hayrah). (Amatullah, h. 32)

[43] Al-Khalq: alam yang diciptakan melalui materi dan masa, seperti gugusan bintang di
jagad raya, unsur-unsur materi, dan makhluk-mahkluk di bumi yang diklasifikasikan ke
dalam tiga kategori, yaitu bebatuan/benda padat, tumbuhan, dan binatang. Para sufi menyebut
bintang-bintang dengan istilah ‘Alam Al-Syahadah (alam kesaksian), unsur-unsur materi
dengan Alam Al-Mulk (alam kerajaan, dunia jasmani), dan makhluk di bumi dengan Alam
al-Khalq (alam ciptaan). Sedangkan ciptaan-ciptaan yang baru menggambarkan
ketersambungan mata rantai wujud Al-Haqq dalam benda-benda berpotensi maujud. (Anwar
Fu’ad, Mu’jam, h. 81, dengan mengutip Ali al-Tahanawi, Kassyâf, juz 2, h. 227)

[44] Dalam khazanah sufi, kata “al-jamâl” yang berarti keindahan atau keelokan seringkali
dibandingkan dengan “al-jalâl” yang berarti keagungan atau keperkasaan. Tetapi, kadang
“al-jamâl” menjadi bagian inheren dari “al-jalâl”. Sedangkan “al-kamâl” (kesempurnaan)
mencakup keduanya.

[45] Asmâ’: nama-nama, menjelaskan tentang aspek-aspek permanen dalam esensi. Setiap
nama memiliki makna dan bentuk (shûrah). Makna setiap nama adalah Allah. Hanya melalui
nama-nama Allah inilah kita bisa menggapai pengetahuan tentang Allah. Nama-nama Ilahi
mencari manusia paripurna (al-insân al-kâmil) sebagai lokus sempurna manifestasinya.
(Amatullah, h. 37-38)

[46] Shifât: kualitas-kualitas yang dengannya Allah mengungkapkan diri-Nya secara relatif.
Sebuah sifat adalah pancaran dari Esensi Ilahi yang melaluinya manusia bisa mendekati
pengetahuan Allah. Esensi (dzât) tidak punya manifestasi tanpa manifestasi berbagai sifat.
Esensi ialah sumber sifat-sifat, dan sifat-sifat adalah sumber berbagai tindakan. (Amatullah,
h. 261)

[47] Maksud “Wajah Keindahan” ialah Allah sendiri. Keindahan terdiri atas sifat rahmat dan
kemurahan dari Kehadiran Ilahi. Keindahan (jamâl) adalah lawan dari keagungan (jalâl).

[48] Kibriyâ’ mengisyaratkan keagungan Ilahi yang menjadi simbol keagungan-Nya yang
sangat cemerlang. Sedangkan izzah menunjukkan Allah sebagai “Tuhan Yang Mahaperkasa
di atas yang mereka sifatkan” (Ash-Shaffat [37]: 180).

[49] Hakikat Muhammad: wujud pertama yang diciptakan oleh Allah dari “hadirat” Al-Ghaib
(pangkuan kegaiban). Allah tidak menciptakan makhluk sebelumnya, tetapi hakikat
Muhammad ini tidak dapat diindentikkan kepada benda. Aiman Hamdi, Qâmûs al-
Mushthalahât al-Shûfiyyah, Kairo: Dar Qubba, 2000, h. 56

[50] Ism Dzât: aspek permanen dari Esensi. Baca catatan kaki no. 43 tentang asmâ’ dan
catatan kaki no. 10 tentang dzât.

[51] “Kulla yaumin Huwa fi sya’n” potongan firman-Nya dalam QS Al-Rahmân (55) ayat 29.
“Sya’n”, merujuk pada tugas, urusan, keadaan. Sebab, dalam setiap maujud, dalam setiap
waktu tak terbagi, Allah senantiasa berada dalam tugas, keadaan, dan urusan baru.

[52] Rubûbiyyah, merujuk pada eksistensi ketuhanan yang menuntut adanya penghambaan.
Eksistensi ketuhanan dianggap paling tinggi, dan kehambaan adalah tataran paling rendah.

[53] Ubûdiyyah, merujuk pada penghambaan yang merupakan tataran paling rendah.

[54] Hakikat Insaniyyah merupakan bandingan dari Hakikat Muhammadiyyah. Jika Hakikat
Muhammadiyyah menggambarkan Eksistensi Tuhan yang unik dan serba mencakup, maka
Hakikat Insaniyyah menggambarkan eksistensi manusia yang memiliki keunikan dalam
kemajemukan.

[55] Dalam khazanah tasawuf, yang dimaksud sang kutub (quthb) atau poros ialah seorang
sufi yang menjadi lokus pandangan Allah dari dunia dalam suatu masa. Sufi ini selalu berada
dalam Hati Muhammad sehingga menjadi kiblat seluruh sufi sedunia. (Anwar Fu’ad, h. 144)

[56] Al-Syibli, namanya Abu Bakar Dalaf bin Jahdar (248-334). Mulanya dia seorang
gubernur di Danbawand, lalu melepaskan jabatannya dan menjadi sufi. Ia memiliki syair-
syair tasawuf yang indah, dihimpun oleh Dr. Kamil Musthafa Al-Sibi dengan judul: Diwan
Abu Bakar Al-Syibli. (‘Abdul-Mun‘im al-Hifni, Al-Mawsû’ah al-Shûfiyyah, Dar al-Rasyad,
1992, h. 236)

[57] Ruh Muhammad ialah “pancaran pertama” dari “Yang Mahamutlak”. Ruh ini bersifat
murni secara mutlak dan bebas dari materialitas. Inilah tataran Hakikat Muhammadiyyah.
Diibaratkan, Nabi Adam as adalah Ayah Tubuh dari semua manusia, sedangkan Nabi
Muhammad adalah Ayah Ruh bagi semuanya. (Baca: Amatullah, h. 244)

[58] Hadis ini tidak diketahui kedudukannya. Akan tetapi, dalam tradisi sufi, sebuah hadis
bisa diterima oleh kalangan mereka melalui mimpi bertemu langsung dengan Rasulullah Saw.
Oleh karena itu, banyak hadis dalam tradisi keilmuan tasawuf tidak ditemukan sanadnya.

[59] Hikmah, secara harfiah: kearifan. Dalam tasawuf, “hikmah” sangat berkaitan dengan
“adl”, yaitu menempatkan segala sesuatu pada tempat semestinya. Jadi, hikmah bermakna:
berbuat sesuatu tepat/sesuai dengan situasi dan kondisinya. Hikmah adalah keseimbangan
sempurna antara ilmu dan amal. Ia menjadi tanda bagi para wali Allah. Di antara jenis
hikmah ialah: hikmah keesaan (hikmah ahadiyyah) yang terkandung di dalam kata “Hûd” as,
hikmah ketinggian (hikmah ‘âliyah) yang terkandung di dalam kata “Ismâ‘il” as, hikmah
ketunggalan (hikmah fardiyyah) yang terkandung di dalam kata “Muhammad” saw, hikmah
pembukaan (hikmah futûhiyyah) yang terkandung di dalam kata “Shâlih” as, hikmah
kegaiban (hikmah ghaibiyyah) yang terkandung di dalam kata “Ayyub” as, hikmah kebenaran
Ilahi (hikmah haqqiyyah) yang terkandung dalam kata “Ishâq” as, dan sebagainya (Baca
ulasan hikmah-hikmah ini di dalam karya Ibnu Arabi, Fushûsh al-Hikam, suntingan Dr. Abu
al-Alâ al-Afîfî [doktor filsafat Universitas Cambridge], Beirut: Dâr al-Kitâb al-Arabi, t.t).

[60] Hâl: keadaan spiritual yang menguasai hati. Ia merupakan anugerah dan karunia dari
Rahmat Allah yang tak terbatas kepada hamba-Nya. Ia tidak bisa dicapai melalui usaha,
keinginan, atau undangan. Ia datang tanpa diduga-duga dan pergi juga tanpa diduga-duga.
(Amatullah, h. 85)

[61] Dalam teks Arab, ya’hudz Allâh Ta‘âlâ nâshiyataka. “Menggenggam ubun-ubun”
merupakan ungkapan majaz yang berarti “mencabut nyawa” atau “mewafatkan”. Tampaknya,
penulis memilih ungkapan ini untuk memberikan kemungkinan makna yang lain, misalnya:
“Semoga Allah membimbing dan mengarahkan kamu kepada jalan-Nya yang lurus.

Pasal III: Tentang Wahidiyyah


Posted on Agustus 11, 2012 by totoedi
Tentang Wâhidiyyah([1]) (Ketunggalan Unik Al-Haqq)

Wahai Saudara yang mulia…!

Semoga dengan Ruh Suci-Nya (Ruh al-Quddûs)([2]) yang mulia, Allah menampakkan jiwaku
(nafsî)([3]) dan jiwamu, dan dengan hikmah yang efektif (al-hikmah([4]) al-bâlighah), Dia
mempengaruhi pikiranku (‘aqlî)([5]) dan pikiranmu, serta perasaanku (hissî)([6]) dan
perasaanmu.

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Taala ketika hendak menyingkapkan diri-Nya dengan


pengetahuan yang terbatas (al-‘ilm al-muqayyad), maka tampaklah wujud mutlak-Nya di
dalam diri-Nya dengan segenap nama dan sifat Ilahiyyah dan kiyâniyyah (kesemestaan)
dengan keunggulan sebagiannya dari yang lain. Wujud mutlak/absolut ini dinamakan dengan
Al-Wâhidiyyah.

Hakikat insâniyyah (esensi kemanusiaan) itu bersifat keunikan dalam kemajemukan


(wâhidiyyah al-katsrah), yakni keserbameliputan kasih sayang-Nya (rahmâniyah). Oleh
karena itu, munculnya wujud mutlak Al-Haqq di dalam penampakan-Nya (tajallî)—apabila
ditinjau dari ungkapan penampakan nama-nama (asmâ’)([7]) dan sifat-sifat([8])—menetapi
nama Ar-Rahmân (Yang Maha Penyayang). Dan apabila ditinjau dari penampakan entitas-
entitas laten, wujud mutlak itu menetapi nama Ar-Rahîm (Yang Maha Pengasih). Selanjutnya,
ta‘ayyun tsânî (penampakan wujud kedua Al-Haqq) menjadi bentuk lahiriah entitas (shûrah)
(
[9]) dan sesuatu yang dimiliki (marbûbah)([10]) bagi nama “Ar-Rahmân” dan “Ar-Rahîm”.
Keduanya itu “Rabb” (Pengurus/Pemilik shûrah dan marbûbah). Adapun pengetahuan Ilahi
di dalam segala sesuatu yang maujud dinamakan dengan entitas-entitas yang tetap (laten).
Sebab, ilmu Allah Subhanahu wa Taala adalah entitas Dzat-Nya; begitu juga pengetahuan-
pengetahuan yang dimiliki-Nya. Yang berbeda hanyalah pada proses penampakan-
penampakan-Nya pada benda-benda berentitas (al-ta‘ayyunât al-muta‘ayyinah).

Wahai Saudaraku yang memiliki kedudukan spiritual (maqâm)([11])…!

Sesungguhnya kedudukan spiritual ini adalah sekat keunikan Al-Haqq (barzah wâhidiyyah)
antara keesaan transenden Dzat (ahadiyah al-Dzât) dan ketunggalan unik dalam
keserbameliputan (wâhidiyyah al-katsrah). Maka, tahukah dari aspek mana engkau itu
ciptaan (khalq)([12])? Dan dengan cara apa engkau itu (mewakili) Al-Haqq? Dan tidak ada
imajinasi (khayâl)([13])  di dalam wujud selain Al-Haqq dan alam semesta, sedangkan engkau
berada di antara cahaya (nûr)([14]) dan kegelapan (zhulmah).([15]) Dan rahasia penghalang
(hijâb) pada dirimu itu bukanlah merupakan fantasi (wahm)([16]) dan imajinasi (khayâl).
Entitas-entitas laten tidak memiliki eksistensi sama sekali, tetapi mencium aroma eksistensi
(râ’ihah al-wujûd). Sebenarnya, lahiriah aroma eksistensi adalah hukum-hukum pada entitas-
entitas tersebut, efek-efeknya, dan ketetapan-ketetapannya, karena ia diketahui dengan Al-
Dzât (Esensi) dan diciptakan dengan Al-Haqq Taala. Maksud perkataan ini adalah
sesungguhnya entitas laten adalah keadaan (hâl) yang keberadaan-Nya tetap di dalam
Pengetahuan Ilahi tetapi bersentuhan dengan ketiadaan dalam dimensi eksternal (al-‘adam
al-khârijî). Maka, seolah-olah dia tetap di dalam ketiadaannya yang eksternal, kemudian Al-
Haqq menyelimutinya dengan wujud ciptaan eksternal.
Oleh karena itu, tidak diragukan lagi, wahai Saudaraku yang mulia, bahwa sejatinya
wujudmu adalah wujud dari segala maujud yang bukan dari Dzat-Nya, tetapi dari
penyinaran/iluminasi (isyrâq) cahaya Al-Haqq Taala. Tidak diragukan bahwa penyinaran-
Nya itu bergantung pada tempat (lokus), dan tidak diragukan lagi bahwa antara penyinaran
dan tempat itu terdapat jarak yang permulaanya adalah sifat (kualitas pengungkapan Al-
Haqq) di dalam Dzat-Nya. Sifat ini bersama Dzat merupakan nama (aspek permanen dari
Esensi) dari nama-nama Allah Taala. Maka, nama-nama Allah Taala itulah yang tampak pada
dirimu dan pada segala sesuatu, seluruhnya. Inilah rahasia-rahasia rubûbiyyah (eksistensi
ketuhanan yang menuntut adanya penghambaan).

Oleh karena itu, wujudmu itulah “al-zhâhir”, yang tampak bersama keindahan Allah dan
kesempurnaan nama-nama-Nya. Kemudian wujudmu itulah “al-bâthin”, yang tersembunyi
dengan perjalanan kegaiban “ke-Dia-an” (huwiyyah)([17]) di dalam wujud lahirnya. Dan Dia
Maha Tahu terhadap segala sesuatu. Maka, ilmu-Nya adalah hakikat entitas Dzat-Nya, dan
kebendaan merupakan aspek kesendirian nama-nama-Nya dari penyifatan lahiriah.

Mahasuci Dzat yang terhijab dari mahluk-Nya dengan cahaya-Nya dan tersembunyi pada
semua makhluk karena kedahsyatan penampakan-Nya. Dialah Yang Mahatampak (Al-
Zhâhir) yang tidak menampakkan ketersembunyian-Nya, dan Yang Maha Tersembunyi (Al-
Bâthin) yang tidak tersembunyi penampakan-Nya. Yang Maha Awal (Al-Awwal) adalah
entitas Yang Maha Akhir (Al-Âkhir); dan Yang Maha Tampak (Al-Zhâhir) adalah entitas
Yang Maha Tersembunyi (Al-Bâthin). Dan Dia adalah Yang Maha Tahu tentang segala
sesuatu.

Adapun entitas-entitas laten merupakan forma-forma kesempurnaan wujud-Nya dan


penampakan nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang telah muncul pertama kali pada Ilmu-Nya.
Dia adalah hakikatmu dan hakikat segala sesuatu, semuanya. Kemudian di dalam entitas
(al-‘ain), bergantung pada kecintaan-Nya, Dia memperlihatkan ayat-ayat-Nya, tanda-tanda-
Nya, dan panji-panji-Nya. Maka entitas itu menjadi banyak bergantung pada formanya.
Sedangkan Dia berada dalam kesendirian-Nya yang hakiki dan kesempurnaan-Nya yang
abadi. Dia mengetahui  hakikat-hakikat segala sesuatu dengan sesuatu yang Dia pun
mengetahui hakikat Dzat-Nya, tidak dengan perintah (amr)([18]) lain. Sebab, hakikat-hakikat
itu juga entitas Dzat-Nya secara hakiki, meskipun selain hakikat itu entitas yang akan
mewujud.

Barang siapa yang tampak pada dirinya hakikat yang disebutkan, dan jelas padanya aspek-
aspek pengungkapan wujud Al-Haqq, maka ia selamat dari keraguan-keraguan dan
kesamaran-kesamaran. Dia pun mengetahui bahwa entitas-entitas laten—ditinjau dari nama
Al-Bâthin (Yang Tersembunyi)—adalah bayangan Al-Haqq Taala; ditinjau dari nama Al-
Zhâhir adalah penampakan-penampakan Al-Haqq Taala; ditinjau dari aspek wujud
(eksistensi) dan hakikat esensial adalah Entitas Al-Haqq Taala; dan ditinjau dari ungkapan
ta‘ayyun (entifikasi) bukanlah Al-Haqq Taala.

Apabila engkau telah mengerti hal tersebut, maka ketahuilah bahwa setiap entitas dari entitas-
entitas laten itu tampak dengan perantara nama (aspek permanen Esensi) dari seluruh nama
Allah dengan cara yang tulus menuju pangkuan (hadhrah) Allah Taala; setiap ruh dari
segenap ruh tampak dengan perantara entitas dari segala entitas; dan setiap jasad dari semua
jasad tampak dengan bantuan ruh dari seluruh ruh.
Apabila engkau memahami hal ini, maka engkau akan memahami juga rahasia setiap sesuatu
pada segala sesuatu, serta rahasia perkataan Syah Nikmatullah—semoga Allah menyucikan
rahasianya—“Mahasuci Allah yang telah menciptakan sebuah pintu pada setiap sesuatu untuk
mencapai-Nya. Apabila pintu itu dibuka, maka Allah akan ditemukan di pintu itu.” Juga
engkau akan memahami rahasia firman-Nya, ‘Tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa)
melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya (menguasainya). Sesungguhnya Tuhanku
berada di jalan yang lurus.’” (QS Hud [11]: 56).

Wahai Saudaraku yang mengenal Allah (al-‘ârif)([19])…!

Kenalilah entitasmu yang tetap/laten (‘ain tsâbitah)! Entitas laten-mu itu ibarat shûrah
(bentuk lahiriah entitas) yang telah diketahui Al-Haqq karena menempati keadaan-keadaan
tertentu. Kenali juga siapa engkau, dari aspek mana entitas eksternalmu itu! Maka, dari aspek
keadaan eksternal ini, engkau itu sebenarnya wujud Al-Haqq yang terbalut dengan tatanan
hukum entitas latenmu dan efek-efeknya.

Kenalilah juga apa huwiyyah-mu (ke-Dia-an)([20]) yang berlaku pada entitas latenmu dahulu,
kemudian pada entitas eksternalmu kemudian! Maka huwiyyah-mu yang berada di dalam dua
entitasmu yang tersusun (entitas laten dan entitas eksternal) adalah Huwiyyah (aspek batin
keesaan abstrak/ahadiyyah) Allah yang berlaku pada semua maujud/ciptaan-Nya. Dan
kenalilah apa hubunganmu dengan Al-Haqq! Maka hubunganmu kepada Al-Haqq adalah
hubungan sesuatu yang terikat (al-muqayyad) kepada Sesuatu yang Absolut (Al-Muthlaq).

Kenalilah juga apa sebabnya engkau itu (mewakili) Al-Haqq! Sebab, engkau itu haqq (yang
hakikat) dari aspek hakikat maujud. Dan mengapa engkau itu ciptaan (khalq) dan orang yang
tahu (‘âlim)?  Kamu itu ciptaan dan orang yang mengerti dari aspek taqyîd (keterikatanmu
dengan Al-Haqq) dan ta‘ayun (penampakan Al-Haqq pada dirimu).

Maka, realisasikan hakikatmu bersama Allah—wahai Saudaraku yang arif/mengenal Allah—


mudah-mudahan Allah Swt membimbingmu pada jalan-Nya yang lurus.

[1] Al-Wâhidiyyah: ketunggalan unik Tuhan (Al-Haqq). Wâhidiyyah berarti ketunggalan unik
Tuhan yang memadukan keserbameliputan-Nya dengan kemahakasihan-Nya. Inilah
penampakan Tuhan yang paling besar, sempurna, dan serbameliput (Al-Jîliy, Al-Insân al-
Kâmil, h. 49;Aiman Hamdi, Qâmûs Mushthalahât al-Shûfiyyah, h. 50; Amatullah, h. 237-8.)

[2] Rûh al-Quddûs: Ruh Suci. Setiap entitas maujud memiliki ruh tercipta yang membentuk
dirinya. Ruh bagi bentuk (shûrah) sama seperti makna bagi kata. Ruh tercipta memiliki Ruh
Ilahi yang membentuknya; inilah al-rûh al-quddûs. Manusia memiliki tubuh yang merupakan
bentuknya, ruh yang merupakan makna, kesadaran (sirr) yang merupakan al-rûh, dan aspek
esensial yang diistilahkan al-rûh al-quddûs. (Amatullah, h. 244-5)

[3] Nafs: jiwa, ego, diri. Nafs adalah dimensi manusia yang berada di antara ruh (rûh), yang
adalah cahaya, dan jasmani (jism), yang adalah kegelapan. Perjuangan spiritual (mujâhadah)
dilakukan untuk melawan berbagai kecenderungan jiwa rendah dari nafs yang menjauhkan
hati (qalb) dari Allah. Nafs adalah juga wilayah imajinasi. (Amatullah, h. 206)
[4] Al-hikmah: Hikmah, secara harfiah: kearifan. Dalam tasawuf, “hikmah” sangat berkaitan
dengan “adl”, yaitu menempatkan segala sesuatu pada tempat semestinya. Jadi, hikmah
bermakna: berbuat sesuatu tepat/sesuai dengan situasi dan kondisinya. Hikmah adalah
keseimbangan sempurna antara ilmu dan amal. Ia menjadi tanda bagi para wali Allah.
Tentang hikmah-hikmah yang dianugerahkan kepada para Nabi, baca karya Ibnu Arabi,
Fushûsh al-Hikam, suntingan Dr. Abu al-Alâ al-Afîfî, Beirut: Dâr al-Kitâb al-Arabi, t.t.

[5] ‘Aql: akal, intelek atau fakultas penalaran. Dalam tasawuf, intelek dianggap sebagai
penghalang bagi penempuh jalan spiritual untuk kembali kepada Al-Haqq, dan pada saat
sampai di Sidrah al-Muntaha, ia diharuskan menanggalkan akal/inteleknya agar mampu
mencapai kedekatan (qurb) dengan Al-Haqq.

[6] Hiss: fakultas sensasi atau ranah indra. Indra-indra ini bertindak sebagai tirai atas Hakikat,
dan karena alasan inilah sang pecinta Allah memohon agar segenap indranya dihilangkan.
Akan tetapi, karena manusia telah ditempatkan dalam ranah indra, maka dia pun diberi sarana
untuk menyucikan segenap indranya dan mendekatkan kepada-Nya. Dengan mengingat Allah
(dzikrullâh), tirai yang menutupi segenap indranya bisa dihilangkan guna menyingkap
hakikat segenap indranya itu. (Amatullah, h. 98-99)

[7] Asmâ’ menjelaskan tentang aspek-aspek permanen dalam esensi. Setiap nama memiliki
makna dan bentuk (shûrah). Makna setiap nama adalah Allah.

[8] Shifât: kualitas-kualitas untuk mengungkapkan diri Al-Haqq secara relatif. Sebuah sifat
adalah pancaran dari Esensi Ilahi yang menyebabkan manusia bisa mendekati pengetahuan
Allah. Esensi tidak punya manifestasi tanpa manifestasi berbagai sifat. Esensi ialah sumber
sifat-sifat, dan sifat-sifat adalah sumber berbagai tindakan. (Amatullah, h. 261)

[9] Shûrah: bentuk lahiriah entitas. Bentuk ini menyembunyikan makna batiniahnya.
(Amatullah, h. 263)

[10] Marbûbah: yang dimiliki, hamba, yang menghamba. Lawannya, “Rabb” (Pemilik, Yang
Disembah). Segala maujud adalah hamba, dimiliki, dan menghamba kepada Allah. Allah
adalah Tuhan Yang Disembah disebabkan oleh hamba-Nya. (Amatullah, h. 177)

[11] Maqâm: kedudukan spiritual. Sebuah maqâm diperoleh melalui upaya dan ketulusan
sang penempuh jalan spiritual. Namun, perolehan ini sesungguhnya terjadi berkat rahmat
Allah. Suatu kedudukan adalah suatu kualitas jiwa yang tetap, yang berbeda dengan sifat
sementara dari suatu keadaan spiritual (hâl). Manakala sang penempuh jalan spiritual naik ke
maqam yang lebih tinggi, dia tidak “meninggalkan” maqam yang lebih  rendah, melainkan
melakukan perjalanan bersamanya. (Amatullah, h. 175)

[12] Khalq: ciptaan, alam jasmani; biasanya dilawankan dengan kata “Al-Haqq”.

[13] Khayâl: imajinasi. Khayâl menunjukkan realitas maujud dalam tiga tempat yang
berbeda. Pertama, khayâl maujud dalam kosmos tempat eksistensi sama dengan imajinasi.
Kedua, khayâl maujud dalam makrokosmos tempat sekat (barzakh) antara alam kasat mata
dan alam spiritual bersifat imajinasi belaka. Ketiga, khayâl maujud dalam mikrokosmos
tempat jiwa/diri (nafs) manusia adalah realitas di antara jiwa dan raga. Khayal sinonim
dengan citra-citra atau mitsâl. Alam Imajinasi adalah sekat (barzakh) antara Alam Gaib dan
Alam Nyata. Dalam khayâl inilah manusia dianugerahi ungkapan paling jelas dari misteri
eksistensi “Dia, bukan Dia” (Huwa lâ Huwa). (Amatullah, h. 144-5)

[14] Nûr: cahaya ciptaan yang memancar dari Cahaya Allah Yang Tak Tercipta. Ketika
cahaya ini masuk dalam hati, ia menghilangkan tatanan maujud (al-kaun) yang
menghilangkan mata batin (bashîrah), sehingga ia tidak menyaksikan “sesuatu selain Allah”
(mâ siwâ Allâh). Agar penyingkapan bisa terjadi, cahaya yang berasal dari Allah haruslah
sesuai dengan cahaya dalam hati. Jika ada kegelapan di dalam hati, ia tidak akan bisa
menyesuaikan dirinya dengan Cahaya dari Allah. Mengingat Allah dapat menggosok hati
sehingga bisa bercahaya dan mencerap cahaya dari Allah. (Amatullah, h. 219)

[15] Zhulmah: kegelapan. Ketiadaan wujud adalah kegelapan murni. Makhluk adalah tempat
pertemuan (barzakh) antara Cahaya Allah dan kegelapan ketiadaan. (Amatullah, h. 331)

[16] Wahm: fantasi, persepsi imajinasi, atau ilusi. Wahm adalah fakultas praduga, imajinasi
aktif dari kekuatan ilusi. Ini adalah kekuatan terbesar yang Allah anugerahkan kepada
manusia. Fakultas inilah yang bertindak secara luas terhadap fakultas imajinasi (khayâl) yang
pasif murni. (Amatullah, h. 312)

[17] Huwiyyah: ke-Dia-an. Ini adalah Hakikat Gaib, aspek batin dari Keesaan Abstrak (al-
ahadiyyah). Inilah wujud yang benar-benar gaib dan tersembunyi, khazanah tersembunyi,
“tempat tak bertempat” yang menyebabkan para pecinta Allah dan kaum arif tak-mabuk
merindukan pulang. (Amatullah, h. 103)

[18] Amr: perintah Ilahi yang dilambangkan dengan kata “Kun” (Jadilah!). Melalui perintah
ini, segala ciptaan telah, sedang, dan akan mengada. (Amatullah, h. 29)

[19] Al-‘ârif: orang yang mengetahui dan mengenal Allah. Dia adalah manusia utuh dan
sempurna. Sang ‘ârif telah dianugerahi pengetahuan Ilahi (ma‘rifah). Ma‘rifah adalah cahaya
yang diberikan oleh Allah kepada hati  siapa saja yang dikehendaki-Nya. Sang arif adalah
orang yang sadar dan bijaksana karena telah menyelam ke dalam misteri hubungan paradoksi
antara Yang Satu dan yang banyak, antara Allah dan makhluk-Nya. (Amatullah, h. 29)

[20] Maksudnyahakikat gaib atau aspek batin dari keesaan abstrak (ahadiyyah) yang
tersembunyi di dalam diri manusia.

Pasal II: Tentang Wahdah (Kesendirian Al-Haqq)


Posted on Agustus 11, 2012 by totoedi

Wahdah([1]) (Kesendirian Al-Haqq)

Wahai Saudara yang mulia…! Semoga Allah menerangi pandangan-batinku (bashîrah)([2])


dan pandangan-batin-mu dengan cahaya hakikat (nûr al-haqîqah),([3]) dan menjaga dari
selain-Nya rahasia kemudahan jalanku dan rahasia kemudahan jalanmu.

Sesungguhnya ketika Al-Haqq Subhanahu wa Taala hendak menampakkan diri-Nya dengan


ilmu Ilahi absolut (al-‘ilm al-mutlaq), maka tampaklah wujud absolut itu di dalam diri-Nya
dengan semua urusan/tugas (syu’ûn)([4]) yang bersifat Ilahiyah dan kealamsemestaan tanpa
membeda-bedakan sebagian dari yang lain. Inilah yang disebut dengan “Wahdah”
(kesendirian Al-Haqq).

Adapun Hakikat Muhammadiyyah ialah ketunggalan unik yang serbameliput(wâhidiyyah al-


jam‘). Inilah keserbameliputan transendensi Al-Haqq (jam‘ al-ulûhiyyah). Maka,
penampakan wujud absolut Al-Haqq di dalam penyingkapan diri (tajallî)([5]) ini adalah lafal
“Bismillâh” (nama Allah), sehingga ta‘ayyun awwal (entifikasi pertama)ialah sebuah forma
dan sesuatu yang ditinggikan/ditransendensikan (ma’lûhah). Inilah yang disebut “Ilâh” (Sang
Transenden).

Selanjutnya, semua nama dan sifat Ilahiyah merupakan cabang nama ini (bismillâh) di dalam
penampakannya. Oleh karena itu, wahdah (kesendirian Al-Haqq) ialah ta‘ayyun awwal
(entifikasi pertama) yang muncul dari pangkuan Dzat Yang Tak Terentifikasi (Al-Lâ
Ta‘ayyun). Lalu wahdah ini berentifikasi dengan sesuatu yang serba-meliput (jâmi‘iyyah) dan
sesuatu yang serba-memisahkan (fâshiliyyah) karena keberadaan wahdah (kesendirian Al-
Haqq) adalah yang tampak dari wujud-Nya (zhâhir al-wujûd).

Wujud Al-Haqq (di dalam wahdah) hanya menghimpun keabsolutan dan keterikatan,
memisahkan keabsolutan dan keterikatan, dan mengandung keadaan-keadaan yang berjalinan
di dalamnya dan ibarat-ibarat([6]) esensial yang diketahui di dalamnya. Keadaan-keadaan dan
ibarat-ibarat yang diketahui dan berjalinan di dalamnya itu — jika ditinjau dari penurunan
peringkat Al-Haqq pada benda-benda azaliyyah ([7]) di dalam Ilmu Azali([8]) — merekatidak
dapat dipisah-bedakan dari Al-Haqq, baik wujudnya maupun pengetahuannya. Keadaan dan
ibarat esensial ini disebut dengan “Abjad-Abjad yang Tinggi (al-hurûf([9]) al-‘âliyyât). Dan
jika ditinjau dari Ilmu Azali bersama dengan pembedaan pengetahuan tersebut, maka keadaan
dan ibarat esensial itu disebut dengan “Entitas-entitas Laten” (a‘yân tsâbitah).

Entitas-entitas laten tersebut—apabila ditinjau dari adanya penampakan Al-Haqq pada benda-
benda yang diketahui dalam kesendirian Al-Haqq (wahdah) secara global dan belum
dipisahkan bagian satu dengan bagian lainnya—maka ia dinamakan “Ahadiyyah”(Keesaan
Transenden).Apabila ditinjau dari keberadaan benda-benda yang diketahui di dalam Al-Haqq
sebagai benda terpisah dan berbeda, maka entitas-entitas laten itu disebut dengan
“Wahidiyyah”. Dan apabila ditinjau dari keserbamencakupannya terhadap penampakan
benda-benda yang diketahui secara global yang terpisah, ia disebut dengan “Wahdah”.

Kemudian ketika Al-Haqq ingin menampakkan sesuatu yang dikehendaki-Nya dari benda
diketahui yang memiliki potensi tercipta (ma‘lumah al-mumkinah),([10]) Dia menciptakan
benda tersebut dengan hukum-hukum yang melekat padanya, efek-efeknya, danperangkat
kesiapannya.([11]) Selanjutnya, Al-Haqq ber-ta‘ayyun([12]) (menampakkan wujud-
Nya/berentifikasi) dengan sesuatu tersebut.

Dengan ta‘ayyun itu, Al-Haqq berubah karakter (tamayyuz) dari keabsolutan wujud, dan Dia
menyaksikan entifikasi wujud yang lain dari satu aspek. Sebab, wujud lain itu tampak dari
Al-Haqq, dan Al-Haqq ber-tajallî (menyingkapkan diri-Nya) dengan wujud itu. Maka, pada
saat itulah wujud lain tersebut disandarkan kepada-Nya dan diungkapkan dengan nama-Nya.
Wujud itu dinamakan “khalq” (ciptaan) dan “makhlûq” (yang diciptakan). Dari aspek lain,
Al-Haqq juga menyaksikan kemutlakan wujud-Nya yang absolut secara mutlak. Pada saat
itulah wujud-Nya disandarkan kepada-Nya dan diungkapkan dengan nama-Nya. Dia pun
diberi nama “Haqq” ([13]) dan “Ma‘syûq”.([14])
Kebalikan Wujud Absolut (al-wujûd al-muthlaq) dan penampakan-Nya yang memancar
(fa’idh)([15])kepada entitas-entitas laten (al-a‘yân al-tsâbitah) ([16]) disebut dengan “wujûd
idhâfi” (wujud yang disandarkan) karena ia disandarkan pada wujud murni (al-wujûd al-
mahdh) dalam aspek wujudnya dan hakikatnya, dan disandarkan pula pada entitas-entitas
laten dalam proses entifikasi wujud (ta‘ayyun) dan metafora/ketidakmurniannya (majâz).
Wujud Idhafi ini disebut dengan wujûd ‘âmm (wujud serbamencakup) karena
keserbamencakupannya terhadap Wujud Murni dan Entitas Laten.

Adapun Pancaran Ilahi terbagi atas al-faidh al-aqdas([17]) (Pancaran Paling Suci) dan al-faidh
al-muqaddas([18]) (Pancaran Suci). Dengan Pancaran Paling Suci (al-faidh al-aqdas),
terciptalah entitas-entitas laten dan kesiapan-universalnya di dalam Pengetahuan Ilahi; dan
dengan Pancaran Suci (al-faidh al-muqaddas), terciptalah entitas-entitas eksternal yang tidak
tetap (al-a‘yân fi al-khârij) beserta hukum-hukum yang menetap padanya dan yang dapat
berubah.

Wahai Saudaraku yang telah memahami…!

Hadirkanlah hatimu untuk memahami penjelasan ini. Sebab, di atas hakikat entitas (al-
haqîqah) terdapat entitas kebenaran (‘ain al-shawâb). Maka teruslah mencari Allah, wahai
Orang yang berkaitan dengan pasal ini! Semoga Allah Subhanahu wa Taala memberimu
hidayah ke jalan Allah yang lurus.

[1] Wahdah: Kesendirian Al-Haqq. Wahdah berada di antara Keesaan Tertinggi (Ahadiyyah)
dan Ketunggalan Unik (Wâhidiyyah).

[2] Bashîrah: pandangan-batin atau mata-batiniah yang memandang Alam Gaib. Bashîrah
manusia terhijab dan tertutup oleh karat (rayn) yang hanya bisa dihilangkan dengan
mengamalkan secara tulus dan ikhlas dzikrullâh (mengingat Allah). Pandangan-batin
merupakan salah satu bentuk pengetahuan langsung tentang Hakikat.    (Amatullah, h. 50)

[3] Nûr al-haqîqah: cahaya hakikat. Al-Haqîqah menunjukkan hakikat esensial segala sesuatu
atau Kebenaran Ilahi. Inilah Hakikat Entitas. Ia merupakan negasi berbagai efek dari sifat-
sifat hamba oleh sifat-sifat-Nya sehingga Dia menjadi pelaku melalui, di dalam, dan dari,
sang hamba. (Amatullah, h. 87-88)

[4] Syu’ûn: jamak dari sya’n, artinya: tugas, urusan, keadaan. Maksudnya, dalam setiap
maujud (sesuatu yang diwujudkan), dalam setiap waktu yang tak terbagi, yakni sebelum
ruang dan waktu berlaku bagi keterciptaan maujud, Al-Haqq senantiasa berada dalam sya’n:
tugas, keadaan, dan urusan. (penerj.)

[5] Tajallî: penyingkapan diri Al-Haqq kepada makhluk-Nya. Penyingkapan diri ini tidak
pernah terulang secara sama dan tidak pula pernah berakhir. Penyingkapan diri Tuhan berupa
cahaya batiniah yang merasuk ke hati. Tajallî merupakan tanda-tanda yang Allah tanamkan di
dalam diri manusia supaya Dia dapat disaksikan. (Amatullah, h. 280)

[6] Maksudnya, ungkapan-ungkapan verbal yang dianugerahkan Allah kepada para sufi untuk
mengungkapkan berbagai konsep, visi mistik yang tinggi, dan pengalaman spiritual yang
tampaknya tak terungkapkan. (penerj.)
[7] Azaliyyah: dimensi keabadian-tanpa-awal Tuhan. Dua dimensi Al-Haqq lainnya ialah
keabadian-tanpa-akhir, (al-abad atau abadiyyah) dan keabadian-pra-keberadaan (al-qidam).
(Amatullah, h. 44)

[8] Al-‘Ilm al-Azaliy: Pengetahuan Ilahi pada dimensi keabadian-tanpa-awal.

[9] Al-hurûf: abjad-abjad atau huruf-huruf. Ini merupakan salah satu simbol dalam tasawuf.
Pengulangan kombinasi huruf-huruf tertentu dapat digunakan sebagai wahana untuk
mengantarkan penempuh jalan spiritual menuju tingkat kesadaran yang lebih tinggi.
Sebagaimana huruf-huruf bersuara dalam abjad Arab berasal dari tarikan napas manusia,
begitu pula maujud-maujud tertentu dalam kosmos berasal dari Napas Yang Maha Pengasih
(Nafas Al-Rahmân). Melalui napas ini, Allah muncul dari Esensi-Nya dan kosmos
ditampakkan melalui huruf-huruf yang terucapkan pada Napas Yang Maha Pengasih itu.
(Amatullah, h. 102)

[10] Al-Mumkinah berarti “yang mungkin”. Dalam konteks ini, penerjemah memadankannya
dengan “yang memiliki potensi untuk diciptakan”.

[11] Yang dimaksud perangkat kesiapan ialah kesiapan-kesiapan yang bersifat universal dan
partikular dalam benda tersebut ketika Tuhan hendak menurunkan Wujud Murni-Nya
kepadanya, sebagaimana yang dijelaskan dalam al-faidh al-aqdas dan al-faidh al-muqaddas.

[12] Ta‘ayyun merupakan istilah berkenaan dengan proses penurunan Wujud Murni dalam
berbagai tingkat entitas. Konsep martabat tujuh Hamzah Fansuri menggunakan istilah
ta’ayyun. Ibn Arabi dan Al-Jili menggunakan istilah tajalli. Menurut Hamzah, ada lima
peringkat ta’ayyun. Sebelum memasuki peringkat-peringkat tersebut, Tuhan berada dalam
kesendirian-Nya, yang diistilahkan oleh Hamzah dengan “lâ ta’ayyun”. Setelah itu, baru
terjadi ta’ayyun awwal (penampakan diri tingkat pertama) di mana Tuhan menyatakan diri-
Nya dalam citra “ilm” (ilmu), wujud, syuhud (penyaksian), dan nur (cahaya). Pada ta’ayyun
tsani  (penampakan diri peringkat kedua), Tuhan menampakkan diri-Nya dalam citra
prototipe alam semesta yang disebut “a‘yân tsâbitah” (entitas-entitas laten). Pada ta’ayyun
ketiga, Tuhan menampakkan diri-Nya dalam citra ruh manusia dan makhluk. Pada peringkat
keempat dan kelima, Tuhan menampakkan diri-Nya dalam citra alam empiris. Setelah itu,
terjadilah proses tajalli yang tiada berkesudahan. Hamzah Fansuri, Zinah al-Wahidin, h. 84-
91, dan 185-186.

[13] Al-Haqq, secara harfiah: “Yang Mahabenar”, salah satu asma Allah yang indah (al-
asma’ al-husna). Al-Haqq merujuk kepada Zat Tuhan yang selalu dirindukan oleh para
penempuh jalan spiritual.

[14] Ma‘syuq, secara harfiah: “Kekasih”. Maksudnya Allah, Sang Kekasih Mutlak. Kata ini
sering diungkapkan dalam nyanyian qawwal (penyanyi sufi), dan bisa melimpahi hati sang
pecinta (‘asyiq) dengan cinta yang intens (‘isyq) yang di dalamnya muncul pengalaman
ekstase atau wajd. (Amatullah Amstrong, h. 179-180)

[15] Fa’idh (bentuk fa‘il dari faydh), berarti yang memancar. Al-Faidh merupakan istilah
yang menggambarkan tentang emanasi Ilahi dari Al-Faidh Al-Aqdas, yaitu Pancaran Paling
Suci, Manifestasi Utama, tempat Allah menampakkan diri-Nya dan di dalam diri-Nya sendiri.
(Amatullah Amstrong, h. 70-71)
[16] Al-a‘yân al-tsâbitah merujuk kepada entitas-entitas yang tetap, esensi-esensi atau
potensi-potensi yang tidak berubah. Ia merupakan gambaran nama-nama dan kualitas-kualitas
Ilahi dan “inti” Hakikat dalam Hadirat Pengetahuan (Ilmu) dengan individuasi spesifik.
Istilah ini mengandung arti sifat esensial segala sesuatu yang maujud sejak zaman keazalian
dari Pengetahuan Ilahi. (Amatullah Amstrong, h. 42)

[17] Al-Faidh Al-Aqdas, yaitu Pancaran Paling Suci, Manifestasi Utama, tempat Allah
menampakkan diri-Nya dan di dalam diri-Nya sendiri. Al-faidh al-aqdas juga mengacu pada 
Hati Manusia Paripurna (insan kamil) yang tak terciptakan dan tak terhingga. Ini juga berarti
kedudukan (maqam) “Panjang Dua Busur” (“qaba qausain”) atau   “Bahkan Lebih Dekat”
(“aw adna”). Di sinilah “kesiapan universal” (isti‘dad) dalam entitas-entitas ini ditentukan.
(Amatullah Amstrong, h. 70-71)

[18] Al-Faidh al-Muqaddas, yaitu Pancaran Suci, manifestasi Allah dalam berbagai bentuk
ciptaan. Di dalam proses penurunan Wujud Murni, ini merupakan teofani kedua. Inilah
tempat “wujud” diberikan kepada setiap entitas sesuai dengan “kesiapan universal”-nya yang
ditentukan pada aras Pancaran Paling Suci (al-Faidh al-Aqdas). Pada al-Faidh al-Muqaddas,
“kesiapan partikular” dalam masing-masing entitas mulai berperan. (Amatullah Amstrong, h.
71)

Share this:

 Twitter
 Facebook

Anda mungkin juga menyukai