Anda di halaman 1dari 31

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi dan Klasisifikasi Diabelets Melitus

Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja

insulin atau kedua-duanya. Menurut PERKENI, 2011 seseorang dapat didiagnosa

diabetes melitus apabila mempunyai gejala klasik seperti poliuria, polidipsi dan

polifagia disertai dengan kadar gula darah sewaktu ³ 200 mg/dl dan gula darah

puasa ³ 126 mg/dl (Soelistijo et al., 2015). Terdapat 4 klasifikasi diabetes mellitus

berdasarkan patofisiologi yang mendasari, yaitu diabetes tipe 1, tipe 2, tipe lain

dan diabetes melitus gestasional

8
9

Tabel 2.1 Klasifikasi Diabetes Melitus

Klasifikasi Etiologi Diabetes Melitus


Tipe 1 Diabetes tipe 1 (Destruksi sel, umumnya mengarah kepada
defisiensi insulin absolut)
a) Autoimun 

b) Idiopathik
Tipe 2 Diabetes tipe 2 (predominan resistensi insulin dengan defisiensi
insulin relative hingga predominan defek sekresi dengan resistensi
insulin)
Tipe Lain a) Defek genetik dari fungsi sel beta
b) Defek genetik kerja insulin
c) Penyakit eksokrine pankreas
d) Endokrinopati
e) Imbas obat atau zat kimia
f) Infeksi
g) Jenis tidak umum dari diabetes yang diperantarai imun
h) Sindrom genetik lainnya yang kadang berhubungan
dengan DM
Diabetes Melitus Gestasional

2.1.2 Patogenesis Diabetes Melitus

Pada DM tipe 1, sistem imunitas menyerang dan menghancurkan sel yang

memproduksi insulin beta pankreas. Kondisi tersebut merupakan penyakit

autoimun yang ditandai dengan ditemukannya anti insulin atau antibodi sel anti

islet dalam darah (Soelistijo et al., 2015). Kerusakan pankreas menyebabkan

penurunan sekresi insulin sehingga regulasi glukosa terganggu. Selain hilangnya

sekresi insulin, kerusakan akibat autoimun ini mengakibatkan abnormalitas sel sel

alpha pankreas dimana terjadi sekresi glukagon yang berlebihan. Kedua hal ini

menyebabkan kondisi hiperglikemia yang berkepanjangan dan mulai terjadi

gangguan metabolik (Suyono, 2006). Berikut patogenesis DM tipe 1:


10

Gambar 2.1 Patogenesis DM Tipe 1 (Suyono, 2006).

Pada diabetes melitus tipe 2, disebabkan oleh kekurangan insulin namun

tidak terjadi defisiensi absolut seperti diabetes mellitus tipe 1. Pada DM tipe 2

terjadi defisiensi insulin relatif. Tubuh tidak mampu memproduksi insulin yang

cukup untuk memenuhi kebutuhan yang ditandai dengan kurangnya sel beta atau

defisiensi insulin perifer (Soelistijo et al., 2015). Defisiensi insulin relatif terjadi

melalui dia mekanisme yaitu, gangguan sekresi insulin akibat disfungsi sel beta

pankreas dan gangguan kerja insulin pada tingkat sel akibat kerusakan reseptor

insulin (resistensi insulin) (Suyono, 2006).


11

Beberapa kondisi menjadi faktor risiko terjadinya DM tipe 2 seperti stress,

gaya hidup yang menetap, asupan gula yang berlebih, merokok, obesitas,

konsumsi alcohol, penuaan serta genetik berkontribusi dalam pathogenesis DM

tipe 2. Berikut adalah patogenesis DM tipe 2:

Gambar 2.2 Patogenesis DM Tipe 2 (Soelistijo et al., 2015).

2.2 Struktur dan Histologi Tulang

Tulang merupakan salah satu organ terbesar dalam tubuh yang menerima sekitar

5-10% darah dari cardiac output. Tulang berperan dalam memberikan dukungan

biomekanik yang memungkinkan terjadinya gerakan, haematopoiesis dan

homeostasis kalsium. Tulang juga merupakan suatu biomaterial viskoelastis yang

terdiri dari sel-sel (10%) yang terdapat di dalam matriks (90%). Matriks terdiri

dari komponen organik dan anorganik (Little, Rogers, & Flannery, 2011).

Komponen selular dari tulang terdiri dari osteogenic precursor cell,

osteoblas, osteoklas, osteosit, dan elemen hematopoietik dari sumsum tulang.


12

Osteogenic precursor cell terdapat pada periosteum dan endosteum. Periosteum

merupakan jaringan ikat yang menutupi tulang, kecuali pada permukaan

persendian, yang terdiri atas lapisan luar dan lapisan dalam. Lapisan luar terdiri

dari jaringan ikat padat yang iregular sedangkan lapisan dalam disebut juga

osteogenic layer terdiri dari sel-sel osteogenic. Pada endosteum hanya terdapat

selapis sel osteogenic dan tidak mengandung komponen jaringan ikat (Kalfas,

2001).

Tulang aktif secara metabolik, merupakan jaringan ikat khusus yang terus-

menerus mengalami remodeling, dimana terjadi proses pergantian jaringan tulang

lama dengan jaringan tulang baru untuk beradaptasi terhadap beban dan tegangan

secara mekanik. Tulang pada dasarnya berfungsi untuk menyediakan tidak hanya

dukungan struktural dan perlindungan terhadap organ tubuh, tetapi juga sebagai

reservoir untuk kalsium, magnesium, dan fosfat, ion yang penting dalam fisiologi

tubuh (Lauing, Roper, Nauer, & Callaci, 2012).

Ada dua tipe dasar tulang: lapisan luar tulang korteks yang padat

(compact) berfungsi terutama untuk proteksi, dan lapisan dalam tulang kanselus

(trabecular, spons) yang terdiri dari kompartemen sumsum merah di ujung tulang

panjang. Lapisan jaringan ikat padat yang disebut periosteum mengelilingi

permukaan luar dari tulang kortikal dan berisi pembuluh darah yang memberikan

nutrisi untuk tulang, fibroblas, pericytes dan sel-sel progenitor multipoten dengan

kapasitas untuk berdiferensiasi menjadi tulang, tulang rawan, lemak, dan otot.

Rongga sumsum dibatasi oleh endosteum, yang juga berisi pembuluh darah,

osteoklas, osteoblas, dan sel-sel progenitor hematopoietik (Lauing et al., 2012).


13

Tipe tulang dibagi menjadi tulang imatur dan matur. Tulang imatur

dikenal sebagai woven bone. Fibril kolagen yang dibentuk oleh osteoblas

mengurangi kekuatan tetapi meningkatkan fleksibilitas tulang. Tulang imatur

terlihat pada masa janin/embryonic bone, pada penyembuhan patah tulang dan

keadaan patologis pada tulang (tumor atau infeksi dengan tingkat turnover tulang

yang tinggi). Tulang matur yaitu tulang kortikal (kompak) atau tulang kanselus

(trabekular, spon). Tulang kortikal membentuk 80% dari keseluruhan tulang dan

ditandai oleh sistem Haversian atau osteons. Dimana fibril kolagen secara paralel

membentuk cincin di sekitar kanal Haversian. Osteosit terperangkap di dalam

lakuna yang berkomunikasi satu sama lain dan kanal Haversian melalui

kanalikuli. Di dalam lanal Haversian terdapat anyaman neurovaskular. Kanal

Volkmann berjalan tegak lurus dengan kanal Haversian dan bergabung dengan

suplai darah periosteal menuju sirkulasi pusat (Little et al., 2011).

Dua jenis sel utama langsung bertanggung jawab untuk pemeliharaan

massa tulang adalah osteoklas (penyerapan tulang) dan osteoblas (pembentuk

tulang). Sel ini diatur dalam bone remodeling units (BRU) atau basic multicellular

units (BMU), yang mempertahankan aktivasi yang berkesinambungan dari

osteoklas diikuti oleh osteoblas yaitu resorpsi diikuti pembentukan tulang.

Osteoblas mensekresikan matriks organik unmineralized yaitu osteoid, yang

sebagian besar terdiri dari kolagen tipe I, selain proteoglikan, glikoprotein, dan

protein noncollagenous lainnya seperti osteocalcin (Lauing et al., 2012).

Osteoblas yang telah dewasa/matang secara metabilik aktif dan merupakan

bone forming cells. Osteoblas mensekresikan osteoid yang merupakan


14

unmineralized organic matriks yang kemudian mengalami proses mineralisasi

yang menyebabkan tulang menjadi keras dan kaku. Sebagian dari osteoblas

berubah menjadi osteosit, sedangkan sebagian lainnya tetap berada di permukaan

periosteum dan endosteum. Osteoblas juga berperan mengaktivasi resorpsi tulang

oleh osteoklas (Kalfas, 2001).

Osteoblas juga mengeluarkan enzim seperti alkali fosfatase dan

osteocalcin, yang penting untuk mineralisasi matriks dan berfungsi sebagai

penanda aktivasi dan maturasi osteoblas. Osteoblas mengontrol pembentukan

osteoklas dengan mengeluarkan receptor activator of nuclear factor kappa-B

ligand (RANKL) yang mendukung pematangan osteoklas dan osteoprotegerin

(OPG) yang menghambat diferensiasi osteoklas (Lauing et al., 2012).

Osteoklas adalah multinucleated, bone-resorbing cells, yang diregulasi

oleh mekanisme hormonal dan seluler. Sel ini berperan dalam resorpsi tulang.

Pada proses tersebut osteoklas melekat pada permukaan tulang dan melepaskan

enzim hidrolitik yang menyebabkan hidrolisis dari matriks tulang dan calcified

cartilage. Proses tersebut menghasilkan terbentuknya cekungan pada tulang yang

disebut lakuna Howship (Kalfas, 2001).

2.3 Proses Penyembuhan Patah Tulang

2.3.1 Penyembuhan Patah Tulang Secara Primer

Penyembuhan Patah Tulang ini memerlukan kontak antara kedua ujung

korteks tulang, dan distabilisasi dengan osteosynthesis yang rigid. Kontak yang

rigid akan mengijinkan terjadinya resorpsi pada kedua ujung tulang dan
15

pembentukan daripada Haversian Canal yang baru. Jaringan perivascular di

dalam kanal tersebut terdiri dari sel osteoprogenitor yang kemudian menjadi sel

osteoblast. Kemudian suatu jembatan spongiosa terbentuk, yang nantinya akan

dirubah menjadi tulang lamelar yang secara mekanik relatif kuat (J. Li & Stocum,

2013).

2.3.2 Penyembuhan Patah Tulang Secara Sekunder

Pada penyembuhan ini, Periosteum memegang peranan utama,

dikarenakan memiliki sel Osteoprogenitor dan sel-sel messenchymal yang

membantu proses penyembuhan tulang secara Endochondral Ossification.

Penyembuhan ini terdiri dari 5 tahapan, yaitu pembentukan hematoma, fase

inflamasi dan proliferasi seluler, fase terbentuknya kalus, fase konsolidasi, dan

fase remodeling (Solomon, Warwick, & Nayagam, 2010).

Gambar 2.3 Fase Penyembuhan Tulang (Solomon et al., 2010).


16

Tahap pertama penyembuhan patah tulang adalah fase pembetukan

hematoma. Putusnya jaringan pembuluh darah di sekitar patah tulang akan

mebentuk kumpulan darah (hematoma). Hal ini menyebabkan penurunan pasokan

darah, sehingga terjadi kematian tulang satu sampai dua millimeter. Fase ini

ditandai dengan adanya tanda-tanda fraktur baik secara klinis maupun radiologis

(J. Li & Stocum, 2013).

Tahap kedua adalah fase inflamasi dan proliferasi seluler. Fase ini dimulai

8 jam sejak terjadinya patah tulang, dimana ditandai dengan munculnya reaksi

inflamasi akut dengan disertai proliferasi sel di bawah periosteum dan di dalam

kanal medulla tulang. Pada fase ini, agen-agen inflamasi akan dikeluarkan,

Cytokine dan Growth Factors yang dihasilkan oleh sel neutrofilia, trombosit dan

sel lainnya. Cytokine utama adalah Interleukin 1 dan 6. Sedangkan Growth

Factors utama adalah Platelet Derived Growth Factor (PDGF) dan Transforming

Growth Factor – β (TGF-β). Molekul-molekul inilah yang sangat penting dalam

regulasi proliferasi dan diferensiasi daripada sel mesenkimal yang bersifat

Pluripotent.

Fase selanjutnya adalah fase terbentuknya kalus. Sel-sel yang mengadakan

proliferasi berpotensi kondrogenik maupun osteogenik. Massa seluler yang tebal,

dengan pulau tulang immature dan tulang rawan, membentuk kalus atau

penyangga pada periosteum dan permukaan endosteum. Saat serat tulang yang

immature mengalami mineralisasi yang padat, pergerakan pada tempat patah

tulang akan berkurang secara progresif.


17

Fase berikutnya adalah fase konsolidasi. Dengan berlanjutnya aktivitas

osteoblastik dan osteoklastik, tulang immature berubah menjadi tulang lamellar.

System ini memungkinkan osteoklas untuk tertanam melalui debris pada daerah

fraktur, dan diikuti dengan osteoblas mengisi ruang yang ada. Proses ini

berlangsung lambat dan memerlukan waktu beberapa bulan sebelum tulang

menjadi kuat untuk menerima beban normal. Fase penyembuhan tulang kemudian

diakhiri dengan fase remodeling. Patah tulang telah dihubungkan dengan tulang

yang padat. Proses ini memakan waktu bulan hingga tahun.

2.4 RANKL RANKL, dan Osteoprotegerin

2.4.1 Definisi

RANK dianggap sebagai reseptor permukaan bersifat hematopoetik yang

mengendalikan osteoklastogenesis dan metabolisme kalsium. RANKL adalah

protein yang di produksi oleh sel osteoblas, sel stroma tulang dan oleh sel limfosit

T yang teraktivasi dan dapat meningkatkan osteoresorpsi dengan menginduksi

ekspresi gen cathepsin K. Osteoprotegerin (OPG) diproduksi oleh sel osteoblas

dan sel stroma dan akan mengikat RANK dan menghambat diferensiasi sel

progenitor menjadi osteoblas, serta menunjukkan efek hipokalsemik dan

antiresoptif (Wang & Zhong, 2013).

RANKL dan OPG tidak terikat pada membrane dan konsentrasinya dapat

diukur. Kedua molekul tersebut merupaka sitokin yang mengatur

osteoklastogenesis dan dikelompokkan ke dalam superfamily reseptor TNF.

RANKL mengikat reseptor pada permukaan preosteoklas dan menstimulasi


18

diferensiasinya menjadi osteoklas aktif, yang mengakibatkan osteoresorpsi. OPG

merupakan reseptor untuk RANKL yang akan mengikat RANKL dan

menghambat proses osteoklastogenesis sehingga menghambat pematangan

osteoklas. OPG mRNA terdeteksi pada tulang dan jaringan lunak seperti saluran

pencernaan, jantung, paru-paru, hati, ginjal, otak dan tulang rawan. Sebaliknya,

ekspresi RANKL terbatas pada area osteoresorpsi dan kelenjar getah bening

(Stejskal et al., 2001).

Berikut adalah agen yang menurunkan rasio OPG/RANK: glukokortikoid

(meningkatkan osteoklastogenesis dengan cara menghambat OPG dan produksi

OPGL melalui sel garis osteoblas, yang menyebabkan peningkatan osteoresorpsi),

beberapa sitokin inflamasi (IL-1 beta, IL-4, IL-6, IL-11, IL-17, TNF-alfa), faktor

pertumbuhan fibroblast 2 (menghambat produksi OPG dan merangsang produksi

RANKL), PTH (menghambat produksi OPG dan merangsang produksi RANKL),

prostaglandin E2, berbagai factor transkripsi mesenkimal (cbfa-1, PPAR-gamma),

1,25 OH vitamin D3 (Bjerre, 2013; Stejskal et al., 2001). Berikut adalah agen

yang meningkatkan rasio RANKL/OPG: estrogen (meningkatkan sekresi OPG

oleh sel osteoblastik dan menghambat produksi RANKL), TGF-beta

(menginduksi sekresi OPG).


19

Gambar 2.4 Tampak Proses Aktivasi Osteoclast di Pengaruhi Oleh Ikatan Antara

Receptor RANK dan RANKL, OPG Berfungsi Meregulasi Ikatan Tersebut

(Bjerre, 2013; Stejskal et al., 2001).

2.4.2 RANK

RANK adalah protein transmembran homotrimer tipe I yang

pengekspresiannya dideteksi pada awalnya hanya pada OCPs, osteoklas dewasa,

dan sel dendritik. Pengekspresian protein RANK ditemukan pada kelenjar susu

dan pada beberapa sel kanker, termasuk kanker payudara dan prostat, dua tipe

tumor dengan potensi metastasis tulang. Meskipun tidak ada manusia telah

teridentifikasi hingga kini dengan inactivating mutations atau dilesi RANK, suatu

mutasi dilesi terjadi secara spontan dalam sebuah garis dari tikus kecil transgenik,

yang konsekuensinya memiliki semua gambaran dari tikus kecil dengan dilesi-
20

tertarget RANK (targeted diletion of RANK), mengkonfirmasi pentingnya RANK

bagi pembentukan osteoklas (Folestad et al., 2015; Stejskal et al., 2001).

2.4.3 RANKL

RANKL adalah protein transmembran homotrimer tipe II yang diekspres

sebagai protein terikat-membran dan tersekresikan, yang berasal dari bentuk

membrannya sebagai akibat pemecahan proteolitik ataupun splicing alternatif.

Pemecahan proteolitik dari RANKL memerlukan ADAM (a disintegrin and

metalloprotease domain) dan metalloprotease matriks. Pengekspresian RANKL

dirangsang dalam osteoblast/sel stroma oleh sebagian besar faktor yang diketahui

dapat merangsang pembentukan dan aktivitas osteoklas. Hal ini terekspresi dalam

kelenjar getah bening, timus dan paru, dan pada tingkat yang rendah dalam

berbagai jaringan lain termasuk limpa dan sumsum tulang. Pada sendi yang

inflamasi itu diekspres oleh sel sinovial dan disekresikan oleh sel T aktif. Sumber-

sumber dari RANKL ini tampaknya bertanggung jawab, setidaknya sebagian,

memerantarai kerusakan sendi pada pasien dengan artritis rheumatoid. TNF juga

memerantarai kerusakan sendi pada artritis rheumatoid melalui meningkatkan

jumlah OCP beredar secara sistemik, dan dengan mendorong jalan keluar mereka

dari sumsum tulang ke dalam darah perifer dan kemudian ke sendi yang inflamasi,

di mana ia mendorong proses fusi dari sel-sel ini menjadi osteoklas bersama

dengan RANKL dan IL-1 (Bjerre, 2013; Secchiero et al., 2006; Stejskal et al.,

2001).
21

2.4.4 Osteoprotegerin

Osteoprotegerin diekspresi dalam banyak jaringan selain osteoblas,

meliputi jantung, ginjal, hati, limfa, dan sumsum tulang. Pengekspresiannya

diregulasi oleh kebanyakan dari faktor yang menginduksi pengekspresian

RANKL oleh osteoblast. Banyak laporan mendukung pernyataan bahwa rasio

RANKL/OPG merupakan penentu utama masa tulang. Sebuah peran

osteoprotektif OPG pada manusia didukung oleh laporan tentang dilesi

homozigous dari 100 kilobasa OPG dari dua orang pasien dengan penyakit dari

Paget juvenil, gangguan otosom-resesif yang ditandai oleh meningkatnya

remodeling tulang, osteopeni, dan patah tulang. Sebuah temuan mengejutkan

belakangan ini adalah bahwa pengekspresian OPG diregulasi oleh pensinyalan

Wnt/β-catenin pada osteoblas, jalur yang sama yang meregulasi pembentukan

tulang osteoblastik. Massa tulang ditentukan oleh berbagai upaya terkombinasi

dari osteoblas dan osteoklas, dan diregulasi dalam osteoblas oleh dua jalur

pensinyalan utama: RANKL/RANK dan Wnt/β-catenin (Kwan Tat et al., 2009).

Remodeling tulang erat diatur oleh sebuah triad molekul yang terdiri dari

RANKL/OPG/RANK. Penggerak reseptor ligan NF-KB (RANKL) (lokal pada

osteoblas) meningkatkan osteoclastogenesis melalui interaksi dengan reseptor

yang peringkat (lokal pada osteoklas), sedangkan osteoprotegerin (OPG)

(diproduksi oleh osteoblas) menghambat osteoclastogenesis ini yang berikatan

dengan RANKL (Kwan Tat et al., 2009). Keseimbangan antara OPG dan RANKL

memainkan peran penting dalam patofisiologi tulang. Sebuah penyelidikan yang

didasarkan pada OPG setelah mengikat RANKL menunjukkan proses OPG yang
22

intemalization melalui jalur clathrin sebelum proteasomal dan/atau degradasi

lisosomal. Bukti baru menunjukkan bahwa perubahan tulang subchondral

Osteoartritis (OA) erat terlibat dalam kerusakan tulang rawan, dan bahwa OPG

dan RANKL mungkin terlibat (Tat et al., 2008).

2.5 Diabetes, Inflamasi dan Tulang

Mediator pro inflamasi seperti TNF-α, IL-1β, IL-6 and IL-18 meningkat

secara lokal pada diabetes mellitus dan diperkirakan berkontribusi dalam hal

komplikasi diabetes (Jiao et al., 2015). Kondisi diabetes memiliki kesulitan dalam

menekan proses inflamasi. Peningkatan kadar TNF membatasi kapasitas diabetes

untuk menekan gen inflamasi lain dan meningkatkan apoptosis, dimana hal ini

berfungsi untuk menurunkan bone coupling pada binatang dengan diabetes (Beam

et al., 2002).

Selama kondisi hiperglikemik terus meningkat dan inflamasi terus terjadi,

hal ini akan menginduksi proses osteoklastogenesis. Diabetes meningkatkan

pembentukan osteoklas termasuk diantaranya penyakit periodontal, penyembuhan

fraktur dan osteoporosis (Jiao et al., 2015). Diabetes meningkatkan osteoklas

berhubungan dengan proses dimana tulang diinduksi oleh trauma atau inflamasi

dibandingkan kadar basal. Binatang diabetes dengan periodontitis memiliki kadar

IL-1β, TNF-α, and prostaglandin E2, yang dapat merangsang resorpsi tulang oleh

osteoklas (He et al., 2004). Tikus diabetes dengan periodontitis dan diabetes

melitus tipe 1 mempunyai jumlah osteoklas dua hingga empat kali lipat serta
23

kadar IL-17 dan IL-23, yang nantinya akan merangsang pembentukan osteoklas

melalui RANKL (Wu et al., 2015).

Tikus diabetes tipe 2 dapat merangsang osteoklas dua hingga empat kali

lipat yang diinduksi oleh infeksi periodontal dibandingkan normoglikemik

terinfeksi. Mirip pada manusia dengan diabetes tipe 2 dan periodontitis, terjadi

peningkatan kadar TNF-α, IL-1β dan IL-6 secara signifikan sehingga proses

inflamasi, peroksidasi lipid dan dyslipidemia akan berlangsung terus menerus.

Diabetes meningkatkan rasio RANKL/OPG dan TNF, keduanya berkontribusi

dalam proses resorpsi tulang (Ndip et al., 2014). Kadar asam lemak pada diabetes

juga berkontribusi dalam osteoklastogenesis. Kapasitas untuk menghentikan

proses inflamasi merupakan aspek penting untuk menekan resorpsi tulang seperti

pada kasus berkurangnya kehilangan tulang pada binatang yang diberikan

resolving atau penghambat TNF (Wong et al., 2016).

Diabetes menurunkan pembentukan dan fungsi osteoblast. Pembentukan

tulang berkurang pada tikus. Hal ini dibuktikan dengan penurunan kadar

osteokalsin pada diabetes tipe 2 dibandingkan nondiabetes, mencermikan

penurunan aktivitas osteoblast, yang berbanding terbalik dengan IL-6 dan C-

reactive protein (CRP). Terjadi penurunan ekspresi BMP dan FGF, osteocalcin

dan bone coupling pad tikus diabetes Kondisi tersebut berkaitan dengan inflamasi

yang diinduksi diabetes (Wong et al., 2016).

Mekanisme ini disebabkan oleh ekspresi TNF yang berkepanjangan pada

tulang diabetes ketika distimulasi oleh trauma atau inflamasi yang meningkatkan

aktivitas nuclear factor-kappa-B dan berkurangnya ekspresi fra-1 dan runx2 pada
24

osteoblast, serta penurunan ekspresi mediator yang menstimulasi pertumbuhan

dan diferensiasi osteoblast. Inflamasi terkait diabetes juga menekan jumlah

osteoblast melalui apoptosis. Diabetes tipe 1 meningkatkan aktivitas osteoblast

caspase 3 dan rasio Bax/Bcl-2 dimediasi oleh peningkatan kadar TNF-α. Diabetes

tipe 2 juga meningkatkan ekspresi gen pro apoptosis yang nantinya berefek pada

tulang (Jiao et al., 2015).

2.6 Diabetes Advanced Glycation End-products (AGEs) dan Tulang

Peningkatan kadar glukosa merangsang glikasi protein dimana hasil

akhirnya adalah advanced glycation end-products (AGEs). AGE adalah

modifikasi protein oleh gula aldose, dibentuk melalui oksidasi produk secara non

enzimatik dalam reaksi Mailard. Akumulasi AGE berkaitan dengan komplikasi

DM seperti pada penyakit degeneratif. AGE berikatan dengan beberapa reseptor

seperti RAGE sitokin pro inflamasi (Jiao et al., 2015). Diabetes meningkatan

ekspresi AGE dan RAGE. Sinyal dari RAGE mengaktivasi transcription factor

NF-κB untuk merangsang ekspresi activator reseptor nuclear factor κ-B ligand

(RANKL). AGE dan hiperglikemia berhubungan dengan pembentukan osteoklas

dan RAGE diekspresikan oleh osteoklas yang nantinya menstimulasi

osteoklastogenesis (Ndip et al., 2014).

Tikus dengan RAGE yang sedikit memiliki efek berkurangnya resorpsi

tulang dan meningkatnya massa tulang. RAGE juga menekan ekspresi

osteoprotegerin (OPG) untuk meningkatkan osteoklastogenesis dan resorpsi

tulang. Selain itu, AGE menghambat diferensiasi osteoblast yang ditandai dengan
25

penurunan ekspresi fosfatase alkali dan kolagen 1α1 serta terhambatnya

pembentukan matriks mineral (Ndip et al., 2014). Selain itu terdapat bukti bahwa

AGE dapat menginduksi apoptosis osteoblast sehingga menurunkan jumlah

osteoblast dan mengganggu pembentukan tulang (J. Li & Stocum, 2013).

2.7 Diabetes Reactive Oxygen Species (ROS) dan Tulang

Selama kondisi diabetes, berbagai jaringan menghasilkan reactive oxygen

species (ROS) (Tripathi & Verma, 2014). Stres oksidatif meningkat pada diabetes

dan berkontribusi terjadinya komplikasi diabetes. Peroksidasi superoxide

meningkat dalam mitokondria sebagai hasil dari peningkatan kadar glukosa, dan

terbentuklah kaskade inflamasi yang lebih besar. Mekanisme primer melalui

produksi berlebih dari anion superokside oleh rantai transport electron

mitokondria. Di samping itu, diabetes menyebabkan penurunan kadar antioksidan

dan meningkatkan kerentanan terhadap stress oksidatif (Graves, Alblowi, Paglia,

O’Connor, & Lin, 2011). Terdapat beberapa sumber ROS di dalam sel termasuk

stimulasi AGE, tingginya glukosa menginduksi rantai transport electron

mitokondria dan aktivitas membran yang terikat dengan NADPH oxidase.

Peningkatan kadar ROS berefek negative terhadap tulang. Intraseluler H2O2

meningkatkan diferensiasi dan waktu paruh osteoklas. Pembentukan ROS

menginduksi ekspresi RANKL dan meningkatkan pembentukan osteoklas (Jiao et

al., 2015).

Efek jangka panjang dari stres oksidatif mungkin sangat penting untuk sel

berumur panjang seperti osteosit dan sel induk mesenkim. Sel induk mesenchymal
26

memainkan peran penting dalam pembentukan tulang dan osteosit sangat penting

untuk mengatur remodeling tulang, terutama sebagai respons terhadap stimulasi

mekanis. Karena diabetes meningkatkan pembentukan radikal superoksida dan

menghambat pertahanan antioksidan, pengaruhnya terhadap sel induk

mesenchymal dan osteosit mungkin merupakan salah satu mekanisme di mana

diabetes mempengaruhi kesehatan tulang jangka panjang (Mehta, Breitbart,

Berberian, Liporace, & Lin, 2010).

2.8 Diabetes, Hiperglikemi dan Tulang

Studi tentang osteoklas yang berasal dari tikus diabetes mellitus tipe 2 dan

pasien diabetes mellitus tipe 2 menemukan bahwa diferensiasi osteoklas

ditingkatkan oleh hiperglikemia, menunjukkan peningkatan kapasitas untuk

resorpsi tulang. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan kehilangan tulang

alveolar pada pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan periodontitis (Akram et al.,

2011). Kadar glukosa yang tinggi merangsang generasi spesies oksigen reaktif

yang pada gilirannya dapat meningkatkan pembentukan dan aktivitas osteoklas.

Karena efek glukosa tinggi sering memakan waktu beberapa hari, kemungkinan ia

bekerja secara tidak langsung dengan merangsang peningkatan peningkatan ROS,

meningkatkan ekspresi sitokin dan pembentukan AGE. Peningkatan kadar

glukosa mengganggu diferensiasi osteoblas dan fungsi osteoblas yang dipantulkan

oleh penurunan ekspresi gen penanda osteoblas. Glukosa yang tinggi merangsang

produksi spesies oksigen reaktif dan aktivasi NF-kB untuk mempengaruhi

osteoblast. Hyperglycemia dapat mempengaruhi tulang melalui peningkatan


27

ekspresi sitokin proinflamasi seperti TNFα, yang mengurangi diferensiasi

osteoblas, aktivitas osteoblas dan meningkatkan apoptosis osteoblast (Jiao et al.,

2015).

Kadar glukosa yang tinggi mengurangi ekspresi faktor transkripsi RUNX2

dan menghambat pembentukan tulang (Gandhi et al., 2006). Selanjutnya, ini

mengganggu produksi matriks mineralisasi. Viabilitas osteoporosis menurun

dengan glukosa tinggi. Mekanisme lainnya adalah melalui peningkatan aktivasi

PPAR yang mendorong adipogenesis dari sel induk mesenchymal dengan

mengorbankan pembentukan tulang untuk mengurangi massa tulang (Faienza et

al., 2015).

2.9 Diabetes dan Proses Penyembuhan Tulang

Fraktur pada penderita diabetes adalah co-morbiditas yang signifikan dari

diabetes tipe 1 dan tipe 2 dan ditandai oleh perubahan kualitas tulang (Gilbert &

Pratley, 2015). Metaanalisis menunjukkan pola yang konsisten untuk

meningkatkan risiko patah tulang pada pria dan wanita dan dalam penelitian yang

dilakukan di Amerika Serikat dan Eropa. Studi Kesehatan dengan 109.983 wanita

berusia 34-59 tahun dan follow up 22 tahun kemudian mengindikasikan bahwa

diabetes mellitus tipe 1 dan 2 keduanya terkait dengan peningkatan risiko patah

tulang pinggul (Jiao et al., 2015). Risiko relatif patah tulang pinggul meningkat 6-

7 kali lipat untuk individu dengan diabetes mellitus tipe 1, yang jauh lebih tinggi

daripada peningkatan risiko (1,4-1,7 kali lipat) pada diabetes mellitus tipe 2.

Risiko patah tulang diabetes mellitus tipe 1 meningkat karena penurunan BMD,
28

yang terkait dengan pembentukan tulang yang terganggu yang dapat dikaitkan

dengan kekurangan insulin dan faktor pertumbuhan mirip insulin-1 (IGF-1).

Diabetes mellitus tipe 2 sering ditandai dengan kepadatan mineral tulang normal

atau tinggi (BMD). Diabetes dapat dikaitkan dengan pengurangan kekuatan tulang

yang tidak tercermin dalam pengukuran BMD yang mengakibatkan tingginya

risiko patah tulang (Wong et al., 2016).

Perbaikan fraktur melibatkan pembentukan hematoma setelah cedera yang

menghasilkan produksi sitokin dan faktor pertumbuhan. Hal ini menyebabkan

respons inflamasi yang diperlukan untuk rekrutmen sel induk mesenchymal. Sel-

sel ini berkembang biak dan berdiferensiasi menjadi kondrosit yang membentuk

tulang rawan selama fase endochondral pembentukan tulang. Sel sepanjang

periosteum berdiferensiasi menjadi osteoblas untuk menghasilkan tulang baru.

Tulang rawan mineralisasi dan mekanis menstabilkan lokasi rekahan. Tulang

rawan mineralisasi kemudian dikeluarkan oleh aksi osteoklas. Faktor penting

dalam proses ini adalah TNF-α, faktor stimulasi koloni macrophage (MCSF) dan

RANKL. Transisi dari tulang rawan ke tulang terkait dengan peningkatan

angiogenesis (Graves et al., 2011; Jiao et al., 2015). Fase terakhir adalah

remodeling tulang, yang melibatkan aksi osteoklas dan osteoblas untuk

membentuk kembali tulang ke bentuk akhirnya. Hewan diabetes menunjukkan

penurunan dan penurunan pembentukan tulang. Penyembuhan fraktur diabetes

dapat disebabkan sebagian, oleh tingkat faktor pertumbuhan yang menurun seperti

yang ditunjukkan oleh penyembuhan yang meningkat dengan penerapan FGF-2

ke lokasi fraktur.
29

Penyembuhan fraktur pada pasien diabetes berkepanjangan sebesar 87%

dan memiliki risiko komplikasi 3-4 kali lipat lebih tinggi. Studi klinis pada

manusia menunjukkan bahwa diabetes menunda penyembuhan fraktur. Sebuah

studi tentang hewan diabetes secara spontan mengungkapkan bahwa

penyembuhan fraktur diabetes ditandai oleh penurunan aposisi dan mineralisasi

tulang. Fase reparatif penyembuhan patah tulang dimulai dengan diferensiasi

proliferasi dan chondroblastik sel prekursor periosteal yang menghasilkan kalus

tulang rawan hialin di sekitar tulang yang terluka. Ketidakseimbangan apoptosis

chondrocyte, pengangkatan tulang rawan yang dini, mengurangi diferensiasi dan

fungsi osteoblas dan perubahan vaskularisasi telah terbukti mempengaruhi transisi

dari tulang rawan ke tulang. Aktivitas osteoklas supernormal mengganggu

remodeling kalus osseus. Telah diusulkan bahwa insufisiensi insulin,

hiperglikemia dan stres oksidatif adalah mekanisme yang mempengaruhi

penyembuhan fraktur pada diabetes mellitus tipe 1 dan 2. Mereka dapat

mengurangi diferensiasi osteoblas, meningkatkan aktivitas osteoklas, dan

mengubah apoptosis chondrocytes dan osteoblas untuk mengganggu

penyembuhan fraktur pada pasien diabetes (Graves et al., 2011; J. Li & Stocum,

2013).

Diabetes mengganggu penyembuhan luka baik pada soft tissue maupun

hard tissue. Meskipun tipe 1 ataupun tipe 2, keduanya dihubungkan dengan

penurunan densitas mineral tulang dan peningkatan kejadian fraktur pada tulang.

Beberapa studi melaporkan beberapa faktor yang turut berpengaruh, seperti

pemanjangan ekspresi dari sitokin dan kemokin; destruksi matriks yang


30

dihubungkan ketidakseimbangan antara enzim matriks litik dan inhibitor-

inhibitornya; begitu juga dengan defek pada kapasitas repararasi karena hilangnya

produksi dari faktor pertumbuhan dan angiogenesis, berkurangnya proliferasi, dan

meningkatnya proses apoptosis.

Diabetes mengganggu proses penyembuhan fraktur pada tulang, termasuk

pada tulang mandibula, panggul dan tulang-tulang panjang. Studi klinis telah

melaporkan delayed union atau pemanjangan waktu penyembuhan tulang pada

subjek penderita diabetes dibandingkan dengan kontrol. Fraktur tulang panjang

pada hewan percobaan yang menderita diabetes yang diinduksi streptozotocin

juga menunjukkan perubahan yang konsisten dengan terganggungya proses

penyembuhan tulang, termasuk kalus yang lebih kecil dan menurunnya kekuatan

mekanik tulang dibanding dengan kelompok kontrol. Sebuah bukti menunjukkan

bahwa terganggunya proses penyembuhan tulang pada hewan disebabkan oleh

diabetes bukan efek samping dari pemberian streptozotocin (Graham, Janecek,

Kittredge, Hering, & Schuurman, 2011; Motyl & McCabe, 2009).

Proses penyembuhan tulang panjang pada hewan juga menunjukkan

penurunan kekuatan, disertai keterlambatan penyembuhan baik secara material

maupun struktural selama setidaknya 1 minggu dibanding dengan tikus kelompok

kontrol yang normoglikemi. Pada hewan coba dilaporkan terjadi penurunan

kekuatan biomekanik pada tulang sekitar 20%. Pada studi lain menunjukkan

sebuah penurunan kekuatan mekanik dan ukuran kalus sebesar 2 kali lipat disertai

penurunan formasi tulang. Penurunan proliferasi dan diferensiasi sel osteoblas


31

selama proses penyembuhan fraktur pada hewan coba diabetes yang diinduksi

streptozotocin dibanding dengan kelompok kontrol.

2.10 Tikus Modeling Dibetes

Alloxan model diabetes mellitus, Alloxan adalah bahan kimia yang paling

umum digunakan untuk induksi diabetes mellitus. Ini adalah agen diabetogenik

yang terkenal yang banyak digunakan untuk menginduksi diabetes Tipe II pada

hewan (King, 2012). Alloxan adalah turunan urea yang menyebabkan nekrosis

selektif sel pankreas pankreas. Ini digunakan untuk menghasilkan diabetes

eksperimental pada hewan seperti kelinci, tikus, tikus dan anjing. Dengan agen

ini, adalah mungkin untuk menghasilkan tingkat keparahan penyakit yang berbeda

dengan memvariasikan dosis alloxan yang digunakan: ini dapat diklasifikasikan

dengan mengukur kadar gula darah puasa (FES): Pada kelinci diabetes moderat

telah didefinisikan sebagai tingkat FBS 180 - 250 mg/dL, dan diabetes berat

sebagai tingkat FBS di atas 250mg/dL (Skovsø, 2014). Diabetes yang parah yang

dihasilkan oleh alloxan menghasilkan kadar gula darah yang setara dengan total

pankreatektomi, oleh karena itu sulfonilurea seperti tolbutamid, yang terutama

terjadi dengan merangsang pelepasan insulin dari sel β, hanya menunjukkan efek

hipoglikemik kecil.

Hewan diabetes sedang direkomendasikan untuk digunakan dalam

pengujian obat untuk penggunaan diabetes mellitus yang tidak tergantung insulin

(Deeds et al., 2011). Untuk semua hewan, satu dosis alloxan tunggal, 140 - 180

mg/kg (biasanya 150 mg/kg) diberikan sebagai 5% b/v dalam air suling yang
32

disuntikkan secara intravena ke dalam vena telinga marginal kelinci atau secara

intraperitoneal dalam kasus tikus dan diobservasi tujuh hari untuk kelinci, 12 hari

untuk tikus dan tikus diperbolehkan untuk hewan yang memiliki akses bebas

terhadap makanan dan air. Alloxan dan reduksi produknya dialuric acid

membentuk siklus redoks dengan pembentukan radikal superoksida. Radikal ini

mengalami dismutation ke hydrogen peroxide. Setelah itu, radikal hidroksil yang

sangat reaktif terbentuk dengan reaksi fenton. Tindakan spesies oksigen reaktif

dengan peningkatan simultan dalam konsentrasi kalsium sitosolik menyebabkan

penghancuran sel beta secara cepat (Skovsø, 2014).

Dengan demikian alloxan menginduksi diabetes mellitus berfungsi sebagai

biomodel patologis untuk menguji zat dengan aktivitas antioksidan yang diduga in

vivo. Salah satu target spesies oksigen reaktif adalah DNA pulau pankreas.

Fragmentasinya terjadi pada sel beta yang terpapar alloxan (X. Li et al., 2014).

Peningkatan radikal bebas oksigen dalam kondisi diabetes terutama disebabkan

oleh efek dari agen alloksan diabetogenik.

Tikus dengan kadar glukosa darah lebih dari 150mg/dL dianggap diabetes

dan dipilih untuk penelitian. Argumen sederhana yang sering dibuat melawan

penggunaan alloxan untuk menginduksi diabetes mellitus tipe II adalah bahwa,

pemberian alloxan menghasilkan kerusakan sel beta dan dengan demikian

menyebabkan tipe I daripada diabetes mellitus tipe II. Studi yang dilakukan oleh

Etuk dan Mohammed pada tahun 2009 menunjukkan bahwa, tidak ada respons

yang berbeda terhadap agen hipoglikemik oleh tikus hiperglikemik aloksan dan

glukosa.
33

Pemberian Alloxan pada hewan percobaan telah dilaporkan menghasilkan

lesi pankreas yang sebanding dengan dosis obat yang diberikan, dan ukuran lesi

juga berkorelasi dengan kandungan insulin pancreas. Ini mungkin menjelaskan

mengapa obat pada dosis rendah atau sedang tidak menghasilkan kekurangan

insulin absolut namun tidak mencukupi pada hewan percobaan. Oleh karena itu

dosis percobaan obat harus dipilih secara hati-hati untuk menghindari kerusakan

jaringan pankreas yang berlebihan. Dosis alloxan intravena yang paling sering

digunakan pada tikus adalah 65 mg/kg, tetapi bila diberikan secara intraperitoneal

atau subkutan, dosis efektifnya harus lebih tinggi (King, 2012; Skovsø, 2014).

2.11 Biomarker Remodeling Tulang

Untuk melihat adanya proses remodeling tulang biasanya dilakukan

pemeriksaan pertanda remodeling tulang. Saat ini tersedia pemeriksaan pertanda

remodeling tulang baik enzim dan peptida non enzimatik yang berasal dari

kompartemen seluler dan non seluler tulang. Kebanyakan indeks biokimia resopsi

tulang terkait dengan produk kolagen seperti hidroksiprolin atau berbagai cross-

link kolagen dan telopeptida. Sebaliknya, penanda formasi tulang yang baik

dihasilkan oleh produk dari neosintesis kolagen (misalnya propeptida dari kolagen

tipe I) atau protein terkait osteoblas seperti osteocalcin (OC) dan alkalin

phospatase (AP) (J. Li & Stocum, 2013).

Beberapa dari peptida tersebut sangat sedikit difiltrasi dalam urin,

sementara fragmen yang lebih besar dapat dideteksi dalam darah. Marker tersebut

dapat memberikan penilaian dari angka remodeling tulang, tapi hal ini
34

dipengaruhi oleh berbagai faktor fisiologis dan patologis. Marker ini tidak dapat

digunakan untuk skrining atau diagnosis penyakit tertentu.

Kekuatan tulang dipengaruhi oleh massa tulang, mikroarsitektur,

makrogeometri, dan turnover tulang. Remodeling tulang dapat dinilai dengan

pengukuran marker dalam darah atau urin. Penanda formasi tulang termasuk bone

specific alkaline fosfatase, osteocalcin (bone Gla-protein), procollagen I carboxy

(PICP) dan N-terminal (PINP). Penanda resopsi tulang meliputi kadar

pyridinolines (Pyr atau Pyralink) dalam urin, deoxypyridinolines (D-Pyr atau

Pyrilink-D), type I collagen telopeptides (C-telopeptide products (CTX) dan N-

telopeptide to helix (NTX)) (Jiao et al., 2015).

2.11.1 Osteocalcin

2.11.1.2 Karakteristik Struktural Osteocalsin

Osteocalsin, merupakan protein matriks non-kolagen yang banyak terdapat

pada tulang setelah osteopontin. Protein ini dikenal sebagai gama-

carboxyglutamic acid (Gla) protein (BPG) yang banyak diproduksi secara

spesifik oleh osteoblas. Protein matriks ini tersussun atas 46 sampai 50 asam

amino yang bersifat spesifik spesies. Khususnya pada vertebrata, terdapat 3 residu

asam amino glutamat yang tersusun secara berurutan pada bagian tengah sekuens.

Residu glutamat ini kemudian mengalami modifikasi post-translasional dalam

sekresi osteocalsin menghasilkan gamma-carboxyglutamic acid protein (BPG).


35

Gambar 2.5 Struktur Kimia Osteocalsin (Patti, Gennari, Merlotti, Dotta, & Nuti,
2013).

Modifikasi post-translasi ini melibatkan proteolisis dan karboksilasi tiga

residu asam amino glutamat. Struktur yang banyak tersusun oleh gama-

carboxyglutamic acid memudahkan osteocalsin sebagai protein adhesi yang

berikatan dengan ion kalsium dan mempermudah proses absoprsi hidroksiapatit di

tulang (Patti et al., 2013).

2.11.1.2 Regulasi Sekresi Osteocalsin

Vitamin D menstimulasi secara langsung transkripsi mRNA osteocalsin,

sementara vitamin K diketahui berfungsi sebagai regulator modifikasi post-

translasional yakni karboksilasi tiga residu glutamat. Selain dua faktor induksi

utama tersebut, produksi osteocalsin juga turut diregulasi oleh beberapa sitokin,

hormon, dan growth factor seperti VEGF, OFG, dan IGF yang berinteraksi pada

promoter osteocalsin (BGLAP). Gen ini secara normal tidak aktif ketika

proliferasi osteoblas dan diekspresikan secara melimpah pada tahap akhir

diferensiasi osteoblas.
36

Aktivasi transkripsi gen BGLAP pada osteoblas maupun odontoblas

dimulai dengan inisisiasi oleh vitamin D. Peptida preproosteocalsin mengalami

proteolisis yang memecah preproosteocalsin menjadi peptida (23 asam amino)

dan proosteocalsin peptida (75 asam amino). Modifikasi pasca translasional

selanjutnya melibatkan peranan vitamin K sebagai induser. Proses karboksilasi

residu glutamat berperan sangat penting dalam fungsi adhesinya terhadap ion

Ca2+ dan mineral hidroksiapatit. Sebaliknya, osteocalsin non-karboksilasi

memiliki afinitas yang rendah terhadap mineral hidroksiapatit sehingga dapat

disekresikan langsung ke dalam aliran darah.

Kedua bentuk osteocalsin, terkarboksilasi maupun non-karboksilasi dapat

dideteksi dalam aliran darah, namun hanya osteocalsin terkarboksilasi yang

disekresikan pada matriks tulang. Regulasi sekresi dan perbandingan antara

osteocalsin terkarboksilasi dan non-karboksilasi ditentukan oleh asupan vitamin K

yang didapat tubuh. Semakin tinggi asupan vitamin K, maka semakin banyak

osteocalsin yang disekresikan sebagai matriks tulang. Hal ini turut mempengaruhi

kompatisitas trabekula tulang.


37

Gambar 2.6 Sekresi dan Post-Translasional Modifikasi Osteocalsin (Patti et al.,


2013).

2.11.1.3 Peranan Osteocalsin dalam Remodeling Tulang

Walaupun fungsi utama osteokalcin belum diketahui secara pasti, namun

penelitian terbaru menunjukkan bahwa osteokalcin berperan serta dalam

mineralisasi tulang, berfungsi sebagai kemoatraktan dari monosit, sel mesenkimal,

dan sel resopsi seperti osteoklas. Penelitian menunjukkan adanya fungsi endokrin

dari osteocalsin dan peranannya dalam tumerogenesis. Sebagian besar fungsi

osteocalsin mirip dengan fungsi osteopontin, namun demikian, osteocalsin lebih

banyak ditemukan pada tulang dengan aktivitas mineralisasi/ kalsifikasi tinggi.

Sementara osteopontin memiliki konsentrasi tertinggi pada tulang yang aktif

mengalami remodeling (Patti et al., 2013).


38

Serum konsentrasi osteocalsin berhubungan dengan histomorphometri

indices dari tulang yang baru terbentuk. Pada kasus tertentu, sel yang positif

mengekspresikan osteocalsin berlokasi didekat jaringan yang berbatasaan dengan

zona osteogenik. Intensitas ekspresi osteocalsin relatif lebih bervariasi

dibandingkan dengan osteopontin, namun demikian tidak terdapat perbedaan

bermakna antara ekspresi osteocalsin pada wanita dan laki – laki.

Deposisi osteocalsin ditemukan spesifik sebagai marker bebas pada

osteoblastik osteosarkoma dan kondoblastik osteosarkoma, namun tidak pada

benign kondroma dan benign giant cell tumor. Hal ini menunjukan bahwa deposit

osteocalsin terjadi pada fase akhir dari mineralisasi dan meningkat signifikan pada

sel-sel tulang dengan malignansi, khususnya pada osteoblas dan kondrosit.

Ditemukannya perbedaan signifikan osteocalsin pada benign tumor dan malignan

tumor menunjukkan fungsi potensial osteocalsin sebagai marker diagnostik pada

tumor tulang yang kaya akan giant cell serta untuk membedakan chondroblastic

osteosarcoma dengan benign chondroma.

Anda mungkin juga menyukai