Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

STASE ILMU KESEHATAN MATA


KONJUNGTIVITIS VERNAL

Dosen Pembimbing

Disusun Oleh:

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM PROFESI DOKTER

2019

LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
KONJUNGTIVITIS VERNAL

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik


Di bagian SMF Ilmu Kesehatan Mata
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Disusun Oleh:

Telah disetujui,

Pada tanggal: Agustus 2019

Pembimbing,
I. PENDAHULUAN

Konjungtivits termasuk dalam 10 besar penyakit rawat jalan terbanyak pada


tahun 2009, dan menduduki peringkat kedua 10 penyakit utama pada mata (9,7%)
setelah kelainan refraksi (25,35%). Insidensi konjungtivitis di Indonesia berkisar
antara 2-75%. Berdasarkan penyebabnya, konjungtivitis alergi adalah salah satu
bentuk konjungtivitis yang paling umum. Dalam sebuah laporan dari National
Health and Nutrition Examination Survey yang mempelajari epidemiologi
konjungtivitis alergi 29,7% dari 20.010 pasien melaporkan gejala okular dan
gabungan gejala okular dan hidung. 40% dari populasi dilaporkan mengalami
setidaknya 1 kali terjadinya gejala okular dalam 12 bulan terakhir.
Salah satu jenis konjungtivitis alergi adalah konjungtivitis vernal. Nilai
insidensi konjugtivitis jenis ini di dunia sebesar 0,1%-0,5%. Konjungtivitis jenis
ini lebih sering terjadi saat musim semi di negara 4 musim atau musim panas atau
di negara tropis. Konjungtivitis vernal lebih sering terjadi pada anak-anak diawah
usia 10 tahun yaitu antara usia 4-7 tahun dan lebih banyak pada anak laki-laki
dibandingkan dengan anak perempuan dengan perbandingan 3:1. Alergen spesifik
pada konjungtivitis vernal sulit dilacak. (Eva dan John, 2009 ; Kemkes RI, 2010;
Leonardi, 2006; Vaughan, 2009).

1
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Konjungtiva
1. Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa yang tipis dan transparan,
melapisi bagian posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva
bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan
mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus (Eva dan John, 2009).
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu (Ilyas, 2010; Eva dan John,
2009):
a. Konjungtiva palpebra
Melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat ke
tarsus serta penuh dengan pembuluh darah. Di tepi superior dan inferior
tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada forniks superior dan
inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi konjungtiva
bulbaris.
b. Konjungtiva bulbi
Menutupi sklera dan mudah digerkakkan dari sklera di bawahnya.
Konjungtiva bulbi melekat longgar ke septum orbita di forniks dan
melipat berkali-kali. Adanya lipatan ini memungkinkan bola mata
bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik.
Konjungtiva bulbi melekat longgar pada kapsul tenon dan sklera di
bawahnya, kecuali di limbus (tempat kapsul tenon dan konjungtiva
menyatu sepanjang 3 mm.
c. Konjungtiva forniks
Merupakan tempat peralihan konjungtiva palpebra dan konjungtiva
bulbi. Forniks superior sebelah lateral merupakan tempat bermuaranya
duktus kelenjar lakrimal. Konjungtiva forniks strukturnya sama dengan
konjungtiva palpebra. Tetapi hubungan dengan jaringan di bawahnya
lebih lemah dan membentuk lekukan-lekukan serta mengandung banyak

2
pembuluh darah. Oleh karena itulah apabila terjadi pembengkakan pada
tempat ini menyebabkan mudah terjadi peradangan mata.
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar
dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.

Gambar 2.1 Anatomi Konjungtiva

Perdarahan pada konjungtiva berasal dari arteri konjungtiva anterior


dan arteri konjungtiva posterior. Arteri konjungtiva posterior merupakan
cabang dari arkade arteri palpebra yang dibentuk oleh arteri nasalis dan
arteri lakrimalis cabang palpebra. Sedangkan arteri konjungtiva anterior
merupakan cabang dari arteri siliaris anterior. Arteri palpebra dan arteri
siliaris beranostomosis dan bersama dengan vena konjungtiva membentuk
jaring-jaring vaskular konjungtiva yang sangat banyak. Pembuluh darah
balik pada konjungtiva yaitu vena palpebralis dan vena oftalmika (Eva dan
John, 2009).
Pembuluh limfe konjungtiva tersusun di dalam lapisan superfisial dan
profundus bergabung dengan pembuluh limfe palpebra membentuk pleksus
limfatikus. Konjungtiva menerima persarafan dari cabang pertama nervus
trigeminus yaitu nervus oftalmika. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang
lebih sedikit (Eva dan John, 2009).
2. Histologi Konjungtiva

3
Lapisan epitel konjungtiva terdiri atas dua hingga lima lapisan sel
epitel silindris bertingkat, superfisial, dan basal. Lapisan epitel konjungtiva
di dekat limbus, di atas caruncula, dan di dekat persambungan mukokutan
pada tepi kelopak mata terdiri atas sel-sel epitel skuamosa bertingkat. Sel
epitel konjungtiva terdiri atas sel epitel superfisial dan sel epitel basal. Sel-
sel epitel superfisial mengandung sel goblet yang berbentuk bulat atau oval,
berfungsi untuk mensekresi mukus yang diperlukan untuk dispersi lapisan
air mata prakornea secara merata. Sedangkan sel-sel epitel basal berwarna
lebih

pekat, dan dapat mengandung pigmen apabila terletak di dekat limbus


(Vaughan et al, 2010; Junquiera, 2010).

Gambar 2.2 Histologi Konjungtiva (Junquiera, 2010)

Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid dan satu


lapisan fibrosa. Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan di
beberapa tempat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum
germinativum. lapisan adenoid tidak berkembang setelah berumur 2-3
bulan. Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat
pada lempeng tarsus. Kelenjar air mata asesoria (kelenjar Krause dan
Wolfring), yang struktur dan fungsinya mirip kelenjar lakrimal, terletak di
dalam stroma. Sebagian besar kelenjar Krause berada di forniks atas dan
sedikit ada di forniks bawah. Sedangkan kelenjar Wolfring terletak di tepi
tarsus atas (Eva dan John, 2009).

B. Konjungtivitis
1. Definisi

4
Konjungtivitis adalah peradangan pada selaput bening yang menutupi
bagian putih mata dan bagian dalam kelopak mata. Peradangan tersebut
menyebabkan timbulnya berbagai macam gejala, salah satunya adalah mata
merah. Penyakit ini bervariasi mulai dari hyperemia ringan dengan mata
berair sampai konjungtivitis berat dengan banyak sekret purulen kental.
Konjungtivitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi, atau kontak
dengan benda asing, misalnya kontak lensa (Ilyas dan Yulianta, 2014).
2. Etiologi
a. Konjungtivitis Bakteri
Konjungtivitis yang disebabkan bakteri dapat saja akibat infeksi
gonokokal, meningokokal, Staphylococcus aureus, Hemophilus
influenza, dan Escherichia coli. Konjungtivitis bakteri dapat dibagi
menjadi empat bentuk yaitu hiperakut, akut, subakut, dan kronik.
Konjungtivitis bakteri hiperakut biasanya disebabkan oleh N
gonnorhoeae, Neisseria kochii dan N meningitidis. Bentuk yang akut
biasanya disebabkan oleh Streptococcus pneumonia dan Haemophilus
aegyptyus. Penyebab yang paling sering pada bentuk konjungtivitis
bakteri subakut adalah H influenza dan Escherichia coli, sedangkan
bentuk kronik paling sering terjadi pada konjungtivitis sekunder atau
pada pasien dengan obstruksi duktus nasolakrimalis (Staf Pengajar FKUI,
2017).
Konjungtivitis bakterial biasanya mulai pada satu mata kemudian
mengenai mata yang sebelah melalui tangan dan dapat menyebar ke
orang lain. Penyakit ini biasanya terjadi pada orang yang terlalu sering
kontak dengan penderita, sinusitis dan keadaan imunodefisiensi (Ilyas
dan Yulianta, 2014).
Konjungtivitis jenis ini memberikan gejala secret mukopurulen dan
purulen, kemosis konjungtiva, edema kelopak, kadang-kadang disertai
keratitis dan blefaritis. Ketajaman penglihatan biasanya tidak mengalami
gangguan namun mungkin saja menjadi sedikit kabur karena adanya
secret dan debris pada lapisan air mata, sedangkan reaksi pupil masih
normal. Gejala yang paling khas adalah kelopak mata yang saling

5
melekat pada pagi hari sewaktu bangun tidur. Konjungtivitis bakteri
dapat diobati dengan antibiotik tunggal seperti neospirin, basitrasin,
gentamisin, kloramfenikol, tobramisin, eritromisin, dan sulfa selama 2-3
hari (Staf Pengajar FKUI, 2017).

b. Konjungtivitis Virus
Jenis konjungtivitis ini adalah akibat infeksi human adenovirus
(yang paling sering adalah keratokonjungtivitis epidermika) atau dari
penyakit virus sistemik seperti mumps dan mononukleus. Biasanya
disertai dengan pembentukan folikel sehingga disebut juga konjungtivitis
folikularis. Mata yang lain biasanya tertular dalam 24-48 jam (Ilyas dan
Yulianta, 2014).
Selain itu, Konjungtivitis virus biasanya diakibatkan karena demam
faringokonjungtiva. Biasanya memberikan gejala demam, faringitis,
secret berair dan sedikit, folikel pada konjungtiva yang mengenai satu
atau kedua mata. Konjungtivitis ini biasanya disebabkan adenovirus tipe
3,4 dan 7 dan penyebab yang lain yaitu organisme Coxsackie dan
Pikornavirus namun sangat jarang. Konjungtivitis ini mudah menular
terutama anak-anak yang disebarkan melalui kolam renang. Masa 12
inkubasi konjungtivitis virus 5-12 hari, yang menularkan selama 12 hari,
dan bersifat epidemic (Vaughan & Asbury, 2015).
Pengobatan konjungtivitis virus hanya bersifat suportif karena
dapat sembuh sendiri. Diberikan kompres, astringen, lubrikasi, dan pada
kasus yang berat dapat diberikan antibotik dengan steroid topical
(Wijana, 2003).
c. Konjungtivitis Jamur
Konjungtivitis Jamur Konjungtivitis jamur biasanya disebabkan
oleh Candida albicans dan merupakan infeksi yang jarang terjadi.
Penyakit ini ditandai dengan adanya bercak putih yang dapat timbul pada
pasien diabetes dan pasien dengan keadaan sistem imun yang terganggu.
Selain candida sp, penyakit ini juga bisa disebabkan oleh Sporothtrix

6
schenckii, Rhinosporidium serberi, dan Coccidioides immitis walaupun
jarang ( Vaughan, 2010).

d. Konjungtivitis Alergi
Bentuk radang konjungtiva akibat reaksi alergi terhadap noninfeksi
dapat berupa reaksi cepat seperti alergi biasa dan reaksi lambat sesudah
beberapa hari kontak seperti pada reaksi terhadap obat, bakteri, dan
toksik. Merupakan reaksi antibodi humoral terhadap alergen. Biasanya
dengan riwayat atopi.
Semua gejala pada konjungtiva akibat kojungtiva bersifat rentan
terhadap benda asing. Gejala utama penyakit alergi ini adalah radang
(merah, sakit, bengkak, dan panas), gatal, silau berulang dan menahun.
Tanda karakteristik lainnya adalah terdapatnya papil bersar pada
konjungtiva , datang bermusim, yang dapat mengganggu penglihatan.
Walaupun penyakit alergi konjungtiva sering kambuh sendiri akan dapat
memberikan keluhan yang memerlukan pengobatan.
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan sel eosinofil, sel
plasma, limfosit dan basofil. Pengobatan terutama dengan
menghindarkan pernyabab pencetus penyakit dan memberikan astringen,
sodium kromolin, steroid topikal dosis rendah yang kemudian disusul
dengan kompres dingin untuk menghilangkan edemanya. Pada kasus
yang berat dapat diberikan antihistamin dan steroid sistemik.
Dikenal beberapa macam bentuk konjungtivitis alergi seperti
konjungtivitis flikten, konjungtivitis vernal, konjungtivitis atopi,
konjungtivitis alergi bakteri, konjungtivitis alergi akut, konjungtivitis
alergi kronik, sindrom stevens johnson, pemfigoid okuli, dan sindrom
syogren..
Konjungtivitis alergi adalah salah satu dari penyakit mata eksternal
yang paling sering terjadi. Bentuk konjungtivitis ini mungkin musiman
atau musim-musim tertentu saja dan biasanya ada hubungannya dengan

7
kesensitifan dengan serbuk sari, protein hewani, bulu-bulu, debu, bahan
makanan tertentu, gigitan serangga, obat-obatan. Konjungtivitis alergi
mungkin juga dapat terjadi setelah kontak dengan bahan kimia beracun
seperti hair spray, make up, asap, atau asap rokok. Asthma, gatal-gatal
karena alergi tanaman dan eksim, juga berhubungan dengan alergi
konjungtivitis. Gejala utama penyakit alergi ini adalah radang (merah,
sakit, bengkak, dan panas), gatal, silau berulang, dan menahun. Tanda
karakteristik lainnya adalah terdapatnya papil besar pada konjungtiva,
datang bermusim, yang dapat mengganggu penglihatan (Vichyanond et
al., 2013).
Konjungtivitis alergi dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti :
 Reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang
 Iritasi oleh angin, debu, asap, dan polusi udara
 Pemakaian lensa kontak terutama dalam jangka panjang.
Berdasarkan perjalanan penyakitnya terbagi menjadi (Vichyanond
et al., 2013):
1. Konjungtivitis akut : biasanya dimulai pada satu mata yang menyebar
ke  mata yang sebelahnya, terjadi kurang dari 4 minggu.
2. Konjungtivitis kronik : terjadi lebih dari 4 minggu.

Konjungtivitis vernal merupakan akibat reaksi hipersentivias (tipe


1) yang mengenai kedua mata dan bersifat rekuren. Pada mata ditemukan
papil besar dengan permukaan rata pada konjungtiva tarsal, dengan rasa
gatal berat, secret gelatin yang berisi eosinophil atau granula eosinophil,
pada kornea dapat keratitis, neovaskularisasi, dan tukak indolen. Pada
tipe limbal terlihat benjolan di daerah limbus, dengan bercak horner
trantas yang berwarna keputihan yang terdapat dalam benjolan.
Secara histologic penonjolan ini adalah suatu hipperplasi dan
hialinisasi jaringan ikat disertai proliferasi sel epitel dan sebukan sel
limfosit, sel plasma dan sel eosinophil.
Merupakan penyakit yang dapat rekuren dan bilateral terutama
pada musim panas. Mengenai pasien usia muda antara 3-25 tahun dan

8
jenis kelamin yang sama. Biasanya pada laki-laki mulai pada usai
dibawah 10 tahun. Penderita konjungtivitis vernal sering menunjukkan
gejala gejala alergi terhadap tepung sari rumput rumputan. Dua bentuk
utama (yang dapat berjalan bersama):
a) Bentuk palpebral. Pada tipe palpebral terutama mengenai konjungtiva
tarsal superior. Terdapat pertumbuhan papil yang besar (Coble stone)
yang diliputi sekret yang mukoid. Konjungtiva tarsal inferior
hiperemi, edema terdapat papil halus dengan kelainan kornea lebih
berat dibanding bentuk limbal. Secara klinik papil besar ini tampak
sebagai tonjolan berbentuk poligonal dengan permukaan yang rata
dan dengan kapiler di tengahnya.
b) Bentuk limbal, hipertrofi papil pada limbus superior yang dapat
membentuk jaringan hiperplastik gelatin, dengan Trantas dot yang
merupakan degenerasi epitel kornea atau eosinofil di bagian epitel
limbus kornea, terbentuknya pannus, dengan sedikit eosinofil.

Keratokonjungtivitis vernal biasanya dapat sembuh sendiri tanpa


diobati. Kombinasi antihistamin sebagai profilaksis dan pengobatan pada
kasus sedang hingga berat. Pemakaian steroid topikal atau sistemik akan
dapat menyembuhkan, tetapi pada pemakaian jangka panjang sangat
merugikan. Dapat diberikan kompres dingin, vasokonstriktor natrium
karbonat membuat pasien rasa nyaman pada mata. Kelainan kornea dan
konjungtiva dapat diobati dengan natrium cromolyn topikal. Bila terdapat
tukak maka diberi antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder disertai
dengan sikloplegik.
Konjungtivitis flikten merupakan konjungtivitis nodular yang
disebabkan alergi terhadap bakteri atau antigen tertentu. Konjungtivitis
flikten disebabkan oleh karena alergi (hipersensitivitas tipe IV) terhadap
tuberkuloprotein, stafilokok, limfogranuloma venerea, leismaniasis,
infeksi parasit, dan infeksi di tempat lain dalam tubuh. Kelainan ini lebih
sering ditemukan pada anak-anak di daerah padat, yang biasanya dengan
gizi kurang atau sering mendapat radang saluran napas.

9
Secara histopatologik terlihat kumpulan sel leukosit neutrophil
dikelilingi sel limfosit, makrofag, dan kadang-kadang sel datia berinti
banyak. Flikten merupakan infiltrasi selular subepitel yang terutama
terdiri atas sel monokular limfosit. Biasanya konjungtivitis flikten terlihat
unilateral dan kadang-kadang mengenai kedua mata. Pada konjungtiva
terlihat sebagai bintik putih yang dikelilingi daerah hiperemi.
Pada pasien akan terlihat kumpulan pembuluh darah yang menge
lilingi suatu tonjolan bulat dengan warna kuning kelabu seperti suatu
mikroabses yang biasanya terletak di dekat limbus. Biasanya abses ini
menjalar ke arah sentral atau kornea dan lebih dari satu. Gejala
konjungtivitis flikten adalah mata berair, iritasi dengan rasa sakit,
fotofobia dapat ringan hingga berat. Bila kornea ikut terkena selain
daripada rasa sakit,, pasien juga akan merasa silau disertai
blefarospasme.
Dapat sembuh sendiri dalam 2 minggu, dengan kemungkinan
terjadi kekambuhan. Keadaan akan lebih berat bila terkena kornea
Diagnosis banding adalah pinguekula iritan (lokalisasi pada fisura
palpebra), ulkus kornea, okular rosazea, dan keratitis herpes simpleks.
Pengobatan pada konjungtivitis flikten adalah dengan diberi steroid
topikal, midriatika bila terjadi penyulit pada kornea, diberi kacamata
hitam karena adanya rasa silau yang sakit. Diperhatikan higiene mata dan
diberi antibiotika salep mata waktu tidur, dan air mata buatan. Sebaiknya
dicari penyebabnya seperti adanya tuberculosis blefaritis stafilokokus
kronik dan lainnya. Karena sering terdapat pada anak dengan gizi kurang
maka sebaiknya diberikan vitamin dan makanan tambahan. Penyulit yang
dapat ditimbulkan adalah menyebarnya flikten ke dalam kornea atau
terjadinya infeksi sekunder sehingga timbul abses.
Konjungtivitis iatrogenic. Konjungtivitis akibat pengobatan
yang diberikan dokter. Berbagai obat dapat memberikan efek samping
pada tubuh, demikian pula pada mata yang dapat terjadi dalam bentuk
konjungtivitis.

10
Sindrom Steven Johnson adalah suatu penyakit eritema multiform
yang berat (mayor). Penyakit ini sering ditemukan pada orang muda usia
sekitar 35 tahun. Penyebabnya diduga suatu reaksi alergi pada orang
yang mempunyai predisposisi alergi terhadap obat-obat sulfonamid,
barbiturat, salisilat. Ada yang beranggapan bahwa penyakit ini idiopatik
dan sering ditemukan sesudah suatu infeksi herpes simpleks.
Kelainan ditandai dengan lesi pada kulit dan mukosa.
Kelainanpada kulit berupa lesi eritema yang dapat timbul mendadak dan
tersebar secara simetris. Mata merah dengan demam dan kelemahan
umum dan sakit pada sendi merupakah keluhan penderita dengan
sindrom Steven Johnson ini. Sindrom ini disertai dengan gejala vesikel
pada kulit, bula, dan stoma titis ulseratif.
Pada mata terdapat vaskularisasi kornea, parut konjungtiva,
konjungtiva kering, simblefaron, tukak dan perforasi kornea dan dapat
memberikan penyulit endoftalmitis. Kelainan mukosa dapat berupa
konjungtivitis pseudomembran. Pada keadaan lanjut dapat terjadi
kelainan, yang sangat menurunkan daya penglihatan. Pengobatan bersifat
simtomatik dengan pengobatan umum berupa kortikosteroid sistemik dan
infus cairan antibiotik. Pengobatan lokal pada mata berupa pembersihan
sekret yang timbul, midriatika, steroid topikal dan mencegah
simblefaron. Pemberian kortikosteroid harus hati-hati terhadap adanya
infeksi herpes simpleks.
Konjungtivitis atopic. Reaksi alergi selaput lendir mata atau
konjungtiva terhadap polen, disertai dengan demam. Memberikan tanda
mata berair, bengkak, dan belek berisi eosinofil

11
C. Konjungtivitis Vernal
1. Definisi
Konjungtivitis vernal adalah peradangan yang terjadi pada
konjungtiva yang disebabkan karena reaksi alergi berupa reaksi
hipersensitivitas tipe 1, bersifat bilateral, rekuren, dan self-limiting. Penyakit
ini juga dikenal sebagai “catarrh musim semi” dan “konjungtivitis
musiman” atau “konjungtivitis musim kemarau”. Konjungtivitis vernal lebih
sering terjadi pada musim panas, cuaca yang kering, dan cuaca yang

berangin (Ilyas, 2010; Eva dan John, 2009; Kumar 2009).


2. Klasifikasi
Terdapat dua bentuk konjungtivitis vernal yang dapat muncul masing-
masing atau dapat muncul secara bersamaan pada satu pasien, yaitu :
a. Bentuk palpebra
Pada tipe ini terutama mengenai konjungtiva tarsal superior.
Terdapat pertumbuhan papil yang besar (Coble stone) yang diliputi sekret
yang mukoid. Konjungtiva tarsal bawah mengalami edema dan
hiperemis, dengan kelainan kornea yang lebih parah dibandingkan
dengan bentuk limbal. Secara klinik, coble stone tampak sebagai tonjolan
bersegi banyak dengan permukaan yang rata dengan kapiler di tengahnya
(Ilyas, 2010).

12
Gambar 2.3 Konjungtivitis vernal tipe palpebra

b. Bentuk limbal
Pada tipe ini terjadi hipertrofi papil pada limbus superior yang
dapat membentuk jaringan hiperplastik gelatin, disertai dengan adanya
Trantas dot berupa bintik-bintik berwarna putih yang merupakan
degenerasi epitel kornea atau eosinofil di bagian epitel limbus kornea.
Ditemukan banyak eosinofil dan granula eosinofilik bebas di dalam
Trantas dot dan sediaan hapus eksudat konjungtiva yang terpulas
Giemsa. Selain itu sering dijumpai adanya pseudogerontoxon (kabut
serupa-busur) di daerah limbus.

Gambar 2.4 Konjungtivitis vernal tipe palpebra


3. Etiologi
Etiologi pada konjungtivitis vernal berhubungan dengan adanya
interaksi antara predisposisi genetik, adanya alergen lingkungan, serta
perubahan cuaca. Faktor genetik mempengaruhi regulasi gen-gen yang
berfungsi untuk pengaturan imunitas di kromosom 5q. Regulasi ini
berfungsi untuk produksi interleukin (IL-3) dan mediator inflamasi lain,
regulasi Th2, pengaturan pertumbuhan sel mast dan basofil, serta
pengaturan produksi IgE. Kelebihan produksi dari mediator-mediator

13
tersebut menyebabkan hipersensitivitas tipe 1 terhadap alergen tertentu
(Vichyanond, 2014).
Faktor lingkungan yang dapat memicu terjadinya konjungtivitis vernal
diantaranya adalah adanya alergen dan cuaca. Konjungtivitis vernal dapat
dipengaruhi oleh hal-hal berikut, diantaranya adalah :
1. Reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang
2. Iritasi oleh angin, debu, asap, dan polusi udara, dan sinar matahari
4. Epidemiologi
Insidensi dari konjungtivitis vernal sendiri di seluruh dunia sama yaitu
sekitar 0,1%-0,5%, dan lebih sering terjadi pada musim panas atau di negara
tropis dan bersifat rekuren serta bilateral. Konjungtivitis vernal banyak
terjadi di daerah Mediteranian, Afrika Tengh dan Afrika Barat, Jepang,
India, Eropa Timur, Australia, Amerika Utara, dan Amerika Selatan
(Kumar, 2009).
Konjungtivitis vernal mengenai pasien usia muda antara 3-25 tahun.
Biasanya onset pada dekade pertama dibawah usia 10 tahun dan menetap
selama 2 dekade. Penyakit ini lebih banyak pada anak laki-laki
dibandingkan dengan anak perempuan dengan perbandingan 3:1. Gejala
paling jelas dijumpai sebelum onset pubertas dan kemudian berkurang.
Alergen spesifik pada konjungtivitis vernal sulit dilacak (Ilyas, 2010; Eva
dan John, 2009 ; Leonardi, 2006).
Konjungtivitis vernal umumnya terjadi pada pasien yang mempunyai
riwayat atopik dalam keluarga. Sekitar 90% pasien yang menderita
konjungtivitis vernal memiliki satu atau lebih keluarga setingkat yang
memiliki penyakit turunan misalnya asma, dermatitis kontak alergi, atau
rinitis alergi (Bonini, 2000).
5. Patomekanisme
Konjungtivitis vernal terjadi karena reaksi hipersensitif tipe 1. Pada
hipersensitif tipe 1, alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan
respon imun berupa IgE. Urutan kejadian reaksi tipe 1 adalah sebagai
berikut (Baratawidjaya, 2010) :

14
a. Fase sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE
sampai diikat silang oleh reseptor spesifik pada permukaan sel
mast/basofil.
b. Fase aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan
antigen yang spesifik dan sel mast melepaskan isinya yang berisikan
granul yang menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi karena adanya ikatan
antara antigen dan IgE.
c. Fase efektor yaitu waktu terjadinya respon yang kompleks sebagai efek
lepasnya mediator-mediator dari sel mast.

Gambar 2.5 Reaksi hipersensitif tipe 1 (Vichyanond et al., 2013)


Pajanan dengan antigen mengaktifkan Th2 yang merangsang sel B
berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi IgE. Molekul IgE yang
dilepas kemudian diikat oleh FceR1 pada sel mast. Pajanan kedua dengan
alergen menimbulkan ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat oleh
sel mast. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan membran dalam sel
mast dan menimbulkan degranulasi, metabolisme asam arakidonat, dan
transkripsi gen sitokin/kemokin (Baratawidjaya, 2010).

15
Mediator inflamasi utama yang keluar karena degranulasi sel mast
adalah histamin, yang menyebabkan meningkatnya permeabilitas vaskuler
dan vasodilatasi pembuluh darah. Metabolisme asam arakidonat juga
menyebabkan terbentuknya prostaglandin dan leukotrien yang juga berperan
dalam peningkatan permeabilitas vaskular. Sedangkan sitokin yang dilepas
antara lain adalah IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, Il-10, IL-13, GM-CSF, dan TNF-α.
Sitokin-sitokin tersebut berperan dalan vasodilatasi, peningkatan
permeabilitas vaskular, peningkatan produksi IgE, dan kemoatraktan untuk
sel inflamasi lain seperti eosinofil dan neutrofil (Baratawidjaya, 2010).

Gambar 2.6 Patofisiologi Konjungtivitis Vernal


Pada konjungtivitis, terjadi injeksi konjungtiva yang disebabkan oleh
vasodilatasi pembuluh darah. Selain itu, gatal yang berat juga terjadi akibat
pengeluaran histamin. Pada konjungtivitis vernal, terjadi penebalan epitel
dan proliferasi fibroblast akibat ekspresi Th2 yang berlebihan, produksi
growth factor berupa TGF-β, PDGF, dan histamin. Peningkatan growth
factor ini memicu pertumbuhan sel dan peningkatan ekspresi integrin, juga

16
menyebabkan induksi infiltrasi dan proliferasi sel-sel PMN, eosinofil,
basofil dan sel mast, terjadi deposit kolagen dan hyalinisasi. Pertumbuhan
sel, adanya deposit kolagen dan infiltrasi sel radang menyebabkan
terbentuknya papil sehingga muncul gambaran cobble stone dan trantas dot.
Reaksi inflamasi juga menyebabkan terjadinya degenerasi mukoid epitel
sehingga terbentuk pesudomembran milkywhite yang menutupi papil
(Baratawidjaya, 2010; Kumar, 2009).
6. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang terdapat pada konjungtivitis vernal adalah
sebagai berikut (Kumar 2009; Eva dan John, 2009) :
a. Gatal yang berat, terutama apabila terkena angin, debu, cahaya matahari,
panas, atau berkeringat.
b. Mata kemerahan
c. Biasanya rekuren pada musim panas
d. Lakrimasi
e. Fotofobia
f. Inflamasi bilateral
g. Sensitif terhadap cahaya matahari dan angin pada saat fase aktif
h. Adanya folikel, papil, dan coblestone pada konjungtiva tarsal superior
i. Trantas dot pada area limbal
j. Pembengkakan gelatinosa (papillae) pada limbus
7. Penegakan diagnosis
a. Anamnesis
Pasien umumnya mengeluhkan sangat gatal dengan kotoran mata
berserat-serat. Manifestasi lain yang menyertai adalah mata berair, rasa
pedih terbakar, sensitif terhadap cahaya, dan perasaan seolah-olah ada
benda asing yang masuk. Selain itu pada anamnesis perlu ditanyakan
adanya riwayat atopik pada keluarga. Gejala biasanya terjadi rekuren,
mengenai kedua mata, serta bersifat musiman. Sering terjadi pada cuaca
panas dan berangin. Pada saat fase aktif, pasien akan lebih sensitif
terhadap cahaya matahari, angin, dan debu (Kumar 2009; Eva dan John,
2009).

17
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, terdapat injeksi konjungtiva. Pada tipe
palpebra, terdapat papil besar/raksasa yang tersusun seperti batu (cobble
stone). Cobble stone berbentuk poligonal dengan permukaan yang rata
dengan kapiler di tengahnya, tebal, dan kasar karena adanya serbuka
limfosit, eosinofil, plasma, serta akumulasi kolagen dan fibrosa. Adanya
cobble stone dapat menggesek kornea sehingga dapat terjadi ulkus
kornea (Ilyas, 2010).
Pada tipe limbal terlihat penebalan sekeliling limbus karena adanya
massa putih keabuan, disertai dengan adanya Trantas dot berupa bintik-
bintik putih yang terdiri dari sebukan sel limfosit, eosinofil, dan
akumuasi kolagen dan fibrosa (Ilyas,2010).
Berdasarkan ukurannya, adanya papil pada konjungtivitis vernal ini
diklasifikasikan ke dalam beberapa tingkat (Bonini et al, 2000) :
1) Grade 0 : tidak terdapat reaksi pembentukan papil
2) Grade 1 (+) : ada sedikit papil dengan ukuran 0,2 mm tersebar pada
konjungtiva tarsal superior atau dekat limbus
3) Grade 2 (+) : papil berukuran 0,3-1 mm tersebar pada konjungtiva
tarsal superior atau dekat limbus
4) Grade 3 (+) : papil berukuran 1-3 mm di seluruh konjungtiva tarsal
atau 3600 daerah limbus
5) Grade 4 (+) : papil berukuran >3 mm di konjungtiva tarsal atau
muncul tampakan gelatin di limbus melingkupi area perifer kornea.

18
Gambar 2.7. Penegakan diagnosis pada konjungtivitis vernal

8. Tatalaksana
a. Farmakologi
Pada umumnya, konjungtivitis vernal merupakan penyakit yang
dapat sembuh sendiri. Obat-obatan yang berfungsi untuk menurunkan
respon imun dapat digunakan untuk mengobati konjungtivitis alergi,
diantaranya adalah sebagai berikut :
1) Kortikosteroid
Kortikosteroid topikal merupakan salah satu obat yang paling
efektif dalam mengontrol tanda dan gejala pada konjungtivitis vernal.
Akan tetapi, penggunaan steroid jangka panjang dapat menyebabkan
komplikasi lain seperti katarak, glaukoma, dan infeksi virus, jamur,
dan bakteri sekunder sehingga tidak digunakan sebagai lini pertama
pengobatan. Steroid yang sering dipakai adalah fluotometholon,
medrysone, bethamethasone, dan dexametason. Kortikosteroid
biasanya digunakan pada fase akut dan dapat diberikan setiap 2 jam
selama 4 hari. (Eva dan John, 2009; Kumar, 2009).

19
2) Vasokonstriktor dan antihistamin non spesifik topikal
Obat ini menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah,
menurunkan permeabilitas pembuluh darah, dan mengurangi gatal
dengan cara memblokir reseptor H1. Obat ini dalam bentuk tetes dan
mengandung kombinasi antara vasokontstriktor seperti naphazoline
atau tetrahydrozoline dan antihistamin seperti pyrilamine dan
pheniramine. Tetes mata ini aman dan efektif untuk pengobatan
konjungtivitis vernal (Kumar, 2009).
3) Antihistamin sistemik
Obat anti-histamin oral ini digunakan apabila terdapat reaksi
alergi pada mata, hidung, kulit, dan faring secara bersamaan. Apabila
reaksi alergi hanya terdapat pada mata, lebih baik digunakan
antihistamin topikal karena efek yang lebih cepat dan lebih baik
dibandingkan dengan antihistamin sistemik (Kumar, 2009).
4) H1 reseptor bloker
Obat ini berfungsi untuk mengurangi gatal dengan memblok
reseptor H1 dan mencengah terjadi vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah. Selektif H1 bloker topikal lebih baik
dibandingkan dengan penggunaan kombinasi vasokonstriktor dan
antihistamin dalam mengontrol tanda dan gejala pada konjungtivitis
vernal. Obat dalam golongan ini adala levocabastine (0,05%) dan
emedastine 0,05% (Kumar, 2009).
5) Non-steroid anti-inflammatory drug (NSAID)
Obat ini menghambat aktivitas siklooksigenase yang
bertanggung jawab untuk mengubah asam arakidonat menjadi
prostaglandin. Ketorolac trometramin 0,5% dan natrium diklofenak
0,1% efektif dalam mengurangi tanda-tanda dan gejala yang
berhubungan dengan konjungtivitis alergi. Natrium diklofenak 0,1%
tetes mata dapat menghambat produksi prostaglandin pada 40%
pasien. Meskipun hiperemis konjungtiva dapat berkurang, tetapi
ukuran papil dan lesi kornea tidak berubah pada pemberian NSAID
topikal ini (Kumar, 2009).

20
6) Stabilisator sel mast
Agen ini berfungsi untuk menghambat degranulasi sel mast,
sehingga membatasi pelepasan mediator inflamasi, termasuk neutrofil,
eosinofil, faktor kemotaktik, dan platelet activating factor (PAF).
Contoh obat ini antara lain cromoglycate, lodoxamide, nedocromil,
dan pemirolast. Cromolyn 4% sering digunakan untuk penyakit mata
karena alergi selama kurang lebih 25 tahun dan dapat digunakan untuk
pengobatan jangka panjang tanpa adanya efek samping. Lodoxamide
0,1% dapat mengurangi sel CD4 dan sel inflamasi lain terutama
eosinofil lebih baik dibandingkan dengan cromolyn 4% (Kumar,
2009).
7) Imunosupresan
Siklosporin A adalah agen imunosupresan sistemik yang ampuh
digunakan untuk mengobati berbagai kondisi immunomediated. Studi
klinis menunjukkan bahwa tetes mata topikal cyclosporine 2% efektif
untuk kasus-kasus berat yang tidak responsif. Penyuntikan depot-
kortikosteroid supratarsal dengan atau tanpa eksisi papilaraksasa
terbukti efektif untuk ulkus perisai vernal. Sebanyak 86% pasien
mengalami perbaikan gejala yang cepat setelah pemberian siklosporin.
Akan tetapi, siklosporin bersifat lipofilik dan harus dilarutkan dalam
alkohol atau zat berminyak . Hal ini dapat menyebabkan efek samping
berupa iritasi pada mata (Eva dan John, 2009; Kumar, 2009).
Jadi, pada konjungtivitis vernal, pasien dapat diberikan :
1) Pada fase akut, dapat diberikan kortikosteroid topikal setiap 2 jam
selama 4 hari. Obat lain yang dapat digunakan adalah naphazoline
tetes + pheniramin tetes, sodium cromaglycate 4% sebanyak 4-6 x 1
tetes/hari, lodoxamide tromethamie 0,1%, levocabastin, atau
cyclosporin.
2) Pada kasus berat dengan reaksi alergi yang bersamaan dengan di
tempat lain, diberikan anti histamin dan steroid oral.

21
b. Non-farmakologi
Terapi non-farmakologis yang dapat diberikan pada pasien
konjungtivitis vernal antara lain sebagai berikut (Vichyanond, 2014, Eva
dan John, 2009; Kumar, 2009; Widyastuti, 2004):
1) Edukasi pasien untuk menghindari alergen spesifik dan alergen non-
spesifik yang dapat memperburuk gejala, seperti angin, debu, polutan,
dan sinar matahari.
2) Memakai kacamata untuk mengurangi paparan
3) Edukasi terhadap pasien dan keluarga agar tidak menggosok-gosok
mata.
4) Kompres dingin untuk mengurangi iritasi dan sebagai vasokonstriktor.
5) Tetes mata artifisial dapat melarutkan alergen dan mencuci mata
6) Klimatoterapi seperti pendingin udara di rumah atau pindah ke tempat
yang berhawa dingin.
c. Terapi bedah
Terapi bedah yang dilakukan yaitu berupa eksisi pada papil yang
berukuran besar apabila menyebabkan lesi pada kornea (Kumar, 2009).

Gambar 2.8. Tingkatan Tatalaksana Konjungtivitis Vernal

9. Komplikasi

22
Komplikasi yang timbul pada konjungtivitis vernal dapat disebabkan
oleh perjalanan penyakitnya atau efek samping pengobatan yang diberikan.
Bila proses penyakit meluas ke kornea, dapat terjadi parut kornea,
astigmatisme, keratokonus dan gangguan penglihatan. Akibat pasien sering
menggosok-gosok matanya, dapat terjadi bintik-bintik epitelial dan sikatriks
di kornea serta kekeruhan pada sklera. Selain itu juga dapat timbul
komplikasi lain berupa blefaritis dan konjuntivitis stafilokokus. Perjalanan
penyakit ini sangat menahun dan berulang, serta sering menimbulkan
kekambuhan pada saat cuaca panas (Eva dan John, 2009; Widyastuti, 2004).
Komplikasi penyakit akibat pengobatan disebabkan karena
penggunaan kortikosteroid jangka panjang. Penggunaan steroid jangka
panjang dapat menyebabkan glaukoma, katarak, dan infeksi bakteri
sekunder (Eva dan John, 2009; Widyastuti, 2004).
10. Prognosis
Prognosis penderita konjungtivitis vernal pada umumnya baik karena
sebagian besar kasus dapat sembuh spontan (self-limiting disease), namun
komplikasi dapat terjadi dan menyebabkan prognosis menjadi buruk apabila
tidak ditangani dengan baik (Eva dan John, 2009; Widyastuti, 2004).

23
III. KESIMPULAN

Konjungtivitis vernal adalah peradangan yang terjadi pada konjungtiva


yang disebabkan karena reaksi alergi berupa reaksi hipersensitivitas tipe 1,
bersifat bilateral, rekuren, dan self-limiting. Etiologi pada konjungtivitis vernal
berhubungan dengan adanya interaksi antara predisposisi genetik, adanya alergen
lingkungan, serta perubahan cuaca.
Manifestasi klinis yang ada pada pasien adalah gatal yang berat, terutama
apabila terkena angin, debu, cahaya matahari, panas, atau berkeringat, mata
kemerahan, lakrimasi, fotofobia, sensitif terhadap cahaya matahari dan angin pada
saat fase aktif. Tanda klinis khas adalah adanya cobble stone pada bentuk
palpebralis dan trantas dot pada bentuk limbalis.
Penyakit ini pada umumnya dapat sembuh sendiri. Pengobatan yang dapat
diberikan yaitu menghindari menggosok-gosok mata, menghindari alergen
spesifik dan non spesifik, kompres dingin, air mata artifisial, pemakaian
kacamata, lingkungan yang dingin, serta pemberian obat berupa steroid topikal,
vasokonstriktor, antihistamin, NSAID, dan imunosupresan.

24
DAFTAR PUSTAKA

Bonani S., Lambiase A., Marchi S. Vernal Keratokonjungtivitis : a case series of


195 patients with long-term followup. Ophthalmology Vol. 107 : 1157-63

Eva, Paul-Riordan dan John P. Witcher. 2009. Vaughan & Asbury Oftalmologi
Umum. Jakarta: EGC

Ilyas, S. dan Yulianta, SR. 2014. Ilmu Penyakit Mata Edisi Kelima. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI

Junqueira, L.C., Carneiro, J., 2007. Sistem Fotoreseptor dan Audioreseptor.


Dalam: Junqueira, L.C., Carneiro, J (ed). Histologi Dasar: Text &
Atlas. Edisi 10. Jakarta: EGC, 463.

Kumar, S. 2009. Review Article : Vernal Keratokonjungtivitis : a Major Review.


Acta Ophthalmol Vol. 87 : 133-147

Leonardi A. Busca F. Motterle L. 2006. Case Series of 406 Vernal


keratoconjunctivitis patients : a demographic an epidemiological study. Acta
Opthalmol Scand Vol. 84 : 406-10

Staf Pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia. 2017. Buku Ajar Oftalmologi Umum Edisi Pertama. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI.

Vaughan & Asbury, 2015, Oftalmologi Umum, 17th edn, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.

Vaughan D. 2010. Oftalmologi Umum. Edisi 16. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Vichyanond et.al. 2013. Vernal keratoconjunctivitis: A Severe Allergic Eye


Disease with Remodeling Changes. Pediatric Allergy and Immunology,
pp.1-9.

Vichyanond, P., Pacharn, P., Pleyer U., dan Leonardi, A. 2014. Review Article :
Vernal Keratokonjungtivitis : A Severe Allergic Eye Disease with
Remodeling Changes. Pediatric and Immunology Journal. DOI :
10.1111/pai.12197

Widyastuti, BS. Siregar SP. 2004. Konjungtivitis Vernalis. Sari Pediatri Vol.5 : 4

Wijana, N. 2003. Konjungtiva dalam Ilmu Penyakit Mata. hal: 41-69


  

25

Anda mungkin juga menyukai