Anda di halaman 1dari 23

A.

Sindroma koroner akut


1. Definisi

Sindrom koroner akut (SKA) merupakan kegawatan jantung yang terjadi


karena adanya ruptur atau erosi dari plak aterosklerosis yang memiliki gambaran
berupa angina pektoris tidak stabil (unstable angina pectoris/UAP), infark
miokardium akut (IMA) baik dengan peningkatan segmen ST (ST segmen elevation
myocardial infarction/ STEMI) maupun tanpa peningkatan segmen ST (non ST
segmen elevation myocardial infarction/NSTEMI) (O'Gara et al., 2013).
Elevasi segmen ST pada EKG menggambarkan adanya oklusi total arteri
koroner yang menyebabkan nekrosis pada seluruh atau hampir seluruh lapisan
dinding jantung. Pada NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil terjadi oklusi
parsial arteri koroner. Keduanya mempunyai gejala klinis dan patofisiologi serupa,
namun berbeda derajat keparahannya. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika iskemi
cukup parah sehingga menyebabkan nekrosis sel-sel miokardium sehingga
menyebabkan pelepasan biomarker dari sel-sel miokardium (Troponin T atau I,
atau CKMB) menuju ke sirkulasi. Sebaliknya, pada pasien dengan angina pektoris
tidak stabil tidak didapatkan peningkatan biomarker tersebut di sirkulasi ( PERKI,
2015).

2. Klasifikasi
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram
(EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi:
a. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation
myocardial infarction)
b. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment
elevation myocardial infarction)
c. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan
indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini
memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan
reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen
fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis
STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi
segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana
revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil peningkatan marka jantung
( PERKI, 2015).

3. Faktor Risiko

4. Patofisiologi
Iskemia miokardium terjadi bila kebutuhan oksigen lebih besar daripada
suplai oksigen ke miokardium. Oklusi akut karena adanya trombus pada arteri
koroner menyebabkan berkurangnya suplai oksigen ke miokardium. Contoh lain,
pada pasien dengan plak intrakoroner yang bersifat stabil, peningkatan frekuensi
denyut jantung dapat menyebabkan terjadinya iskemi karena meningkatkan
kebutuhan oksigen miokardium, tanpa diimbangi kemampuan untuk meningkatkan
suplai oksigen ke miokardium.6 Jika terjadi penyempitan arteri koroner, iskemia
miokardium merupakan peristiwa yang awal terjadi. Daerah subendokardial
merupakan daerah pertama yang terkena, karena berada paling jauh dari aliran
darah. Jika iskemia makin parah, akan terjadi kerusakan sel miokardium. Infark
miokardium adalah nekrosis atau kematian sel miokardium. Infark miokardium
dapat terjadi nontransmural (terjadi pada sebagian lapisan) atau transmural (terjadi
pada semua lapisan) (Myrtha, 2012).
Pada saat ini, proses terjadinya plak aterosklerotik dipahami bukan proses
sederhana karena penumpukan kolesterol, tetapi telah diketahui bahwa disfungsi
endotel dan proses infl amasi juga berperan penting. Proses pembentukan plak
dimulai dengan adanya disfungsi endotel karena faktor-faktor tertentu. Pada tingkat
seluler, plak terbentuk karena adanya sinyal-sinyal yang menyebabkan sel darah,
seperti monosit, melekat ke lumen pembuluh darah (Myrtha, 2012).
1) Inisiasi proses aterosklerosis: peran endotel
Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak di tunika intima arteri
besar dan arteri sedang. Proses ini berlangsung terus selama hidup sampai
akhirnya bermanifestasi sebagai SKA. Proses aterosklerosis ini terjadi melalui
4 tahap, yaitu kerusakan endotel, migrasi kolesterol LDL (low-density
lipoprotein) ke dalam tunika intima, respons infl amatorik, dan pembentukan
kapsul fibrosis. Beberapa faktor risiko koroner turut berperan dalam proses
aterosklerosis, antara lain hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes, dan
merokok. Adanya infeksi dan stres oksidatif juga menyebabkan kerusakan
endotel. Faktorfaktor risiko ini dapat menyebabkan kerusakan endotel dan
selanjutnya menyebabkan disfungsi endotel. Disfungsi endotel memegang
peranan penting dalam terjadinya proses aterosklerosis. Jejas endotel
mengaktifkan proses inflamasi, migrasi dan proliferasi sel, kerusakan jaringan
lalu terjadi perbaikan, dan akhirnya menyebabkan pertumbuhan plak. Endotel
yang mengalami disfungsi ditandai hal-hal sebagai berikut :
o Berkurangnya bioavailabilitas nitrit oksida dan produksi endothelin-1 yang
berlebihan, yang mengganggu fungsi hemostasis vaskuler
o Peningkatan ekspresi molekul adhesif (misalnya P-selektin, molekul adhesif
antarsel, dan molekul adhesif sel pembuluh darah, seperti Vascular Cell
Adhesion Molecules-1 [VCAM-1])
o Peningkatan trombogenisitas darah melalui sekresi beberapa substansi aktif
lokal (Myrtha, 2012).
2) Perkembangan proses aterosklerosis: peran proses inflamasi
Jika endotel rusak, sel-sel infl amatorik, terutama monosit, bermigrasi menuju
ke lapisan subendotel dengan cara berikatan dengan molekul adhesif endotel.
Jika sudah berada pada lapisan subendotel, sel-sel ini mengalami diff erensiasi
menjadi makrofag. Makrofag akan mencerna LDL teroksidasi yang juga
berpenetrasi ke dinding arteri, berubah menjadi sel foam dan selanjutnya
membentuk fatty streaks. Makrofag yang teraktivasi ini melepaskan zat-zat
kemoatraktan dan sitokin (misalnya monocyte chemoattractant protein-1,
tumor necrosis factor α, IL-1, IL-6, CD40, dan c-reactive protein) yang makin
mengaktifkan proses ini dengan merekrut lebih banyak makrofag, sel T, dan sel
otot polos pembuluh darah (yang mensintesis komponen matriks ekstraseluler)
pada tempat terjadinya plak. Sel otot polos pembuluh darah bermigrasi dari
tunika media menuju tunika intima, lalu mensintesis kolagen, membentuk
kapsul fibrosis yang menstabilisasi plak dengan cara membungkus inti lipid
dari aliran pembuluh darah/ Makrofag juga menghasilkan matriks
metaloproteinase (MMPs), enzim yang mencerna matriks ekstraseluler dan
menyebabkan terjadinya disrupsi plak (Rosen, 2012)
3) Stabilitas plak dan kecenderungan mengalami ruptur
Stabilitas plak aterosklerosis bervariasi. Perbandingan antara sel otot polos dan
makrofag memegang peranan penting dalam stabilitas plak dan kecenderungan
untuk mengalami ruptur. LDL yang termodifi kasi meningkatkan respons infl
amasi oleh makrofag. Respons infl amasi ini memberikan umpan balik,
menyebabkan lebih banyak migrasi LDL menuju tunika intima, yang
selanjutnya mengalami modifi kasi lagi, dan seterusnya. Makrofag yang
terstimulasi akan memproduksi matriks metaloproteinase yang mendegradasi
kolagen. Di sisi lain, sel otot pembuluh darah pada tunika intima, yang
membentuk kapsul fi brosis, merupakan subjek apoptosis. Jika kapsul fibrosis
menipis, ruptur plak mudah terjadi, menyebabkan paparan aliran darah
terhadap zat-zat trombogenik pada plak. Hal ini menyebabkan terbentuknya
bekuan. Proses proinfl amatorik ini menyebabkan pembentukan plak dan
instabilitas. Sebaliknya ada proses antiinfl amatorik yang membatasi
pertumbuhan plak dan mendukung stabilitas plak. Sitokin seperti IL-4 dan
TGF-β bekerja mengurangi proses infl amasi yang terjadi pada plak. Hal ini
terjadi secara seimbang seperti pada proses penyembuhan luka. Keseimbangan
ini bisa bergeser ke salah satu arah. Jika bergeser ke arah pertumbuhan plak,
maka plak semakin besar menutupi lumen pembuluh darah dan menjadi rentan
mengalami ruptur (Rosen, 2012).
4) Disrupsi plak, trombosis, dan SKA
Kebanyakan plak aterosklerotik akan berkembang perlahan-lahan seiring
berjalannya waktu. Kebanyakan akan tetap stabil. Gejala muncul bila stenosis
lumen mencapai 70-80%. Mayoritas kasus SKA terjadi karena ruptur plak
aterosklerotik. Plak yang ruptur ini kebanyakan hanya menyumbat kurang dari
50% diameter lumen. Mengapa ada plak yang ruptur dan ada plak yang tetap
stabil belum diketahui secara pasti. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
inti lipid yang besar, kapsul fibrosa yang tipis, dan infl amasi dalam plak
merupakan predisposisi untuk terjadinya ruptur. Setelah terjadi ruptur plak
maupun erosi endotel, matriks subendotelial akan terpapar darah yang ada di
sirkulasi. Hal ini menyebabkan adhesi trombosit yang diikuti aktivasi dan
agregasi trombosit, selanjutnya terbentuk trombus. Trombosit berperan dalam
proses hemostasis primer. Selain trombosit, pembentukan trombus juga
melibatkan sistem koagulasi plasma. Sistem koagulasi plasma merupakan jalur
hemostasis sekunder. Kaskade koagulasi ini diaktifkan bersamaan dengan
sistem hemostasis primer yang dimediasi trombosit (Myrtha, 2012).
Ada 2 macam trombus yang dapat terbentuk
o Trombus putih: merupakan bekuan yang kaya trombosit. Hanya
menyebabkan oklusi sebagian.
o Trombus merah: merupakan bekuan yang kaya fibrin. Terbentuk karena
aktivasi kaskade koagulasi dan penurunan perfusi pada arteri. Bekuan ini
bersuperimposisi dengan trombus putih, menyebabkan terjadinya oklusi
total
5. Penegakkan diagnosis
a. Anamnesis.
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang
tipikal (angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal
berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher,
rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat
berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan
angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah,
nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop (PERKI,2015).
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah
penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas
yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan.
Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun)
atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun,
atau demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat,
keluhan ini patut dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan
aktivitas, terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK).
Hilangnya keluhan angina setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap
diagnosis SKA (PERKI,2015).
Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada
pasien dengan karakteristik sebagai berikut : 1. Pria 2. Diketahui mempunyai
penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit arteri perifer / karotis) 3.
Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard, bedah
pintas koroner, atau IKP 4. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok,
dislipidemia, diabetes mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga, yang
diklasifikasi atas risiko tinggi, risiko sedang, risiko rendah menurut NCEP
(National Cholesterol Education Program). Nyeri dengan gambaran di bawah ini
bukan karakteristik iskemia miokard (nyeri dada nonkardiak) :
1) Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk)
2) Nyeri abdomen tengah atau bawah
3) Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah apeks
ventrikel kiri atau pertemuan kostokondral.
4) Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi 5. Nyeri dada
dengan durasi beberapa detik
5) Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah Mengingat adanya kesulitan
memprediksi angina ekuivalen sebagai keluhan SKA, maka terminologi
angina dalam dokumen ini lebih mengarah pada keluhan nyeri dada tipikal.
Selain untuk tujuan penapisan diagnosis kerja, anamnesis juga ditujukan
untuk menapis indikasi kontra terapi fibrinolisis seperti hipertensi,
kemungkinan diseksi aorta (nyeri dada tajam dan berat yang menjalar ke
punggung disertai sesak napas atau sinkop), riwayat perdarahan, atau riwayat
penyakit serebrovaskular (PERKI,2015).

b. Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia,
komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding.
Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung. tiga (S3), ronkhi basah halus dan
hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi
iskemia. Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi,
diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan
terhadap SKA. Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak
seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri
pleuritik disertai suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam
memikirkan diagnosis banding SKA (PERKI,2015).

c. Pemeriksaan elektrokardiogram
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah
kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera
mungkin sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R
dan V4R, serta V7-V9 sebaiknya direkam pada semua pasien dengan perubahan
EKG yang mengarah kepada iskemia dinding inferior. Sementara itu, sadapan
V7-V9 juga harus direkam pada semua pasien angina yang mempunyai EKG
awal nondiagnostik. Sedapat mungkin, rekaman EKG dibuat dalam 10 menit
sejak kedatangan pasien di ruang gawat darurat. Pemeriksaan EKG sebaiknya
diulang setiap keluhan angina timbul kembali. Gambaran EKG yang dijumpai
pada pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi, yaitu: normal,
nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/ persangkaan baru,
elevasi segmen ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau
depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T (PERKI,2015).
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan
yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI
untuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada
sadapan V1-V3 nilai ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia
dan jenis kelamin. Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria
usia ≥40 tahun adalah ≥0,2 mV, pada pria usia > 40 tahun adalah ≥0,25 mV.
Sedangkan pada perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa
memandang usia, adalah ≥0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi
segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia > 30
tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai ambang di sadapan V7-
V9 adalah ≥0,5 mV. Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang
berhadapan dengan permukaan tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada
pasien STEMI kecuali jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6).
Pasien SKA dengan elevasi segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB
(komplet) baru/persangkaan baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat
terapi reperfusi. Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk
STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka
jantung tersedia.
Persangkaan adanya infark miokard menjadi kuat jika gambaran EKG
pasien dengan LBBB baru/persangkaan baru juga disertai dengan elevasi
segmen ST ≥1 mm pada sadapan dengan kompleks QRS positif dan depresi
segmen ST ≥1 mm di V1-V3. Perubahan segmen ST seperti ini disebut sebagai
perubahan konkordan yang mempunyai spesifisitas tinggi dan sensitivitas rendah
untuk diagnosis iskemik akut. Perubahan segmen ST yang diskordan pada
sadapan dengan kompleks QRS negatif mempunyai sensitivitas dan spesifisitas
sangat rendah. Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak
ditemukan elevasi segmen ST yang persisten, diagnosisnya adalah infark
miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI) atau Angina Pektoris tidak
stabil (APTS/ UAP). Depresi segmen ST yang diagnostik untuk iskemia adalah
sebesar ≥0,05 mV di sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV di sadapan lainnya.
Bersamaan dengan depresi segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi segmen ST
yang tidak persisten (2 sadapan berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris
≥0,2 mV mempunyai spesifitas tinggi untuk untuk iskemia akut (PERKI,2015).

d. Pemeriksaan marka jantung


Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka
nekrosis miosit jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard.
Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Peningkatan marka jantung hanya
menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat dipakai untuk
menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner/nonkoroner).
Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan kardiak nonkoroner
seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,
miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar
troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut,
emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada
dasarnya troponin T dan troponin I memberikan informasi yang seimbang
terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada
keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T
(Atman, 2008).
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T
menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA,
pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan
SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang
6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat dapat
dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan
spesifisitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang singkat (48 jam). Mengingat
waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih terpilih untuk mendiagnosis ekstensi
infark (infark berulang) maupun infark periprosedural (PERKI,2015).
Pemeriksaan marka jantung sebaiknya dilakukan di laboratorium sentral.
Pemeriksaan di ruang darurat atau ruang rawat intensif jantung (point of care
testing) pada umumnya berupa tes kualitatif atau semikuantitatif, lebih cepat
(15-20 menit) tetapi kurang sensitif. Point of care testing sebagai alat diagnostik
rutin SKA hanya dianjurkan jika waktu pemeriksaan di laboratorium sentral
memerlukan waktu >1 jam. Jika marka jantung secara point of care testing
menunjukkan hasil negatif maka pemeriksaan harus diulang di laboratorium
sentral (Atman, 2008).
e. Pemeriksaan laboratorium.
Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus dikumpulkan di ruang
gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit,
koagulasi darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium
tidak boleh menunda terapi SKA (PERKI,2015)

f.Pemeriksaan foto polos dada.


Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang gawat
darurat untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus dilakukan di
ruang gawat darurat dengan alat portabel. Tujuan pemeriksaan adalah untuk
membuat diagnosis banding, identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta
(PERKI,2015).

6. Tatalaksana
Berdasarkan langkah diagnostik tersebut di atas, dokter perlu segera menetapkan
diagnosis kerja yang akan menjadi dasar strategi penanganan selanjutnya. Yang
dimaksud dengan terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan
diagnosis kerja Kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang
gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung. Terapi
awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat MONA), yang
tidak harus diberikan semua atau bersamaan (PERKI,2015).

1. Tirah baring (Kelas I-C)

2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2 arteri
<95% atau yang mengalami distres respirasi (Kelas I-C)

3. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam pertama,
tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri (Kelas IIa-C)

4. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui
intoleransinya terhadap aspirin (Kelas I-A). Aspirin tidak bersalut lebih terpilih
mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang lebih cepat (Kelas I-C)
5. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)

a. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang direncanakan
untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik (Kelas I-B) atau
b. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75
mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi reperfusi menggunakan
agen fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidogrel)
(Kelas I-C).
7. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada yang
masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat (Kelas I-C). jika nyeri dada
tidak hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit sampai
maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien yang tidak
responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual (kelas I-C). dalam keadaan
tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti.
8. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien
yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual (kelas IIa-B).
2) Angina pektoris tidak stabil dan infark miokard non st elevasi
1. Diagnosis
Diagnosis angina pektoris tidak stabil (APTS/UAP) dan infark miokard non ST
elevasi (NSTEMI) ditegakkan atas dasar keluhan angina tipikal yang dapat disertai
dengan perubahan EKG spesifik, dengan atau tanpa peningkatan marka jantung. Jika
marka jantung meningkat, diagnosis mengarah NSTEMI; jika tidak meningkat, diagnosis
mengarah UAP. Sebagian besar pasien NSTEMI akan mengalami evolusi menjadi infark
miokard tanpa gelombang Q. Dibandingkan dengan STEMI, prevalensi NSTEMI dan UAP
lebih tinggi, di mana pasien-pasien biasanya berusia lebih lanjut dan memiliki lebih
banyak komorbiditas. Selain itu, mortalitas awal NSTEMI lebih rendah dibandingkan
STEMI namun setelah 6 bulan, mortalitas keduanya berimbang dan secara jangka
panjang, mortalitas NSTEMI lebih tinggi (PERKI,2015).
a. Presentasi klinik NSTEMI dan UAP pada umumnya berupa:
1). Angina tipikal yang persisten selama lebih dari 20 menit. Dialami oleh sebagian
besar pasien (80%)
2). Angina awitan baru (de novo) kelas III klasifikasi The Canadian Cardiovascular
Society. Terdapat pada 20% pasien.
3). Angina stabil yang mengalami destabilisasi (angina progresif atau kresendo):
menjadi makin sering, lebih lama, atau menjadi makin beratminimal kelas III
klasifikasi CCS.
4). Angina pascainfark-miokard: angina yang terjadi dalam 2 minggu setelah infark
miokard
b. Pemeriksaan fisik
Tujuan dilakukannya pemeriksaan fisik adalah untuk menegakkan diagnosis
banding dan mengidentifikasi pencetus. Selain itu, pemeriksaan fisik jika digabungkan
dengan keluhan angina (anamnesis), dapat menunjukkan tingkat kemungkinan
keluhan nyeri dada sebagai representasi SKA (PERKI,2015).
c. Elektrokardiogram
Perekaman EKG harus dilakukan dalam 10 menit sejak kontak medis pertama.
Bila bisa didapatkan, perbandingan dengan hasil EKG sebelumnya dapat sangat
membantu diagnosis. Setelah perekaman EKG awal dan penatalaksanaan, perlu
dilakukan perekaman EKG serial atau pemantauan terus-menerus. EKG yang mungkin
dijumpai pada pasien NSTEMI dan UAP antara lain:
1) Depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T; dapat disertai dengan elevasi
segmen ST yang tidak persisten (<20 menit).
2) Gelombang Q yang menetap
3) Nondiagnostik
4) Normal
d. Marka jantung
Pemeriksaan troponin I/T adalah standard baku emas dalam diagnosis
NSTEMI, di mana peningkatan kadar marka jantung tersebut akan terjadi dalam
waktu 2 hingga 4 jam. Penggunaan troponin I/T untuk diagnosis NSTEMI harus
digabungkan dengan kriteria lain yaitu keluhan angina dan perubahan EKG. Diagnosis
NSTEMI ditegakkan jika marka jantung meningkat sedikit melampaui nilai normal
atas (upper limit of normal, ULN). Dalam menentukan kapan marka jantung hendak
diulang seyogyanya mempertimbangkan ketidakpastian dalam menentukan awitan
angina. Tes yang negatif pada satu kali pemeriksaan awal tidak dapat dipakai untuk
menyingkirkan diagnosis infark miokard akut. Kadar troponin pada pasien infark
miokard akut meningkat di dalam darah perifer 3 – 4 jam setelah awitan infark dan
menetap sampai 2 minggu. Peningkatan ringan kadar troponin biasanya menghilang
dalam 2 hingga 3 hari, namun bila terjadi nekrosis luas, peningkatan ini dapat
menetap hingga 2 minggu (PERKI,2015).
2. Klasifikasi rekomendasi tatalaksana sindrom koroner akut
a. Kelas I Bukti dan/atau kesepakatan bersama bahwa pengobatan tersebut bermanfaat
dan efektif.
b. Kelas II Bukti dan/atau pendapat yang berbeda tentang manfaat pengobatan tersebut.
Kelas IIa Bukti dan pendapat lebih mengarah kepada manfaat atau kegunaan, sehingga
beralasan untuk dilakukan.
c. Kelas IIb Manfaat atau efektivitas kurang didukung oleh bukti atau pendapat, namun
dapat dipertimbangkan untuk dilakukan.
d. Kelas III Bukti atau kesepakatan bersama bahwa pengobatan tersebut tidak berguna
atau tidak efektif, bahkan pada beberapa kasus kemungkinan membahayakan.
e. Tingkat Data bukti A berasal dari beberapa penelitian klinik acak berganda atau meta
analisis
f. Tingkat Data bukti B berasal dari satu penelitian acak berganda atau beberapa
penelitian tidak acak
g. Tingkat Data bukti C berasal dari konsensus opini para ahli dan/atau penelitian kecil,
studi retrospektif, atau registri
3. Obat-obatan yang diperlukan dalam menangani SKA
a. Anti Iskemia
1) Penyekat Beta (Beta blocker).
Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya terhadap reseptor
beta-1 yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen miokardium. Terapi
hendaknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan konduksi atrio-ventrikler
yang signifikan, asma bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel kiri. Pada kebanyakan
kasus, preparat oral cukup memadai dibandingkan injeksi (PERKI,2015).

2) Nitrat. Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang
mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir diastolik ventrikel kiri
sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah
dilatasi pembuluh darah koroner baik yang normal maupun yang mengalami
aterosklerosis.

3) Calcium channel blockers (CCBs).


Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek vasodilator arteri dengan sedikit atau
tanpa efek pada SA Node atau AV Node. Sebaliknya verapamil dan diltiazem
mempunyai efek terhadap SA Node dan AV Node yang menonjol dan sekaligus
efek dilatasi arteri. Semua CCB tersebut di atas mempunyai efek dilatasi koroner
yang seimbang. Oleh karena itu CCB, terutama golongan dihidropiridin,
merupakan obat pilihan untuk mengatasi angina vasospastik. Studi menggunakan
CCB pada UAP dan NSTEMI umumnya memperlihatkan hasil yang seimbang
dengan penyekat beta dalam mengatasi keluhan angina (PERKI,2015).

b. Antiplatelet

c. Penghambat Reseptor Glikoprotein IIb/IIIa


Pemilihan kombinasi agen antiplatelet oral, agen penghambat reseptor glikoprotein
IIb/IIIa dan antikoagulan dibuat berdasarkan risiko kejadian iskemik dan perdarahan
(Kelas I-C). Penggunaan penghambat reseptor glikoprotein IIb/IIIa dapat diberikan
pada pasien IKP yang telah mendapatkan DAPT dengan risiko tinggi (misalnya
peningkatan troponin, trombus yang terlihat) apabila risiko perdarahan rendah (Kelas
I-B). Agen ini tidak disarankan diberikan secara rutin sebelum angiografi (Kelas III-A)
atau pada pasien yang mendapatkan DAPT yang diterapi secara konservatif (Kelas III-A)
(PERKI,2015).
d. Inhibitor ACE dan Penghambat Reseptor Angiotensin
Inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE) berguna dalam mengurangi remodeling
dan menurunkan angka kematian penderita pascainfark-miokard yang disertai
gangguan fungsi sistolik jantung, dengan atau tanpa gagal jantung klinis.
Penggunaannya terbatas pada pasien dengan karakteristik tersebut, walaupun pada
penderita dengan faktor risiko PJK atau yang telah terbukti menderita PJK, beberapa
penelitian memperkirakan adanya efek antiaterogenik (PERKI,2015).

e. Statin
Tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan modifikasi diet,
inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme A reductase (statin) harus diberikan pada
semua penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang telah menjalani terapi
revaskularisasi, jika tidak terdapat indikasi kontra (Kelas I-A). Terapi statin dosis tinggi
hendaknya dimulai sebelum pasien keluar rumah sakit, dengan sasaran terapi untuk
mencapai kadar kolesterol LDL (PERKI,2015).
C. Hipoglikemia
1. Definisi
Hipoglikemia Hipoglikemia didefinisikan sebagai keadaan di mana kadar glukosa plasma
lebih rendah dari 45 mg/dl– 50 mg/dl. Bauduceau, dkk mendefinisikan hipoglikemia sebagai
keadaan di mana kadar gula darah di bawah 60 mg/dl disertai adanya gelaja klinis pada
penderita. Pasien diabetes yang tidak terkontrol dapat mengalami gejala hipoglikemia pada
kadar gula darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang normal, sedangkan pada
pasien diabetes dengan pengendalian gula darah yang ketat (sering mengalami
hipoglikemia) dapat mentoleransi kadar gula darah yang rendah tanpa mengalami gejala
hipoglikemia. Pendekatan diagnosis kejadian hipoglikemia juga dilakukan dengan bantuan
Whipple’s Triad yang meliputi: keluhan yang berhubungan dengan hipoglikemia, kadar
glukosa plasma yang rendah, dan perbaikan kondisi setelah perbaikan kadar gula darah
(ADA, 2005).
Klasifikasi Klinis Hipoglikemia Akut

2. Gejala dan Tanda Hipoglikemia


Gejala dan tanda dari hipoglikemia merupakan akibat dari aktivasi sistem saraf
otonom dan neuroglikopenia. Pada pasien dengan usia lajut dan pasien yang
mengalami hipoglikemia berulang, respon sistem saraf otonom dapat berkurang
sehingga pasien yang mengalami hipoglikemia tidak menyadari kalau kadar gula
darahnya rendah (hypoglycemia unawareness). Kejadian ini dapat memperberat akibat
dari hipoglikemia karena penderita terlambat untuk mengkonsumsi glukosa untuk
meningkatkan kadar gula darahnya (IDF, 2013).
Gejala dan tanda yang muncul pada keadaan hipoglikemia

3. Mekanisme Kontra Regulasi Kadar Gula Darah


Pertahanan fisiologis yang pertama terhadap hipoglikemia adalah penurunan sekresi
insulin oleh sel beta pankreas. Pasien diabetes melitus tipe 1 yang menerima terapi
substitusi insulin tidak memiliki penurunan sekresi insulin fisiologis (sekresi insulin
berkurang saat kadar gula darah rendah) karena insulin yag beredar dalam tubuh
merupakan insulin penggantui yang berasal dari luar (eksogen). Pertahanan fisiologis
yang kedua terhadap hipoglikemia adalah peningkatan sekresi glukagon. Sekresi
glukagon meningkatkan produksi glukosa di hepar dengan memacu glikogenolisis
(ADA, 2014).
Pertahanan fisiologis yang ketiga terhadap hipoglikemia adalah peningkatan
sekresi epinefrin adrenomedullar. Sekresi ini terjadi apabila sekresi glukagon tidak
cukup untuk meningkatkan kadar gula darah. Sekresi epinefrin adrenomedullar
meningkatkan kadar gula darah dengan cara stimulasi hepar dan ginjal untuk
memproduksi glukosa, membatasi penyerapan glukosa oleh jaringan yang sensitif
terhadap insulin, perpindahan substrat glukoneogenik (laktat dan asam amino dari
otot, dan gliserol dari jaringan lemak) (ADA, 2014).
Sekresi insulin dan glukagon dikendalikan oleh perubahan kadar gula darah dalam
pulau Langerhans di pankreas. Sedangkan pelepasan epinefrin (aktivitas
simpatoadrenal) dikendalikan secara langsung oleh sistem saraf pusat
Bila pertahanan fisiologis ini gagal mencegah terjadinya hipoglikemia, kadar
glukosa plasma yang rendah menyebabkan respon simpatoadrenal yang lebih hebat
yang menyebabkan gejala neurogenik sehingga penderita hipoglikemia menyadari
keadaan hipoglikemia dan bertujuan agar penderita segera mengkonsumsi
karbohidrat. Seluruh mekanisme pertahanan ini berkurang pada pasien dengan
diabetes tipe 1 dan pada advanced diabetes mellitus tipe 2.
4. Patofisiologi hipoglikemia

(PERKENI, 2011)
5. Penyebab hipoglikemia

Salah satu penyebab dari hipoglikemia adalah ekses insulin disertai mekanisme kontra
regulasi glukosa yang terganggu Hipoglikemi merupakan interaksi antara kelebihan (ekses)
insulin dan terganggunya mekanisme kontra regulasi glukosa. Kejadian ekses insulin saja
belum tentu menyebabkan terjadinya hipoglikemia. Faktor risiko yang relevan dengan
terganggunya mekanisme kontra regulasi glukosa pada penderita diabetes melitus tipe 1
dan diabetes melitus tipe 2 tahap lanjut antara lain (PERKENI , 2011):
- Defisiensi insulin pankreas
- Menandakan bahwa insulin yang ada merupakan insulin eksogen, sehingga apabila
gula darah turun di bawah batas normal, tidak terjadi penurunan sekresi insulin
- Riwayat hipoglikemia berat, ketidaksadaran hipoglikemia (hypoglycemia
unawareness), atau keduanya.
- Terapi penurunan kadar gula darah yang agresif, ditandai dengan kadar HbA1c yang
rendah, target kadar gula darah yang rendah, atau keduanya.

Hipoglikemia berat dapat ditemui pada berbagai keadaan, antara lain:

- Kendali glikemik terlalu ketat


- Hipoglikemia berulang
- Hilangnya respon glukagon terhadap hipoglikemia setelah 5 tahun terdiagnosis DMT1
- Attenuation of epinephrine, norepinephrine, growth hormone, cortisol responses
- Neuropati otonom
- Tidak menyadari hipoglikemia
- End Stage Renal Disease (ESRD)
- Penyakit / gangguan fungsi hati
- Malnutrisi
- Konsumsi alkohol tanpa makanan yang tepat
6. Terapi hipoglikemia
Hipoglikemia Ringan:
a. Pemberian konsumsi makanan tinggi glukosa (karbohidrat sederhana)
b. Glukosa murni merupakan pilihan utama, namun bentuk karbohidrat lain yang berisi
glukosa juga efektif untuk menaikkan glukosa darah.
c. Makanan yang mengandung lemak dapat memperlambat respon kenaikkan glukosa
darah.
d. Glukosa 15–20 g (2-3 sendok makan) yang dilarutkan dalam air adalah terapi pilihan
pada pasien dengan hipoglikemia yang masih sadar
e. Pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer harus dilakukan setelah 15 menit
pemberian upaya terapi. Jika pada monitoring glukosa darah 15 menit setelah
pengobatan hipoglikemia masih tetap ada, pengobatan dapat diulang kembali.
f. Jika hasil pemeriksaan glukosa darah kadarnya sudah mencapai normal, pasien
diminta untuk makan atau mengkonsumsi snack untuk mencegah berulangnya
hipoglikemia.
Pengobatan pada hipoglikemia berat:
a. Jika didapat gejala neuroglikopenia, terapi parenteral diperlukan berupa pemberian
dekstrose 20% sebanyak 50 cc (bila terpaksa bisa diberikan dextore 40% sebanyak 25
cc), diikuti dengan infus D5% atau D10%.
b. Periksa glukosa darah 15 menit setelah pemberian i.v tersebut. Bila kadar glukosa
darah belum mencapai target, dapat diberikan ulang pemberian dextrose 20%.
c. Selanjutnya lakukan monitoring glukosa darah setiap 1- 2 jam kalau masih terjadi
hipoglikemia berulang pemberian Dekstrose 20% dapat diulang 4. Lakukan evaluasi
terhadap pemicu hipoglikemia (ADA, 2012)

O'Gara PT, Kushner FG, Ascheim DD, et al. 2013 ACCF/AHA guideline for the
management of ST-elevation myocardial infarction: a report of the American
College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on
Practice Guidelines. J Am Coll Cardiol. 2013;61:e78-140.

Antman EM, Braunwald E. ST-Elevation Myocardial Infarction: Pathology,


Pathophysiology, and Clinical Features. Dalam: Braunwald E. ed. Braunwald’s Heart
Disease. 8th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2008. Pp: 1207-31.

Myrtha, R. 2012. Patofisiologi Sindrom Koroner Akut. CDK, vol. 39 no. 4

Perki. 2015. Penatalaksanaan Sindroma Koroner akut edisi ke 3. Jakarta : Centra


Communications

Rosen AB., Gelfand EV. Patophysiology of Acute Coronary Syndromes. Dalam: Gelfand Eli
V., Cannon Cristopher P. Management of Acute Coronary Syndromes. West Sussex: Wiley
Blackwell. 2009. Pp: 1-11.

American Diabetes Association, Diabetes Care in Specific Settings, Diabetes Care. 2012,
35(suppl 1), S44.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes
Mellitus Tipe 2 di Indonesia, PB. PERKENI. Jakarta. 2011.

American Diabetes Association, Standards of medical care in diabetes 2014, Diabetes


Care. 2014, 37 (Suppl 1), S14-80.

International Diabetes Federation (IDF). IDF Diabetes Atlas Sixth Edition, International
Diabetes Federation (IDF). 2013.

Defining and reporting hypoglycemia in diabetes: a report from the American Diabetes
Association Workgroup on Hypoglycemia, Diabetes Care. 2005, 28, 1245–1249.

Anda mungkin juga menyukai