Anda di halaman 1dari 27

KAJIAN HUKUM DUALISME KEWENANGAN DALAM PENEGAKAN

HUKUM TINDAK PIDANA PERIKANAN SETELAH DITETAPKANNYA


UNDANG-UNDANG NOMOR 45 TAHUN 2009
TENTANG PERIKANAN

A. Latar Belakang Masalah

Keberadaan Negara Indonesia sebagai salah satu Negara kepulauan

terbesar di dunia merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang

menciptakan dan sekaligus pemilik alam jagad raya. Sebagai Negara

kepulauan sebagian besar wilayah Negara Republik Indonesia terdiri atas

17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km2 dan luas sekitar 3.1

juta km2 yang dimana 2/3 wilayahnya adalah perairan yang terdiri atas laut

pesisir, laut lepas, teluk, dan selat, memiliki panjang pantai 95.181 km2.

Dengan luas perairan 5,8 juta km2, yang kaya akan sumber daya laut dan

ikan.

Luas perairan 5,8 juta km2 tesebut teridir atas:1

1. Perairan laut teritorial 0,3 juta km2,

2. Perairan nusantara 2,8 juta km2, dan

3. Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) 2,7 juta km2.

Bentangan garis pantai sebesar 81.00 km tersebut, menjadikan laut

dan wilayah pesisir Indonesia memiliki kandungan kekayaan dan sumber

daya alam hayati yang sangat bervariasi misalnya ikan, terumbu karang,

hutan mangrove, serta sumber daya yang tidak dapat diperbahaui misalnya

minyak bumi dan bahan tambang lainnya. Perairan laut yang luas dan kaya

1
Supriadi dan Alimuddin, Hukum Perikanan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta:2011, hlm.
1-2

1
akan jenis-jenis maupun potensi perikannanya, yang mana berdasarkan data

dari Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengestimasikan total

produksi perikanan tangkap mencapai 7,67 juta ton, atau setara Rp 158

triliun. Angka itu meningkat dibanding total produksi perikanan pada 2016

yang sebesar 6,54 juta ton atau senilai 121 triliun.2 Berdasarkan data dari

Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2017 produktivitas

hasil perikanan Indonesia mengalami peningkatan senilai 227.278,9 triliun.

Berdasarkan dari data yang dikemukakan di atas, karena besarnya

potensi kelautan di Indonesia maka sangat diperlukan kepedulian Pemerintah

Republik Indonesia terhadap pembangunan perikanan di wilayah Indonesia,

untuk menghindari dampak yang merugikan terhadap Negara Kesatuan

Republik Indonesia, khususnya terhadap wilayah perairan Indonesia. Karena

besarnya potensi di perairan Indonesia, sehingga mengundang banyak

nelayan asing maupun lokal untuk melakukan kegiatan pemanfaatan sumber

daya perikanan di laut Indonesia.3 Perikanan adalah kegiatan yang

berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan.4

Peran serta masyarakat dalam upaya penegakan hukum di Indonesia

khususnya dalam upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana perikanan

juga memiliki peran penting. Upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh

masyarakat baik itu dengan berkomunikasi dengan pemerintah menggunakan

radio komunikasi untuk menyampaikan adanya aktivitas yang merugikan


2
https://m.republika.co.id/berita/ekonom/makro/18/01/11/p2dzbc368-2017-produksi-perikan-
an-tangkap-capai-76-juta-ton, diakses, tanggal, 6 Maret, 2019.
3
Akhmad Solihin, Politik Hukum Kelautan dan Perikanan (Bandung: Nuansa Aulia, 2010).
Hlm. 4.
4
Djokro Tribawono, Hukum Perikanan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002,
hlm.22

2
kepada petugas di lapangan dan melaporkan kejadian yang dilihat atau

diketahui kepada pos petugas terdekat, menangkap pelaku apabila tertangkap

tangan. Namun partisipasi masyarakat di lapangan saat ini belum berjalan

karena masyarakat merasa penegakan hukum di lapangan belum bisa

memberikan rasa keadilan pada masyarakat. Hal tersebut dikarenakan adanya

beberapa aparat penegak hukum yang dalam menjalankan tugas seringkali

terjebak dalam praktek yang bertentang dengan hukum, seperti Korupsi,

Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang hanya mementingkan kepentingan

pribadi. Dalam hal terjadi tindak pidana di laut, masyarakat nelayan anggota

kelompok masyarakat atau bukan, wajib melakukan penangkapan dan

menyerahkannya kepada pihak yang berwenang untuk diproses sesuai aturan

yang berlaku, namun hal ini tidak dilakukan masyarakat karena ketidaktahuan

dan lebih memikirkan keselamatan diri daripada harus menghadapi para

pelaku kejahatan di laut.5

Berdasarkan rumusan Undang-Undang No. 31 Tahun 2004

sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang

Perikanan, kegiatan-kegiatan tindak pidana perikanan secara keseluruhan

yaitu sebagai berikut :

1. Kegiatan yang dilakukan dalam penangkapan ikan dan/atau

pembudidayaan ikan dengan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak,

alat dan/atau cara, dan atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau

membahayakan kelestarian sumber daya perikanan.6


5
Widia Edorita, 2017 “Optimalisasi Peran Serta Masyarakat Dalam Mencegah Tindak Pidana
Perikanan Di Wilayah Pesisir Kabupaten Bengkalis”, Riau Law Jurnal, volume. 1 No. 1.
6
Pasal 8 dan Pasal 84 Undang-Undang No. 45 Tahun 2009.

3
2. Kegiatan dengan memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan

alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang berada di

kapal penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan.7

3. Kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber

daya ikan dan/atau lingkungan.8

4. Kegiatan yang merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya

perikanan.9

5. Kegiatan yang memasukkan, mengeluarkan, mengadakan, mengedarkan

dan/atau memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan

ikan sumber daya ikan, dan/atau lingkungan sumber daya ikan.10

6. Kegiatan yang melakukan penanganan dan pengelolaan ikan yang tidak

memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan,

sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan.11

7. Kegiatan yang melakukan pemasukan atau pengeluaran ikan dan/atau hasil

perikanan dari dan/atau wilayah Republik Indonesia yang tidak dilengkapi

sertifikat kesehatan untuk konsumsi manusia.12

8. Kegiatan yang melakukan usaha perikanan di bidang penangkapan,

pembudidayaan, pengangkutan, pengelolaan, pemasaran ikan,

penangkapan, pengangkutan, penelitian ikan yang tidak memiliki izin.13

7
Pasal 9 dan Pasal 85 Undang-Undang No. 45 Tahun 2009.
8
Pasal 12 dan Pasal 86 Undang-Undang No. 45 Tahun 2009.
9
Pasal 14 ayat (4) dan Pasal 87 Undang-Undang No. 45 Tahun 2009.
10
Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 88 Undang-Undang No. 45 Tahun 2009.
11
Pasal 20 ayat (3) dan Pasal 89 Undang-Undang No. 45 Tahun 2009.
12
Pasal 21 dan Pasal 90 Undang-Undang No. 45 Tahun 2009.
13
Pasal 92, Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, dan Pasal 99 Undang-Undang No.
45 Tahun 2009.

4
Terkait penanganan permasalahan tindak pidana di bidang perikanan,

dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 perubahan atas Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, ada beberapa isu yang

menjadi fokus utama dalam perubahannya yaitu:14

a. Mengenai pengawasan dan penegakan hukum yang menyangkut masalah

mekanisme koordinasi antar instansi penyidik dalam penanganan

penyidikan tindak pidana di bidang perikanan, penerapan sanksi (pidana

atau denda) hukum acara, terutama mengenai penentuan batas waktu

pemeriksaan perkara, dan fasilitas dalam penegakan hukum di bidang

perikanan, termasuk kemungkinan penerapan tindakan hukum berupa

penenggelaman kapal asing yang beroperasi di wilayah pengelolaan

perikanan Negara Republik Indonesia.

b. Masalah pengelolaan perikanan antara lain pelabuhan perikanan,

konservasi, perizinan dan kesyahbandaraan.

c. Mengenai perluasan yurisdiksi pengadilan perikanan sehingga mencakup

seluruh wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.

Dari penjelasan di atas, pada isu yang ketiga mensyaratkan adanya

pembentukan pengadilan perikanan diseluruh wilayah pengelolaan perikanan

Negara Republik Indonesia. Dengan kata lain, pembentukan pengadilan

perikanan harus dilaksanakan di seluruh wilayah pengadilan negeri di

Indonesia. Penegakan hukum dalam bidang perikanan dirasakan sangat

diperlukan dalam megatasi berbagai permasalahan yang timbul dilapangan,

14
Penjelasan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 perubahan atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

5
hal ini sangat perlu dalam penegakan hukum nasional Indonesia untuk

wilayah laut terutama perikananannya.15 Namun, pada saat ini masih terbatas

di beberapa wilayah pengadilan negeri dimana pembentukan peradilan

perikanan pertama kali dilakukan diwilayah Pengadilan Negeri Medan,

Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Pengadilan Negeri Pontianak, Pegadilan

Negeri Tual, Pengadilan Negeri Bitung.16 Selanjutnya pada tahun 2010,

dibentuk dua peradilan perikanan di wilayah Pengadilan Negeri Tanjung

Pinang, dan Pengadilan Negeri Ranai. Ditambah dengan dibentuknya

peradilan perikanan pada tahun 2014 di wilayah Pengadilan Negeri Ambon,

Pengadilan Negeri Sorong, dan Pengadilan Negeri Merauke. 17 Sehingga

diluar wilayah tersebut, maka perkara tindak pidana di bidang perikanan tetap

diperiksa, diadili dan diputus oleh pengadilan negeri yang berwenang.18

Pembentukan Pengadilan Perikanan merupakan amanah Pasal 71

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 perubahan atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Dalam penjelasan pasal 71

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 perubahan atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dimana pengadilan perikanan

merupakan pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan

umum yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di

15
Maria Maya Lestari, 2013, “Penegakan Hukum Pidana Perikanan di Indonesia Studi Kasus
Pengadilan Negeri Medan”, Jurnal Ilmu Hukum Universitas Riau, volume 3 No 2.
16
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2004 tentang Perikanan Pasal 71 ayat (3).
17
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 15 Tahun 2010 tentang Pembentukan
Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri Tanjung Pinang dan Pengadilan Negeri Ranai.
18
Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 6 Tahun 2014 tentang Pembentukan
Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri Ambon, Pengadilan Negeri Sorong dan Pengadilan
Negeri Merauke.

6
bidang perikanan. Dengan kata lain, dibentuknya pengadilan perikanan

dimaksudkan untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya

ikan secara optimal dan berkelanjutan. Pemerintah Daerah dalam penegakan

tindak pidana perikanan juga memiliki peranan penting serta wewenang untuk

mengadili pelaku tindak pidana perikanan sebagaimana yang diatur dalam

pasal 12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah

ayat (3) yang menyatakan “Urusan Pemerintah Pilihan sebagaimana

dimaksud dalam pasal 11 ayat (1) meliputi : Kelautan dan perikanan,

pariwisata, pertanian, kehutanan, energy dan sumber daya mineral,

perdagangan, perindustrian, dan transmigrasi”.19 Dengan kata lain apabila

terjadi tindak pidana perikanan di wilayah pemerintahan suatu daerah, maka

pemerintahan daerah tersebut berhak untuk menangani tindak pidana tersebut.

Dalam hal ini pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi

sangat penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan

perikanan. Semangat pembentukan peradilan khusus ini juga dilandaskan

dengan semangat untuk mengatasi krisis “ketidakberdayaan” lembaga-

lembaga peradilan yang ada dalam menjawab berbagai persoalan hukum

khususnya yang terkait penegakan hukum tindak pidana perikanan.

Dikarenakan wilayah Indonesia yang sebagian wilayahnya berbatasan dengan

negara lain, memiliki sumber daya perikanan yang potensial dan melimpah,

sehingga sering menjadi target bagi kapal perikanan asing maupun lokal

dalam melakukan penangkapan ikan secara ilegal.

19
Penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

7
Kewenangan mengadili atau kompetensi yurisdiksi pengadilan adalah

untuk menentukan pengadilan mana yang berwenang memeriksa dan

memutus suatu perkara, sehingga pengajuan perkara tersebut dapat diterima

dan tidak ditolak dengan alasan pengadilan tidak berwenang mengadilinya.. 20

Pasca dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang

Perikanan bahwa pengadilan perikanan merupakan pengadilan khusus yang

mengamanatkan bahwa kasus-kasus perikanan mesti masuk ke pengadilan

perikanan, namun ternyata implementasi dilapangan baru dapat terealisasi

pada tahun 2012. Dengan kata lain, dalam penanganan tindak pidana

perikanan adanya kasus yang diadili, diperiksa, dan diputus baik itu di

pengadilan negeri yang berwenang dan di pengadilan perikanan perikanan.

Dengan adanya pemeriksaan tindak pidana di bidang perikanan yang

dilakukan oleh pengadilan perikanan, dan pengadilan negeri, maka ada

dualisme kewenangan dalam penanganan tindak pidana perikanan.

Dikarenakan terdapat perbedaan antara penanganan perkara tindak pidana

perikanan yang dilakukan oleh pengadilan perikanan, yang dimana aparat,

sistem, dan proses penanganannya berbeda dengan yang dilaksanakan melalui

peradilan umum.21 Sehingga penanganan tindak pidana di bidang perikanan

pada saat ini belum berjalan secara maksimal mengalami berbagai hambatan

dalam penyelesaiannya.

Setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang

Perikanan maka pengadilan perikanan yang berhak untuk memeriksa,


20
C.S.T. Kansil, Pengantar Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1993, hal. 160
21
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang Pengadilan
Perikanan, (Jakarta, 2009). Hlm. 89.

8
mengadili, dan memutuskan suatu tindak pidana perikanan. Tapi pada

praktiknya masih ada dualisme kewenangan yang dapat memproses tindak

pidana perikanan. Dualisme kewenangan ini terjadi antara pengadilan negeri

dan pengadilan perikanan. Berikut perbedaan proses dalam penengakan

tindak pidana yang dilakukan antara pengadilan negeri dan pengadilan

perikanan.

Tabel I.1
Dualisme Kewenangan Dalam Penegakan Tindak Pidana Perikanan
No Pengadilan Negeri Pengadilan Perikanan

1 Berwenang memeriksa, mengadili Hanya dapat memeriksa dan


dan memutus tindak pidana di memutus tindak pidana perikanan.
bidang perikanan yang Pengadilan perikanan tidak mampu
perkembangan saat ini tindak mengatasi perkembangan modus
pidana sering dijadikan modus atua kejahatan perikanan terkini, jika ada
saling berkaitan dengan tindak tindakan pidana lain, maka akan
pidana lainnya. dilimpahkan ke Pengadilan Negeri.

2 Jangka waktu penanganan paling Jangka waktu penanganan paling


lama 30 hari lama 20 hari
Dapat diperpanjang untuk paling Dapat diperpanjang untuk paling
lama 60 hari lama 10 hari

3 Hakim pengadilan Negeri terdiri Hakim pengadilan perikanan terdiri


atas Hakim karir. atas hakim karir dan hakim ad hoc,
dengan susunan majelis hakim terdiri
dari 2 hakim ad hoc dan 1 hakim
karir

4 Permohonan banding dan kasasi Permohonan banding dan kasasi


tetap dilakukan oleh hakim karir. belum ada aturan mengenai
keterlibatan hakim ad hoc dalam
pemeriksaannya.

5 Persidangan tindak pidana Persidangan tindak pidana


dilakukan dengan hadirnya perikanan pemeriksaan di sidang
terdakwa atau persidangan pengadilan dapat dilakukan tanpa
ditunda pada hari dan tanggal hadirnya terdakwa.
berikutnya

9
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis uraikan

diatas mengenai permasalahan yang terjadi dalam upaya penegakan hukum

tindak pidana perikanan yang terjadi di Republik Indonesia, maka dari itu

penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian dan dituangkan dalam

bentuk skripsi dengan judul: “Kajian Hukum Dualisme Kewenangan

Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Perikanan Setelah

Ditetapkan-Nya Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang

Perikanan”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka peneliti

merumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah Pelaksanaan Pemeriksaan Perkara di Pengadilan

Perikanan setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009

tentang Perikanan?

2. Bagaimanakah persoalan Hukum yang muncul dengan adanya Dualisme

badan peradilan perikanan di Indonesia.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui Pelaksanaan Pemeriksaan Perkara di Pengadilan

Perikanan setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009

tentang Perikanan.

10
b. Untuk mengetahui persoalan Hukum yang muncul dengan adanya

Dualisme badan peradilan perikanan di Indonesia.

2. Kegunaan Penelitian

a. Penelitian ini untuk menambah pengetahuan dan pemahaman bagi

peneliti khususnya mengenai masalah yang diteliti.

b. Sebagai sumbangan pemikiran bagi akademisi, sekaligus bahan

perbandingan sehingga dapat menghasilkan penelitian yang lebih

bermanfaat lagi dan demi pengembangan pengetahuan hukum.

c. Bagi Aparat Penegak Hukum, sebagai bahan masukan dan

pertimbangan agar lebih memperhatikan dan dapat menjalankan

tugas dan peranannya.

D. Kerangka Teori

1. Teori Penegakan Hukum

Dalam masyarakat manapun, penegakan hukum akan memiliki

peran penting dala upaya masyarakat untuk mengurangi kejahatan.22

Meningkatnya kasus tindak pidana perikanan di wilayah perairan Negara

Republik Indonesia belakangan ini, memberi tanda bahwa Pemerintah

22
John N. Gallo, “Effective Law- Enforcement Techniques For Reducing Crime”. Journal Of
Criminal Law and Criminology, Northwestern University School Of Law, 88 J. Crim. L. &
Criminology 1475, Summer 1998.

11
harus lebih bekerja keras dalam meningkatkan pengawasan dalam upaya

penegakan hukum khususnya terhadap tindak pidana perikanan

dikarenakan adanya pihak-pihak yang tidak patuh dengan peraturan

perundang-undangan, dengan kata lain terdapat sebagian masyarakat yang

melakukan tindak pidana perikanan di wilayah Negara Republik

Indonesia.

Simons menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hukum pidana

adalah semua tindakan keharusan (gebod) dan larangan (verbod) yang

dibuat oleh negara atau penguasa umum lainnya yang diancamkan dengan

derita khusus, yaitu pidana.

Menurut Moeljanto, Hukum Pidana adalah bagian dari hukum yang

mengadakan dasar dan aturan untuk menentukan perbuatan-perbuatan

mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman

sanksi berupa suatu pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar

larangan tersebut, kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang

melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana

sebagaimana yang telah diancamkan, dan dengan cara bagaimana

pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang

melanggar larangan tersebut.23

Terhadap perbuatan yang menyimpang tersebut hukum harus

ditegakkan, hukum berfungsi sebagai pengendalian sosial (social control),

memaksa masyarakat untuk mematuhi peraturan perundang-undangan

23
Erdianto Effendi, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung,
2011, hlm. 6.

12
yang berlaku untuk mengatur mengenai tindak pidana perikanan, serta

mencegah terjadinya tindak pidana, peraturan perundang-undangan

tersebut menjadi sebagai hukum yang wajib ditaati karena dibentuk atas

kerjasama antara wakil-wakil rakyat dengan pemerintah. Ini artinya telah

ada kesepakatan antara rakyat dengan pemerintah terkait peraturan

perundang-undangan tentang Perikanan serta perundang-undangan lain

yang mengatur tentang tindakan-tindakan yang diperbolehkan dan dilarang

di wilayah perairan Negara Republik Indonesia yang sama-sama harus

ditaati oleh semua orang yang tujuannya adalah hukum dapat diberlakukan

dengan lancar sesuai dengan tujuan yang diharapkan.

Tujuan hukum pidana itu adalah untuk melindungi kepentingan

orang perseorangan atau hak asasi manusia dan melindungi kepentingan

masyarakat dan negara dengan perimbangan yang serasi dari

kejahatan/tindakan tercela di satu pihak dan dari tindakan penguasa yang

sewenang-wenang di lain pihak. Dengan demikian, yang dilindungi oleh

hukum pidana bukan saja individu, tetapi juga negara, masyarakat harta

benda milik individu.24

Dalam tulisan Jimly Asshiddiqie yang berjudul “Penegakan

Hukum” disebutkan bahwa penegakan hukum adalah:25

“Proses dilaksanakannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya

norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam

24
Ibid, hlm. 33.
25
Jimly Asshiddiqie, ”Penegakan Hukum”, Makalah dari situs resmi www.Jimly.com.

13
lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan

bermasyarakat dan bernegara”.

Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah kegiatan

menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah

yang mantap dan mengejawantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian

penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan

mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.26

Tujuan daripada penegakan hukum yakni untuk mengatur

masyarakat agar damai dan adil dengan mengadakan keseimbangan antara

kepentingan yang dilindungi, sehingga tiap-tiap anggota masyarakat

memperoleh sebanyak mungkin apa yang menjadi haknya.27 Makna inti

dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan

nilai-nilai yang menjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan

sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk

menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan

hidup.28

Melaksanakan penegakan hukum yang selaras dengan

pembangunan bukanlah sesuatu yang mudah dan merupakan permasalahan

manusia yang kompleks sebagai suatu kenyataan sosial. Sehubungan

dengan ini ingin dikemukakan beberapa masalah yang dapat merupakan

pendukung dan penghambat penegakan hukum yang rasional, serta

26
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT.Raja
Grafindo, Jakarta, 2005, hlm. 5.
27
RE. Baringbing, Catur Wangsa Simpul Mewujudkan Supremasi Hukum, Pusat Kajian
Informasi, Jakarta, 2001, hlm. 54.
28
Sudarsono, Kenakalan Remaja, Rineka Cipta, Jakarta, 2004, hlm. 5.

14
tanggung jawab dan bermanfaat yang harus ditanggulangi bersama.

Adapun masalah yang bersangkutan adalah antara lain sebagai berikut:29

1. Pengertian penegakan hukum. Bagi para partisipan dalam usaha

penegakan hukum harus jelas terlebih dahulu mengenai yang diartikan

dengan penegakan hukum. Oleh karena itu, pengertian yang tidak tepat,

dapat mengakibatkan pengambilan sikap dan penentuan tindak yang

tidak tepat pula.

2. Penggairahan berpartisipasi dalam usaha penegakan hukum. Masalah

berpartisipasi ini berhubungan erat dengan masalah-masalah lain,

seperti faktor-faktor pendukung dan penghambat berpartisipasi yang

berhubungan dengan unsur-unsur politis, ekonomis, sosial, budaya, dan

religi yang dapat berpengaruh positif maupun negatif.

3. Pengembangan kemanusiaan antar para partisipan, subjek, dan objek

pelaksanaan usaha penegakan hukum. Hal ini perlu mendapatkan

perhatian, karena merupakan masalah yang pelik dan peka dalam

berpartisipasi dan pelaksanaan penegakan hukum. Masalah ini mutlak

harus diperhitungkan untuk mencegah sikap dan tindak dalam usaha

penegakan hukum yang tidak berperikemanusiaan dan melanggar

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

4. Jaminan perlindungan bagi partisipan (mental, fisik dan sosial). Hal ini

merupakan masalah utama lain yang perlu mendapatkan perhatian dan

29
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2004, hlm.
125-127

15
diadakan dalam usaha penegakan hukum. Hal ini berhubungan erat

dengan sifat, situasi, dan kondisi usaha penegakan hukum tersebut.

Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan

perundang-undangan, walaupun di dalam kenyataan di Indonesia

kecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian law enforcement

begitu populer. Selain itu, ada kecenderungan yang kuat untuk

mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan

hakim. Perlu dicatat, bahwa pendapat-pendapat yang agak sempit tersebut

mempunyai kelemahan-kelemahan, apabila pelaksanaan perundang-

undangan atau keputusan-keputusan hakim tersebut malahan menggangu

kedamaian di dalam pergaulan hidup.30

Sedangkan menurut Soerjono Soekanto bahwa dalam proses

penegakan hukum ada faktor yang mempengaruhinya. Faktor tersebut

cukup mempunyai arti sehingga dampak positif dan negatifnya terletak

pada isi faktor tersebut. Faktor yang mempengaruhi penegakan hukum

tersebut ada 5, yaitu:31

1) Faktor hukumnya sendiri, yang di dalamnya dibatasi Undang-Undang

saja.

2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun

menerapkan hukum.

3) Faktor sarana/fasilitas yang mendukung penegak hukum.

30
Soerjono Soekanto, Loc.cit.
31
Ibid, hlm. 8.

16
4) Faktor masyarakat, lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan

diterapkan.

5) Faktor kebudayaan, yaitu sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan karena merupakan esensi

dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektifitas

penegakan hukum.32

2. Teori Sistem Peradilan Pidana

Peraturan tindak pidana yang diberlakukan untuk melindungi

masyarakat dan yang membuat tindakan tersebut dapat dihukum

berdasarkan pasal pidana.33 Sistem Peradilan Pidana disebut juga sebagai

“Criminal Justice System” yang dimulai dari proses penangkapan,

penahanan, penuntutan, dan pemeriksaan di muka pengadilan, serta

diakhiri dengan pelaksanaan pidana di lembaga permasyarakatan.34

Dalam kepustakaan sering juga disebut sistem peradilan pidana

adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah

kejahatan agar berada pada batas-batas toleransi masyarakat.35 Sedangkan

Muladi mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan

32
Azmi Fendri, “Perbaikan Sistem Hukum dalam Pembangunan Hukum Indonesia”, Jurnal
Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Edisi II, No. 1 Agustus 2011, hlm. 102.
33
Daniel C.Eidsmoe dan Pamela K. Edwards, “Home Liability Coverag: Does The Criminal
Acts Exclusion Work Where The “Expected Or Intended” Excluion Failed?” Connecticul
Insurance Law Journal, 5 Conn. Ins, L.J. 707, 1998-1999.
34
Romli Atmasasnita, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Putra Bardin, Jakarta: 1996, hlm
33.
35
Zulkarnain, Peradilan Pidana, Yappika, Malang: 2006, hlm 129.

17
jaringan (network) peradilan yang merupakan hukum pidana materil,

hukum pidana formil merupakan hukum pelaksana pidana.36

Soerjono Soekanto menyatakan bahwa sistem peradilan pidana

merupakan suatu keseluruhan yang terangkai yang terdiri atas unsur-unsur

yang saling berhubungan secara fungsional, sistem peradilan pidana

tersebut terdiri atas unsur-unsur yang masing-masing merupakan

subsistem dari sistem tersebut. 37

Sistem peradilan pidana adalah suatu penegakan hukum yang

didalamnya terkandung aspek hukum yang menitikberatkan kepada

operasionalisasi peraturan perundang-undangan dalam upaya

menanggulangi kejahatan dan bertujuan mencapai kepastian hukum

(certainly). Sistem peradilan pidana juga dipandang sebagai bagian dari

pelaksanaan social defend yang terkait kepada tujuan mewujudkan

kesejahteraan masyarakat, maka dalam sistem peradilan pidana terkandung

aspek sosial yang mnitikberatkan kepada penggunaan. 38

Dalam sistem peradilan pidana yang lazim, selalu melibatkan dan

mencakup subsistem dengan ruang lingkup masing-masing proses

peradilan pidana sebagai berikut:39

1. Kepolisian, dengan tugas utama: menerima laporan dan pengaduan dari

publik menakala terjadi tindak pidana, melakukan penyaringan terhadap

36
Muladi, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Citra Baru, Jakarta, 194, hlm. 30
37
Soerjono Soekanto, Efektifitas Hukum dan Peranan Saksi, Remadja Karya, Bandung: 1998,
hlm 68.
38
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Ekstensialisme dan Abolisionisme,
Bina Cipta, Bandung: 1996, hlm 25.
39
Yesmi Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (konsep, komponen, dan Pelaksanaan
Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Padjajaran, Bandung, 2009, hlm 64.

18
kasus-kasus yang memenuhi syarat untuk diajukan ke kejaksaan,

melaporkan hasil penyidikan kepada kejaksaan dan memastikan dan

dilindunginya para pihak yang terilbat dalam proses peradilan pidana.

2. Kejaksaan, dengan tugas pokok: menyaring kasus yang layak diajukan

ke pengadilan, mempersiapkan berkas penuntutan, melakukan

penuntutan dan melaksanakan putusan pengadilan.

3. Pengadilan yang berkewajiban untuk: menegakkan hukum dan

keadilan, melindungi hak-hak terdakwa, saksi dan korban dalam proses

peradilan pidana, melakukan pemeriksaan kasus-kasus secara efesien

dan efektif, memberikan putusan yang adil dan berdasarkan atas

hukum, dan menyiapkan arena public untuk persidangan sehingga

publik dapat berpartisipasi dan melakukan penilaian proses pengadilan

ditingkat ini.

4. Lembaga Permasyarakatan, yang berfungsi untuk menjalankan putusan

pengadilan yang merupakan pemenjaraan, memastikan perlindungan

hak-hak narapidana, melakukan upaya-upaya untuk memperbaiki

narapidana, mempersiapkan narapida untuk kembali kepada

masyarakat.

5. Pengacara, dengan fungsi: melakukan pembelaan bagi klien, dan

menjaga hak-hak klien dipenuhi dalam proses pidana.

Adapun tujuan dari sistem peradilan pidana, antara lain:

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.

19
b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas

bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.

c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak

mengulangi kejahatannya lagi.

Ciri-ciri pendekatan sistem peradilan pidana:40

a. Titik berat koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana

(kepolisian, kejaksaan, lembaga permasyarakatan, dan penasihat

hukum).

b. Pengawasan dan penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan

pidana.

c. Efektifitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efektifitas

penyelesaian perkara.

d. Penggunaan hukum sebagai instrument untuk memantapkan

administrasi keadilan.

Untuk mengembangkan sistem peradilan pidana ada 2 pendekatan

(model) sistem peradilan pidana, yaitu:

1. Due Process model dan Crime Control Model

Due process model adalah konsep perlindungan hak individu dan

pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan peradilan pidana.41 Jadi

disini proses kriminal harus dapat dikendalikan untuk mencegah

penyalahgunaan kekuasaan dan sifat otoriter. Sedangkan crime control

40
Oc. Kaligis, Perlindungan Hukum atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana,
PT. Alumni, Bandung:2006, hlm. 31.
41
Ansorie Sabuan, Hukum Acara Pidana, Angkasa, Bandung:1990,hlm. 9.

20
model artinya peradilan semata-mata untuk menindas pelaku kriminal

dan ini merupakan tujuan utama dari proses peradilan.42

2. Family Model (Model Kekeluargaan)

Model kekeluargaan ini diperkenalkan oleh John Griffths. Menurut

model ini penyelenggaraan peradilan pidana dilakukan dengan cinta

kasih sesama mahluk hidup atas dasar kepentingan saling

menguntungkan.43

E. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual adalah penggambaran antara konsep-konsep

khusus yang merupakan kumpulan dala arti yang berkaitan, dengan istilah

yang akan diteliti dan/atau diuraikan dalam karya ilmiah. 44 Batasan istilah-

istilah yang digunakan sebagai berikut:

1. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan megolah data,

keterangan, dan/atau alat bukti yang dilaksanakan secara objektif dan

professional berdasarkan suatu standard.45

2. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum.

Larangan itu disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana

tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.46

42
Ibid,hlm. 6.
43
Ibid, hlm. 7.
44
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 96.
45
http://walangkopo99.blogspot.com/2012/06/pengertian-pemeriksaan.html?m=1 diakses, 03
Maret 2019, Jam 13.40 WIB.
46
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 9.

21
3. Pidana adalah suatu penderitan atau nestapa yang sengaja dikenakan atau

dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu

tindak pidana.47

4. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus

hidupnya berada di dalam lingkungan perairan.48

5. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan

dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari pra-

reproduksi, produksi, pengelolaan sampai dengan pemasaran yang

dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.49

6. Penangkapan Ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan

yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun,

termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut,

menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau

mengawetkannya.

7. Pengadilan Perikanan adalah pengadilan khusus yang berwenang

memeriksa, mengadili, dan memutus pidana di bidang perikanan.

F. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan

analisis dan kontruksi yang dilakukan secara metodologis:

1) Jenis Penelitian

47
http://www.pengertianahli.com, diakses, 04 Maret 2019, Jam 15.00 WIB.
48
Penjelasan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 perubahan atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 1 angka 4.
49
Penjelasan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 perubahan atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 1 angka 1.

22
Jenis penelitian atau pendekatan yang digunakan oleh penulis

adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah

penelitian hukum kepustakaan, dalam penelitian hukum normatif ini

penulis melakukan penelitian terhadap asas-asas hukum yaitu asas

peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Dimana penulis

berpedoman kepada ketentuan-ketentuan yang berlaku.

2) Sumber Data

Sumber data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah

data sekunder. Dalam metodologi penelitian hukum data sekunder

dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu

a. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang bersifat pokok

dan mengikat, yaitu semua Peraturan Perundang-undangan yang

berkaitan dengan judul penelitian yang terdiri dari :

1) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang atas perubahan

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

2) Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 15 Tahun 2010 tentang

Pembentukan Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri

Tanjung Pinang dan Pengadilan Negeri Ranai.

3) Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 6 Tahun 2014 tentang

Pembentukan Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri Ambon,

Pengadilan Negeri Sorong dan Pengadilan Negeri Merauke

23
4) Penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah

Daerah.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum Sekunder adalah yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer.50 Terdiri dari :

1. Buku-buku teks yang membicarakan suatu dan/atau beberapa

permasalahan hukum, termasuk skripsi, tesis, dan disertasi hukum.

2. Kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar

hukum dari para ahli.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

sekunder, misalnya: kamus, ensiklopedi, indeks komulatif, dan

sebagainya.51

3) Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data untuk penelitian hukum normatif (legal

research) digunakan metode kajian kepustakaan atau studi dokumenter,

sehingga data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder,

Dimana dalam penelitian ini untuk menentukan data yang terdapat baik

dalam peraturan-peraturan maupun dalam literatur-literatur yang memiliki

hubungan dengan permasalahan yang diteliti.

4) Analisis Data

50
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat,
Rajawali, Jakarta, 2011, hlm.13.
51
Ibid.

24
Dalam penelitian normatif, pengolahan data hakikatnya kegiatan

untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan tertulis.52 Analisis

yang dilakukan adalah analisis data secara kualitatif yaitu bertujuan

memahami, menginterpretasikan, mendeskripsikan suatu realitas.53 Penulis

menarik suatu kesimpulan secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari

hal-hal yang bersifat umum, dimana kedua fakta tersebut dijembatani oleh

teori-teori.54 Menguraikan secara deskriptif adalah gambaran mengenai

suatu hal atau keadaan sehingga pembaca seolah-olah melihat, mendengar,

atau merasakan hal tersebut.55 Sedangkan sifat penelitian untuk

menyelesaikan proposal ini adalah deskriptif analisis yaitu suatu penelitian

dengan menggambarkan keadaan yang timbul karena adanya peraturan

hukum yang mengatur tentang tindak pidana dibidang Perikanan di

wilayah NKRI.

G. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

D. Kerangka Teori

52
Darmini Rosa, “Penerapan Sistem Presidensial dan Implikasinya Dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara di Indonesia” Jurnal Ilmu Hukum, Menara Yuridis, Edisi III, 2009, hlm. 71.
53
Ibid.
54
Aslim Rasyat, Metode Ilmiah : Persiapan Bagi Peneliti, Universitas Riau Press, Pekanbaru,
2005, hlm. 20.
55
Meilany dan Weni Rahayu, Ensiklopedi Bahasa Indonesia 1, PT. Mediantara Semesta,
Jakarta, 2012, hlm. 116.

25
E. Kerangka Konseptual

F. Metode Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Perikanan

B. Tinjauan Umum tentang Peradilan Perikanan

C. Tinjauan Umum tentang Proses Penegakan Hukum di bidang

Perikanan

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Proses pemeriksaan Tindak Pidana di Bidang Perikanan di

Wilayah NKRI

B. Persoalan Hukum yang muncul dalam Dualisme badan peradilan

perikanan di NKRI

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

H. Jadwal Penulisan

Jadwal penelitian memuat rencana penelitian. Penelitian ini memakan

waktu 6 bulan atau 180 hari. Dimulai bulan Juli 2019 dan selesai bulan

Desember 2019. Rencana kegiatan penelitian digambarkan dalam tabel di

bawah ini:

26
Tabel 1.2
Uraian Kegiatan Jul Agt Sep Okt Nov Des

Penulisan Proposal

Rumusan Masalah

Perbaikan Proposal

Pengumpulan Data

Pengelolahan Data

Seminar Skripsi

Perbaikan Skripsi

Penyerahan Skripsi
Ke Fakultas
Jadwal Penelitian

27

Anda mungkin juga menyukai