Periode penerimaan hükum İslam oleh hükum adat. yang dikenal dengan teori
Receptie, adalah periode dimana hükum İslam baru diberlakukan apabila dikehendaki
atau diterima oleh hükum adat. Sehingga dapat dikatakan bahwa teori ini menentang teori
yang telah berlaku sebelumnya, yaitu teori Receptie İn Complexu. Teori ini dikemukakan
oleh Christian Snouck Hurgranje (1857-1936). Yakni penasehat pemerintah Hindia
Belanda dalam Umsan İslam dan bukan dan Bumi Putera. Menurut Snouck hükum İslam
dapat diterapkan jika telah menjadi bagian dari hükum adat. Bagi Snouck sikap
pemerintah Hindia Belanda sebelumnya menerima teori Receptie İn Complexu
bersumber dari ketidaktahuannya terhadap situasi masyarakat pribumi, khususnya
masyarakat muslim. la berpendapat bahwa sikap terhadaap umat İslam selama ini
merugikan pemerintah Jajaran sendiri, disamping itü snock berharap situasi agar orang-
orang pribumi rakyat pada umumnya rakyat jajahan jangan sampai kuat memegang
agama İslam, şebab pada umumnya orang yang kuat memegang agama İslam (Hükum
İslam) tidak mudah mempengaruhi orang peradapan barat.
TEORI RECEPTIE EXIT
Bapak berlakunya teori receptie exit bagi hukum Islam di Indonesia adalah Prof.
Dr. Hazairin, S. H. (Hazairin, S.H., Tujuh Serangkai Tentang Hukum, Jakarta, Tinta Mas
Indonesia, 1974). Menurutnya setelah Indonesia merdeka, tepatnya setelah Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD '45) dijadikan Undang-
undang Negara Republik Indonesia, semua peraturan perundang-undangan 10 Hindia
Belanda yang berdasarkan teori receptie tidak berlaku lagi, Alasan yang dikemukakan
Hazairin menyatakan bahwa teori Receptie itu harus exit alias keluar dari tata hukum
Indonesia Merdeka. Teori Receptie bertentangan dengan Al-Qur'an dan Sunnah.
TEORI RECEPTIE A CONTRARIO
Teori receptie exit yang diperkenalkan oleh Hazairin dikembangkan oleh Sayuti
Thalib, S.H., dengan memperkenalkan teori receptio a contrario (Sayuti Thalib, S.H.,.
Menurut teori receptie a contrario yang secara harfiah berarti melawan dari teori receptie
menyatakan bahwa hukum adat berlaku bagi orang Islam kalau hukum adat itu tidak
bertentangan dengan agama Islam. Dengan demikian, dalam teori receptie a contrario,
hukum adat itu baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Bukti berlakunya teori ini diungkapkan Sayuti Thalib dalam Bab Sembilan yang
menjelaskan bahwa hukum perkawinan Islam berlaku penuh dan hukum kewarisan islam
berlaku tetap dengan beberapa penyimpangan. Sementara pada Bab Kesepuluh
menjelaskan hasil penelitian pelaksanaan hukum perkawinan dan kewarisan yang tiba
pada kesimpulan:
a. Bagi orang Islam berlaku hukum Islam;
b. Hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita batin dan
moralnya;
c. Hukum adat berlaku bagi orang Islam kalau tidak bertentangan dengan agama
Islam dan hukum Islam.
Teori Recoin (Receptio Contextual Interpretatio)
Teori Recoin adalah Interpretasi secara kontekstual terhadap teks ayatayat al-
Qur’an.22 Teori ini dikemukakan oleh Afdol, seorang pakar hukum dari Universitas
Airlangga, Surabaya. Menurut Afdol, teori recoin diperlukan untuk melanjutkan teori
receptio in complexu, teori receptie exit, dan teori receptio a contrario yang telah
memberikan landasan teori berlakunya hukum Islam di Indonesia. Lahirnya teori ini
didasarkan pada hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa 88,18 % perkara waris
diputuskan di Pengadilan Negeri berdasarkan hukum Adat. 23 Kecenderungan
masyarakat Islam memilih penerapan hukum Adat dari pada hukum waris Islam, oleh
karena hukum waris Islam dengan menerapkan penafsiran tekstual ternyata secara
empiris dirasakan ketidakadilan. Untuk mengatasi hal tersebut, maka penerapan hukum
waris Islam perlu dilakukan penafsiran teks ayat-ayat alQur’an secara kontekstual.
Dengan dasar pemikiran bahwa hukum yang diciptakan Tuhan bagi manusia pasti
adil, tidak mungkin Tuhan menurunkan aturan hukum yang tidak adil, demikian pula
persoalan waris lakilaki dan perempuan tersebut. Kalau menggunakan interpretasi secara
tekstual, ayat tersebut secara rasional dapat dinilai tidak adil. Berbeda halnya jika ayat
tersebut ditafsirkan secara kontekstual. Pada kasus-kasus tertentu, ayat tersebut dapat
diberi interpretasi bahwa “bagian waris anak perempuan adalah minimal setengah bagian
anak laki-laki.
2. Penggolongan penduduk pada masa kolonial dan hukum yang berlaku saat itu.
Pada jaman Hindia Belanda, dibidang Hukum Perdata pada umumnya dan Hukum
Perdata Waris pada khususnya di jumpai pluralisme hukum. Hal ini terjadi karena
pemerintah Hindia Belanda menurut pasal 163 ayat (1) I.S (Indische Staats Regeling),
penduduk Indonesia dibagi dalam 3 golongan penduduk yaitu 2 :
a. Golongan Eropa
Menurut pasal 163 ayat (2) I.S, yang termasuk golongan Eropa adalah ;
1. Semua warga negara Belanda
2. Orang Eropa
3. Warga negara Jepang
4. Orang-orang yang berasal dari negara lain yang hukum kekeluargaannya sama dengan
hukum keluarga Belanda, terutama azas monogami
5. Keturunan mereka yang tersebut di atas.
b. Golongan Pribumi Menurut pasal 163 ayat (3) I.S, yang termasuk golongan pribumi
adalah :
1. Orang Indonesia asli
2. Mereka yang semula termasuk golongan lain, lalu membaurkan dirinya kedalam orang
Indonesia asli.
c. Golongan Timur Asing Menurut pasal 163 ayat (4) I.S, yang termasuk golongan
Timur Asing adalah mereka yang tidak termasuk dalam golongan Eropa atau Indonesia
asli yaitu :
1. Golongan Timur Asing Tionghoa (Cina)
2. Golongan Timur Asing bukan Tionghoa
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, terdapat berbagai Hukum Perdata yang
berlaku bagi golongan – golongan warga negara di Indonesia. Penggolongan hukum
perdata tersebut adalah :
a. Bagi Bumi Putera berlaku hukum adat, yaitu hukum yang sejak dahulu telah berlaku
di kalangan masyarakat tetapi hukum ini masih berbeda-beda sesuai dengan daerahnya
masing-masing. Disamping hukum adat, terdapat beberapa peraturan undang-undang
yang secara khusus di buat oleh pemerintah Belanda bagi golongan Bumi Putera, yaitu
antara lain :
1. Ordonansi perkawinan bangsa Indonesia kristen (Stb 1933 No. 74)
2. Ordonansi tentang Maskapai Andie Indonesia atau IMA (Stb 1939 No. 509 jo 717)
3. Ordonasi tentang perkumpulan bangsa Indonesia (Stb 1939 No. 570 jo 717)
b. Golongan Eropa Bagi golongan Eropa, berlaku Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dan Kitab UndangUndang Hukum Dagang yang diselaraskan dengan Burgelijk
Wetbook dan Wetbook Van Koophandel yang berlaku di negara Belanda.
c. Golongan Tionghoa (Cina) Bagi golongan Tionghoa, berlaku KUHPerdata dan
KUHD dengan beberapa pengecualian, yaitu mengenai pencatatan sipil, cara-cara
perkawinan, dan pengangkatan anak (Adopsi).
d. Golongan Timur Asing yang bukan berasal dari Tionghoa atau Eropa Bagi
golongan Timur Asing yang bukan berasal dari Tionghoa atau Eropa (seperti : Arab,
India, Pakistan, Mesir dan lain-lain) berlaku sebagian dari KUHPerdata dan KUHD, yaitu
mengenai hukum harta kekayaan, sedangkan hukum waris (tanpa wasiat), hukum
kepribadian dan hukum keluarga berlaku hukum negara mereka sendir