Anda di halaman 1dari 13

1.

Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial


1.1 Kesehatan dan Gizi Masyarakat
Derajat kesehatan antara lain dapat diamati dari beberapa indikator seperti angka
harapan hidup (AHH), angka kematian bayi (AKB), angka kematian balita (AKABA) dan
angka kematian ibu (AKI) waktu melahirkan. Berdasarkan data survai terakhir yang tersedia,
AHH waktu lahir penduduk Indonesia tercatat 65,5 tahun (Inkesra, 1999). Rendahnya AHH
tersebut erat kaitannya dengan masih tingginya AKB, yaitu sebesar 46 per 1000 kelahiran
hidup (Inkesra, 1999), dan AKABA tercatat 63 per 1000 kelahiran hidup (Susenas, 1999).
Angka Kematian Ibu melahirkan (AKI) masih memprihatinkan, yaitu 373 per 100.000
kelahiran hidup (SKRT, 1995).
Status gizi masyarakat dapat diamati dari prevalensi empat masalah gizi utama, yaitu:
kurang energi protein (KEP), anemia gizi besi, gangguan akibat kurang yodium (GAKY), dan
kurang vitamin A (KVA). Kelompok umur yang paling rawan menderita gizi kurang adalah 6
- 23 bulan.
Prevalensi KEP pada anak balita pada 1998 tercatat sekitar 33,4 persen. Sementara
itu, prevalensi gizi buruk pada anak balita tercatat 8,1 persen pada tahun 1999. Anemia gizi
besi pada ibu hamil pada tahun 1995 tercatat 50,9 persen (SKRT, 1995). Tingginya
prevalensi anemia gizi besi pada ibu hamil memberikan kontribusi terhadap masih tingginya
AKI.
Prevalensi GAKY yang diukur dengan Total Goiter Rate (TGR) menunjukkan
penurunan cukup tajam dari 27,7 persen pada tahun 1990 menjadi 9,8 persen pada tahun
1998. Kebutaan karena KVA sudah tidak merupakan masalah kesehatan masyarakat lagi.
Namun masih rendahnya kadar vitamin A dalam darah anak balita saat ini berdampak pada
peningkatan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit infeksi terutama campak dan
diare. Selain itu KVA pada ibu hamil dan balita cenderung meningkat.
Angka kesakitan beberapa penyakit menular cenderung meningkat, seperti penyakit
malaria, tuberculosis (TB), demam berdarah dengue (DBD) dan HIV/AIDS. Jumlah penderita
baru penyakit TB setiap tahunnya sekitar 583 ribu orang dan yang meninggal sekitar 140 ribu
penderita. Walaupun berbagai upaya penanggulangan penyakit TB sudah dilakukan tapi
hasilnya belum memuaskan. Kasus HIV/AIDS terus menunjukkan peningkatan sejak pertama
kali ditemukan (1987) dan pada tahun 2001 (Juni) kasus HIV positif secara kumulatif tercatat
sekitar 1.572 penderita dan AIDS positif mencapai 578 penderita. Selain itu, Indonesia perlu
mewaspadai timbulnya atau masuknya penyakit-penyakit baru yang berpotensi wabah dan
menimbulkan korban seperti Ebola dan radang otak. Beberapa penyakit degeneratif dan
penyakit tidak menular yang berkaitan dengan perubahan gaya hidup juga memperlihatkan
kecenderungan meningkat. Saat ini angka kesakitan dan kematian yang disebabkan berbagai
penyakit berbasis lingkungan seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), diare, penyakit
kulit dan kecacingan juga masih tinggi.
1.2 Kesejahteraan Sosial
Kemiskinan merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya berbagai masalah
kesejahteraan sosial yang tercermin dalam bentuk ketidakmampuan pemenuhan kebutuhan
dasar, keterlantaran, kecacatan dan ketunasosialan. Jumlah penduduk miskin termasuk yang
sangat miskin pada tahun 1999 tercatat sebanyak 37,5 juta jiwa atau 18,17 persen dari jumlah
penduduk Indonesia. Masalah lain yang terkait dengan kemiskinan adalah keterpencilan dan
keterasingan secara geografis dan sosial budaya, yang dialami oleh sekitar 1,1 juta penduduk
Komunitas Adat Terpencil (KAT). KAT tersebut dikhawatirkan akan semakin tertinggal
sebagai akibat perubahan sosial yang terjadi di luar komunitasnya. Masalah kesejahteraan
sosial lainnya yang menonjol adalah keterlantaran dan kecacatan. Berdasarkan hasil Susenas
2000, jumlah anak terlantar dilaporkan sekitar 3,2 juta, sedangkan jumlah lanjut usia terlantar
tercatat sekitar 3,3 juta jiwa. Susenas tahun 2000 juga memperlihatkan bahwa masih terdapat
sekitar 1,5 juta penduduk Indonesia yang mengalami kecacatan.
Pencacahan anak jalanan yang dilakukan pada tahun 1998 di 12 kota besar
mengungkapkan bahwa dari sekitar 40 ribu anak jalanan, 48 persen diantaranya adalah anak-
anak yang baru turun ke jalan mulai tahun 1998. Sebagian besar anak-anak bekerja di jalan
adalah untuk menambah pendapatan keluarga dan menambah biaya sekolah. Hal ini
menunjukkan bahwa alasan ekonomi keluarga merupakan faktor pendorong utama semakin
banyaknya anak-anak yang bekerja di jalan. Sementara itu, perlindungan khusus untuk anak
terutama anak jalanan, anak yang diperlakukan salah, dan pekerja anak agar hak-hak anak
untuk tumbuh dan berkembang belum dapat sepenuhnya terpenuhi. Masalah lain yang
dihadapi dalam pembangunan kesejahteraan sosial adalah dampak krisis mutidimensional
terhadap menurunnya kemampuan organisasi sosial (Orsos) dalam menyelenggarakan
pelayanan sosial.
Masalah HIV/AIDS dan penyalahgunaan narkoba juga menunjukkan peningkatan
yang mengkhawatirkan. Selain mencakup masalah medis, penderita HIV/AIDS dan
penyalahgunaan narkoba seringkali mengalami perlakuan diskriminatif dari keluarga maupun
lingkungannya. Pelayanan sosial dalam bentuk perlindungan khusus bagi mereka agar tetap
dapat memperoleh hak dan melaksanakan kewajibannya sebagai individu, anggota keluarga
dan masyarakat sesuai harkat dan martabatnya juga belum sepenuhnya tersedia.
Dalam kehidupan bermasyarakat, bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman suku
bangsa, etnis, agama dan bahasa. Rentannya interaksi sosial antaretnis, adanya kesenjangan
sosial, kesenjangan pembangunan antarwilayah, rawannya situasi politik dan keamanan, serta
kondisi masyarakat yang mengalami kemiskinan dapat memicu terjadinya kerawanan sosial
dan disintegrasi bangsa.
Selanjutnya, kondisi sosial ekonomi dan politik yang kurang menguntungkan pada
saat ini, dan diperparah dengan masalah bencana alam dan kerusuhan yang terjadi di berbagai
daerah mengakibatkan sebagian penduduk terpaksa mengungsi ke daerah yang lebih aman.
Dengan jumlah pengungsi yang sangat besar dan tersebar di berbagai lokasi, penanganan bagi
mereka agar tetap dapat terjaga kelangsungan hidupnya menjadi beban berat baik bagi
pemerintah maupun masyarakat.
B. Langkah-langkah Kebijakan dan Hasil-hasil yang Dicapai
Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat dan menciptakan ketahanan budaya
nasional yang kokoh, telah ditempuh berbagai langkah kebijakan di berbagai bidang
pembangunan dengan hasil sebagai berikut.
1. Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial
1.1 Program Lingkungan Sehat, Perilaku Sehat, dan Pemberdayaan
Masyarakat
1.1.1 Lingkungan Sehat
Program ini bertujuan untuk mewujudkan mutu lingkungan hidup yang sehat yang
mendukung tumbuh kembang anak dan remaja, memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup
sehat, dan memungkinkan interaksi sosial, serta melindungi masyarakat dari ancaman bahaya
yang berasal dari lingkungan sehingga tercapai derajat kesehatan individu, keluarga, dan
masyarakat yang optimal. Untuk mencapai tujuan tersebut, kegiatan yang dilaksanakan antara
lain : (1) meningkatkan promosi hygiene dan sanitasi di tingkat individu, keluarga, dan
masyarakat; (2) meningkatkan mutu lingkungan perumahan dan permukiman termasuk
pengungsian; (3) meningkatkan hygiene dan sanitasi tempat-tempat umum dan pengelolaan
makanan; (4) meningkatkan kesehatan dan keselamatan kerja; (5) meningkatkan
wilayah/kawasan sehat termasuk kawasan bebas rokok.
Hasil pencapaian program lingkungan sehat pada tahun 2001 antara lain: cakupan
keluarga yang menghuni rumah sehat sekitar 47 persen, cakupan keluarga yang menggunakan
air bersih sekitar 77,5 persen, cakupan keluarga yang menggunakan jamban yang memenuhi
syarat kesehatan sekitar 63 persen, persentase tempat-tempat umum yang memenuhi syarat
kesehatan mencakup sekitar 72,4 persen, dan persentase kawasan sehat mencakup sekitar 25
persen (Tabel VII-1).
1.1.2 Perilaku Sehat dan Pemberdayaan Masyarakat
Tujuan umum program ini adalah memberdayakan individu, keluarga, dan masyarakat
dalam bidang kesehatan untuk memelihara, meningkatkan, dan melindungi kesehatannya
sendiri dan lingkungannya menuju masyarakat yang sehat, mandiri, dan produktif. Untuk
mencapai tujuan tersebut dilaksanakan kegiatan: (1) meningkatkan kepedulian terhadap
perilaku bersih dan sehat; (2) meningkatkan kepedulian terhadap proses perkembangan dini
anak; (3) meningkatkan upaya anti tembakau dan narkotika, psikotropika dan zat adiktif
(NAPZA); (4) meningkatkan pencegahan kecelakaan dan rudapaksa; (5) meningkatkan upaya
kesehatan jiwa masyarakat; (6) memperkuat sistem jaringan dukungan masyarakat sesuai
dengan potensi dan budaya setempat.
Hasil pencapaian program ini pada tahun 2001 antara lain: persentase penduduk
dengan perilaku sehat mencakup sekitar 22 persen; penyebarluasan informasi kesehatan
melalui media massa seperti radio sekitar 199,9 ribu kali, televisi sekitar 2,7 ribu kali, dan
media cetak sekitar 2,6 juta ribu kali; dan persentase posyandu purnama per desa sekitar 25
persen (Tabel VII-1).
1.2 Program Upaya Kesehatan
Tujuan umum program ini adalah meningkatkan pemerataan dan mutu upaya
kesehatan yang berhasil guna dan berdaya guna serta terjangkau oleh segenap anggota
masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut antara lain dilaksanakan kegiatan: (1)
meningkatkan pemberantasan penyakit menular dan imunisasi; (2) meningkatkan
pemberantasan penyakit tidak menular; (3) meningkatkan upaya penyembuhan penyakit dan
pemulihan, yang terdiri dari pelayanan kesehatan dasar dan pelayanan kesehatan rujukan; (4)
meningkatkan pelayanan kesehatan penunjang; (5) membina dan mengembangkan
pengobatan tradisional; (6) meningkatkan pelayanan kesehatan reproduksi; (7) meningkatkan
pelayanan kesehatan matra; (8) mengembangkan survailans epidemiologi; (9) melaksanakan
penanggulangan bencana dan bantuan kemanusiaan.
Dalam kegiatan pencegahan dan pemberantasan penyakit, hasil yang dicapai pada
tahun 2001 antara lain: cakupan Universal Child Immunization (UCI) telah mencapai sekitar
75 persen dari seluruh bayi; angka kesakitan demam berdarah dengue (DBD) pada tahun
2001 tercatat 5,7 per 100.000 penduduk; angka kesakitan malaria 45 per 1.000 penduduk;
angka kesembuhan tuberculosa (TB) tercatat sekitar 85 persen; dan angka kematian diare
pada balita 2,3 per 1.000 balita.
Angka kesakitan dan kematian yang disebabkan berbagai penyakit berbasis
lingkungan seperti infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), diare, penyakit kulit dan
kecacingan masih tinggi dan hal tersebut terkait dengan kondisi lingkungan yang belum
memadai. Beberapa gerakan untuk memperbaiki kualitas lingkungan seperti Gerakan Jum’at
Bersih, Pekan Sanitasi, Kota Sehat, Kali Bersih merupakan hal yang positif dan perlu
dilestarikan.
Dalam kegiatan pelayanan kesehatan dasar dan rujukan, telah dilakukan upaya untuk
menjaga kesinambungan pelayanan rumah sakit dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Berbagai upaya yang dilakukan antara lain pembangunan 2 RS propinsi dan
kabupaten, dan 39 RS swasta. Selain itu, telah dilaksanakan peningkatan kelas RS dari kelas
D ke kelas C sebanyak 1 RS, dan peningkatan dari kelas C ke kelas B non pendidikan
sebanyak 2 RS pada tahun 2000 dan 5 RS pada tahun 2001. Sedangkan akreditasi RS pada
tahun 2000 s/d 2001 dilakukan terhadap 55 RS. Dalam upaya memenuhi kebutuhan tenaga
kesehatan di RS, pada tahun 2000 – 2001 telah dilakukan penempatan dokter ahli (4 keahlian
pokok dan keahlian lainnya) sebanyak 174 orang.
Dalam rangka peningkatan mutu pelayanan rumah sakit telah ditetapkan 13 rumah
sakit menjadi perusahaan jawatan (Perjan). Langkah pertama menetapkan Direksi dan
struktur Rumah Sakit. Direncanakan rumah sakit yang telah ditetapkan menjadi Perjan akan
mulai beroperasi pada tahun 2002.
Dalam rangka pelaksanaan Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/2000, khususnya
mengenai pelayanan kesehatan di daerah pengungsi, telah dilakukan upaya pelayanan
kesehatan dan gizi antara lain melalui program jeda kemanusiaan di Propinsi DI Aceh,
program akselerasi pembangunan kesehatan di Irian Jaya, Maluku dan Maluku Utara, dan
penanganan pengungsi di Jawa Timur. Pelayanan kesehatan dan gizi yang diberikan antara
lain meliputi: surveilans epidemiologi, perbaikan kualitas air bersih, pengadaan obat-obatan,
penggantian vaksin yang rusak, penyemprotan fokus demam berdarah, penanganan penderita
gawat darurat, operasi katarak dan bibir sumbing, khitanan massal, bantuan uang lauk pauk
dan beras, pengadaan peralatan RS, peralatan pelayanan dasar bagi puskesmas, pengadaan
kapal untuk transportasi daerah terpencil, pendayagunaan tenaga pelayanan kesehatan seperti
Dokter Spesialis, Dokter Umum, Dokter Gigi dan Paramedis.
Hasil pencapaian program upaya kesehatan pada tahun 2001 antara lain: persentase
rujukan pelayanan kesehatan dasar ke rumah sakit mencakup sekitar 15 persen; pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan sebesar 68,5 persen; cakupan antenatal sekitar 78,5 persen,
postnatal dan neonatal sekitar 76,5 persen (Tabel VII-2) .
1.3 Program Perbaikan Gizi Masyarakat
Tujuan umum program ini adalah untuk meningkatkan intelektualitas dan
produktivitas sumber daya manusia, sedangkan tujuan khusus adalah: (1) meningkatkan
kemandirian keluarga dalam upaya perbaikan status gizi; (2) meningkatkan pelayanan gizi
untuk mencapai keadaan gizi yang baik dengan menurunkan prevalensi gizi kurang dan gizi
lebih; (3) meningkatkan penganekaragaman konsumsi pangan bermutu untuk memantapkan
ketahanan pangan tingkat rumah tangga. Kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan
tersebut antara lain: (1) meningkatkan penyuluhan gizi masyarakat; (2) menanggulangi gizi
kurang dan menekan kejadian gizi buruk pada balita serta menanggulangi kurang energi
kronik (KEK) pada wanita usia subur termasuk ibu hamil dan ibu nifas; (3) menanggulangi
gangguan akibat kurang yodium (GAKY); (4) menanggulangi anemia gizi besi (AGB); (5)
menanggulangi kurang vitamin A (KVA); (6) meningkatkan penanggulangan kurang gizi
mikro lainnya (misalnya calsium, zink, dsb); (7) meningkatkan penanggulangan gizi lebih; (8)
melaksanakan fortifikasi dan keamanan pangan; (9) memantapkan pelaksanaan sistem
kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG); (10) mengembangkan dan membina tenaga gizi; (11)
melaksanakan penelitian dan pengembangan gizi; (12) melaksanakan perbaikan gizi institusi
(misalnya sekolah, RS, perusahaan, dan sebagainya); (13) melaksanakan perbaikan gizi
akibat dampak sosial, pengungsian, dan bencana alam.
Peningkatan status gizi masyarakat, terutama pada wanita dan anak balita terus
dilakukan. Pada tahun 2000 penanggulangan GAKY dilaksanakan di 272 kecamatan endemik
berat (20 Kabupaten) dan 197 kecamatan endemik sedang (36 kabupaten/kota). Selain itu
melalui program JPS-BK, khususnya kegiatan perbaikan gizi, telah dilakukan pemberian
makanan tambahan berupa makanan pendamping (MP) ASI terhadap sekitar 401,3 ribu bayi
berusia 6-11 bulan, 1 juta anak usia 12-23 bulan, 1,8 juta anak balita dan 383,7 ribu ibu
hamil/ibu nifas Kurang Energi Kronik (KEK). Peran serta masyarakat juga ditingkatkan
antara lain melalui kegiatan revitalisasi posyandu agar mampu menunjang penyelenggaraan
pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil, ibu nifas, bayi dan anak di bawah usia dua
tahun.
Hasil pencapaian program perbaikan gizi pada tahun 2001 antara lain: persentase
wanita usia subur dan anak sekolah di kecamatan endemik yang mendapat kapsul yodium
mencakup sekitar 40 persen; persentase ibu hamil yang mendapat tablet besi 49 persen;
persentase bayi dan balita yang mendapat vitamin A sebesar 65 persen; dan persentase
keluarga yang mengkonsumsi garam beryodium sekitar 65 persen (Tabel VII-3).
1.4 Program Sumber Daya Kesehatan
Program ini bertujuan untuk (1) meningkatkan jumlah, mutu dan penyebaran tenaga
kesehatan; (2) meningkatkan jumlah, efektivitas, dan efisiensi penggunaan biaya kesehatan;
(3) meningkatkan ketersediaan sarana, prasarana, dan dukungan logistik pada sarana
pelayanan kesehatan yang semakin merata, terjangkau, dan dimanfaatkan oleh masyarakat.
Untuk mencapai tujuan tersebut, kegiatan yang dilaksanakan adalah: (1) meningkatkan
perencanaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan; (2) meningkatkan pendidikan dan
pelatihan tenaga kesehatan; (3) mengembangkan sistem pembiayaan praupaya; (4)
mengembangkan sarana, prasarana, dan dukungan logistik pelayanan kesehatan.
Kegiatan perencanaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan antara lain telah
dilaksanakan melalui 18 jenis program pendidikan tenaga kesehatan dengan jumlah institusi
sebanyak 866 buah terdiri dari 287 Jenjang Pendidikan Menengah (JPM) dan 579 Jenjang
Pendidikan Tinggi (JPT).
Pada tahun 2000 jumlah lulusan tenaga kesehatan yang dihasilkan mencapai sekitar
38,4 ribu orang, terdiri dari sekitar 20,8 ribu orang tenaga lulusan jenjang pendidikan tinggi
(Diploma 3) dan 17,6 ribu orang tenaga lulusan dari jenjang pendidikan menengah. Selain itu
telah dilakukan akreditasi terhadap institusi pendidikan tenaga kesehatan sebanyak 575
institusi. Upaya untuk meningkatkan pendidikan tenaga guru/dosen dilakukan melalui tugas
belajar dan pelatihan fungsional.
Dalam menunjang pelaksanaan desentralisasi, telah dilatih sebanyak 2.175 orang
tenaga kesehatan, meliputi bidang manajemen dan kepemimpinan 165 orang, teknis
administrasi 900 orang, jabatan fungsional 900 orang dan pelatihan bagi pelatih sebanyak 210
orang.
Dalam upaya mengembangkan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan dasar, telah
dilakukan upaya peningkatan pemeliharaan sarana kesehatan yang ada agar tetap dapat
berfungsi dengan baik. Dewasa ini terdapat sekitar 7,2 ribu puskesmas, 21 ribu puskesmas
pembantu dan 6,8 ribu puskesmas keliling. Dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan
puskesmas, sekitar 1,7 ribu puskesmas telah ditingkatkan fungsinya menjadi puskesmas
perawatan dengan sarana tempat tidur. Puskesmas perawatan ini terutama dikembangkan di
lokasi-lokasi yang jauh dari Rumah Sakit, jalur-jalur jalan raya yang rawan kecelakaan dan di
daerah-daerah atau pulau-pulau terpencil.
Pelaksanaan pelayanan kesehatan ibu dan anak melalui puskesmas dan puskesmas
pembantu makin efektif dengan penempatan bidan di desa yang secara kumulatif sampai
tahun 2000 bidan yang telah ditempatkan di desa berjumlah sekitar 67 ribu orang. Upaya
peningkatan pemerataan pelayanan kesehatan dasar, utamanya pelayanan kesehatan ibu dan
anak termasuk imunisasi dan perbaikan gizi juga ditunjang dengan dukungan peran serta
masyarakat dalam bentuk posyandu dan pondok persalinan desa (polindes) yang sampai
tahun 2000 telah berjumlah masing-masing 243,7 ribu posyandu dan 15,8 ribu polindes.
Hasil pencapaian program ini pada tahun 2001 antara lain: jumlah Badan Pelaksana
Sistem Pembiayaan Kesehatan Praupaya yang berijin sebanyak 24 institusi; jumlah
pendidikan dan pelatihan kesehatan yang terakreditasi sebanyak 611 institusi; dan jumlah
tenaga kesehatan yang dilatih teknis fungsional mencapai sekitar 39,6 ribu orang (Tabel VII-
4) .
1.5 Program Obat, Makanan, dan Bahan Berbahaya
Program ini bertujuan untuk: (1) melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan
dan kesalahgunaan obat, narkotika, psikotropika, zat adiktif (NAPZA), dan bahan berbahaya
yang lain; (2) melindungi masyarakat dari penggunaan sediaan farmasi, makanan dan alat
kesehatan (farmakes) yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan; (3) menjamin
ketersediaan, keterjangkauan, dan pemerataan obat yang bermutu yang dibutuhkan
masyarakat; dan (4) meningkatkan potensi daya saing industri farmasi terutama yang berbasis
sumber daya alam dalam negeri. Untuk mencapai tujuan tersebut telah dilaksanakan kegiatan:
(1) meningkatkan pengamanan bahaya penyalahgunaan dan kesalahgunaan obat, narkotika,
psikotropika, zat adiktif, dan bahan berbahaya lainnya; (2) meningkatkan pengamanan dan
pengawasan makanan dan bahan tambahan makanan (BTM); (3) meningkatkan pengawasan
obat, obat tradisional, kosmetika, dan alat kesehatan termasuk pengawasan terhadap promosi/
iklan; (4) meningkatkan penggunaan obat rasional; (5) menerapkan obat esensial; (6)
mengembangkan obat asli Indonesia; (7) membina dan mengembangkan industri farmasi; (8)
meningkatkan mutu pengujian laboratorium pengawasan obat dan makanan (POM); (9)
mengembangkan standar mutu obat dan makanan; (10) mengembangkan sistem dan layanan
informasi POM.
Penyediaan obat esensial pada unit pelayanan kesehatan dasar sejak tahun 2000
dilaksanakan oleh masing-masing kabupaten/kota. Di tingkat pusat hanya disediakan obat
dan alat kesehatan sebagai buffer stock, yang digunakan pada keadaan emergensi terutama
untuk penanggulangan bencana, kerusuhan dan pengungsi.
Untuk mempertahankan kesinambungan dalam penyediaan dan ketersediaan obat
generik dengan harga terjangkau selama masa krisis agar dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat, maka pada tahun 2000 telah diberikan subsidi untuk pengadaan bahan baku obat
melalui mekanisme pemberian subsidi terhadap selisih kurs pembelian bahan baku obat.
Hasil pencapaian program ini pada tahun 2001 antara lain: persentase cakupan
pemeriksaan sarana pelayanan kesehatan mencapai 12,2 persen; proporsi kasus
penyalahgunaan obat dan NAPZA dengan tindak lanjut pengamanan sebesar 90 persen dan
persentase cakupan pemeriksaan sarana produksi distribusi farmakes dalam rangka Good
Manufacturing Practices (GMP) 40 persen. Jumlah iklan yang berhasil diawasi sebanyak
1.600 iklan; jumlah laboratorium pengujian obat dan makanan yang terakreditasi sebanyak 8
unit; jumlah sarana produksi bahan baku farmasi termasuk Obat Asli Indonesia yang dibina
mencakup 10 persen, dan jumlah kabupaten/kota yang kekurangan stok obat lebih dari 3 item
selama lebih dari 3 bulan menurun menjadi 10 persen (Tabel VII-5).
1.6 Program Kebijakan dan Manajemen Pembangunan Kesehatan
Untuk penyelenggaraan upaya kesehatan sesuai dengan tujuan, kebijakan, dan strategi
yang telah ditetapkan dibutuhkan kebijakan dan manajemen sumber daya yang efektif dan
efisien yang didukung dengan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan sehingga dapat
tercapai pelayanan kesehatan yang merata dan berkualitas.Untuk mencapai tujuan tersebut,
kegiatan yang dilaksanakan adalah: (1) mengembangkan kebijakan program kesehatan; (2)
mengembangkan manajemen pembangunan kesehatan; (3) mengembangkan dan
menyempurnakan hukum kesehatan; (4) mengembangkan sistem informasi kesehatan; (5)
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan.
Dalam upaya mengembangkan hukum kesehatan, pada tahun 2000 telah dilakukan
penyusunan 1 RUU, 1 RPP, 2 Keppres, 27 Permenkes/Kepmenkes, dan 7 SKB. Sedangkan,
untuk mengembangkan sistem informasi kesehatan nasional, telah dilakukan kegiatan antara
lain: (1) integrasi sistem-sistem informasi kesehatan yang ada, (2) penyederhanaan dan
integrasi pencatatan dan pelaporan data, (3) peningkatan kemampuan daerah dalam
pengembangan sistem informasi kesehatan (SIK), (4) pengembangan sumber daya,
khususnya melalui penerapan dan pemeliharaan teknologi informatika serta pengembangan
tenaga pengelola SIK, dan (5) pengembangan pelayanan data dan informasi baik untuk para
manajer maupun untuk masyarakat.
Dalam upaya mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan, telah
dilakukan berbagai kegiatan penelitian dan pengembangan kesehatan. Selain itu, pada tahun
2001 telah dilaksanakan Survai Kesehatan Nasional (Surkesnas) yang merupakan kegiatan
antar lembaga/ instansi dan berkesinambungan tiap tahun (multi year and multi institution
activities). Surkesnas meliputi kegiatan pengembangan modul kesehatan dan pengumpulan
data kesehatan melalui Survai Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), kegiatan Survai
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) dengan komponen studi morbiditas, studi mortalitas dan
studi tindak lanjut (follow up) ibu hamil dan kegiatan Survai Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) komponen kesehatan ibu dan anak.
Hasil pencapaian program ini pada tahun 2001 antara lain: tersedianya sistem
informasi kesehatan kabupaten/kota dan propinsi pada 27 propinsi; 38 buah produk hukum
bidang kesehatan yang ditetapkan; dan 110 penelitian di bidang kesehatan (Tabel VII-6).
1.7 Program Pengembangan Potensi Kesejahteraan Sosial
Tujuan program ini adalah untuk mengembangkan kesadaran, kemampuan, tanggung
jawab, dan peran aktif masyarakat dalam menangani permasalahan sosial di lingkungannya,
serta memperbaiki kualitas hidup, dan kesejahteraan penyandang masalah kesejahteraan
sosial.
Untuk mencapai tujuan tersebut langkah-langkah kebijakan yang telah ditempuh
adalah meningkatkan dan memperluas pelayanan kesejahteraan sosial terutama bagi
penduduk miskin, anak dan lanjut usia terlantar, anak jalanan, penyandang cacat, tuna sosial,
serta korban bencana alam dan kerusuhan. Di samping itu, juga terus dilakukan berbagai
upaya untuk lebih meningkatkan partisipasi masyarakat terutama dunia usaha untuk
mendukung pelayanan baik yang dilakukan oleh pemerintah utamanya pemerintah daerah
maupun masyarakat.
Pada tahun 2000 pelayanan sosial bagi anak terlantar telah diberikan bagi 133.844
anak terlantar yang dilakukan antara lain melalui pemberian santunan hidup dan pendidikan
bagi anak dalam panti, serta pemberian keterampilan dan modal usaha bagi anak terlantar
yang tinggal bersama keluarganya. Agar panti sosial milik masyarakat dapat
mempertahankan pelayanan sosialnya diberikan pula bantuan biaya operasional yang dapat
digunakan untuk biaya pendidikan anak asuhnya maupun biaya operasional panti.
Meningkatnya jumlah anak jalanan di perkotaan, yang merupakan bagian dari
populasi anak terlantar, juga membutuhkan prioritas penanganan. Penanganan anak jalanan
diberikan melalui media Rumah Singgah yang diselenggarakan bekerja sama dengan
Lembaga Sosial Masyarakat (LSM)/organisasi sosial, yang telah memiliki pengalaman
memberikan pelayanan serupa. Untuk itu, telah diberikan pelayanan sosial bagi 31.635 anak
jalanan di kota-kota besar berupa bimbingan sosial dan budi pekerti, bantuan makanan,
beasiswa, pelayanan kesehatan, pelatihan keterampilan dan pelayanan-pelayanan rujukan lain
yang diperlukan. Pelayanan sosial ini bertujuan untuk memberikan alternatif kegiatan bagi
anak-anak jalanan agar waktu yang dihabiskan di jalan semakin berkurang, dan diharapkan
dengan modal keterampilan yang dimiliki atau tetap terpeliharanya kelangsungan pendidikan
mereka, pada akhirnya anak-anak tersebut dapat meninggalkan kehidupan di jalan dan hidup
kembali bersama keluarganya. Menyadari bahwa permasalahan sebagian besar anak jalanan
adalah ketidakmampuan orang tua dalam memenuhi kebutuhan anak, maka sasaran
pelayanan juga menjangkau orang tua anak jalanan, melalui pemberdayaan orang tua.
Dengan besarnya jumlah anak jalanan, anak yang diperlakukan salah, dan pekerja
anak, telah mulai dilaksanakan sosialisasi tentang hak-hak anak meliputi tumbuh kembang,
kelangsungan hidup dan perlindungan di 13 propinsi.
Selanjutnya telah pula diberikan bantuan dan penyantunan bagi 12.475 lanjut usia
terlantar baik di dalam maupun di luar panti. Bagi lanjut usia terlantar yang masih produktif,
diberikan bantuan modal usaha. Dana bantuan operasional diberikan pula secara langsung
bagi panti lanjut usia milik masyarakat yang mengalami kesulitan pendanaan, agar
kelangsungan penyelenggaraan pelayanan sosial bagi lanjut usia terlantar dapat terpelihara.
Pelayanan dan rehabilitasi sosial juga diberikan kepada 12.887 orang penyandang
cacat, baik yang berada di dalam panti maupun di lingkungan keluarga. Bantuan pelayanan
dan rehabilitasi sosial tersebut ditujukan untuk memulihkan harga diri dan martabat mereka
sehingga mereka dapat melaksanakan peran dan fungsi sosialnya secara wajar dan produktif.
Selain itu, diupayakan pula bagi mereka kemudahan untuk mengakses fasilitas umum.
Sedangkan pelayanan sosial bagi tuna sosial telah diberikan bagi 11.634 orang termasuk bagi
tuna susila, pengemis, gelandangan, eks narapidana, penderita HIV/AIDS dan korban tindak
pidana kekerasan.
Sementara itu, penanganan anak nakal dan korban penyalahgunaan narkoba ditangani
melalui upaya pencegahan, pelayanan dan rehabilitasi sosial yang dilaksanakan di dalam
panti dan luar panti dengan sasaran tercegahnya, pulih dan berdayanya para penyandang
tersebut sehingga dapat menjadi sumber daya yang berkualitas dan produktif. Jumlah korban
penyalahgunaan narkoba dan anak nakal yang ditangani sebanyak 3.380 orang.
Usaha pemberdayaan terhadap Komunitas Adat Terpencil (KAT) terus diupayakan
agar secara bertahap kualitas hidup mereka dapat meningkat. KAT yang memperoleh
pemberdayaan sebanyak 9.763 KK.
Salah satu upaya pencegahan terhadap terus berkembangnya masalah-masalah sosial
yang disebabkan oleh kemiskinan seperti keterlantaran dan tuna sosial dilakukan melalui
pemberdayaan bagi keluarga miskin (fakir miskin). Pemberdayaan keluarga sangat miskin
dilaksanakan melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE) bagi 5.072 KUBE atau 50.720
keluarga, dengan kegiatan antara lain seleksi, bimbingan motivasi, pembentukan dan
pemantapan KUBE, dan pemberian bantuan sarana usaha yang sesuai dengan pelatihan
keterampilan yang telah diperoleh. Agar KUBE dapat berjalan dengan baik, pendampingan
bagi kelompok-kelompok tersebut dilakukan oleh Petugas Sosial Kecamatan (PSK).
Diharapkan melalui penanganan yang menyeluruh dan terpadu, dapat dikurangi timbulnya
masalah-masalah seperti anak terlantar dan lanjut usia.
Dalam rangka penanganan pengungsi yang bersifat konsepsional dan menyeluruh,
bagi para pengungsi diberikan bantuan tanggap darurat di lokasi pengungsian dan
permukiman kembali para pengungsi baik di tempat asal maupun baru sebagai bagian dari
pemberian jaminan sosial dan jaminan keamanan. Bantuan tanggap darurat dilakukan dengan
cara memberikan bantuan pangan berupa beras dan lauk pauk bagi rata-rata 1.000.000
jiwa/bulan yang tersebar di 19 propinsi. Selain itu, bagi para pengungsi juga diberikan
pelayanan kesehatan dasar termasuk pencegahan dan pemberantasan penyakit, penyediaan
sarana air bersih dan sanitasi, serta perbaikan gizi melalui pemberian makanan tambahan.
Selanjutnya, penyediaan kesempatan belajar juga diberikan bagi pengungsi anak melalui
pendidikan umum dan alternatif di daerah lokasi/daerah pengungsian, bantuan bahan ajar dan
perlengkapan siswa, serta paket pelatihan. Penanganan pengungsi ini dilakukan bersama-
sama antara pemerintah baik pusat dan daerah bersama-sama masyarakat. Keseluruhan
penanganan pengungsi dikoordinir oleh Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan
Bencana (Bakornas PB).
Dalam menanggulangi dampak sosial dari krisis multidimensional, terutama bagi
kelompok rentan, keberadaan organisasi sosial (Orsos) menjadi sangat strategis. Orsos
mampu memberikan pelayanan atas dasar sikap ikhlas, pengabdian, kepedulian dan
penghargaan kepada sesama manusia yang bentuk perwujudannya adalah upaya menolong
dan membantu tanpa pamrih. Motivasi seperti ini menumbuhkan kekuatan yang mengakar
pada masyarakat. Mereka tumbuh di tengah-tengah masyarakat, berusaha memahami
persoalan yang ada, mengerti yang dibutuhkan sehingga mereka juga dapat memberikan
pertolongan dan bantuan baik yang bersifat penyelamatan maupun pemulihan kondisi
kesejahteraan sosial dalam suatu krisis. Orsos yang telah menerima bantuan pemberdayaan
berupa pelatihan dan paket-paket usaha agar kinerja Orsos dapat terus ditingkatkan yaitu
sebanyak 572 Orsos dan 1.561 Karang Taruna.
Dalam upaya memberikan kesejahteraan dan pemenuhan jaminan sosial yang dapat
menyentuh seluruh warga negara telah dilakukan upaya penyempurnaan sistem jaminan
sosial nasional secara terpadu dan terkoordinasi agar setiap warga negara Indonesia mendapat
hak atas kesejahteraan sosial yang sebaik-baiknya melalui program sistem jaminan sosial
yang menyeluruh terutama untuk keluarga, masyarakat miskin, pekerja sektor informal,
petani, nelayan, masyarakat yang terkena musibah/bencana dan penyandang masalah sosial
lainnya melalui penelaahan, pengkajian dan perumusan kebijakan dan langkah-langkah dalam
rangka penyelenggaraan program sistem jaminan sosial nasional yang meliputi baik aspek
kelembagaan, program, perundang-undangan, pendanaan maupun aspek pelaksanaan lainnya.
Khusus untuk sistem jaminan dan asuransi kesejahteraan sosial telah dilakukan uji coba dan
penyusunan pedoman pelaksanaan sistem jaminan dan asuransi kesejahteraan sosial.
1.8 Program Peningkatan Kualitas Manajemen dan Profesionalisme
Pelayanan Sosial
Program ini bertujuan untuk meningkatkan mutu dan profesionalisme pelayanan
sosial melalui pengembangan alternatif-alternatif intervensi di bidang kesejahteraan sosial,
peningkatan kemampuan dan kompetensi pekerja sosial dan tenaga kesejahteraan sosial
masyarakat, serta penetapan standardisasi dan legislasi pelayanan sosial.
Untuk mencapai tujuan tersebut, langkah-langkah kebijakan yang telah ditempuh
adalah meningkatkan profesionalisme pelayanan sosial baik yang dilaksanakan oleh
pemerintah, masyarakat dan dunia usaha terhadap penyandang masalah kesejahteraan sosial,
serta meningkatkan kualitas manajemen pelayanan sosial.
Dalam rangka meningkatkan mutu dan profesionalisme pelayanan sosial telah
dilakukan berbagai kegiatan antara lain melalui pendidikan tugas belajar program S2 bagi 36
orang dan program S3 sebanyak 5 orang pekerja kesejahteraan sosial untuk bidang ilmu
sosial, sosiologi pembangunan dan psikologi. Di samping itu, telah dilakukan pula pelatihan
teknis maupun fungsional bagi 150 pegawai Dinas Sosial yang tersebar di 26 propinsi.
Selanjutnya, untuk mendukung pengembangan kebijakan dan program di bidang
kesejahteraan sosial telah dilakukan beberapa penelitian antara lain mengenai pengembangan
standarisasi dan pedoman kompetensi SDM dalam rangka meningkatkan kinerja lembaga
pelayanan kesejahteraan sosial; sosialisasi Lembaga Sosial Kemasyarakatan antaretnis dan
pola hubungan antarkelompok etnis dan penelitian tentang sistem penanggulangan
kesenjangan sosial. Selain itu, telah dilakukan pula penyusunan Standarisasi Panti Sosial
sebagai pedoman bagi penyelenggara Panti Sosial baik oleh pemerintah maupun masyarakat.
Dalam upaya menciptakan landasan pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial
yang semakin mantap dan mapan, telah dilakukan penyusunan 3 naskah akademis peraturan
perundang-undangan di bidang kesejahteraan sosial antara lain naskah akademis Rancangan
Undang-undang (RUU) tentang Perlindungan Anak, RUU tentang Pengentasan Fakir Miskin
dan RUU tentang Undian.
1.9 Program Pengembangan Keserasian Kebijakan Publik dalam
Penanganan Masalah-masalah Sosial
Program ini bertujuan untuk mewujudkan keserasian kebijakan publik dalam
penanganan masalah-masalah sosial masyarakat dan terlindunginya masyarakat dari dampak
penyelenggaraan pembangunan dan perubahan sosial yang cepat melalui wadah jaringan
kerja.
Untuk mencapai tujuan tersebut, langkah-langkah kebijakan yang telah ditempuh
adalah menyelesaikan masalah-masalah mendesak yang dilakukan melalui koordinasi dengan
instansi terkait terutama untuk masalah pengungsi, kerusuhan, dan disintegrasi bangsa.
Penanganan masalah disintegrasi bangsa menyangkut berbagai aspek kehidupan
manusia, dan penanganan secara komprehensif memerlukan waktu yang panjang. Berkaitan
dengan hal tersebut telah selesai dirumuskan kebijakan pengembangan integrasi bangsa di
kalangan pelajar dan pemuda melalui pengenalan wawasan nusantara dengan melibatkan
berbagai unsur pemerintah, LSM dan masyarakat termasuk dunia usaha.
Di samping itu, dalam upaya mendorong masyarakat dan dunia usaha agar ikut serta
menyelenggarakan pelayanan sosial yang berkelanjutan untuk penanganan masalah-masalah
kemasyarakatan, telah selesai dirumuskan kebijakan mengenai sumbangan sosial masyarakat
melalui media massa dan tanggung jawab sosial dunia usaha.
Untuk penanganan pengungsi akibat bencana alam dan kerusuhan telah selesai
dirumuskan kebijakan mengenai pola penyelesaian masalah pengungsi dan perumusan
kebijakan dasar masalah pengungsi anak. Demikian pula untuk penanganan masalah narkoba
yang terus meningkat baik dilihat dari jumlah korbannya maupun kualitas
penyalahgunaannya telah dilakukan perumusan kebijakan mengenai strategi penanggulangan
penyalahgunaan narkoba.
1.10 Program Pengembangan Sistem Informasi Masalah-masalah Sosial
Program ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis data dan informasi yang
diperlukan untuk bahan penentuan kebijakan masalah-masalah sosial, membangun sistem
informasi yang diperlukan sebagai alat peringatan dini, dan meningkatkan fungsi dan
koordinasi jaringan informasi kelembagaan dalam upaya pembentukan keterpaduan
pengendalian masalah-masalah sosial. Tujuan lain program ini adalah untuk menyediakan
data dan informasi yang benar dan bertanggung jawab kepada masyarakat dan dunia usaha
tentang: (1) perkembangan masalah menyangkut aspek sosial, politik, ekonomi, dan budaya;
(2) modal sosial yang dimiliki masyarakat dan dunia usaha serta sumber daya ekonomi; dan
(3) perkembangan masalah-masalah sosial itu sendiri.
Untuk mencapai tujuan tersebut, langkah-langkah kebijakan yang telah ditempuh
adalah membangun pusat informasi dan layanan masyarakat antara lain untuk
mengakomodasi masyarakat yang makin berkembang.
Dalam rangka penyediaan data dan informasi masalah-masalah kemasyarakatan masih
terus dilanjutkan pengembangan sistem informasi dan pengelolaan informasi masalah-
masalah kemasyarakatan. Selanjutnya, telah dilakukan juga pengkajian berbagai masalah
laten bangsa bekerja sama dengan berbagai universitas dan lembaga penelitian.
1.11 Program Pengembangan dan Keserasian Kebijakan Kependudukan
Program pengembangan dan keserasian kebijakan kependudukan bertujuan untuk
mewujudkan keserasian kebijakan kependudukan di berbagai bidang pembangunan. Dalam
rangka mencapai tujuan program tersebut ditempuh langkah-langkah kebijakan antara lain:
(1) meningkatkan kualitas penduduk yang meliputi peningkatan kualitas kehidupan
beragama, pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial-budaya, dan peningkatan sektor terkait
lainnya; (2) mengendalikan pertumbuhan dan kuantitas penduduk; (3) melakukan
pengarahan mobilitas dan persebaran penduduk sehingga penduduk tidak terkonsentrasi pada
wilayah-wilayah tertentu; dan (4) mengembangkan sistem administrasi kependudukan.
Kebijakan tersebut diselenggarakan melalui program pembangunan lintas bidang dan lintas
sektor serta pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Hasil pelaksanaan yang dicapai pada tahun 2000 di bidang kebijakan pengendalian
kuantitas penduduk adalah penetapan jumlah, struktur dan komposisi penduduk Indonesia
tahun 2000–2005 serta beberapa makalah kebijakan tentang pengendalian pertumbuhan
penduduk dan pembangunan berkelanjutan. Sedangkan di bidang kebijakan kualitas
penduduk telah dicapai antara lain adalah: pembakuan indikator kependudukan strategis yang
dapat memberikan bahan pertimbangan penentuan skala prioritas dalam perencanaan
pembangunan yang berwawasan kependudukan; pengembangan pola asuh anak dalam
keluarga; serta pedoman peningkatan kualitas anak balita. Di samping itu, telah dirumuskan
pula makalah kebijakan mengenai peningkatan kesehatan reproduksi remaja, penurunan
morbiditas dan mortalitas bayi, balita, ibu hamil, dan ibu melahirkan. Di bidang persebaran
dan mobilitas penduduk telah dilaksanakan beberapa kajian dan studi kebijakan persebaran
dan mobilitas penduduk, tata ruang, daya dukung dan daya tampung lingkungan. Dalam
upaya mendukung administrasi kependudukan yang tertib, telah disusun RUU tentang
Adminstrasi Kependudukan serta pelaksanaan uji coba sistim pendaftaran dan pencatatan
penduduk.
1.12 Program Pemberdayaan Keluarga
Program ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan ketahanan keluarga
sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat. Langkah-langkah kebijakan dalam program ini
diarahkan pada penyadaran dan peningkatan kemampuan keluarga dalam memenuhi
kebutuhan dasar, sosial dan psikologisnya. Langkah kebijakan tersebut meliputi: (1)
menyelenggarakan pelayanan advokasi, komunikasi, edukasi, informasi (KIE) dan konseling
mengenai pengasuhan dan penumbuhkembangan anak serta akses sumber daya ekonomi; (2)
mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan kewirausahaan bagi keluarga terutama
keluarga Pra-KS dan KS I; (3) menyelenggarakan pelayanan pembinaan ketahanan keluarga
khususnya bagi keluarga yang memiliki balita dan remaja; dan (4) melakukan penataan dan
melaksanakan pendataan keluarga.
Hasil yang dicapai dalam program ini pada tahun 2000 adalah jumlah keluarga
terutama keluarga Pra-KS dan KS I yang dapat mengakses informasi dan sumber daya
ekonomi bagi peningkatan kesejahteraan keluarga mencapai sekitar 12,6 juta keluarga.
Selain itu, langkah kebijakan ini juga telah menghasilkan data keluarga.
1.13 Program Kesehatan Reproduksi Remaja
Program ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku positif
remaja tentang kesehatan reproduksi dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan
reproduksinya dan mempersiapkan kehidupan berkeluarga guna mendukung upaya
peningkatan kualitas generasi mendatang. Langkah-langkah kebijakan yang ditempuh adalah:
(1) melaksanakan promosi kesehatan reproduksi bagi remaja, baik yang bersifat pencegahan
maupun penanggulangan; (2) melakukan advokasi, komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE)
dan konseling reproduksi bagi remaja, keluarga dan masyarakat; (3) menyelenggarakan
promosi pendewasaan usia kawin; dan (4) melaksanakan perintisan konseling kesehatan
reproduksi bagi remaja termasuk bagi remaja yang hidup dan bekerja di jalan.
Pelaksanaan langkah-langkah kebijakan ini mampu meningkatkan kepedulian dan
peran aktif remaja, masyarakat dan dunia pers dalam aspek kesehatan reproduksi. Pusat-pusat
konseling kesehatan remaja juga semakin meningkat kualitas dan jumlahnya. Pada tahun
2001 jumlah pusat konseling kesehatan reproduksi bagi remaja mencapai 65 pusat.

1.14 Program Keluarga Berencana (KB)


Program KB bertujuan untuk memenuhi permintaan pelayanan KB dan kesehatan
reproduksi yang berkualitas serta mengendalikan angka kelahiran yang pada akhirnya
meningkatkan kualitas penduduk dan mewujudkan keluarga-keluarga kecil berkualitas.
Langkah-langkah kebijakan yang ditempuh adalah: (1) mengintegrasikan program KB dalam
kerangka pemenuhan hak-hak reproduksi dan kesehatan reproduksi, serta kesetaraan gender
termasuk diantaranya adalah promosi, advokasi, komunikasi, informasi dan edukasi (KIE),
dan konseling tentang pemenuhan hak-hak dan kesehatan reproduksi; (2) meningkatkan mutu
pelayanan program KB yang menuju pada pencapaian standar yang ditetapkan dan
berorientasi kepada kepuasan publik/klien, antara lain melalui peningkatan kualitas lembaga
pelayanan KB dan kesehatan reproduksi dan peningkatan profesionalisme sumber daya
manusia pada lembaga pelayanan KB; (3) menyediakan alat dan obat serta pelayanan KB
yang bermutu termasuk kontrasepsi mantap bagi laki-laki dan perempuan serta pencabutan
alat kontrasepsi susuk secara cuma-cuma bagi keluarga Pra-KS dan KS I; (4) menyediakan
jaminan dan perlindungan bagi peserta KB yang diprioritaskan pada penanggulangan efek
samping secara medis; (5) melakukan pelatihan, pengkajian, dan penelitian operasional KB
serta mengembangkan sistim informasi manajemen program KB, dan (6) melakukan
penajaman segmentasi peserta KB yaitu kelompok peserta KB dilayani secara luwes dengan
memperhatikan aspek sosial ekonomi, adat istiadat/agama, ciri-ciri demografis dan geografis.
Melalui pelaksanaan langkah-langkah kebijakan ini, pada tahun 2000 program KB
mampu memberikan pelayanan KB bagi 3.625.753 peserta KB baru dan 25.537.657 peserta
KB aktif. Dengan kemampuan pelayanan KB tersebut, persentase pasangan usia subur (PUS)
yang ingin menjadi peserta KB namun tidak terlayani KB (unmet need) pada tahun 2001,
diproyeksikan sebesar 8,7 persen.
1.15 Program Penguatan Kelembagaan dan Jaringan KB
Program ini bertujuan untuk meningkatkan kemandirian dan sekaligus meningkatkan
cakupan dan mutu pelayanan KB dan kesehatan reproduksi. Langkah-langkah kebijakan
dalam program ini meliputi: (1) meningkatkan kapasitas kelembagaan KB dalam rangka
desentralisasi; (2) melaksanakan pelatihan dan bimbingan pelayanan dan manajemen KB dan
kesehatan reproduksi bagi institusi dan lembaga berbasiskan masyarakat yang
menyelenggarakan pelayanan KB; (3) menyediakan dukungan manajemen KB terutama di
tingkat desa dan kecamatan; (4) menyediakan dan melakukan pertukaran informasi tentang
KB dan kesehatan reproduksi; (5) menyelenggarakan pelatihan dan kerja sama internasional
di bidang KB dan kesehatan reproduksi; dan (6) menyelenggarakan promosi kemandirian
ber-KB bagi peserta KB dan peningkatan kemandirian kelembagaan KB yang berbasis
masyarakat.
Hasil yang dicapai dalam program ini pada tahun 2001 adalah jumlah lembaga
pelayanan KB non-pemerintah sebesar 46.756 yang diperkirakan mampu melayani 68 persen
PUS peserta KB Aktif. Hasil lainnya dalam program ini adalah persentase peserta KB
mandiri yang diperkirakan telah mencapai 30 persen PUS pada tahun 2001.

Anda mungkin juga menyukai