Nim : 1830302089
Mata Kuliah : Filsafat Ketimuran
Prodi : Aqidah dan Filsafat Islam 3
Dosen : Jamhari, S.Ag.M.Fil.I
Nurcholish Madjid atau dipanggil akrab Cak Nur, tercatat salah satu deretan Guru
Bangsa yang pernah ada di Indonesia. Cak Nur adalah seorang pemikir Islam di Indonesia,
cendekiawan Muslim Indonesia dan budayawan yang tidak pernah bosan mencurahkan
pemikiran untuk mencari solusi atas permasalahanan yang dihadapi oleh umat dan bangsa di
Indonesia. Cak Nur juga tercatat sebagai salah satu tokoh pembaruan pemikiran Islam di
Indonesia, seperti K.H. Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur. Semasa
bermahasiswa, Cak Nur aktif di organisasi mahasiswa yang paling tua saat ini di Indonesia,
yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) berdiri sejak 1947 dan menjabat sebagai Ketua
Umum Pengurus Besar HMI (PB HMI) selama dua periode (1966-1969 dan 1969-1971). Cak
Nur pernah menjadi Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara, serta pernah
menjadi Asisten Sekretaris Jenderal International Islamic Federation of Students
Organizations (IIFSO).
Riwayat
• Pendidikan dasar yang ditempuhnya pada dua sekolah tingkat dasar, yaitu di
Madrasah al-Wathoniyah dikelola oleh ayahnya sendiri dan di Sekolah Rakyat (SR) di
Mojoanyar, Jombang.
• Selepas menamatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rakyat (SR) dan Madrasah
Ibtidaiyah (MI) pada tahun 1952, Nurcholish Madjid melanjutkan pendidikannya
pada jenjang yang lebih tinggi. Pesantren Darul ‘Ulum Jombang menjadi pilihan
ayahnya dan dipatuhi oleh Nurcholish Madjid.
• Berselang dua tahun dari pondok pesantren tersebut, atas izin ayahnya Nurcholish
Madjid pindah ke Pondok Pesantren Darussalam, KMI (Kulliyat Mu’alimien al
Islamiah) Gontor Ponorogo pada tahun 1955.
• Di Gontor, Nurcholish Madjid selalu menunjukkan prestasi yang baik, sehingga dari
kelas 1 ia langsung bisa loncat ke kelas 3. Di pesantren ini, ia banyak mempelajari
bahasa asing terutama Bahasa Arab.
• Pada tahun 1960 Nurcholish Madjid menyelesaikan studi di Gontor dan untuk
beberapa tahun ia mengajar di bekas almamaternya.
• ketika tamat pada tahun 1960, sang guru bermaksud mengirimkannya ke Universitas
al-Azhar, Kairo Mesir. Karena waktu itu di Mesir terjadi krisis politik akibat problem
Terusan Suez, keberangkatan Cak Nur ke Mesir tertunda, dan untuk sementara waktu
Cak Nur mengajar di almamaternya.
• KH. Zarkasyi mengirim surat ke IAIN Jakarta meminta agar murid kesayangannya itu
dapat diterima, dan dengan bantuan alumni Gontor di IAIN tersebut, Cak Nur bisa
diterima, meski tanpa ijazah negeri. Atas petunjuk gurunya KH. Zarkasyi inilah
Nurcholish Madjid meneguhkan pilihannya untuk melanjutkan studi di IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
• Tema skripsi yang diangkat oleh Nurcholish Madjid tersebut setidaknya telah
menyiratkan kekritisan dan corak berfikir keIslaman yang inklusif. Kuliahnya
diselesaikan pada tahun 1968 dengan prediket cumlaude.
• Minat Nurcholis Madjid terhadap kajian keIslaman semakin mengkristal dengan
keterlibatannya di HMI. Dia terpilih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar HMI
selama dua periode berturut-turut dari tahun 1966-1969 hingga 1969-1971. Ia pun
menjadi presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT) periode
1967-1969. Dan untuk masa bakti 1969-1971, Cak Nur menjadi Wakil Sekretaris
Umum International Islamic Federation of StudentsOrganisation (IIFSO)
• Pada tahun 1984, ia berhasil menyandang gelar philosophy Doctoral (Ph.D) di
Universitas Chicago dengan nilai cumlaude.
• Dunia formal yang ia jalani selama kurun waktu 36 tahun sejak tahun 1984, penuh
dengan segudang pengalaman dan prestasi akademik yang sangat memuaskan. Hal
tersebut dibuktikan oleh Nurcholish Madjid dengan prediket cum laude yang
setidaknya dapat dijadikan tolak ukur dari kapasitas intekektualnya. Karir
Nurcholish Madjid semakin sempurna
• Sejak 19 Juli 2004, ketika Nurcholish Madjid meninggalkan tanah air, untuk
menjalani transplantasi hati di Taiping Hospital, di Guandong, China; harap-harap
cemas selalu menyelimuti sahabat-sahabatnya. Penyakit hepatitis C yang dideritanya
sejak 20 tahun lalu, telah menjadi keganasan. Transplantasi merupakan satu-satunya
harapan Nurcholish Madjid. Namun Tuhan menentukan lain.
• Tanggal 23 Juli 2004, Nurcholish Madjid menjalani operasi transplantasi. Semula
dikabarkan operasinya sukses, sebab tidak lebih dari seminggu, Nurcholish Madjid
telah dipindahkan ke Singapura.
• Senin, 29 Agustus 2005, bertepatan dengan 24 Rajab 1426, pukul 14.05 WIB,
Nurcholish Madjid yang biasa dipanggil Cak Nur meninggal dunia dalam usia 66
tahun (17 Maret 1939-29 Agustus 2005). Nurcholish Madjid meninggalkan seorang
istri Omi Komariah dan dua orang anak, Nadia Madjid dan Ahmad Mikail.
Nurcholish Madjid sejak muda memang terkenal sebagai aktivis yang penuh semangat
di kalangan intelektual muslim. Ia membawa corak baru dalam percaturan pemikiran Islam di
Indonesia. Hal ini terbukti pada tahun 1970-an, ia melontarkan pemikiran baru tentang
modernisasi dan pembaharuan Islam. Sewaktu duduk di bangku perkuliahan, Nurcholish
Madjid aktif dalam organisasi kemahasiswaan yang tertua di Indonesia yaitu Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI). Ia sempat memegang peranan yang sangat penting, yaitu ketua
umum HMI selama dua periode, yaitu 1966-1969 dan periode 1969-1971. Ia pun sempat
menjadi presiden persatuan mahasiswa Islam Asia tenggara (PEMIAT) pada tahun
1967-1969. Dari hasil perjuangan dalam menimba ilmu, selain aktif di perkuliahan,
Nurcholish Madjid juga aktif terlibat dalam organisasi luar kampus, berbekal pengalaman
organisasinya Nurcholish Madjid banyak melintasi karir (pekerjaan) yang tidak terlepas dari
kegiatan akademisnya, yaitu sebagai :
Kunci untuk memahami pandangan dunia atau kerangka filosofis pemikiran Madjid
ialah dengan membuka pandangannya terhadap kitab suci al-Qur‟an dari sisi inspirasi, sifat
dan tujuannya. Hal ini dikarenakan karakteristik khas pandangan Madjid terhadap kitab suci
al-Qur‟an, dan sifat totalitas pemikirannya yang dibentuk dan diarahkan oleh filsafat tersebut.
Madjid dalam membedah suatu persoalan real yang dihadapi umat Islam berdasar atas
keyakinan yang kukuh bahwa al-Qur‟an adalah dokumen wahyu yang rasional yang dapat
dipahami secara rasional pula. Menurut Nurcholis Madjid, rasionalitas merupakan sesuatu
yang sangat penting dalam melakukan sebuah ijtihad, dimana ijtihad adalah kunci bagi umat
Islam untuk menata diri dan berkembang lebih maju dalam menjawab persoalan dinamika
zaman. Fokus ijtihad Madjid diarahkan dan diterapkan dalam pola pembaharuan pemikiran
Islam.
Adapun yang dimaksud dengan semangat humanitas adalah bahwa pada dasarnya
Islam merupakan agama kemanusiaan (fitrah) atau dengan kata lain, cita-cita Islam sejalan
dengan cita-cita kemanusiaan pada umumnya. Kerasulan dan misi nabi Muhammad
adalah untuk mewujudkan rahmat bagi seluruh alam. dan bukan semata-mata untuk
menguntungkan komunitas Islam saja. Sedangkan Universalisme Islam, secara teologis
dapat dilacak dari perkataan al-Islam itu sendiri, yang berarti sikap pasrah kepada Tuhan.
Dengan pengertian tersebut, dalam pikiran Nurcholish Madjid, semua agama yang benar
pasti bersifat al- Islam karena mengajarkan kepasrahan kepada Tuhan. Tafsir al-Islam
seperti ini akan bermuara pada konsep kesatuan kenabian (the Unity of Propecy) dan
kesatuan kemanusiaan (the Unity of Humanity). Kedua konsep tersebut merupakan
kelanjutan dari konsep ke-Maha Esa-an Tuhan (the Unity of God / Tauhid). Semua konsep
kesatuan ini menjadikan Islam bersifat kosmopolit dan menjadi rahmat seluruh alam
(rahmatan lil ‘alamin), dan bukan hanya bagi umat Islam semata. Posisi semacam ini
mengharuskan Islam menjadi penengah (al-Wasith), dan saksi (Syuhada) di antara semua
manusia.
Ia juga mengkritik konsep Negara Islam yang dianggapnya sebagai sebuah apologia
saja. menurutnya ada sebab mengapa umat Islam bersiakap apologi terhadap pemikiran
pemikiran mereka. Pertama, sikap defensif mereka terhadap serbuan ideologi ideologi barat
(modern), seperti demokrasi, sosialisme dan sebagainya yang bersifat totaliter. Umat Islam
menjawab serbuan itu dengan kosep al- Din yang mencakup kesatuan agama dan
Negara, namun tidak didasarkan kepada kajian ilmiah, hany a merupakan apologia ilusif
saja. Kedua, paham legalisme yang hanya dihasilkan oleh tuntunan pendekatan fikihisme,
sehingga Negara dinilai sebagai susunan hokum yang disebut syariat. padahal, menurutnya,
kajian kajian fikih di zaman modern telah kehilangan relevansinya terhadap persoalan
persoalan masyarakat yang senantiasa berubah.
Negara adalah suatu gejala yang berdimensi nasional objektif, sedangkan agama
berdimensi spiritual yang bersifat pribadi, keduany a memang saling berkaitan, namun tetap
dibedakan. jika Negara ikut mengatur masalah agama dan kepercayaan, maka hal ini tidak
sesuai dengan ajaran Islam sendiri yang tidak mengenal otoritas keagamaan (la rahbaniyyah
fi al Islam)tak ada otoritas kependetaan atau otoritas ulama dalam islam.
Ia juga menyebutkan dalam konteks kekinian, syarat pokok bagi pemimpin adalah
harus mampu mengembangkan tradisi dialog dua arah, tidak menggurui dan juga tidak prov
okatif, maka suasana keterbuakaan akan menjadi sebuah keniscayaan. Ia membandingkan
model kepemimpinan orde lama dengan zaman reformasi, ia menyebutkan bahwa konsep
kepemimpinan orde lama yang cenderung dictator seperti halnya orde baru sudah tidak layak
lagi digunakan di zaman sekarang maupun di masa yang akan datang. Dalam berpolitik, ada
3 masalah yang dihadapi oleh umat islam, yaitu:
a. Perlunya cara pemahaman yang lebih maju terhadap ajaran islam dengan cara tidak
terjebak dalam paham tradisonalisasi islam, yakni dengan konsep sekularisasi
yang menurut beliau tidak menjurus ke konsep sekularime.
b. Perlunya cara berpikir yang lebih bebas, sehingga umat islam tidak lagi berkungkung
dalam kekangan doktrin yang membatasi umat islam mengembangkan wawasan
mereka dalam bidang politik.
c. Perlunya sikap yang lebih terbuka terhadap umat lain.
Mengenai pluralism atau pluralitas dalam Islam, Nurcholish Madjid merujuk pada Q.S, Al-
Baqoroh 2:1 48 yang artinya:
“Dan bagi tiap- tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka
berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah akan
mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu”.
Menurut Nurcholish Madjid ayat di atas bisa dikatakan inti dan sekaligus pemahaman
masalah pliralisme atau pluralitas, menurut pandangan Islam. Itu dimulai dengan fakta bahwa
umat manusia terbagi dalam berbagai kelompok, masing-masing memiliki tujuan hidup
berbeda. Setiap komunitas diharapkan bisa menerima keanekaragaman sosial buday a,
toleransi satu sama lain yang memberi kebebasan dan kesempatan bagi setiap orang
menjalani kehidupannya menurut keyakinannya masing-masing. Yang dibutuhkan pada
masyarakat majemuk adalah, agar masing-masing kelompok berlomba-lomba dalam jalan
yang sehat dan benar. Karena, hanya Tuhan lah yang Maha Tahu, dalam arti asal, tentang baik
atau buruk, benar atau salah.
Konsep kemajemukan umat manusia ini sangat mendasar dalam Islam. Itu, secara
konsisten, dapat diubah ke dalam bentuk-bentuk pluralisme modern, yang merupakan
toleransi. Pluralisme di sini dipahami sebagai “ikatan murni dari berbagai peradaban yang
berbeda”. Pluralisme sejati memang jarang terjadi dalam sejarah. Tapi, Islam telah
menunjukkan kemungkinan itu. Misalnya, yang ditunjukkan Max I. Dimont, seorang
sejarawan Yahudi, tentang masyarakat Islam di Spanyol “Selama 500 tahun di bawah
pemerintahan Islam, membuat Spanyol untuk tiga agama dan “satu tempat tidur”: Islam,
Kristen dan Yahudi hidup rukun dan bersama- sama meny ertai peradaban yang gemilang” .
Pada dasarnya manusia satu umat, lalu Allah mengutus para nabi membawa berita
gembira dan peringatan dan bersama mereka Allah menurunkan kitab yang membawa
kebenaran untuk memberi keputusan antara manusia tentang perkara yang mereka
perselisihkan; dan yang berselisih, hanya mereka yang memperoleh Kitab setelah
kemudian datang bukti- bukti nyata karena kedengkian antar sesama mereka. Maka dengan
karuniaNya Allah swt. telah memberi petunjuk orang beriman kepada kebenaran tentang hal
yang mereka perselisihkan. Dan Allah memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki,
ke jalan yang lurus.
Namun Cak Nur tidak memaknai pluralisme sebagai gagasan yang menganggap
semua agama sama, seperti anggapan orang awam. Pluralisme bagi Cak Nur adalah suatu
landasan sikap positif untuk menerima kemajemukan semua hal dalam kehidupan sosial dan
budaya, termasuk agama. Yang dimaksud dengan sikap positif adalah sikap aktif dan
bijaksana. Pluralisme menurut rumusan Cak Nur (panggilan akrab Nurcholis Madjid)
merupakan bagian dari sikap dasar dalam berislam. “Yaitu sikap terbuka untuk berdialog dan
menerima perbedaan secara adil”, tandasnya. “Dengan keterbukaan dan sikap dialogis itu
dimaksudkan agar kita memiliki etos membaca, membina, belajar, dan selalu arif”.
Pandangan pluralis Cak Nur tampakny a belum dipahami oleh masy arakat dan tokoh
agama dengan baik. Menurut dosen Paramadina, masih bany ak kalangan yang meny
alahartikan makna pluralisme. Sebagian menganggap bahwa pluralisme adalah sikap atau
gagasan yang mey akini kebenaran semua agama. Sehingga para pendukung gagasan
pluralisme sering digolongkan dalam penganut relativ isme agama. Bahkan tak jarang dari
mereka yang dianggap sesat dan murtad.
Sikap seperti itulah yang nampaknya diyakini oleh mayoritas ulama yang ada di MUI
(Majelis Ulama Indonesia). Hingga mereka pun terdesak untuk mengeluarkan fatwa tentang
haramnya pluralisme. Pengharaman terhadap gagasan tersebut dinilai oleh Monib bukan
tanpa konsekwensi. Fatwa anti pluralisme yang dikeluarkan oleh MUI berdampak luas dalam
memengaruhi cara pandang masyarakat yang semakin kuat untuk memusuhi dan menolak
kelompok lain agama atau kepercayaan. Hal itu terbukti dengan sikap penolakan masyarakat
yang semakin lantang terhadap keberadaan Jama’ah Ahmadiy ah yang juga difatwakan
oleh MUI sebagai aliran sesat.
Dalam proses perkembangan pemikiran Islam lebih lanjut, orientasi pemikiran yang
berat kesufian mendapatkan tantangan. Lebih-lebih setelah kaum Muslim Indonesia, berkat
kapal-kapal moderen yang dijalankan dengan mesin uap, semakin mudah dan semakin
banyak pergi ke Tanah Suci, maka kontak dengan kalangan dari paham dan pemikiran
Islam yang lebih “murni‟ ke arah syariat semakin kuat. Ini menimbulkan gelombang gerak
pemikiran yang lebih berat ke arah syari‟at atau fiqh, serta berbahasa Arab, kemudian
melembaga dalam sistem dan kurikulum pendidikan dunia pesantren.
Menurut Nurcholish Madjid sistem Pendidikan Islam yang ideal adalah sistem
pendidikan yang dapat membentuk pola pikir liberal yaitu intelektualisme yang dapat
mengantarkan manusia kepada dua tadensi yang sangat erat hubungannya, yaitu melepaskan
diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan yang
berdasarkan al-Qur‟an dan as-Sunnah. Memiliki tujuan dakwah yaitu menyebarkan moral
keagamaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan kata lain memiliki
peran tradisional dan moderen. Peran tradisional yaitu:
1. sebagai transmisi dan transformasi ilmu-ilmu Islam,
2. Pemeliharaan tradisi Islam dan
3. sebagai reproduksi ulma‟.