Anda di halaman 1dari 15

Nama : Desi Romilah Sari

Nim : 1830302089
Mata Kuliah : Filsafat Ketimuran
Prodi : Aqidah dan Filsafat Islam 3
Dosen : Jamhari, S.Ag.M.Fil.I

PEMIKIRAN NURCHOLIS MADJID


Biografi
Nurcholis Madjid Lahir di sebuah desa yang ada di wilayah kecamatan Mojowarno,
kabupaten Nurcholish Jombang, Jawa Timur, pada tanggal 17 Maret 1939 bertepatan dengan
26 Muharram 1358 H. Ia Meninggal di Jakarta, tanggal 29 Agustus 2005. Nurcholish
Madjid dilahirkan dari keluarga kalangan pesantren tradisional, ayahnya bernama H.Abdul
Madjid seorang kyai alim hasil godokan dari pesantren Tebu ireng dan juga termasuk dalam
keluarga besar Nahdatul Ulama (NU). Sementara ibunya adalah adik dari Rais akbar NU dari
ayah seorang aktivis Syarikat dagang Islam (SDI) di Kediri, sewaktu organisasi dipegang
oleh seorang kyai. Ia mempunyai isteri bernama Omi Komariah dan mempunyai dua orang
anak yaitu Nadia Madjid, Ahmad Mikail dan seorang menantu yang bernama David
Bychko.

Penanaman nilai-nilai keagamaan yang ditanamkan oleh H Abdul Madjid kepada


Nurcholish Madjid, bukan saja melalui penanaman aqidah, moral, etika, atau pun dengan
pembelajaran membaca al-Qur’an saja, akan tetapi juga dengan arah pendidikan formal
bagi Nurcholish Madjid.

Nurcholish Madjid atau dipanggil akrab Cak Nur, tercatat salah satu deretan Guru
Bangsa yang pernah ada di Indonesia. Cak Nur adalah seorang pemikir Islam di Indonesia,
cendekiawan Muslim Indonesia dan budayawan yang tidak pernah bosan mencurahkan
pemikiran untuk mencari solusi atas permasalahanan yang dihadapi oleh umat dan bangsa di
Indonesia. Cak Nur juga tercatat sebagai salah satu tokoh pembaruan pemikiran Islam di
Indonesia, seperti K.H. Abdurrahman Wahid atau akrab disapa Gus Dur. Semasa
bermahasiswa, Cak Nur aktif di organisasi mahasiswa yang paling tua saat ini di Indonesia,
yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) berdiri sejak 1947 dan menjabat sebagai Ketua
Umum Pengurus Besar HMI (PB HMI) selama dua periode (1966-1969 dan 1969-1971). Cak
Nur pernah menjadi Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara, serta pernah
menjadi Asisten Sekretaris Jenderal International Islamic Federation of Students
Organizations (IIFSO).

Riwayat
• Pendidikan dasar yang ditempuhnya pada dua sekolah tingkat dasar, yaitu di
Madrasah al-Wathoniyah dikelola oleh ayahnya sendiri dan di Sekolah Rakyat (SR) di
Mojoanyar, Jombang.
• Selepas menamatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rakyat (SR) dan Madrasah
Ibtidaiyah (MI) pada tahun 1952, Nurcholish Madjid melanjutkan pendidikannya
pada jenjang yang lebih tinggi. Pesantren Darul ‘Ulum Jombang menjadi pilihan
ayahnya dan dipatuhi oleh Nurcholish Madjid.
• Berselang dua tahun dari pondok pesantren tersebut, atas izin ayahnya Nurcholish
Madjid pindah ke Pondok Pesantren Darussalam, KMI (Kulliyat Mu’alimien al
Islamiah) Gontor Ponorogo pada tahun 1955.
• Di Gontor, Nurcholish Madjid selalu menunjukkan prestasi yang baik, sehingga dari
kelas 1 ia langsung bisa loncat ke kelas 3. Di pesantren ini, ia banyak mempelajari
bahasa asing terutama Bahasa Arab.
• Pada tahun 1960 Nurcholish Madjid menyelesaikan studi di Gontor dan untuk
beberapa tahun ia mengajar di bekas almamaternya.
• ketika tamat pada tahun 1960, sang guru bermaksud mengirimkannya ke Universitas
al-Azhar, Kairo Mesir. Karena waktu itu di Mesir terjadi krisis politik akibat problem
Terusan Suez, keberangkatan Cak Nur ke Mesir tertunda, dan untuk sementara waktu
Cak Nur mengajar di almamaternya.
• KH. Zarkasyi mengirim surat ke IAIN Jakarta meminta agar murid kesayangannya itu
dapat diterima, dan dengan bantuan alumni Gontor di IAIN tersebut, Cak Nur bisa
diterima, meski tanpa ijazah negeri. Atas petunjuk gurunya KH. Zarkasyi inilah
Nurcholish Madjid meneguhkan pilihannya untuk melanjutkan studi di IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
• Tema skripsi yang diangkat oleh Nurcholish Madjid tersebut setidaknya telah
menyiratkan kekritisan dan corak berfikir keIslaman yang inklusif. Kuliahnya
diselesaikan pada tahun 1968 dengan prediket cumlaude.
• Minat Nurcholis Madjid terhadap kajian keIslaman semakin mengkristal dengan
keterlibatannya di HMI. Dia terpilih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar HMI
selama dua periode berturut-turut dari tahun 1966-1969 hingga 1969-1971. Ia pun
menjadi presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT) periode
1967-1969. Dan untuk masa bakti 1969-1971, Cak Nur menjadi Wakil Sekretaris
Umum International Islamic Federation of StudentsOrganisation (IIFSO)
• Pada tahun 1984, ia berhasil menyandang gelar philosophy Doctoral (Ph.D) di
Universitas Chicago dengan nilai cumlaude.
• Dunia formal yang ia jalani selama kurun waktu 36 tahun sejak tahun 1984, penuh
dengan segudang pengalaman dan prestasi akademik yang sangat memuaskan. Hal
tersebut dibuktikan oleh Nurcholish Madjid dengan prediket cum laude yang
setidaknya dapat dijadikan tolak ukur dari kapasitas intekektualnya. Karir
Nurcholish Madjid semakin sempurna
• Sejak 19 Juli 2004, ketika Nurcholish Madjid meninggalkan tanah air, untuk
menjalani transplantasi hati di Taiping Hospital, di Guandong, China; harap-harap
cemas selalu menyelimuti sahabat-sahabatnya. Penyakit hepatitis C yang dideritanya
sejak 20 tahun lalu, telah menjadi keganasan. Transplantasi merupakan satu-satunya
harapan Nurcholish Madjid. Namun Tuhan menentukan lain.
• Tanggal 23 Juli 2004, Nurcholish Madjid menjalani operasi transplantasi. Semula
dikabarkan operasinya sukses, sebab tidak lebih dari seminggu, Nurcholish Madjid
telah dipindahkan ke Singapura.
• Senin, 29 Agustus 2005, bertepatan dengan 24 Rajab 1426, pukul 14.05 WIB,
Nurcholish Madjid yang biasa dipanggil Cak Nur meninggal dunia dalam usia 66
tahun (17 Maret 1939-29 Agustus 2005). Nurcholish Madjid meninggalkan seorang
istri Omi Komariah dan dua orang anak, Nadia Madjid dan Ahmad Mikail.

Nurcholish Madjid sejak muda memang terkenal sebagai aktivis yang penuh semangat
di kalangan intelektual muslim. Ia membawa corak baru dalam percaturan pemikiran Islam di
Indonesia. Hal ini terbukti pada tahun 1970-an, ia melontarkan pemikiran baru tentang
modernisasi dan pembaharuan Islam. Sewaktu duduk di bangku perkuliahan, Nurcholish
Madjid aktif dalam organisasi kemahasiswaan yang tertua di Indonesia yaitu Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI). Ia sempat memegang peranan yang sangat penting, yaitu ketua
umum HMI selama dua periode, yaitu 1966-1969 dan periode 1969-1971. Ia pun sempat
menjadi presiden persatuan mahasiswa Islam Asia tenggara (PEMIAT) pada tahun
1967-1969. Dari hasil perjuangan dalam menimba ilmu, selain aktif di perkuliahan,
Nurcholish Madjid juga aktif terlibat dalam organisasi luar kampus, berbekal pengalaman
organisasinya Nurcholish Madjid banyak melintasi karir (pekerjaan) yang tidak terlepas dari
kegiatan akademisnya, yaitu sebagai :

a) Peneliti, pada Lembaga Penelitian Ekonomi dan Sosial (LEKNAS-LIPI), Jakarta


1978-1984.
b) Peneliti Senior, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta, 1984-2005.
c) Dosen Fakultas Pasca Sarjana, Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif
Hidayatullah, Jakarta 1985-2005.
d) Anggota MPR-RI 1987-1992 dan 1992-1997.
e) Anggota Dewan Pers Nasional, 1990-1998.
f) Ketua yayasan Paramadina, Jakarta 1985.
g) Wakil Ketua Dewan Penasehat ICMI 1990-1995.
h) Fellow, Eisenhower Fellowship, Philadelphia 1991-1992
i) Profesor Tamu McGill University, Montreal Canada, 1991-1992.
j) Anggota KOMNAS HAM 1993-2005.
k) Penerima Cultural Award ICMI, 1995,
l) Anggota Dewan Penasehat ICMI 1996.
m) Rektor Universitas Paramadina Mulya Jakarta, 1998-2005.
n) Penerima “Bintang Maha Putra”, Jakarta 1998.
o) Selain memiliki kegiatan-kegiatan di atas Nurcholish Madjid juga
p) aktif mengisi acara seminar di berbagai universitas internasional, salah
q) satunya ialah: Seminar tentang “Islam dan Masyarakat Sipil” Nopember
r) 1997, Universitas Georgetown, Washington DC, USA; Seminar tentang
s) “Islam dan Pluralisme”, Nopember 1997, Universitas Washington.

Karya-karya Nurcholis Madjid


Nurcholish Madjid dapat dikelompokkan pada penulis yang produktif. Sekembalinya
dari studi, bersama kawan dan koleganya pada tahun 1986 mendirikan Yayasan Wakaf
Paramadina. Di lembaga inilah sebagian besar Nurcholish Madjid mencurahkan hidup dan
energi intelektualnya (sehingga pada akhirnya melahirkan Universitas Paramadina Mulya,
dengan obsesi mampu menjadi pusat kajian Islam kesohor di dunia) di samping sebagai
peneliti LIPI sebagai profesi awalnya dan sekaligus sebagai Profesor Pemikiran Islam di
IAIN (kini UIN Syarif Hidayatullah Jakarta). Dalam perjalanan hidupnya, ia telah
menghasilkan banyak artikel ataupun makalah yang telah dibukukan. Beberapa karyanya
antara lain adalah sebagai berikut:

1. Khazanah Intelektual Islam. Karya ini menurut penulisnya dimaksudkan untuk


memperkenalkan salah satu aspek kekayaan Islam dalam bidang pemikiran,
khususnya yang berkaitan dengan filsafat dan teologi. Dalam buku ini dibahas
pemikiran al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Taymiyah, Ibn
Khaldun, Jamal al-Din alAfghani dan Muhammad Abduh.
2. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan,
3. Islam Doktrin dan Peradaban,
4. Tahun 1994, Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan: Pikiran-Pikiran Nurcholish
Madjid “Muda”.
5. Tahun 1994, Pintu-Pintu Menuju Tuhan.
6. Tahun 1995, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin
Islam dalam Sejarah.
7. Tahun 1995, Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam
Indonesia.
8. Tahun 1997, Masyarakat Religius.
9. Tahun 1997, Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam pembangunan di Indonesia.
10. Tahun 1997, Kaki Langit Peradaban Islam.
11. Tahun 1997, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah potret Perjalanan.
12. Tahun 1997, Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik
Kontemporer.
13. Tahun 1999, Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat: Kolom-Kolom di Tabloid
“Tekad”.
14. Tahun 1999, Cita-cita Politik Islam di Era Reformasi.
15. Tahun 2003, Indonesia Kita.

Melalui tulisan-tulisannya dan pemikiran-pemikirannya tentang Islam dan


kemasyarakatan memberikan kontribusi yang besar bagi kehidupan masyarakat Islam di
Indonesia. Nurcholis Madjid merupakan pemerhati keagamaan sangat peduli akan
masyarakat yang memang saat ini sudah banyak meninggalkan nilai religiusnya.

Kunci untuk memahami pandangan dunia atau kerangka filosofis pemikiran Madjid
ialah dengan membuka pandangannya terhadap kitab suci al-Qur‟an dari sisi inspirasi, sifat
dan tujuannya. Hal ini dikarenakan karakteristik khas pandangan Madjid terhadap kitab suci
al-Qur‟an, dan sifat totalitas pemikirannya yang dibentuk dan diarahkan oleh filsafat tersebut.

Madjid dalam membedah suatu persoalan real yang dihadapi umat Islam berdasar atas
keyakinan yang kukuh bahwa al-Qur‟an adalah dokumen wahyu yang rasional yang dapat
dipahami secara rasional pula. Menurut Nurcholis Madjid, rasionalitas merupakan sesuatu
yang sangat penting dalam melakukan sebuah ijtihad, dimana ijtihad adalah kunci bagi umat
Islam untuk menata diri dan berkembang lebih maju dalam menjawab persoalan dinamika
zaman. Fokus ijtihad Madjid diarahkan dan diterapkan dalam pola pembaharuan pemikiran
Islam.

Pemikiran Nurcholis Majdid


Pemikiran seorang merupakan bagian integral dari sejarah kehidupannya. Demikian
pula halnya dengan pemikiran seseorang yang tidak bisa dilepaskan dari situasi dan kondisi
yang mengintarinya. Demikian pula dengan pemikiran Nurcholis Madjid tidak bisa
dilepaskan dari situasi sosial politik yang mengintarinya. Nurcholis Madjid dalam
merumuskan pemikirannya telah melalui proses yang lama, mengkaji perkembangan
intelektualnya dalam sinaran akan ditemukan pergeseran, penelusuran dan perkembangan
pemikirannya akan menguji konsistensi pemikirannya dari tahun 60-an sampai sekarang.

Secara sederhana, perkembangan intelektual (pemikiran) keagamaan Madjid dibagi


dua periode: pertama priode tahun 80-an dan kedua periode 90-an. Pada periode pertama
tema-tema yang dikemukakan Madjid adalah seputar modernisasi, sekulerisasi, dan
desaklalisasi. Sedangkan periode ke dua, banyak menyampaikan tema-tema yang
universalisme Islam, deablolitisme dan pluralisme.

Perjalanan intelektal nurcholis madjid yang telah menciptakan berbagai pemikirannya


di dunia pendidikan dan kehidupan yang religius. Kapasitas intelektual Nurcholish Madjid
memang terbilang istimewa. Ia bukan saja menguasai secara sangat mendalam tradisi
ilmu-ilmu keIslaman klasik, sehingga dengan fasih berbicara mengenai banyak hal yang
berkaitan dengan khazanah keilmuan Islam tradisional, melainkan juga mempunyai dasar-
dasar yang kukuh di bidang tradisi ilmu-ilmu sosial modern, sehingga mahir
mengartikulasikan gagasan-gagasan yang berkaitan dengan dinamika sosial dan
perkembangan masyarakat. Tentu saja kemampuan tersebut merupakan kombinasi sempurna,
untuk bisa menyuarakan ide-ide pembaruan di kalangan umat Islam. Cak Nur mempunyai
otoritas intelektual yang bisa dipertanggungjawabkan, untuk berbicara tentang masalah-
masalah strategis baik yang berkaitan dengan tema keIslaman maupun tema Sosial
kemasyarakatan. Kombinasi dua kemampuan itulah yang melahirkan sinergi, sehingga bisa
menopang gerakan pembaruan Islam di Indonesia.

Fokus utama yang menjadi pemikiran Nurcholish Madjid, terkait dengan


pembaharuan pemikiran Islam, ialah bagaimana memperlakukan ajaran Islam yang
merupakan ajaran universal dan dalam hal ini dikaitkan sepenuhnya dengan konteks
(lokalitas) Indonesia. Bagi Nurcholish Madjid, Islam hakikatnya sejalan dengan semangat
kemanusiaan universal. Hanya saja, sekalipun nilai-nilai dan ajaran Islam bersifat universal,
pelaksanaan tersebut harus disesuaikan dengan pengetahuan dan pemahaman tentang
lingkungan sosio-kultural masyarakat yang bersangkutan. Dalam konteks Indonesia, maka
harus juga dipahami kondisi riil masyarakat dan lingkungan secara keseluruhan termasuk
lingkungan politik dalam kerangka konsep “Negara bangsa”.

Keuniversalan Islam berlaku menembus ruang dan waktu, sementara ajaran-


ajarannya tidak terbatas pada ruang dan waktu di mana Nabi Muhammad SAW dilahirkan
dan mendapatkan perintah untuk menyebarkan ajarannya. Islam adalah kemanusiaan yang
membuat cita- citanya sejajar dengan cita-cita kemanusiaan universal. Dengan kata lain,
Nurcholish Madjid memaparkan pendapatnya tentang inklusifisme yang berpijak pada
semangat humanitas dan universalisme Islam.

Adapun yang dimaksud dengan semangat humanitas adalah bahwa pada dasarnya
Islam merupakan agama kemanusiaan (fitrah) atau dengan kata lain, cita-cita Islam sejalan
dengan cita-cita kemanusiaan pada umumnya. Kerasulan dan misi nabi Muhammad
adalah untuk mewujudkan rahmat bagi seluruh alam. dan bukan semata-mata untuk
menguntungkan komunitas Islam saja. Sedangkan Universalisme Islam, secara teologis
dapat dilacak dari perkataan al-Islam itu sendiri, yang berarti sikap pasrah kepada Tuhan.
Dengan pengertian tersebut, dalam pikiran Nurcholish Madjid, semua agama yang benar
pasti bersifat al- Islam karena mengajarkan kepasrahan kepada Tuhan. Tafsir al-Islam
seperti ini akan bermuara pada konsep kesatuan kenabian (the Unity of Propecy) dan
kesatuan kemanusiaan (the Unity of Humanity). Kedua konsep tersebut merupakan
kelanjutan dari konsep ke-Maha Esa-an Tuhan (the Unity of God / Tauhid). Semua konsep
kesatuan ini menjadikan Islam bersifat kosmopolit dan menjadi rahmat seluruh alam
(rahmatan lil ‘alamin), dan bukan hanya bagi umat Islam semata. Posisi semacam ini
mengharuskan Islam menjadi penengah (al-Wasith), dan saksi (Syuhada) di antara semua
manusia.

Di samping itu, inklusifisme merupakan pemikiran yang memberikan formulasi


bahwa Islam merupakan agama terbuka. Sebagai agama terbuka, Islam menolak
eksklusifisme dan absolutisme dan memberikan apresiasi tinggi terhadap pluralisme. Di
dalam kerangka ini, umat Islam harus menjadi golongan terbuka, yang bisa tampil dengan
rasa percaya diri dan bersikap ngemong terhadap golongan lain. Sedangkan penolakan
terhadap absolutisme mengandung makna bahwa Islam memberikan tempat yang tinggi
terhadap ide pertumbuhan dan perkembangan, yakni tentang etos gerak yang dinamis dalam
ajaran Islam.

Kenyataan objektif Indonesia memperlihatkan bahwa Indonesia merupakan bangsa


yang tingkat heterogenitasnya tinggi dalam berbagai dimensi, suku, bahasa, adat istiadat,
bahkan agama. Dengan demikian, langkah melaksanakan ajaran Islam di Indonesia harus
memperhitungkan kondisi sosial budaya yang ciri utamanya adalah pertumbuhan,
perkembangan dan kemajemukan. Dengan kata lain, memperlihatkan konteks di mana
ajaran Islam yang bersifat universal itu hendak dilaksanakan, maka diperlukan satu
interpretasi yang bersifat konstektual terhadap ajaran tersebut.

Melalui Yayasan Paramadina yang didirikan bersama teman- temannya, Nurcholish


Madjid bergerak dalam kajian-kajian yang mengarah kepada gerakan intelektual muslim
Indonesia. Melalui Yayasan Paramadina, beliau juga berhasil menarik kalangan kelas
menengah dan elit masyarakat dari pejabat pemerintah, pengusaha, budayawan, artis,
pemuda, mahasiswa dan beragam kaum professional lain untuk mengikuti berbagai kegiatan
pengkajian Islam dan Kemasyarakatan.

Pada saat Indonesia menggejolak seputar modernisasi, westernisasi dan sekularisme,


termasuk di kalangan umat Islam sendiri, Nurcholish Madjid dengan sangat berani
mengemukakan pandangan dan pemikirannya seputar persoalan tersebut yang tentu saja
dikaitkan dengan ajaran Islam. Ketika tidak sedikit tokoh umat Islam yang menolak
modernisasi atas dasar pijakan teologis, Nurcholish Madjid dengan pijakan yang sama tetapi
melalui interpretasi yang berbeda, mengemukakan gagasan dan pemikiran yang berbeda dan
ketika itu merupakan gagasan kontroversial.

Menurut Nurcholish Madjid, modernisasi harus dibedakan dari westernisasi.


Modernisasi bagi Nurcholish Madjid, lebih identik dengan rasionalisasi dalam arti bahwa
modernisasi merupakan satu proses menghilangkan pola pikir yang tidak rasionalistik
digantikan dengan pola baru yang lebih rasionalistik. Oleh karena itu, bagi Nurcholish
Madjid modernisasi merupakan suatu keharusan yang mutlak. Modernisasi berarti bekerja
dan berfikir sesuai dengan aturan hukum alam. Menjadi modern berarti mengembangkan
kemampuan berfikir secara ilmiah, bersikap dinamis dan progresif dalam mendekati
kebenaran- kebenaran universal.

Sedangkan sekularisasi adalah proses sosiologis, sekularisasi bukanlah upaya


“memisahkan” duniawi dan ukhrawi, melainkan sebagai sarana bagi umat Islam untuk
membedakan di antara keduanya. Bahkan Nurcholish Madjid memasukkan dimensi baru ke
dalam konsep sekularisasi, yaitu dimensi tauhid. Dalam pandangan Nurcholish Madjid,
sekularisasi dalam perspektif sosiologis merupakan konsekuensi dari tauhid. Tauhid itu
sendiri menghendaki pengarahan setiap kegiatan hidup untuk Tuhan dalam upaya mencari
ridha-Nya, yang justru merupakan sakralisasi kegiatan manusia. Dengan demikian, sakralisasi
mengandung makna pengalihan sakralisasi dari suatu obyek alam ciptaan (makhluk) menuju
Tuhan Yang Maha Esa.

Gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid yang merupakan respon terhadap fenomena


sosial politik yang berkembang ketika itu (pada awal rezim orde baru) merupakan
implementasi gagasan dan pemikiran Nurcholish Madjid terhadap Islam sebagai agama open
dan menganjurkan idea of progress. Pada saat yang sama merupakan jawaban Nurcholish
Madjid terhadap ajakan untuk senantiasa berani melakukan ijtihad, termasuk dalam
menghadapi dan merespon persoalan-persoalan Indonesia kontemporer.
Kendati mendatangkan sikap kontroversial di kalangan umat Islam, gagasan
sekularisasi Nurcholish Madjid banyak mendatangkan manfaat dan keuntungan bagi mereka.
Internal, Nurcholis Madjid berhasil melepaskan umat Islam dari kemandegan berijtihad.
Nurcholish Madjid mencoba membangunkan umat Islam untuk segera menyadari adanya
situasi dan kondisi sosial politik baru di mana umat Islam harus memberikan respon dan
terlibat di dalamnya. Eksternal, Nurcholish Madjid mencoba mengatasi persoalan kekurang
beruntungan kehidupan sosial politik umat Islam di dalam rezim yang baru lahir itu. Dengan
kata lain, dengan gagasannya, Nurcholish Madjid mencoba mengangkat posisi umat Islam
yang marginalized fnegatke dalam posisi yang cukup diperhitungkan di dalam sebuah sistem
politik yang kala itu didominasi oleh kalangan bukan Islam (santri).

Pemikiran nurcholis Madjid Negara dan Islam


Nurcholish Madjid menolak konsep Negara Islam, hal itu dipertegasnya dalam
ceramah kebudayaan di Taman Ismail Marzuki yang kedua tahun 1972, yang mana sebagian
isi ceramah itu sebenarnya merupakan pemikirannya terhadap epistimologi Islam, khususnya
menyangkut dua pendekatan, yaitu pendekatan imani yang menyngkut masalah masalah
keagamaan yang ukhrawi dan pendekatan ilmiah yang meliputi masalah masalah keduniaan,
baik tentang alam materi maupun sosial. pendekatan imani menghasilkan ibadah kepada
Allah yang akan berdampak pada penyempurnaan budi luhur manusia. sementara
pendekatan ilmiah harus bersifat rasional empiris yang mengahasilkan konsep amal shaleh.

Ia juga mengkritik konsep Negara Islam yang dianggapnya sebagai sebuah apologia
saja. menurutnya ada sebab mengapa umat Islam bersiakap apologi terhadap pemikiran
pemikiran mereka. Pertama, sikap defensif mereka terhadap serbuan ideologi ideologi barat
(modern), seperti demokrasi, sosialisme dan sebagainya yang bersifat totaliter. Umat Islam
menjawab serbuan itu dengan kosep al- Din yang mencakup kesatuan agama dan
Negara, namun tidak didasarkan kepada kajian ilmiah, hany a merupakan apologia ilusif
saja. Kedua, paham legalisme yang hanya dihasilkan oleh tuntunan pendekatan fikihisme,
sehingga Negara dinilai sebagai susunan hokum yang disebut syariat. padahal, menurutnya,
kajian kajian fikih di zaman modern telah kehilangan relevansinya terhadap persoalan
persoalan masyarakat yang senantiasa berubah.

Negara adalah suatu gejala yang berdimensi nasional objektif, sedangkan agama
berdimensi spiritual yang bersifat pribadi, keduany a memang saling berkaitan, namun tetap
dibedakan. jika Negara ikut mengatur masalah agama dan kepercayaan, maka hal ini tidak
sesuai dengan ajaran Islam sendiri yang tidak mengenal otoritas keagamaan (la rahbaniyyah
fi al Islam)tak ada otoritas kependetaan atau otoritas ulama dalam islam.

Dalam masalah kepemimpinan menurut Islam, Nurcholish Madjid juga mengatakan


bahwa kerja sama yang harmonis antara masyarakat dan pemimpin merupakan suatu
keharusan, sebab pada diri manusia juga terdapat kekuatan dan kelemahan sekaligus.
kekuatan diperoleh karena hakikat kesucian asalny aberada dalam fitrah, yang membuatnya
senantiasa berpotensi untuk benar dan baik. Adapun kelemahannya diakibatkan oleh
kenyataan bahwa ia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang lemah, pendek pikiran dan
sempit pandangan serta mudah mengeluh. manusia dapat meningkatkan kekuatannya dalam
bekerja sama.

Ia juga menyebutkan dalam konteks kekinian, syarat pokok bagi pemimpin adalah
harus mampu mengembangkan tradisi dialog dua arah, tidak menggurui dan juga tidak prov
okatif, maka suasana keterbuakaan akan menjadi sebuah keniscayaan. Ia membandingkan
model kepemimpinan orde lama dengan zaman reformasi, ia menyebutkan bahwa konsep
kepemimpinan orde lama yang cenderung dictator seperti halnya orde baru sudah tidak layak
lagi digunakan di zaman sekarang maupun di masa yang akan datang. Dalam berpolitik, ada
3 masalah yang dihadapi oleh umat islam, yaitu:

a. Perlunya cara pemahaman yang lebih maju terhadap ajaran islam dengan cara tidak
terjebak dalam paham tradisonalisasi islam, yakni dengan konsep sekularisasi
yang menurut beliau tidak menjurus ke konsep sekularime.
b. Perlunya cara berpikir yang lebih bebas, sehingga umat islam tidak lagi berkungkung
dalam kekangan doktrin yang membatasi umat islam mengembangkan wawasan
mereka dalam bidang politik.
c. Perlunya sikap yang lebih terbuka terhadap umat lain.

Nurcholish Madjid menyebutkan bahwa konsep Negara Islam adalah sebuah


distorsi hubungan proporsional antara agama dan Negara. Negara adalah salah satu segi
kehidupan duniawi yang dimenensinya adalah rasional dan kolektif, sementara agama adalah
aspek kehidupan yang dimensinya adalah spiritual dan pribadi. lebih lanjut ia menyebutkan,
memang antara Negara dan agama tidak dapat dipisahkan, yaitu terdapat pertalian tak
terpisahkan antara motivasi (sifat kebatinan iman) dan sikap bernegara melalui individu
warga negara. namun antara keduanya tetap harus dibedakan dalam dimensi dan
metodologinya. Karena suatu Negara tidak mungkin menembus dimensi spiritual guna
mengatur dan mengawasi serta mengurus sikap bathin warga Negara, maka tak mungkin
pula memberikan predikat keagamaan pada Negara tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa
Nurcholish Madjid bukanlah pendukung politik Islam, ini dibuktikan dengan perny ataannya
bahwa Islam bukanlah sistem politik .

Pemikiran Sosial Nurcholish Madjid


Dunia saat ini adalah dunia pluralitas. Pengaruh globalisasi telah merambah ke seluruh
penjuru dunia. Kehidupan umat beragama di dunia yang transparan ini harus mempuny ai v
isi yang tepat tentang agama mereka dan komunitas lainnya dengan kesadaran positif
akan adanya perbedaan. Masing-masing komunitas, sebaiknya memahami dan
mempertimbangkan secara serius kesadaran diri masing-masing kelompok dan segala
perbedaannya. Untuk itu dibutuhkan dialog antar umat beragama.

Mengenai pluralism atau pluralitas dalam Islam, Nurcholish Madjid merujuk pada Q.S, Al-
Baqoroh 2:1 48 yang artinya:
“Dan bagi tiap- tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka
berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah akan
mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu”.

Menurut Nurcholish Madjid ayat di atas bisa dikatakan inti dan sekaligus pemahaman
masalah pliralisme atau pluralitas, menurut pandangan Islam. Itu dimulai dengan fakta bahwa
umat manusia terbagi dalam berbagai kelompok, masing-masing memiliki tujuan hidup
berbeda. Setiap komunitas diharapkan bisa menerima keanekaragaman sosial buday a,
toleransi satu sama lain yang memberi kebebasan dan kesempatan bagi setiap orang
menjalani kehidupannya menurut keyakinannya masing-masing. Yang dibutuhkan pada
masyarakat majemuk adalah, agar masing-masing kelompok berlomba-lomba dalam jalan
yang sehat dan benar. Karena, hanya Tuhan lah yang Maha Tahu, dalam arti asal, tentang baik
atau buruk, benar atau salah.

Konsep kemajemukan umat manusia ini sangat mendasar dalam Islam. Itu, secara
konsisten, dapat diubah ke dalam bentuk-bentuk pluralisme modern, yang merupakan
toleransi. Pluralisme di sini dipahami sebagai “ikatan murni dari berbagai peradaban yang
berbeda”. Pluralisme sejati memang jarang terjadi dalam sejarah. Tapi, Islam telah
menunjukkan kemungkinan itu. Misalnya, yang ditunjukkan Max I. Dimont, seorang
sejarawan Yahudi, tentang masyarakat Islam di Spanyol “Selama 500 tahun di bawah
pemerintahan Islam, membuat Spanyol untuk tiga agama dan “satu tempat tidur”: Islam,
Kristen dan Yahudi hidup rukun dan bersama- sama meny ertai peradaban yang gemilang” .

Pada dasarnya manusia satu umat, lalu Allah mengutus para nabi membawa berita
gembira dan peringatan dan bersama mereka Allah menurunkan kitab yang membawa
kebenaran untuk memberi keputusan antara manusia tentang perkara yang mereka
perselisihkan; dan yang berselisih, hanya mereka yang memperoleh Kitab setelah
kemudian datang bukti- bukti nyata karena kedengkian antar sesama mereka. Maka dengan
karuniaNya Allah swt. telah memberi petunjuk orang beriman kepada kebenaran tentang hal
yang mereka perselisihkan. Dan Allah memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki,
ke jalan yang lurus.

Namun Cak Nur tidak memaknai pluralisme sebagai gagasan yang menganggap
semua agama sama, seperti anggapan orang awam. Pluralisme bagi Cak Nur adalah suatu
landasan sikap positif untuk menerima kemajemukan semua hal dalam kehidupan sosial dan
budaya, termasuk agama. Yang dimaksud dengan sikap positif adalah sikap aktif dan
bijaksana. Pluralisme menurut rumusan Cak Nur (panggilan akrab Nurcholis Madjid)
merupakan bagian dari sikap dasar dalam berislam. “Yaitu sikap terbuka untuk berdialog dan
menerima perbedaan secara adil”, tandasnya. “Dengan keterbukaan dan sikap dialogis itu
dimaksudkan agar kita memiliki etos membaca, membina, belajar, dan selalu arif”.

Pandangan pluralis Cak Nur tampakny a belum dipahami oleh masy arakat dan tokoh
agama dengan baik. Menurut dosen Paramadina, masih bany ak kalangan yang meny
alahartikan makna pluralisme. Sebagian menganggap bahwa pluralisme adalah sikap atau
gagasan yang mey akini kebenaran semua agama. Sehingga para pendukung gagasan
pluralisme sering digolongkan dalam penganut relativ isme agama. Bahkan tak jarang dari
mereka yang dianggap sesat dan murtad.

Sikap seperti itulah yang nampaknya diyakini oleh mayoritas ulama yang ada di MUI
(Majelis Ulama Indonesia). Hingga mereka pun terdesak untuk mengeluarkan fatwa tentang
haramnya pluralisme. Pengharaman terhadap gagasan tersebut dinilai oleh Monib bukan
tanpa konsekwensi. Fatwa anti pluralisme yang dikeluarkan oleh MUI berdampak luas dalam
memengaruhi cara pandang masyarakat yang semakin kuat untuk memusuhi dan menolak
kelompok lain agama atau kepercayaan. Hal itu terbukti dengan sikap penolakan masyarakat
yang semakin lantang terhadap keberadaan Jama’ah Ahmadiy ah yang juga difatwakan
oleh MUI sebagai aliran sesat.

Dalam proses perkembangan pemikiran Islam lebih lanjut, orientasi pemikiran yang
berat kesufian mendapatkan tantangan. Lebih-lebih setelah kaum Muslim Indonesia, berkat
kapal-kapal moderen yang dijalankan dengan mesin uap, semakin mudah dan semakin
banyak pergi ke Tanah Suci, maka kontak dengan kalangan dari paham dan pemikiran
Islam yang lebih “murni‟ ke arah syariat semakin kuat. Ini menimbulkan gelombang gerak
pemikiran yang lebih berat ke arah syari‟at atau fiqh, serta berbahasa Arab, kemudian
melembaga dalam sistem dan kurikulum pendidikan dunia pesantren.

Menurut Nurcholish Madjid sistem Pendidikan Islam yang ideal adalah sistem
pendidikan yang dapat membentuk pola pikir liberal yaitu intelektualisme yang dapat
mengantarkan manusia kepada dua tadensi yang sangat erat hubungannya, yaitu melepaskan
diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan yang
berdasarkan al-Qur‟an dan as-Sunnah. Memiliki tujuan dakwah yaitu menyebarkan moral
keagamaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan kata lain memiliki
peran tradisional dan moderen. Peran tradisional yaitu:
1. sebagai transmisi dan transformasi ilmu-ilmu Islam,
2. Pemeliharaan tradisi Islam dan
3. sebagai reproduksi ulma‟.

Sedangkan peran moderen yaitu sebagai pusat pelayanan masyarakat seperti


penyuluhan kesehatan dan lingkungan dengan pendekatan keagamaan, pusat pengembangan
teknologi tepat guna bagi masyarakat, menciptakan sumber daya manusia yang professional
dan pemberdayaan sosial ekonomi. Memiliki visi yang dapat menjawab persoalan zaman
dan memiliki pandangan dunia yang universal berdasar atas Qur‟an dan Hadis.

Anda mungkin juga menyukai