Anda di halaman 1dari 3

NAMA :Dea Aditya Paramita

NIM :2011086

TINGKAT :1-C KEPERAWATAN

Apa Itu Omnibus Law Cipta Kerja dan Dampaknya bagi Buruh?

Arti Omnibus Law Cipta Kerja

Omnibus Law adalah aturan yang mengatur bermacam-macam aspek yang digabung menjadi satu
perundang-undangan atau bisa dikatakan satu undang-undang yang mengatur banyak hal. Omnibus
Law ini memiliki 79 undang-undang dengan 1.244 pasal yang direvisi melalui Omnibus Law.

5 Dampak Omnibus Law Ciptaker bagi Pekerja di Indonesia

1. Pekerja terancam tidak menerima pesangon.

UU Cipta kerja menghapus setidaknya 5 pasal mengenai pemberian pesangon. Imbasnya, pekerja
terancam tidak menerima pesangon ketika mengundurkan diri, mengalami Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK), atau meninggal dunia.

Pertama, pasal 81 poin 51 UU Ciptaker menghapus ketentuan Pasal 162 UU Ketenagakerjaan yang
berisi aturan penggantian uang pesangon bagi pekerja yang mengundurkan diri.

Kedua, pasal 81 poin 52 UU Ciptaker menghapus pasal 163 di UU Ketenagakerjaan terkait dengan


pemberian uang pesangon apabila terjadi PHK akibat perubahan status, penggabungan,
peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan.

Ketiga, pasal 81 poin 53 UU Ciptaker menghapus pasal 164 UU Ketenagakerjaan yang mengatur


pemberian uang pesangon apabila terjadi PHK akibat perusahaan mengalami kerugian secara
terus menerus selama 2 tahun atau keadaan memaksa (force majeur).

Keempat, pasal 81 poin 54 UU Ciptaker menghapus pasal 165 pada UU Ketenagakerjaan terkait


pemberian uang pesangon apabila terjadi PHK karena perusahaan pailit.

Kelima, pasal 81 poin 55 UU Ciptaker menghapus pasal 166 UU Ketenagakerjaan tentang


pemberian pesangon kepada ahli waris apabila pekerja atau buruh meninggal dunia.
2. TKA lebih mudah masuk RI

UU Ciptaker mempermudah masuknya Tenaga Kerja Asing (TKA) ke Indonesia. Hal ini dilakukan
melalui Pasal 81 poin 4 hingga 11 UU Ciptaker yang mengubah dan menghapus sejumlah aturan
tentang pekerja asing dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Contohnya, dalam UU Ciptaker pemerintah menghapuskan kewajiban izin tertulis bagi pengusaha
yang ingin mempekerjakan TKA sebagaimana tertuang dalam Pasal 81 poin 4 UU Ciptaker.
Sebelumnya, kewajiban ini tertuang pada Pasal 42 poin 1 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi.

"Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari
menteri atau pejabat yang ditunjuk," bunyi UU Ketenagakerjaan.

Sebagai gantinya, pengusaha hanya diwajibkan memiliki rencana penggunaan TKA, sebagaimana
tertuang dalam Pasal 81 poin 4 UU Ciptaker yang mengubah Pasal 42 UU Ketenagakerjaan menjadi:

"Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki rencana penggunaan
tenaga kerja asing yang disahkan oleh pemerintah pusat", bunyi UU Ciptaker.

Kemudian, pemerintah juga mempersempit cakupan jabatan yang dilarang diduduki oleh TKA.
Sebelumnya, hal itu diatur dalam Pasal 46 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi jika TKA dilarang
menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan jabatan-jabatan tertentu yang diatur dengan
keputusan menteri.

Namun, pemerintah menghapus pasal tersebut melalui pasal 81 poin 8 UU Ciptaker. Pemerintah
hanya melarang TKA menduduki jabatan yang mengurusi personalia.

3. Batasan maksimum 3 tahun untuk karyawan kontrak dihapus

Pemerintah mengubah dan menghapus sejumlah pasal dalam terkait ketentuan Perjanjian Kerja
untuk Waktu Tertentu (PKWT) melalui UU Ciptaker. Salah satu poin yang menuai kontroversi adalah
pemerintah menghilangkan batasan maksimal karyawan kontrak selama 3 tahun dalam UU Ciptaker.

Sebelumnya, pada Pasal 59 poin 1 UU Ketenagakerjaan disebutkan jika PKWT hanya dibuat untuk
pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3
tahun.

Namun, pasal 81 poin 15 UU Ciptaker mengubah bunyi pasal 59 UU Ketenagakerjaan sehingga hanya
menyampaikan jika PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya
dalam waktu yang tidak terlalu lama. Secara gamblang, pemerintah menghapus batasan maksimal 3
tahun tersebut.

Akan tetapi, pemerintah mencantumkan pada pasal 81 poin 15 yang mengubah Pasal 56 UU Ciptaker
jika jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu ditentukan berdasarkan perjanjian kerja.
Itu berarti, lama masa kontrak bergantung dari kesepakatan pemberi kerja dan pekerja atau buruh.

4. Jam lembur tambah dan cuti panjang hilang

Dalam UU Ciptaker tepatnya Pasal 81 poin 22 mengubah pasal UU 78 UU Ketenagakerjaan tentang


waktu kerja lembur. Mulanya, UU 78 UU Ketenagakerjaan menyebutkan jika waktu kerja lembur
hanya dapat dilakukan paling banyak 3 jam dalam 1 hari dan 14 jam dalam seminggu.

Namun dalam UU Ciptaker, waktu lembur bertambah menjadi paling lama 4 jam dalam sehari dan
18 jam dalam seminggu.

Selain itu, Pasal 81 poin 79 menghapus ketentuan cuti panjang yaitu 1 bulan pada tahun ke-7 dan 1
bulan pada tahun ke-8. Padahal, dalam UU Ketenagakerjaan ketentuan tersebut diatur dalam Pasal
79 ayat 4 huruf d.

5. Tak ada lagi UMK

UU Ciptaker menghapus upah berdasarkan provinsi atau kota/kabupaten (UMK) dan upah minimum
berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kota/kabupaten yang tertera dalam Pasal 89 UU
Ketenagakerjaan. Sebagai gantinya, UU Ciptaker menyatakan jika gubernur dapat menetapkan upah
minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu yang tertera dalam pasal selipan 88C UU Ciptaker.

DAMPAK POSITIF UU UMNIBUS LAW

Teten Masduki selaku Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah ( Menkop UKM) mengatakan
seperti yang ada di suaradewata.com bahwa omnibus law akan berdampak positip bagi UMKM,
pertama menurutnya adalah soal kebijakan pengupahan karena pada aturan ini untuk kebijakan
pengupahan UMKM dikecualikan dari upah minimum dan lainnya, artinya kelak UMKM dapat lebih
kompetitif dengan usaha besar.

Kedua diberlakukan omnibus law cipta lapangan kerja, diharapkan industri yang sebelumnya aktif
bergerak dari satu daerah ke daerah lain karena mencari upah kerja yang lebih murah, nanti tidak
lagi demikina karena lebih memilih bermitra dengan UMKM. Sisi yang lain pada Omnibus Law tidak
akan memberikan beban biaya pelaku UMK yang akan mengajukan sertifikasi halal, artinya
mengurangi pembiayaan bagi UMKM.

Anda mungkin juga menyukai