Anda di halaman 1dari 14

Filsafat, Agama, Etika, dan Hukum

Tugas Mata Kuliah


Etika Bisnis dan Profesi

Oleh:
Nur Afifah Dwi Rahayu
NIM: 190810301027
Nadya Safira
NIM: 190810301149
Iqmar Rifani Dizza
NIM: 190810301160

Program Studi Akuntansi


Fakultas Ekonomi
Universitas Jember
Tahun 2020
PENDAHULUAN

Filsafat berasal dari kata Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu, philo dan
shopia. Philo yang berarti cinta, sedangkan shopia merupakan bijaksana. Jadi filsafat
sendiri merupakan cinta terhadap kebijaksanaan (Fuad Faris Ismail dan Abdul Hamid
Mutawalli, 2003). Karakterisitik yang dimiliki filsafat bersifat menyeluruh, mendasar,
dan spekulatif. Filsafat juga dapat diartikan dengan kegiatan yang harus paham
dengan makna hakikat yang lainnya, baik agama, etika, dan hukum.
Agama merupakan pedoman yang dipegang oleh manusia untuk dapat hidup
baik di kehidupan dunia dan juga kehidupan di akhirat. Etika merupakan ilmu tentang
adat istiadat atau kebiasaan baik atau buruk dalam kehidupan. Sementara itu, hukum
merupakan sistem yang digunakan untuk mengatur peraturan yang sudah dilakukan
atas etika dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan antara kegitaganya adalah manusia
mempunyai agama yang dapat menjadi paham yang dapat mengerti tentang
kehidupan baik itu berupa etika, hukum, dan ilmu yang lainnya. Etika sendiri memiliki
adat atau kebiasaan yang juga diatur dalam hukum agar manusia mempunyai etika
yang berperilaku dengan baik.
PEMBAHASAN

2.1 Hakikat Filsafat


Filsafat berasal dari dua kata berbahasa Yunani, yakni philo dan shopia, yang
mana philo berarti cinta, sedangkan shopia bermakna bijaksana. Dengan demikian,
apabila disatukan, kedua kata tersebut—philoshopia, dapat dimaknai sebagai cinta
terhadap kebijaksanaan (Faud Farid Ismail dan Abdul Hamid Mutawalli, 2003).
Guna memahami lebih dalam mengenai filsafat, ada baiknya seseorang perlu
memahami dulu perbedaan antara pengetahuan (ilmu) dengan filsafat, sesuai
pernyataan yang diutarakan Suriasumantri (2000). Pengetahuan diawali dari rasa
ingin tahu, kepastian dimulai dari rasa ragu-ragu, sedangkan filsafat dimulai dari
keduanya.
Pengertian filsafat secara luas menurut Ahmad Taufik Nasution dalam bukunya
Filsafat Ilmu, dapat dikatakan sebagai: (1) usaha spekulatif manusia yang sangat
rasional, sistematik, konseptual untuk memperoleh pengetahuan selengkap-
lengkapnya berdasarkan kaidah ilmiah; (2) ikhtiar untuk menentukan batas
pengetahuan secara koheren dan menyeluruh; (3) dapat dipandang sebagai
“tubuh” pengetahuan yang memperlihatkan apa yang dilihat dan
dikatakan[ CITATION Nas16 \l 1033 ].
Karakteristik utama berpikir filsafat ialah sifatnya menyeluruh, sangat
mendasar, dan spekulatif. Sifat menyeluruh dapat dimaknai dengan
mempertanyakan hakikat keberadaan dan kebenaran tentang keberadaan itu
sendiri sebagai satu kesatuan secara keseluruhan, bukan hanya dari perspektif tiap
bidang, atau hanya sepotong-sepotong. Pokok permasalahan yang dikaji dalam
filsafat menurut Suriasumantri (2000) dapat mencakup tiga segi, yakni: apa yang
disebut benar dan apa yang disebut salah (logika), mana yang dianggap baik dan
apa yang disebut salah (logika), mana yang dianggap baik dan mana yang
dianggap buruk (etika), serta apa yang dianggap indah dan apa yang dianggap
buruk (estetika). Oleh sebab itu, filsafat dapat dikatakan sebagai induk dari seluruh
cabang ilmu pengetahuan dan seni. Sifat yang mendasar dapat diartikan
bahwasannya filsafat tidak begitu saja percaya bahwa ilmu itu adalah benar.
Kemudian, filsafat dikatakan memiliki sifat yang spekulatif karena filsafat selalu
ingin mencari jawaban bukan saja pada suatu hal yang sudah diketahui, tetapi juga
pada segala sesuatu yang belum diketahui.
Menurut Theo Huijbers (dalam Abdulkadir Muhammad, 2006), filsafat
merupakan kegiatan intelektual yang metodis, sistematis, dan secara reflektif
menangkap makna hakiki keseluruhan yang ada. Ada pun objek filsafat bersifat
universal serta mencakup segala sesuatu yang dialami oleh manusia.
Abdulkadir Muhammad kemudian menjelaskan filsafat dengan melihat unsur-
unsur yang terkandung di dalamnya, yakni:
a. Kegiatan intelektual (pemikiran).
b. Mencari makna yang hakiki (interpretasi).
c. Segala fakta dan gejala (objek).
d. Dengan cara refleksi, metodis, dan sistematis (metode).
e. Untuk kebahagiaan manusia (tujuan).
Terdapat tiga aspek yang dapat memperjelas perbedaan filsafat dengan ilmu
pengetahuan, atau untuk membedakan suatu cabang ilmu dengan ilmu lainnya,
yakni: (a) objek yang dikaji (ontologis), (b) prosedur atau metode untuk
mengkajinya (epistemologis), dan (c) tujuan penggunaan filsafat atau ilmu sendiri
(aksiologis).
No
Aspek Filsafat Ilmu
.
Segala sesuatu yang
bersifat fisik dan nonfisik, Segala sesuatu yang bersifat
1 Ontologis baik yang dapat direkam fisik dan yang dapat direkam
melalui indra maupun melalui indra.
tidak.
Pendekatan ilmiah,
Pendekatan yang bersifat
menggunakan dua pendekatan;
2 Epistemologis reflektif atau rasional-
deduktif dan induktif secara
deduktif.
saling melengkapi.
Sangat abstrak,
Sangat konkret, langsung
bermanfaat tetapi tidak
3 Aksiologis dapat dimanfaatkan bagi
secara langsung bagi
kepentingan umat manusia.
umat manusia.

2.2 Hakikat Agama


Pengertian dan definisi tentang agama menurut beberapa ahli:
1. Agus M. Harjana (2005) mengutip pengertian agama dari Ensiklopedia
Indonesia karangan Hassan Shadily. Agama berasal dari bahasa Sansekerta,
di mana a berarti tidak, gam berarti pergi, dan a berarti bersifat atau keadaan.
Sehingga, dapat didefinisikan agama adalah pegangan atau pedoman bagi
manusia untuk mencapai hidup kekal.
2. Fuad Farid Ismail dan Abdul Hamid Mutawalli (2003) menjelaskan
bahwasannya agama merupakan satu bentuk ketetapan Ilahi yang
mengarahkan mereka yang berakal—dengan pilihan mereka sendiri terhadap
ketetapan Ilahi tersebut—kepada kebaikan hidup di dunia dan kebahagiaan
hidup di akhirat.
3. Abdulkadir Muhammad (2006) memberi dua rumusan terkait agama, yakni: (a)
menyangkut hubungan antara manusia dengan suatu kekuasaan luar yang lain
dan lebih daripada yang dialami oleh manusia, serta (b) apa yang disyariatkan
Allah dengan perantara para Nabi-nya, berupa perintah dan larangan serta
petunjuk untuk kebaikan manusia di bumi dan akhirat.
Melalui beberapa definisi tersebut, dapat dirincikan rumusan agama
berdasarkan unsur-unsur penting sebagai berikut:
1. Hubungan manusia dengan sesuatu yang tak terbatas, yang transendental,
yang Ilahi—Tuhan Yang Maha Esa.
2. Berisi pedoman tingkah laku (dalam bentuk larangan dan perintah), nilai-nilai,
dan norma-norma yang diwahyukan langsung oleh Ilahi melalui nabi-nabi.
3. Untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan hidup kekal di akhirat.
Selain itu, dalam pengertian agama sebenarnya telah tercakup pula unsur-
unsur utama sebagai berikut:
1. Ada kitab suci.
2. Kitab suci yang ditulis oleh Nabi berdasarkan wahyu langsung dari Tuhan.
3. Ada suatu lembaga yang membina, menuntun umat manusia, dan menafsirkan
kitab suci bagi kepentingan umatnya.
4. Setiap agama berisi ajaran dan pedoman tentang:
a. Tatwa, dogma, doktrin, atau filsafat tentang ketuhanan.
Tujuannya adalah untuk meyakinkan umat manusia bahwa ada
kekuatan tak terbatas (Tuhan Yang Maha Esa) yang merupakan sumber
segala keberadaan (eksistensi), sekaligus yang mengatur seluruh
keberadaan ini.
b. Susila, moral, atau etika.
Pedoman perilaku yang sesuai dan yang tidak sesuai menurut
kehendak Tuhan, baik itu dalam hidup pribadi seseorang maupun dalam
hubungan pribadi seseorang dengan orang lain (masyarakat) dan
dengan alam (dunia).
c. Ritual, upacara, atau tata cara beribadat.
Metode dan tata cara manusia berhubungan dengan Tuhan.
d. Tujuan agama.
Menuntun umat manusia agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan
kehidupan yang kekal di akhirat.
Berdasarkan beberapa pengertian, dapat disimpulkan bahwasannya agama
ialah jalan menuju keselamatan serta hubungan antara manusia dengan Tuhan,
yang berisi tentang ajaran-ajaran, hukum, ketentuan, maupun peraturan yang
bersifat mengikat[ CITATION Sit19 \l 1033 ]. Melalui adanya agama, manusia dapat
mengikuti kehendak-kehendak yang diperintah oleh Tuhan selama manusia itu
hidup di dunia, serta menjaga keteraturan yang ada melalui peraturan atau
larangan-Nya.

2.3 Hakikat Etika


Etika berasal dari kata Yunani ethos (bentuk tunggal) yang berarti tempat
tinggal, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak, perasaan, sikap, dan
cara berpikir. Bentuk jamaknya ialah ta etha, yang memiliki makna adat istiadat.
Etika dapat disamakan pengertian dengan moral. Moral sendiri berasal dari kata
Latin; mos (bentuk tunggal), atau mores (bentuk jamak) yang berarti adat istiadat,
kebiasaan, kelakuan, watak, tabiat, akhlak, dan cara hidup (Kanter, 2001).
Beberapa kutipan lain terkait pengertian etika:
1. Terdapat dua pengertian etika; sebagai praksis dan sebagai refleksi. Sebagai
praksis, etika berarti nilai-nilai dan norma-norma moral baik yang dipraktikkan
atau justru tidak dipraktikkan, walaupun seharusnya dipraktikkan. Etika sebagai
praksis sama artinya dengan moral atau moralitas—yaitu apa yang harus
dilakukan, tidak boleh dilakukan, pantas dilakukan, dan sebagainya. Etika
sebagai refleksi adalah pemikiran moral (Bertens, 2001).
2. Etika secara etimologis dapat diartikan sebagai ilmu tentang apa yang bisa
dilakukan, atau ilmu tentang adat kebiasaan yang berkenaan dengan hidup
yang baik dan yang buruk (Kanter, 2001).
3. Istilah lain dari etika ialah susila. Su artinya baik dan sila artinya kebiasaan atau
tingkah laku. Susila dapat diartikan sebagai kebiasaan atau tingkah laku
perbuatan manusia yang baik. Etika sebagai ilmu disebut tata susila, yang
mempelajari tata nilai, tentang baik dan buruknya suatu perbuatan, apa yang
harus dikerjakan atau dihindari sehingga tercipta hubungan yang baik di antara
sesama manusia (Suhardana, 2006).
4. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (1988), etika dirumuskan dalam pengertian sebagai berikut:
a. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dan tentang hak serta
kewajiban moral (akhlak);
b. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
c. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat.
5. Menurut Webster’s Collegiate Dictionary, sebagaimana dikutip oleh Duska dan
Duska (2003), terdapat empat arti ethic, yakni sebagai berikut
a. The discipline dealing with what is good and bad and with moral duty
and obligation;
b. A set of moral principles or values;
c. A theory or system of moral values;
d. The principles of conduct governing an individual or group.
6. Menurut Lawrence, Weber, dan Post (2005), etika merupakan suatu konsep
tentang perilaku benar dan salah. Etika kepada kita apakah perilaku kita
bermoral atau tidak dan berkaitan dengan hubungan kemanusiaan yang
fundamental.
7. Menurut David P. Baron (2005), etika merupakan suatu pendekatan sistematis
atas penilaian moral yang didasarkan atas penalaran, analisis, sintesis, dan
reflektif.
Terdapat berbagai pengertian terkait etika. Akan tetapi, setidaknya etika dapat
diartikan dengan melihat dua hal berikut:
a. Etika sebagai praksis; sama dengan moral yang berarti adat istiadat,
kebiasaan, nilai-nilai, dan norma-norma yang berlaku dalam kelompok atau
masyarakat.
b. Etika sebagai ilmu atau tata susila adalah pemikiran atau penilaian moral.

2.4 Hakikat Nilai


Beberapa definisi terkait nilai:
1. Doni Koesoema A. (2007), mendefinisikan nilai sebagai kualitas suatu hal yang
menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, dan dihargai sehingga
dapat menjadi semacam objek bagi kepentingan tertentu. Nilai juga sesuatu
yang dapat memberikan makna dalam hidup, memberi titik tolak, isi, serta
tujuan dalam hidup.
2. Fuad Farid Ismail dan Abdul Hamid Mutawalli (2003) merumuskan nilai sebagai
standar atau ukuran (norma) yang dapat digunakan untuk mengukur segala
sesuatu.
3. Sorokin dalam Capra (2002), mengungkapkan tiga sistem nilai dasar yang
melandasi semua manifestasi suatu kebudayaan, yakni: nilai indrawi,
ideasional, dan idealistis. Sistem nilai indrawi menekankan bahwasannya nilai-
nilai indrawi (materi) merupakan realitas akhir (ultima) dan bahwa fenomena
spiritual hanyalah satu manifestasi dari materi. Sistem nilai ideasional berada
pada esktrem lain di mana realitas sejati berada di luar dunia materi dan bahwa
pengetahuan sejati dapat diperoleh melalui pengalaman batin. Tarik-menarik
dan saling memengaruhi antara kedua paham ini menghasilkan suatu tahap
sintesis tingkat menengah, yaitu sistem idealistis yang merupakan perpaduan
harmonis dan seimbang seimbang antara kedua nilai ekstrem indrawi dan
ideasional tersebut.
4. Esensi dari pendapat Max Scheller dalam bukunya Formalisme in der Ethik und
die Materiale Wertethik (dalam Suseno, 2006) terkait persoalan nilai dapat
diringkas sebagai berikut:
a. Ia membantah anggapan Immanuel Kant bahwa hakikat moralitas terdiri
atas kehendak untuk memenuhi kewajiban.
b. Nilai-nilai itu bersifat material (berisi, lawan dari formal) dan apriori.
c. Harus dibedakan dengan tajam antara nilai-nilai itu sendiri (werte,
values) dan apa yang bernilai atau realitas bernilai (guter, goods).
d. Cara menangkap nilai bukan dengan pikiran, melainkan dengan suatu
perasaan intensional (tidak dibatasi dengan perasaan fisik atau
emosional, melainkan dengan keterbukaan hati atau budi).
e. Empat gugus nilai yang mandiri dan jelas berbeda antara satu dengan
lainnya: (1) gugus nilai-nilai sekitar yang enak dan yang tidak enak, (2)
gugus nilai-nilai vital sekitar yang luhur dan yang hina, (3) gugus nilai-
nilai rohani, dan (4) gugus nilai-nilai tertinggi sekitar yang kudus dan
yang profame yang dihayati manusia dalam pengalaman religius.
f. Pada gugus ketiga (nilai-nilai rohani) dan gugus keempat (sekitar nilai-
nilai yang kudus), keduanya mempunyai ciri khas yaitu tidak mempunyai
acuan apa pun pada perasaan fisik di sekitar tubuh kita. Ada tiga
macam nilai rohani, yakni: (1) nilai estetik, (2) nilai-nilai yang benar dan
yang tidak benar, dan (3) nilai-nilai pengertian kebenaran murni.
g. Corak kepribadian, baik orang per orang maupun sebuah komunitas,
akan ditentukan oleh nilai-nilai yang dominan.
Melalui penjelasan tentang nilai tersebut, dapat disimpulkan tiga hal, yaitu:
a. Nilai selalu dikaitkan dengan sesuatu (benda, orang, hal).
b. Ada bermacam-macam (gugus) nilai selain nilai uang (ekonomis) yang sudah
cukup dikenal.
c. Gugus-gugus nilai itu membentuk semacam hierarki dari yang terendah sampai
dengan yang tertinggi.
2.5 Hubungan Agama, Etika, dan Nilai
Semua agama melalui kitab sucinya masing-masing mengajarkan tentang
tiga hal pokok, yaitu: (1) hakikat Tuhan, (2) etika, tata susila, (3) ritual, tata cara
beribadat. Dalam kitabnya tentu agama mengajarkan bagaimana manusia
berperilaku atau beretika yang dapat kita sebut dengan sikap moral. Kualitas
keimanan (spiritualitas) seseorang ditentukan bukan hanya dengan kualitas
ibadahnya (hubungan manusia dengan Tuhan), namun juga kualitas etika/moral
(hubungan manusia dengan manusia dan alam). Tingkat keyakinan dan
kepasrahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa (peribadatan) dan kualitas moral
seseorang akan menentukan gugus/hierarki nilai kehidupan yang telah dicapai.
Tujuan semua agama adalah untuk merealisasikan nilai tertinggi, yaitu hidup kekal
di akhirat. Nilai-nilai kehidupan duniawi (nilai-nilai yang lebih rendah) hanyalah
merupakan tujuan sementara yang dianggap sebagai perantara untuk mencapai
tujuan akhir (nilai tertinggi kehidupan).

2.6 Paradigma Manusia Utuh


a. Karakter dan Kepribadian
Soedarsono (2002) mendefinisikan kepribadian sebagai totalitas
kejiwaan seseorang yang menampilkan sisi yang didapat dari keturunan (orang
tua, leluhur) dan sisi yang didapat dari pendidikan, pengalaman hidup, serta
lingkungannya. Karakter adalah sisi kepribadian yang harus dimiliki seseorang
untuk memenuhi tuntutan kenyataan. Karakter dapat diubah, dibentuk,
dipelajari melalui pendidikan maupun pengalaman hidup.
Chopra mengatakan bahwa karakter/sifat manusia sama persis dengan
karakter/sifat yang dimiliki oleh sel tubuh manusia. Ada 10 karakter sel yang
dapat dijadikan sebagai karakter umat manusia, yaitu:
1. Ada maksud yang lebih tinggi, yaitu bekerja untuk kepentingan secara
menyeluruh, bukan untuk kepentingan sendiri-sendiri.
2. Kesatuan (keutuhan), saling berhubungan dan berkomunikasi.
3. Kesadaran, fleksibel terhadap situasi yang ada.
4. Penerimaan, memahami adanya saling ketergantungan antara satu
dengan yang lain.
5. Kreatifitas, menggabungkan atau menemukan cara-cara baru yang kreatif.
6. Keberadaan, kepatuhan kepada siklus.
7. Efisiensi, menggunakan energi sekecil mungkin (tidak perlu berlebihan).
8. Pembentukan ikatan, menyadari saling bergantung dan memerlukan satu
dengan yang lain.
9. Memberi, memberi dan memelihara integritas.
10. Keabadian, bereproduksi untuk meneruskan pengetahuan, pengalaman,
dan talenta untuk generasi berikutnya.
b. Kecerdasan, Karakter, dan Etika
Wahyuni Nafis (2006) melalui pemahamannya atas ajaran tradisional
Islam dan diinspirasi oleh beberapa pemikiran Stephan R Covery menyebutkan
ada tiga jenis kecerdasan dengan tiga golongan etika, yaitu:
1. Psiko etika, menyangkut masalah aku dan aku, memiliki sifat kemandirian.
Contoh karakter: berilmu, syukur, sabar
2. Sosio etika, menyangkut masalah aku dengan orang lain, yang memiliki
sifat ketergantungan. Contoh karakter: tali kasih, integritas, baik sangka.
Teo etika, merupakan masalah aku dengan Tuhan, yang memiliki sifat
saling ketergantungan. Contoh karakter: pasrah diri, tulus, tahan uji.
c. Karakter dan Proses Transformasi Kesadaran Spiritual
Kita sebagai manusia sebaiknya untuk mempunyai karakter yang baik,
tetapi sebelum kita mempunyai karakter baiknya kita harus mengerti
bagaimana cara proses transformasi diri kita untuk menjadi manusia dengan
karakter baik tersebut. Pada saat ini masih banyak ilmu pengetahuan dan
teknologi yang belum mengkaji ranah spiritual melalui pendekatan rasional atau
ilmiah. Pada ilmu psikologi hanya mencoba menjelaskan terkait ranah kejiwaan
tetapi ilmu psikologi membatasi dalam kajian emosional dan tidak ada upaya
lebih dalam untuk menjelaskan tentang kesadaran spiritual atau transendental.
Ajaran agama yang kita peroleh untuk pengembangan dalam diri kita sering kali
dalam pengajarannya bersifat indoktrinasi dan sekedar menjalankan praktik
ritual yang juga kurang menjelaskan tentang pendekatan melalui proses nalar
dan pengalaman langsung yang terjadi pada diri kita sendiri, akibatnya ajaran
agama tersebut tidak dapat untuk dijadikan pedoman dan tidak dapat
mencerahkan umatnya. Seperti, banyak manusia yang mempunyai agama
untuk pedoman hidup tetapi masih mempunyai perilaku yang buruk. Contohnya
masih banyak korupsi, konflik antar pemeluk agama yang berbeda dan banyak
yang manusia yang melakukan kekerasan pada orang lain. Dengan adanya
proses transformasi kesadaran spiritual ini manusia seharusnya memiliki
kesadaran atas perilaku dalam hidiupnya dan dapat dijadikan sebuah proses
transformasi agar tidak berperilaku yang buruk.
d. Pikiran, Meditasi dan Gelombang Otak
Olah pikir merupakan suatu konsep dan keterampilan yang mengatur
gelombang otak pada manusia sesuai dengan perilaku atau tindakan
aktivitasnya sehingga dapat mencapai hasil yang optimal. Otak pada manusia
akan memancarkan gelombang otak sesuai dengan perilaku atau tindakan
yang dilakukan manusia. Saat ini gelombang otak dapat diukur menggunakan
Elektroensefalogram (EEG). Dilihat dari frekuensinya gelombang otak terbagi
menjadi empat bagian yaitu beta, alpha, theta dan delta.
Beta merupakan gelombang otak yang berfrekuensi antara 14 – 100 Hz
yang merupakan pada otak kiri yang memiliki ciri-ciri kita berperilaku kognitif,
logika, analisis, konsentrasi, prasangka, cemas, was was dsb. Pada gelombang
beta, pikiran seseorang saat aktif berfikir dan memaksa otak untuk
mengeluarkan hormon koristol yang menyebkan timbulnya rasa cemas atau
khawatir. Alpha merupakan gelomang otak yang berfrekuensi 8 – 13,9 Hz yang
memiliki ciri-ciri kita berperilaku khusyuk, relaksasi, ikhlas, nyaman, bahagia,
santai dsb. Gelombang alpha ini kunci untuk membangun karakter untuk
melatih pikiran. Theta merupakan gelombang otak dengan frekuensi 4 – 7,9 Hz
yang memiliki ciri-ciri kita berperilaku kreatif, integrati, imajinatif, mimpi dsb.
Dan yang terakhir Delta merupakan gelombang otak yang berfrekuensi 0,1 –
3,9 Hz yang memiliki ciri-ciri tidak ada pikiran dan perasaan, tidur lelap dan
nurani bawah sadar kognitif.
e. Model Pembangunan Manusia Utuh
Model pembangunan manusia ini mempunyai dua model yaitu model
manusia tidak utuh dan model manusia utuh. Model manusia tidak utuh tujuan
hidupnya hanya memikirkan kekayaan, kesenangan dan kekuasaan duniawi.
Model manusia tidak utuh ini disebut dengan paradigma materialisme, manusia
yang hanya memikirkan kepuasan diri sehingga kurang sekali bahkan lupa
memikirkan untuk mengembangkan kecerdasan emosional dan kecerdasan
spiritual. Dengan demikian, model manusia tidak utuh ini memiliki IQ dan SQ
rendah yang menyebabkan manusia menjadi pribadi yang tidak percaya
adanya tuhan, berkarakter negatif dan kegelisahan di dalam hidupnya.
Sedangkan, model manusia utuh ini mengembangkan sikap dan perilaku agar
menyeimbangkan kualitas diri dengan pengetahuan intelektual, spiritual dan
sosial. Pada model manusia utuh ini memikirkan beberapa aspek yang dapat
dimanfaatkan untuk kebahagiaan, memikirikan untuk mengembangan IQ dan
SQ yang berguna bagi kehidupannnya. Jika manusia mengembangakn IQ dan
SQ maka pribadi manusia tersebut akan mengerti tentang etika, perilaku dan
keagamaan[ CITATION Ago09 \l 1033 ].
KESIMPULAN

Hakikat filsafat merupakan ilmu yang digunakan dalam seluruh aspek, baik
agama, etika, dan hukum. Pada seluruh aspek tersebut setiap elemen memiliki
kesatuan dan saling menyambung antar satu sama lain. Agama sebagai pedoman
untuk melakukan tindakan yang dapat menjadikan manusia untuk melakukan perilaku
yang lebih baik. Untuk melakukan perilaku yang lebih baik, manusia harus memahami
makna dari etika yang merupakan salah satu aspek dari filsafat. Jika memahami
makna dari etika, maka manusia tersebut mengerti tentang hukum yang telah buat
untuk mengatur seluruh tindakan dan perilaku manusia.
Model pengembangan manusia merupakan salah satu dari karakteristik antar
pembeda manusia satu dengan manusia yang lainya. Jika manusia memiliki model
pengembangan secara utuh maka manusia tersebut dapat memahami tentang aspek
dalam filsafatm begitu juga sebaliknya jika manusia memiliki model pengembangan
secara tidak utuh maka manusia tersebut mungkin masih belum memahami atau
hanya memahami salah satu dari aspek filsafat tersebut.
REFERENSI

Agoes, S., & Ardana, I. C. (2009). Etika Bisnis dan Profesi. Jakarta: Salemba Empat.
Amalia, S. (2019). Hakekat Agama Dalam Perspektif Filsafat Perenial. Indonesian
Journal of Islamic Theology and Philosophy, 1(1), 1-18.
Nasution, A. T. (2016). Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Deepublish.

Anda mungkin juga menyukai