Anda di halaman 1dari 16

REVIEW UTANG PAJAK

PPh 21 Sebagai Utang


Yang dimaksud pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana ditegaskan dalam PER-32/PJ/2015
pasal 2 ayat (1) meliputi :
1. pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi, badan, atau cabang, perwakilan atau unit, dalam hal
yang melakukan sebagian atau seluruh administrasi yang terkait dengan pembayaran gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain adalah cabang, perwakilan, atau unit tersebut;
2. bendahara atau pemegang kas pemerintah, termasuk bendahara atau pemegang kas pada
Pemerintah Pusat termasuk institusi TNI/POLRI, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah,
lembaga-lembaga negara lainnya, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri, yang
membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk
apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan;
3. dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain yang
membayar uang pensiun secara berkala dan tunjangan hari tua atau jaminan hari tua;
4. orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar
honor, komisi, fee, dll.
5. penyelenggara kegiatan, termasuk badan pemerintah, organisasi yang bersifat nasional dan
internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan, yang
membayar honorarium, hadiah, atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi
berkenaan dengan suatu kegiatan.
Kewajiban pemotong pajak adalah memotong pajak terhadap suatu transaksi yang sudah jelas-jelas
merupakan penghasilan bagi Wajib Pajak yang menerima dalam tulisan ini adalah pembayaran gaji dan
sejenisnya.  Yang perlu diingat adalah bahwa pemotongan pajak hanya dilakukan terhadap transaksi yang
sudah pasti merupakan penghasilan bagi yang menerima, sehingga pemotongan pajak hanya terjadi pada
jenis pajak Pajak Penghasilan saja, baik yang diperlakukan sebagai pajak yang bersifat final maupun yang
bukan final.
Pada prinsipnya pajak yang dipotong dan atau yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak akan diakui
sebagai :
 Utang
 Piutang
 Pelunasan
PPh Pasal 21 Sebagai Utang
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang diakui sebagai utang oleh Wajib Pajak adalah pajak yang telah
dilakukan pemotongan oleh Wajib Pajak sendiri berkaitan dengan transaksinya dengan Wajib Pajak lain.
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang telah dilakukan pemotongan oleh Wajib Pajak pada dasarnya harus
dibayarkan kepada negara. Maka dengan demikian pengertian utang pajak dalam kaitan dengan
pemotongan adalah utang pajak dari Wajib Pajak kepada negara, atas pajak dari Wajib Pajak lainnya.
Pengakuan PPh Pasal 21 Sebagai Utang
Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagai utang pajak dapat terjadi apabila Wajib Pajak telah melakukan
pembayaran gaji dan sejenisnya kepada pegawai, yang atas gaji dan sejenisnya tersebut terdapat PPh
Pasal 21 yang sudah dipotong. Bentuk pembayaran gaji dan sejenisnya yang dapat terutang PPh Pasal 21
antara lain adalah atas pembayaran seperti :
1. Gaji, upah, dan tunjangan
2. Honorarium dan komisi
3. Bonus, THR, Gratifikasi, dan Tantiem
4. Uang pesangon
5. Hadiah
6. Natura dan Kenikmatan
7. Peningkatan SDM
8. Perjalanan
9. Jenis pembayaran lain
Utang PPh Pasal 21 terjadi karena PPh yang terutang atas pegawai/karyawan, pelunasannya dilakukan
dengan cara dipotong oleh pemberi kerja, dan kemudian akan dibayarkan paling lambat pada tanggal 10
bulan berikutnya  sejak saat terjadinya pemotongan PPh (Pasal 2 PMK-242/PMK.03/2014).
Besarnya potongan PPh Pasal 21 yang akan diakui sebagai utang oleh pemberi kerja harus dihitung oleh
pemberi kerja dengan memperhatikan keseluruhan penghasilan yang diberikan kepada karyawan pada
bulan bersangkutan dan pada bulan-bulan sebelumnya, yang dalam perhitungannya harus disetahunkan.
Sumber:https://nusahati.com/2015/12/pph-21-sebagai-utang-piutang-pelunasan/#:~:text=Utang
%20PPh%20Pasal%2021%20terjadi,03%2F2014).

Apa itu Jurnal PPh 23?


Jurnal PPh 23 adalah pencatatan potongan pajak atas penghasilan pasal 23 (PPh 23) yang
diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang berasal dari
modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh pasal 21.

Jurnal PPh 23 biasanya diterbitkan dalam bentuk faktur (invoice) setiap terjadi transaksi antara
pihak penerima penghasilan (penjual atau pemberi jasa) dan pemberi penghasilan.

Pihak pemberi penghasilan (pembeli atau penerima jasa) akan memotong dan melaporkan PPh
pasal 23 tersebut kepada kantor pajak.

Perlu Anda ketahui, pembuatan jurnal PPh 23 ini sangat penting dilakukan agar tidak terjadi
kesalahan dalam pencatatan perpajakan karena dapat menyebabkan terjadinya pemeriksaan oleh
fiskus.

Perusahaan sebagai pihak yang dipotong pajak atau menerima penghasilan harus melakukan
pencatatan PPh Pasal 23 terutang sebagai pajak dibayar di muka atau prepaid tax yang nanti
akan menjadi penghitungan surat pemberitahuan tahunan (SPT) PPh Badan.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) PPh Nomor 36 Tahun 2008, sifat dari PPh Pasal 23 adalah
pemotongan, dalam arti penerima penghasilan yang dikenai PPh Pasal 23 dipotong terlebih
dahulu PPh Pasal 23 oleh pemberi penghasilan.

Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 adalah wajib pajak dalam negeri (WPDN)
dan Badan Usaha Tetap (BUT).

Sesuai UU PPh No. 36 Tahun 2008, pemotong PPh Pasal 23 akan memotong serta membayar
pajak yang telah diterima dan melaporkan PPh Pasal 23 ke kantor pajak.

Siapa yang Menjadi Pemotong?


Pemotong PPh 23 ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang diberikan kepada
wajib pajak orang pribadi dalam negeri tertentu yang telah terdaftar sebagai wajib pajak. Wajib
pajak orang pribadi dalam negeri tertentu wajib memotong PPh Pasal 23 atas pembayaran sewa.

Siapa saja wajib pajak yang bisa ditunjuk sebagai pemotong pajak penghasilan pasal 23? Berikut
daftarnya:

1. Badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap,
atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
2. Wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang ditunjuk sebagai pemotong PPh 23, yaitu:
 Akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut
adalah camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas;
 Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan.
Objek PPh 23
1. Dividen
Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi
atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi.
2. Bunga
Yaitu bunga pinjaman dari wajib pajak badan ke wajib pajak badan dan/atau dari wajib pajak
orang pribadi ke wajib pajak orang pribadi serta denda keterlambatan pembayaran. Dalam
pengertian bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
3. Royalti
Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan apa pun,
baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai imbalan atas penggunaan atau hak
menggunakan hak cipta, peralatan, dan/atau informasi.
4. Hadiah, Penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain kepada Orang Pribadi
Dikenakan PPh Pasal 23 jika hadiah atau penghargaan perlombaan, penghargaan, dan hadiah
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan lainnya diterima oleh wajib pajak badan
termasuk BUT.
5. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penguunaan harta, kecuali sewa tanah dan/atau
bangunan
Merupakan penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan kesepakatan untuk
memberikan hak menggunakan harta selama jangka waktu tertentu baik dengan perjanjian tertulis
maupun tidak tertulis sehingga harta tersebut hanya dapat digunakan oleh penerima hak selama
jangka waktu yang telah disepakati.
6. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan
jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.
Pemerintah telah menambahkan 62 jenis jasa lainnya yang menjadi objek PPh pasal 23.
Penambahan objek PPh 23 ini tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.
141/PMK.03/2015. Lihat daftar lengkap objek PPh 23 jasa lainnya di sini.

Tarif PPh 23
Tarif pajak atas objek pemotongan PPh Pasal 23 adalah 15% atas Dividen, Bunga, Royalti, dan
Hadiah ataupun sejenisnya. Kemudian untuk objek pajak sewa dan penghasilan lain serta
imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan
jasa lain yang telah dipotong PPh Pasal 21, dikenakan tarif 2%.

Perlu diingat, bagi wajib pajak penerima penghasilan yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP), besar tarif pemotongan pajak penghasilan akan lebih tinggi 100%.

Yang Dikecualikan dari Pemotongan


 Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank;
 Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
 Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak
dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah dari penyertaan
modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dan dividen yang
diterima oleh orang pribadi;
 Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak
terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit
penyertaan kontrak investasi kolektif;
 Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
 Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi
sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
Contoh Jurnal PPh Pasal 23 dengan Tarif Potongan 2%
PT Sejahtera memberikan jasa konsultasi kepada CV Indah pada bulan Agustus 2019 dengan
imbalan sebesar Rp20.000.000 tunai.

Jurnal PPh 23 atas Imbalan Jasa Konsultan PT Sejahtera kepada CV Indah

Kas Agustus Rp19.600.000


PPh 23 dibayar di muka Rp400.000
Pendapatan Jasa Konsultasi Rp20.000.000

Penjelasan: Berdasarkan ketentuan PPh pasal 23, imbalan sehubungan dengan jasa konsultasn
dikenai PPh pasal 23 dengan tarif 2% dari penghasilan bruti. Jumlah PPH pasal 23 yang dipotong
adalah Rp400.000 (Rp20.000.000×2%).

Akun PPh 23 dibayar di muka adalah aktiva lancar yang akan ditutup (dikreditkan) ke PPh
terutang pada akhir tahun fiskal.

Contoh Jurnal PPh Pasal 23 dengan Tarif Potongan 15%


Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Sejahtera mengumumkan pembagian dividen
sebesar Rp3.000.000.000. PT Perkasa memiliki 10% saham PT Sejahtera.
PT Perkasa adalah wajib pajak badan yang atas dividen yang diterimanya tidak berlaku
ketentuan PPh pasal 4 ayat (2). Berdasarkan ketentuan Undang-Undang (UU) PPh Nomor 36
Tahun 2008, penghasilan berupa dividen dikenai PPh pasal 23 dengan tarif 15% dari penghasilan
bruto.

Kepemilikan PT Perkasa adalah 10%, sehingga dividen yang menjadi hak PT Perkasa adalah
Rp300.000.000 (Rp3.000.000.000×10%).

Jumlah PPh pasal 23 yang dipotong adalah Rp45.000.000 (Rp300.000.000×15%).

Jurnal PPh 23 atas Dividen PT Perkasa

Piutang Dividen Rp255.000.000


PPh 23 dibayar di muka Rp45.000.000
Pendapatan Dividen Rp300.000.000

Cara Mudah Setor dan Lapor PPh 23


Bagaimana, mudah bukan untuk menghitungnya? Tapi jangan lupa sebagai wajib pajak
pemotong PPh 23, Anda masih harus membayar atau setor pajak dan melaporkan potongan pajak
penghasilan 23 ke kantor pajak.

Bila tak ingin repot, saat ini Anda bisa setor PPh 23 secara online melalui aplikasi OnlinePajak.
Tak hanya setor, dalam satu aplikasi berbasis website ini, Anda juga bisa langsung melaporkan
pembayaran pajak penghasilan pasal 23 tersebut.

Caranya, pihak pemotong harus mengisi SPT PPh Pasal 23 dan melaporkannya melalui
layanan e-filing di OnlinePajak. Lihat cara lengkapnya di sini.

Ingat, jatuh tempo pembayaran PPh 23 adalah setiap tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan
terutang pajak penghasilan pasal 23. Sementara pelaporan PPh pasal 23 jatuh tempo setiap
tanggal 20, sebulan setelah bulan terutang pajak.

Sumber: https://www.online-pajak.com/seputar-pajakpay/jurnal-pph-23

Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 26 (PPh Pasal 26)


Menurut Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008, PPh Pasal 26 adalah pajak penghasilan yang
dikenakan atas penghasilan yang diterima wajib pajak luar negeri dari Indonesia selain bentuk
usaha tetap (BUT) di Indonesia.

Hal yang menentukan seorang individu atau perusahaan dikategorikan sebagai wajib pajak luar
negeri adalah:

 seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal di Indonesia
tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan yang tidak didirikan atau berada
di Indonesia, yang mengoperasikan usahanya melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
 seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal di Indonesia
tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan yang tidak didirikan atau berada
di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak melalui
menjalankan usaha melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia.
Semua badan usaha yang melakukan transaksi pembayaran (gaji, bunga, dividen, royalti dan
sejenisnya) kepada Wajib Pajak Luar Negeri, diwajibkan untuk memotong Pajak Penghasilan
Pasal 26 atas transaksi tersebut.

Berdasarkan PMK RI Nomor 9/PMK.03/2018 tentang SPT, pelaporan SPT PPh pasal 26 wajib e-
Filing sejak 1 April 2018.

Tarif umum untuk PPh pasal 26 adalah 20%. Namun jika mengikuti tax treaty/Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda (P3B), maka tarif dapat berubah.

Tarif untuk Pajak Penghasilan Pasal 26 (PPh Pasal 26)


Tarif 20% (final) atas jumlah bruto yang dikenakan atas:

1. Dividen
2. Bunga, termasuk premium, diskonto, insentif yang terkait dengan jaminan pembayaran pinjaman
3. Royalti, sewa, dan pendapatan lain yang terkait dengan penggunaan aset
4. Insentif yang berkaitan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
5. Hadiah dan penghargaan
6. Pensiun dan pembayaran berkala
7. Premi swap dan transaksi lindung lainnya
8. Perolehan keuntungan dari penghapusan utang
Tarif 20% (final) dari laba bersih yang diharapkan dari:

1. Pendapatan dari penjualan aset di Indonesia.


2. Premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui pialang kepada
perusahaan asuransi di luar negeri.
Tarif 20% (final) dari laba bersih yang diharapkan selama penjualan atau pengalihan saham
perusahaan antara perusahaan media atau perusahaan tujuan khusus yang didirikan atau
bertempat di negara yang memberikan perlindungan pajak yang memiliki hubungan khusus
untuk suatu entitas atau bentuk usaha tetap (BUT) didirikan di Indonesia.

Tarif 20% yang dipungut dari penghasilan kena pajak setelah dikurangi dengan pajak, suatu
bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di
Indonesia.

Tingkat berdasarkan tax treaty (perjanjian pajak) yang dikenal sebagai JGI Penghindaran Pajak
berganda (P3B) antara Indonesia dan negara-negara lain yang berada dalam perjanjian, mungkin
berbeda satu sama lain. Tarif mereka biasanya mengurangi tingkat dari tarif biasa 20%, dan
beberapa mungkin memiliki tarif 0%.

Tahukah Anda, terhitung 1 September 2020, wajib pajak PKP dan non PKP wajib menggunakan
e-Bupot untuk PPh 23 dan/atau PPh 26. Hal ini sejalan dengan SK DJP No. KEP-
368/PJ/2020 yang ditetapkan pada 10 Agustus 2020 lalu.
Untuk itu, OnlinePajak sebagai aplikasi pajak terintegrasi memberikan kemudahan bagi Anda
untuk mengelola e-Bupot PPh 23/26. Temukan informasi selengkapnya di sini!

Kesimpulan
 PPh pasal 26 adalah pajak penghasilan yang dipotong dari badan usaha apa pun di Indonesia yang
melakukan transaksi pembayaran (gaji, bunga, dividen, royalti dan sejenisnya) kepada Wajib
Pajak Luar Negeri.
 Untuk melakukan e-Filing PPh pasal 26 gratis dan mudah di aplikasi OnlinePajak, wajib pajak
badan dapat melakukan impor data SPT Masa PPh pasal 26 dari software e-SPT ke OnlinePajak
terlebih dahulu.
 Mulai 1 Agustus 2020, wajib melakukan e-Bupot untuk PPh 23 dan/atau 26.
Sumber: https://www.online-pajak.com/tentang-bukti-potong/pph-pajak-penghasilan-pasal-
26#:~:text=Pengertian%20Pajak%20Penghasilan%20Pasal%2026,tetap%20(BUT)%20di
%20Indonesia.

Pengertian PPh Pasal 29


Menurut UU No.36 Tahun 2008, Pajak Penghasilan Pasal 29 (PPh 29) adalah PPh Kurang Bayar
(KB) yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh, yaitu sisa dari PPh yang terutang dalam tahun
pajak yang bersangkutan dikurangi dengan kredit PPh (PPh Pasal 21, 22, 23, dan 24) dan PPh
Pasal 25.

Dalam hal ini, Wajib Pajak (WP) wajib memiliki kewajiban melunasi kekurangan pembayaran
pajak yang terutang sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.

Apabila tahun buku sama dengan tahun kalender, kekurangan pajak tersebut wajib dilunasi
paling lambat 31 Maret bagi Wajib Pajak Orang Pribadi atau 30 April bagi Wajib Pajak Badan
(WPB) setelah tahun pajak berakhir.

Bagaimana bila tahun buku tidak sama dengan tahun kalender, misalnya dimulai dari 1 Juli
sampai dengan 30 Juni tahun depan? Maka, kekurangan wajib pajak harus dilunasi paling lambat
30 September bagi Wajib Pajak Orang Pribadi atau 31 Oktober bagi Wajib Pajak Badan (WPB).

Tarif PPh Pasal 29


1. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WPOP-PT) :
 PPh 25 yang sudah dilunasi = 0.75 x jumlah penghasilan / omzet per bulan.
 PPh 29 yang harus dilunasi = PPh yang masih terutang – PPh 25 yang sudah dilunasi.
2. Wajib Pajak Badan (WPB) :
 Angsuran PPh 25 = PPh terutang tahun lalu x 12.
 PPh 29 yang harus dilunasi = PPh yang terutang – angsuran PPh 25.
Di OnlinePajak, Anda dapat melakukan e-Filing atau lapor pajak online PPh Pasal 29 gratis
dengan cara impor data SPT Masa dalam bentuk CSV file dari software e-SPT ke OnlinePajak.
Jadi, tunggu apa lagi? Gunakan OnlinePajak sekarang juga.
Kesimpulan
 PPh pasal 29 adalah PPh Kurang Bayar (KB) yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh, yaitu sisa
dari PPh yang terutang dalam tahun pajak yang bersangkutan dikurangi kredit PPh.
 Tarif PPh pasal 29 berbeda antara wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan.
 Jika ingin melaporkan SPT PPh pasal 29 melalui e-Filing, wajib pajak bisa menggunakan
OnlinePajak.
 Untuk melaporkan pajak PPh pasal 29 di OnlinePajak cukup dengan mengimpor file CSV.
Sumber: https://www.online-pajak.com/tentang-efiling/pajak-penghasilan-pasal-pph-pasal-
29#:~:text=pph%20pasal%2029%20adalah%20pph,pribadi%20dan%20wajib%20pajak%20badan.

Pajak Keluaran
Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak
(PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), ekspor
BKP Berwujud, ekspor BKP Tidak Berwujud dan/atau ekspor JKP.

Sebagai bukti pungutan PPN, maka PKP diharuskan untuk membuat Faktur Pajak.

PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak inilah yang merupakan Pajak Keluaran bagi PKP Penjual Barang
Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.

Dalam hal PKP memperoleh BKP dan/atau JKP dan/atau memanfaatkan BKP tidak berwujud dari Luar Daerah
Pabean da/atau pemanfaatan JKP dari Luar Daerah Pabean dan/atau Impor BKP, maka PPN tersebut
merupakan Pajak Masukan bagi PKP tersebut.

Jumlah Pajak Keluaran dan Pajak Masukan tersebut kemudian dituangkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT)
Masa PPN.

Ketika jumlah Pajak Keluaran lebih besar daripada jumlah Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan jumlah
PPN yang harus disetor ke Kas Negara oleh PKP.  

Apabila dalam suatu Masa Pajak, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada jumlah
Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.

Namun, apabila kelebihan Pajak Masukan terjadi pada Masa Pajak akhir tahun buku, kelebihan Pajak Masukan
tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian (restitusi).
Sumber: https://www.pajak.go.id/id/pajak-keluaran#:~:text=Pajak%20Keluaran%20adalah
%20Pajak%20Pertambahan,Berwujud%20dan%2Fatau%20ekspor%20JKP.
Definisi Income Tax Expense dan Income Tax Payable.

Income Tax Expense merupakan Pajak Penghasilan (PPh) yang termasuk ke dalam komponen
biaya yang dibebankan dalam laporan keuangan komersial. Beban PPh adalah jumlah agregat
pajak kini dan pajak tangguhan yang diperhitungkan dalam menentukan laba atau rugi pada satu
periode. Setiap membuat jurnal akuntansi terkait pajak penghasilan, akun Income Tax
Expense  berada di sisi debet. Perlu diketahui bahwa pajak penghasilan yang telah dibebankan
sebagai biaya menurut komersial, harus dikoreksi fiskal positif karena tidak dapat dibebankan
secara fiskal. Kemudian Income Tax Payable merupakan hutang Pajak Penghasilan yang belum
dibayar. Karena setiap membuat jurnal akuntansi terkait pajak penghasilan, akun Income Tax
Expense  berada di sisi kredit.

(Baca juga: Bagaimana Cara Melakukan Rekonsiliasi Fiskal?)

Contoh: Jurnal Pajak Penghasilan Pasal 21

PT A membayar gaji bulan juni 2020 pada 25 juni, sebagai berikut:

 Gaji Pokok Rp 500.000.000


 Tunjangan makanan Rp 10.000.000
 Tunjangan jabatan Rp 9.000.000
 Premi Jaminan Kesehatan Rp 300.000
 Premi Jaminan Kematian Rp 200.000
 Jaminan Hari Tua dibayar oleh perusahaan (3,7%) Rp 18.500.000
 Jaminan Hari Tua dipotong dari gaji karyawan (2%) Rp 10.000.000
 PPh 21 ditanggung perusahaan Rp 10.250.000

Jurnal akuntansi perpajakan 25 juni 2020 yaitu:

Salaries Expense (Debet) Rp 500.000.000

Meal Allowance Expense (Debet) Rp 10.000.000

Grade Allowance Expense (Debet) Rp 9.000.000 

Insurance Expense (Debet) Rp 19.000.000

Income Tax Article 21 Expense (Debet) Rp 10.250.000

Cash (Kredit) Rp 509.000.000

Insurance Payable (Kredit) Rp 29.000.000


Income Tax Article 21 Payable  (Kredit) Rp 10.250.000

Jurnal akuntansi perpajakan 10 juli 2020 yaitu:

Insurance Payable (Debet) Rp 29.000.000

Income Tax Article 21 Payable (Debet) Rp 10.250.000

Cash (Kredit) Rp 39.250.000

Perbedaan Income Tax Expense dan Income Tax Payable

Income Tax Expense muncul pada jurnal akuntansi perpajakan jika pajak tersebut merupakan
beban atau tanggungan bagi perusahaan. Karena selain dicatat sebagai Income Tax
Expense,  dapat juga dicatat sebagai Prepaid Tax (pajak dibayar dimuka) dalam hal pajak yang
dibayar menjadi kredit pajak kemudian dalam laporan neraca akuntansi dicatat pada harta.
Misalnya: PT A membayar PPh 25 yang terutang Masa Juni 2020 sebesar Rp 15.000.000, maka
jurnal akuntansi pajak yaitu:

Prepaid Tax Article 25 (Debet) Rp 15.000.000

Cash (Kredit) Rp 15.000.000

Sedangkan Income Tax Payable muncul pada jurnal akuntansi pajak jika pajak yang terutang
belum dibayar. Dicatat pada laporan neraca pada kewajiban.

Untuk mengelola pajak Anda secara gratis, gunakan pajak.io yang merupakan PJAP, mitra resmi
Ditjen Pajak RI.

Sumber: https://blog.pajak.io/perbedaan-income-tax-expense-dan-income-tax-
payable/#:~:text=Income%20Tax%20Expense%20merupakan%20Pajak,atau%20rugi%20pada
%20satu%20periode.

Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan


Pajak Bumi dan Bangunan adalah pungutan atas tanah dan bangunan yang muncul karena
adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi bagi seseorang atau badan yang
memiliki suatu hak atasnya, atau memperoleh manfaat dari padanya.

Jika dilihat dari sifatnya, Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak yang bersifat kebendaan.
Artinya, besaran pajak terutang ditentukan dari keadaan objek yaitu bumi dan/atau bangunan.
Sedangkan keadaan subjeknya tidak ikut menentukan besarnya barang.

Contoh objek bumi:

 Sawah.
 Ladang.
 Kebun.
 Tanah.
 Pekarangan.
 Tambang.
Contoh objek bangunan:

 Rumah tinggal.
 Bangunan usaha.
 Gedung bertingkat.
 Pusat perbelanjaan.
 Pagar mewah.
 Kolam renang.
 Jalan tol.
Subjek Pajak Bumi dan Bangunan
Subjek PBB adalah orang pribadi dan badan yang secara nyata memiliki hal-hal berikut ini:

 Mempunyai hak atas bumi.


 Memperoleh manfaat atas bumi.
 Memiliki bangunan.
 Menguasai bangunan.
 Memperoleh manfaat atas bangunan.
Tidak Termasuk Objek Pajak Bumi dan Bangunan
Ternyata, tidak semua objek bumi bangunan bisa dikenakan PBB. Terdapat juga objek pajak
yang tidak dapat dikenakan PBB. Namun, objek pajak tersebut harus memiliki kriteria tertentu
yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan. Berikut ini daftar kriteria tersebut:

 Objek pajak tersebut digunakan semata-mata untuk kepentingan umum dibidang ibadah, sosial,
kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh
keuntungan.
 Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan hal tersebut.
 Objek pajak  merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah
penggemkbalaan yang dikuasai suatu desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.
 Objek pajak digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsultan berdasarkan asas perlakuan timbal
balik.
 Objek pajak digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh
menteri keuangan.
Undang-Undang yang Mengatur Pajak Bumi dan Bangunan
Pungutan atas PBB didasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

Kemudian, sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi
Daerah, maka kewenangan dalam pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pedesaan dan
Perkotaan (PBB P2) telah diserahkan ke pemerintah kabupaten/kota.

Sedangkan, untuk PBB sektor Pertambangan, Perhutanan, dan Perkebunan (PBB P3) masih di
bawah wewenang pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Tarif Pajak Bumi dan Bangunan
Tarif pajak bumi dan bangunan yang berlaku sejak dahulu hingga saat ini masih sama, yakni
sebesar 0,5%.

Cara Mendaftarkan Objek Pajak Bumi dan Bangunan


Bagi Anda yang ingin mendaftarkan objek PBB, baik untuk orang pribadi maupun badan, Anda
harus mendaftarkan Objek Pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Penyuluhan dan
Konsultasi Perpajakan (KP2KP) yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak yang akan
Anda daftarkan.

Sesampainya di sana, Anda perlu meminta formulir Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP)
yang sudah tersedia secara gratis di KPP dan KP2KP setempat. Agar prosesnya berjalan dengan
lancar, maka Anda juga perlu memahami hak dan kewajiban Anda sebagai pendaftar objek pajak
bumi dan bangunan Anda.

Hak dan Kewajiban Wajib Pajak dalam Mendaftarkan Objek Pajak


Berikut ini hak-hak Anda ketika mengurus atau mendaftarkan Objek Pajak Anda ke KPP dan
KP2KP:

1. Anda dapat memperoleh formulir SPOP secara GRATIS pada KPP, KP2KP, atau tempat lain
yang sudah ditunjuk oleh pemerintah.
2. Anda berhak mendapatkan penjelasan, keterangan tentang tata cara pengisian maupun
penyampaian kembali SPOP pada KPP atau KP2KP setempat.
3. Anda berhak mendapatkan tanda terima pengembalian SOPO dari KPP atau KP2KP setempat.
4. Anda boleh memperbaiki atau mengisi ulang SPOP jika terdapat kesalahan dalam pengisian.
Namun, perbaikan ini juga harus disertai dengan fotokopi bukti sah sertifikat tanah, akta jual beli
tanah, dan lain sebagainya.
5. Anda juga berhak menunjuk pihak lain selain pegawai DJP dengan syarat melampirkan surat
kuasa khusus yang disertai meterai, sebagai tanda atas kuasa wajib pajak untuk mengisi serta
menandatangani SPOP.
6. Anda berhak mengajukan permohonan secara tertulis soal penundaan penyampaian SPOP asalkan
tidak melampaui batas waktu dan menyebutkan alasan-alasan yang sah.
Sedangkan kewajiban Anda sebagai wajib pajak dalam mendaftarkan objek pajak Anda melalui
KPP atau KP2KP adalah:

1. Kewajiban Anda sebagai wajib pajak yang memiliki objek pajak bumi dan bangunan adalah
mendaftarkan objek pajak dengan mengisi SPOP.
2. Ketika mengisi SPOP harus jelas, benar, dan lengkap. Artinya, data dapat dibaca sehingga tidak
menimbulkan salah tafsir, sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, dan data terisi seluruhnya,
kemudian ditandatangani, serta melampirkan surat kuasa khusus jika proses
pengisian/pengurusan SPOP dikuasakan.
3. Memberikan atau menyampaikan kembali SPOP yang telah Anda isi ke KPP Pratama atau
KP2KP setempat paling lambat 30 hari setelah formulir SPOP diterima.
4. Jika ada perubahan data, Anda wajib melaporkan perubahan atas data objek pajak ke KPP
Pratama atau KP2KP setempat dengan mengisi kembali SPOP sebagai perbaikan SPOP yang
salah sebelumnya dengan melampirkan beberapa dokumen pendukung seperti, Fotokopi sertifikat
tanah, akta jual beli tanah, dan lain sebagainya.
Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan
Setelah mengetahui pengertian PBB, dasar hukumnya, subjek dan objek PBB, tarif, serta cara
mendaftarkan obejk pajak, kini Anda juga perlu tahu dasar PBB. Dasar pengenaan pajak bumi
dan bangunan adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

NJOP merupakan harga rata-rata atau harga pasar pada transaksi jual beli tanah. Dalam hal ini,
objek pajaknya adalah bumi dan bangunan. Setiap tahun, biasanya Menteri Keuangan dengan
mendengarkan pertimbangan bupati/walikota menetapkan NJOP. Penetapan tersebut didasarkan
atas sejumlah hal seperti:

1. Dasar penetapan NJOP bumi:

o Letak.

o Pemanfaatan.

o Peruntukan.

o Kondisi Lingkungan.

2. Dasar penetapan NJOP bangunan:

o Bahan yang digunakan dalam bangunan.

o Rekayasa.

o Letak.

o Kondisi lingkungan.

Selain itu, terdapat juga dasar penetapan NJOP saat tidak ada transaksi jual beli. Nah,
penjelasannya akan dijabarkan di bawah ini.

1. Perbandingan Harga dengan Objek Lainnya: objek lain yang dimaksud merupakan objek
yang masih sejenis, lokasinya berdekatan, memiliki fungsi yang sama dengan objek lain yang
sudah diketahui nilai jualnya. Penggunaan objek lain yang memiliki kriteria tersebut sebagai
gambaran yang kurang lebih bisa mendekati nilai objek yang dibandingkan. Sehingga NJOP yang
ditetapkan pun memiliki hitungan yang benar.
2. Nilai Perolehan Baru: penetapan NJOP dengan nilai perolehan baru yang dimaksud adalah
dengan menghitung biaya yang sudah dikeluarkan untuk memperoleh objek pajak. Penilaian
tersebut nantinya akan dikurangi dengan penyusutan yang terjadi, seperti penyusutan yang terjadi
pada kondisi fisik objek pajak.
3. Nilai Jual Pengganti: nilai jual pengganti yang dimaksud adalah penetapan NJOP berdasarkan
pada hasil produk onjek pajak. Jadi, nilai jualnya didasarkan pada keluaran yang dihasilkan oleh
objek pajak itu sendiri.
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak
NJOPTKP merupakan batas Nilai Jual Objek Pajak atas bumi dan bangunan yang tidak kena
pajak. Besarnya NJOPTKP di masing-masing wilayah memang berbeda-beda. Namun,
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 201/KMK.04/2000 ditetapkan, NJOPTKP
untuk setiap daerah di kabupaten/kota setinggi-tingginya senilai Rp12.000.000 dengan
memperhatikan ketentuan sebagai berikut:

1. Setiap wajib pajak memperoleh pengurangan NJOPTKP sebanyak 1 kali dalam 1 Tahun Pajak.
2. Jika wajib pajak memiliki lebih dari 1 objek pajak, maka yang bisa atau mendapat pengurangan
NJOPTKP hanya 1 objek pajak yang nilainya paling besar dan tidak bisa digabungkan dengan
objek pajak lainnya yang wajib pajak miliki.
Nilai Jual Kena Pajak (NJKP)
Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) merupakan dasar penghitungan PBB. NJKP juga dikenal sebagai
assessment value atau nilai jual objek yang akan dimasukan dalam perhitungan pajak terutang.
Artinya, NJKP merupakan bagian dari NJOP.

Dalam KMK Nomor 201/KMK.04/2000, terdapat ketentuan persentase NJKP sudah ditetapkan
oleh pemerintah. Berikut ini rinciannya:

 Objek pajak perkebunan sebesar 40%.

 Objek pajak pertambangan sebesar 40%.

 Objek pajak kehutanan sebesar 40%.

 Objek pajak lainnya seperti Pedesaan dan Perkotaan dilihat dari nilai NJOP-nya, yakni:

o Jika NJOP-nya > Rp1.000.000.000,00, persentase NJKP sebesar 40%.

o Sedangkan, jika NJOP-nya < Rp1.000.000.000,00, persentase NJKP sebesar 20%.

Sumber: https://www.online-pajak.com/tentang-pajak/pajak-bumi-dan-bangunan

Istilah Faktur Pajak Yang Tidak Dapat Dikreditkan


Faktur pajak yang tidak dapat dikreditkan merupakan istilah bagi pajak masukan yang tidak bisa
dikreditkan dengan pajak keluaran. Artinya, pajak masukan yang dibuat oleh Pengusaha Kena
Pajak (PKP) tidak bisa menjadi pengurang pajak keluaran.

Namun, tidak semua pajak masukan dapat dikreditkan, kadang PKP mendapatkan faktur pajak
yang tidak dapat dikreditkan, padahal PKP sudah menyetor Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Ada beberapa jenis PPN dimana PKP membuat faktur pajak yang tidak dapat dikreditkan. Oleh
karena itu, penting bagi PKP untuk mengetahui prinsip-prinsip faktur pajak yang dapat
dikreditkan dan jenis-jenis PPN dimana PKP membuat faktur pajak yang tidak dapat dikreditkan.
Prinsip-Prinsip Pengkreditan Pajak
Prinsip pengkreditan faktur pajak masukan antara lain:

1. Pajak masukan dalam suatu tahun masa dikreditkan dengan pajak keluaran untuk masa pajak
yang sama.
2. Pajak masukan yang belum dikreditkan dengan pajak keluaran pada saat masa pajak yang sama,
masih bisa dikreditkan pada masa pajak berikutnya, paling lama 3 bulan setelah masa pajak yang
bersangkutan. Dengan catatan, belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan
pemeriksaan.
3. PKP yang belum melakukan kegiatan produksi, sehingga secara otomatis belum melakukan
penyerahan terutang pajak, maka pajak masukan terkait perolehan dan/atau impor barang dapat
dikreditkan.
4. Pajak masukan yang dikreditkan harus menggunakan faktur pajak yang sesuai dengan peraturan
yang berlaku.
Di luar prinsip-prinsip dasar pengkreditan pajak masukan ini, ada faktur pajak yang tidak dapat
dikreditkan. Penyebab munculnya faktur pajak yang tidak dapat dikreditkan adalah, karena
faktur pajak tersebut dibuat atas penyerahan Barang/Jasa Kena Pajak (BKP/JKP) yang perlakuan
PPN-nya tidak bisa dikreditkan.

Baca juga: Kriteria Pengkreditan Faktur Pajak Masukan


PPN Terkait Faktur Pajak Yang Tidak Bisa Dikreditkan
Jenis PPN dan pajak masukan dimana faktur pajak yang dibuat adalah faktur pajak yang tidak
bisa dikreditkan antara lain:

1. PPN atas perolehan BKP/JKP yang dilakukan sebelum pengusaha yang bersangkutan ditetapkan
sebagai PKP.
2. PPN atas perolehan BKP/JKP yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha PKP.
Maksudnya, tidak memiliki hubungan dengan kegiatan produksi, distribusi, pemasaran dan
manajemen PKP.
3. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali
merupakan barang dagangan atau disewakan.
4. PPN atas perolehan BKP/JKP yang didapat dari luar daerah paben sebelum pengusaha yang
bersangkutan ditetapkan sebagai PKP.
5. PPN atas perolehan BKP/JKP yang tidak memenuhi ketentuan pada UU No. 42/2009 Tentang
PPN dan PPnBM Pasal 13 Ayat (5) atau (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat dan Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembeli/penerima BKP/JKP.
6. PPN atas pemanfaatan BKP tidak berwujud atau atas pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean
dimana faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam UU No.
42/2009 Tentang PPN dan PPnBM Pasal 13 Ayat (6).
7. PPN atas perolehan BKP/JKP yang pajak masukan ditagih dengan menggunakan penerbitan
ketetapan pajak.
8. PPN atas perolehan BKP/JKP yang pajak masukannya tidak dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan (SPT) masa pajak PPN, yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan oleh
DJP.
9. PPN untuk perolehan BKP yang digunakan sebagai barang modal atau JKP sebelum PKP
melakukan kegiatan berproduksi.
10. Faktur pajak masukan yang sudah melebihi batas toleransi pengkreditan, yakni 3 bulan. Pajak
masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan pajak keluaran pada Masa
Pajak yang sama, tidak dapat dikreditkan pada untuk masa pajak lebih dari 3 bulan setelah
berakhirnya masa pajak yang bersangkutan.
11. Pajak masukan yang dapat dikreditkan tetapi telah dibebankan sebagai biaya atau ditambahkan
kepada harga perolehan BKP/JKP tidak boleh dikreditkan sebagai pajak masukan.
Faktur pajak masukan untuk PPN dan situasi pajak masukan di atas merupakan faktur pajak yang
tidak dapat dikreditkan.

Sumber: https://www.online-pajak.com/tentang-ppn-efaktur/faktur-pajak-yang-tidak-dapat-
dikreditkan#:~:text=Faktur%20pajak%20yang%20tidak%20dapat%20dikreditkan
%20merupakan%20istilah%20bagi%20pajak,bisa%20menjadi%20pengurang%20pajak
%20keluaran.

Anda mungkin juga menyukai