Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM BIOKIMIA

P4 PENETAPAN KADAR GLIKOGEN DALAM LIVER

Dosen Pengampu : Apt. Drs. H. Ibrahim Arifin, M.Sc.

Asdos : Anisatuz Zahro’A

Disusun oleh :

Mar’atus Shalehah (19105011099)

Golongan 3 / Kelompok C / Kelas B

LABORATORIUM KIMIA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS WAHID HASYIM

SEMARANG

2020
A. Tujuan Praktikum
Melihat perubahan kadar glikogen pada hati tikus yang lapar.

B. Dasar Teori
Glikogen merupakan simpanan karbohidrat dalam bentuk glukosa di dalam tubuh
yang berfungsi sebagai salah satu sumber energi. Di dalam tubuh, jaringan otot dan hati
merupakan dua komponen utama yang digunakan oleh tubuh untuk menyimpan
glikogen. Sintesis dan pemecahan glikogen berlangsung lewat jalan yang berbeda.
Tergantung pada proses yang mempengaruhinya. Molekul glikogen menjadi lebih kecil atau
lebih besar namun hal ini jarang terjadi. Apabila ada, molekul tersebut dipecah sempurna,
meski pada hewan kelaparan simpanan glikogen tidak pernah kosong sama sekali. Sekitar
85% D-glukosa yang dihasilkan dari pemecahan glikogen terdapat dalam bentuk 1-fosfatnya,
sedang 15% dalam bentuk glukosa bebas (Montgomery 1983).
Organ hati memegang peranan penting sebagai penjaga (buffering)
hiperglikemia postprandial dengan melibatkan mekanisme sintesis glikogen. Glikogen
disimpan oleh tubuh dengan tujuan sebagai penyedia sementara glukosa sebagai bahan bakar
atau sebagai bahan penghasil fosfat berenergi tinggi. Anabolisme dan katabolisme glikogen
di dalam hati dan otot bergantung pada ketersediaan glukosa serta aktivitas tubuh. Dalam
kondisi tubuh normal, glukosa ditimbun sebagai glikogen apabila ada kelebihan glukosa dan
glikogen dipecah kembali menjadi glukosa bila diperlukan. Mekanisme sintesis glikogen
(glikogenesis) atau sebaliknya katabolisme glikogen (glikogenolisis). Selain melibatkan
serangkaian fungsi enzim juga kedua hormon yang dihasilkan oleh pankreas, yaitu hormon
insulin dan glucagon. Resistensi insulin berkontribusi terhadap peningkatan pelepasan
glukosa di hati dan menurunkan pengambilan (uptake) glukosa ke dalam jaringan adipose.
Kondisi ini justru akan menyebabkan terjadinya hiperglikemia dan kegagalan pembentukan
glikogen (Suarsana, 2010).
Kebutuhan tertinggi terjadi selama glikolisis anaerobik, yang memerlukan lebih
banyak mol glukosa untuk setiap ATP yang dihasilkan daripada oksidasi glukosa menjadi
CO2. Glikolisis anaerobic terjadi dijaringan yang memiliki lebih sedikit mitokondria,
kandungan enzim glikolitik yang lebih tinggi, yaitu serat glikolitik kejang yang cepat. Proses
ini paling sering terjadi pada permulaan olahraga. Sebelum terjadi vasodilatasi untuk
membawa bahan bakar yang berasal dari darah. Oleh karena itu, pengaturan penguraian
glikogen otot rangka harus berespons sangat cepat terhadap kebutuhan akan ATP, yang
dihasilkan oleh peningkatan AMP. Pengaturan pembentukan dan penguraian glikogen diotot
rangka berbeda dengan yang berlangsung dihati pada beberapa hal penting seperti glukagon
yang tidak mempunyai efek terhadap otot sehingga kadar glikogen dalam otot tidak berubah-
ubah mengikuti keadaan puasa atau makan (Marks, 2000).
Glikogen sewaktu-waktu diubah jadi glukosa sebagai sumber energi. Ketika puasa
lemak tubuh dirombak jadi asam lemak dan gliserol, lalu diubah menjadi glukosa, untuk
menjamin agar kadar gula darah tetap dan sumber energi bagi metabolisme dan gerakan tubuh
selalu cukup. Puasa merupakan salah satu kondisi yang dapat menyebabkan stres oksidatif.
Kebutuhan utama pada saat kelaparan adalah senyawa penghasil energi. Jawaban fisiologis
pertama terhadap kekurangan pangan adalah mempertahankan kadar glukosa darah.
Glikogen hati hanya dapat menyediakan glukosa selama beberapa jam, dan setelah itu terjadi
proses glukoneogenesis dalam hati yang membutuhkan substrat dari jaringan lain. Substrat
ini berasal dari asam amino glikogenik dan lemak (Montgomery1983).
Glikogen adalah bentuk cadangan karbohidrat bagi hewan tingkat tinggi dan biasanya
disimpan di dalam hepar, otot skelet, ginjal dan hampir semua jaringan tetapi tidak terdapat
di dalam otak. Keberadaan glikogen di dalam liver akan menjaga kadar glukosa darah dan ini
merupakan bahan cadangan yang penting bagi seluruh jaringan di dalam badan. Dalam
keadaan cukup nutrisi kelebihan glukosa akan disimpan sebagai glikogen di dalam hepar
(glikogenesis), sedang dalam keadaan kelaparan dimana tidak ada lagi glukosa yang
diabsorpsi dari usus, glikogen hepar akan dibongkar untuk diubah menjadi glukosa
(glikogenesis) dan glikogen akan habis dalam waktu kira – kira 24 jam. Setelah waktu
tersebut kadar glukosa darah dipertahankan dengan adanya proses sintesis glukosa dari
senyawa non – karbohidrat (gluconeogenesis) (Anonim, 2020).
Glikogen otot tidak terlalu terpengaruh oleh status diet dan dalam keadaan statis (tidak
terlalu banyak gerak). Jumlahnya akan tetap konstan. Hormon adrenalin dan beberapa
hormon glukokortikosteroid dapat mempengaruhi kadar glikogen dengan mekanisme yang
berbeda (Anonim, 2020).
C. Alat dan Bahan
Alat ;
• Sentrifuge.
• Labu takar.
• Corong Buchner.
• Tabung reaksi.
• Rak tabung reaksi.
• Vortex.
• Dekantir + selang.
• Pipet tetes.
• Becker glass.
• Cawan porselin.
• Mortir dan stemper.
• Gelas ukur.
• Beker glass.
• Spektrofotometer UV.
• Gunting.
• Pinset
• Loyang.
• Erlenmeyer.
• Toples.

Bahan ;
• Tikus putih jantan.
• Larutan TCA 5 %.
• Etanol 96 %
• Eter
• Larutan I-KI
• Reagen antron.
• Asam sulfat
• Kertas whatmann No.54.
• Aquadest.
D. Cara Kerja
Tikus di masukkan ke dalam toples yang sudah diberi kloroform dan ditunggu hingga mati.

Tikus yang sudah mati di letakkan pada loyang dengan posisi terlentang dan ditusuk
kakinya.

Tikus dibedah bagian perutnya, hepar tikus diambil.

Hepar tikus ditimbang.

Hepar tikus dipotong menjadi kecil.

Hepar tikus dihaluskan.

Hepar yang sudah halus ditambahkan larutan TCA sebanyak 2x berat tikus.

Homogenat didekantirdan di saring menggunakan kertas whatmann No. 54.

Hepar tikus yang sudah dicampur dimasukkan ke dalam Erlenmeyer dan disaring.

Alat dinyalakan dan di saring hingga filtrate dan residu terpisah.

Residu ditambahkan dengan TCA sebanyak 1x berat tikus.

Filtrat dimasukkan ke dalam erlenmeyer didaptkan filtrate tikus.

Filtrat diukur dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi.

Uji Glikogen
Filtrate yang diperoleh dari masing-masing tikus lapar dan kenyang masing-masing
dimasukkan ke dalam gelas beker dan ditambahkan dengan ethanol 96% sebanyak dua kali
volume filtrate

Bahan-bahan yang sudah dicampurkan disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan
2000 rpm

Supernatan dan endapan yang dihasilkan dipisahkan. Untuk supernatant dimasukkan ke
dalam tabung reaksi

Endapan diambil dan dimasukkan ke dalam cawan porselen

Endapan dikeringkan di dalam lemari asam dan setelah kering ditimbang glikogennya

Uji Penetapan Kadar Glikogen


Glikogen yang telah ditimbang ditambah dengan sebanyak 5 mL

Larutan antron diambil sebanyak 4 mL

Larutan nomor 1 diambil 1 mL kemudian ditambahkan dengan larutan nomor 2 pada tabung
reaksi

Campuran dihomogenkan dengan bantuan vortex sampai terjadi perubahan warna biru
gelap yang rata

Larutan dipanaskan selama beberapa menit

Untuk sampel tikus lapar diambil 0,25 mL untuk pengenceran dalam labu takar 10 mL

Untuk sampel tikus kenyang diambil 0,5 mL untuk pengenceran dalam labu takar 10 mL

Kemudian dilakukan pembacaan serapan yang dilakukan di spektrofotometer

Absorbansi dibaca pada panjang gelombang 643,5 nm
E. Data Pengamatan
❖ Pembuatan TCA 5% Sebanyak 50 mL dari Larutan Stok TCA 20%.
C1 . V1 = C2 . V2
20% . V1 = 5 . 50 ml

= 5/20% . 50 ml
= 12,5 ml

❖ Penimbangan Hepar dan Penambahan TCA 5% pada Tikus Lapar.


1. Penimbangan hepar Tikus Lapar
Cawan kosong = 24,829 g
Cawan + zat = 32,1212 g
Cawan + sisa = 24,9054 g
Berat zat = 7,2158 g

2. Penambahan TCA 5% pada Tikus Lapar


2x 7,2158 ml 14,4316 ml =14,4 ml
1x 7,2158 ml 7,2158 ml = 7,2 ml

❖ Penimbangan Hepar dan Penambahan TCA 5% pada Tikus Kenyang.

1. Penimbanagan Hepar Tikus Kenyang


Cawan kosong = 24, 2105 g
Cawan + zat = 32, 0283 g
Cawan + sisa = 24, 1706 g
Berat zat = 7,7577 g

2. Penambahan TCA 5% pada Tikus Kenyang


2x 7,7577 ml = 15, 5154 ml = 15,5 ml
1x 7, 7577 ml = 7,7577 ml = 7,8 ml

❖ Volume Supernatan dan Penambahan Etanol 96%

Tikus Lapar Tikus Kenyang


Volume supernatan = 12 mL Volume supernatan = 14,5 ml

Penambahan Etanol 96% Penambahan Etanol 96%


2x 12 ml = 24 ml 2x 14,5 ml = 29 ml
❖ Penetapan Kadar Glikogen
1. Kurva Baku
Kadar Glikogen Murni (10-3%) Absorbansi
0.75 0.209
0.90 0.266
1.00 0.366
1.10 0.388

a= -0.2081 b= 0.5497 r = 0.9734

Y= bx + a
Y= 0,5497x – 0,2081

❖ Pengukuran Serapan

Tikus Absorbansi Pengenceran (P)


Lapar 0,2771 40x
Kenyang 0,4332 10x

1. Perhitungan
Tikus Lapar (L) Tikus Kenyang (K)
Y = 0,5497X - 0,2081 Y = 0,5497X – 0,2081
0,2771 = 0,5497X - 0,2081 0,4332 = 0,5497X – 0,2081
X = 0,2771 + 0,2081 X = 0,4332 + 0,2081
0,5497 0,5497
X = 0,8827 X = 1,1666

❖ Berat Glikogen
1. Tikus Lapar

Berat Glikogen =L XP X 10-3% b/v X Vol. Super natan tikus lapar


0,8827 X 40 X 10-3% b/v X 12 ml = 0,4237 g
=423,7 mg

2. Tikus Kenyang

Berat Glikogen =K XP X 10-3% b/v X Vol. Super natan tikus


kenyang
1,666 X 10 X 10-3% b/v X 14,5 mL = 0,1692 g
= 169,2 mg
❖ Rendaman
1. Tikus Lapar.
𝑩𝒆𝒓𝒂𝒕 𝑮𝒍𝒊𝒌𝒐𝒈𝒆𝒏 (𝒎𝒈)
Rendaman = x 100 %
𝑩𝒆𝒓𝒂𝒕 𝑯𝑯𝒆𝒑𝒂𝒓 𝑻𝒊𝒌𝒖𝒔 (𝒈)

423,7 𝑚𝑔
= x 100 %
7,2158 𝑔

𝟒𝟐𝟑,𝟕 𝒎𝒈
= x 100 %
𝟕𝟐𝟏𝟓,𝟖 𝒈

= 5,87 %

2. Tikus Kenyang.
𝑩𝒆𝒓𝒂𝒕 𝑮𝒍𝒊𝒌𝒐𝒈𝒆𝒏 (𝒎𝒈)
Rendaman = x 100 %
𝑩𝒆𝒓𝒂𝒕 𝑯𝑯𝒆𝒑𝒂𝒓 𝑻𝒊𝒌𝒖𝒔 (𝒈)

169,2 𝑚𝑔
= x 100 %
7,7577 𝑔

𝟏𝟔𝟗,𝟐 𝒎𝒈
= x 100 %
𝟕𝟕𝟓𝟕,𝟕 𝒎𝒈

= 2,18 %

Kesimpulan
Rendamen tikus lapar sebesar 5,87% dan rendamen tikus kenyang sebesar 2,18%. Hal
tersebut tidak sesuai dengan teori dimana seharusnya rendemen tikus kenyang lebih besar
dari rendemen tikus lapar.
F. Pembahasan.
Glikogen adalah suatu rantai bercabang banyak yang tersusun dari unit glukosa dan
berperan sebagai molekul penyimpanan kalori pada hewan terutama dihati dan otot. Enzim
yang mendororng sintesis glikogen dari glukosa ditigkatkan jumlahnya oleh insulin, sejenis
hormon yang dilepaskan kedalam aliran darah ketika kadar glukosa darah mulai naik.
Glikogen dapat dipecah menjadi molekul-molekul glukosa penyusunnya oleh enzim-enzim
seperti fosoforilase, yang diaktifkan oleh hormon-hormon epinefris dan glucagon (Fried,
2005).
Praktikum kali ini melakukan percobaan mengukur kadar glikogen pada hati tikus
dan memahami perbedaan kadar glikogen pada hati tikus lapar dan tikus kenyang. Tikus
dibedakan menjadi dua bagian yaitu tikus lapar dan kenyang yang bertujuan untuk
membedakan kadar glikogen pada saat tikus tersebut lapar ataupun kenyang. Apakah hasil
glikogen pada tikus kenyang lebih banyak dibandingkan tikus lapar taupun sebaliknya.
Istilah dari teknik euthanasia dipergunakan untuk melukiskan proses dengan cara
bagaimana seekor hewan dibunuh dengan menggunakan teknis yang dapat diterima secara
manusiawi. Tujuan dari teknik euthanasia yaitu mengisolasi glikogen karena menggunakan
tikus kecil sehingga tidak perlu disuntik. Bahan yang digunakan adalah kloroform karena
aman bagi praktikan dan tidak merusak jaringan pada tikus (Isbagio, 1992).
Berat hati tikus lapar yang diperoleh pada praktikum yaitu 7,2158 gram sedangkan
pada tikus kenyang 7,7577 gram. Hati tikus kemudian di potong kecil-kecil dan digerus di
dalam lumpang dengan tambahan larutan TCA 5% sebanyak 2x berat hati. Tujuan
pemotongan liver tersebut adalah untuk mempermudah proses penggerusan sedangkan
tujuan penambahan larutan TCA 5% adalah untuk mengnonaktifkan enzim yang dapat
merusak glikogen, mendenaturasi protein dan melarutkan glikogen, karena glikogen larut
dalam TCA. Setelah itu, campuran liver tikus dengan larutan TCA sebanyk 2x berat hati
tersebut di dekantir dengan menggunakan bantuan corong bucher dan vakum, tujuan proses
dekantir ini adalah untuk mengambil filtrat dengan hasil semaksimal mungkin sehingga
glikogen yang larut dalam TCA diharapkan dapat terambil seluruhnya. Residu pada proses
dikantir pertama digerus kembali dengan TCA 5% sebanyak 1 x berat hati dan di dekantir
kembali denganmenggunakan corong bucher dan vakum. Tujuannya adalah untuk
memaksimalkan kadar glikogen yang dapat diambil. Setelah itu filtrat yang diperoleh dari
proses dekantir I dan II di ukur dengan menggunakan gelas ukur (Anonim, 2013).
Metode pemisahan yang digunakan pada praktikum kali ini metode Buchner,
Penyaring buchner adalah penyaringan yang ternbuat dari bahan kaca yang kuat dilengkapi
alat penghisap. Kelebihan metode ini yaitu ketersediaan alat yang ada di laboratorium
menjadi pertimbangan untuk digunakan sebagai metode alternative dan kekurangan
metode ini yaitu dapat bocor jika penyambungannya tidak rapat. Metode penyaringan
Buchner menggunakan corong Buchner kertas saring dan vakum. Fungsi dari vakum dapat
mempercepat proses penyaringan dan filtrate (Prastyo dan Rahayoe, 2018).
Uji iodin merupakan salah satu metode pengujian yang digunakan untuk
membedakan polisakarida dari disakarida dan monosakarida. Perubahan warna larutan
terjadi karena dalam larutan pati terdapat unit-unit glukosa yang membentuk rantai heliks
karena adanya ikatan dengan konfigurasi pada tiap unit glukosanya. Bentuk ini yang
menyebabkan pati dapat membentuk kompleks dengan molekul yodium yang dapat masuk
kedalam spiralnya. Larutan iodin yang direaksikan dengan glikogen akan membentuk
warna merah sampai cokelat yang disebabkan karena adanya penyerapan iodin pada
struktur cincin glikogen yang saling berikatan sehingga membentuk komples berwarna
merah kecoklatan. Prisip dari pengujian iodin yaitu karbohidrat golongan polisakarida akan
memberikan reaksi dengan larutan iodin akan memberikan warna spesifik bergantung pada
jenis karbohidratnya. Amilosa dan iodin akan berwarna biru, amilopektin dengan iodin
akan berwarna merah violet, glikogen maupun dekstrin dengan iodin akan berwarna merah
coklat. Reagen yang digunanakan pada uji iodine adalah reagen I-KI. Hasil pengujian
dikatakan positif mengandung glikogen apabila filtrat berubah warna menjadi merah. Pada
praktikum didapatkan hasil negatif mengandung glikogen karena setelah diberikan larutan
iodin didapatkan warna kuning yang membuktikan negatif mengandung glikogen.
Kelebihan dari metode iodin yaitu proses pengujiannya mudah dan biaya yang dikeluarkan
lebih sedikit dibanding metode yang lain. kelemahan dari meode iodin yaitu hasil yang
diperoleh tidak akurat. Ketidak akuratan pengujian dengan metode iodin disebabkan
karena pengujian bersifat subjektif. Hal ini sesuai dengan (Musta, 2018).
Filtrat yang diperoleh dari hasil isolasi glikogen ditambahkan dengan alcohol 96%
sebanyak 2x volume total filtrat, sehingga untuk filtrat tikus kenyang ditambahkan alcohol
96% sebanyak 2x volume total filtrat dan untuk filtrat tikus lapar ditambahkan alcohol 96%
sebanyak 2x volume total. Fungsi penambahan alcohol 96% ini adalah untuk
mengendapkan glikogen tanpa mengendapkan glukosanya. Pengukuran yang dilakukan
terhadap sampel masih tetap bisa dipercaya dalam artian masih bisa mewakili karakteristik
populasi, maka cara pengukurannya harus dilakukan secara seksama. Pengukuran seksama
artinya batas ketelitiannya 0,1 % (Anonim, 2013).
Sentrifugasi adalah proses yang memanfaatkan gaya sentrifugal untuk sedimentasi
campuran dengan menggunakan mesin sentrifuga atau pemusing. Prinsip sentrifugasi
menggunakan sedimentasi, dimana percepatan centripetal digunakan untuk memisahkan
substansi dengan kepadatan lebih besar dan lebih kecil. Komponen campuran yang lebih
rapat akan bergerak menjauh dari sumbu sentrifuga dan membentuk endapan, menyisakan
cairan supernatan yang dapat diambil dengan dekantasi. Sentrifugasi bertujuan untuk
memisahkan endapan dengan supernatan atau memisahkan campuran padat-cair atau cair-
cair yang tidak saling larut menggunakan gaya sentrifugal dengan cara diputar dalam
kecepatan tinggi. Pada percobaan ini sentrifugasi dilakukan pada kecepatan 2000 rpm
selama 10 menit, hasil sentrifugasi supernatan dan endapan dipisahkan untuk dilakukan
penetapan kadar glikogen. (Fibrianto, 2008).
Endapan glikogen dikeringkan dilemari asam karena bertujuan agar lebih aman dan
prosesnya lebih cepat, kemudian pada hasil endapan glikogen yang telah dikeringkan
ditambahkan aquadest yang bertujuan untuk mengencerkan. Alasan pemilihan aquadest
disbanding pelarut lain ialah karena aquadest tidak akan mempengaruhi endapan yang akan
diuji.
Spektrofotometer Uv-Vis adalah alat yang digunakan untuk mengukur
transmitansi, reflektansi dan absorbsi dari cuplikan sebagai fungsi dari panjang gelombang
serta untuk pengukuran didaerah ultra violet dan didaerah tampak. Semua metode
spektrofotometri berdasarkan pada serapan sinar oleh senyawa yang ditentukan, sinar yang
digunakan adalah sinar yang semonokromatis mungkin.Spektrofotometer sesuai dengan
namanya merupakan alat yang terdiri dari spektrometer dan fotometer. Spektrometer
menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang tertentu dan fotometer
adalah alat pengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau yang diabsorbsi. Jadi
spektrofotometer digunakan untuk mengukur energi cahaya secara relatif jika energi
tersebut ditransmisikan, direfleksikan atau diemisikan sebagai fungsi dari panjang
gelombang. Suatu spektrofotometer tersusun dari sumber spektrum sinar tampak yang
sinambung dan monokromatis. Sel pengabsorbsi untuk mengukur perbedaan absorbsi
antara cuplikan dengan blanko ataupun pembanding. Prinsip kerja spektrofotometri UV-
Vis adalah interaksi yang terjadi antara energy yang berupa sinar monokromatis dari
sumber sinar dengan materi yang berupa molekul. Besar energy yang diserap tertentu dan
menyebabkan electron tereksitasi dari ground state ke keadaan tereksitasi yang memiliki
energy lebih tinggi. Serapan tidak terjadi seketika pada daerah ultraviolet-visible untuk
semua struktur elektronik tetapi hanya pada system-sistem terkonjugasi, struktur elektronik
dengan adanya ikatan p dan non bonding electron. Prinsip kerja spektrofotometri
berdasarkan hukum Lambert Beer, bila cahaya monokromatik (Io) melalui suatu media
(larutan), maka sebagian cahaya tersebut diserap (Ia), sebagian dipantulkan (Ir), dan
sebagian lagi dipancarkan (It). Spektroskopi UV-Vis digunakan untuk cairan berwarna.
Jika tidak berwarna maka larutan tersebut harus dijadikan berwarna dengan cara memberi
reagen tertentu yang spesifik. Dikatakan spesifik karena hanya bereaksi dengan spesi yang
akan dianalisis. Reagen ini disebut reagen pembentuk warna (chromogenik reagent).
Berikut adalah sifat-sifat yang harus dimiliki oleh reagen pembentuk warna: Kestabilan
dalam larutan. Pereaksi-pereaksi yang berubah sifatnya dalam waktu beberapa jam, dapat
menyebabkan timbulnya semacam cendawan bila disimpan. Oleh sebab itu harus dibuat
baru dan kurva kalibarasi yang baru harus dibuat saat setiap kali analisis Pembentukan
warna yang dianalisis harus cepat. Reaksi dengan komponen yang dianalisa harus
berlangsung secara stoikiometrik. Pereaksi tidak boleh menyerap cahaya dalam spektrum
dimana dilakukan pengukuran. Pereaksi harus selektif dan spesifik (khas) untuk komponen
yang dianalisa, sehingga warna yang terjadi benar-benar merupakan ukuran bagi
komponen tersebut saja (Anonim, 2015).

Penggunaan Metode Anthrone untuk analisis total karbohidrat mulai berkembang


sejak penggunaan pertama kali oleh Dreywood pada tahun 1946 untuk uji kualitatif.
Dasar dari reaksi ini adalah kemampuan karbohidrat untuk membentuk turunan furfural
dengan keberadaan asam dan panas, yang kemudian diikuti dengan reaksi dengan
anthrone yang menghasilkan warna biru kehijauan. Prinsipnya adalah karbohidrat dalam
asam dulfat akan dihidrolisis menjadi monosakarida dan selanjutnya monosakarida akan
mengalami dehidrasi oleh asam sulfat menjadi furfural atau hidroksi metil furfural (HMF)
sehingga bereaksi dengan anthrone (9,10-dehidro-9-oxanthracene) membentuk senyawa
kompleks berwarna biru kehijauan dan ditentukan dengan pengukuran absorbansi pada =
630 nm. Pada proses pencampurannya dibantu dengan vortex, alat yang digunakan untuk
melakukan proses homogenisasi atau menyeragamkan cairan (reagen) yang digunakan
untuk uji aktivitas enzim. Kemudian pada proses pencampuran perlu dipanaskan pada air
mendidih yang bertujuan untuk mempercepat reaksi glikogen dengan pereaksi anthron.
Reaksi pembentukan kompleks warna setelah diberi reagen anthron berubah menjadi
biru-hijau. Campuran yang sudah dipanaskan dan didingkan lalu dibaca absorbansinya
pada panjang gelombang 643,5 nm. Panjang gelombang yang digunakan pada pembacaan
absorbansi ini menggunakan panjang gelombang maksimal hal ini dikarenakan jika
pengukuran dilakukan pada panjang gelombang yang sama, maka data yang diperoleh
makin akurat atau kesalahan yang muncul makin kecil. Selain itu juga penggunaan
panjang gelombang maksimal dilakukan pada panjang gelombang dimana suatu zat
memberikan penyerapan paling tinggi (Legowo, 2002). Hasil absorbansi yang didapat
pada praktikum kali ini menunjukkan untuk yang tikus lapar sebesar 0,2771 dengan 40x
pengenceran , sedangkan untuk tikus kenyang 0,4332 dengan 10x pengenceran. Kadar
glikogen yang diperoleh sebesar 0,8827 untuk tikus lapar, 1,1666 untuk tikus kenyang.
Rendamen tikus lapar didapatkan sebesar 5,87% dan rendamen tikus kenyang sebesar
2,18%. Hal tersebut tidak sesuai dengan teori dimana seharusnya rendemen tikus kenyang
lebih besar dari rendemen tikus lapar.
Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Montgomery
(1983) yang menyatakan bahwa pada tikus yang tidak puasa kadar glikogen lebih
besar daripada tikus puasa. Hal tersebut dikarenakan pada sebelum tikus diambil hatinya
keadaan kandungan glukosa pada tubuhnya masih dipasok secara normal dan belum
memakai kadar glikogen pada tubuhnya. Setelah ingesti makanan yang mengandung
karbohohidrat, kadar glukosa darah akan naik. Ketidak sesuaian ini dapat disebabkan
karena tikus yang lapar mengalami stress (karena tidak diberi makan) sehingga tikus lapar
mensekresikan hormone epinephrine secara berlebih dan berdampak pada pembentukan
cAMP, dimana cAMP akan menghambat glikogen sintase sehingga proses glikogenesis
terhambat dan glikogen tidak terbentuk. Tikus yang digunakan dalam percobaan memiliki
kadar glikogen yang sangat sedikit, bahkan saat praktikum glikogen hampir tidak terlihat.
Hal ini dapat disebabkan karena tikus yang digunakan dalam praktikum merupakan tikus
yang telah dilakukan pemejanan glukosa, sedikit banyak pemejanan glukosa tersebut
masih berpengaruh sehingga kemungkinan tikus yang digunakan dalam percobaan hanya
memiliki sedikit hormone insulin sehingga gula darah tikus tidak dapat diubah menjadi
glikogen, dan kadar glikogen menjadi sangat sedikit (Anonim, 2013).

G. KESIMPULAN
Secara teoritis kadar glikogen pada tikus kenyang lebih besar daripada kadar
glikogen pada tikus lapar namun secara praktek kadar glikogen tikus lapar lebih besar
daripada kadar glikogen tikus kenyang.

H. Daftar Pustaka
Anonim, 2013, Pembahasan Praktikum Penetapan Kadar Glikogen Liver,
http://anitatohar.blogspot.com/2013/05/pembahasan-praktikum-penetapan-
kadar.html?m=1, Diakses tanggal 1 Desember 2020.

Anonim, 2015, makalah spektrofotometer uv-vis, http://nursawatikim.blogspot.

com/2015/12/makalah-spektrofotometer-uv-vis.html?m=1,Diakses tanggal
1 Desember 2020.

Anomin, 2020. Buku Petunjuk Praktikum Online Biokimia. Fakultas Farmasi.


Universitas Wahid Hasyim. Semarang.
Fibrianto, Dian Nur, 2008, Panduan Kimia Praktis SMP, Jakarta: Pustaka Widyatama.
Fried, G. dan Hademenos, G., 2005, Biologi, Jakarta: Penerbit Erlangga.
Isbagio, Dyah, Widyaningroem, 1992, Euthanasia Pada Hewan Percobaan, Jurnal Media
Litbangles, Vol.11 No.01.
Legowo AM, 2002, Sifat Kimiawi Fisika dan Mikrobiologi Susu, Semarang: Fakultas
Peternakan Universitas Diponogoro.
Marks, D., dkk, 2000, Biokimia Kedokteran Dasar, Jakart: Penerbit Buku Kedokteran.
Montgomery R., Dryer R.L., Conway T.W. Spector A.A., 1983, Biokimia: Suatu
Pendekatan Berorientasi Kasus-Kasus Jilid 1, Diterjemahkan Ismadi M.,
Yogyakarta: Penerbit Gajah Mada University Press.

Musta, R. (2018). Waktu Optimum Hidrolisis Pati Limbah Hasil Olahan Ubi Kayu

(Manihot esculenta Crantz var. Lahumbu) Menjadi Gula Cair


Menggunakan Enzim α-Amilase Dan Glukoamilase. Indonesian Journal of
Chemical Research, 5(2), 498–507.

Prastyo, dan Rahayoe, A.S., 2018, Penyaringan Metode Buchner Sebagai Alternatif
Pengganti Penyaringan Sederhana Pada Percobaan Adsorpsi Dalam
Pratikum Kimia Fisika, Indonesia Journal of Laboratory, Laboratorium
Kimia Fisika, Departemen Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Gadjah
Mada.

Suarsana, I Nyoman, dkk, 2010, Sintesis Glikogen Hati dan Otot PadaTikus Diabetes yang

Diberi Ekstrak Tempe, Jurnal Veteriner, Vol. 11 No. 3.

Anda mungkin juga menyukai