Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH

STRATEGI PEMBELAJARAN MATEMATIKA


“TEORI-TEORI BELAJAR DAN MENGAJAR MATEMATIKA”

OLEH:
KELOMPOK 5

1. Dian Nesya Putri (20205040)


2. Nidaul Himmah (20205021)
3. Widya Mariska (20205036)

DOSEN PENGAMPU:
Dr. Edwin Musdi, M.Pd.

PASCASARJANA PENDIDIKAN MATEMATIKA


UNIVERSITAS NEGERI PADANG (UNP)
TAHUN AJARAN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat limpahan karunia-Nya,


kami dari kelompok 5 dapat menyelesaikan penulisan makalah ini. Sholawat serta
salam mari kita hadiahkan kepangkuan junjungan alam Nabi Muhammad SAW.

Makalah yang berjudul “Teori-teori Belajar dan mengajar Matematika” ini


penulis susun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Strategi Pembelajaran
Matematika di semester I. Pada makalah ini, akan diuraikan tentang macam-
macam teori belajar matematika menurut beberapa ahli. Pada kesempatan kali ini,
kami ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam menyukseskan penulisan makalah ini.

Kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan pada makalah ini, oleh
karena itu, saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat diharapkan
untuk perbaikan di masa yang akan datang. Akhirnya, semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua, Aamiin…

Padang, 10 Oktober 2020

Kelompok 5

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii


DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 2
1.3 Tujuan Penulisan .................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Teori Piaget Tentang Perkembangan Intelektual ................................... 3
2.2 Model Struktur Kecerdasan J.P Guilford ............................................... 8
2.3 Teori Pembelajaran Robert Gagne ........................................................ 13
2.4 Dienes dalam Pembelajaran Matematika ............................................... 20

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan .......................................................................................... 30
3.2 Saran .................................................................................................... 31

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 32

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu ciri pembelajaran matematika masa kini adalah penyajiannya
didasarkan pada suatu teori psikologi belajar yang saat ini masih dikembangkan
oleh ahli pendidikan. Kemampuan memahami teori-teori belajar ini merupakan
salah satu kompetensi pedagogik guru, sehingga guru mampu mengembangkan
pembelajaran yang memuat tiga macam aktivitas, yaitu eksplorasi, klarifikasi, dan
refleksi.
Memahami teori tentang bagaimana orang belajar dan kemampuan untuk
menerapkan teori-teori ini dalam pembelajaran matematika merupakan prasyarat
penting untuk pengajaran matematika yang efektif. Banyak orang telah mendekati
studi tentang perkembangan intelektual dan sifat pembelajaran dengan cara yang
berbeda. Hal ini menghasilkan beberapa teori pembelajaran. Meskipun masih ada
beberapa ketidaksepakatan di antara para psikolog, ahli teori pembelajaran, dan
pendidik tentang bagaimana orang belajar dan metode yang paling efektif untuk
mempromosikan pembelajaran, ada banyak bidang kesepakatan. Teori-teori
pembelajaran yang berbeda hendaknya tidak dipandang sebagai sekumpulan teori
yang bersaing, yang satu benar dan yang lain salah. Setiap teori dapat dianggap
sebagai metode pengorganisasian dan pembelajaran beberapa dari banyak variabel
dalam pembelajaran dan pengembangan intelektual, dan guru dapat memilih dan
menerapkan elemen dari setiap teori di kelas mereka sendiri. Namun, seorang
guru yang perseptif akan menemukan beberapa aplikasi dari setiap teori
pembelajaran untuk siswanya. Sebagai konsekuensi dari mampu mengapresiasi
alasan teoritis pembelajaran atas berbagai bentuk tingkah laku yang ditunjukkan
oleh setiap siswa, ia akan menjadi lebih memahami seorang guru yang simpatik.
Begitu pentingnya pengetahuan tentang teori belajar ini bagi guru,
sehingga guru mampu merancang pembelajarannya sesuai dengan materi yang
hendak dikembangkan, level pengetahuan siswa, dan teori belajar yang dirujuk
dapat mengembangkan potensi, penalaran berpikir, dan pemahaman konsep
peserta didik, sehingga menjadikan peserta didik lebih aktif dibandingkan dengan
guru. Berdasarkan uraian di atas penulis memandang perlunya menanggapi

1
permasalahan tersebut. Oleh karena itu, pada makalah ini akan dibahas beberapa
teori belajar dan mengajar matematika.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah pada penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana teori pembelajaran matematika menurut Pieget ?
2. Bagaimana Model Sruktural Kecerdasan J.P Guilford?
3. Bagaimana teori pembelajaran matematika menurut Gagne ?
4. Bagaimana teori pembelajaran matematika menurut Dines ?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
Adapun rumusan masalah pada penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui teori pembelajaran matematika menurut Pieget
2. Untuk mengetahui Model Sruktural Kecerdasan J.P Guilford
3. Untuk mengetahui teori pembelajaran matematika menurut Gagne
4. Untuk mengetahui teori pembelajaran matematika menurut Dienes

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Teori Piaget Tentang Perkembangan Intelektual


Menurut teori psikolog Swiss terkemuka Jean Piaget, perkembangan
intelektual manusia berkembang secara kronologis melalui empat tahap berurutan.
Urutan terjadinya tahapan-tahapan tersebut ditemukan tidak berubah-ubah di
antara orang-orang, namun usia dimana orang memasuki setiap tahap tingkat
tinggi berbeda-beda sesuai dengan karakteristik keturunan dan lingkungan
masing-masing orang. Adapun empat tahap tersebut adalah
a. Tahap Motorik Sensorik
Periode pertama perkembangan intelektual, yang disebut tahap motorik
sensorik, berlangsung sejak lahir sampai sekitar usia dua tahun. Dalam periode ini
pembelajaran bayi terdiri dari mengembangkan dan mengatur aktivitas fisik dan
mentalnya ke dalam rangkaian tindakan yang didefinisikan dengan baik yang
disebut skema. Sejak lahir hingga usia dua tahun, anak-anak belajar
mengoordinasikan indera dan gerakan mereka, belajar bahwa suatu objek yang
disingkirkan dari penglihatan tidak berhenti ada, dan belajar menempelkan simbol
kata pada objek fisik. Misalnya, menjelang akhir tahap ini seorang anak dapat
mengenali suara ayah yang menutup pintu depan untuk berangkat kerja, dan
memahami bahwa dia akan kembali nanti. Dalam periode ini anak berkembang
dari hanya memiliki kemampuan refleks saat lahir menjadi bisa berjalan dan
berbicara pada usia dua tahun.
b. Tahap Praoperasional
Periode kedua, tahap pra operasi, meluas dari kira-kira usia dua hingga
tujuh tahun. Pada tahap ini anak-anak sangat egosentris; yaitu, mereka
mengasimilasi sebagian besar pengalaman di dunia pada umumnya ke dalam
skema yang dikembangkan dari lingkungan terdekat mereka dan melihat segala
sesuatu dalam realita untuk diri mereka sendiri. Anak-anak kecil percaya bahwa
semua pikiran dan pengalaman mereka dimiliki oleh semua orang, bahwa benda
mati memiliki ciri-ciri hidup, dan bahwa perbedaan antara satu dan banyak tidak
terlalu penting. Pemikir praoperasional mengalami kesulitan untuk membalikkan
pikiran dan merekonstruksi tindakan, tidak dapat mempertimbangkan dua aspek
dari suatu objek atau situasi secara bersamaan, dan tidak bernalar secara induktif

3
(dari khusus ke umum) atau deduktif (dari umum ke spesifik). Alasan anak kecil
secara transduktif; yaitu, dari contoh tertentu hingga maksud tertentu. dalam tahap
ini anak-anak tidak dapat membedakan fakta dan khayalan, itulah sebabnya
"kebohongan" mereka bukanlah akibat dari kekurangan moral, tetapi akibat
ketidakmampuan mereka untuk memisahkan peristiwa nyata dari dunia imajinasi.
Melalui pematangan fisik dan interaksi dengan lingkungannya, anak dalam tahap
pra-konseptual mengembangkan skema mental yang diperlukan untuk beroperasi
pada tingkat intelektual yang lebih tinggi. Menjelang akhir tahap ini, anak-anak
menjadi mampu membicarakan alasan keyakinan mereka, dapat
mengklasifikasikan kumpulan objek menurut satu karakteristik tertentu, dan mulai
mencapai beberapa konsep aktual.
c. Tahap Operasional Konkrit
Tahap oeprasional konkret dari perkembangan mental meluas dari usia
tujuh sampai usia dua belas, tiga belas tahun atau bahkan lebih. Pada awal tahap
ini ada penurunan substansial pada egosentrisitas anak. Pada tahap ini anak
mampu mengelompokkan objek yang memiliki beberapa karakteristik ke dalam
himpunan dan himpunan bagian menurut karakteristik tertentu, dan sekaligus
dapat mempertimbangkan beberapa karakteristik dari suatu objek. Mereka mulai
memahami lelucon; namun mereka masih kesulitan menjelaskan peribahasa dan
gagal melihat makna yang tersembunyi. Mereka sekarang mampu menghadapi
hubungan yang kompleks antar kelas, dapat membalikkan operasi dan prosedur,
dan dapat memahami dan memvisualisasikan keadaan peralihan dari transformasi
seperti matahari terbit dan terbenam. Dalam periode operasional yang konkret,
anak-anak menjadi dapat melihat sudut pandang orang lain dan mendekati akhir
periode ini mulai bernalar secara induktif dan deduktif, namun banyak yang masih
cenderung menganggap contoh yang berurutan dari prinsip umum sebagai
peristiwa yang tidak terkait.
Meskipun anak-anak dalam tahap ini mengembangkan banyak
kemampuan intelektual yang ditemukan pada orang dewasa, mereka mengalami
kesulitan memahami abstraksi verbal. Mereka dapat melakukan operasi kompleks
seperti pembalikan, substitusi, penyatuan dan perpotongan himpunan, dan urutan
serial pada objek konkret, tetapi mungkin tidak dapat melakukan operasi yang

4
sama dengan simbol verbal. Kekuatan penilaian dan penalaran logis mereka tidak
berkembang dengan baik, dan mereka jarang dapat memecahkan masalah seperti:
Jane lebih tinggi dari Bill; Jane lebih pendek dari Susan; siapa yang terpendek dari
ketiganya? Namun, Anak-anak pada tahap ini dapat memesan setumpuk tongkat
dari yang terpendek hingga yang terpanjang. Sebelum akhir periode ini anak-anak
jarang dapat merumuskan definisi deskriptif yang tepat, meskipun mereka dapat
menghafal definisi orang lain dan mereproduksi apa yang telah mereka hafal.
Dalam tahap ini anak-anak belajar membedakan antara kesalahan yang disengaja
dan kesalahan yang tidak disengaja.
Periode perkembangan ini disebut operasional konkret karena psikolog
telah menemukan bahwa anak-anak antara tujuh dan dua belas mengalami
kesulitan menerapkan proses intelektual formal ke simbol verbal dan ide-ide
abstrak, meskipun pada usia dua belas tahun kebanyakan anak telah menjadi
sangat mahir menggunakan kecerdasan mereka untuk memanipulasi objek fisik
yang konkret. Pada periode ini anak-anak suka membuat sesuatu, memanipulasi
objek, dan mengoperasikan gadget mekanis.
d. Tahap Operasional Formal
Ketika remaja mencapai tahap operasional formal, mereka tidak perlu lagi
mengandalkan operasi konkret untuk merepresentasikan atau menggambarkan
abstraksi mental. Mereka sekarang mampu secara simultan mempertimbangkan
banyak sudut pandang untuk menilai tindakan mereka sendiri secara objektif, dan
untuk merefleksikan proses pemikiran mereka sendiri. pemikir operasional formal
dapat merumuskan teori, menghasilkan hipotesis, dan menguji berbagai hipotesis.
Orang yang telah mencapai tahap intelektual ini dapat menghargai derajat
kebaikan dan kejahatan dan dapat melihat definisi, aturan dan hukum dalam
konteks yang tepat dan objektif. Mereka juga dapat berpikir secara induktif dan
deduktif dan dapat berdebat dengan implikasinya (yaitu, jika x maka y). Remaja
mampu memahami dan menerapkan konsep yang kompleks seperti permutasi dan
kombinasi, proporsi, korelasi, dan probabilitas, dan mereka bisa membayangkan
yang sangat besar dan yang sangat kecil.

5
2.1.1 Faktor-Faktor Dalam Perkembangan Intelektual
Teori Piaget menjelaskan perkembangan intelektual sebagai proses
asimilasi dan akomodasi informasi ke dalam struktur mental. Asimilasi
adalah proses di mana informasi dan pengalaman baru dimasukkan ke dalam
struktur mental, dan akomodasi adalah hasil restrukturisasi pikiran sebagai
konsekuensi dari informasi dan pengalaman baru. Pikiran tidak hanya
menerima informasi baru tetapi juga menyusun kembali informasi lamanya
untuk mengakomodasi yang baru. Pembelajaran tidak hanya menambahkan
informasi baru ke dalam tumpukan informasi lama, karena setiap potongan
informasi baru menyebabkan tumpukan informasi lama dimodifikasi untuk
mengakomodasi asimilasi informasi baru.
Menurut teori Piaget, ada beberapa faktor yang mempengaruhi
perkembangan intelektual yaitu
a. Pematangan
Pertumbuhan fisiologis otak dan sistem saraf merupakan faktor penting
dalam kemajuan intelektual secara umum. Proses pertumbuhan ini disebut
pematangan.
b. Pengalaman fisik
Adalah interaksi setiap orang dengan objek di lingkungannya.
c. Pengalaman logikomatis
Adalah tindakan mental yang dilakukan oleh individu saat skema mental
mereka disusun ulang sesuai dengan pengalaman mereka.
d. Transmisi sosial
Adalah interaksi dan kerja sama seseorang dengan orang lain dan cukup
penting untuk perkembangan logika dalam pikiran anak. Piaget percaya
bahwa operasi formal tidak akan berkembang dalam pikiran tanpa
pertukaran dan koordinasi sudut pandang di antara orang-orang.
e. Keseimbangan
adalah proses dimana struktur mental seseorang kehilangan kestabilannya
sebagai akibat dari pengalaman baru dan kembali ke keseimbangan
melalui proses asimilasi dan akomodasi. Sebagai hasil dari keseimbangan,
struktur mental berkembang dan matang.

6
Piaget percaya bahwa lima faktor ini (pematangan, pengalaman fisik,
pengalaman logiko-matematis, transmisi sosial, dan ekuilibrasi) menjelaskan
perkembangan intelektual dan bahwa masing-masing harus ada jika seseorang
ingin maju melalui empat tahap perkembangan intelektual. Empat tahap
perkembangan (motor-sensorik, pra-operasi, operasional konkrit, dan operasional
formal) sementara secara berurutan, tidak memiliki titik awal dan akhir yang jelas.
2.1.2 Teori Piaget Dan Pengajaran Matematika
Kebutuhan guru untuk melihat penerapan dalam pengajaran mereka
sendiri dari teori-teori yang mereka pelajari di perguruan tinggi, dan bagi pendidik
guru untuk menunjukkan kepada calon guru penerapan teori pembelajaran.
Seorang guru harus mengharapkan kemampuan, keterampilan dan perilaku
kompleks tertentu dari seorang siswa yang berada dalam tahap operasional formal
dan harus peduli jika proses mental kerja formal tidak ditunjukkan. Namun, di
setiap jenjang sekolah menengah terdapat siswa yang belum sepenuhnya
memasuki tahap perasional formal, dan guru harus mewaspadai perilaku yang
dapat diharapkan dari siswa tersebut.
Setiap guru matematika, terutama yang mengajar di kelas enam sampai
sembilan, harus mengharapkan banyak siswa berada pada tahap operasional
konkret, harus memahami ketidakmampuan mental siswa pada tahap ini, harus
memberikan strategi pembelajaran yang sesuai untuk operasi konkret, dan harus
merencanakan kegiatan untuk membantu siswa maju ke tahap operasi formal.
Siswa operasional konkret telah menemukan bahwa aturan tidak mutlak,
tetapi sewenang-wenang. Para siswa ini mencoba aturan mereka sendiri dan
menantang aturan para guru, yang menghasilkan apa yang biasa kita sebut
masalah disiplin. Pada periode ini anak perlu bergaul dan berbicara dengan anak
lain sebagai bantuan untuk memasuki tahap operasional formal melalui proses
transmisi sosial. Akibatnya, siswa sekolah menengah pertama mungkin tampak di
mata guru sebagai orang yang banyak bicara, berisik, gaduh, dan tidak disiplin.
Para siswa ini tidak mau menerima pernyataan yang hanya didasarkan pada
otoritas guru dan tidak peduli untuk menerima konsep baru yang di luar
kemampuan mereka untuk memvisualisasikan dan membuat konsep. Akibatnya
mereka tidak mungkin percaya atau menerima dengan keyakinan konsep urutan

7
tak terhingga yang berbeda atau fakta bahwa bilangan pokok dari himpunan
bilangan hitung adalah sama dengan bilangan pokok dari himpunan bilangan
genap yang merupakan bilangan yang tepat.
Siswa sekolah menengah pertama senang bekerja dengan diagram, model,
dan perangkat fisik lainnya, mereka perlu menghubungkan konsep abstrak baru
dengan realitas fisik dan pengalaman mereka sendiri. Topik baru dalam
matematika harus diperkenalkan melalui contoh konkret, intuisi dan eksperimen
harus memainkan peran besar dalam strategi pengajaran untuk prinsip dan konsep
baru. Dalam geometri orang harus berharap bahwa banyak siswa akan kesulitan
memvisualisasikan objek tiga dimensi dan hubungan antar objek. Mereka perlu
membangun dan memanipulasi model figur geometris. Geometri di sekolah
menengah pertama harus disajikan secara informal dan intuitif dan bukti geometri
formal harus menunggu sampai siswa memasuki tahap operasional formal dalam
pengembangan intelektual.
Meskipun siswa operasional konkret dapat merumuskan dan menggunakan
konsep dengan benar, mereka mengalami kesulitan menjelaskan konsep
menggunakan simbol matematika dan verbal. Sebagai akibat dari kekurangan ini,
banyak siswa tidak dapat memecahkan masalah kata matematika, dan terpaksa
menghafal pola dan pemecahan masalah coba-coba. percobaan dan kesalahan
mereka sangat tidak sistematis sehingga mereka mungkin terus mengulangi
percobaan yang salah.
Pemikir konkret tidak dapat diharapkan untuk memecahkan teka-teki logis
atau memecahkan paradoks matematika. Anak-anak ini tidak akan mampu
menangani beberapa variabel secara bersamaan, dan hubungan kompleks seperti
proporsi dan fungsi beberapa variabel tidak sesuai untuk banyak anak sekolah
menengah. Simbol matematika dan manipulasi melibatkan operasi formal, dan
banyak siswa belajar aljabar dengan menghafal aturan untuk menggabungkan dan
memanipulasi simbol dengan sedikit pemahaman tentang arti teknik aljabar.
Sebagai kesimpulan, harus ditunjukkan bahwa Piaget dan rekan-rekan
dekatnya telah peduli dengan mempelajari dan mendefinisikan sifat dan
perkembangan pemikiran manusia dan belum berusaha untuk menentukan metode
untuk meningkatkan pengajaran dan pembelajaran. Telah diserahkan kepada

8
orang lain untuk menerapkan teori dan temuan Piaget ke pengajaran di kelas.
Banyak eksperimen yang dikembangkan untuk menentukan tahapan
perkembangan intelektual melibatkan observasi dan pencatatan respons anak
ketika mereka diberi tugas yang bersifat matematis. Akibatnya, beberapa jenis
masalah matematika yang dapat ditangani anak-anak pada berbagai usia dan
tingkat intelektual telah ditentukan oleh Piagetians. Meskipun banyak pekerjaan
pada teori Piaget tentang perkembangan intelektual yang masih harus dilakukan,
teorinya telah diterima secara luas di kalangan psikolog, ahli teori belajar, dan
pendidik. Setiap guru matematika harus terbiasa dengan karya Piaget dan harus
menerapkan penemuannya tentang kesiapan mental untuk berbagai tugas
pembelajaran ke dalam pengajarannya sendiri.

2.2 Model Struktur Kecerdasan J.P Guilford


Sementara Jean Piaget dan yang lainnya telah mempelajari tahapan
perkembangan intelektual, J.P Guilford dan rekan-rekannya telah
mengembangkan model tiga dimensi yang berisi 120 jenis kemampuan intelektual
yang berbeda. 120 faktor intelektual ini tampaknya mencakup sebagian besar
kemampuan mental manusia yang dapat ditentukan dan diukur.
Dalam merumuskan model ini, Guilford dan rekan-rekannya telah
mencoba untuk mendefinisikan dan menyusun kecerdasan umum ke dalam
berbagai kecakapan mental yang sangat spesifik. Temuan mereka memverifikasi
apa yang telah diamati oleh banyak guru yang tanggap, bahkan siswa yang sangat
cerdas mungkin mengalami kesulitan melaksanakan tugas mental tertentu.
Sedangkan siswa lain yang telah mencapai nilai rendah pada tes kecerdasan umum
dapat melakukannya dengan sangat baik pada beberapa jenis aktivitas mental.
Sangat penting bagi para guru untuk memahami bahwa siswa secara individu
dapat memiliki berbagai kekuatan dan kelemahan mental tertentu. Tes telah
dirancang untuk mengukur banyak faktor kecerdasan ini, dan dimungkinkan untuk
memilih tugas yang sesuai untuk membantu orang dalam memperkuat kekurangan
kognitif spesifik mereka.

9
2.2.1 Variabel Intelektual
Model kecerdasan intelektual Guilford, yang disebut model struktur
kecerdasan, dikembangkan di Universitas California menggunakan prosedur
statistik yang disebut analisis faktor untuk mengidentifikasi dan
mengklasifikasikan berbagai kemampuan mental. Model ini dibuktikan dengan
menguji orang-orang dengan usia yang bervariasi dari dua tahun hingga
dewasa. Model struktur kecerdasan, yang telah digunakan sebagai alat oleh
peneliti untuk mempelajari variabel-variabel dalam kecerdasan, mencirikan
pembelajaran dan perkembangan intelektual yang tersusun dari tiga variable
yaitu
a. Operasi Pikiran
Operasi adalah himpunan proses mental yang digunakan dalam
pembelajaran. Guilford telah mengidentifikasi lima jenis operasi mental
yaitu
1) Memori, Memori adalah kemampuan untuk menyimpan informasi di
dalam pikiran dan untuk memanggil informasi yang tersimpan dalam
menanggapi rangsangan tertentu. Seorang siswa yang langsung
menjawab 1/2 ketika diminta memberikan sinus 30 sedang
menggunakan ingatannya.
2) Kognisi/Pengetahuan, Kognisi adalah kemampuan untuk mengenali
berbagai bentuk informasi dan memahami informasi. Seorang anak
yang dapat memisahkan tumpukan campuran kotak dan segitiga
menjadi tumpukan kotak dan segitiga yang terpisah sedang melatih
tingkat kognisi.
3) Evaluasi, Evaluasi adalah kemampuan untuk memproses informasi
untuk membuat penilaian, menarik kesimpulan, dan sampai pada
keputusan. Ketika seorang anggota juri mengikuti sidang, berunding
dalam sidang tertutup dengan anggota juri lainnya, dan menyimpulkan
bahwa terdakwa bersalah sebagaimana yang dituduhkan, orang tersebut
telah menggunakan kemampuan mental evaluasinya.
4) Produksi Konvergen, Produksi konvergen adalah kemampuan untuk
mengambil sekumpulan informasi tertentu dan menarik kesimpulan

10
atau tanggapan yang diterima secara universal berdasarkan informasi
yang diberikan. Seorang siswa aljabar yang menemukan solusi yang
tepat untuk himpunan tiga persamaan linier dalam tiga hal yang tidak
diketahui telah menggunakan kemampuan produksi konvergennya.
5) Produksi Divergen, Produksi divergen adalah kemampuan kreatif untuk
melihat informasi yang diberikan dengan cara baru sehingga
kesimpulan yang unik dan tidak terduga adalah konsekuensinya.
Seorang ahli matematika yang menemukan dan membuktikan teorema
matematika yang baru dan penting menunjukkan kemampuan yang
cukup besar dalam produksi yang berbeda.
b. Isi Pembelajaran
Guilford, dalam model struktur kecerdasannya, mengidentifikasi empat
jenis konten yang terlibat dalam pembelajaran. Empat jenis konten tersebut
adalah
1) Figural, Isi figural adalah bentuk dan bentuk seperti segitiga, kubus,
parabola, dan lain-lain.
2) Simbolik, Isi simbolik adalah lambang atau kode yang
merepresentasikan objek konkret atau konsep abstrak. Contohnya +
adalah simbol matematika untuk operasi penjumlahan.
3) Semantik, Isi semantik dalam pembelajaran adalah kata-kata dan
gagasan yang membangkitkan citra mental ketika disajikan sebagai
rangsangan. Pohon, matahari anjing, perang, ketakutan, dan merah
adalah kata-kata yang membangkitkan bayangan dipikiran orang ketika
mereka mendengar atau membacanya.
4) Perilaku, Isi perilaku belajar adalah manifestasi dari rangsangan dan
respon pada orang. Artinya, cara orang berperilaku sebagai konsekuensi
dari keinginannya sendiri dan tindakan orang lain.
c. Produk Pembelajaran
Dalam model Guilford, enam produk pembelajaran (cara informasi
diidentifikasi dan diatur dalam pikiran) adalah sebagai berikut
1) Unit, Unit adalah simbol, gambar, kata, objek, atau ide tunggal.

11
2) Kelas, Set unit disebut kelas, dan satu kemampuan mental adalah unit
klasifikasi.
3) Relasi atau Hubungan, Relasi adalah koneksi antar unit dan kelas.
Dalam pikiran kita, kita mengatur unit dan kelas ke dalam struktur yang
saling terkait sehingga kita menyadari hubungan antara dua produk
pembelajaran ini.
4) Sistem, Sistem adalah komposisi unit, kelas, dan hubungan ke dalam
struktur yang lebih besar dan lebih bermakna.
5) Transformasi, Transformasi adalah proses memodifikasi, menafsirkan
ulang, dan menyusun kembali informasi yang ada menjadi informasi
baru. Kemampuan transformasi biasanya dianggap sebagai karakteristik
orang-orang kreatif.
6) Implikasi, Implikasi adalah prediksi atau dugaan tentang konsekuensi
interaksi antara unit, kelas, hubungan, sistem, dan transformasi.
Cara di mana sistem bilangan riil disusun menggambarkan bagaimana
pikiran mengatur informasi ke dalam enam produk pembelajaran. Setiap bilangan
real dapat dianggap sebagai satu unit, dan seluruh himpunan bilangan real adalah
kelas. persamaan dan ketidaksetaraan adalah hubungan dalam himpunan bilangan
real. Himpunan bilangan real bersama dengan operasi penjumlahan, pengurangan,
perkalian, dan pembagian dan sifat aljabar operasi tesis ini adalah sistem
matematika. Fungsi yang didefinisikan pada bilangan real merupakan implikasi.
Kemampuan intelektual yang berbeda yang ditentukan dalam struktur
model kecerdasan Guliford dihasilkan dari mengambil semua kemungkinan
kombinasi dari lima operasi, empat konten, dan enam produk. Daftar operasi,
konten, dan produk berikut menunjukkan bagaimana 120 kecerdasan dapat
dibentuk dengan menggabungkan operasi apa pun, dengan konten apa pun,
dengan produk apa pun, untuk membentuk tiga urutan:

12
Tabel 1. Faktor Kemampuan Intelektual Guilford
Operasi Isi Produk
1. Memori 1. Figural 1. Unit
2. Kognisi 2. Simbolik 2. Kelas
3. Evaluasi 3. Semantik 3. Hubungan
4. Produksi Konvergen 4. Perilaku 4. Sistem
5. Produksi Divergen 5. Transformasi
6. Implikasi

Setiap guru harus belajar untuk mengenali ketidakcukupan pembelajaran


umum tertentu dan membantu siswa dalam mengatasi beberapa masalah belajar
mereka. Langkah-langkah dalam menangani variasi intelektual manusiawi adalah
a. Menyadari bahwa kecerdasan setiap siswa terdiri dari banyak faktor berbeda
yang mungkin ada dalam derajat yang berbeda-beda pada setiap siswa.
b. Mengamati kinerja individu setiap siswa dalam bidang tertentu matematika
dan berusaha untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahannya yang
berbeda.
c. menyediakan pekerjaan individual (sesuai kebutuhan siswa dan waktu yang
memungkinkan) untuk siswa sehingga mereka dapat menerapkan kemampuan
intelektual mereka yang lebih kuat dalam belajar matematika dan
meningkatkan kemampuan intelektual mereka yang lebih lemah.
Langkah ini menunjukkan bahwa ada dua pendekatan untuk mengatasi kesulitan
belajar yaitu
a. Pendekatan bagi pelajar untuk melewati kelemahannya dan menerapkan
kekuatan intelektualnya untuk setiap tugas.
b. Mencoba memperkuat kekurangan intelektual.
2.2.2 Saran Kurikulum
Dengan menggunakan tes di atas sebagai model, guru di semua tingkat
kelas dapat mengembangkan latihan dalam konteks tugas aritmatik mereka.
Klasifikasi dalam simbol aljabar akan berbeda dari klasifikasi dalam perkalian
atau geometri. Tujuan utamanya adalah pengenalan properti umum dalam materi
pelajaran. Kimia, yang terutama terdiri dari informasi simbolis, didasarkan pada

13
model klasifikasi. bahkan disini, simbol dapat diklasifikasikan dengan cara unik
lainnya. Pemeriksaan visual yang cermat dari makna rumusan untuk tujuan cara
lain untuk mengklasifikasikannya sebenarnya dapat memperkuat dan
mengkondisikan pembelajaran yang diharapkan.

2.3 Teori Pembelajaran Robert Gagne


Penelitian psikolog Robert M. Gagnė ke dalam fase urutan pembelajaran
dan jenis pembelajaran sangat relevan untuk mengajar matematikawan. Profesor
Gagné telah menggunakan matematika sebagai media untuk menguji dan
menerapkan teori tentang pembelajaran dan telah bekerja sama dengan Proyek
Matematika Universitas Maryland dalam studi pembelajaran matematika dan
pengembangan kurikulum. Teori belajar yang dikemukakan Robert M. Gagne
merupakan perpaduan yang seimbang antara behaviorisme dan kognitisme, yang
berpangkal pada teori pemrosesan informasi (Ratumanan, 2004).
R. Gagne mengembangkan teori belajarnya berdasarkan asumsi–asumsi sebagai
berikut:
a. Pertumbuhan dan perkembangan individu merupakan akibat dari belajar.
b. Belajar merupakan proses yang kompleks sifatnya.
Gagne mendefinisikan belajar sebagai seperangkat proses kognitif yang
mengubah sifat stimuli dari lingkungan menjadi beberapa tahapan pengolahan
informasi yang 20 diperlukan untuk memperoleh kapasitas yang baru. (Gagne,
dalam Akib, 2016)
Objek Pembelajaran Matematika Sebelum membahas empat fase
rangkaian pembelajaran Gagné dan delapan jenis pembelajaran, ada baiknya
membahas objek-objek pembelajaran matematika yang dibahas dalam teorinya.
Objek pembelajaran matematika ini adalah hal-hal langsung dan tidak langsung
yang kita ingin siswa pelajari dalam matematika. Menurut Gagne (dalam Bell,
1981) objek langsung dari pembelajaran matematika adalah fakta, keterampilan,
konsep, dan prinsip; beberapa dari banyak objek tidak langsung adalah transfer
pembelajaran, kemampuan inkuiri, kemampuan memecahkan masalah, disiplin
diri, dan penghargaan untuk struktur matematika. Objek langsung yang diperoleh
siswa antara lain :

14
a. Fakta, Fakta matematika adalah konvensi sewenang-wenang dalam
matematika seperti simbol matematika, ruas garis, angka, sudut, dan
symbol/notasi matematik lainnya.
b. Keterampilan, yaitu kemampuan untuk memberi jawaban benar dan cepat.
c. Konsep, adalah ide abstrak yang memungkinkan kita mengelompokkan benda-
benda kedalam contoh dan non-contoh.
d. Aturn/Prinsip, merupakan objek paling abstrak, dapat berupa sifat, dalil, atau
teori.
Sedangkan yang termasuk objek tak langsung antara lain :
a. Kemampuan menyelidiki dan memecahkan masalah.
b. Kemandirian dalam belajar dan bekerja.
c. Bersikap positif dalam matematika.
d. Mengetahui bagaimana semestinya belajar, dan sebagainya.
2.3.1 Fase Urutan Pembelajaran
Menurut Gagne (dalam Bell, 1981), setiap kegiatan belajar terdiri atas
empat fase yang terjadi secara berurutan, yaitu:
a. Fase pertama dari pembelajaran, fase aprehensi, adalah kesadaran pelajar
tentang stimulus atau serangkaian rangsangan yang hadir dalam situasi
belajar.
b. Fase berikutnya dalam pembelajaran, fase akuisisi, adalah mencapai atau
memiliki fakta, keterampilan, konsep, atau prinsip yang harus dipelajari.
c. Fase penyimpanan pembelajaran. fasilitas penyimpanan manusia adalah
memori, dan penelitian menunjukkan bahwa ada dua jenis memori,
memori jangka pendek dan memori jangka panjang.
d. Fase retrieval, adalah kemampuan untuk memanggil informasi yang telah
diperoleh dan memori yang disimpan. Proses pencarian informasi sangat
tidak tepat, tidak teratur, bahkan mistis.
Keempat fase pembelajaran manusia-memahami, akuisisi,
penyimpanan, dan pengambilan- telah dimasukkan ke dalam desain sistem
komputer, meskipun dalam bentuk yang jauh lebih kompleks daripada yang
terlihat pada manusia.

15
Jika siswa mempelajari prosedur untuk menemukan pendekatan akar
kuadrat dari bilangan apa pun yang bukan kuadrat sempurna, mereka harus
memahami metode tersebut, memperoleh metode tersebut, menyimpannya
dalam memori, dan mengambil algoritma akar kuadrat ketika itu dibutuhkan.
Untuk membantu siswa dalam maju melalui empat tahap dalam mempelajari
algoritma akar kuadrat, guru menghidupkan ketakutan dengan mengerjakan
sebuah contoh di papan tulis, memfasilitasi akuisisi dengan meminta setiap
siswa mengerjakan contoh dengan mengikuti, langkah demi langkah, daftar
instruksi, membantu penyimpanan dengan memberikan masalah untuk
pekerjaan rumah, dan membangkitkan pengambilan dengan memberikan kuis
pada hari berikutnya.
2.3.2 Jenis Pembelajaran
Menurut Gagne (dalam Bell, 1981) delapan jenis pembelajaran yang
telah diidentifikasi dan dipelajari oleh Gagné (pembelajaran sinyal,
pembelajaran respons-stimulus, rantai, asosiasi verbal, pembelajaran
diskriminasi, pembelajaran konsep, pembelajaran aturan, dan pemecahan
masalah) akan disajikan dan dijelaskan di bawah ini , Beberapa kondisi yang
sesuai untuk memfasilitasi setiap jenis pembelajaran akan dibahas.
a. Pembelajaran Sinyal
Pembelajaran sinyal adalah pembelajaran yang tidak disengaja
yang dihasilkan dari salah satu contoh jumlah pengulangan stimulus yang
akan membangkitkan respons emosional pada individu. Ketika seseorang
berkata "Saya tidak bisa makan udang lagi karena saya pernah mengalami
pengalaman traumatis saat mengutipnya," orang itu menggambarkan
contoh dari pembelajaran sinyal yang tidak diinginkan.
Pembelajaran sinyal adalah pembelajaran emosional dan seperti
halnya emosi dapat menjadi positif atau negatif, begitu juga hasil
pembelajaran sinyal menjadi menyenangkan atau tidak menyenangkan.
Dalam rangka belajar stimulus sinyal dan yang kedua, stimulus tak terduga
yang akan membangkitkan respon emosional pada peserta didik yang akan
diasosiasikan dengan stimulus netral.
b. Pembelajaran Stimulus-Respon

16
Pembelajaran respons-stimulus melibatkan gerakan-gerakan
sukarela dari otot-otot skelet siswa sebagai respons terhadap rangsangan
sehingga pelajar dapat melakukan suatu tindakan ketika dia
menginginkannya. Dalam pembelajaran stimulus-respon, stimulus
disajikan kepada individu yang mungkin bereaksi terhadap stimulus dalam
beberapa cara berbeda. setiap kali respons yang diinginkan terjadi,
individu menerima penguatan positif, yang bisa berupa kata-kata pujian
atau pengalaman yang memuaskan.
Tipe belajar S – R, respons bersifat spesifik. 2 x 3 = 6 adalah
bentuk suatu hubungan S-R. Mencium bau masakan sedap, keluar air liur,
itupun ikatan S-R. Setiap respons dapat diperkuat dengan reinforcement.
c. Belajar Rangkaian (Chaining)
Chaining adalah koneksi sekuensial dari dua atau lebih tindakan
respons-stimulus verbal yang dipelajari sebelumnya. Meskipun
pembelajaran stimulus-respons dapat melibatkan respons otot verbal atau
nonverbal, Gagné memilih untuk memanggil urutan rangkaian tindakan
stimulus-respons nonverbal dan urutan tindakan respons-stimulus verbal
asosiasi verbal yang akan dibahas sebagai jenis pembelajaran terpisah.
Mengikat sepatu, membuka pintu, menyalakan mobil dengan
melempar bola, mengasah pensil, dan mengecat langit-langit adalah contoh
rantai. Dalam situasi ini, perlu untuk merangkai urutan yang teratur dari
keterampilan respons-stimulus yang dipelajari sebelumnya untuk
menyelesaikan tugas. Membuka pintu melibatkan empat tindakan otot
respons-stimulus yang terpisah, yaitu menggenggam kenop pintu, memutar
kenop, menahan kenop dalam posisi turmed. dan membuka pintu.
d. Asosiasi verbal
Asosiasi verbal adalah rangkaian rangsangan verbal; yaitu,
hubungan sekuensial dari dua atau lebih tindakan respons-stimulus verbal
yang dipelajari sebelumnya. Jenis rantai verbal yang paling sederhana
adalah asosiasi suatu objek dengan namanya yang melibatkan rantai
respons-stimulus yang menghubungkan penampilan suatu objek dengan
karakteristiknya dan respons-stimulus dari mengamati objek dan

17
merespons dengan menyebutkan namanya. Rantai asosiasi verbal yang
lebih rumit adalah membentuk kalimat, mempelajari puisi, menghafal
baris-baris karakter dalam permainan, dan mempelajari bahasa asing.
Sebagai contoh, satu orang mungkin melafalkan kode mental "y
ditentukan oleh x" sebagai isyarat untuk fungsi kata, orang lain dapat kode
berfungsi secara simbolis sebagai "y = fx)," dan orang lain dapat
memvisualisasikan dua set elemen yang dikelilingi lingkaran dengan
panah yang membentang dari elemen satu set ke elemen set lainnya. Kode
lain bisa diajarkan.
e. Pembelajaran Diskriminasi
Pembelajaran diskriminasi belajar membedakan antara rantai;
Yaitu, untuk mengenali berbagai objek fisik dan konseptual. Ada dua jenis
diskriminasi - diskriminasi tunggal dan diskriminasi ganda. Sebagai
ilustrasi, seorang anak kecil dapat diberikan praktik dalam mengenali
angka 2 dengan melihat lima puluh 2 di halaman dan dengan menggambar
halaman 2. Melalui rantai respons-stimulus sederhana, anak belajar untuk
mengenali (bukan, dalam hal ini, nama "dua" untuk konsep dua), tetapi
pemahaman fisik dari angka 2. Ini adalah contoh diskriminasi tunggal di
mana Anak bisa mengenali angka 2. Pada saat yang sama anak bisa
belajar mengenal angka 0, 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9 dan membedakannya,
yang merupakan contoh diskriminasi ganda.
f. Pembelajaran Konsep
Pembelajaran konsep condong untuk mengenali properti umum
dari objek atau peristiwa konkret dan menanggapi objek atau peristiwa ini
sebagai kelas. Di satu sisi, pembelajaran konsep adalah kebalikan dari
pembelajaran diskriminasi. Sedangkan Pembelajaran Diskriminasi
mensyaratkan bahwa pembelajar membedakan antara objek sesuai dengan
karakteristik mereka yang berbeda, pembelajaran konsep melibatkan
pengklasifikasian objek menjadi set sesuai dengan karakteristik umum dan
menanggapi properti bersama.
Ketika siswa telah mempelajari sebuah konsep lebih lama
membutuhkan rangsangan khusus dan akrab untuk mengidentifikasi dan

18
bereaksi terhadap contoh baru dari konsep tersebut. Akibatnya, cara untuk
menunjukkan bahwa sebuah konsep telah dipelajari adalah dengan
menunjukkan bahwa yang dipelajari dapat menggeneralisasikan konsep
dalam situasi yang tidak biasa.
Ketika konsep matematika baru sedang diajarkan kepada siswa, penting
untuk
1) Menyajikan berbagai contoh yang berbeda dari konsep untuk
memfasilitasi generalisasi.
2) Menunjukkan contoh konsep yang berbeda tetapi terkait untuk
membantu diskriminatif
3) Menyajikan non-contoh konsep untuk mempromosikan diskriminasi
dan generali- zasi, dan
4) Menghindari penyajian contoh konsep yang semuanya memiliki
beberapa karakteristik umum yang dapat mengganggu klasifikasi
contoh konsep yang tepat.
g. Pembelajaran Aturan
Pembelajaran aturan adalah kemampuan untuk menanggapi seluruh
rangkaian situasi (rangsangan) dengan seluruh rangkaian tindakan.
Pembelajaran aturan tampaknya menjadi jenis pembelajaran utama untuk
memfasilitasi fungsi manusia yang efisien dan koheren. Ucapan, tulisan,
aktivitas rutin sehari-hari, dan banyak perilaku kita diatur oleh aturan yang
telah kita pelajari. Agar orang dapat berkomunikasi dan berinteraksi, dan
agar masyarakat berfungsi dalam bentuk apa pun kecuali anarki,
seperangkat aturan yang sangat besar dan kompleks harus dipelajari dan
dipatuhi oleh sebagian besar orang. Sebagian besar pembelajaran
matematika adalah pembelajaran aturan.
Misalnya, kita tahu bahwa 5 x 6 = 6 x 5 dan 2 x 8 = 8 x 2; Namun
tanpa mengetahui aturan yang dapat diwakili oleh a x b = b x a, kita tidak
akan dapat menggeneralisasi di luar beberapa soal perkalian spesifik yang
telah kita coba. Kebanyakan orang pertama kali mempelajari dan
menggunakan aturan bahwa perkalian bersifat komutatif tanpa dapat

19
menyatakannya, dan biasanya tanpa menyadari bahwa mereka mengetahui
dan menerapkan aturan tersebut.
Dalam bukunya Kondisi Pembelajaran, Robert Gagné (dalam
Bell,1981) memberikan urutan instruksi lima langkah untuk aturan
pengajaran:
Langkah 1: Memberitahukan pelajar tentang bentuk kinerja yang akan
dikuasai ketika pembelajaran selesai.
Langkah 2: Ajukan pertanyaan kepada pelajar dengan cara yang
membutuhkan pemulihan (mengingat kembali konsep yang dipelajari
sebelumnya yang membentuk aturan.
Langkah 3: Gunakan pernyataan verbal (isyarat) yang akan mengarahkan
pelajar untuk menyatukan tujuan, sebagai rangkaian konsep, dalam urutan
yang benar.
Langkah 4: Melalui sebuah pertanyaan, minta pelajar untuk
"mendemonstrasikan" salah satu contoh (sic) lebih konkret dari aturan.
Langkah 5: (Opsional, tetapi berguna untuk instruksi selanjutnya): Dengan
pertanyaan yang cocok, mengharuskan pelajar untuk membuat pernyataan
verbal dari aturan tersebut.
h. Problem solving (pemecahan masalah)
Seperti yang diharapkan, pemecahan masalah adalah urutan
berpikir tingkat tinggi dan tipe pembelajaran yang lebih kompleks
daripada pembelajaran aturan, akuisisi aturan merupakan prasyarat untuk
pemecahan masalah. Pemecahan masalah melibatkan pemilihan dan
rangkaian seperangkat aturan dengan cara yang unik bagi pelajar yang
menghasilkan pembentukan tatanan hingher set aturan yang sebelumnya
tidak diketahui oleh pelajar. Kata-kata seperti penemuan dan kreativitas
sering dikaitkan dengan pemecahan masalah.

Pemecahan masalah dunia nyata biasanya melibatkan lima langkah:


1) Penyajian masalah dalam bentuk umum,
2) Penyajian kembali masalah ke dalam definisi operasional,

20
3) Perumusan hipotesa dan prosedur alternatif yang mungkin merupakan
cara yang tepat untuk menyerang masalah
4) Menguji hipotesis dan melaksanakan prosedur untuk mendapatkan
solusi atau sekumpulan solusi alternatif, dan
5) Memutuskan solusi mana yang paling tepat atau sangat meyakinkan
bahwa solusi tunggal benar.
Contoh pemecahan masalah baru adalah siswa yang belum pernah
melihat rumus kuadrat, mengembangkan rumus ini untuk solusi persamaan
kuadrat umum 𝑎𝑥 2 + 𝑏𝑥 + 𝑐 = 0 Siswa seperti itu harus memilih
keterampilan menyelesaikan kuadrat trinomial dari stok keterampilannya
dan menerapkan keterampilan itu dengan cara yang tepat untuk
mengembangkan rumus kuadrat. Seorang siswa yang memperoleh rumus
kuadrat dengan menjalankan serangkaian instruksi dari gurunya sedang
mempelajari suatu aturan. Kriteria pemecahan masalah adalah bahwa
siswa tersebut sebelumnya belum memecahkan masalah tersebut,
meskipun masalah tersebut mungkin telah diselesaikan sebelumnya oleh
banyak orang lain.
2.3.3 Hirarki Belajar (Learning hierarchies)
Gagne telah menerapkan teorinya, yang sebagian telah dibahas dalam
bagian ini, untuk menyusun hierarki pembelajaran matematika khusus untuk
pemecahan masalah dan pembelajaran aturan. hierarki pembelajaran untuk
pemecahan masalah atau pembelajaran aturan adalah struktur yang berisi
urutan kemampuan bawahan dan prasyarat yang harus dikuasai siswa sebelum
dia dapat mempelajari tugas tingkat tinggi. gagne menggambarkan belajar
sebagai perubahan yang dapat diamati dalam perilaku orang dan hierarki
belajarnya terdiri dari kemampuan yang dapat diamati atau diukur.
Pada hirarki belajar yang dikemukakan oleh Gagne, belajar konsep
ditempatkan pada urutan kelima, sedang pada tipe hasil belajarnya, belajar

21
konsep dipandang sebagai bagian dari keterampilan itelektual, yang disusun
dalam suatu hirarki tersendiri. Hirarki tingkat-tingkat kemampuan intelektual
tersebut digambarkan oleh Gagne (dalam Akib, 2016):

Gambar 1. Hirarki Tingkat Kemampuan


Membangun hierarki pembelajaran untuk topik matematika lebih dari
sekadar mendaftar langkah-langkah dalam mempelajari aturan atau
memecahkan masalah. Menyiapkan daftar langkah merupakan titik awal yang
baik, akan tetapi yang membedakan hierarki pembelajaran adalah kemampuan
bawahan dan bawahan dari atas ke bawah dengan diagram pohon ke bawah
yang dapat diperagakan oleh siswa atau diukur oleh guru. (Bell, 1981).

2.4 Dienes Dalam Pembelajaran Matematika


Zoltan Paul Dienes lahir pada 1916 di Budapest, Hungaria dan pindah ke
Inggris ketika dia berusia 16 tahun. Z.P. Dienes memulai pendidikannya
di Darlington Hall School, Inggris dan lulus pada tahun 1934. Gelar Bachelor
didapatkan dari University of London padatahun 1937 sedangkan gelar Ph. D
didapatkan di universitas yang sama pada tahun 1939. Dia mengembangkan
bidang baru dalam Psikomatematik (psikologi pembelajaran matematika).
Zoltan P.Dienes menempuh pendidikan di Hongaria, Prancis dan Inggris,
telah menggunakan minat dan pengalamannya dalam pendidikan matematika dan
mempelajari psikologi untuk mengembangkan suatu sistem. Sistemnya sebagian
didasarkan pada pembelajaran psikologi Jean Piaget, dikembangkan dalam upaya
membuat matematika lebih menarik dan lebih mudah dipelajari. (Bell, 1981)

22
Dienes adalah seorang matematikawan, ahli psikologi, dan pendidik. Ia
berpendapat bahwa hal penting yang dekat dengan temuan penelitiannya adalah
adanya aspek psikologi dalam instruksi matematika. Kegiatan Dienes adalah
menghasilkan suatu rancangan untuk mengkombinasikan aspek-aspek psikologis
dan prinsip-prinsip matematika ke dalam suatu struktur yang digunakan sebagai
dasar pembelajaran. Kunci dari pendekatan teori Dienes dalam instruksi
matematika adalah penggunaan benda-benda kongkrit dalam bentuk permainan,
dan permainan tersebut harus dilakukan secara hati-hati dalam susunan atau
urutan pembelajaran
Teori belajar Dienes ini sangat terkait dengan teori belajar yang
dikemukakan oleh Piaget, yaitu mengenai teori perkembangan intelektual. Jean
Piaget berpendapat bahwa proses berpikir manusia sebagai suatu perkembangan
yang bertahap dari berpikir intelektual konkret ke abstrak berurutan melalui empat
periode. Urutan periode itu tetap bagi setiap orang, namun usia atau kronologis
pada setiap orang yang memasuki setiap periode berpikir yang lebih tinggi
berbeda-beda tergantung kepada masing-masing individu.(Abrar, 2018)
2.4.1 Konsep Matematika
Dienes melihat bahwa belajar matematika itu belajar dari struktur-struktur,
kemudian mengklasifikasikan struktur-struktur, menghubungkan antar struktur,
dan menggolongkan hubungan yang ada dari masing-masing struktur (Bell,1981).
Dienes percaya bahwa tiap-tiap konsep matematika dapat dipelajari dengan baik
hanya jika pada pembelajaran awal (pertama) disajikan melalui bermacam-macam
benda kongkrit, dan representasi secara nyata.
Dienes (Bell, 1981) membagi konsep matematika dalam tiga tipe, yaitu:
(1) konsep matematika murni (pure mathematical concept), (2) Konsep
notasi/simbol (notational concept), dan (3) konsep aplikasi (applied concept).
a. Konsep Matematika Murni (Pure Mathematical Concept), berhubungan
dengan pengklasifikasian bilangan dan hubungan diantara bilangan tersebut.
sebagai contoh: enam, 8, XII, 1110 (basis dua), dan (basis sepuluh). Semua
contoh tersebut merupakan konsep dari bilangan genap, meskipun tiap-tiap
bilangan genap itu sendiri memiliki cara representasi yang berbeda-beda
dari tiap-tiap bagiannya.

23
b. Konsep Notasi atau Simbol (Notational Concept), berhubungan bagaimana
cara merepresentasikan bilangan. Misalnya, dalam basis sepuluh, 275 berarti
2 ratusan, ditambah 7 puluhan, ditambah 5 satuan. Hal ini merupakan cara
untuk merepresentasikan bilangan berdasarkan basis 10.
c. Konsep Aplikasi (Applied Concept), merupakan aplikasi dari konsep murni
dan konsep simbol untuk menyelesaikan masalah dalam matematika
maupun pada hal yang lain yang masih berhubungan. Konsep aplikasi boleh
diajarkan kepada siswa setelah mereka belajar konsep prasyarat, yaitu
konsep murni dan konsep notasi. Konsep murni harus diajarkan terlebih
dahulu sebelum anak belajar mengenai konsep notasi, jika tidak maka siswa
akan hanya mengingat rumus untuk memanipulasi simbol tanpa mengetahui
dasar dari konsep matematika yang sebenarnya (murni). Contoh kesalahan
siswa dalam memanipulasi simbol adalah:
1) 3𝑥 + 2 = 4 maka berakibat 𝑥 + 2 = 4 ÷ 3
𝑥+2
2) =𝑥
2

3) 𝑎2 . 𝑎3 = 𝑎6
4) √𝑥 2 + 5 = 𝑥 + √5
Contoh di atas sebenarnya siswa ingin menerapkan konsep murni dan konsep
simbol, tetapi mereka belum mengerti secara jelas mengenai konsep murni dan
konsep simbol itu sendiri.
Jika disimpulkan Konsep murni matematika merupakan ide-ide
matematika mengenai klasifikasi bilangan dan relasi-relasi antar bilangan dan
sama sekali tidak tergantung pada bagaimana bilangan tersebut disajikan. Konsep
notasi matematika merupakan sifat-sifat bilangan yang merupakan akibat
langsung dari cara bagaimana bilangan disajikan. Konsep terapan matematika
merupakan penggunaan konsep murni dan konsep notasi matematika untuk
pemecahan masalah matematika. (Abrar, 2018:25)
Menurut Dienes, membelajarkan konsep matematika merupakan suatu
kreativitas yang tidak dapat dilakukan hanya sekedar memberikan stimulus dan
respon sebagaimana tahap-tahap pembelajaran pada teori dari Gagne. Dienes
percaya bahwa seluruh abstraksi tergantung pada intuisi dan percobaan-percobaan

24
nyata. Sistem yang digunakan pada pembelajaran ditekankan pada penelitian
matematika, manipulasi benda-benda, dan permainan matematika.
Dienes (Bell,1981:125) mengatakan bahwa dalam rangka belajar
matematika (belajar untuk mengklasifikasi struktur dan mengidentifikasi
hubungan antar setruktur tersebut) maka siswa harus belajar untuk:
1. Analyze (meneliti) Meneliti struktur-struktur matematika dan hubungan-
hubungan yang mungkin dari setiap struktur tersebut;
2. Abstract (abstraksi) Mengabstraksikan dari berbagai struktur yang ada dan
mengklasifikasikan kesamaan dari masing-masing struktur tersebut;
3. Generalize (menggeneralisasi) Setiap struktur dipelajari dengan
meggunakan berbagai macam bentuk yang berlainan tapi masih dalam
lingkup struktur yang sama, hingga ditemukan definisi dan pemahaman
yang jelas dari struktur yang dipelajari; dan
4. Menggunakan pembelajaran sebelumnya yaitu proses abstraksi untuk
mengkonstruk hal yang lebih rumit atau lebih tinggi tingkatannya. Agar
berpikir matematik itu efektif, abstraksi dan generalisasi itu harus menjadi
perhatian utama. Abstraksi dan generalisasi itu merupakan bagian berpikir
matematik yang bermanfaat karena keduanya menyebabkan matematika
dapat diaplikasikan ke situasi nyata, baik yang belum diketahui maupun
yang tidak terduga.
2.4.2 Tahapan dalam Pembelajaran Konsep Matematika
Dienes percaya bahwa konsep matematika dipelajari dalam tahapan
progresif, yang sesuai dengan tahap perkembangan intelektual yang
dikembangkan oleh Piaget. Dia mendalilkan enam tahap dalam pengajaran dan
pembelajaran konsep matematika: (a) free play, (b) games, (c) searching for
commualities, (d) reperesentation, (e) simbolization dan (f) formalization.
(Bell, 1981:125)
Dienes membagi 6 tahapan secara berurutan dalam menyajikan konsep
matematika, yaitu sebagai berikut:
a. Tahap Bermain Bebas (free play)
Tahap bermain bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktivitasnya
tidak diarahkan. Pada kegiatan ini, memungkinkan anak untuk mengadakan

25
percobaan dan mengotak-atik (memanipulasi) benda-benda kongkrit dari
unsur-unsur yang sedang dipelajarinya. Pada tahap permainan bebas anak-
anak berhadapan dengan unsur-unsur dalam interaksinya dengan
lingkungan belajar atau alam sekitar. Dalam tahap ini juga anak tidak hanya
belajar membentuk struktur mental, namun.
b. Tahap Permainan (games)
Dalam permainan yang disertai aturan, anak-anak sudah mulai meneliti
pola-pola dan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu. Keteraturan
ini mungkin terdapat dalam konsep tertentu tetapi tidak terdapat dalam
konsep yang lainnya. Anak yang telah memahami aturan-aturan yang
terdapat dalam konsep akan dapat mulai melakukan permainan tadi.
Jelaslah, dengan melalui permainan anak-anak diajak untuk mulai
mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika. Makin banyak
bentuk-bentuk yang berlainan yang diberikan dalam konsep-konsep
tertentu, maka akan semakin jelas konsep yang dipahami anak. Karena
anak-anak akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis
dalam konsep yang dipelajarinya itu..
c. Tahap Penelaahan Persamaan Sifat (searching for comunalities)
Pada tahap ini, anak-anak mulai diarahkan dalam kegiatan menemukan
sifat-sifat kesamaan dalam permainan yang sedang diikuti. Untuk melatih
anak-anak dalam mencari kesamaan sifat, guru perlu mengarahkan mereka
dengan mentranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan yang
satu ke bentuk permainan lainnya. Translasi tentu tidak boleh mengubah
sifat-sifat abstrak yang ada dalam permainan semula.
d. Tahap Representasi (representation)
Tahap representasi adalah tahap pengambilan kesamaan sifat dari beberapa
situasi yang sejenis. Anak-anak menentukan representasi dari konsep-
konsep tertentu, setelah mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat
yang terdapat dalam situasi-situasi yang dihadapinya. Representasi yang
diperolehnya ini bersifat abstrak. Dengan demikian anak-anak telah
mengarah pada pengertian struktur matematika yang sifatnya abstrak yang
terdapat dalam konsep yang sedang dipelajari.

26
e. Tahap Simbolisasi (symbulization)
Tahap simbolisasi termasuk tahap belajar konsep, yang membutuhkan
kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan
menggunakan simbol-simbol matematika atau melalui perumusan verbal..
f. Tahap Formalisasi (formalization)
Tahap formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam
tahap ini anak-anak dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan
kemudian merumuskan sifat-sifat baru dari konsep tersebut. Sebagai
contoh, anak-anak yang telah mengenal dasar-dasar dalam struktur
matematika seperti aksioma, harus mampu merumuskan teorema, dalam
arti membuktikan teorema tersebut.
2.4.3 Prinsip Dalam Pembelajaran Konsep Matematika
Dienes (1971) dalam Bell 1981, didaalam bukunya “Buiding Up
Mathematics” , merangkum sistem pengajaran matematika dalam empat
prinsip umum untuk konsep pengajaran. Enam tahapannya dalam pembelajaran
konsep adalah penyempurnaan dari empat prinsip ini:
a. Prinsip Dinamis (Dynamic Priciple) artinya anak-anak mempelajari
sesuatu melalui struktur, praktek perkenalan dan eksperimen untuk
membentuk satu konsep.
b. Prinsip Konstruktivitas (Constructivity Principle) artinya Pelajar haruslah
memahami konsep sebelum memahaminya dengan analisa yang logik
c. Prinsip Variabilitas Matematis (Mathematical Variability Principle)
artinya Konsep yang menyertakan variabel yang diajarkan melalui
pengalaman dan menyertakan jumlah kemungkinan variabel yang paling
besar
d. Prinsip Variabilitas Perseptual (Perceptual Variability Principle) artinya
Anak-anak diperkenalkan berbagai keadaan agar dapat memaksimalkan
konsep Matematik.
2.4.4 Aplikasi Teori Dienes Dalam Pembelajaran Matematika
Dalam menerapkan enam tahap belajar konsep dari Dienes untuk
merancang pembelajaran matematika, mungkin suatu tahap (bisa tahap bermain
bebas) tidak cocok bagi para siswa atau kegiatan-kegiatan untuk dua atau tiga

27
tahap dapat digabung menjadi satu kegiatan. Mungkin perlu dirancang kegiatan-
kegiatan belajar khusus untuk setiap tahap jika kita mengajar siswa-siswa SD
kelas rendah; tetapi untuk siswa-siswa SMP dimungkinkan menghilangkan tahap-
tahap tertentu dalam mempelajari beberapa konsep.
Model mengajar matematika dari Dienes hendaknya diperlakukan sebagai
pedoman, dan bukan sekumpulan aturan yang harus diikuti secara ketat. Konsep
perkalian bilangan bulat negatif akan dibahas di sini sebagai contoh bagaimana
tahap-tahap Dienes dapat digunakan sebagai pedoman dalam merancang kegiatan
mengajar/belajar. Karena hampir semua siswa belajar menambah, mengurang,
mengalikan dan membagi bilangan-bilangan asli, dan menambah dan mengurang
bilangan-bilangan bulat sebelum belajar mengalikan bilangan bulat, kita
berasumsi bahwa konsep-konsep dan keterampilan-keterampilan itu telah dikuasai
oleh para siswa. Bagi para siswa kelas 6 atau 7, dapat mulai sesi permainan bebas
dengan secara informal mendiskusikan pengerjaan hitung pada bilangan asli dan
sifat-sifat aljabar dari bilangan asli. Guru mungkin juga mendiskusikan
penjumlahan dan pengurangan pada bilangan bulat dan sifat pertukaran dan
pengelompokan penjumlahan.
Dalam Bell (1981:128) guru bisa juga mengganti permainan bebas dengan
tinjauan informal. Atau tahap free play dan games bisa digabung menjadi
beberapa permainan seperti permainan kartu sederhana berikut:
1) Guru hendaknya menyiapkan meja panjang secukupnya untuk permainan
kartu standar sedemikian hingga terdapat satu meja panjang untuk setiap
lima siswa dalam kelas.
2) Para siswa yang bermain dalam kelompok lima orang dan setiap anak
memegang empat kartu. Setiap siswa mengelompokkan kartu-kartunya
menjadi berpasang-pasangan, kemudian mengalikan kedua bilangan yang
ditunjukkan oleh setiap pasang kartu, dan kemudian menjumlahkan kedua
hasil kali itu.
3) Siswa yang dapat memasangkan kartu-kartunya sehingga memperoleh
jumlah hasil kali terbesar adalah pemenang dalam kelompoknya.

28
4) Bilangan-bilangan pada kartu hitam (tongkat dan sekop) dianggap sebagai
bilangan positif, dan bilangan-bilangan pada kartu merah (hati dan belah
ketupat) sebagai bilangan negatif.
5) Konsekuensinya para siswa langsung dihadapkan pada masalah bagaimana
mengelompokkan kartu-kartu negatif untuk mendapatkan hasil kali dan
jumlah positif yang besar. Beberapa kelompok mungkin menyepakati
aturan-aturan yang berbeda untuk menangani hasil kali dua bilangan
negatif.
6) Sebagai contoh, kartu hitam 2 dan 4 dan kartu merah 7 dan 5 dapat
digunakan untuk membuat 2 x 4 + (-7 x -5) = 43, jika aturan yang benar
bahwa hasil kali dua bilangan bulat negatif adalah suatu bilangan bulat
positif telah dirumuskan. Jika tidak, maka bilangan-bilangan negatif tidak
akan menolong dalam mengorganisasi seorang pemenang. Beberapa siswa
tentunya akan saling bertanya atau bertanya kepada guru tentang
bagaimana menyekor bilangan bulat negatif.
Berikut ini adalah contoh kedua belajar konsep matematika dalam belajar
menjumlah dan mengurang, dengan menerapkan keenam tahap belajar Dienes:
a. Permainan Bebas (Free Play) :
Dalam belajar menjumlahkan ataupun mengurang dengan permainan bebas,
siswa diberikan kebebasan untuk bermain dan berinteraksi dengan lingkungan
sekitar mereka. Misalnya anak-anak dibagi dalam beberapa kelompok,
kemudian setiap kelompok diberikan berbagai macam benda atau makanan,
misalnya , bunga, permen atau balok-balok, dan sebagainya. Hal yang
mungkin dilakukan anak-anak adalah bertanya kepada teman mereka, seperti
ini:
1) ada berapa bunga yang warnanya merah?
2) saya ingin mengambil 2 permen, dan sisanya bisa kamu ambil!
b. Permainan dengan Menggunakan Aturan ( Games):
Games 1 : Bermain dalam Ruang Kesenian
Anak-anak dibawa dalam ruang kesenian. Aturannya, ruang kesenian tersebut
hanya boleh diisi paling banyak sepuluh anak untuk latihan menari, dan anak-
anak boleh keluar dan masuk kapan saja. Dari aturan tersebut akan

29
menimbulkan banyak pertanyaan, dan anak-anak menjawab pertanyan,
misalnya:
1) Jika dalam ruangan kesenian tersebut terdapat tujuh anak yang sedang
latihan menari, berapa orang anak kah yang harus masuk untuk
mencukupi?
2) Jika anak-anak yang latihan menari semuanya sudah datang, dan ada dua
orang anak meminta ijin keluar untuk minum, berapa anak yang berada
di dalam ruang kesenian?
Games 2 : Bermain mencari harta karun
Anak-anak dibawa ke sebuah taman sekolah, dan bermain dengan mengikuti pola
berikut: Caca dkk, sedang berburu harta karun dimulai dari pulau A dan pulau
yang dituju adalah pulau E, meraka harus membawa BUNGA untuk sampai di
sana. Di setiap pulau mereka boleh mengambil bunga, dan di setiap jembatan
mereka boleh membuang bunga tapi untuk sampai di pulau E mereka harus
membawa delapan bunga. Sekarang bantulah Caca dkk, untuk sampai di pulau
tersebut dengan melewati pulau A, pulau B, pulau C, pulau F, pulau D kemudian
kembali ke pulau B dan terakhir sampailah ke pulau E. Ingat dipulau A terdapat
dua bunga, pulau B terdapat empat bunga, pulau C tidak ada bunga, pulau D
terdapat tujuh bunga, dan pulau F ada satu bunga

Gambar 2. Aturan Games


Dari aturan di atas akan memunculkan banyak pertanyaan, misalnya:
1) ada berapa bunga yang dibawa Caca, dkk untuk sampai di pulau C, jika
mereka tidak membuang bunga di jembatan?

30
2) Pada saat sampai di jembatan antara pulau F dan pulau D, Caca, dkk
membuang dua bunga, ada berapa sisa bunga mereka?
c. Kesamaan Sifat (Searching for communalities)
Dari aktivitas pada games 1 dan games 2, anak-anak mungkin akan
menemukan kesamaan sifat seperti ini:
Games 1: masuk dalam ruangan – keluar dari ruangan
Games 2: mengambil bunga di pulau – membuang bunga di jembatan
d. Penyajian / Representasi ( Representations)
Dari games –games dan situasi yang telah diberikan diharapkan siswa dapat
menyajikan secara abstrak apa yang mereka telah temukan. Misalnya:

Gambar 3. Aturan Game bagianRepresentasi


e. Simbolisasi ( Symbolizations)
Pada permainan dengan simbolisasi, anak-anak dapat menggunakan tanda
tambah dan tanda kurang, ketika disebutkan kata-kata ”masuk”, ”keluar”,
”mengambil”, ataupun :membuang”. Dan simbol-simbol angka ketika disebut
”lima”, ”enam”, dsb. Sebagai contoh : Dari 10 orang anak yang ada di ruang
kesenian, dua orang keluar minum. Ini dapat ditulis menjadi : 10 – 2 = 8
f. Formalisasi ( Formalizations)
Tahap yang terakhir formalisasi. Pada tahap 6, dari games-games yang telah
diberikan mungkin saja anak-anak memperoleh 2 + 3 = 5, 3 + 2 = 5, ataupun 0

31
+ 3 = 3, 3 + 0 = 3. Dari sini, anak- anak akan bisa melihat sifat dari
konseptersebut, misalnya 2 + 3 = 3 + 2 = 5, kemudian 0 +3 = 3 + 0 = 3, dan
sebaginya.
Kesimpulan
Tahap-tahap pembelajaran yang telah dirancang oleh Dienes pada tahap
awal anak dibiarkan bebas bermain. Anak dibiarkan untuk memanipulasi benda-
benda atau alat peraga yang diberikan, mungkin anak-anak akan bekerja untuk
membedakan ukuran, bentuk, warna, dan tekstur. Salain itu mereka juga dibiarkan
untuk mendapatkan cara sendiri untuk mengkonstruk fikirannya atau
imajinasinya. Beberapa aktivitas yang dilakukan anak tersebut bukan merupakan
suatu aktivitas yang sembarangan, tetapi apa yang diperbuat anak berdasarkan
contoh-contoh dan aturan-aturan yang ada dilingkungan sekitar mereka.
Menurut Dienes pada tahap bermain bebas, anak-anak tidak boleh dipaksa
untuk mengerjakan sesuatu secara cepat atau terburu-buru. Karena anak-anak
memerlukan banyak waktu untuk melakukan percobaan dengan objek-objek
disekeliling mereka sebelum mereka membentuk suatu konsep sebenarnya dari
apa yang mereka fikirkan. Satu hal yang perlu diperhatikan pada tahap bermain
bebas adalah pengalaman-pengalaman yang diberikan pada anak melalui benda-
benda atau alat peraga yang disediakan harus disusun secara sistematis dan
terurut.

32
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Menurut teori psikolog Swiss terkemuka Jean Piaget, perkembangan
intelektual manusia berkembang secara kronologis melalui empat tahap
berurutan. Urutan terjadinya tahapan-tahapan tersebut ditemukan tidak
berubah-ubah di antara orang-orang, namun usia dimana orang memasuki
setiap tahap tingkat tinggi berbeda-beda sesuai dengan karakteristik keturunan
dan lingkungan masing-masing orang. Adapun empat tahap, tahapan motorik
sensorik, tahap praoperasional, tahap operasional konkrit, tahap operasional
formal.
2. Dalam merumuskan model ini, Guilford dan rekan-rekannya telah mencoba
untuk mendefinisikan dan menyusun kecerdasan umum ke dalam berbagai
kecakapan mental yang sangat spesifik. Model kecerdasan intelektual
Guilford, yang disebut model struktur kecerdasan, dikembangkan di
Universitas California menggunakan prosedur statistik yang disebut analisis
faktor untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan berbagai kemampuan
mental. Model struktur kecerdasan, yang telah digunakan sebagai alat oleh
peneliti untuk mempelajari variabel-variabel dalam kecerdasan, mencirikan
pembelajaran dan perkembangan intelektual yang tersusun dari tiga variable
yaitu operasi pirikan, isi pembelajaran, produk pembelajaran.
3. Teori belajar yang dikemukakan Robert M. Gagne merupakan perpaduan yang
seimbang antara behaviorisme dan kognitisme, yang berpangkal pada teori
pemrosesan informasi. Menurut Gagne, setiap kegiatan belajar terdiri atas
empat fase yang terjadi secara berurutan, yaitu Fase Aprehensi, fase akuisisi,
fase penyimpanan, fase retrival. Menurut Gagne delapan jenis pembelajaran
yang telah diidentifikasi dan dipelajari oleh Gagné, pembelajaran sinyal,
pembelajaran respons-stimulus, rantai, asosiasi verbal, pembelajaran
diskriminasi, pembelajaran konsep, pembelajaran aturan, dan pemecahan
masalah.
4. Tahap-tahap pembelajaran yang telah dirancang oleh Dienes pada tahap awal
anak dibiarkan bebas bermain. Anak dibiarkan untuk memanipulasi benda-

33
benda atau alat peraga yang diberikan, mungkin anak-anak akan bekerja untuk
membedakan ukuran, bentuk, warna, dan tekstur. Salain itu mereka juga
dibiarkan untuk mendapatkan cara sendiri untuk mengkonstruk fikirannya atau
imajinasinya. Beberapa aktivitas yang dilakukan anak tersebut bukan
merupakan suatu aktivitas yang sembarangan, tetapi apa yang diperbuat anak
berdasarkan contoh-contoh dan aturan-aturan yang ada dilingkungan sekitar
mereka.
3.2 Saran
Demi kemajuan dan perbaikan dalam dunia pendidikan di Indonesia,
hendaknya teori-teori pembelajaran matematika di sekolah mendapat perhatian
khusus dan selalu diupgrade agar sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan
zaman serta dapat memperbaiki kekurangan yang ada. Serta dapat digunakan
sesuai dengan kondisi siswa agar terciptanya pembelajaran matematika yang baik.

34
DAFTAR PUSTAKA

Akib. I. (2016). Implementasi Teori Belajar Robert Gagne Dalam Pembelajaran


Konsep Matematika (Suatu Alternatif Kegiatan Mengajar Belajar Konsep
Matematika). Sulawesi Selatan: Lembaga Perpustakaan dan Penerbitan.
Andika Ika prasasti Abrar. 2018. Belajar Dienes. Al-Khwarizmi: Jurnal
Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.1(1): 23-32.
Bell, F. H. (1981). Teaching and Learning Mathematics (In Secondary School).
United States of America: Wm. C. Brown Company Publishers.
Ratumanan, G, T. (2004). Belajar dan Pembelajaran. Surabaya: Unesa University
Press.

35

Anda mungkin juga menyukai