PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Dilihat dari aspek hukum metodologi, hukum islam dapat di pahami sebagai
hukum yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Sunnah melalui proses ijtihad,
karakteristik hukum islam yang berupa nas dan di dukung dengan akal merupakan
ciri khas yang membedakan hukum islam dengan sistem hukum lainya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Ijtihad
Ijtihad dalam bahasa arab berasal dari kata jahada, yang artinya bersungguh-
sungguh, atau mencurahkan segala daya dalam berusaha. Secara terminology
ijtihad adalah mencurahkan kesanggupan dalam mengeluarkan hukum syara’
yang bersifat amaliyyah dari dalil dalil yang terperinci baik dalam al-quran
maupun al-sunnah. (Khallaf, 1978: 216)
Dengan kata lain ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih
(pakar fiqih islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu
melalui dalil hukum syara’(agama).3
Artinya:
“….Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk di sedekahkan)
selain kesanggupan” (QS At-Taubah: 79)
1
Rosihon Anwar, Badruzzaman M. Yunus,Saehudin. Pengantar Study Islam. (Bandung: Pustaka
Setia. 2014). hal.26
2
Koko Abdul Kodir. Metodologi Study Islam. (Bandung: Pustaka Setia. 2017). hal.53
3
Rachmat Syafe’I. Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia. 2015) hal.99
Pada zaman Rasulullah ﷺketika beliau wafat dan meninggalkan
risalah islamiyah yang sempurna, kewajiban berdakwah berpindah kepada
sahabat. Mereka melaksanakan kewajiban itu dengan memperluas daerah
kekuasaan islam dengan berbagai peperangan. Mereka berhasil menaklukan
Persia, syam, mesir, dn Afrika utaraa. Akibat dari perluasan wilayah itu terjadilah
akulturasi bangsa dan kebudayaan sehingga muncul berbagai masalah baru yang
membutuhkan pemecahan, keadaan seperti itu mendorong pemuka sahabat untuk
ber-ijtihad.
Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hokum
islam. Yang menjdi landasan di bolehkannya berijtihad itu ada banyak sekali, baik
melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat. Diantara ayat Al-
Quran yang menjadi dasar ijtihad adalah sebagai berikut
Artinya;
“Sungguh, Kami telah menurunkan kitab (Al-Quran) kepadamu (Muhammad)
membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dngan apa yang
telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (oang
4
Ibid. hal.101
yang tidak bersalah), karena membela orang yang berkhianat.” (QS. An-Nisa
[4]: 105)
Kemudian adapun sunnah yang menjadi dasar ijtihad diantaranya adalah hadis
‘Amr bin Al-‘Ash yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad
yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad ﷺbersabda:
Dan hal itu telah diikuti oleh para sahabat setelah Nabi wafat. Mereka selalu
berijtihad jika menemukan suatu masalah baru yang tidak terdapat dalam Al-
Quran dan Sunnah Rasul.
5
Ibid. hal.102
6
Koko Abdul Kodir. Op.cit. hal. 53
2.3. Kualifikasi Mujtahid
Banyak ulama yang berbeda pendapat untuk menentukn kualifikasi atau syarat
yang harus dimiliki seorang Mujtahid. Namun persyaratannya seorang
mujtahid dapat disimpulkan sebagai berikut:
a) Menguasai dan mengetahui arti dari ayat-ayat hukum yang terdapat
dalam Al-Quran. Imam Ghazali, Ibnu Arabi dan Ar-Razi membatasi
ayat hukum tersebut sebanyak lima ratus ayat
b) Menguasai dan mengetahui hadis-hadis tentang hukum baik menurut
bahasa maupun syariat, akan tetapi tidak disyaratkan untuk
menghapalnya melainkan mengethui letak letaknya secara pasti, untuk
memudahkannya saat ia membutuhkan. Menurut As-Syaukani seorang
mujtahid harus mengetahui kitab-kitab yang menghimpun hadis dan
bisa membukanya dengan cepat, misalnya dengan menggunakan kamus
hadis. Selain itu ia pun harus mengetahui persambungan sanad dalam
hadis. (Asy-Syaukani: 221)
c) Mengetahui nasakh dan mansukh dari Al-Quran dan As-Sunah supaya
tidak salah dalam menetapkan hukum
d) Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama,
sehingga ijtihadnya nanti tidak bertentangan dengan ijma’ ulama
e) Mengetahui qiyas dan berbagai persyaratannya serta meng-istinbatnya,
karena qiyas merupakan kaidah dalam berijtihad
f) Mengetahui bahasa arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan
dengan bahasa serta dengan berbagai problematikanya. Hal ini
antaralain karena Al-Quran dan As-Sunah di tulis dengan bahasa arab.
g) Mengetahui ilmu ushul fiqih yang merupakan pondasi dari ijtihad 7
7
Rachmat Syafe’I. op.cit. hal. 105
Menurut para ulama bagi seseorang yang sudah memenuhi persyaratan
berijtihad diatas, ada lima hukum yang bisa dikenakan pada orang tersebut
berkenaan dengan ijtihad yaitu:
8
Ibid. hal.108
“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al-quran) dan Rasul(Sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian” (QS.An-Nisa[4]: 59)
Anggapan bahwa berijtihad itu tidak perlu dan cukup kembali kepada Al-quran
dan sunnah adalah anggapan yang tidak tepat. Kenapa? Karena walaupun kita
kembali kepada al-quran dan sunnah tetap dibutuhkan ijtihad untuk
mengistinbathkan hokum-hukum yang terkandung dalam al-quran dan sunnah.
Ayat-ayat al-quran dan hadis Rasulullah ﷺadalah panduan utama
kaum muslimin dalam beragama sampai hari kiamat nanti. Al-quan dan hadis
yang terbatas jumlahnya dituntut untuk menyelesaikan semua permasalahan umat
manusia baik dari zaman di turunkannya Al-quran sampai hari kiamat nanti. Dari
sinilah kita ketahui fungsi dari Ijtihad yang berlandaskan Al-Quran dan Hadis
untuk menyelesaikan segala problematika umat dan menjelaskan hokum yang
terkandung dalam keduanya.
‘Amr ibn ‘Ash berkata: Maka Rasulullah ﷺtertawa dan tidak berkata
apapun.
Dari hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺmembenarkan
ijtihad yang dilakukan oleh ‘Amr ibn ‘Ash..
Dalam sunannya Imam Abu Dawud meriwayatkan bahwa ada salah seorang
sahabat yang mengalami luka di zaman Rasulullah ﷺ. Kemudian dia
bermimpi dan disuruh oleh para sahabatnya untuk mandi, kemudian dia
meninggal. Berita tersebut sampai kepada Rasulullah ﷺ, kemudian
beliau bersabda:
ض ال ُّد ْنيَا َوهَّللا ُ يُ ِري ُد اآْل ِخ َرةَ َوهَّللا ُ َع ِزي ٌز ِ س َرى َحتَّى يُ ْث ِخنَ فِي اأْل َ ْر
َ ض تُ ِريدُونَ َع َر ْ ََما َكانَ لِنَبِ ٍّي أَنْ يَ ُكونَ لَهُ أ
َح ِكي ٌم
“Tidak pantas bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat
melumpuhkan musuhnya di muka bumi. kamu menghendaki harta benda
duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. al-Anfal: 67)
Dari sini bisa kita simpulkan bahwa dalam urusan dasar-dasar dan hukum-hukum
syari’ah maka Rasulullah ﷺadalah ma’shum dari kesalahan. Bahkan
semua yang berasal dari beliau adalah wahyu yang turun dari Allah SWT. 9
9
Ali Shodiqin. Ijtihad di Zaman Nabi Saw. https://www.rumahfiqih.com/y.php?id=360&ijtihad-di-
zaman-nabi-saw.html. Diakses pada tanggal 21 oktober 2018 pukul 16.20
5. Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik.
Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan
pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara',
menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena
ada suatu dalil syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang
terakhir disebut sandaran istihsan. Mujtahid yang dikenal banyak
memakai ishtihsan dalam meng-istinbath-kan hukum adalah Imam Abu
Hanifah (Imam Hanafi).
6. Istihsan berbeda dengan qiyas. Pada qiyas ada dua peristiwa atau kejadian.
Peristiwa atau kejadian pertama belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada
nash yang dapat dijadikan dasarnya. Untuk menetapkan hukumnya dicari
peristiwa atau kejadian yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan
nash dan mempunyai persamaan 'illat dengan peristiwa pertama. Berdasarkan
persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum peristiwa pertama sama dengan
hukum peristiwa kedua. Sedang pada istihsan hanya ada satu peristiwa atau
kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya
berdasar nash. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk
meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu,
pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi
kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu. Dengan perkataan lain
bahwa pada qiyas yang dicari seorang mujtahid ialah persamaan 'illat dari dua
peristiwa atau kejadian, sedang pada istihsan yang dicari ialah dalil mana yang
paling tepat digunakan untuk menetapkan hukum dari satu peristiwa.
7.
8. 2. al-Maslahatul Mursalah
9. Al-mashlahatul mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak disinggung
oleh syara' dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk
mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan
mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan. Mashlahat mursalah
disebut juga mashlahat yang mutlak karena tidak ada dalil yang mengakui
kesahan atau kebatalannya. Jadi pembentuk hukum dengan cara mashlahat
mursalah semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan arti
untuk mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan dan kerusakan bagi
manusia. Mujtahid yang dikenal banyak menggunakan metode al-maslahah
al-mursalah adalah Imam Hanbali dan Imam Malik.
10. Para ulama fikih yang mendukung konsep ini membagi jenis mashlahah
kepada dua macam, yaitu:
11. A. Dilihat dari segi tingkat kebutuhan manusia, mashlahah yang diakui
syari'ah terdiri dari tiga, macam yaitu:
12. (1) Dharuriyyah (bersifat mutlak), yaitu kemaslahatan yang menyangkut
komponen kehidupannya sendiri sebagai manusia, yakni hal-hal yang
menyangkut terpelihara [a] agama, [b] diri (jiwa, raga dan kehormatannya), [c]
akal pikiran, [d] harta benda, dan [d] nasab keturunan. Kelima komponen
tersebut biasanya disebut al-kulliyyat al-khams atau al-dharuriyyat al-khams,
yang menjadi dasar mashlahah (kepentingan dan kebutuhan manusia).
13. (2) haajiyyah (kebutuhan pokok), yaitu kemaslahatan yang berhubungan
denganhal-hal yang sangat dibutuhkan oleh manusia untuk menghilangkan
kesulitan-kesulitan dan menolak halangan-halangan. Dan apabila hal-hal
tersebut tidak terwujud, maka tidak sampai menjadikan aturan hidup manusia
berantakan atau kacau, melainkan hanya membawa kesulitan-kesulitan saja.
14. (3) Tahsiniyyah (kebutuhan pelengkap) dalam rangka memelihara sopan
santun dan tata krama dalam kehidupan.
15. Penempatan masalah ini sebagai suatu sumber hukum sekunder,
menjadikan hukum Islam itu luwes dan dapat diterapkan pada setiap kurun
waktu di segala lingkungan sosial. Namun perlu
dicatat ruang lingkup penerapan hukum mashlahah ini adalah bidang
mu'amalat, dan tidak menjangkau bidang ibadat, karena ibadat itu adalah hak
prerogatif Allah sendiri. Sedangkan objek kajiannya adalah kejadian atau
peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada satupun nash
(Alquran dan Hadis) yang dapat dijadikan dasarnya. Prinsip ini disepakati oleh
kebanyakan pengikut madzhab fikih, demikian pernyataan Imam al-Qarafi
ath-Thufi dalam kitabnya Mashalihul Mursalah yang menerangkan bahwa
mashlahat mursalah itu sebagai dasar untuk menetapkan hukum dalam bidang
mu'amalah dan semacamnya. Sedang dalam soal-soal ibadah adalah Allah
untuk menetapkan hukumnya, karena manusia tidak sanggup mengetahui
dengan lengkap hikmah ibadat itu. Oleh sebab itu hendaklah kaum muslimin
beribadat sesuai dengan ketentuan-Nya yang terdapat dalam Alquran dan
Hadis.
16. Menurut Imam al-Haramain: Menurut pendapat Imam asy-Syafi'i dan
sebagian besar pengikut Madzhab Hanafi, menetapkan hukum dengan
mashlahat mursalah harus dengan syarat, harus ada persesuaian dengan
mashlahat yang diyakini, diakui dan disetujui oleh para ulama.
17. Para ulama fikih yang mendukung konsep ini mencatat tiga persyaratan
dalam penerapan hukum mashlahah ini, yaitu,
18. 1. Mashlahah itu harus bersifat pasti, bukan sekadar anggapan atau rekaan,
bahwa ia memang mewujudkan suatu manfaat atau mencegah terjadinya
madharrah (bahaya atau kemelaratan).
19. 2. Mashlahah itu tidak merupakan kepentingan pribadi atau segolongan kecil
masyarakat, tapi harus bersifat umum dan menjadi kebutuhan umum.
20. 3. Hasil penalaran mashlahah itu tidak berujung pada terabaikannya sesuatu
prinsip yang ditetapkan oleh nash syari'ah atau ketetapan yang dipersamakan
(ijma').
21. Diantara contoh mashlahat mursalah ialah usaha Khalifah Abu Bakar
mengumpulkan Alquran yang terkenal dengan jam'ul Alquran. Pengumpulan
Alquran ini tidak disinggung sedikitpun oleh syara', tidak ada nash yang
memerintahkan dan tidak ada nash yang melarangnya. Setelah terjadi
peperangan Yamamah banyak para penghafal Alquran yang mati syahid (± 70
orang). Umar bin Khattab melihat kemaslahatan yang sangat besar
pengumpulan Alquran itu, bahkan menyangkut kepentingan agama (dhurari).
Seandainya tidak dikumpulkan, dikhawatirkan aI-Alquran akan hilang dari
permukaan dunia nanti. Karena itu Khalifah Abu Bakar menerima anjuran
Umar dan melaksanakannya.
22. Demikian pula tidak disebut oleh syara' tentang keperluan mendirikan rumah
penjara, menggunakan mikrofon di waktu adzan atau shalat jama'ah,
menjadikan tempat melempar jumrah menjadi dua tingkat, tempat sa'i dua
tingkat, tetapi semuanya itu dilakukan semata-mata untuk kemashlahatan
agama, manusia dan harta.
23. Dalam mengistinbatkan hukum, sering kurang dibedakan antara qiyas, istihsan
dan mashlahat mursalah. Pada qiyas ada dua peristiwa atau kejadian, yang
pertama tidak ada nashnya, karena itu belum ditetapkan hukumnya, sedang
yang kedua ada nashnya dan telah ditetapkan hukumnya. Pada istihsan hanya
ada satu peristiwa, tetapi ada dua dalil yang dapat dijadikan sebagai dasarnya.
Dalil yang pertama lebih kuat dari yang kedua. tetapi karena ada sesuatu
kepentingan dipakailah dalil yang kedua. Sedang pada mashlahat mursalah
hanya ada satu peristiwa dan tidak ada dalil yang dapat dijadikan dasar untuk
menetapkan hukum dari peristiwa itu, tetapi ada suatu kepentingan yang
sangat besar jika peristiwa itu ditetapkan hukumnya. Karena itu ditetapkanlah
hukum berdasar kepentingan itu.
24.
25. 3. Istishhab
26. 'Istishhab menurut bahasa berarti "mencari sesuatu yang ada
hubungannya." Menurut istilah ulama ushul fiqh, ialah tetap berpegang
kepada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada
dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan perkataan lain, ialah
menyatakan tetapnya hukum pada masa yang lalu hingga ada dalil yang
mengubah ketetapan hukum itu.
27. Menurut Ibnu Qayyim, istishhab ialah menyatakan tetap berlakunya hukum
yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum
suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan hukumnya. Sedang menurut
asy-Syathibi, istishhab ialah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa
lampau dan dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.
28. Contoh istishab:
29. 1. Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dengan perempuan B, kemudian
mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun.
Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam
hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan
dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun
mereka telah lama berpisah. Berpegang dengan hukum yang telah ditetapkan,
yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan
dengan istishhab.
30. 2. Menurut firman Allah SWT: