Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang

Dilihat dari aspek hukum metodologi, hukum islam dapat di pahami sebagai
hukum yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Sunnah melalui proses ijtihad,
karakteristik hukum islam yang berupa nas dan di dukung dengan akal merupakan
ciri khas yang membedakan hukum islam dengan sistem hukum lainya.

Seiring berjalanya waktu dan zaman, memang banyak sekali persoalan


ataupun permasalahan-permasalahan yang baru bermunculan. Maka Ijtihad
menjadi peranan signifikan dalam pengembangan dan pembaruan hukum islam.
Demi tercapainya segala macam bentuk tujuan hukum islam itu sendiri yaitu
kemaslahatan, Maka dapat dirasakan betapa pentingnya usaha (ijtihad) seorang
mujtahid dalam memelihara dan melestarikan hukum syari’at islam.

Ilustrasi di atas mengisyaratkan bahwa kebutuhan umat islam kepada ijtihad


merupakan kebutuhan abadi selama masih ada kejadian baru. Hal ini tidak berarti
bahwa kita menganggap remeh terhadap keagungan fiqh dari berbagai madzab,
melainkan meletakan fiqh pada proporsinya, bahwa fiqh hanyalah salah satu dari
beberapa bentuk produk pemikiran hukum islam. Dan karena sifatnya sebagai
produk pemikiran, maka fiqh tidak boleh resisten terhadap pemikiran baru yang
muncul kemudian.

Disamping itu, sejarah menunjukan bahwa periode formulatifnya, fiqh


merupakan suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Ia tumbuh dan berkembang
sebagai hasil interpretasi terhadap prinsip-prinsip yang ada dalam Alquran dan as-
Sunnah sesuai dengan struktur dan konteks perkembangan masyarakat waktu itu,
merupakan refleksi logis dari situasi dan kondisi di mana ia tumbuh dan
berkembang. Kondisi yang demikian ini, ditandai dengan munculnya madzab
yang mempunyai corak sendiri-sendiri. Berdasarkan kenyataan ini, ulama
terdahulu menetapkan bahwa tidak dapat dipungkiri bahwa berubahnya hukum
karena perubahan waktu. Maka dapat dikatakan bahwa perubahan dan
perkembangan pemikiran hukum islam bukan saja di benarkan, tetapi merupakan
suatu kebutuhan.

1.2. Rumusan masalah


1. Apa Pengertian Ijtihad Itu?
2. Sebutkan Landasan Berijtihad?
3. Apa Saja Kualifikasi Seorang Mujtahid?
4. Apa Hukum Melakukan Ijtihad?
5. Jelaskan Ijtihad Yang dilakukan Pada Zaman Rasulullah ‫?ﷺ‬
6. Sebutkan Metode Melakukan Ijtihad?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Ijtihad

Ijtihad dalam bahasa arab berasal dari kata jahada, yang artinya bersungguh-
sungguh, atau mencurahkan segala daya dalam berusaha. Secara terminology
ijtihad adalah mencurahkan kesanggupan dalam mengeluarkan hukum syara’
yang bersifat amaliyyah dari dalil dalil yang terperinci baik dalam al-quran
maupun al-sunnah. (Khallaf, 1978: 216)

Ijtihad dapat diartikan pengerahan segala kesanggupan dan kekuatan untuk


memperoleh apa yang di tuju sampai pada batas puncaknya. Arti ijtihad dalam
arti jahada terdapat di dalam Al-quran surat An-Nahl [16]: 42. Semua kata itu
berarti pengerahan segala kemampuan dan kekuatan (badzl al-wus’I wa ath-
thaqah) atau juga berarti berlebihan dalam bersumpah (al-mubalaghat fi al-
yamin). 1

Ijtihad juga berarti mencurahkan segala kemampuan berfikir untuk


mengeluarkan hokum syar’I dari dalil dalil yaitu Al-Qur’an dan Hadist. Jadi
ijtihad dilakukan untuk menetapkan hokum yang tidak di penuhi dalam Al-
Qur’an dan Hadis.2

Dengan kata lain ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih
(pakar fiqih islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu
melalui dalil hukum syara’(agama).3

Dalam Al-Quran disebutkan :

Artinya:
“….Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk di sedekahkan)
selain kesanggupan” (QS At-Taubah: 79)

1
Rosihon Anwar, Badruzzaman M. Yunus,Saehudin. Pengantar Study Islam. (Bandung: Pustaka
Setia. 2014). hal.26
2
Koko Abdul Kodir. Metodologi Study Islam. (Bandung: Pustaka Setia. 2017). hal.53
3
Rachmat Syafe’I. Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia. 2015) hal.99
Pada zaman Rasulullah ‫ ﷺ‬ketika beliau wafat dan meninggalkan
risalah islamiyah yang sempurna, kewajiban berdakwah berpindah kepada
sahabat. Mereka melaksanakan kewajiban itu dengan memperluas daerah
kekuasaan islam dengan berbagai peperangan. Mereka berhasil menaklukan
Persia, syam, mesir, dn Afrika utaraa. Akibat dari perluasan wilayah itu terjadilah
akulturasi bangsa dan kebudayaan sehingga muncul berbagai masalah baru yang
membutuhkan pemecahan, keadaan seperti itu mendorong pemuka sahabat untuk
ber-ijtihad.

Upaya untuk memecahkan permasalahan baru tersebut di lakukan oleh sahabat


dengan berbagai tahapan. Pertama-tama mereka berusaha mencari hokum itu dari
Al-Quran dan apabila hokum itu telah di temukannya maka merek akan berpegang
teguh pada hukum tersebut, walaupun sebelumnya mereka berbeda pendapat.
Selanjutnya apabila ada permasalan yang tidak mereka temukan di dalam al-quran
mereka akan mencariny didalam al-hadis dengna cara menggali hadis yang
berkenaan dengan masalah yang tengah dihadapi nya kepada para sahabat.
Apabila masalah itu tidak ditemukan dalam hadis tersebut mereka baru mulai
melakukan ijtihad.4

2.2. Landasan Berijtihad

Ijtihad bisa dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hokum
islam. Yang menjdi landasan di bolehkannya berijtihad itu ada banyak sekali, baik
melalui pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat. Diantara ayat Al-
Quran yang menjadi dasar ijtihad adalah sebagai berikut

Artinya;
“Sungguh, Kami telah menurunkan kitab (Al-Quran) kepadamu (Muhammad)
membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dngan apa yang
telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (oang

4
Ibid. hal.101
yang tidak bersalah), karena membela orang yang berkhianat.” (QS. An-Nisa
[4]: 105)

Dalam ayat tersebut terdapat penetapan ijtihad berdasarkan qiyat:

Artinya: “sesungguhnya pada hal itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang


yang berfikir

Adanya keterangan dari sunnah yang memperbolehkan berijtihad diantaranya:

Artinya: “Rasulullah SAW bertanya.”dengan apa kamu menghukum?” ia


menjawab “dengan apa yang ada dalam kitab Allah” rasulullah bertanya “Jika
kamu tidak mendapatkan dalam kitab Allah?” dia menjawab “aku memutuskan
dengan apa yang diputuskan Rasulullah” rasul bertanya lagi “Jika tidak
mendapatkan dalam ketetapan Rasulullah?” Berkata Mu’adz “aku berijtihad
dengan pendapatku” Rasulullah SAW Bersabda “ Aku bersyukur kepada Allah
yang telah menyepakati utusan dari Rasul-Nya”5

Kemudian adapun sunnah yang menjadi dasar ijtihad diantaranya adalah hadis
‘Amr bin Al-‘Ash yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad
yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬bersabda:

“Apabila seorang hakim menetapkan hokum dengan berijtihad kemudian ia benar


maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia menjatuhkan dalam ijtihad
itu salah maka ia mendapatkan satu pahala.” (HR. Muslim) 6

Dan hal itu telah diikuti oleh para sahabat setelah Nabi wafat. Mereka selalu
berijtihad jika menemukan suatu masalah baru yang tidak terdapat dalam Al-
Quran dan Sunnah Rasul.

5
Ibid. hal.102
6
Koko Abdul Kodir. Op.cit. hal. 53
2.3. Kualifikasi Mujtahid
Banyak ulama yang berbeda pendapat untuk menentukn kualifikasi atau syarat
yang harus dimiliki seorang Mujtahid. Namun persyaratannya seorang
mujtahid dapat disimpulkan sebagai berikut:
a) Menguasai dan mengetahui arti dari ayat-ayat hukum yang terdapat
dalam Al-Quran. Imam Ghazali, Ibnu Arabi dan Ar-Razi membatasi
ayat hukum tersebut sebanyak lima ratus ayat
b) Menguasai dan mengetahui hadis-hadis tentang hukum baik menurut
bahasa maupun syariat, akan tetapi tidak disyaratkan untuk
menghapalnya melainkan mengethui letak letaknya secara pasti, untuk
memudahkannya saat ia membutuhkan. Menurut As-Syaukani seorang
mujtahid harus mengetahui kitab-kitab yang menghimpun hadis dan
bisa membukanya dengan cepat, misalnya dengan menggunakan kamus
hadis. Selain itu ia pun harus mengetahui persambungan sanad dalam
hadis. (Asy-Syaukani: 221)
c) Mengetahui nasakh dan mansukh dari Al-Quran dan As-Sunah supaya
tidak salah dalam menetapkan hukum
d) Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama,
sehingga ijtihadnya nanti tidak bertentangan dengan ijma’ ulama
e) Mengetahui qiyas dan berbagai persyaratannya serta meng-istinbatnya,
karena qiyas merupakan kaidah dalam berijtihad
f) Mengetahui bahasa arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan
dengan bahasa serta dengan berbagai problematikanya. Hal ini
antaralain karena Al-Quran dan As-Sunah di tulis dengan bahasa arab.
g) Mengetahui ilmu ushul fiqih yang merupakan pondasi dari ijtihad 7

2.4. Hukum Melakukan Ijtihad

7
Rachmat Syafe’I. op.cit. hal. 105
Menurut para ulama bagi seseorang yang sudah memenuhi persyaratan
berijtihad diatas, ada lima hukum yang bisa dikenakan pada orang tersebut
berkenaan dengan ijtihad yaitu:

a) Orang tersebut dihukumi fardu ‘ain untuk berijtihad apabila ada


permasalahan yang menimpa dirinya, dan harus mengamalkan hasil
dari ijtihad nya dan tidak boleh taqlid kepada orang lain. Karena
hukum ijtihad itu sama dengan hukum Allah kepada suatu
permasalahan yang ia yakini bahwa hal itu termasuk hukum Allah
b) Juga dihukumi fardu ‘ain jika ditanyakan tentang suatu permasalahan
yang belum ada hukumnya. Karena jika tidak segera dijawab.
Dikhawatirksn akan terjadi kesalahan di saat melakukan hukum
tersebut atau habis waktunya dalam mengetahui kejadian tersebut.
c) Dihukumi fardu kifayah jika permasalahan yang diajukan kepadanya
tidak di khawatirkan akan habis waktunya atau ada orang lain yang
sama memenuhi syarat sebagai mujtahid.
d) Dihukumi sunnah apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang
baru, baik ditanya ataupun tidak
e) Dihikimi haram apabila berijtihad terhadap permasalahan yang sudah
di tetapkan. Sehingga hasil ijtihadnya bertentangan dengan dalil
syara’8

2.5. Ijtihad Pada Zaman Rasulullah ‫ﷺ‬


Sebagian orang berpendpat dengan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah
sudahlah cukup tidak perlu lagi adanya ijtihad. Apalagi dengan adanya ijtihad
akan menimbulkan perbedaan-perbedaan pendapat, dan dengan adanya
perbedaan akan melahirkan perpecahan di antara umat islam. Oleh karena itu
semua harus dikembalikan kepada Al-Quran dan Sunnah sebagaimana Firman
Allah Swt.:
‫ون ِباهَّلل ِ َو ْال َي ْو ِم اآْل خ ِِر‬ ِ ‫ازعْ ُت ْم فِي َشيْ ٍء َف ُر ُّدوهُ إِلَى هَّللا ِ َوالرَّ س‬
َ ‫ُول إِنْ ُك ْن ُت ْم ُت ْؤ ِم ُن‬ َ ‫َفإِنْ َت َن‬

8
Ibid. hal.108
“Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al-quran) dan Rasul(Sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian” (QS.An-Nisa[4]: 59)

Anggapan bahwa berijtihad itu tidak perlu dan cukup kembali kepada Al-quran
dan sunnah adalah anggapan yang tidak tepat. Kenapa? Karena walaupun kita
kembali kepada al-quran dan sunnah tetap dibutuhkan ijtihad untuk
mengistinbathkan hokum-hukum yang terkandung dalam al-quran dan sunnah.
Ayat-ayat al-quran dan hadis Rasulullah ‫ ﷺ‬adalah panduan utama
kaum muslimin dalam beragama sampai hari kiamat nanti. Al-quan dan hadis
yang terbatas jumlahnya dituntut untuk menyelesaikan semua permasalahan umat
manusia baik dari zaman di turunkannya Al-quran sampai hari kiamat nanti. Dari
sinilah kita ketahui fungsi dari Ijtihad yang berlandaskan Al-Quran dan Hadis
untuk menyelesaikan segala problematika umat dan menjelaskan hokum yang
terkandung dalam keduanya.

Di saat wahyu masih turun. Di saat Rasulullah ‫ ﷺ‬masih hidup.


Ternyata dalam beberapa keadaan, ijtihad dibutuhkan untuk menyelesaikan
permasalahan yang terjadi. Bahkan di zaman Rasulullah ‫ ﷺ‬para
sahabat juga sudah berijtihad.
Salah satu contoh ijtihad sahabat di zaman Nabi ‫ ﷺ‬adalah yang
dilakukan oleh ‘Amr ibn ‘Ash sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Abu
Dawud dalam kitabnya. ‘Amr ibn ‘Ash menuturkan: Saya bermimpi pada saat
malam yang sangat dingin ketika perang Dzat as-Salasil kemudian saya
terbangun. Ketika saya mandi saya akan mati, sehingga saya bertayammum.
Kemudian saya shalat shubuh dengan para sahabat. Maka mereka melaporkan hal
itu kepada Rasulullah ‫ﷺ‬. Rasulullah ‫ ﷺ‬bertanya:

ٌ ُ‫ص َحابِ َك َوأَ ْنتَ ُجن‬


‫ب؟‬ ْ َ ‫صلَّيْتَ بِأ‬
َ ‫يَا َع ْم ُرو‬
“Wahai ‘Amr, kamu shalat dengan para sahabatmu sedangkan kamu dalam
keadaan junub?”
‘Amr ibn ‘Ash berkata: Maka saya ceritakan kepada beliau sebab yang
menghalangiku untuk mandi. Kemudian saya katakan: Saya mendengar Allah
SWT berfirman:
َ ُ‫َواَل تَ ْقتُلُوا أَ ْنف‬
‫س ُك ْم إِنَّ هَّللا َ َكانَ بِ ُك ْم َر ِحي ًما‬
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu”. (QS. an-Nisa’: 29)

‘Amr ibn ‘Ash berkata: Maka Rasulullah ‫ ﷺ‬tertawa dan tidak berkata
apapun.
Dari hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬membenarkan
ijtihad yang dilakukan oleh ‘Amr ibn ‘Ash..
Dalam sunannya Imam Abu Dawud meriwayatkan bahwa ada salah seorang
sahabat yang mengalami luka di zaman Rasulullah ‫ﷺ‬. Kemudian dia
bermimpi dan disuruh oleh para sahabatnya untuk mandi, kemudian dia
meninggal. Berita tersebut sampai kepada Rasulullah ‫ﷺ‬, kemudian
beliau bersabda:

ِ ْ‫قَتَلُوهُ قَتَلَ ُه ُم هَّللا ُ أَلَ ْم يَ ُكن‬


ُّ ‫شفَا ُء ا ْل ِع ِّي ال‬
‫سؤَا َل‬
“Mereka telah membunuhnya, semoga Allah menghukum mereka, bukankah
obatnya tidak tahu adalah bertanya?” (HR. Abu Dawud)

Dari hadits Nabi ‫ ﷺ‬di atas kita ketahui bahwa Rasulullah


‫ ﷺ‬mengingkari ijtihad yang dilakukan oleh mereka yang menyuruh
sahabat tadi untuk mandi janabah sedang dia dalam keadaan luka parah. Maka
pelajaran penting dari kisah di atas adalah bahwa yang berhak untuk berijtihad
adalah orang-orang yang sudah terpenuhi syarat-syarat untuk menjadi seorang
mujtahid, bukan sembarang orang berhak untuk berijtihad.

Tidak hanya para sahabat Nabi ‫ ﷺ‬yang berijtihad, bahkan Rasulullah


‫ ﷺ‬sendiri dalam beberapa keadaan juga berijtihad ketika wahyu tidak
kunjung turun. Sedangkan beliau dituntut untuk menyelesaikan sebuah
permasalahan dengan segera. Maka disinilah Rasulullah ‫ ﷺ‬berijtihad.
Rasulullah ‫ ﷺ‬adalah seorang yang ma’shum, artinya Allah SWT
menjaga Rasulullah ‫ ﷺ‬dari perbuatan salah. Namun hal itu berlaku
ketika menyangkut urusan dasar-dasar syari’ah. Maka jika ijtihad Rasulullah
‫ ﷺ‬kurang tepat dalam masalah dasar-dasar syari’ah, Allah SWT
langsung menurunkan wahyu untuk menjelaskan kekurang tepatan ijtihad
Rasulullah ‫ﷺ‬.

Salah satu contoh ijtihad Rasulullah ‫ ﷺ‬yang kurang tepat adalah


terkait masalah tawanan perang Badar. Rasulullah ‫ ﷺ‬meminta
pendapat para sahabatnya untuk menyelesaikan masalah ini. Ada yang
mengusulkan untuk dibunuh. Ini adalah pendapat Umar ibn al-Khaththab.
Mayoritas mengusulkan agar tidak dibunuh dan mengambil tebusan dari mereka.
dan inilah yang dipilih oleh Rasulullah ‫ﷺ‬. Lantas untuk
menunjukkan kekurang tepatan ijtihad Rasulullah ‫ﷺ‬, Allah SWT
menurunkan ayat:

‫ض ال ُّد ْنيَا َوهَّللا ُ يُ ِري ُد اآْل ِخ َرةَ َوهَّللا ُ َع ِزي ٌز‬ ِ ‫س َرى َحتَّى يُ ْث ِخنَ فِي اأْل َ ْر‬
َ ‫ض تُ ِريدُونَ َع َر‬ ْ َ‫َما َكانَ لِنَبِ ٍّي أَنْ يَ ُكونَ لَهُ أ‬
‫َح ِكي ٌم‬
“Tidak pantas bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat
melumpuhkan musuhnya di muka bumi. kamu menghendaki harta benda
duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. al-Anfal: 67)

Ketika ijtihad Rasulullah ‫ ﷺ‬tidak berkaitan dengan dasar-


dasar syari’ah, maka Allah Swt tidak menurunkan wahyu untuk menunjukkan
kekurang tepatan ijtihad beliau. Dan ini tidak terkait dengan kema’shuman
Rasullullah ‫ﷺ‬, karena tidak berkaitan dengan dasar-dasar syari’ah.
Salah satu contoh dalam hal ini adalah ijtihad beliau terkait penempatan posisi
perang ketika perang Badar. Contoh yang lain yaitu terkait penyerbukan pohon
kurma.
Dalam sebuah ayat, Allah SWT menjelaskan bahwa semua yang berasal dari
Rasulullah ‫ ﷺ‬adalah wahyu. Allah SWT berfirman:
َ ُ‫ إِنْ ُه َو إِاَّل َو ْح ٌي ي‬.‫َن ا ْل َه َوى‬
‫وحى‬ ُ ‫َو َما يَ ْن ِط‬
ِ ‫قع‬
“Dan Tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (QS.
an-Najm: 3-4)

Ayat di atas menjelaskan semua yang berasal dari Nabi ‫ ﷺ‬adalah


wahyu. Sedangkan dalam beberapa kasus, Rasulullah ‫ ﷺ‬kurang tepat
dalam berijtihad. Lalu bagaimana cara untuk menggabungkan kedua hal yang
saling bertolak belakang di atas?.

Syaikh Manna’ al-Qaththan dalam kitab Mabahits Fii Ulumil Qur’an.


menjelaskan bahwa hadits Nabi ‫ ﷺ‬terbagi menjadi dua. Yang
pertama adalah Hadits Tauqifi. Hadits ini secara isi Rasulullah ‫ﷺ‬
dapatkan dari wahyu yang berasal dari Allah SWT. Maka tidak akan ada
kemungkinan salah dalam hadits jenis ini.

Yang kedua adalah Hadits Taufiqi. Hadits jenis ini merupakan


hasil isthinbath Rasulullah ‫ ﷺ‬dari ayat-ayat al-Qur’an dengan
pemahaman beliau melalui proses ta’ammul (perenungan) dan ijtihad. Jika hasil
ijtihadnya benar maka akan Allah SWT tetapkan. Namun jika terjadi kekurang
tepatan maka Allah SWT akan menurunkan wahyu untuk membenarkannya.

Dari sini bisa kita simpulkan bahwa dalam urusan dasar-dasar dan hukum-hukum
syari’ah maka Rasulullah ‫ ﷺ‬adalah ma’shum dari kesalahan. Bahkan
semua yang berasal dari beliau adalah wahyu yang turun dari Allah SWT. 9

2.6. Metode Ijtihad


3. Metode-metode yang umum dipergunakan adalah ishtihsan, al-maslahah al-
mursalah, istishhab, dan ‘urf
4. 1.      Istihsan

9
Ali Shodiqin. Ijtihad di Zaman Nabi Saw. https://www.rumahfiqih.com/y.php?id=360&ijtihad-di-
zaman-nabi-saw.html. Diakses pada tanggal 21 oktober 2018 pukul 16.20
5. Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik.
Menurut ulama ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan
pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara',
menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena
ada suatu dalil syara' yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang
terakhir disebut sandaran istihsan. Mujtahid yang dikenal banyak
memakai ishtihsan dalam meng-istinbath-kan hukum adalah Imam Abu
Hanifah (Imam Hanafi).
6. Istihsan berbeda dengan qiyas. Pada qiyas ada dua peristiwa atau kejadian.
Peristiwa atau kejadian pertama belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada
nash yang dapat dijadikan dasarnya. Untuk menetapkan hukumnya dicari
peristiwa atau kejadian yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan
nash dan mempunyai persamaan 'illat dengan peristiwa pertama. Berdasarkan
persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum peristiwa pertama sama dengan
hukum peristiwa kedua. Sedang pada istihsan hanya ada satu peristiwa atau
kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya
berdasar nash. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk
meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu,
pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi
kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu. Dengan perkataan lain
bahwa pada qiyas yang dicari seorang mujtahid ialah persamaan 'illat dari dua
peristiwa atau kejadian, sedang pada istihsan yang dicari ialah dalil mana yang
paling tepat digunakan untuk menetapkan hukum dari satu peristiwa.
7.
8. 2.      al-Maslahatul Mursalah
9. Al-mashlahatul mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak disinggung
oleh syara' dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk
mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan
mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan. Mashlahat mursalah
disebut juga mashlahat yang mutlak  karena tidak ada dalil yang mengakui
kesahan atau kebatalannya. Jadi pembentuk hukum dengan cara mashlahat
mursalah semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan arti
untuk mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan dan kerusakan bagi
manusia. Mujtahid yang dikenal banyak menggunakan metode al-maslahah
al-mursalah adalah Imam Hanbali dan Imam Malik.
10. Para  ulama fikih yang  mendukung konsep ini membagi jenis mashlahah
kepada dua macam, yaitu:
11. A. Dilihat dari segi tingkat kebutuhan manusia, mashlahah yang diakui
syari'ah terdiri dari tiga, macam yaitu:
12. (1) Dharuriyyah (bersifat mutlak), yaitu kemaslahatan yang menyangkut
komponen kehidupannya sendiri sebagai manusia, yakni hal-hal yang
menyangkut terpelihara [a] agama, [b] diri (jiwa, raga dan kehormatannya), [c]
akal pikiran, [d] harta benda, dan [d] nasab keturunan. Kelima komponen
tersebut biasanya disebut al-kulliyyat al-khams atau  al-dharuriyyat al-khams,
yang menjadi dasar mashlahah (kepentingan dan kebutuhan manusia).
13. (2) haajiyyah (kebutuhan pokok), yaitu kemaslahatan yang berhubungan
denganhal-hal yang sangat dibutuhkan oleh manusia untuk menghilangkan
kesulitan-kesulitan dan menolak halangan-halangan. Dan apabila hal-hal
tersebut tidak terwujud, maka tidak sampai menjadikan aturan hidup manusia
berantakan atau kacau, melainkan hanya membawa kesulitan-kesulitan saja.
14. (3) Tahsiniyyah (kebutuhan pelengkap) dalam rangka memelihara sopan
santun dan tata krama dalam kehidupan.
15.             Penempatan masalah ini sebagai suatu  sumber  hukum  sekunder,
menjadikan  hukum  Islam  itu  luwes dan dapat diterapkan pada setiap kurun
waktu di segala lingkungan  sosial.  Namun  perlu
dicatat  ruang  lingkup  penerapan  hukum mashlahah ini adalah bidang
mu'amalat, dan tidak menjangkau bidang  ibadat,  karena ibadat itu adalah hak
prerogatif Allah sendiri. Sedangkan objek kajiannya adalah kejadian atau
peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada satupun nash
(Alquran dan Hadis) yang dapat dijadikan dasarnya. Prinsip ini disepakati oleh
kebanyakan pengikut madzhab fikih, demikian pernyataan Imam al-Qarafi
ath-Thufi dalam kitabnya Mashalihul Mursalah yang menerangkan bahwa
mashlahat mursalah itu sebagai dasar untuk menetapkan hukum dalam bidang
mu'amalah dan semacamnya. Sedang dalam soal-soal ibadah adalah Allah
untuk menetapkan hukumnya, karena manusia tidak sanggup mengetahui
dengan lengkap hikmah ibadat itu. Oleh sebab itu hendaklah kaum muslimin
beribadat sesuai dengan ketentuan-Nya yang terdapat dalam Alquran dan
Hadis.
16. Menurut Imam al-Haramain: Menurut pendapat Imam asy-Syafi'i dan
sebagian besar pengikut Madzhab Hanafi, menetapkan hukum dengan
mashlahat mursalah harus dengan syarat, harus ada persesuaian dengan
mashlahat yang diyakini, diakui dan disetujui oleh para ulama.
17. Para  ulama fikih yang  mendukung konsep ini mencatat tiga persyaratan
dalam penerapan hukum mashlahah ini, yaitu,
18. 1. Mashlahah itu harus bersifat pasti, bukan sekadar anggapan atau rekaan,
bahwa ia memang mewujudkan suatu manfaat atau mencegah terjadinya
madharrah (bahaya atau kemelaratan).
19. 2.  Mashlahah itu tidak merupakan kepentingan pribadi atau segolongan kecil
masyarakat, tapi harus bersifat umum dan menjadi kebutuhan umum.
20. 3.  Hasil penalaran mashlahah itu tidak berujung pada terabaikannya sesuatu
prinsip yang ditetapkan oleh nash syari'ah atau ketetapan yang dipersamakan
(ijma').
21. Diantara contoh mashlahat mursalah ialah usaha Khalifah Abu Bakar
mengumpulkan Alquran yang terkenal dengan jam'ul Alquran. Pengumpulan
Alquran ini tidak disinggung sedikitpun oleh syara', tidak ada nash yang
memerintahkan dan tidak ada nash yang melarangnya. Setelah terjadi
peperangan Yamamah banyak para penghafal Alquran yang mati syahid (± 70
orang). Umar bin Khattab melihat kemaslahatan yang sangat besar
pengumpulan Alquran itu, bahkan menyangkut kepentingan agama (dhurari).
Seandainya tidak dikumpulkan, dikhawatirkan aI-Alquran akan hilang dari
permukaan dunia nanti. Karena itu Khalifah Abu Bakar menerima anjuran
Umar dan melaksanakannya.
22. Demikian pula tidak disebut oleh syara' tentang keperluan mendirikan rumah
penjara, menggunakan mikrofon di waktu adzan atau shalat jama'ah,
menjadikan tempat melempar jumrah menjadi dua tingkat, tempat sa'i dua
tingkat, tetapi semuanya itu dilakukan semata-mata untuk kemashlahatan
agama, manusia dan harta.
23. Dalam mengistinbatkan hukum, sering kurang dibedakan antara qiyas, istihsan
dan mashlahat mursalah. Pada qiyas ada dua peristiwa atau kejadian, yang
pertama tidak ada nashnya, karena itu belum ditetapkan hukumnya, sedang
yang kedua ada nashnya dan telah ditetapkan hukumnya. Pada istihsan hanya
ada satu peristiwa, tetapi ada dua dalil yang dapat dijadikan sebagai dasarnya.
Dalil yang pertama lebih kuat dari yang kedua. tetapi karena ada sesuatu
kepentingan dipakailah dalil yang kedua. Sedang pada mashlahat mursalah
hanya ada satu peristiwa dan tidak ada dalil yang dapat dijadikan dasar untuk
menetapkan hukum dari peristiwa itu, tetapi ada suatu kepentingan yang
sangat besar jika peristiwa itu ditetapkan hukumnya. Karena itu ditetapkanlah
hukum berdasar kepentingan itu.
24.
25. 3.    Istishhab
26. 'Istishhab menurut bahasa berarti "mencari sesuatu yang ada
hubungannya." Menurut istilah ulama ushul fiqh, ialah tetap berpegang
kepada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada
dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan perkataan lain, ialah
menyatakan tetapnya hukum pada masa yang lalu hingga ada dalil yang
mengubah ketetapan hukum itu.
27. Menurut Ibnu Qayyim, istishhab ialah menyatakan tetap berlakunya hukum
yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum
suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan hukumnya. Sedang menurut
asy-Syathibi, istishhab ialah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa
lampau dan dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.
28. Contoh istishab:
29. 1. Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dengan perempuan B, kemudian
mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun.
Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam
hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan
dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun
mereka telah lama berpisah. Berpegang dengan hukum yang telah ditetapkan,
yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan
dengan istishhab.
30. 2.  Menurut firman Allah SWT:

ِ ْ‫ق لَ ُك ْم َما فِي اأْل َر‬


... ‫ض َج ِميعًا‬ َ َ‫هُ َو الَّ ِذي خَ ل‬ .31
32. "Dia (Allah)lah yang menjadikan semua yang ada di bumi untukmu
(manusia)." (al-Baqarah: 29)
33. Dihalalkan bagi manusia memakan apa saja yang ada di muka bumi untuk
kemanfaatan dirinya, kecuali kalau ada yang mengubah atau mengecualikan
hukum itu. Karena itu ditetapkanlah kehalalan memakan sayur-sayuran dan
binatang-binatang selama tidak ada yang mengubah atau mengecualikannya.
34.
35. 4.    ‘Urf
36. 'Urf ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan
kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh
sebagian ulama ushul fiqh, 'urf disebut adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam
pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan pengertian antara 'urf dengan
adat, namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian 'urf lebih
umum dibanding dengan pengertian adat, karena adat disamping telah dikenal
oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan
telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang
yang melanggarnya.
37. Seperti dalam salam (jual beli dengan pesanan) yang tidak memenuhi syarat
jual beli. Menurut syarat jual beli ialah pada saat jual beli dilangsungkan pihak
pembeli telah menerima barang yang dibeli dan pihak penjual telah menerima
uang penjualan barangnya. Sedang pada salam barang yang akan dibeli itu
belum ada wujudnya pada saat akad jual beli dilakukan, baru ada dalam
bentuk gambaran saja. Tetapi karena telah menjadi adat kebiasaan dalam
masyarakat, bahkan dapat memperlancar arus jual beli, maka salam itu
dibolehkan. Dilihat sepintas lalu, seakan-akan ada persamaan antara ijma'
dengan 'urf, karena keduanya sama-sama ditetapkan secara kesepakatan dan
tidak ada yang menyalahinya. Perbedaannya ialah pada ijma' ada suatu
peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya. Karena itu para
mujtahid membahas dan menyatakan kepadanya, kemudian ternyata
pendapatnya sama. Sedang pada 'urf bahwa telah terjadi suatu peristiwa atau
kejadian, kemudian seseorang atau beberapa anggota masyarakat sependapat
dan melaksanakannya. Hal ini dipandang baik pula oleh anggota masyarakat
yang lain, lalu mereka mengerjakan pula. Lama-kelamaan mereka terbiasa
mengerjakannya sehingga merupakan hukum tidak tertulis yang telah berlaku
diantara mereka. Pada ijma' masyarakat melaksanakan suatu pendapat karena
para mujtahid telah menyepakatinya, sedang pada 'urf, masyarakat
mengerjakannya karena mereka telah biasa mengerjakannya dan
memandangnya baik.

Anda mungkin juga menyukai