Anda di halaman 1dari 16

BAB I PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Demokrasi telah dianggap sebagai sebuah instrumen dalam


menjalankan sebuah konsepsi negara yang ideal dalam menjawab
persoalan dan penegakan kekuasaan rakyat. Negara-negara modern
dewasa ini menggolongkan diri mereka ke dalam demokrasi, yaitu
negara yang pemerintahanya dijalankan oleh rakyat dan untuk rakyat,
sekalipun dalam mekanisme pemerintahanya baik yang menyangkut
infrastruktur politik maupun supra struktur politik, berbeda satu dengan
yang lain. Inggris misalnya, suatu kerajaan dengan system pemerintahan
parlementer dan pengorganisasian kekuatan sosial politiknya yang
sederhana tetapi mantap, yaitu terdiri dari dua partai besar yang secara
menentukan jalanya pemerintahan, adalah negara demokrasi.

Pemilu dalam negara demokrasi Indonesia merupakan suatu


proses pergantian kekuasaan secara damai yang dilakukan secara berkala
sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan konstitusi. Prinsip-prinsip
dalam pemilihan umum yang sesuai dengan konstitusi antara lain prinsip
kehidupan ketatanegaraan yang berkedaulatan rakyat (demokrasi)
ditandai bahwa setiap warga negara berhak ikut aktif dalam setiap proses
pengambilan keputusan kenegaraan.

Sebuah negara berbentuk republik memiliki sistem pemerintahan


yang tidak pernah lepas dari pengawasan rakyatnya. Adalah demokrasi,
sebuah bentuk pemerintahan yang terbentuk karena kemauan rakyat dan
bertujuan untuk memenuhi kepentingan rakyat itu sendiri. Demokrasi
merupakan sebuah proses, artinya sebuah republik tidak akan berhenti di
satu bentuk pemerintahan selama rakyat negara tersebut memiliki
kemauan yang terus berubah. Ada kalanya rakyat menginginkan
pengawasan yang superketat terhadap pemerintah, tetapi ada pula
saatnya rakyat bosan dengan para wakilnya yang terus bertingkah karena
kekuasaan yang seakan-akan tak ada batasnya. Berbeda dengan monarki
yang menjadikan garis keturunan sebagai landasan untuk memilih
pemimpin, pada republik demokrasi diterapkan azas kesamaan di mana
setiap orang yang memiliki kemampuan untuk memimpin dapat menjadi
pemimpin apabila ia disukai oleh sebagian besar rakyat. Pemerintah
telah membuat sebuah perjanjian dengan rakyatnya yang ia sebut dengan
istilah kontrak sosial. Dalam sebuah republik demokrasi, kontrak sosial
atau perjanjian masyarakat ini diwujudkan dalam sebuah pemilihan
umum. Melalui pemilihan umum, rakyat dapat memilih siapa yang
menjadi wakilnya dalam proses penyaluran aspirasi, yang selanjutnya
menentukan masa depan sebuah negara.
SISTEM PEMILU DI INDONESIA

PEMBAHASAN

2.1. Apa itu Pemilu


Pemilihan umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang dasar negara Republik Indonesia
tahun 1945 (UUD RI 1945) menentukan : “Kedaulatan adalah ditangan
rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat.” Mana kedaulatan sama dengan makna kekuasaan tertinggi,
yaitu kekuasaan yang dalam taraf terakhir dan tertinggi wewenang
membuat keputusan. Tidak ada satu pasalpun yang menentukan bahwa
negara Republik Indonesia adalah suatu negara demokrasi. Namun,
karena implementasi kedaulatan rakyat itu tidak lain adalah demokrasi,
maka secara implesit dapatlah dikatakan bahwa negara Republik
Indonesia adalah negara demokrasi.
Hal yang demikian wujudnya adalah, manakala negara atau
pemerintah menghadapi masalah besar, yang bersifat nasional, baik di
bidang kenegaraan, hukum, politik, ekonomi, sosial-budaya ekonomi,
agama “ semua orang warga negara diundang untuk berkumpul disuatu
tempat guna membicarakan, merembuk, serta membuat suatu
keputusan.” ini adalah prinsipnya.
Austin Ranney ada delapan kriteria pokok bagi pemilu demokratis,
yaitu
a. Hak pilih umum. Pemilu hanya disebut demokratis bila semua warga
negara dewasa menikmati hak pilih pasif maupun aktif. Kalau toh
dilakukan pembatasan, hal itu harus ditentukan secara demokratis,
yaitu melalui undang-undang. Dalam kehidupan modern,
pembatasan itu hanya bisa dipahami bila didasarkan pada
“ketidakmampuan seseorang untuk menerima tanggung jawab sosial
kenegaraannya “ seperti terjadi pada orang gila atau pelaku tindak
kriminal tertentu atau anak-anak di bawah usia tertentu.
b. Kesetaraan bobot suara.Harus ada jaminan bahwa suara tiap-tiap
pemilih diberi bobot yang sama, artinya tidak boleh ada sekelompok
warga negara , apapun kedudukan, sejarah kehidupan, dan jasa-
jasanya, yang memperoleh lebih banyak wakil dari warga lainnya.
Kalau miaslnya ditentukan bahwa setiap kursi parlemen berharga
420.000 suara, maka harus ada jaminan bahwa tak ada sekelompok
warga negara pun yang jumlahnya kurang dari kuota tersebut
mendapat satu atau bahkan lebih kursi di parlemen.
c. Tersedianya pilihan yang signifikan. Hak pilih maupun bobot suara
yang setara antar sesama pemilih itu kemudian harus dihadapkan
pada pilihan-pilihan yang cukup signifikan. Perbedaan pilihan itu
bisa sangat sederhana, seperti perbedaan antara dua orang atau lebih
calon, atau perbedaan yang lebih rumit antara dua atau lebih garis
politik/ program kerja yang berlainan, sampai ke perbedaan antara
dua atau lebih ideologi.
d. Kebebasan nominasi. Melalui organisasi masing-masing keompok
rakyat membina, menyeleksi, dan menominasikan calon-calon yang
mereka nilai mampu menerjemahkan kebijakan organisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara. Jadi, di dalam kebebasan
berorganisasi itu secara implisit terkandung pula prinsip kebebasan
menominasikan calon wakil rakyat. Sebab hanya dengan cara itulah
pilihan-pilihan yang signifikan dapat dijamin dalam proses
pemilihan umum.\
e. Persamaan hak kampanye. Program kerja dan calon unggulan tidak
akan bermakna apa-apa jika tidak diketehui oleh massa pemilih.
Oleh karena itu, kampanye menjadi amat penting kedudukannya
dalam proses pemilu. Melalui proses inilah massa pemilih
diperkenalkan dengan para calon dan program kerja para kontestan
pemilu.
f. Kebebasan dalam memberikan suara. Jika semua prinsip diatas dapat
ditegakkan, masih diperlukan pula jaminan bahwa para pemilih
dapat menentukan pilihannya secara bebas, mandiri, sesuai
pertimbangan-pertimbangan hati nuraninya. pemberi suara harus
terbebas dari berbagai hambatan fisik maupun mental ( takut,
terpaksa, dan sebagainya) dalam menentukan pilihannya.
g. Penyelenggaraan secara periodik. Pada akhirnya pemilu itu sendiri
harus dilaksanakan secara periodik. Pemilu tidak boleh diajukan atau
diundurkan sekehendak hati penguasa. Pemilu tidak boleh dijadikan
alat penguasa untuk melanggenkan kekuasaannya. Pemilu justru
dimaksudkan sebagai sarana menyelenggarakan pergantian penguasa
secara damai dan terlembaga.

2.2. Bagaimana Sistem Pemilu yang di Selengarakan di Indonesia


Sejak kemerdekaan hingga tahun 2014 bangsa Indonesia telah
menyelenggarakan sebelas kali pemilihan umum, yaitu 1945, 1971,
1977, 1982, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, dan 2014. Akan tetapi
pemilihan pada tahun 1955 merupakan pemilihan umum yang dianggap
istimewa karena ditengah suasana kemerdekaan yang masih tidak stabil
Indonesia melakukan PEMILU , bahkan dunia internasional memuji
pemilu pada tahun tersebut. Pemilihan umum berlangsung dengan
terbuka, jujur dan fair, meski belum ada sarana komunikasi secanggih
pada saat ini ataupun jaringan kerja KPU.
Semua pemilihan umum tersebut tidak diselenggarakan dalam situasi
yang vacuum, melainkan berlangsung di dalam lingkungan yang turut
menentukan hasil pemilihan umum itu sendiri. Dari pemilihan umum
tersebut juga dapat diketahui adanya upaya untuk mencari sistem
pemilihan umum yang cocok untuk Indonesia.
1. Zaman Demokrasi Parlementer (1945-1958)
Sebenarnya pemilu sudah direncanakan sejak bulan Oktober
1945, tetapi baru dilaksanakan oleh kabinet Burhanuddin Harahap
pada tahun 1955. Sistem pemilu yang digunakan adalah sistem
proporsional. Pada waktu sistem itu, sebagaimana yang dicontohkan
oleh Belanda, merupakan satu-satunya sistem pemilu yang dikenal
dan dimengerti oleh para pemimpin negara.
Pemilihan umum dilakukan dalam suasana khidmat, karena
merupakan pemilihan pertama sejak awal kemerdekaan. Pemilihan
umum berlangsung secara demokratis, tidak ada pembatasan partai,
dan tidak ada usaha interversi dari pemerintah terhadap partai-partai
sekalipun kampanye berlangsung seru, terutama antara Masyumi dan
PNI. Serta administrasi teknis berjalan lancar dan jujur.
Pemilihan umum menghasilkan 27 partai dan satu partai
perseorangan, dengan jumlah total 257 kursi. Namun stabilitas
politik yang diharapkan dari pemilihan umum tidak terwujud.
Kabinet Ali (I dan II) yang memerinth selama 2 tahun dan yang
terdiri atas koalisi tga besar ,namun ternyata tidak kompak dalam
menghadapi persoalan, terutama yang terkait dengan konsepsi
presiden yang diumumkan pada tanggal 21 Februari 1957.

2. Zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965)


Sesudah mencabut maklumat pemerintah November 1945
tentang kebebasan mendirikan partai , presiden soekarno
mengurangi jumlah partai menjadi 10. Kesepuluh ini antara lain :
PNI, Masyumi, NU, PKI, Partai Katolik, Partindo, Partai Murba,
PSII Arudji, IPKI, dan Partai Islam, kemudian ikut dalam pemilu
1971 di masa orde baru. Di zaman demokrasi terpimpintidak
diadakan pemilihan umum.

3. Zaman Demokrasi Pancasila (1965-1998)


Sesudah runtuhnya rezim demokrasi terpimpin yang semi
otoriter ada harapan besar dikalangan masyarakat untuk dapat
mendirikansuatu sistem politik yang demokratis dan stabil. Salah
satu caranya ialah melalui sistem pemilihan umum . pada saat itu
diperbincangkan tidak hanya sistem proporsional yang sudah dikenal
lama, tetapi juga sistem distrik yang di Indonesia masih sangat baru.
Jika meninjau sistem pemilihan umum di Indonesia dapat
ditarik berbagai kesimpulan. Pertama, keputusan untuk tetap
menggunakan sistem proporsional pada tahun 1967 adalah
keputusan yang tepat karena tidak ada distorsi atau kesenjangan
antara perolehan suara nasional dengan jumlah kursi dalam DPR.
Kedua, ketentuan di dalam UUD 1945 bahwa DPR dan presiden
tidak dapat saling menjatuhkan merupakan keuntungan, karena tidak
ada lagi fragmentasi karena yang dibenarkan eksistensinya hanya
tiga partai saja. Usaha untuk mendirikan partai baru tidak
bermanfaat dan tidak diperbolehkan. Dengan demikian sejumlah
kelemahan dari sistem proporsional telah teratasi. Namun beberapa
kelemahan masih melekat pada sistem politik ini. Pertama, masih
kurang dekatnya hubungan antara wakil pemerintah dan
konstituennya tetap ada. Kedua, dengan dibatasinya jumlah partai
menjadi tiga telah terjadi penyempitan dalam kesempatan untuk
memilih menurut selera dan pendapat masing-masing sehingga dapat
dipertanyakan apakah sipemilih benar-benar mencerminkan,
kecenderungan, atau ada pertimbangan lain yang menjadi
pedomannya. Ditambah lagi masalah golput, bagaimanapun juga
gerakan golput telah menunjukkan salah satu kelemahan dari sistem
otoriter orde dan hal itu patut dihargai.

4. Zaman Reformasi (1998-sekarang)


Seperti dibidang-bidang lain, reformasi membawa beberapa
perubahan fundamental. Pertama, dibukanya kesempatan kembali
untuk bergeraknya partai politik secara bebas, termasuk medirikan
partai baru. Kedua, pada pemilu 2004 untuk pertama kalinya dalam
sejarah indonesiadiadakan pemilihan presiden dan wakil presiden
dipilih melalui MPR. Ketiga, diadakannya pemilihan umum untuk
suatu badan baru, yaitu Dewan Perwakilan Daerah yang akan
mewakili kepentingan daerah secara khusus. Keempat, diadakannya
“electoral thresold “ , yaitu ketentuan bahwa untuk pememilihan
legislatif setiap partai harus meraih minimal 3% jumlah kursi
anggota badan legislatif pusat.
Semua pemilihan umum tersebut tidak diselenggarakan
dalam situasi yang vacuum, melainkan berlangsung di dalam
lingkungan yang turut menentuka hasil pemilhan umum yang cocok
untuk Indonesia. Pemilu diselenggarakan oleh suatu Komisi
Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Komisi ini memiliki tanggung jawab penuh atas penyelenggaraan
pemilu, dan dalam menjalankan tugasnya, KPU menyampaikan
laporan kepada Presiden dan DPR.
Menurut Pasal 25 UU No. 12 Tahun 2003, tugas dan
wewenang KPU adalah:
a. merencanakan penyelenggaraan KPU.
b. Menetapkan organisasi dan tata cara semua tahapan
pelaksanaan pemilu.
c. Mengkoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan
semua tahapan pelaksanaan pemilu.
d. Menetapkan peserta pemilu.
e. Menetapkan daerah pemilihan, jumlah kursi, dan calon
anggota DPR,DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota.
f. menetapkan waktu, tanggal, tata cara pelaksanaan kampanye,
dan pemungutan suara.
g. menetapkan hasil pemilu dan mengumumkan calon terpilih
anggota DPR,DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota.
h. melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemilu.
i. melaksanakan tugas dan kewenangan lain yang diatur
undang-undang.
j. Dalam Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) dijelaskan
bahwa kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan,
bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebagai
penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Majelis ini bertugas
mempersiapkan Undang-undang Dasar dan menetapkan
garis-garis besar haluan negara. MPR juga mengangkat
Kepala Negara (Presiden) dan wakilnya (Wakil Presiden).
MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam negara,
sedangkan Presiden bertugas menjalankan haluan Negara
menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh MPR.
Di sini, peran Presiden adalah sebagai mandataris MPR,
maksudnya Presiden harus tunduk dan bertanggung jawab
kepada MPR.
k. Menurut Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 hasil Amandemen
keempat tahun 2002, Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih
melalui pemilihan umum. Hal ini juga tercantum dalam Pasal
19 ayat (1) UUD 1945 hasil Amandemen kedua tahun 2000
yang berbunyi: “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih
melalui pemilihan umum.” serta Pasal 22C UUD 1945 hasil
Amandemen ketiga tahun 2001 yang berbunyi: “Anggota
Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi
melalui pemilihan umum.” Dalam Pasal 6A UUD 1945 yang
merupakan hasil Amandemen ketiga tahun 2001 dijelaskan
mengenai pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang
lengkapnya berbunyi:
1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu
pasangan secara langsung oleh rakyat.
2) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan
oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta
pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan
umum.
3) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang
mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari
jumlah suara dalam pemilihan umum dengan
sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi
yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di
Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil
Presiden.

UUD 1945 yang merupakan Konstitusi Negara Republik


Indonesia mengatur masalah pemilihan umum dalam Bab VIIB
tentang Pemilihan Umum Pasal 22E sebagai hasil Amandemen
ketiga UUD 1945 tahun 2001. Secara lengkap, bunyi Pasal 22E
tersebut adalah:

a. Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,


rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
b. Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden
dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
c. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah adalah partai politik.
d. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah adalah perseorangan.
e. Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan
umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
f. Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan
undang-undang.
2.3. Bagaimana Sistem Pemilu di Indonesia Pasca Reformasi
Pasca pemerintahan Soeharto 1999, 2004 dan 2009 terdapat
perubahan terhadap sistem pemilu di Indonesia yakni terjadinya
modifikasi sistem proporsional di indonesia, dari proporsional tertutup
menjadi proporsional semi daftar terbuka. Dilihat dari daerah pemilihan
terdapat perubahan antara pemilu 1999 dengan masa orde baru. Pada
orde baru yang menjadi daerah pilihan adalah provinsi, alokasi kursinya
murni di dasarkan pada perolehan suara di dalam satu provinsi,
sedangkan di tahun 1999 provinsi masih sebagai daerah pilihan namun
sudah menjadi pertimbangan kabupaten/kota dan alokasi kursi dari
partai peserta pemilu didasarkan pada perolehan suara yang ada di
masing-masing provinsi tetapi mulai mempertimbangkan perolehan
calon dari masingmasing kabupaten /kota. Pada pemilu 2004 daerah
pemilihan tidak lagi provinsi melainkan daerah yang lebih kecil lagi
meskipun ada juga daerah pemilihan yang mencangkup satu provinsi
seperti Riau, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung, kepulauan Riau,
Yogyakarta, Bali, NTB, semua provinsi di Kalimantan, Sulawesi Utara
dan Tenggara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Irian Jaya
Barat. Masing-masing daerah pilihan mendapat jatah antara 3-12 kursi.
Pada pemilu 2009 besaran daerah pemilihan untuk DPR diperkecil
antara 3-10. Perbedaan lain berkaitan dengan pilihan terhadap kontestan.
pada pemilu 1999 dan orde baru para pemilih cukup memilih tanda
gambar kontestan pemilu. Pada tahun 2004 para pemilih boleh
mencoblos tanda gambar kontestan pemilu dan juga mencoblos
calonnya. Hal ini dimaksudkan agar pemilih dapat mengenal dan
menetukan siapa yang menjadi wakil di DPR dan memberikan
kesempatan pada calon yang tidak berda di nomor atas untuk terpilih
asalkan memenuhi jumlah bilangan pembagi pemilih (BPP), dikatakan
perubahan proporsional ini semi daftar terbuka karena penentuan siapa
yang akan mewakili partai didalam perolehan kursi di DPR/D tidak
didasarkan para perolehan suara tebanyak melainkan tetap berdasarkan
nomor urut, kalupun di luar nomer urut harus memiliki suara yang
mencukupi BPP. Sistem proporsional semi daftar terbuka sendiri pada
dasarnya merupakan hasil sebuah kompromi. Dalam pembahasan RUU
mengenai hasil pemilu pada 2002, PDIP, GOLKAR, PPP terang-
terangan menolak sistem daftar terbuka, dikarenakan penetuan caleg
merupakan hak partai peserta pemilu. Memang jika diberlakukannya
sistem daftar terbuka akan mengurangi otoritas partai di dalam
menyeleksi caleg mana saja yang di pandang lebih pas duduk di DPR/D.
Tetapi tiga partai itu akhirnya menyetujui perubahan hanya saja
perubahannya tidak terbuka secara bebas melainkan setengah terbuka.
Perubahan-perubahan disain kelembagaan seperti itu pada kenyataannya
tidak membawa perubahan yang berarti. ada beberapa penyebab
diantaranya yaitu pada kenyataannya para pemilih tetap lebih suka
memilih tanda gambar dari pada menggabungkannya dengan memilih
calon yang ada di dalam daftar pemilih karena lebih mudah. Selain itu,
di lihat dari tingkat keterwakilan masih mengandung masalah.
Permasalahan ini khususnya berkaitan dengan perbandingan jumlah
suara dengan jumlah alokasi kursi di DPR/D kepada partai-partai. Di sisi
lain juga nilai BPP antara daerah pemilihan yang satu dengan daerah
pemilihan yang lain memiliki perbedaan. mengingat sistem. hal ini
terkait dua hal yakni pertama terdapat upaya untuk mengakomodasi
gagasan adanaya keterwakilan yang berimbang antara Jawa dan luar
Jawa, kedua secara kelembagaan terdapat keputusan bahwa satu daerah
pemilihan mininal memiliki 3 kursi. Implikasinya adalah terdapatnya
daerah pemilih bahwa BPP nya berada di bawah rata-rata BPP nasional
tetapi ada juga yang berada dia atas BPP nasional. Mengingat sistem
pemilu yang sudah di modifikasi dan mengalami sedikit perbaikan itu
masih tidak terlepas dari kekurangan, terdapat usul untuk melakukan
modifikasi sistem proporsional lanjutan. Kalau pada pemilu 2004 sudah
dipakai sistem daftar setengah terbuka, untuk pemilu-pemilu selanjutnya
usulan digunakannya sistem daftar terbuka. Di dalam sistem ini
digunakan nomor urut di dalam daftar calon tidak lagi dijadikan ukuran
untuk menjadikan calon mana yang mewakili partai di dalam perolehan
kursi sekitarnya tidak ada calon yang memenuhi BPP yang di jadikan
ukuranya adalah calon yag memperoleh suara terbanyak. Keputusan
sebagaimana yang terdapat di dalam UU no 10 tahun 2008 mengalami
perubahan setelah hampir setahun, kemudian MK mengabulkan tentang
suara terbanyak sebagai patokan untuk mengalokasikan kursi kepada
partai-partai yang memperoleh kursi. Keputusan ini menjadikan sistem
pemilu di Indonesia benar-benar masuk kedalam kategori sistem
proporsional daftar terbuka. Calon yang memperoleh suara terbanyak
yang akan lolos menjadi anggota DPR/D dari partai yang memperoleh
alokasi kursi.
PENUTUP

Di kebanyakan negara demokrasi, pemilu dianggap sebagai


lambang dan tolak ukur demokrasi. Pemilu yang terbuka, bebas
berpendapat dan bebas berserikat mencerminkan demokrasi walaupun
tidak beguitu akurat. Pemilihan umum ialah suatu proses pemilihan
orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Dalam ilmu
politik dikenal berbagai macam sistem pemilu dengan berbagai variasi di
antaranya sebagai berikut:

Hak pilih umum. Pemilu hanya disebut demokratis bila semua


warga negara dewasa menikmati hak pilih pasif maupun aktif.

Kesetaraan bobot suara.Harus ada jaminan bahwa suara tiap-tiap


pemilih diberi bobot yang sama, artinya tidak boleh ada sekelompok
warga negara , apapun kedudukan, sejarah kehidupan, dan jasa-jasanya,
yang memperoleh lebih banyak wakil dari warga lainnya

Tersedianya pilihan yang signifikan. Hak pilih maupun bobot


suara yang setara antar sesama pemilih itu kemudian harus dihadapkan
pada pilihan-pilihan yang cukup signifikan.

Kebebasan nominasi. Melalui organisasi masing-masing


keompok rakyat membina, menyeleksi, dan menominasikan calon-calon
yang mereka nilai mampu menerjemahkan kebijakan organisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara. Jadi, di dalam kebebasan
berorganisasi itu secara implisit terkandung pula prinsip kebebasan
menominasikan calon wakil rakyat.

Persamaan hak kampanye. Program kerja dan calon unggulan


tidak akan bermakna apa-apa jika tidak diketehui oleh massa pemilih.

Kebebasan dalam memberikan suara. Jika semua prinsip diatas


dapat ditegakkan, masih diperlukan pula jaminan bahwa para pemilih
dapat menentukan pilihannya secara bebas, mandiri, sesuai
pertimbangan-pertimbangan hati nuraninya.

Penyelenggaraan secara periodik. Pada akhirnya pemilu itu


sendiri harus dilaksanakan secara periodik.

Sejak kemerdekaan hingga tahun 2014 bangsa Indonesia telah


menyelenggarakan sebelas kali pemilihan umum, yaitu 1945, 1971,
1977, 1982, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, dan 2014. Akan tetapi
Pemilihan umum berlangsung dengan terbuka, jujur dan fair, meski
belum ada sarana komunikasi secanggih pada saat ini ataupun jaringan
kerja KPU.

Semua pemilihan umum tersebut diselenggarakan dalam situasi


zaman sebagai berikut:

1. Zaman Demokrasi Parlementer (1945-1958)


Sebenarnya pemilu sudah direncanakan sejak bulan Oktober 1945,
tetapi baru dilaksanakan oleh kabinet Burhanuddin Harahap pada tahun
1955.
2. Zaman Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Sesudah mencabut maklumat pemerintah November 1945 tentang
kebebasan mendirikan partai , presiden soekarno mengurangi jumlah
partai menjadi 10.
3. Zaman Demokrasi Pancasila (1965-1998)
Sesudah runtuhnya rezim demokrasi terpimpin yang semi otoriter
ada harapan besar dikalangan masyarakat untuk dapat mendirikansuatu
sistem politik yang demokratis dan stabil.
4. Zaman Reformasi (1998-sekarang)
Seperti dibidang-bidang lain, reformasi membawa beberapa
perubahan fundamental. Pertama, dibukanya kesempatan kembali untuk
bergeraknya partai politik secara bebas, termasuk medirikan partai baru.

Pasca pemerintahan Soeharto 1999, 2004 dan 2009 terdapat


perubahan terhadap sistem pemilu di Indonesia yakni terjadinya
modifikasi sistem proporsional di indonesia, dari proporsional tertutup
menjadi proporsional semi daftar terbuka. Pada orde baru yang menjadi
daerah pilihan adalah provinsi, alokasi kursinya murni di dasarkan pada
perolehan suara di dalam satu provinsi, sedangkan di tahun 1999
provinsi masih sebagai daerah pilihan namun sudah menjadi
pertimbangan kabupaten/kota dan alokasi kursi dari partai peserta
pemilu didasarkan pada perolehan suara yang ada di masing-masing
provinsi tetapi mulai mempertimbangkan perolehan calon dari
masingmasing kabupaten /kota. Pada daerah pemilihan yang
mencangkup satu provinsi seperti Riau, Jambi, Bengkulu, Bangka
Belitung, kepulauan Riau, Yogyakarta, Bali, NTB, semua provinsi di
Kalimantan, Sulawesi Utara dan Tenggara, Gorontalo, Maluku, Maluku
Utara, Papua dan Irian Jaya Barat. Masing-masing daerah pilihan
mendapat jatah antara 3-12 kursi.

Anda mungkin juga menyukai