Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 GANGGUAN PERNAFASAN


2.1.1 Anatomi Saluran Pernafasan
Sistem pernafasan atau juga dikenal sebagai sistem respirasi yang terdiri
dari, paru-paru; pembuluh pernafasan bagian atas yang memungkinkan masuknya
udara atmosfer ke dalam sistem pernafasan, ini melibatkan hidung (dan mulut),
laring (dan faring), dan trakea (tenggorokan); saluran udara pernafasan bagian
bawah yang memungkinkan lewatnya udara atmosfer ke paru-paru itu sendiri,
melibatkan bronkus dan bronkiolus utama; saluran udara pernafasan akhir yang
memungkinkan pertukaran gas terjadi, melibatkan bronkiolus pernafasan, kantung
alveolar dan alveoli (Chalik, 2016).
Secara fungsional (faal) saluran pernafasan dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu:
1. Zona Konduksi
Zona konduksi berperan sebagai saluran tempat lewatnya udara
pernafasan, serta membersihkan, melembabkan dan menyamakan suhu
udara pernafasan dengan suhu tubuh. Disamping itu zona konduksi juga
berperan pada proses pembentukan suara. Zona konduksi terdiri dari hidung,
faring, trakea, bronkus, serta bronkioli terminalis.
a. Hidung
Rambut, zat mucus serta silia yang bergerak kearah faring berperan
sebagai system pembersih pada hidung. Fungsi pembersih udara ini juga
ditunjang oleh konka nasalis yang menimbulkan turbulensi aliran udara
sehingga dapat mengendapkan partikel-partikel dari udara yang seterusnya
akan diikat oleh zat mucus. Sistem turbulensi udara ini dapat mengendapkan
partikel-partikel yang berukuran lebih besar dari 4 mikron.

6
7

b. Faring
Faring merupakan bagian kedua dan terakhir dari saluran pernafasan
bagian atas. Faring terbagi atas tiga bagian yaitu nasofaring, orofaring, serta
laringofaring.
c. Trakea
Trakea berarti pipa udara. Trakea dapat juga dijuluki sebagai
eskalatormuko-siliaris karena silia pada trakea dapat mendorong benda
asing yang terikat zat mucus kearah faring yang kemudian dapat ditelan atau
dikeluarkan. Silia dapat dirusak oleh bahan-bahan beracun yang terkandung
dalam asap rokok.
d. Bronki atau bronkioli
Struktur bronki primer masih serupa dengan struktur trakea. Akan tetapi
mulai bronki sekunder, perubahan struktur mulai terjadi. Pada bagian akhir
dari bronki, cincin tulang rawan yang utuh berubah menjadi lempengan-
lempengan. Pada bronkioli terminalis struktur tulang rawan menghilang dan
saluran udara pada daerah ini hanya dilingkari oleh otot polos. Struktur
semacam ini menyebabkan bronkioli lebih rentan terhadap penyimpatan
yang dapat disebabkan oleh beberapa faktor.
Bronkioli mempunyai silia dan zat mucus sehingga berfungsi sebagai
pembersih udara. Bahan-bahan debris di alveoli ditangkap oleh sel
makrofag yang terdapat pada alveoli, kemudian dibawa oleh lapisan mukosa
dan selanjutnya dibuang.
2. Zona Respiratorik
Zona respiratorik terdiri dari alveoli, dan struktur yang berhubungan.
Pertukaran gas antara udara dan darah terjadi dalam alveoli. Selain struktur
diatas terdapat pula struktur yang lain, seperti bulu-bulu pada pintu masuk
yang penting untuk menyaring partikel-partikel yang masuk. Sistem
pernafasan memiliki sistem pertahanan tersendiri dalam melawan setiap
bahan yang masuk yang dapat merusak (Alsagaff, 2005).
8

2.1.2 Fungsi Saluran Pernafasan


Fungsi utama dari sistem pernpasan adalah mengambil oksigen dan
megeluarkan karbon dioksida. Pertukaran gas ini disebut respirasi dan terjadi
antara atmosfer, darah, dan sel dalam fase yang berbeda:
a. Ventilasi pulmonari. Kata pulmo merujuk ke paru-paru dan ventilasi
pulmonari adalah istilah lain untuk pernafasan. Udara dihirup atau ditarik
ke dalam paru-paru dan kemudian dikelurkan dari paru-paru.
b. Respirasi eksternal (respirasi pulmonari). Pertukaran gas yang terjadi
antara paru-paru dan darah. Pada respirasi eksternal darah mengambil
oksigen dan melepaskan karbon dioksida.
c. Respirasi internal (respirasi jaringan). Pertukaran gas yang terjadi antara
darah dan sel jaringan. Pada respirasi internal darahmelepaskan oksigen
dan mengikat karbon dioksida (Chalik, 2016).

2.1.3 Pengukuran Volume Paru


Volume udara di paru-paru selama proses pernafasan tidak tetap. Salah satu
factor penyebabnya adalah cara bernafas. Beberapa parameter yang
menggambarkan volume paru adalah :
a. Volume Tidal (Tidal Volume = TV)
Volume tidal adalah volume udara hasil inspirasi atau ekspirasi pada
setiap kali bernapas normal. Volume udara tidal bervariasi tergantung
pada tingkat kegiatan seseorang. Pada kondisi tubuh istirahat, volume
tidal sebanyak kira-kira 500 mililiter pada rata-rata orang dewasa muda,
dan besarnya akan meningkat bila kegiatan tubuh meningkat. Dari 500
mililiter udara tidal yang dipernapaskan pada kondisi istirahat tersebut
hanya 350 mililiter saja yang dapat sampai di alveolus, sedang yang 150
mililiter mengisi ruang yang terdapat pada saluran respirasi (disebut
ruang rugi).
b. Volume Cadangan Inspirasi (Inspiratory Reserve Volume = IRV)
9

Volume cadangan inspirasi adalah udara yang masih dapat dihirup


setelah inspirasi biasa sampai mencapai inspirasi maksimal. Volume
cadangan inspirasi juga disebut udara komplementer. Umumnya pada
laki-laki sebesar 3.300 mililiter dan pada wanita sebesar 1.900 mililiter.
c. Volume Cadangan Ekspirasi (Expiratory Reserve Volume = ERV)
Volume cadangan ekspirasi adalah udara yang masih dapat dikeluarkan
setelah melakukan ekspirasi biasa sampai mencapai ekspirasi maksimal.
Volume cadangan ekspirasi juga disebut udara suplementer. Pada laki-
laki 1.000 ml, sedangkan perempuan 700 ml.
d. Volume Residu (Residual Volume = RV)
Volume residu adalah volume gas dalam paru yang masih tertinggal saat
akhir ekspirasi maksimal, dengan kata lain volume residu adalah
kapasitas paru total dikurangi kapasitas vital. Udara yang masih tersisa
didalam paru sesudah ekspirasi maksimal sekitar 1100ml.
Kapasitas vital paru adalah volume cadangan inspirasi ditambah volume
tidal dan volume cadangan ekspirasi, volume ini merupakan jumlah maksimum
yang dapat dikeluarkan seseorang dari paru setelah terlebih dahulu penghisapan
secara maksimum. Kapasitas vital rata- rata pada pria muda dewasa kira- kira 4,6
liter, dan pada wanita muda dewasa kirakira 3,1 liter. Meskipun nilai itu jauh lebih
besar pada beberapa orang dengan berat badan yang sama pada orang lain. Orang
yang memiliki postur tubuh yang tinggi dan kurus biasanya mempunyai kapasitas
paru yang lebih besar dari pada orang yang gemuk dan seorang atlet yang terlatih
baik, mungkin mempunyai kapasitas vital 30- 40 % diatas normal yaitu 6-7 liter.
Dalam keadaan yang normal, kedua paru-paru dapat menampung udara sebanyak
5 liter. Waktu ekspirasi, di dalam paru-paru masih tertinggal ±3 liter udara. Pada
saat kita bernapas biasa udara yang masuk ke dalam paru-paru 2.600 cm3 (21/2
liter). Menurut Rahmah (2008), kapasitas paru-paru dapat dibedakan sebagai
berikut:
a. Kapasitas Vital (Vital Capacity/VC)
Volume udara yang dapat dikeluarkan dengan ekspirasi maksimum
setelah inspirasi maksimum. Atau jumlah udara maksimum pada
10

seseorang yang berpindah pada satu tarikan napas. Kapasitas ini


mencakup VT, IRV,dan ERV. Nilainya diukur dengan menyuruh
individu melakukan inspirasi maksimum kemudian menghembuskan
sebanyak mungkin udara di dalam parunya ke alat pengukur.
b. Kapasitas Inspirasi (Inspiratory Capacity/IC)
Volume udara yang dapat diinspirasi setelah akhir ekspirasi normal.
Besarnya sama dengan jumlah VT dengan IRV.
c. Kapasitas Residu Fungsional (Functional Residual Capacity/FRC)
Kapasitas residu fungsional adalah jumlah udara yang masih tetap berada
dalam paru setelah ekspirasi normal. Besar FRC sama dengan jumlah
dari RV dengan ERV.
d. Kapasitas Vital Paksa (Forced Expiratory Capacity/FVC)
Jumlah udara yang dapat dikeluarkan secara paksa setelah inspirasi
secara maksimal, diukur dalam liter.
e. Kapasitas Vital Paksa 1 detik (Forced Expiratory Capacity in One
Second/FEV1)
Jumlah udara yang dapat dikeluarkan dalam waktu 1 detik, diukur dalam
liter. Bersama dengan FVC merupakan indikator utama fungsi paru-paru.
FEV1/FVC merupakan rasio FEV1/FVC. Pada orang dewasa sehat
nilainya sekitar 75% - 80% (Guyton et al, 2018).

2.1.3.1 Spirometri
Spirometri adalah metode menilai fungsi paru-paru dengan mengukur volume
udara yang dapat dikeluarkan pasien dari paru-paru setelah inspirasi maksimal.
Indeks yang berasal dari manuver paksa ini telah menjadi cara yang paling akurat
dan dapat diandalkan untuk mendukung diagnosis gangguan pernafasan. Ketika
nilai-nilai ini dibandingkan dengan prediksi nilai normal yang ditentukan
berdasarkan usia, tinggi badan, jenis kelamin, dan etnis, ukuran keparahan
obstruksi jalan nafas dapat ditentukan. Pada nilai-nilai inilah pedoman gangguan
pernafasan di seluruh dunia mendasarkan penilaian tingkat penyakit ringan,
sedang, dan berat (GOLD, 2010).
11

Spirometri merupakan suatu metode sederhana yang dapat mengukur


sebagian terbesar volume dan kapasitas paru-paru. Spirometri merekam secara
grafis atau digital volume ekspirasi paksa dan kapasitas vital paksa. Volume
Ekspirasi Paksa (VEP) atau Forced Expiratory Volume (FEV) adalah volume dari
udara yang dihembuskan dari paru-paru setelah inspirasi maksimum dengan usaha
paksa minimum, diukur pada jangka waktu tertentu. Biasanya diukur dalam 1
detik (VEP1). Kapasitas Vital paksa atau Forced Vital Capacity (FVC) adalah
volume total dari udara yg dihembuskan dari paru-paru setelah inspirasi
maksimum yang diikuti oleh ekspirasi paksa minimum. Pemeriksaan dengan
spirometer ini penting untuk pengkajian fungsi ventilasi paru secara lebih
mendalam. Jenis gangguan fungsi paru dapat digolongkan menjadi dua yaitu
gangguan fungsi paru obstruktif (hambatan aliran udara) dan restriktif (hambatan
pengembangan paru). Seseorang dianggap mempunyai gangguan fungsi paru
obstruktif bila nilai VEP1/KVP kurang dari 70% dan menderita gangguan fungsi
paru restriktif bila nilai kapasitas vital kurang dari 80% dibanding dengan nilai
standar (Alsagaff et al., 2005).
Pengukuran ini selain berfungsi untuk penegakan diagnosis, juga dapat
digunakan untuk mengukur tingkat keparahan gangguan pernafasan, namun tidak
direkomendasikan untuk pengukuran jangka Panjang. Kriteria spirometri pada
keterbatasan aliran pernafasan (airflow limitation) pada pengukuran post-
bronchodilator dengan rasio FEV1/FVC <0,70 (GOLD, 2010).
Interpretasi dari hasil spirometri biasanya langsung dapat dibaca dari print out
setelah hasil yang didapat dibandingkan dengan nilai prediksi sesuai dengan tinggi
badan, umur, dan berat badan yang datanya telah terlebih dahulu dimasukkan ke
dalam spirometer sebelum pemeriksaan dimulai.

2.1.3.2 Peak Flow Meter


Pemeriksaan fungsi paru dapat diketahui dengan menilai atau mengukur
volume paru. Volume paru dapat diukur menggunakan beberapa metode.
Pemeriksaan gold standard untuk uji fungsi paru adalah alat spirometer. Alat ini
digunakan untuk mengukur besarnya volume udara yang dikeluarkan dalam 1
12

detik (VEP1). Namun alat ini memiliki kekurangan, yaitu tidak praktis dan mahal.
Untuk mengatasi hal tersebut maka dapat digunakan alat lain, yaitu peak flow
meter. Alat ini berbentuk tabung kecil, mudah dibawa, praktis, dan disertai
indikator yang mempunyai satuan L/min. Alat ini berfungsi untuk mengukur arus
puncak ekspirasi (APE) dan nilai APE ini berkorelasi dengan VEP1.
Peak flow meter tidak hanya dapat digunakan di rumah sakit maupun di
klinik saja, tapi dapat juga digunakan di rumah ataupun di kantor untuk membantu
mendiagnosis asma, mendeteksi PPOK, dan evaluasi terhadap respon terapi serta
dapat memberikan peringatan lebih dini terhadap pasien jika terjadi perubahan
pada fungsi parunya.
Cara penggunaan peak flow meter mengikuti langkah-langkah sebagai
berikut:
1. Perkenalkan diri, menjelaskan prosedur yang akan dilakukan.
2. Persiapkan alat, pasang mouth piece ke ujung peak flow meter (jika
diperlukan).
3. Pastikan marker pada posisi 0 (terendah).
4. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan berdiri atau duduk dengan
punggung tegak.
5. Minta pasien untuk bernapas normal sebanyak 3x (jika diperlukan).
6. Pegang peak flow meter dengan posisi horisontal tanpa menyentuh
marker (mengganggu gerakan marker).
7. Pasien menghirup napas sedalam mungkin, masukkan mouth piece
kemulut dengan bibir menutup rapat mengelilingi mouth piece, dan
buang napas sekuat dan secepat mungkin.
8. Marker bergerak dan menunjukkan angka pada skala saat membuang
napas, catat hasilnya.
9. Kembalikan marker pada posisi 0.
10. Ulangi langkah 6-9 sebanyak 3x, catat nilai tertinggi. Bandingkan nilai
tertinggi pasien dengan nilai prediksi.
13

2.1.4 Faktor Resiko Gangguan Pernafasan


Penurunan fungsi paru dapat terjadi secara bertahap dan bersifaat kronis.
Faktor-faktor internal yang dapat mempengaruhi fungsi paru, antara lain:
1. Umur
Usia berhubungan dengan proses penuaan atau bertambahnya umur.
Semakin tua usia seseorang maka semakin besar kemungkinan terjadi
penurunan fungsi paru (Suyono, 1995:218). Kebutuhan zat tenaga terus
meningkat sampai akhirnya menurun setelah usia 40 tahun berkurangnya
kebutuhan tenaga tersebut dikarenakan telah menurunnya kekuatan fisik.
Dalam keadaan normal, usia juga mempengaruhi frekuensi pernafasan
dan kapasitas paru. Frekuensi pernafasan pada orang dewasa antara 16-
18 kali permenit, pada anak-anak sekitar 24 kali permenit sedangkan
pada bayi sekitar 30 kali permenit. Walaupun pada orang dewasa
pernafasan frekuensi pernafasan lebih kecil dibandingkan dengan
anakanak dan bayi, akan tetapi KVP pada orang dewasa lebih besar
dibanding anak- anak dan bayi. Dalam kondisi tertentu hal tersebut akan
berubah misalnya akibat dari suatu penyakit, pernafasan bisa bertambah
cepat dan sebaliknya (Syaifudin, 1997).
2. Jenis Kelamin
Volume dan kapasitas seluruh paru pada wanita kira-kira 20 sampai 25%
lebih kecil daripada pria, dan lebih besar lagi pada atletis dan orang yang
23 bertubuh besar daripada orang yang bertubuh kecil dan astenis
(Guyton et al, 1997). Kapasitas paru pada pria lebih besar yaitu 4,8 L
dibandingkan pada wanita yaitu 3,1 L (Tambayong, 2001).
3. Riwayat Penyakit Paru
Kondisi kesehatan dapat mempengaruhi kapasitas vital paru seseorang.
Kekuatan otot-otot pernafasan dapat berkurang akibat sakit (Ganong,
2002).
4. Status Gizi
Gizi kerja merupakan nutrisi yang diperlukan oleh para pekerja untuk
memenuhi kebutuhan sesuai dengan jenis pekerjaan. Segala sesuatu
14

aspek dari ilmu gizi pada umumnya, maka gizi kerja ditujukan untuk
kesehatan dan daya kerja tenaga kerja yang setinggi-tingginya. Kesehatan
dan aktifitas sehari-hari sangat erat hubungannya dengan tingkat gizi
seseorang (Suma, 1996). Tanpa makan dan minum yang cukup
kebutuhan energi untuk beraktifitas akan diambil dari cadangan yang
terdapat dalam cadangan sel tubuh. Menurut Depkes RI (1990)
kekurangan makanan yang terus-menerus akan menyebabkan susunan
fisiologi terganggu.
5. Kebiasaan Merokok
Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran
pernafasan dan jaringan paru-paru. Pada saluran nafas besar, sel mukosa
24 membesar (hipertrofi) dan kelenjar mukus bertambah banyak. Pada
saluran pernafasan kecil, terjadi radang ringan hingga penyempitan
akibat bertambahnya sel dan penumpukan lendir. Pada jaringan paru
terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan alveoli. Akibat
perubahan anatomi saluran nafas, pada perokok timbul perubahan fungsi
paru dan segala macam perubahan klinisnya. Hal ini menjadi dasar utama
terjadinya penyakit obstruksi menahun. Kebiasaan merokok akan
mempercepat penurunan faal paru. Penurunan volume ekspirasi paksa
pertahun adalah 28,7 mL untuk non perokok, 38,4 mL untuk bekas
perokok dan 41,7 mL untuk perokok aktif (Depkes RI, 2003). Inhalasi
asap tembakau baik primer maupun sekunder dapat menyebabkan
penyakit saluran pernafasan pada orang dewasa. Asap rokok mengiritasi
paru-paru dan masuk ke dalam aliran darah. Merokok lebih merendahkan
kapasitas vital paru dibandingkan beberapa bahaya kesehatan akibat kerja
(Suyono, 1995).

2.1.5 Macam-macam Gangguan Pernafasan


Penyakit paru muncul akibat gangguan ventilasi yang dapat diklasifikasikan
menjadi dua tipe yaitu tipe restriktif dan obstruktif. Penyakit paru restriktif
merupakan penyakit paru yang insidennya lebih jarang dan hanya dalam jumlah
15

terbatas yang bersifat reversibel. Penyakit paru restriktif juga dapat diterjadi
secara bersama - sama dengan penyakit paru obstruktif. Penyakit paru restriktif
ditandai dengan gangguan pada parenkim, pleura, dinding thorax atau
neuromuskular dan menyebabkan menurunnya Total Lung Capacity (TLC).
Sedangkan pada penyakit paru obstruktif contohnya asma dan COPD (Chronic
Obstructif Pulmonary Disease), terjadi peningkatan TLC. Penyakit paru restriktif
yang disebabkan oleh karena parenkim paru yaitu berkurangnya transfer oksigen,
yang ditandai dengan terjadinya desaturasi setelah latihan (Ermanata, 2016).
Penyakit paru restriktif merupakan penyakit paru yang ditandai dengan
gangguan pada parenkim, pleura, dinding thorax atau neuromuskular dan
penurunan Total Lung Capacity (TLC). Sedangkan pada penyakit paru obstruktif
contohnya asma dan COPD (Chronic Obstructif Pulmonary Disease), terjadi
peningkatan TLC. Gangguan yang menyebabkan reduksi atau restriksi dari
volume paru berdasarkan struktur anatomi terbagi dua yaitu : penyakit paru
intrinsik dan penyakit paru ekstrinsik serta IPF. Terapi pada penyakit paru
restriktif sesuai dengan etiologi masing-masing (Ermanata, 2016).

2.2 VITAMIN D
2.2.1 Vitamin D
Vitamin D merupakan vitamin yang larut dalam lemak, yang artinya vitamin
D dapat disimpan dan diambil kembali dari lemak tubuh. Vitamin D adalah
vitamin berbahan dasar steroid (Hermawan, 2016).
Vitamin D termasuk dalam grup sterol. Mula-mula hanya terdapat satu jenis
vitamin D, tetapi ternyata terdapat beberapa ikatan organik yang mempunyai
kegiatan vitamin D. Berbagai jenis vitamin D dihasilkan dari penyinaran jenis
kolesterol dengan sinar ultraviolet (Syauqy, 2015).

2.2.2 Jenis vitamin D


Vitamin D dalam bentuk aktif dijumpai pada bahan makanan seperti hati,
minyak ikan, kuning telur, susu dan mentega. Bentuk inaktif vitamin D2 terdapat
16

pada beberapa jenis tanaman, sedangkan bentuk inaktif vitamin D3 terdapat pada
hewan.
Baik vitamin D2 (ergokalsiferol, ergosterol aktif atau viosterol) maupun vitamin
D3 (kolekalsiferol atau 7-dehidrokolesterol aktif) berupa kristal putih yang tidak
berbau. Vitamin D2 melebur pada 116˚C, sedangkan vitamin D melebur pada
83˚C, termostabil, terutama dalam suasana asam dan rusak oleh pengaruh asam
nitrat berasap.
Ergostreol yang terdapat pada tanaman ergot atau pada ragi, telah diteliti
sebagai provitamin D2. Apabila provitamin ini masuk kedalam tubuh manusia
atau hewan, zat tersebut akan dibawa oleh darah ke kulit. Akibat pengaruh sinar
matahari, melalui reaksi biokimiawi yang rumit, ergosterol akan di ubah menjadi
vitamin D2 dan dibawa ke berbagai organ tubuh untuk di manfaatkan.

2.2.3 Sumber vitamin D


Sumber utama vitamin D adalah paparan sinar matahari, asupan bahan
makanan, suplementasi, asupan makanan fortifikasi. Selain makanan berasal dari
ikan seperti minyak hati ikan yang mengandung banyak vitamin D, termasuk
minyak hati ikan cod yang digunakan sebagai salah satu perlakuan penyembuhan
penyakit rickets. Paling banyak vitamin D dari sumber ikan adalah ikan salmon,
mackerel, dan tuna. Vitamin D2 diproduksi melalui iradiasi sinar ultra violet
egosterol dari jamur, dan vitamin D3 melalui irradiasi 7-dehidrokolesterol dari
lanolin. Kedua bahan tersebut digunakan untuk membuat suplemen vitamin D
(Aji, 2016).
Makanan yang kaya akan vitamin D seperti susu, telur, ikan, udang, keju,
minyak ikan, bayam, kedelai. Meskipun sumber utama bagi tubuh kita paparan
sinar matahari namun demikian kita tetap memerlukan makanan, karena tanpa ada
bahan makanan yang mengandung provitamin D maka proses pembentukan
vitamin D oleh bantuan sinar matahari tidak akan terjadi (Hermawan, 2016).
Dalam makanan, aktivitas vitamin D berhubungan dengan beberapa analog
sterol larut lemak termasuk kolekalsiferol (vitamin D3) yang bersumber dari
pangan hewani dan ergokalsiferol (vitamin D2) yang diproduksi secara sintetis.
17

Kolekalsiferol dibentuk dalam kulit manusia yang terkena sinar matahari,


sedangkan ergokalsiferol diperoleh dari iradiasi komersial fitosterol (sterol yang
berasal dari tumbuh-tumbuhan) dengan sinar ultraviolet (UV). Kedua jenis
vitamin D ini dapat digunakan untuk fortifikasi pangan (Damodaran et al., 2008).

2.2.4 Fungsi Vitamin D


Fungsi utama vitamin D adalah membantu pembentukan dan pemeliharaan
tulang, hormon-hormon paratiroid dan kalsitonin, protein kolagen, serta mineral-
mineral kalsium, fosfor, magnesium. Fungsi khusus vitamin D dalam hal ini
adalah membantu pengerasan tulang dengan cara mengatur agar kalsium dan
fosfor tersedia di dalam darah untuk diendapkan pada proses pengerasan tulang
(Almatsier, 2010).
Menurut Pramanta et al. (2011) fungsi vitamin D adalah meningkatkan
reabsorbsi kalsium dalam usus, menurunkan ekskresi kalsium di ginjal, dan
meregulasi perkembangan, fungsi, dan diferensiasi beberapa sel tubuh.

2.2.5 Metabolisme Vitamin D


Vitamin D dibentuk melalui proses metabolisme yang kompleks. Vitamin
tersebut berasal dari provitamin 7-dehydrocholesterol di permukaan kulit manusia
oleh sinar matahari diubah menjadi vitamin D3 (cholecalcipherol) dan dari
konsumsi makanan sehari hari berupa vitamin D2 (ergocalcipherol). Bentuk aktif
vitamin D akan berikatan dengan protein sebelum diedarkan ke organ tubuh lain.
Dalam sel tubuh, reseptor nuklear yang spesifik akan mengurai ikatan tersebut
dan melepaskan protein ke dalam darah sedangkan vitamin D akan tetap berada
di dalam sel. Organ yang memiliki reseptor nuklear spesifik di antaranya adalah
tulang, kulit, otat lurik, kardiomiosit, sel endotelial vaskular, monosit, dan
limfosit T dan B yang aktif (Pramanta et al., 2011).
Vitamin D didalam tubuh tidak langsung dalam keadaan aktif sehingga
vitamin D tersebut harus dimodifikasi secara kimia (mengalami hidroksilasi)
sebanyak dua kali. Vitamin D dibentuk lebih sedikit dalam kulit yang berwarna
gelap dibandingkan kulit yang berwarna putih karena melanin dalam kulit menyer
18

sinar UV. Usia dewasa juga membentuk lebih sedikit vitamin D setelah terpapar
dengan sinar UV, karena kulit mereka mengandung 7-dehidrokolesterol yang
lebih sedikit. Vitamin D yang dikonsumsi kemudian akan dicerna, diserap, dan
diangkut dari usus halus bagian proksimal dalam kilomikron. Seperti lemak
lainnya, penyerapan dapat terganggu pada penyakit kronis dalam sistem empedu
atau pada penyakit usus dengan malabsorbsi. Ekskresi vitamin D ke dalam getah
empedu, terutama sebagai metabolit yang lebih polar (Truswell, 2014).

2.2.6 Defisiensi Vitamin D


Vitamin D adalah vitamin larut lemak yang dibutuhkan untuk berbagai
proses metabolisme di dalam tubuh yakni kalsium dan tulang. Defisiensi vitamin
D akan berpengaruh pada homeostasis. Defisiensi vitamin D akan meningkatkan
hormon paratiroid (parathyroid hormone, PTH) sehingga terjadi resorpsi tulang
yang selanjutnya akan meningkatkan risiko terjadinya fraktur. Defisiensi vitamin
D yang berat akan menyebabkan gangguan mineralisasi tulang sehingga terjadi
penyakit rickets pada anak-anak dan osteomalasia pada orang usia dewasa. Selain
itu, defisiensi vitamin D juga akan menurunkan massa otot dan meningkatkan
miopati yang mengakibatkan terjadinya instabilitas postural. Belakangan ini
diketahui pula bahwa vitamin D berhubungan dengan berbagai penyakit seperti
penyakit asma, diabetes melitus, hipertensi, artritis reumatoid, keganasan kolon,
payudara, prostat, dan sebagainya (Setiati, 2008).

2.2.7 Faktor Penyebab Defisiensi Vitamin D


Defisiensi vitamin D dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor
penyebab defisiensi vitamin D antara lain penurunan pembuatan vitamin D,
asupan makanan, cadangan makanan, pemberian ASI khusus, malabsorbsi dan
pembuatan atau peningkatan degradasi 25 (OH)D. Dari kelima faktor tersebut
yang paling berpengaruh terhadap defisiensi vitamin D adalah penurunan
pembuatan vitamin D. Penyebab penurunan pembuatan vitamin D dapat
dibedakan menjadi beberapa hal, antara lain : warna kulit yang gelap, penggunaan
19

tabir surya, cara berpakaian yang tertutup, dan berlindung ditempat teduh
(Pusparini, 2014).

2.2.8 Faktor Risiko Defisiensi Vitamin D


Faktor risiko terjadinya defisiensi vitamin D adalah:
a. Faktor lingkungan
b. Faktor pasien
Faktor lingkungan antara lain:
a. Rendahnya konsumsi makanan yang mengandung vitamin D
b. Kurangnya terpapar sinar matahari
c. Musim
d. Pola makan yang buruk
e. Usia (Malaeb et al., 2016)
Faktor pasien antara lain:
a.Kurangnya pengetahuan tentang vitamin D
b.Sikap terhadap paparan sinar matahari (Felts et al., 2010)

2.2.9Hipervitaminois D
Kelebihan vitamin D dari jumlah yang dibutuhkan disimpan dalam hati.
Namun penyimpanan ini ada batasnya. Hipervitaminois D dapat terjadi sebagai
akibat pemakaian vitamin D yang berlebihan, yang dalam jangka waktu lama
dapat menyebabkan kenaikan kadar kalsium dalam peredaran darah
(hiperkalsemia) dan pengendapan kalsium di tubuli ginjal atau dibawah kulit.
Kolekalsiferol yang dibentuk dalam bawah kulit dibawa oleh darah ke hati, akibat
pengaruh enzim 25-hidroksilase spesifik akan mengalami oksidasi menjadi 25-
hidroksikolekisferol. Zat yang terbentuk ini dibawa ke ijal dan dalam tubulus
ginjal oleh pengaruh enzim α-hidroksilase akan mengalami oksidasi menjadi
1,23-dihidroksikolekalsiferol.
20

2.3 PENGETAHUAN DAN SIKAP TERKAIT VITAMIN D


2.3.1 Definisi Pengetahuan
Pengetahuan didapatkan seseorang melalui pengamatan dan hasil belajar
terhadap sesuatu. Dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:
a. Pengalaman
b. Tingkat pendidikan
c. Keyakinan
d. Fasilitas
e. Penghasilan
f. Sosial Budaya (Informasi dan observasi terhadap kejadian disekitar)
(Notoatmodjo, 2007).
Pengetahuan mempunyai tingkatan sebagai berikut (Notoatmodjo, 2007):
a. Tahu (Know)
Kemampuan untuk mengingat suatu materi yang telah dipelajari, dari
seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang diterima. Cara untuk
mengukur bahwa seseorang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain
dengan menyebutkan, menguraikan, mengidentifikasikan dan
mengatakan.
b. Memahami (Comprehension)
Kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang obyek yang
diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
c. Aplikasi (Application)
Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada
situasi atau kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan
sebagai pengguna hukum-hukum, rumus, metode, prinsip-prinsip dan
sebagainya.
d. Analisis (Analysis)
Kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek dalam suatu
komponen-komponen, tetapi masih dalam struktur organisasi dan masih
ada kaitannya satu sama lain.
21

e. Sintesis (Synthesis)
Kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian dalam bentuk
keseluruhan yang baru, dengan kata lain sintesis adalah suatu
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang sudah
ada.
f. Evaluasi (Evaluation)
Kemampuan untuk melakukan penelitian terhadap suatu materi atau
obyek berdasarkan suatu cerita yang ditentukan sendiri atau
menggunakan kriteria yang sudah ada.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau
responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ukur dapat disesuaikan
dengan tingkatan di atas.

2.3.2 Pengetahuan Terkait Vitamin D


Hubungan pengetahuan terkait vitamin D dipengaruhi oleh banyak hal.
Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan yang dimiliki seseorang dipengaruhi
oleh faktor-faktor sebagai berikut :
a. Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh dalam memberi respon
yang datang dari luar. Orang yang berpendidikan akan berfikir sejauh
mana keuntungan yang akan mungkin mereka peroleh dari gagasan
tersebut.
b. Paparan Media Massa
Melalui berbagai media baik cetak maupun elektronika berbagai
informasi dapat diterima oleh masyarakat, sehingga seseorang yang lebih
sering terpapan media masa (televisi, radio, majalah, pamflet) akan
memperoleh informasi yang lebih hanya dibandingkan dengan orang
yang tidak pernah terpapar informasi media masa.
22

c. Ekonomi
Dalam memenuhi kebutuhan primer maupun sekunder, keluarga dengan
status ekonomi baik lebih mudah tercukupi dibandingkan keluarga
dengan status ekonomi rendah. Hal ini akan mempengaruhi kebutuhan
akan informasi yang termasuk kebutuhan sekunder.
d. Hubungan Sosial
Manusia adalah makhluk sosial, dimana dalam kehidupan saling
berinteraksi antara satu dengan yang lain. Individu yang dapat
berinteraksi secara batinnya akan lebih terpapar informasi. Sementara
faktor hubungan sosial juga mempengaruhi kemampuan individu sebagai
komunikasi untuk menerima pesan menurut model komunikasi media.
e. Pengalaman
Pengalaman seorang individu tentang berbagai hal bisa diperoleh dan
lingkungan kehidupan dalam proses perkembangannya.

2.3.3 Definisi Sikap


Sikap (attitude) merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari
seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek. Sikap secara nyata menunjukkan
kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Sikap merupakan kesiapan atau
kesediaan untuk bertindak. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas.
Sikap terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu (Notoatmodjo, 2007):
a. Menerima (receiving)
Subyek mau memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek).
b. Merespon (responding)
Subyek bersedia memberikan jawaban apabila ditanya. Mengerjakan dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
Dengan berusaha menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang
diberikan, terlepas benar atau salah, menandakan subyek menerima
stimulus yang diberikan.
23

c. Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu
masalah merupakan indikasi tingkatan sikap yang ketiga.
d. Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilih dengan segala
resikonya merupakan tingkatan sikap yang paling tinggi.
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung.
Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden
terhadap suatu obyek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan mengajukan
pernyataan hipotesis kemudian menanyakan pendapat responden dengan
membatasi pada pilihan, misal: sangat setuju, setuju, dan tidak setuju
(Notoatmodjo, 2007).

2.3.4 Sikap Terkait Vitamin D


Dalam studi saat ini, suhu panas yang konstan dinegara adalah faktor utama yang
mempengaruhi sikap dan perilaku peserta studi terhadap paparan sinar matahari,
karena banyak peserta melaporkan bahwa mereka menghindari panas yang kuat,
dan itu dapat menyebabkan mereka bebas masalah seperti reaksi alergi dan pusing
(Aljefree et al, 2017).

2.3.5 Hubungan Pengatahuan dan Sikap Terhadap Perilaku


Beberapa teori telah dicoba untuk mengungkap determinan perilaku dari
analisis faktor-faktor yang memengaruhi perilaku yang berhubungan dengan
kesehatan, salah satunya adalah teori Lawrence Green (1980). Green mencoba
menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau
masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor perilaku (behavior
causes) dan faktor di luar perilaku (nonbehavior causes) (Mubarak, 2011).
Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari tiga faktor.
(Mubarak, 2011) yaitu :
1. Faktor predisposisi (predisposing factors) terwujud dalam pengetahuan,
sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya;
24

2. Faktor-faktor pendukung (enabling factors) terwujud dalam lingkungan


fisik (tersedia atau tidak tersedianya fasilitas atau sarana kesehatan),
misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, WC, dan lain
sebagainya;
3. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors) terwujud dalam sikap dan
perilaku petugas kesehatan atau petugas lain yang merupakan kelompok
referensi dari perilaku masyarakat.
Dalam teori Green tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku seseorang
atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap
kepercayaan, tradisi, dan sebagainya, dari orang atau masyarakat yang
bersangkutan. Ketersediaan fasilitas, sikap, dan perilaku para petugas kesehatan
terhadap kesehatan juga akan mendukung atau memperkuat terbentuk perilaku.
Contoh seseorang tidak mau mengimunisasi anaknya ke posyandu karena
orang tersebut tidak atau belum mengetahui manfaat imunisasi bagi anaknya
(predisposing factors), atau mungkin juga karena karena rumahnya jauh dengan
posyandu atau puskesmas (enabling factors). Penyebab lain adalah karena para
petugas kesehatan atau tokoh masyarakat disekitarnya tidak pernah
mengimunisasikan anak mereka (reinforcing factors). Dengan demikian, perilaku
manusia secara operasional dapat dikelompokkan menjadi tiga macam domain,
yaitu perilaku dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan nyata atau
perbuatan (Mubarak, 2011).

2.3.6 Teori HBM


Health Belief model (HBM) awalnya dikembangkan oleh Rosenstock
(1966), selanjutnya dikembangkan oleh Becker pada tahun 1970-1980 dalam
memperkirakan perilaku pencegahan kesehatan dan juga respon perilaku terhadap
pengobatan. Namun, selama beberapa tahun terakhir Health Belief model (HBM)
telah digunakan untuk memperkirakan berbagai perilaku yang berhubungan
dengan kesehatan (Jane Ogden, 2004).
25

Health Belief model (HBM) memperkirakan bahwa tingkat laku adalah hasil
dari serangkaian dasar, yang telah didefinisikan ulang selama bertahun-tahun.
Keyakinan tersebut adalah persepsi individu dari:
1. Kerentanan terhadap penyakit
2. Tingkat keparahan penyakit
3. Biaya yang diperlukan dalam berperilaku
4. Manfaat yang terlibat dalam berperilaku
5. Tanda/ isyarat untuk bertindak, bisa internal maupun eksternal.
Health Belief model (HBM) menunjukkan bahwa keyakinan dasar harus
digunakan untuk memperkirakan kemungkinan perilaku yang akan terjadi (Jane
Ogden, 2004).
Ajzen mengemukakan Theory of Reasoned Action (TRA) dan Theory of
Planned Behavior (TPB). Dalam TRA ini, Ajzen menyatakan bahwa manusia
berperilaku dengan cara yang sadar dan mempertimbangkan segala informasi
yang tersedia. Perilaku dipengaruhi oleh dua hal penentu dasar, yang pertama
berhubungan dengan sikap (attitude towards behavior) dan yang lain
berhubungan dengan pengaruh sosial yaitu norma subyektif (subjective norms).
Theory of Planned Behavior (TPB) merupakan pengembangan lebih lanjut dari
Theory of Reasoned Action (TRA). Dilakukan atau tidak dilakukannya suatu
perilaku tidak hanya ditentukan oleh sikap dan norma subjektif semata, tetapi juga
persepsi individu terhadap kontrol yang dilakukannnya yang bersumber pada
keyakinannya terhadap kontrol tersebut. Secara lebih lengkap Ajzen
menambahkan faktor latar belakang individu ke dalam Theory of Planned
Behavior (TPB), sehingga secara skematik dapat dilihat pada gambar :
26

Gambar 2.5 : Skematik menurut Ajzen mengenai TPB

2.3.7 Penelitian Terdahulu Mengenai Sikap Pengetahuan Vitamin D


Tabel 2.3 Penelitian Yang Terkait
Tahun
Nama
Penelitia Tujuan Penelitian Hasil Penelitian
Peneliti
n
Kung et al. 2006 Untuk menilai Survei menunjukkan
pengetahuan orang-orang ketidaktahuan dan
di Hong Kong tentang kebingungan yang besar
vitamin D, dan sikap dan tentang peran sinar
perilaku terhadap matahari dalam produksi
paparan sinar matahari vitamin D, dan fungsi dan
sumber vitamin D. Sikap
dan perilaku terhadap
sinar matahari sebagian
besar negatif dan banyak
yang mengambil
langkah-langkah untuk
menghindari sinar
matahari, terutama di
antara yang lebih muda
27

(paruh baya) wanita yang


memiliki kesadaran yang
baik terhadap vitamin D.
Aljefree et 2007  untuk melaporkan endahnya tingkat
al. prevalensi defisiensi pengetahuan tentang
vitamin D pada subjek vitamin D dan rendahnya
dengan dan tanpa PJK, konsumsi suplemen
membandingkan tingkat vitamin, termasuk
pengetahuan dan sikap vitamin D, kalsium,
tentang vitamin D antara multivitamin, dan
kedua kelompok, suplemen kalsium dengan
menyelidiki dan vitamin D, mungkin telah
membandingkan vitamin berkontribusi terhadap
D- perilaku terkait di prevalensi kekurangan
kedua kelompok, dan vitamin D yang lebih
untuk memeriksa tinggi di antara kasus-
asosiasi status vitamin D kasus PJK dibandingkan
dengan pengetahuan, di antara
sikap, dan perilaku kontrol. Penelitian lebih
tentang vitamin D.  lanjut menggunakan
pendekatan kualitatif
sangat penting untuk
mengeksplorasi alasan
yang mendasari untuk
pengetahuan rendah
tentang vitamin D dan
perilaku yang berkaitan
dengan vitamin D
termasuk asupan
suplementasi vitamin
yang dapat berkontribusi
28

terhadap tingginya beban


kekurangan vitamin D di
negara ini.
Hasil menunjukkan
beberapa pemahaman
terhadap wawasan
vitamin D di anatara
orang-orang Saudi.
Tetapi mereka memiliki
pengetahuan manfaat
vitamin D yang tidak
untuk mengetahui memadai, efeknya pada
Pengetahuan, dan sistem kardiovaskular
praktek kekurangan serta mereka memiliki
Wajid 2016
vitamin D di antara praktik buruk paparan
orang yang tinggal di sinar matahari. Hasilnya
Riyadh, Arab Saudi. menekankan pentingnya
membangun program
pendidikan berkelanjutan
untuk membantu
masyarakat membentuk
kesadaran dan
pengetahuan tentang
pentingnya vitamin D.

Untuk menilai
Kurangnya konsistensi
pengetahuan, perilaku
antara pengetahuan dan
dan sikap mengenai
Arora et al. 2015 sikap dalam terpapar
vitamin D terhadap
sinar matahari, terutama
paparan sinar matahari di
pada anak perempuan.
kalangan siswa India
29

2.4. AKTIVITAS FISIK


2.4.1 Definisi Aktivitas Fisik
WHO aktifitas fisik (physical activity) merupakan gerakan tubuh yang
dihasilkan otot rangka yang memerlukan pengeluaran energi. Aktifitas fisik
melibatkan proses biokimia dan biomekanik.

2.4.2 Macam-macam Aktifitas Fisik


Aktifitas fisik dapat dikelompokkan berdasarkan tipe dan intensitasnya.
Seringkali orang menukarkan istilah aktifitas fisik dengan latihan olahraga atau
exercise. Secara definisi latihan olahraga (exercise) merupakan bagian dari
aktifitas fisik atau dapat dikatakan latihan olahraga (exercise) adalah aktifitas
fisik yang terencana, terstruktur, berulang, dan bertujuan untuk memelihara
kebugaran fisik (Haskell & Kiernan 2000). Jumlah energi yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan suatu aktifitas dapat diukur dengan kilojoule (KJ) atau kilokalori
(kkal). Satu kalori (kal) setara dengan 4,186 joule atau 1 kilokalori (Kkal) setara
dengan 1.000 kalori atau setara dengan 4.186 kalori.

2.4.3 Pengaruh Aktifitas Fisik Terhadap Vitamin D


Aktivitas fisik dan asupan zat gizi berupa protein, vitamin A, vitamin C,
vitamin D, kalsium, zat besi, magnesium, dan fosfor berpengaruh terhadap
kepadatan tulang secara langsung. Aktivitas fisik dapat mengurangi risiko
osteoporosis dan mencegah terjadinya penurunan kepadatan tulang. Penelitian
kasus control menunjukkan bahwa subjek dengan aktivitas fisik rendah memiliki
risiko 4,58 kali lebih besar dibandingkan dengan subjek yang memiliki aktivitas
fisik tinggi.
Asupan zat gizi seperti vitamin A, vitamin C, vitamin D, kalsium,
magnesium, dan fosfor juga dibutuhkan untuk proses mineralisasi tulang sehingga
dapat mencegah terjadinya penurunan kepadatan tulang. Berbeda dengan zat gizi
lain, asupan protein yang berlebih diduga menghambat pembentukan tulang. hasil
30

penelitian menyatakan bahwa tingginya konsumsi asupan protein menyebabkan


hiperkalsiuria yang merupakan hasil dari tinggi resorpsi tulang sehingga dapat
meningkatkan risiko osteopenia dan osteoporosis.
Aktivitas fisik intensitas sedang meningkatkan kadar serum 1,25(OH)2D3
level, menurunkan PTH dan menurunkan eksresi kalsium dalam urin, sedikit
meningkatkan ion kalsium dalam plasma, meningkatkan!cpof!njofsbm! efotjuz
(BMD), kekuatan tulang, dan rerata pembentukan tulang. Keadaan imobilisasi
menurunkan absorpsi kalsium di duodenum, ekspresi mRNA dari TRPV5,
TRPV6, dan Calbindin-D9K sehingga menurunkan ekspresi mRNA1-hydroxylase
ginjal, namun meningkatkan ekspresi mRNA dari 24-hydroxylase.

2.4.4 Cara Pengukuran Aktifitas Fisik


Pengkajian pola aktivitas fisik dilakukan dengan cara mengukur aktivitas
fisik pada populasi. Pengukuran aktivitas fisik terdiri dari dua metode yaitu
metode objektif dan subjektif (Gibney et al., 2009). Metode objektif terdiri dari
penggunaan doubly labeled water (DLW), kalorimetri indirek, alat frekuensi
jantung dan monitor sensoring (akselerometer dan pedometer). Metode subjektif,
antara lain recall dan kuesioner (Boon et al., 2010).
Metode objektif dapat mengukur aktivitas fisik dengan tingkat validitas
yang baik. Namun untuk penelitian dengan populasi yang besar, metode objektif
jarang digunakan karena membutuhkan biaya yang besar. Sehingga banyak
peneliti yang menggunakan kuesioner untuk mengkaji pola aktivitas fisik pada
populasi yang besar.
Kuesioner adalah metode proxy atau pelaporan sendiri yang sudah sering
digunakan untuk meneliti tingkat aktivitas fisik. Kuesioner yang paling sering
digunakan adalah International Physical Activity Questionnairre (IPAQ) (Hastuti,
2013; Hagstromer et al., 2006 dalam Boon et al., 2010). IPAQ telah divalidasi di
12 negara dan IPAQ merupakan instrumen yang tepat untuk studi prevalensi
aktivitas fisik tingkat nasional dan memiliki tingkat reliabilitas dan validitas yang
baik (Craig et al., 2003 dalam Hastuti, 2013). Namun belum ada metode untuk
31

mengukur aktivitas fisik pada remaja dan anak-anak yang sudah diterima secara
internasional (Arvidsson et al., 2005).

2.4.5 Penelitian Terdahulu Mengenai Aktifitas Fisik


Tabel 2.3 Penelitian Yang Terkait
Nama Tahun
Tujuan Penelitian Hasil Penelitian
Peneliti Penelitian
Tingkat aktivitas fisik
sedang-kuat yang lebih
tinggi dikaitkan dengan
peningkatan 1,25 (OH) 2 D
dalam populasi penelitian
UDCA, meskipun hubungan
itu paling mencolok bagi
wanita. Selain itu, individu
yang aktif secara fisik
memiliki kemungkinan
Untuk mengevaluasi
status vitamin D yang lebih
hubungan antara aktivitas
tinggi secara klinis, baik
Hibler et al. 2016 fisik, perilaku menentap,
pada batas 20 ng / ml dan 30
dan konsentrasi metabolit
ng / ml. Hasil ini
vitamin D yang beredar. menunjukkan bahwa
aktivitas fisik dapat
mempengaruhi konsentrasi
metabolit vitamin D yang
bersirkulasi dengan cara
spesifik jenis kelamin. Lebih
lanjut, hubungan ini dapat
terlepas dari masing-masing
metabolit atau tipe aktivitas
vitamin D. 
Al-Othman 2012 untuk menentukan apakah Kekurangan vitamin D
et al. prevalensi defisiensi vitamin adalah umum di antara anak-
D terkait dengan tingkat anak Saudi dan remaja, dan
32

dipengaruhi oleh paparan


sinar matahari dan aktivitas
fisik. Promosi gaya hidup
luar ruang yang aktif di
antara anak-anak Saudi di
aktivitas fisik dan paparan rumah dan sekolah dapat
sinar matahari di antara menangkal epidemi
anak-anak Saudi dan remaja kekurangan vitamin D
yang tampaknya sehat, pada populasi rentan
sedikit populasi yang ini. Suplemen vitamin D
diteliti. disarankan di semua
kelompok, termasuk mereka
dengan paparan sinar
matahari dan aktivitas fisik
tertinggi.

2.5 PERAN APOTEKER DALAM PELAYANAN KEFARMASIAN


Pelayanan apoteker dalam bidang kefarmasian di atur dalam PP no 51
Tahun 2009 Tentang pekerjaan kefarmasian. Kefarmasian sebagai salah satu
tenaga kesehatan pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat memiliki
peranan penting karena terkait langsung dengan pelayanan, khususnya pelayanan
kefarmasian.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
kefarmasian. Menyebabkan terjadinya pergeseran orientasi pelayanan kefarmasian
dari pengelolaan obat sebagai komoditi kepada pelayanan yang komprehensif
(pharmaceutical care) dalam pengertian, tidak saja sebagai pengelola obat namun
dalam pengertian yang lebih luas mencakup pelaksanaan pemberian informasi
untuk mendukung penggunaan obat yang benar dan rasional. Monitoring
penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhir serta kemungkinan terjadinya
kesalahan pengobatan (medication error). Berikut adalah penjelasan peran
Apoteker menurut PP no 51 Tahun 2009 :
33

Pasal 1
Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung
jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.
Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah
mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.
Pasal 3
Pekerjaan Kefarmasian dilakukan berdasarkan pada nilai ilmiah, keadilan,
kemanusiaan, keseimbangan, dan perlindungan serta keselamatan pasien
atau masyarakat yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi yang memenuhi
standar dan persyaratan keamanan, mutu, dan kemanfaatan.
Pasal 5
Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian meliputi: a. Pekerjaan Kefarmasian
dalam Pengadaan Sediaan Farmasi; b. Pekerjaan Kefarmasian dalam
Produksi Sediaan Farmasi; c. Pekerjaan Kefarmasian dalam Distribusi atau
Penyaluran Sediaan Farmasi; dan d. Pekerjaan Kefarmasian dalam
Pelayanan Sediaan Farmasi
Pasal 19
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian berupa : a. Apotek; b. Instalasi farmasi
rumah sakit; c. Puskesmas; d. Klinik; e. Toko Obat; atau f. Praktek bersama.
Pasal 21
1. Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada fasilitas pelayanan
kefarmasian, apoteker harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian.
2. Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan
oleh apoteker.
3. Dalam hal di daerah terpencil tidak terdapat apoteker, menteri dapat
menempatkan tenaga teknis kefarmasian yang telah memiliki STRTTK
pada sarana pelayanan kesehatan dasar yang diberi wewenang untuk
meracik dan menyerahkan obat kepada pasien.
34

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan kefarmasian


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menurut jenis fasilitas felayanan
kefarmasian ditetapkan oleh menteri.
5. Tata cara penempatan dan kewenangan tenaga teknis kefarmasian di
daerah terpencil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Menteri.

Anda mungkin juga menyukai