TINJAUAN PUSTAKA
6
7
b. Faring
Faring merupakan bagian kedua dan terakhir dari saluran pernafasan
bagian atas. Faring terbagi atas tiga bagian yaitu nasofaring, orofaring, serta
laringofaring.
c. Trakea
Trakea berarti pipa udara. Trakea dapat juga dijuluki sebagai
eskalatormuko-siliaris karena silia pada trakea dapat mendorong benda
asing yang terikat zat mucus kearah faring yang kemudian dapat ditelan atau
dikeluarkan. Silia dapat dirusak oleh bahan-bahan beracun yang terkandung
dalam asap rokok.
d. Bronki atau bronkioli
Struktur bronki primer masih serupa dengan struktur trakea. Akan tetapi
mulai bronki sekunder, perubahan struktur mulai terjadi. Pada bagian akhir
dari bronki, cincin tulang rawan yang utuh berubah menjadi lempengan-
lempengan. Pada bronkioli terminalis struktur tulang rawan menghilang dan
saluran udara pada daerah ini hanya dilingkari oleh otot polos. Struktur
semacam ini menyebabkan bronkioli lebih rentan terhadap penyimpatan
yang dapat disebabkan oleh beberapa faktor.
Bronkioli mempunyai silia dan zat mucus sehingga berfungsi sebagai
pembersih udara. Bahan-bahan debris di alveoli ditangkap oleh sel
makrofag yang terdapat pada alveoli, kemudian dibawa oleh lapisan mukosa
dan selanjutnya dibuang.
2. Zona Respiratorik
Zona respiratorik terdiri dari alveoli, dan struktur yang berhubungan.
Pertukaran gas antara udara dan darah terjadi dalam alveoli. Selain struktur
diatas terdapat pula struktur yang lain, seperti bulu-bulu pada pintu masuk
yang penting untuk menyaring partikel-partikel yang masuk. Sistem
pernafasan memiliki sistem pertahanan tersendiri dalam melawan setiap
bahan yang masuk yang dapat merusak (Alsagaff, 2005).
8
2.1.3.1 Spirometri
Spirometri adalah metode menilai fungsi paru-paru dengan mengukur volume
udara yang dapat dikeluarkan pasien dari paru-paru setelah inspirasi maksimal.
Indeks yang berasal dari manuver paksa ini telah menjadi cara yang paling akurat
dan dapat diandalkan untuk mendukung diagnosis gangguan pernafasan. Ketika
nilai-nilai ini dibandingkan dengan prediksi nilai normal yang ditentukan
berdasarkan usia, tinggi badan, jenis kelamin, dan etnis, ukuran keparahan
obstruksi jalan nafas dapat ditentukan. Pada nilai-nilai inilah pedoman gangguan
pernafasan di seluruh dunia mendasarkan penilaian tingkat penyakit ringan,
sedang, dan berat (GOLD, 2010).
11
detik (VEP1). Namun alat ini memiliki kekurangan, yaitu tidak praktis dan mahal.
Untuk mengatasi hal tersebut maka dapat digunakan alat lain, yaitu peak flow
meter. Alat ini berbentuk tabung kecil, mudah dibawa, praktis, dan disertai
indikator yang mempunyai satuan L/min. Alat ini berfungsi untuk mengukur arus
puncak ekspirasi (APE) dan nilai APE ini berkorelasi dengan VEP1.
Peak flow meter tidak hanya dapat digunakan di rumah sakit maupun di
klinik saja, tapi dapat juga digunakan di rumah ataupun di kantor untuk membantu
mendiagnosis asma, mendeteksi PPOK, dan evaluasi terhadap respon terapi serta
dapat memberikan peringatan lebih dini terhadap pasien jika terjadi perubahan
pada fungsi parunya.
Cara penggunaan peak flow meter mengikuti langkah-langkah sebagai
berikut:
1. Perkenalkan diri, menjelaskan prosedur yang akan dilakukan.
2. Persiapkan alat, pasang mouth piece ke ujung peak flow meter (jika
diperlukan).
3. Pastikan marker pada posisi 0 (terendah).
4. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan berdiri atau duduk dengan
punggung tegak.
5. Minta pasien untuk bernapas normal sebanyak 3x (jika diperlukan).
6. Pegang peak flow meter dengan posisi horisontal tanpa menyentuh
marker (mengganggu gerakan marker).
7. Pasien menghirup napas sedalam mungkin, masukkan mouth piece
kemulut dengan bibir menutup rapat mengelilingi mouth piece, dan
buang napas sekuat dan secepat mungkin.
8. Marker bergerak dan menunjukkan angka pada skala saat membuang
napas, catat hasilnya.
9. Kembalikan marker pada posisi 0.
10. Ulangi langkah 6-9 sebanyak 3x, catat nilai tertinggi. Bandingkan nilai
tertinggi pasien dengan nilai prediksi.
13
aspek dari ilmu gizi pada umumnya, maka gizi kerja ditujukan untuk
kesehatan dan daya kerja tenaga kerja yang setinggi-tingginya. Kesehatan
dan aktifitas sehari-hari sangat erat hubungannya dengan tingkat gizi
seseorang (Suma, 1996). Tanpa makan dan minum yang cukup
kebutuhan energi untuk beraktifitas akan diambil dari cadangan yang
terdapat dalam cadangan sel tubuh. Menurut Depkes RI (1990)
kekurangan makanan yang terus-menerus akan menyebabkan susunan
fisiologi terganggu.
5. Kebiasaan Merokok
Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran
pernafasan dan jaringan paru-paru. Pada saluran nafas besar, sel mukosa
24 membesar (hipertrofi) dan kelenjar mukus bertambah banyak. Pada
saluran pernafasan kecil, terjadi radang ringan hingga penyempitan
akibat bertambahnya sel dan penumpukan lendir. Pada jaringan paru
terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan alveoli. Akibat
perubahan anatomi saluran nafas, pada perokok timbul perubahan fungsi
paru dan segala macam perubahan klinisnya. Hal ini menjadi dasar utama
terjadinya penyakit obstruksi menahun. Kebiasaan merokok akan
mempercepat penurunan faal paru. Penurunan volume ekspirasi paksa
pertahun adalah 28,7 mL untuk non perokok, 38,4 mL untuk bekas
perokok dan 41,7 mL untuk perokok aktif (Depkes RI, 2003). Inhalasi
asap tembakau baik primer maupun sekunder dapat menyebabkan
penyakit saluran pernafasan pada orang dewasa. Asap rokok mengiritasi
paru-paru dan masuk ke dalam aliran darah. Merokok lebih merendahkan
kapasitas vital paru dibandingkan beberapa bahaya kesehatan akibat kerja
(Suyono, 1995).
terbatas yang bersifat reversibel. Penyakit paru restriktif juga dapat diterjadi
secara bersama - sama dengan penyakit paru obstruktif. Penyakit paru restriktif
ditandai dengan gangguan pada parenkim, pleura, dinding thorax atau
neuromuskular dan menyebabkan menurunnya Total Lung Capacity (TLC).
Sedangkan pada penyakit paru obstruktif contohnya asma dan COPD (Chronic
Obstructif Pulmonary Disease), terjadi peningkatan TLC. Penyakit paru restriktif
yang disebabkan oleh karena parenkim paru yaitu berkurangnya transfer oksigen,
yang ditandai dengan terjadinya desaturasi setelah latihan (Ermanata, 2016).
Penyakit paru restriktif merupakan penyakit paru yang ditandai dengan
gangguan pada parenkim, pleura, dinding thorax atau neuromuskular dan
penurunan Total Lung Capacity (TLC). Sedangkan pada penyakit paru obstruktif
contohnya asma dan COPD (Chronic Obstructif Pulmonary Disease), terjadi
peningkatan TLC. Gangguan yang menyebabkan reduksi atau restriksi dari
volume paru berdasarkan struktur anatomi terbagi dua yaitu : penyakit paru
intrinsik dan penyakit paru ekstrinsik serta IPF. Terapi pada penyakit paru
restriktif sesuai dengan etiologi masing-masing (Ermanata, 2016).
2.2 VITAMIN D
2.2.1 Vitamin D
Vitamin D merupakan vitamin yang larut dalam lemak, yang artinya vitamin
D dapat disimpan dan diambil kembali dari lemak tubuh. Vitamin D adalah
vitamin berbahan dasar steroid (Hermawan, 2016).
Vitamin D termasuk dalam grup sterol. Mula-mula hanya terdapat satu jenis
vitamin D, tetapi ternyata terdapat beberapa ikatan organik yang mempunyai
kegiatan vitamin D. Berbagai jenis vitamin D dihasilkan dari penyinaran jenis
kolesterol dengan sinar ultraviolet (Syauqy, 2015).
pada beberapa jenis tanaman, sedangkan bentuk inaktif vitamin D3 terdapat pada
hewan.
Baik vitamin D2 (ergokalsiferol, ergosterol aktif atau viosterol) maupun vitamin
D3 (kolekalsiferol atau 7-dehidrokolesterol aktif) berupa kristal putih yang tidak
berbau. Vitamin D2 melebur pada 116˚C, sedangkan vitamin D melebur pada
83˚C, termostabil, terutama dalam suasana asam dan rusak oleh pengaruh asam
nitrat berasap.
Ergostreol yang terdapat pada tanaman ergot atau pada ragi, telah diteliti
sebagai provitamin D2. Apabila provitamin ini masuk kedalam tubuh manusia
atau hewan, zat tersebut akan dibawa oleh darah ke kulit. Akibat pengaruh sinar
matahari, melalui reaksi biokimiawi yang rumit, ergosterol akan di ubah menjadi
vitamin D2 dan dibawa ke berbagai organ tubuh untuk di manfaatkan.
sinar UV. Usia dewasa juga membentuk lebih sedikit vitamin D setelah terpapar
dengan sinar UV, karena kulit mereka mengandung 7-dehidrokolesterol yang
lebih sedikit. Vitamin D yang dikonsumsi kemudian akan dicerna, diserap, dan
diangkut dari usus halus bagian proksimal dalam kilomikron. Seperti lemak
lainnya, penyerapan dapat terganggu pada penyakit kronis dalam sistem empedu
atau pada penyakit usus dengan malabsorbsi. Ekskresi vitamin D ke dalam getah
empedu, terutama sebagai metabolit yang lebih polar (Truswell, 2014).
tabir surya, cara berpakaian yang tertutup, dan berlindung ditempat teduh
(Pusparini, 2014).
2.2.9Hipervitaminois D
Kelebihan vitamin D dari jumlah yang dibutuhkan disimpan dalam hati.
Namun penyimpanan ini ada batasnya. Hipervitaminois D dapat terjadi sebagai
akibat pemakaian vitamin D yang berlebihan, yang dalam jangka waktu lama
dapat menyebabkan kenaikan kadar kalsium dalam peredaran darah
(hiperkalsemia) dan pengendapan kalsium di tubuli ginjal atau dibawah kulit.
Kolekalsiferol yang dibentuk dalam bawah kulit dibawa oleh darah ke hati, akibat
pengaruh enzim 25-hidroksilase spesifik akan mengalami oksidasi menjadi 25-
hidroksikolekisferol. Zat yang terbentuk ini dibawa ke ijal dan dalam tubulus
ginjal oleh pengaruh enzim α-hidroksilase akan mengalami oksidasi menjadi
1,23-dihidroksikolekalsiferol.
20
e. Sintesis (Synthesis)
Kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian dalam bentuk
keseluruhan yang baru, dengan kata lain sintesis adalah suatu
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang sudah
ada.
f. Evaluasi (Evaluation)
Kemampuan untuk melakukan penelitian terhadap suatu materi atau
obyek berdasarkan suatu cerita yang ditentukan sendiri atau
menggunakan kriteria yang sudah ada.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yang menanyakan isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau
responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ukur dapat disesuaikan
dengan tingkatan di atas.
c. Ekonomi
Dalam memenuhi kebutuhan primer maupun sekunder, keluarga dengan
status ekonomi baik lebih mudah tercukupi dibandingkan keluarga
dengan status ekonomi rendah. Hal ini akan mempengaruhi kebutuhan
akan informasi yang termasuk kebutuhan sekunder.
d. Hubungan Sosial
Manusia adalah makhluk sosial, dimana dalam kehidupan saling
berinteraksi antara satu dengan yang lain. Individu yang dapat
berinteraksi secara batinnya akan lebih terpapar informasi. Sementara
faktor hubungan sosial juga mempengaruhi kemampuan individu sebagai
komunikasi untuk menerima pesan menurut model komunikasi media.
e. Pengalaman
Pengalaman seorang individu tentang berbagai hal bisa diperoleh dan
lingkungan kehidupan dalam proses perkembangannya.
c. Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu
masalah merupakan indikasi tingkatan sikap yang ketiga.
d. Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilih dengan segala
resikonya merupakan tingkatan sikap yang paling tinggi.
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung.
Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden
terhadap suatu obyek. Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan mengajukan
pernyataan hipotesis kemudian menanyakan pendapat responden dengan
membatasi pada pilihan, misal: sangat setuju, setuju, dan tidak setuju
(Notoatmodjo, 2007).
Health Belief model (HBM) memperkirakan bahwa tingkat laku adalah hasil
dari serangkaian dasar, yang telah didefinisikan ulang selama bertahun-tahun.
Keyakinan tersebut adalah persepsi individu dari:
1. Kerentanan terhadap penyakit
2. Tingkat keparahan penyakit
3. Biaya yang diperlukan dalam berperilaku
4. Manfaat yang terlibat dalam berperilaku
5. Tanda/ isyarat untuk bertindak, bisa internal maupun eksternal.
Health Belief model (HBM) menunjukkan bahwa keyakinan dasar harus
digunakan untuk memperkirakan kemungkinan perilaku yang akan terjadi (Jane
Ogden, 2004).
Ajzen mengemukakan Theory of Reasoned Action (TRA) dan Theory of
Planned Behavior (TPB). Dalam TRA ini, Ajzen menyatakan bahwa manusia
berperilaku dengan cara yang sadar dan mempertimbangkan segala informasi
yang tersedia. Perilaku dipengaruhi oleh dua hal penentu dasar, yang pertama
berhubungan dengan sikap (attitude towards behavior) dan yang lain
berhubungan dengan pengaruh sosial yaitu norma subyektif (subjective norms).
Theory of Planned Behavior (TPB) merupakan pengembangan lebih lanjut dari
Theory of Reasoned Action (TRA). Dilakukan atau tidak dilakukannya suatu
perilaku tidak hanya ditentukan oleh sikap dan norma subjektif semata, tetapi juga
persepsi individu terhadap kontrol yang dilakukannnya yang bersumber pada
keyakinannya terhadap kontrol tersebut. Secara lebih lengkap Ajzen
menambahkan faktor latar belakang individu ke dalam Theory of Planned
Behavior (TPB), sehingga secara skematik dapat dilihat pada gambar :
26
Untuk menilai
Kurangnya konsistensi
pengetahuan, perilaku
antara pengetahuan dan
dan sikap mengenai
Arora et al. 2015 sikap dalam terpapar
vitamin D terhadap
sinar matahari, terutama
paparan sinar matahari di
pada anak perempuan.
kalangan siswa India
29
mengukur aktivitas fisik pada remaja dan anak-anak yang sudah diterima secara
internasional (Arvidsson et al., 2005).
Pasal 1
Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung
jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.
Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah
mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.
Pasal 3
Pekerjaan Kefarmasian dilakukan berdasarkan pada nilai ilmiah, keadilan,
kemanusiaan, keseimbangan, dan perlindungan serta keselamatan pasien
atau masyarakat yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi yang memenuhi
standar dan persyaratan keamanan, mutu, dan kemanfaatan.
Pasal 5
Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian meliputi: a. Pekerjaan Kefarmasian
dalam Pengadaan Sediaan Farmasi; b. Pekerjaan Kefarmasian dalam
Produksi Sediaan Farmasi; c. Pekerjaan Kefarmasian dalam Distribusi atau
Penyaluran Sediaan Farmasi; dan d. Pekerjaan Kefarmasian dalam
Pelayanan Sediaan Farmasi
Pasal 19
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian berupa : a. Apotek; b. Instalasi farmasi
rumah sakit; c. Puskesmas; d. Klinik; e. Toko Obat; atau f. Praktek bersama.
Pasal 21
1. Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada fasilitas pelayanan
kefarmasian, apoteker harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian.
2. Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan
oleh apoteker.
3. Dalam hal di daerah terpencil tidak terdapat apoteker, menteri dapat
menempatkan tenaga teknis kefarmasian yang telah memiliki STRTTK
pada sarana pelayanan kesehatan dasar yang diberi wewenang untuk
meracik dan menyerahkan obat kepada pasien.
34