Anda di halaman 1dari 34

1

BAB I
PENGERTIAN DAKWAH

Untuk menjelaskan pengertian dakwah secara komprehensif, perlu


pemaparan yang ditinjau dari segi fenomena dakwah dalam kehidupan kaum
muslimin, tinjauan semantik, dan definisi dari pakar dakwah. Kemudian, sebagai
penguat definisi, sejumlah istilah yang semakna dengan dakwah dikemukakan
pada bagian akhir bab.
A. Fenomena Dakwah
Abu Sa’id al-Khudri RA menuturkan, “Ada seorang perempuan datang
kepada Rasulullah SAW seraya memprotes,”Wahai Rasulullah, banyak orang
laki-laki membawa hadits Anda. Jadikanlah kami sebagai pengikut Anda yang
suatu hari datang kepada Anda untuk mempelajari apa yang telah diajarkan
Allah SWT kepada Anda”. Rasulullah SAW menanggapinya, “Berkumpullah
kalian di hari begini di tempat begini”. Kaum perempuan berkumpul dan
mendatangi Rasulullah SAW. Lalu beliau mengajarkan mereka mengenai apa
yang telah diajarkan oleh Allah SWT. Selanjutnya Rasulullah SAW bersabda,
“Tak seorang perempuan pun di antara kalian yang menimang anaknya selama
tiga kali kecuali ia diberi tabir yang menjauhkannya dari api neraka”. Seorang
perempuan di antara mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika
hanya dua kali?”. Pertanyaan ini diulang sampai dua kali. “Meskipun dua kali,
meskipun dua kali, meskipun dua kali”, jawab Rasulullah SAW.” (al-Bukhari,
t.t.: VIII: 149).
Terkait dengan dakwah sebagai proses penyampaian ajaran Islam,
hadits ini mengajarkan tiga hal, yaitu kesetaraan jender dalam dakwah,
kewajiban berdakwah, dan pesan dakwah sesuai dengan keadaan mitra
(penerima) dakwah. Dalam kehidupan di tengah masyarakat, seringkali
dakwah diartikan hanya seperti dalam hadits di atas: ulama sebagai pendakwah
menyampaikan pesannya di hadapan khalayak. Akhirnya, dakwah dipahami
sebagai tugas ulama semata; bentuk dakwah hanya ceramah agama; dan mitra
dakwah selalu terdiri banyak orang. Pemahaman yang tidak tepat ini telah
diterima secara umum oleh masyarakat, sehingga perlu dikemukakan beberapa
fenomena dakwah yang lain.
Dakwah bukan hanya kewenangan ulama atau tokoh agama. Setiap
muslim bisa melakukan dakwah, karena dakwah bukan hanya ceramah agama.
Sewaktu penulis melakukan dakwah di London pada bulan Oktober 2005,
penulis ditemani makan sahur oleh Muntako, seorang pekerja dari Semarang
yang sudah lebih lima tahun di Inggris. Ia kurus kering, berpuasa dengan
khusyuk sekalipun bekerja siang dan malam di tengah-tengah masyarakat
London yang terkenal gila bola itu. Siang hari dengan bibirnya yang kering, ia
2

berangkat bekerja dan baru pulang menjelang akhir waktu sahur. Ia bekerja
sedemikian berat, karena ia ingin memberi kehidupan yang layak untuk
keluarganya di tanah air, khususnya untuk masa depan pendidikan anak satu-
satunya yang ia sebut sebagai titipan mulia ilahi. Ia bersedia hidup ekonomis
di tengah masyarakat yang hidup mewah dan konsumtif, karena ia
berkeinginan membantu orang-orang tua, para janda, dan anak-anak usia
sekolah yang terlantar di kampung halamannya. Ia telah membeli sebidang
tanah yang dipersiapkan untuk panti asuhan yatim dan fakir miskin kelak
ketika ia kembali ke tanah air. Ia yakin, Allah SWT akan membantunya. Ia
dengan mantap mengatakan dengan bahasa Jawanya yang sangat kental
“Gusti Allah niku sugih (Allah SWT Maha Kaya)”. Dalam standar kehidupan
pada umumnya, pekerja di restoran tersebut sebenarnya termasuk mereka yang
tak berdaya. Ia harus ke luar negeri karena keterbatasan lapangan kerja di
Indonesia. Akan tetapi, ia tetap bertekad melakukan pemberdayaan kepada
orang lain.
Belum pernah ada orang yang menyebut Muntako sebagai pendakwah,
karena ia tidak berceramah, padahal upaya Muntako yang terpuji itu dapat
melebihi penceramah yang seringkali berbicara tanpa kejelasan tindakan.
Muntako tidak berbicara, tetapi bertindak dan berhasil. Muntako adalah
pendakwah. Ia melakukan dakwah pemberdayaan masyarakat.

Foto 1: Penulis Bersama Muntako di London


Dalam fenomena yang lain penulis mengagumi Yudo, pria berambut
panjang dan bertato yang tinggal tidak jauh dari tempat tinggal penulis di
Siwalankerto Surabaya. Ia fanatik dengan agama Islam yang dianutnya, namun
tidak pernah pergi ke masjid. Seminggu sekali ia mengumpulkan pemuda dan
orang dewasa yang ”seirama”, yaitu sama-sama pecinta lagu dangdut dan
sama-sama tidak pernah ke masjid. Beberapa di antaranya tidak muslim.
Mereka akrab dan riang dalam setiap berlatih musik dangdut. Suatu saat Yudo
minta ijin ketua RT untuk menggunakan Pos Kamling untuk bakar ikan
bersama menyambut malam lailatul qadar 27 Ramadan. Penulis tidak tahu
pesan apa yang disampaikan Yudo kepada kelompoknya pada malam itu.
Ketika baru saja selesai menjadi imam Salat Tarawih di Tokyo, penulis
3

terkejut mendapat SMS (pesan pendek) dari ketua RT. Ada dua orang masuk
Islam di depan Yudo. Bahkan, beberapa orang bertato lainnya kemudian
sesekali pergi ke masjid bersamanya. Yudo adalah pendakwah tanpa mimbar.
Ia melakukan dakwah ”ikan bakar” yang menyentuh hati kepada mereka yang
bertahun-tahun tidak tersentuh oleh dakwah dalam bentuk ceramah. Penulis
telah lebih 10 tahun berceramah di masjid setempat, tetapi belum pernah ada
orang masuk Islam karena ceramah penulis.
Dakwah dalam bentuk pemberdayaan masyarakat biasanya dilakukan
secara kolektif dan terlembaga. Contoh untuk ini adalah Baitul Mal Wa al-
Tamwil Insan Sejahtera (BMT Inset) di Kendal, Jawa Tengah. Lembaga ini
didirikan pada bulan Oktober 1998 dengan prakarsa 20 orang yang masing-
masing menyetor modal Rp. 400.000,-. Dengan dana total delapan juta rupiah,
mereka telah ikut melayani dan mengembangkan sendi-sendi kehidupan
pedagang dan pengusaha kecil. Semula BMT Inset hanya menjangkau
pedagang-pedagang kecil di sekitar pasar Cepiring dan pasar Srogol,
Kecamatan Brongsong Kendal. Belakangan usaha BMT Inset telah merambah
di empat kecamatan, yaitu Pegundon, Cepiring, Kendal, dan Gemuh. Mula-
mula pinjaman yang diberikan kepada pedagang sayur, mainan anak, dan
pedagang pecel sekitar Rp. 100.000,-. BMT Inset tidak memberlakukan bunga,
tetapi bagi hasil sesuai kerelaan mereka. “Kadang ada nasabah kami yang
memberikan bagi hasil yang jauh lebih tinggi daripada kalau kami
memberlakukan bunga bank”, ujar Rafiq H. Humaidi, Ketua Pengurus BMT
Inset. Dengan sistem ini, tiap tahun ada tambahan keuntungan usaha sekitar
Rp. 123 juta lebih (M. Luthfi Hamidi, 2003: 83-85). BMT Inset
menyelamatkan masyarakat dari sistem riba dan mengenalkannya dengan
sistem bagi hasil. Ia juga meningkatkan taraf hidup umat Islam yang bisa
menjauhkan dari kemaksiatan dan kekufuran. Inilah pesan utama dakwah dari
lembaga keuangan syari’ah lainnya, seperti Bank Muamalat, Takaful Syari’ah,
Reksadana Syari’ah, BPR Syari’ah dan sebagainya. Mereka adalah pendakwah
dengan pesan dakwah non verbal, tidak dalam bentuk kata, ucapan, atau
tulisan, melainkan dalam kebijakan manajemen.
Ada juga pendakwah yang menfokuskan dakwahnya untuk
menyelamatkan iman generasi muslim yaitu yang dilakukan oleh 35 pelajar
muslim Indonesia yang tergabung dalam Keluarga Besar Britania Raya
(KIBAR). Mereka menulis dua jilid buku tebal yang berjudul Paket Permainan
Interaktif Pendidikan Akidah untuk Anak TK. Buku ini menjadi pegangan
guru Islam yang mengajar keimanan untuk anak-anak diplomat, pelajar
ataupun pekerja di Inggris. Menurut Geovanni, pemrakarsa penulisan,
terbitnya buku tersebut dilatarbelakangi oleh kesulitan dalam pengajaran
agama bagi anak-anak muslim di Sheffield dan Inggris pada umumnya. Anak-
anak dibiasakan untuk bersikap kritis termasuk dalam masalah agama,
sehingga model pendidikan agama di Indonesia tidak bisa diterapkan sama
sekali. Usaha KIBAR tersebut dapat dikatakan sebagai kegiatan dakwah
dengan tulisan. Siapapun bisa menjadi pendakwah dengan menulis pesan
Islam di majalah, koran, atau internet. Pendakwah melalui tulisan melebihi
4

jangkauan dakwah ceramah yang hanya ditangkap terbatas pada mereka yang
hadir atau mendengarkan. Pendakwah tulisan tidak dituntut lancar bacaan al-
Qur’an dan pesan dakwahnya ditangkap oleh massa yang membaca. Boleh jadi
tulisan itu didokumentasi, didiskusikan, dijadikan wacana, dan penulisnya
menjadi tokoh besar yang merubah masyarakat secara kultural.

Foto 2: Penulis bersama Geovani, Penggagas Penulisan Buku


Di samping dakwah secara kultural sebagaimana dipaparkan dalam
fenomena dakwah di atas, ada juga fenomena yang lain yaitu dakwah secara
struktural. Pelaku dakwah jenis yang terakhir ini meyakini dakwah secara
struktural dapat merubah masyarakat lebih cepat. Untuk mencapai struktur,
mereka menempuh jalan politik. Bukankah legalitas hukum perdata Islam
merupakan produk politik dari upaya dakwah struktural ? Bukankah Ekonomi
Syari’ah dapat berkembang karena dukungan politik? Bahkan, penerapan
syari’ah Islam di beberapa daerah juga karena peranan dakwah struktural?
Akhirnya, jika umat Islam tiarap dari dakwah struktural, maka umat Islam
akan dipimpin oleh pejabat non muslim atau pejabat berakhlak rendah.
Pengalaman sejarah juga menunjukkan besarnya peranan politik dalam
dakwah Islam. Ini adalah beberapa alasan pendukung dakwah struktural.
Burhan Djamaluddin (2004:103) memandang dakwah agama tidak
menyebabkan agama berkembang secara cepat dan meluas, walaupun pada sisi
lain, dakwah agama membawa kedamaian dan kestabilan. Sebaliknya, dakwah
politik dapat menyebabkan agama berkembang secara cepat dan meluas dalam
waktu yang cukup singkat. Namun, dakwah politik terkadang tidak membawa
kedamaian dan ketentraman di kalangan mitra dakwah.
Dari beberapa fenomena di atas, dakwah Islam meliputi wilayah yang
luas dalam semua aspek kehidupan. Ia memiliki ragam bentuk, metode, media,
pesan, pelaku, dan mitra dakwah. Kita sendiri tidak bisa terlepas dari kegiatan
dakwah, baik sebagai pendakwah maupun mitra dakwah. Apapun yang
berkaitan dengan Islam, kita pastikan ada unsur dakwahnya. Dakwah adalah
denyut nadi Islam. Islam dapat bergerak dan hidup karena dakwah. Luasnya
wilayah dakwah dan peranannya yang besar dalam Islam membuat kita merasa
5

kesulitan dalam merumuskan definisi dakwah secara tepat. Namun, kita


mencoba menemukan pengertian dakwah dari segi bahasa, istilah dari para
ahli, serta membandingkan dengan fenomena di atas.
B. Tinjauan Semantik Dakwah
Ditinjau dari segi bahasa, dakwah berasal dari bahasa Arab ”da’wah”
(‫)اﻟﺪﻋﻮة‬. Da’wah mempunyai tiga huruf asal, yaitu dal, ‘ain, dan wawu. Dari
ketiga huruf asal ini, terbentuk beberapa kata dan ragam makna. Makna-makna
tersebut adalah memanggil, mengundang, minta tolong, meminta, memohon,
menamakan, menyuruh datang, mendorong, menyebabkan, mendatangkan,
mendoakan, menangisi, dan meratapi (Ahmad Warson Munawwir, 1997: 406).
Dalam al-Qur’an, kata da’wah dan berbagai bentuk katanya ditemukan
sebanyak 198 kali menurut hitungan Muhammad Sulthon (2003: 4), 299 kali
versi Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi’ (dalam A. Ilyas Isma’il, 2006: 144-
145), atau 212 kali menurut Asep Muhiddin (2002: 40). Ini berarti, al-Qur’an
mengembangkan makna dari kata da’wah untuk berbagai penggunaan.
Setidaknya ada sepuluh macam makna dakwah dalam al-Qur’an.
1. Mengajak dan menyeru, baik kepada kebaikan maupun kemusyrikan;
kepada jalan ke surga atau ke neraka. Makna ini paling banyak menghiasi
ayat-ayat al-Qur’an (46 kali). Kebanyakan dari makna ini mengarah pada
jalan keimanan (39 kali). Di antara dua jalan berlawanan yang
menggunakan kata dakwah adalah surat al-Baqarah ayat 221:
 
 
   
   
   
 
  
   
  
  
  
  

  
 
 

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan
6

orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka


beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka,
sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
2. Do’a, seperti dalam surat Ali ‘Imran ayat 38.
  
     
  
   
 
Di sanalah Zakariya berdoa kepada Tuhannya seraya berkata: "Wahai
Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik.
Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa.
3. Mendakwa atau menganggap tidak baik, seperti dalam surat Maryam ayat
91.
  
 
Karena mereka mendakwa Allah yang Maha Pemurah mempunyai anak.
4. Mengadu, seperti dalam surat al-Qamar ayat 10.
   
 
Maka dia (Nuh) mengadu kepada Tuhannya: "Bahwasanya aku ini adalah
orang yang dikalahkan, oleh sebab itu menangkanlah (aku).
5. Memanggil atau panggilan, sebagaimana dalam surat al-Rum ayat 25.
  
 
   
   
  
 
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan
bumi dengan iradat-Nya. kemudian apabila Dia memanggil kamu sekali
panggil dari bumi, seketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur).
6. Meminta, seperti dalam surat Shad ayat 51.
7

  


  
 
Di dalamnya mereka bertelekan (di atas dipan-dipan) sambil meminta
buah-buahan yang banyak dan minuman di surga itu.
7. Mengundang, seperti dalam surat al-Qashash ayat 25.
 
  
   
  
   
  
    
  
 
Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu
berjalan kemalu-maluan, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku
mengundang kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu
memberi minum (ternak) kami". Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya
(Syu'aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu'aib
berkata: "Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang
yang zalim itu.
8. Malaikat Israfil sebagai penyeru yaitu dalam surat Thaha ayat 108.
 
    
 
   
 
Pada hari itu manusia mengikuti (menuju kepada suara) penyeru dengan
tidak berbelok-belok; dan merendahlah semua suara kepada Tuhan yang
Maha Pemurah, maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja.
Yang dimaksud dengan penyeru dalam ayat di atas ialah malaikat Israfil
yang memanggil manusia untuk menghadap ke hadirat Allah SWT.
9. Panggilan nama atau gelar, sebagaimana dalam surat al-Nur ayat 63.
  
 
  
    
 
8

  
  
  
  
  
Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti
panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain). Sesungguhnya
Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur- angsur pergi di
antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah
orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan
atau ditimpa azab yang pedih.
10. Anak angkat yaitu dalam surat al-Ahzab ayat 4.
    
    
 
 
   
 
  
  
  
   
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam
rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu dhihar itu
sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai
anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di
mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia
menunjukkan jalan (yang benar).
Penulis sengaja membatasi pelacakan kata dakwah dan
pembentukannya hanya pada al-Qur’an, karena semua ayat al-Qur’an pasti
berasal dari Allah SWT (qath’i al-wurud). Tidak demikian dengan hadits yang
banyak diriwayatkan dengan maknanya saja. Selain itu, pembentukan kata dan
peletakannya dalam al-Qur’an juga merupakan mukjizat, ada makna dan
maksud tersendiri yang harus digali. Bila kita pelajari satu kata saja dalam al-
Qur’an, maka kita akan menemukan rahasia yang agung. Salah satu metode
yang baik dalam menguraikan makna kata dalam al-Qur’an adalah kajian
semantik. Dalam kajian ini, kita menelusuri makna suatu kata dari sudut
persamaannya, lawan kata, konteks kalimat, penggunaan asalnya, konteks
pembicaraan, perbandingan dengan kalimat lain, dan konteks keagamaan
(Toshihiko Izutsu, 1993: 44-50).
Penelusuran makna dakwah melalui penggunaan pembentukan kata
oleh al-Qur’an di atas juga merupakan cara kajian semantik. Pemahaman yang
9

dapat ditemukan adalah bahwa dakwah bersifat persuasif yaitu mengajak


manusia secara halus. Kekerasan, pemaksaan, intimidasi, ancaman, atau teror
agar seseorang melaksanakan ajaran Islam tidak bisa dikatakan dakwah.
Pemahaman ini diperoleh dari makna dakwah yang berarti mengajak, berdo’a,
mengadu, memanggil, meminta, dan mengundang. Do’a sendiri berarti
permohonan dari bawahan kepada atasan; dari hamba kepada Tuhannya.
Dengan makna-makna ini, kita juga memahami bahwa dakwah tidak
menekankan hasil, tetapi mementingkan tugas dan proses. Kita hanya
berkewajiban menyampaikan ajaran Islam dengan penuh kesungguhan. Kita
tidak dituntut untuk berhasil. Keberhasilan dakwah terkait dengan campur
tangan Tuhan yaitu hidayah Allah SWT. Sama dengan do’a yang kita baca tiap
hari juga belum bisa dipastikan terkabul sesuai dengan permintaan, tetapi kita
tetap wajib memohon kepada Allah SWT.
Penelusuran makna dakwah juga menunjukkan bahwa masing-masing
makna tersebut menunjuk kata yang membutuhkan obyek. Hal ini
menunjukkan selalu adanya sasaran dakwah. Dalam kegiatan dakwah,
setidaknya ada tiga komponen, yaitu pelaku dakwah (pendakwah), pesan
dakwah, dan sasaran dakwah (mitra dakwah). Masing-masing makna tersebut
juga menunjukkan hubungan searah. Dalam al-Qur’an tidak ditemukan bentuk
kata dakwah dan bentukannya yang berarti kerjasama (musyaarakah), seperti
kata daa’aa (‫ )داﻋﺎ‬atau tadaa’aa (‫)ﺗﺪاﻋﺎ‬. Hal ini menunjukkan bahwa
pendakwah adalah pelaku yang aktif, sementara mitra dakwah hanya sebagai
pihak yang pasif. Pendakwah lebih mengetahui daripada mitra dakwah dalam
beberapa hal. Pendakwah harus memimpin dan menguasai mitra dakwah.
C. Definisi dari Para Ahli
Setelah pemaparan fenomena dakwah dan uraian tinjauan semantik
dakwah, berikut adalah beberapa definisi dakwah yang penulis kumpulkan
secara maksimal dari sebanyak mungkin literatur.
1. Abu Bakar Zakaria (1962: 8) mengatakan dakwah adalah :

‫ﻗﯿﺎم اﻟﻌﻠﻤﺎء واﻟﻤﺴﺘﻨﺮﯾﻦ ﻓﻰ اﻟﺪﯾﻦ ﺑﺘﻌﻠﯿﻢ اﻟﺠﻤﮭﻮر ﻣﻦ اﻟﻌﺎﻣﺔ ﻣﺎ ﯾﺒﺼﺮھﻢ ﺑﺄﻣﻮر‬


‫دﯾﻨﮭﻢ ودﻧﯿﺎھﻢ ﻋﻠﻰ ﻗﺪر اﻟﻄﺎﻗﺔ‬
“Usaha para ulama dan orang-orang yang memiliki pengetahuan agama
Islam untuk memberikan pengajaran kepada khalayak umum sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki tentang hal-hal yang mereka butuhkan dalam
urusan dunia dan keagamaan".
2. Syekh Muhammad al-Rawi (1972: 12), dakwah adalah:

‫اﻟﻀﻮاﺑﻂ اﻟﻜﺎﻣﻠﺔ ﻟﻠﺴﻠﻮك اﻹﻧﺴﺎﻧﻲ وﺗﻘﺮﯾﺮ اﻟﺤﻘﻮق واﻟﻮاﺟﺒﺎت‬


“Pedoman hidup yang sempurna untuk manusia beserta ketetapan hak dan
kewajibannya”
3. Syekh Ali bin Shalih al-Mursyid (1989: 21), dakwah adalah
10

‫ﻣﻨﮭﺞ ﯾﻘﻮم ﻋﻠﻰ ﺑﯿﺎن اﻟﺤﻖ واﻟﺨﯿﺮ واﻟﮭﺪى وﻛﺸﻒ وﺳﺎﺋﻞ اﻟﺒﺎطﻞ وأﺳﺎﻟﯿﺒﮫ ﺑﺸﺘﻰ‬
‫اﻟﻄﺮق واﻷﺳﺎﻟﺐ واﻟﻮﺳﺎﺋﻞ‬
“Sistem yang berfungsi menjelaskan kebenaran, kebajikan, dan petunjuk
(agama); sekaligus menguak berbagai kebathilan beserta media dan
metodenya melalui sejumlah tehnik, metode, dan media yang lain”.
4. Syekh Muhammad al-Khadir Husain (t.t.: 14), dakwah adalah

‫ﺣﺚ اﻟﻨﺎس ﻋﻠﻰ اﻟﺨﯿﺮ و اﻟﮭﺪى واﻷﻣﺮ ﺑﺎﻟﻤﻌﺮوف واﻟﻨﮭﻲ ﻋﻦ اﻟﻤﻨﻜﺮ ﻟﯿﻔﻮزوا‬
‫ﺑﺴﻌﺎدة اﻟﻌﺎﺟﻞ واﻵﺟﻞ‬
“Menyeru manusia kepada kebajikan dan petunjuk serta menyuruh kepada
kebajikan dan melarang kemunkaran agar mendapat kebahagiaan dunia dan
akherat”.
Definisi ini menjadi pegangan bagi Syekh ‘Ali Mahfudh dalam kitabnya,
Hidayah al-Mursyidin untuk merumuskan definisi dakwah
5. Syekh Muhammad al-Ghazali (dalam al-Bayanuni, 1993: 15), dakwah
adalah

‫ﺑﺮﻧﺎﻣﺞ ﻛﺎﻣﻞ ﯾﻀﻢ ﻓﻰ أطﻮاﻧﮫ ﺟﻤﯿﻊ اﻟﻤﻌﺎرف اﻟﺘﻰ ﯾﺤﺘﺎج إﻟﯿﮭﺎ اﻟﻨﺎس ﻟﯿﺒﺼـ ّﺮوا‬
‫اﻟﻐﺎﯾﺔ ﻣﻦ ﻣﺤﯿﺎھﻢ وﻟﯿﺴﺘﻜﺸﻔﻮا ﻣﻌﺎﻟﻢ اﻟﻄﺮﯾﻖ اﻟﺘﻰ ﺗﺠﻤﻌﮭﻢ راﺷﺪﯾﻦ‬
“Program sempurna yang menghimpun semua pengetahuan yang
dibutuhkan oleh manusia di semua bidang, agar ia dapat memahami tujuan
hidupnya serta menyelidiki petunjuk jalan yang mengarahkannya menjadi
orang-orang yang mendapat petunjuk”
6. Syekh Adam ‘Abdullah al-Aluri (dalam al-Bayanuni, 1993: 15), dakwah
adalah

‫ﺻﺮف أﻧﻈﺎر اﻟﻨﺎس وﻋﻘﻮﻟﮭﻢ إﻟﻰ ﻋﻘﯿﺪة ﺗﻔﯿﺪھﻢ أو ﻣﺼﻠﺤﺔ ﺗﻨﻔﻌﮭﻢ وھﻲ أﯾﻀﺎ‬
‫ﻧﺪﺑﺔ ﻹﻧﻘﺎذ اﻟﻨﺎس ﻣﻦ ﺿﻼﻟﺔ ﻛﺎدوا ﯾﻘﻌـﻮن ﻓـﯿﮭﺎ أو ﻣﻦ ﻣﻌـﺼﯿﺔ ﻛﺎدت ﺗﺤﺪق ﺑﮭﻢ‬
“Mengarahkan pandangan dan akal manusia kepada kepercayaan yang
berguna dan kebaikan yang bermanfaat. Dakwah juga kegiatan mengajak
(orang) untuk menyelamatkan manusia dari kesesatan yang hampir
menjatuhkannya atau dari kemaksiatan yang selalu mengelilinginya”
7. Muhammad Abu al-Fath al-Bayanuni (1993: 17), dakwah adalah

‫ﺗﺒﻠﯿﻎ اﻹﺳﻼم ﻟﻠﻨﺎس وﺗﻌﻠﯿﻤﮭﻢ إﯾﺎھﻢ وﺗﻄﺒﯿﻘﮫ ﻓﻰ واﻗﻊ اﻟﺤﯿﺎة‬


“Menyampaikan dan mengajarkan agama Islam kepada seluruh manusia
dan mempraktekkannya dalam kehidupan nyata”
8. ‘Abd al-Karim Zaidan (1976: 5), dakwah adalah mengajak kepada agama
Allah SWT, yaitu Islam.
11

9. Toha Yahya Omar (1992: 1), dakwah Islam adalah “mengajak manusia
dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah
Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan di
akherat”.
10. Musyawarah Kerja Nasional –I PTDI di Jakarta (1968) merumuskan
dakwah adalah “mengajak atau menyeru untuk melakukan kebajikan dan
mencegah kemunkaran, merubah umat dari satu situasi kepada situasi lain
yang lebih baik dalam segala bidang, merealisasi ajaran Islam dalam
kehidupan sehari-hari bagi seorang pribadi, keluarga, kelompok atau
massa, serta bagi kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan tata hidup
bersama dalam rangka pembangunan bangsa dan umat manusia”.
11. Aboebakar Atjeh (1971: 6), dakwah adalah perintah mengadakan seruan
kepada sesama manusia untuk kembali dan hidup sepanjang ajaran Allah
SWT yang benar dengan penuh kebijaksanaan dan nasehat yang baik.
12. HSM Nasaruddin Latif (1971: 11), dakwah adalah setiap usaha atau
aktivitas dengan lisan, tulisan dan lainnya yang bersifat menyeru,
mengajak, memanggil manusia untuk beriman dan mentaati Allah SWT
sesuai dengan garis-garis akidah dan syari’at serta akhlak Islamiyah.
13. Masdar Helmy (1973: 31), dakwah adalah “mengajak dan menggerakkan
manusia agar mentaati ajaran-ajaran Allah SWT (Islam), termasuk
melakukan amar ma’ruf nahi munkar untuk bisa memperoleh kebahagiaan
di dunia dan di akherat”.
14. A. Hasjmy (1974: 28), dakwah Islamiyah adalah “mengajak orang lain
untuk meyakini dan mengamalkan akidah dan syari’ah Islam yang lebih
dahulu telah diyakini dan diamalkan oleh pendakwah sendiri”.
15. Nasaruddin Razak (1976: 2), dakwah adalah “suatu usaha memanggil
manusia ke jalan ilahi menjadi muslim”.
16. Abdul Rosyad Sholeh (1977: 9-10), dakwah adalah “proses
penyelenggaraan suatu usaha mengajak orang untuk beriman dan mentaati
Allah SWT, amar ma’ruf, perbaikan dan pembangunan masyarakat, dan
nahi munkar yang dilakukan dengan sengaja dan sadar untuk mencapai
tujuan tertentu, yaitu kebahagiaan dan kesejahteraan hidup yang diridlai
Allah SWT”.
17. M. Masykur Amin (1980: 16), dakwah adalah “suatu aktivitas yang
mendorong manusia memeluk agama Islam melalui cara yang bijaksana,
dengan materi ajaran Islam, agar mereka mendapatkan kesejahteraan kini
(dunia) dan kebahagiaan nanti (akherat)”.
18. Anwar Masy’ari (1981: 9), dakwah adalah “proses penyelenggaraan suatu
usaha atau aktivitas yang dilakukan dengan sadar dan sengaja berupa
ajakan kepada orang lain untuk beriman dan mentaati Allah SWT, amar
ma’ruf dan nahi munkar untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan
yang diridlai Allah SWT”.
12

19. Abdul Kadir Munsyi (1981: 19), dakwah ialah “merubah umat dari satu
situasi kepada situasi yang lebih baik di dalam segi kehidupan”.
20. Abul A’la al-Maududi (1982: 4-5), dakwah adalah “panggilan Ilahi dan
Rasul untuk menghidupkan manusia yang berkeseimbangan: seimbang
ilmu dan imannya, seimbang amal dan ibadahnya, serta seimbang ikhtiar
dan do’anya”.
21. Asmuni Syukir (1982: 21), dakwah Islam adalah “suatu usaha atau proses
yang diselenggarakan dengan sadar dan terencana untuk mengajak manusia
ke jalan Allah SWT, memperbaiki situasi ke arah yang lebih baik (dakwah
bersifat pembinaan dan pengembangan) dalam rangka mencapai tujuan
tertentu, yaitu hidup bahagia di dunia dan akherat”.
22. Isa Anshari (1984: 19), dakwah adalah “usaha membuka konfrontasi
keyakinan di tengah manusia, membuka kemungkinan bagi kemanusiaan
untuk menetapkan pilihannya sendiri”.
23. Amrullah Ahmad (1984: 6-7), dakwah adalah “suatu sistem usaha bersama
orang beriman dalam rangka mewujudkan ajaran Islam dalam semua segi
sosio kultural”.
24. Abu Risman (1985: 12), dakwah Islam adalah “segala macam usaha yang
dilakukan oleh seorang muslim atau lebih untuk merangsang orang lain
untuk memahami, meyakini, dan kemudian menghayati ajaran Islam
sebagai pedoman hidup dan kehidupannya”.
25. T.A. Lathief Rousydiy (1989: ), dakwah itu adalah “mengajak orang masuk
Islam dan mengamalkan ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan
manusia secara murni dan konsekuen”.
26. Barmawi Umari (1987: 52), dakwah adalah “mengajak orang kepada
kebenaran, mengerjakan perintah, menjauhi larangan, agar memperoleh
kebahagiaan di masa sekarang dan yang akan datang”.
27. Imam Sayuti Farid (1987:21), dakwah adalah “proses penyampaian ajaran
Islam kepada umat manusia dengan asas, cara serta tujuan yang dapat
dibenarkan oleh ajaran Islam itu sendiri”.
28. Hamzah Ya’kub (1992: 13), dakwah Islam adalah “mengajak manusia
dengan hikmah kebijaksanaan untuk mengikuti petunjuk-petunjuk Allah
SWT dan RasulNya”.
29. Hafi Anshori (1993: 11), dakwah adalah “proses penyelenggaraan suatu
usaha mengajak orang untuk beriman dan mentaati Allah SWT, amar
ma’ruf, perbaikan dan pembangunan masyarakat dan nahi munkar yang
dilakukan dengan sengaja dan sadar untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu
kebahagiaan dan kesejahteraan hidup yang diridlai Allah SWT”.
30. Jamaluddin Kafie (1993: 28), dakwah adalah
“Suatu sistem kegiatan dari seseorang, kelompok, atau
segolongan umat Islam sebagai aktualisasi imaniyah yang
13

dimanifestasikan dalam bentuk seruan, ajakan, panggilan,


undangan, do’a yang disampaikan dengan ikhlas dengan
menggunakan metode, sistem, dan bentuk tertentu, agar mampu
menyentuh kalbu dan fitrah seseorang, sekeluarga, sekelompok,
massa dan masyarakat manusia, supaya dapat mempengaruhi
tingkah laku untuk mencapai suatu tujuan tertentu”.
31. M. Arifin (1993: 6), dakwah adalah
“Suatu kegiatan ajakan dalam bentuk lisan, tulisan, tingkah
laku, dan sebagainya yang dilakukan secara sadar dan terencana
dalam usaha mempengaruhi orang lain secara individu maupun
kelompok agar supaya timbul dalam dirinya suatu pengertian,
kesadaran, sikap, penghayatan, serta pengamalan terhadap ajaran
agama, message yang disampaikan kepadanya tanpa ada unsur-
unsur paksaan”.
32. Asep Muhiddin (2000: 35), dakwah adalah “upaya memperkenalkan Islam
yang merupakan satu-satunya jalan hidup yang benar dengan cara yang
menarik, bebas, demokratis, dan realistis menyentuh kebutuhan primer
manusia”.
33. Nur Syam (2003: 2), dakwah adalah “proses merealisasikan ajaran Islam
dalam dataran kehidupan manusia dengan strategi, metodologi, dan sistem
dengan mempertimbangkan dimensi religio-sosio-psikhologis individu atau
masyarakat agar target maksimalnya tercapai”.
34. Muhammad Sulthon (2003: 13), dakwah adalah “panggilan dari Tuhan dan
Nabi Muhammad SAW untuk umat manusia agar percaya kepada ajaran
Islam dan mewujudkan ajaran yang dipercayainya itu dalam segala segi
kehidupan”.
35. B.J. Boland (dalam A. Ilyas Ismail, 2006: 9) berkomentar, “That da’wah
meant the propagation of Islam not only by preaching and publications, but
also by deeds and activities in all areas of social life, in other words that
da’wah had to be comprehensive islamization of society” (bahwa dakwah
diartikan propaganda Islam tidak hanya dengan penyebaran dan publikasi,
namun juga perbuatan dan kegiatan dalam semua bidang kehidupan sosial,
dengan kata lain, bahwa dakwah harus menjadi islamisasi masyarakat yang
komprehensif).
36. Johan Meuleman (iias.nl/iiasn/26/regions/26SEA8.html), mencatat,
“Although it comprises efforts to convert non-Muslims, dakwah primarily
concerns activities aiming at strengthening and deepening the faith of
Muslims and developing their ways if life in conformity with its principles”
(Walaupun dakwah termasuk upaya perpindahan agama orang-orang non-
muslim, pada dasarnya dakwah merupakan kegiatan-kegiatan yang
mengarah pada penguatan dan pendalaman keimanan umat Islam, serta
pengembangan cara hidup mereka yang sesuai dengan prinsip Islam).
14

37. M. Canard (1991: 168-170), penulis entri “Da’wa” di The Encyclopaedia of


Islam yang disadur oleh Lewis, Pellat, dan Schacht, menulis, “In the
religious sense, the da’wa is the invitation, addressed to men by God and
the prophets, to believe in the true religion, Islam” (dalam pengertian
keagamaan, dakwah adalah undangan Allah SWT dan para rasul yang
ditujukan kepada umat manusia untuk beriman kepada agama yang benar,
yaitu Islam).
38. Paul E. Walker (1995: 343-346), konstributor entri “Da’wah” di The
Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World”, memberikan
penjelasan,
“The word da’wah and the verb da’a wich it derives have a
range of meanings both in the Qur’an and in ordinary speech. It
can signify, for example, a basic act of invitation, as in hadith that
says, in part, “and someone who enters without an invitation
[da’wah] enters as a thief”. The sahib al-da’wah (“master of the
invitation”) is, in this context, nothing more than a “host”. But the
lexical meaning extend from there to encompass concepts of
summoning, calling on, appealing to, invocation, prayer (for and
againts something or someone), propaganda, missionary activity,
and finally legal proceedings and claims” (Kata da’wah dan kata
kerja yang menjadi asal katanya, da’a, memiliki sejumlah makna
dalam al-Qur’an maupun bacaan doa. Sebagai contoh, ia bisa
berarti suatu perbuatan undangan, sebagaimana pernyataan sebuah
hadits pada pada bagian, “dan seseorang yang masuk tanpa suatu
undangan [da’wah] berarti masuk sebagai seorang pencuri”. Shahib
al-da’wah (pemilik undangan) dalam konteks ini merupakan hanya
sekedar sebagai seorang tuan rumah. Namun, makna perkataan
tersebut diperluas dari arti undangan ke konsep-konsep yang
meliputi: memanggil, mengajak, memohon, menyeru, mendo’akan
[untuk dan melawan sesuatu atau seseorang], menyebarkan,
melakukan kegiatan misi keagamaan, dan akhirnya tindakan dan
tuntutan yang sah).
Pemaparan definisi dakwah yang demikian banyak tersebut
dimaksudkan untuk membandingkan, memetakan, dan menelusuri
perkembangan definisi dakwah. Umumnya para ahli membuat definisi dakwah
berangkat dari pengertian dakwah menurut bahasa. Kata-kata seruan, anjuran,
ajakan, dan panggilan selalu ada dalam definisi dakwah. Ini menunjukkan
mereka sepakat bahwa dakwah bersifat persuasif, bukan represif. Mereka
setuju dengan dakwah informatif, bukan manipulatif. Bukanlah termasuk
dakwah, jika ada tindakan yang memaksa orang lain untuk memilih antara
hidup sebagai muslim ataukah mati terbunuh. Tidaklah disebut dakwah, bila
ajakan kepada Islam dilakukan dengan memutarbalikkan pesan Islam untuk
kepentingan duniawi seseorang atau kelompok.
15

Tujuan dakwah juga menjadi perhatian para ahli. Dalam merumuskan


definisi dakwah, ada ahli mengemukakan tujuan dakwah adalah dunia dan
akherat; ada yang hanya tujuan dunia saja; dan ada pula yang tidak
mencantumkan tujuan dakwah secara jelas. Dalam perspektif ilmiah dapat kita
katakan bahwa kita dapat menggambarkan dan mengukur tujuan duniawi,
tetapi kita tidak bisa menjelaskan tujuan akherat. Tujuan akherat tidak bisa
diuji dan diukur secara empirik dan ilmiah. Jika tujuan dakwah adalah
kebahagiaan dunia dan akhirat, bagaimana mengetahui kebehagian akhirat
tersebut. Yusuf al-Qardlawi (1998: 145-147) memberi penjelasan lebih lanjut
tentang akhirat. Kita bisa mendapatkan ilmu tentang akherat namun kita tidak
pernah melihat atau menyaksikan orang yang mengalaminya (‘ain al-yaqin),
bahkan kita sendiri juga tidak pernah mengalaminya (haqq al-yaqin).
Para penulis dakwah di Indonesia - umumnya akademisi di perguruan
tinggi Islam - sering menonjolkan aspek metode dakwah. Tidak demikian
dengan para penulis dari Timur Tengah yang umumnya menekankan aspek
pesan dakwah. Para sarjana Barat lebih melihat makna dari sisi sosiologis,
yakni mitra dakwah. Padahal, konsep dakwah di Indonesia mula-mula
dikembangkan sesuai dengan konsep dakwah Timur Tengah. Pembahasan
dakwah pada awalnya banyak menyentuh wilayah teologis, namun saat ini,
konsep dakwah dikembangkan dengan ilmu-ilmu sosial, seperti Ilmu
Komunikasi, Psikologi, dan Sosiologi. Beberapa penulis buku tentang dakwah
menyebutkan jenis pesan dakwah dalam definisinya, bahkan Aboebakar Atjeh
dan Toha Yahya Oemar menyebut status perintah menyebarkan Islam dalam
definisi. Di samping itu, pembuatan definisi dakwah dengan pendekatan
teologis selalu berkutat pada istilah-istilah dari ayat-ayat tentang dakwah. Ini
dapat dibandingkan antara buku dakwah generasi awal dan akhir dalam
mengutarakan metode dakwah. Demikian pula, kebahagiaan akherat sebagai
tujuan dakwah juga terpengaruh oleh ayat-ayat al-Qur’an.
Jika dilihat dari sudut kata pertama sebagai jenis (genus atau al-jinsu)
dalam definisi-definisi di atas, maka hampir semua definisi menyebut kata
”usaha mengajak” sebagai kata kuncinya. ”Usaha mengajak” menunjukkan
suatu aktivitas. Oleh karena itu, para ahli lebih memandang dakwah sebagai
kegiatan yang dipraktekkan daripada konsep ilmiah yang dikembangkan.
Beberapa ahli yang lain menggunakan kata ”proses” sebagai kuncinya.
Dakwah bukan kegiatan aksidental ataupun kegiatan sambil lalu, melainkan
kegiatan yang berkesinambungan. Terdapat perbedaan antara pemahaman
dakwah sebagai kegiatan dan sebagai proses. Dakwah sebagai kegiatan
cenderung mengarah pada pelaksanaannya. Dakwah sebagai proses lebih
mementingkan hasil maksimal atau hasil akhir. Dalam proses, kegiatan
dakwah tidak berhenti hingga tujuan dakwah telah tercapai.
Secara umum, definisi dakwah yang dikemukakan para ahli di atas
menunjuk pada kegiatan yang bertujuan perubahan positif dalam diri manusia.
Perubahan positif ini diwujudkan dengan peningkatan iman, mengingat
sasaran dakwah adalah iman. Karena tujuannya baik, maka kegiatannya juga
harus baik. Ukuran baik dan buruk adalah syari’at Islam yang termaktub
16

dalam al-Qur’an dan Hadits. Ukuran teks ini lebih stabil dibanding ukuran
akal yang senantiasa dinamis sesuai dengan konteksnya, meski teks sendiri
memerlukan penafsiran konteks. Dengan ukuran ini, metode, media, pesan,
teknik harus sesuai dengan maksud syari’at Islam (maqashid al-syari’ah).
Karenanya, pendakwah pun harus seorang muslim. Dengan demikian,
rumusan singkat definisi dakwah yang terangkum dari beberapa definisi di
atas adalah kegiatan peningkatan iman menurut syari’at Islam.
Apabila definisi dakwah dari para ahli dikaitkan dengan beberapa
fenomena dakwah, pemahaman dakwah dari sudut bahasa, serta
pengembangan makna konsep dakwah di atas, maka dapat dinyatakan bahwa
dakwah merupakan proses peningkatan iman dalam diri manusia sesuai
syari’at Islam. ”Proses” menunjukkan kegiatan yang terus-menerus,
berkesinambungan, dan bertahap. Peningkatan adalah perubahan kualitas yang
positif: dari buruk menjadi baik, atau dari baik menjadi lebih baik.
Peningkatan iman termanifestasi dalam peningkatan pemahaman, kesadaran,
dan perbuatan. Untuk membedakan dengan pengertian dakwah secara umum,
syari’at Islam menjadi tolok ukur dakwah Islam. Dengan syari’at Islam
sebagai pijakan, hal-hal yang terkait dengan dakwah tidak boleh betentangan
dengan al-Qur’an dan hadits.
Dalam perkembangan berikutnya, definisi dakwah mengalami
perubahan bersamaan dengan upaya meningkatkan status dakwah sebagai satu
disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Keilmuan dakwah akan diuraikan secara
khusus pada bab berikutnya.
D. Beberapa Istilah Semakna dengan Dakwah
Pengertian dakwah dari segi bahasa dan definisi para ahli sebagaimana
disebutkan di atas memiliki padanan dengan istilah-istilah yang lain, antara
lain: tabligh, khutbah, nashihah, tabsyir wa tandzir, washiyyah, amar ma’ruf
nahi munkar, tarbiyah wa ta’lim dan sebagainya. Masing-masing istilah ini
berasal dari bahasa Arab yang telah menjadi istilah agama Islam dan sebagian
telah populer dalam masyarakat muslim. Namun seringkali terjemahannya
kurang tepat. Untuk mencari maknanya, sejumlah ayat al-Qur’an yang
memunculkan istilah itu dapat ditelusuri.
1. Tabligh (‫)ﺗﺒﻠﯿﻎ‬
Dalam berbagai pembentukan katanya, kata ini dikemukakan al-Qur’an
sebanyak 77 kali (Asep Muhiddin, 2002: 63). Arti asal tabligh adalah
menyampaikan. Dalam aktivitas dakwah tabligh berarti menyampaikan ajaran
Islam kepada orang lain. Tabligh lebih bersifat pengenalan dasar tentang
Islam. Pelakunya disebut mubaligh, yaitu orang yang melakukan tabligh.
Muhammad Abu al-Fath al-Bayanuni (1993: 19) meletakkan tabligh pada
tahapan awal dakwah. Tahapan berikutnya adalah pengajaran dan pendalaman
ajaran Islam. Setelah itu, penerapan ajaran Islam dalam kehidupan. Sebagai
tahapan awal, tabligh sangat strategis. Keberhasilan tabligh adalah
keberhasilan dakwah, kegagalan tabligh juga kegagalan dakwah. Perbedaan
17

antara dakwah dan tabligh dijelaskan Amrullah Ahmad (1993: 49) sebagai
berikut.
“Tabligh adalah bagian dari sistem dakwah Islam. Kegiatan dakwah
adalah usaha bersama orang yang beriman dalam merealisasikan ajaran
Islam ke dalam seluruh aspek kehidupan yang dilakukan melalui
lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi. Sedangkan tabligh adalah
usaha menyampaikan dan menyiarkan pesan Islam yang dilakukan
oleh individu maupun kelompok baik secara lisan maupun tulisan”.
Seorang mubaligh akan menghadapi orang-orang yang beraneka
pemahamannya khususnya orang yang awam tentang Islam. Karena awamnya
ini, boleh jadi rintangan dan ancaman terhadap mubaligh sangat besar. Dalam
surat al-Maidah ayat 67 dijelaskan bahwa Rasulullah SAW diperintahkan
untuk tabligh (menyampaikan wahyu yang diterima dari Allah SWT) dan
Allah SWT menjanjikan penjagaannya.
 
  
    
   
  
   
   
 
Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu,
berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara
kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
Ibnu Katsir (1997, II: 84) mengomentari ayat tersebut,
“Sebelum turunnya ayat ini, Nabi SAW benar-benar menjaga
dirinya”. ‘Aisyah r.a, istri Nabi SAW, menceritakan bahwa Rasulullah
SAW tidak tidur pada suatu malam dan ia sedang berada di sebelahnya.
‘Aisyah r.a bertanya, “Apakah yang Anda inginkan, wahai Rasulullah
SAW ?”. Rasulullah SAW menjawab, “Barangkali ada seorang laki-
laki saleh yang menjaga diriku malam ini”. “Tak lama kemudian”,
cerita ‘Aisyah r.a, “aku mendengar suara pedang”. “Siapakah ini ?”,
tanya Rasulullah SAW. “Aku Sa’id bin Malik,” jawab orang laki-laki
yang bernama Sa’id. “Mengapa kamu datang ke sini?”, tanya
Rasulullah SAW selanjutnya. Sa’id menjawab, “Aku datang untuk
menjaga Anda, wahai Rasulullah SAW”. ‘Aisyah r.a bercerita lagi,
“Setelah itu, aku mendengar dengkuran Rasulullah SAW dalam
tidurnya” (al-Bukhari, t.t.: 222).
18

Dalam ayat yang lain juga disebutkan bahwa tugas para nabi dan
pendakwah pada umumnya hanyalah tabligh kepada umatnya. Apakah mereka
mengikuti atau tidak, bukan urusan para nabi dan pendakwah. Tabligh
sebenarnya dapat disampaikan melalui lisan maupun tulisan. Akan tetapi,
istilah mubaligh sekarang cenderung diartikan secara sempit oleh masyarakat
umum sebagai orang yang menyampaikan ajaran Islam melalui lisan, seperti
penceramah agama, pembaca khutbah, dan sebagainya. Dalam surat Ali
‘Imran ayat 20, Yasin ayat 17, al-Maidah ayat 92 dan 99, al-Ra’d ayat 40, al-
Nahl ayat 54, al-‘Ankabut ayat 18, dan al-Syu’ara’ ayat 48 dinyatakan bahwa
tabligh itu berorientasi tugas, bukan hasil.
  
  
   
 


  
 
  
 
  
 
 
Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam),
maka katakanlah: "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan
(demikian pula) orang-orang yang mengikutiku" Dan katakanlah
kepada orang-orang yang telah diberi Al kitab dan kepada orang-
orang yang ummi: "Apakah kamu (mau) masuk Islam". Jika mereka
masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika
mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan
(ayat-ayat Allah) dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.
(QS Ali Imran: 20)
Sekalipun tugas mubaligh hanya menyampaikan ajaran Islam, namun
penyampaiannya dituntut untuk benar-benar mendalam dan membuat mitra
dakwah menjadi paham. Pesan dakwah yang mudah dipahami dan
mengesankan disebut baligh atau qaulan baligha (QS an-Nisa’: 63). Oleh
sebab itu dalam Surat Yasin ayat 17 disebutkan bahwa tugas para nabi adalah
tabligh dengan bahasa yang jelas (al-balagh al-mubin).
   
 
Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah
Allah) dengan jelas.(QS Yasin:17)
19

Dengan demikian target utama tabligh adalah ranah kognitif


(pemahaman dan pemikiran), bukan ranah afektif (sikap) maupun konatif
(perilaku) mitra dakwah.
2. Nasehat (‫)ﻧﺼﯿﺤﺔ‬
Nasehat hampir sama maknanya dengan dakwah. Kata nashihah terdiri
dari tiga huruf asal, yaitu nun, shad, dan ha’. Dari ketiga huruf ini, terbentuk
tiga arti: memberi nasehat, menjahit, dan membersihkan. Syekh Ahmad bin
Syekh Hijazi al-Fasyani (t.t.: 26) memberi komentar atas arti tersebut,
“Pemberi nasehat diserupakan dengan penjahit pakaian. Ia berusaha menjaga
kualitas dan memperbaiki barang yang diterimanya. Ia menjahit baju yang
sobek. Pemberi nasehat juga berupaya meluruskan dan memperbaiki
keagamaan seseorang, seperti membersihkan madu dari lumuran lilin”.
Nasehat adalah menyampaikan suatu ucapan kepada orang lain untuk
memperbaiki kekurangan atau kekeliruan tingkah lakunya (Muhammad bin
‘Allan al-Shiddiqi, t.t.: 460). Nasehat juga dapat diartikan sebagai
menghendaki kebaikan seseorang (Muhammad bin ‘Abd al-‘Aziz al-Khauli,
t.t.: 17). Nasehat lebih banyak bersifat kuratif dan korektif terhadap kondisi
keagamaan seseorang atau masyarakat yang kurang baik. Nasehat juga bisa
dilakukan melalui lisan atau tulisan.
Nasehat merupakan kewajiban bagi setiap muslim agar saling menjaga
kualitas keagamaan satu sama lain. Jarir bin Abdullah berkata,

‫ﺑﺎﯾﻌﺖ رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﯿﮫ و ﺳﻠﻢ ﻋﻠﻰ إﻗﺎم اﻟﺼﻼة و إﺗﺎء اﻟﺰﻛﺎة‬
‫واﻟﻨﺼﺢ ﻟﻜﻞ ﻣﺴﻠﻢ‬
“Aku telah berjanji setia kepada Rasulullah SAW untuk mendirikan
shalat, membayar zakat, dan memberi nasehat kepada setiap muslim”
(Muslim, 1988: I: 49: nomor 97).
Dalam hadits ini, memberi nasehat disejajarkan dengan kewajiban
shalat dan zakat. Dalam hadits yang lain, dari Abu Ruqiyyah Tamim bin Aus
al-Duri, Nabi SAW bersabda,

‫ﻠﻤﯿﻦ‬
“Agama itu nasehat”. Kami bertanya, “Untuk siapa,‫وﻋﺎﻣﺘﮭﻢ‬ wahai
Rasulullah SAW?”. “Untuk Allah, untuk Kitab Allah, untuk Rasul
Allah, untuk para pemimpin umat Islam dan semua umat Islam” jawab
Rasulullah SAW” (Muslim, 1988: I: 49: nomor 95).
Al-Khauli (t.t.: 17-18) menjelaskan hadits yang terakhir ini sebagai
berikut.
“Nasehat untuk Allah SWT adalah beriman kepada-Nya, taat pada
perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya…. Nasehat kepada Allah adalah
mempercayai al Qur’an sebagai Kalam Allah SWT, menjadikannya
sebagai petunjuk, memperdalam maknanya, dan mengamalkan
20

kandungannya…. Nasehat kepada Rasul Allah adalah membenarkan


apa yang telah dibawanya, mengikutinya, mengetahui sunnahnya,
menyebarkan dan mengamalkan sunnahnya…Nasehat untuk para
pemimpin umat Islam adalah membantunya dalam kebenaran,
mentaatinya, mengingatkannya akan kebutuhan masyarakat….
Nasehat untuk semua umat Islam adalah membimbing mereka kepada
kualitas hidup di dunia dan akherat, menjauhkan mereka dari
malapetaka, mengajarkan mereka apa yang tidak diketahui, amar
ma’ruf nahi munkar …”
Dalam al-Qur’an, kata nasehat dan pembentukan katanya disebutkan
sebanyak 13 kali. 12 ayat di antaranya mengandung arti memberikan nasehat.
Nasehat adalah tiang agama. Al-Asnawi berkata: “Jika Allah SWT
menghendaki kebajikan kepada hamba-Nya, maka ia akan mengirimkan
seseorang untuk mengingatkannya ketika ia lupa. Jika Allah SWT
menghendaki kerusakan hamba-Nya, maka ia akan mengirimkan teman jahat
yang melarangnya untuk menerima atau mengikuti nasehat” (al-Fasyani, t.t.:
27).
Mengapa seseorang enggan menerima nasehat? Menurut Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah (1993: 157) sifat hasud adalah penyebabnya. Umat penentang
nasehat para nabi bukan karena tidak mengerti inti risalah yang dibawa para
nabi itu, melainkan karena dorongan sifat hasud dan sombong. Mereka
mengetahui para nabi adalah orang yang jujur dan berbudi luhur, tetapi mereka
tidak senang dipimpin oleh para nabi, terutama mereka yang mempunyai
kedudukan sosial yang tinggi. Karena ada kerusakan moral yang perlu
diperbaiki, para nabi memperbaiki umat yang dipimpinnya dengan
menyampaikan nasehat, seperti dalam surat al-A’raf ayat 62 dan 68.
 
  
    
 
Aku (Nuh) sampaikan kepadamu amanat-amanat Tuhanku dan aku
memberi nasehat kepadamu, dan aku mengetahui dari Allah apa yang
tidak kamu ketahui
 
   
 
Aku (Hud) menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepadamu dan
aku (Hud) hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu.
Dalam konteks dakwah, nasehat lebih bersifat personal, pribadi, dan
empat mata. Nasehat adalah konseling yang memecahkan dan mengatasi
keagamaan seseorang. Karena masing-masing orang memiliki masalah yang
berbeda satu sama lain, maka penasehat harus jeli dalam melihat kondisi
21

kliennya. Ia perlu mempelajari metode-metode Bimbingan dan Konseling (al-


nashihah wa al-irsyad) yang telah dikembangkan oleh para pakar. Pemberi
nasehat (naashih) harus bisa merasakan apa yang dirasakan kliennya. Inilah
yang disebut dengan ilmu hudluri, yaitu melibatkan keseluruhan dirinya
dalam pengalaman orang lain (Jalaluddin Rakhmat, 2002: 206).
3. Tabsyir (‫ )ﺗﺒﺸﯿﺮ‬dan Tandzir (‫)ﺗﻨﺬ ﯾﺮ‬
Kedua kata ini saling terkait dan keduanya mempunyai makna yang
hampir sama dengan dakwah. Tabsyir adalah memberikan uraian keagamaan
kepada orang lain yang isinya berupa berita-berita yang menggembirakan
orang yang menerimanya, seperti berita tentang janji Allah SWT berupa
pahala dan surga bagi orang yang selalu beriman dan beramal saleh. Istilah ini
sepadan dengan targhib (‫)ﺗﺮﻏﯿﺐ‬, yaitu menerangkan ajaran agama yang dapat
menyenangkan hati dan dapat memberikan gairah orang lain untuk
melakukannya. Orang yang memberikan tabsyir disebut mubasysyir (‫)ﻣﺒﺸﺮ‬
atau basyir (‫)ﺑﺸﯿﺮ‬.
Kebalikan dari tabsyir adalah Tandzir yaitu menyampaikan uraian
keagamaan kepada orang lain yang isinya peringatan atau ancaman bagi
orang-orang yang melanggar syari’at Allah SWT. Tandzir diberikan dengan
harapan orang yang menerimanya tidak melakukan atau menghentikan
perbuatan dosa. Orang yang memberikan tandzir disebur mundzir (‫ )ﻣﻨﺬﯾﺮ‬atau
nadzir (‫)ﻧﺬﯾﺮ‬. Istilah ini sama dengan tarhib (‫ )ﺗﺮھﯿﺐ‬sebagai lawan dari targhib,
yakni membuat orang takut akan siksaan Allah SWT jika ia melakukan
perbuatan dosa.
Terdapat sejumlah ayat al-Qur’an yang menyebut tabsyir dan tandzir.
Di antaranya adalah surat al-Isra’ ayat 105 dan al-Baqarah ayat 119.
 
   
  
 
Dan Kami turunkan (Al Quran) itu dengan sebenar-benarnya dan Al
Quran itu telah turun dengan (membawa) kebenaran. Dan Kami tidak
mengutus kamu, melainkan sebagai pembawa berita gembira
(mubassyir) dan pemberi peringatan (nadziir) (QS al-Isra’:105)
 
 
    
  
Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan
kebenaran; sebagai pembawa berita gembira (basyiir) dan pemberi
peringatan (nadziir), dan kamu tidak akan diminta
(pertanggungjawaban) tentang penghuni-penghuni neraka. (QS al-
Baqarah: 119)
22

Dalam al-Qur’an, tabsyir dan tandzir selalu disebut beriringan dalam


bentuk kata sifat (isim fa’il), yakni basyir dan nadzir. Jika keduanya disebut,
kata basyir selalu didahulukan dari kata nadzir. Ini dapat diartikan bahwa
tabsyir harus diutamakan dari tandzir. Islam harus dihadirkan sebagai berita
gembira, bukan diwujudkan sebagai ancaman. Hal ini sesuai dengan hakekat
Islam sebagai agama yang mudah diamalkan serta penuh hikmah dan manfaat.
Tidak ada ajaran Islam yang sulit diamalkan, kecuali penganutnya sendiri yang
mempersulit. Tidak ada ajaran Islam yang menimbulkan dampak bahaya, baik
terhadap individu maupun masyarakat. Semakin mendalami ajaran Islam,
semakin banyak kekaguman yang diperoleh. Semua keistimewaan Islam ini
perlu dikemukakan agar Islam tidak dijauhi, sebagaimana pesan Nabi SAW
dalam penuturan Abu Musa RA. ketika mengutus salah seorang sahabatnya
untuk suatu tugas. Nabi SAW bersabda, (Muslim, 1988: II: 132: nomor 1732;
Abu Dawud, : IV: 280: nomor 4835)

‫ﺑﺸﺮوا وﻻ ﺗﻨﻔﺮوا وﯾﺴﺮوا وﻻ ﺗﻐﺴﺮوا‬


"Berilah kabar gembira dan jangan menggelisahkannya. Berbuatlah
sesuatu yang memudahkan dan jangan membuat sesuatu yang
menyulitkan” (HR. Muslim dan Abu Dawud)
Bila hati seseorang rindu pada kenikmatan surga, maka ia akan
melakukan kesalehan dan meningkatkannya. Dengan kesalehan itu, orang akan
berusaha mengurangi perbuatan tercela bahkan meninggalkannya sama sekali.
Perbuatan baik dapat menghapus perbuatan tercela (Q.S. Hud: 114). Ancaman
siksa dapat disampaikan ketika kenikmatan surga tidak lagi menjadi perhatian.
Dengan ancamaan dan murka Allah, diharapkan kemaksiatan dan kerusakan
dapat dihentikan. Ketika upaya tandzir tidak lagi diperhatikan, bahkan
ditertawakan dan menjadi bahan ejekan, langkah berikutnya adalah sabar dan
menyerahkan semuanya kepada Allah SWT. Langkah-langkah ini telah
dilakukan para nabi. Mula-mula para nabi mengajak kaumnya untuk minta
ampun kepada Allah SWT dengan mengemukakan bahwa mereka akan
mendapatkan pengampunan dan pahala yang besar. Kaum yang durhaka
menolak dan menghina. Para nabi kemudian memperingatkan ancaman siksa
yang juga dibalas dengan penghinaan. Akhirnya, para nabi menunggu perintah
Allah SWT. Kisah Nabi Hud dengan kaum ‘Ad dapat disimak dalam surat
Hud ayat 50-60. Kisah Nabi Shaleh dengan kaum Tsamud dalam surat Hud
ayat 61-68. Kisah Nabi Nuh dalam surat Nuh. Demikian juga kisah-kisah nabi
lainnya dalam beberapa ayat dan surat dalam al-Qur’an.
Dalam pemaparan pesannya, al-Qur’an menyampaikan ayat-ayat
tentang tabsyir dan tandzir secara beriringan. Setelah ayat-ayat tentang
kenikmatan surga kemudian diikuti ayat-ayat tentang beratnya penderitaan
siksa neraka, atau sebaliknya. Perhatikan surat al-Ghasyiyah ayat 1-16. Setelah
Allah C menjelaskan wajah orang-orang kafir yang menunduk sedih
menghadapi siksa neraka, maka Allah SWT kemudian menjelaskan wajah
orang-orang mukmin yang berseri-seri merasakan kenikmatan surga. Atau
23

tabsyir dahulu kemudian tandzir seperti pada surat al-Qari’ah ayat 6-11.
Setelah Allah SWT menjelaskan keridlaanNya kepada orang-orang yang berat
timbangan kesalehannya kemudian dijelaskan adanya neraka yang telah
dipersiapkan untuk mereka yang tidak memiliki timbangan kesalehan.
4. Khutbah (‫)ﺧﻄﺒﺔ‬
Kata khutbah berasal dari susunan tiga huruf, yaitu kha’, tha’, dan ba’,
yang dapat berarti pidato atau meminang. Arti asal khutbah (‫ )ﺧﻄﺒﺔ‬adalah
bercakap-cakap tentang masalah yang penting. Berdasar pengertian ini maka
khutbah adalah pidato yang disampaikan untuk menunjukkan kepada
pendengar mengenai pentingnya suatu pembahasan. Pidato diistilahkan dengan
khithabah (‫)ﺧﻄﺎﺑﺔ‬. Dalam bahasa Indonesia sering ditulis dengan khutbah atau
khotbah. Pidato Nabi SAW yang disampaikan pada haji yang terakhir sebelum
wafat beliau disebut oleh para ahli sejarah dengan khutbah wada’ (pidato
perpisahan). Orang yang berkhutbah disebut khathib. Dalam al-Qur’an,
dikemukakan bahwa hamba Allah SWT yang beriman (’ibad al rahman)
selalu menghindari percakapan (khutbah) orang-orang yang bodoh (al-Furqan:
63). Dalam beberapa hadits, apabila ada masalah penting yang harus
disampaikan, Nabi SAW segera naik mimbar berkhutbah di hadapan para
sahabat. Bagaimana penyampaian khutbah Nabi SAW ada baiknya kita
perhatikan penuturan Jabir bin ‘Abdullah R.A :

‫ﻛﺎن رﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﷲ ﻋﻠﺴﮫ وﺳﻠﻢ إذا ﺧﻄﺐ اﺣﻤﺮت ﻋﯿﻨﺎه وﻋﻼ ﺻﻮﺗﮫ‬
‫واﺷﺘﺪ ﻏﻀﺒﮫ ﺣﺘﻰ ﻛﺄﻧﮫ ﻣﻨﺬر ﺟﯿﺶ ﯾﻘﻮل ﺻﺒﺤﻜﻢ وﻣﺴﺎﻛﻢ وﯾﻘﻮل ﺑﻌﺜﺖ أﻧﺎ و‬
‫اﻟﺴﺎﻋﺔ ﻛﮭﺎﺗﯿﻦ وﯾﻘﺮن ﺑﯿﻦ إﺻﺒﻌﯿﮫ اﻟﺴﺒﺎﺑﺔ واﻟﻮﺳﻄﻰ وﯾﻘﻮل أﻣﺎ ﺑﻌﺪ ﻓﺈن ﺧﯿﺮ‬
‫اﻟﺤﺪﯾﺚ ﻛﺘﺎب ﷲ وﺧﯿﺮ اﻟﮭﺪى ھﺪى ﻣﺤﻤﺪ وﺷﺮاﻷﻣﻮر ﻣﺤﺪﺛﺎﺗﮭﺎ وﻛﻞ ﺑﺪﻋﺔ‬
‫ﺿﻼﻟﺔ ﺛﻢ ﯾﻘﻮل أﻧﺎ أوﻟﻰ ﺑﻜﻞ ﻣﺆﻣﻦ ﻣﻦ ﻧﻔﺴﮫ ﻣﻦ ﺗﺮك ﻣﺎﻻ ﻓﻸھﻠﮫ وﻣﻦ ﺗﺮك‬
‫دﯾﻨﺎ أو ﺿﯿﺎﻋﺎ ﻓﺈﻟﻲ وﻋﻠﻲ‬
“Pada saat Rasulullah SAW berkhutbah, kedua matanya tampak
memerah, suaranya keras, dan kelihatannya sangat marah, hingga
beliau bagaikan orang yang memperingatkan akan kedatangan
pasukan musuh. Beliau mengatakan, “Musuh akan datang dengan
tiba-tiba di pagi hari. Musuh akan datang dengan tiba-tiba di sore
hari”. Beliau berkata lagi,” Masa aku diutus dan Hari Kiamat seperti
ini”. Nabi SAW mensejajarkan jari tulunjuk dan jari tengahnya. Beliau
bersabda, “Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah
Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad.
Seburuk-buruk perkara adalah hal-hal yang bid’ah, dan setiap perkara
yang bid’ah itu sesat” (Muslim, 1988: I: 380: nomor 867).
Makna khutbah sudah tergeser dari pidato secara umum menjadi pidato
atau ceramah agama dalam ritual keagamaan. Aboebakar Atjeh (1971: 6)
mendefinisikan khutbah sebagai dakwah atau tabligh yang diucapkan dengan
lisan pada upacara-upacara agama, seperti khutbah Jum’at, Khutbah Hari
Raya, Khutbah Nikah, dan lain-lain yang mempunyai corak, rukun, dan syarat
24

tertentu. Nabi SAW bersabda, “Setiap khutbah yang tidak ada tasyahhud
bagaikan tangan yang terputus”(Abu Dawud, 1994: III: 280: nomor 4841).
Terkait dengan tasyahhud (bacaan syahadat) yang menjadi pembuka khutbah,
‘Abdullah bin Mas’ud pernah diajarkan Nabi SAW sebagai berikut (Abu
Dawud, 1996: I: 411: nomor 1067)

‫ﻧﺴﺘﻐﻔﺮه‬
‫ﻓﻼ ھﺎدي ﻟﮫ وأﺷﮭﺪ أن ﻻ إﻟﮫ إﻻ ﷲ وأﺷﮭﺪ أن ﻣﺤﻤﺪا ﻋﺒﺪه ورﺳﻮﻟﮫ أرﺳﻠﮫ‬
‫ﺑﺎﻟﺤﻖ ﺑﺸﯿﺮا وﻧﺬﯾﺮا ﺑﯿﻦ ﯾﺪي اﻟﺴﺎﻋﺔ ﻣﻦ ﯾﻄﻊ ﷲ ورﺳﻮﻟﮫ ﻓﻘﺪ رﺷﺪ وﻣﻦ‬
‫ﯾﻌﺼﮭﻤﺎ ﻓﺈﻧﮫ ﻻﯾﻀﺮ إﻻ ﻧﻔﺴﮫ وﻻﯾﻀﺮ ﷲ ﺷﯿﺌﺎ‬
“Sesungguhnya Rasulullah SAW ketika membaca tasyahhud, ia
mengucapkan: segala puji bagi Allah SWT. Kami memohon
pertolongan kepada-Nya. Kami memohon ampunan kepada-Nya. Kami
memohon perlindungan kepada-Nya dari kejahatan nafsu kami.
Siapapun yang diberi petunjuk oleh Allah SWT, maka tidak ada orang
yang menyesatkannya. Siapapun yang disesatkan oleh Allah SWT,
maka tidak ada orang yang memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa
sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah SWT. Aku bersaksi bahwa
sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan Allah SWT. Ia
diutus dengan membawa kebenaran seraya memberikan kabar gembira
dan peringatan setelah Hari Kiamat. Siapapun yang menaati Allah
SWT dan Rasul-Nya, maka ia benar-benar telah mendapatkan
petunjuk. Siapapun yang mendurhakai Allah SWT dan Rasul-Nya,
maka sesungguhnya ia celaka hanya karena dirinya. Allah SWT sama
sekali tidak membuatnya celaka”.
Dengan pengertian khutbah yang sudah bergeser dari pidato atau
ceramah menjadi pidato yang khusus pada acara ritual keagamaan di atas,
maka yang membedakan khutbah dengan pidato pada umumnya terletak pada
adanya aturan yang ketat tentang waktu, isi, dan cara penyampaian pada
khutbah. Khutbah Jum’at misalnya hanya bisa disampaikan pada salat Jum’at
dan tidak dibenarkan disampaikan dengan humor atau tanya jawab
sebagaimana ceramah pada umumnya.
5. Washiyah (‫ )وﺻﯿﺔ‬atau Taushiyah (‫)ﺗﻮﺻﯿﺔ‬
Istilah ini juga hampir sama dengan dakwah. Washiyah berarti pesan
atau perintah tentang sesuatu. Kegiatan menyampaikan washiyah disebut
taushiyah. Kata ini kemudian dalam bahasa Indonesia ditulis dengan wasiat.
Pengertian ini dipahami dari kata washiyah dan kata pengembangannya dalam
al-Qur’an dan al-Hadits. Wasiat dipahami secara sempit dalam Fikih sebagai
pemberian harta atau pembebasan budak oleh seseorang kepada orang lain
atau beberapa orang sebelum kematiannya, baik dengan ungkapan kata wasiat
yang jelas maupun tidak jelas (Ibnu Rusyd al-Qurthubi, t.t.: II: 252). Wasiat
25

wajib dilaksanakan oleh penerima wasiat selama tidak bertentangan dengan


agama.
Dalam konteks dakwah, wasiat berupa pesan moral yang harus
dijalankan oleh penerima wasiat. Dalam sejumlah hadits, Nabi SAW
kadangkala memberi wasiat tanpa diminta oleh seseorang dan kadangkala
diberikan setelah ada orang yang memintanya. Pesan moral wasiat merupakan
pesan yang sangat penting dibanding pesan yang lain. Pesan ini tidak
disampaikan dengan cara lain kecuali dengan wasiat. Ia bukan hanya sebagai
perintah, namun juga tuntutan yang harus dilaksanakan. Pengabaian terhadap
pelaksanaan wasiat dapat dijatuhi sanksi moral yang berat. Pesan moral wasiat
ini dutujukan kepada orang tertentu, meskipun setiap orang dapat
menjalankannya. Ada beberapa kitab yang khusus membahas wasiat-wasiat
Nabi SAW maupun wasiat ulama tertentu, antara lain: Kitab min Washaya al-
Rasul Khams wa Khamsun Washiyyah( Kitab Tentang 55 wasiat Rasulullah)
ditulis oleh Hamzah Muhammad Shalih ‘Ajaj dari beberapa kitab hadits, Kitab
Washiyyah al-Mushthofa li al-Imam ‘Ali (Kitab Wasiat Nabi SAW kepada
Imam Ali) dan Kitab al-Minah al-Saniyyah ‘ala Washiyyah al-Matbuliyyah
(Kitab Pemberian Yang Indah: Wasiat Syekh Matbul) yang merupakan wasiat
dari seorang ulama, yakni Abu Ishaq Ibrahim al-Matbuli. Imam Habib
Abdullah al-Haddad juga menulis kitab Al-Nashaaihu Al-Diniyyah wa al-
Washaayaa Al Imaniyyah (Nasehat Kegamaan dan Wasiat Keimanan). Ketiga
kitab yang tersebut terakhir ini sangat akrab bagi masyarakat muslim
Indonesia, terutama di lingkungan pondok pesantren.
Dalam al-Qur’an disebutkan adanya wasiat keagamaan para nabi
kepada anak cucu serta umatnya dan wasiat Allah SWT kepada para nabi-Nya,
antara lain sebagai berikut:
1. Surat al-Baqarah ayat 131-132:
   
   
  
  
  
   
   
  
Ketika Tuhannya berfirman kepadanya (Ibrahim): "Tunduk patuhlah!"
Ibrahim menjawab: "Aku tunduk patuh kepada Tuhan Semesta Alam".
Dan Ibrahim telah mewasiatkan pesan itu kepada anak-anaknya,
demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku!
sesungguhnya Allah SWT telah memilih agama ini bagimu, maka
janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.
2. Surat Maryam ayat 30-31:
26

   


 
  
 
   
 
   
Isa berkata: "Sesungguhnya aku ini hamba Allah SWT, Dia memberiku Al-
kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi. Dan Dia menjadikan
aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia
memerintahkan (berwasiat) kepadaku (untuk mendirikan) shalat dan
(menunaikan) zakat selama aku hidup.
3. Surat al-Syura ayat 13:
   
   
 
  
 
   
  
   
  
   
  
  
 
Dia (Allah) telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama, sesuatu yang
telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan
kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan
Isa, yaitu: tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru
mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang
kembali (kepada-Nya).
4. Surat al-‘Ankabut ayat 8:
 
  
  
     
   
27

 
  

Dan Kami wasiatkan (wajibkan) (manusia (berbuat) kebaikan kepada dua
orang ibu-bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu
tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Hanya kepada-Ku-
lah kembalimu, lalu Aku kabarkan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan.
5. Surat al-Dzariyyat ayat 52-53:
  
   
   
  
   
   
Demikianlah tidak seorang Rasulpun yang datang kepada orang-orang
yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan: "Dia adalah
seorang tukang sihir atau seorang gila." Apakah mereka saling berpesan
(berwasiat) tentang apa yang dikatakan itu, sebenarnya mereka adalah
kaum yang melampaui batas.
6. Surat al-Ashr ayat 1-3:
  
   
  
 
 
 

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan perbuatan baik dan
nasehat menasehati (saling berwasiat) supaya mentaati kebenaran dan
nasehat menasehati (saling berwasiat) supaya menetapi kesabaran.
Dari beberapa ayat di atas, dapat dijelaskan bahwa wasiat dapat berarti
perintah bila disandarkan kepada Allah SWT (QS. Maryam: 31. al-Syura:13,
al-‘Ankabut:8). Perintah Allah SWT mutlak harus dipatuhi, sementara
perintah selain Allah SWT harus dilihat terlebih dahulu kesesuaiannya dengan
perintah Allah SWT. Karena itu, meskipun Allah SWT memerintahkan kita
untuk berbakti kepada kedua orang tua, namun bakti tersebut tidak untuk
menentang perintah Allah SWT (QS. al-‘Ankabut:8). Sebagai orang tua, para
nabi senantiasa melakukan wasiat kepada para anak-cucunya agar senantiasa
28

berpegang pada agama tauhid (QS. al-Baqarah: 131-132). Tradisi wasiat ini
ternyata juga dipertahankan oleh orang-orang saleh yang beriman. Sebaliknya,
orang-orang yang tidak beriman juga melestarikan tradisi wasiat kepada anak-
cucunya agar menentang agama tauhid (QS. al-Dazriyyat: 52-53). Dengan
demikian, wasiat menjadi cara yang efektif dalam melestarikan tradisi.
6. Tarbiyah (‫ )ﺗﺮﺑﯿﺔ‬dan Ta’lim (‫)ﺗﻌﻠﯿﻢ‬
Kedua istilah ini memiliki arti yang tidak jauh berbeda dengan
dakwah. Keduanya umumnya diartikan dengan pendidikan dan pengajaran.
Pendidikan merupakan transformasi nilai-nilai, ilmu pengetahuan, maupun
ketrampilan yang membentuk wawasan, sikap, dan tingkah laku individu atau
masyarakat. Proses pendidikan adalah proses perubahan sosial yang berangkat
dari ide, gagasan, pendapat, dan pemikiran. Dakwah juga demikian. Kata
tarbiyah dalam kamus dapat berarti mengasuh, mendidik, memelihara,
tumbuh, tambah besar, dan membuat (Munawwir, 1997: 469). Dalam al-
Qur’an, kata tarbiyah dan kata yang bersumber darinya banyak digunakan
untuk masalah riba yang berarti tambah. Hanya ada dua ayat yang diartikan
mengasuh, yaitu dalam surat al-Isra’ ayat 24 tentang kepengasuhan kedua
orang tua dan Surat al-Syu’ara’ ayat 18 tentang kepengasuhan Nabi Musa AS
oleh Fir’aun. Kepengasuhan tidak hanya memelihara anak dari segi fisiknya,
tetapi juga mempengaruhinya dengan nilai-nilai yang ditanam melalui
pergaulan. Nilai yang dibangun dalam keluarga sangat dominan dalam
membentuk kepribadian anak. Dengan demikian, tarbiyah tidak sekedar
pendidikan, melainkan pula menyangkut kepengasuhan. Dalam tarbiyah, anak
diberi makan, pakaian, tempat tinggal, pelajaran, nasehat, ketrampilan, dan
keteladanan.
Ta’lim (‫ )ﺗﻌﻠﯿﻢ‬dalam kamus juga berarti pengajaran, pendidikan, dan
pemberian tanda (Munawwir, 1997: 965). Pada umumnya, ta’lim diartikan
dengan pengajaran tentang suatu ilmu. Ini tidak salah, karena ta’lim berasal
dari kata ’alima (mengetahui) atau ’ilmun (ilmu atau pengatahuan). Ilmu
adalah makanannya hati yang akan mati bila tidak diberi makan selama tiga
hari (al-Ghazali, t.t. : I: 8). Hati adalah tempat bagi akal (al-Mawardi, 1995:
11). Akal menjadi identitas manusia yang membedakannya dengan makhluk
yang lain. Akal dapat berfungsi bila diberi ilmu. Ilmu disampaikan dengan
cara ta’lim. Oleh karena itu, ta’lim hanya memenuhi kebutuhan rohani
manusia, bukan jasmaninya. Ini yang membedakan ta’lim dengan tarbiyah.
Orang tua kita telah melakukan tarbiyah, sementara guru kita memberikan
ta’lim. Tarbiyah dapat melangsungkan kehidupan manusia, sedangkan ta’lim
meningkatkan kualitasnya.
Di sisi lain, ada yang menjelaskan ta’lim sebagai proses pengajaran
yang hanya pada tingkat pemahaman, sedangkan tarbiyah adalah upaya
mendorong untuk melaksanakannya. Kalau seseorang diberi pelajaran tentang
makna shalat dan tata cara pelaksanaannya, berarti ia mendapatkan ta’lim.
Setelah itu, diajak shalat berjamaah dan diminta memperhatikan dan mengikuti
cara shalat yang diajarkan, maka ia telah mendapatkan tarbiyah. ‘Abd al-
29

Karim Zaidan (1993: 444) menulis, “Pendakwah muslim tidak sekedar


melaksanakan pengajaran makna-makna Islam kepada mitra dakwah, namun
ia harus mendorong untuk mengamalkannya dan membentuk perjalanannya
sesuai dengan kewajiban dan tuntutan Islam. Ini yang kita maksudkan dengan
tarbiyah beserta ilmu”.
Ta’lim adalah salah satu tugas yang diemban oleh Nabi SAW dan para
ulama sebagai pewarisnya. Tugas-tugas yang lain adalah membacakan ayat-
ayat Allah SWT dan menyucikan umat dari segala kotoran iman. Semua tugas
ini tercantum dalam surat al-Baqarah ayat 129 dan 151, Ali ‘Imran ayat 164,
dan al-Jumu’ah ayat 2. Meskipun redaksi masing-masing ayat sedikit berbeda,
namun maksudnya sama, yakni menegaskan tugas yang dipikul Nabi SAW.
Untuk itu, kita hanya menampilkan surat al-Jumu’ah ayat 2 sebagai
representasi tiga ayat lainnya.
   
 
 
 


 
   
   
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di
antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka,
mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan hikmah (as-
sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam
kesesatan yang nyata.
Tugas untuk mengajarkan al-Qur’an dan al-Sunnah dalam ayat di atas
serta surat al-Baqarah ayat 151 dan Ali ‘Imran ayat 164 diletakkan setelah
tugas membacakan ayat-ayat Allah SWT dan menyucikan umat manusia.
Dalam surat al-Baqarah ayat 129, ia diletakkan pada posisi kedua. Ini berarti
pengajaran (ta’lim) dapat dilaksanakan setelah mitra dakwah benar-benar
beriman. Dalam konteks dakwah, tabligh pertama kali harus dilakukan untuk
menjadikan orang lain beriman kepada Allah SWT. Setelah beriman dan
menjadi muslim, mitra dakwah harus dibersihkan dari pemikiran, ideologi,
sikap, perilaku yang tidak sesuai dengan Islam. Setelah itu, kepada mereka
diajarkan pedoman hidup Islam yang termaktub dalam al-Qur’an dan al-
Sunnah. Dengan demikian, pendidikan dan pengajaran Islam merupakan
bagian dari dakwah yang diartikan lebih luas. Akan tetapi, pendidikan dan
pengajaran Islam bukan bagian dari dakwah jika dakwah hanya diartikan
dengan tabligh. Abdul Karim Zaidan (1993: 443) mengatakan:
30

‫ﻓﻌﻠﻰ اﻟﺪﻋﺎة إﻟﻰ ﷲ أن ﯾﻌﻠﻤﻮااﻟﻨﺎس أﺣﻜﺎم اﻹﺳﻼم وﯾﻌﺮﻓﻮھﻢ ﺑﺤﺪود ﷲ وﻻ‬


‫ﯾﻜﺘﻔﻮا ﻣﻨﮭﻢ ﺑﺎﻟﻌﺎطﻔﺔ اﻟﻄﯿﺒﺔ وﺗﺮدﯾﺪ اﻟﻜﻠﻤﺎت اﻟﺤﻘﺔ وإن اﻹﺳﻼم ﺻﺎﻟﺢ ﻟﻜﻞ‬
‫زﻣﺎن وﻣﻜﺎن ﻓﺈن ھﺬه اﻟﻌﻤﻮﻣﺎت ﻻﺗﻜﻔﻲ ﺑﻞ ﻻﺑﺪ ﻣﻦ ﻣﻌﺮﻓﺔ ﺗﻔﺼﯿﻞ اﻹﺳﻼم‬
‫ﺑﺎﻟﻘﺪر اﻟﻤﺴﺘﻄﺎع إن ﻧﺸﺮ ﻣﻔﺎھﯿﻢ اﻹﺳﻼم واﺟﺐ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﻣﺴﻠﻢ ﻓﻤﻦ ﻛﺎن ﻋﻨﺪه‬
‫ﻋﻠﻢ ﻓﻼ ﯾﺠﻮز ﻟﮫ ﻛﺘﻤﺎﻧﮫ ﻻﺳﯿﻤﺎ ﻋﻨﺪ ﺷﯿﻮع اﻟﺠﮭﻞ وظﮭﻮر اﻟﺒﺪع‬
“Kewajiban bagi para pendakwah yang mengajak ke jalan Allah SWT
adalah ta’lim (mengajarkan) umat manusia tentang hukum-hukum
Islam dan mengenalkan kepada mereka tentang ketentuan-ketentuan
Allah SWT. Para pendakwah tidak cukup hanya dengan simpati yang
mendalam kepada mereka serta mengulang-ulang kata-kata kebenaran
Islam cocok untuk setiap masa dan tempat. Penjelasan Islam secara
global tidaklah cukup, melainkan harus dengan penjelasan detailnya
sesuai dengan ukuran kemampuan mereka. Menyebarkan pemahaman
tentang Islam adalah wajib bagi tiap muslim. Siapapun yang memiliki
pengetahuan tentang Islam, maka ia tidak dipekenankan
menyembunyikannya, apalagi saat kebodohan telah tersebar dan
bid’ah telah meluas”.
7. Amr Ma’ruf Nahi Munkar (‫)اﻷﻣﺮ ﯾﺎﻟﻤﻌﺮوف و اﻟﻨﮭﻲ ﻋﻦ اﻟﻤﻨﻜﺮ‬
Amar ma’ruf (merintahkan kebaikan) tidak dapat dipisahkan dari nahi
munkar (mencegah kemunkaran atau perbuatan terlarang). Dalam al-Qur’an
istilah ini diulang sampai sembilan kali dalam lima surat, yaitu surat al-A’raf
ayat 157; surat Luqman ayat 17; surat Ali ‘Imran ayat 104, 110, 114; surat al-
Hajj ayat 41; dan surat al-Tawbah ayat 67, 71, 112. Syekh Nashr bin
Muhammad bin Ibrahim al-Samarqandi (t.t.: 32) mengartikan ma’ruf dengan
apa yang sesuai dengan al-Qur’an dan akal. Ma’ruf adalah lawan dari munkar
(sesuatu yang bertentangan dengan al-Qur’an dan akal). Secara bahasa, ma’ruf
berasal dari kata ’arafa (‫ )ﻋﺮف‬yang berarti mengetahui, mengenal. Maka
ma’ruf adalah sesuatu yang dikenal, dimengerti, dipahami, diterima, dan
pantas. Sebaliknya, munkar adalah sesuatu yang dibenci, ditolak dan tidak
pantas. Dengan demikian, ma’ruf dan munkar lebih mengarah pada norma dan
tradisi masyarakat. Dalam kaedah fikih disebutkan ”tradisi dapat dijadikan
hukum” (al-‘adah muhakkamah). Apa yang dianggap ma’ruf oleh suatu
masyarakat belum tentu ma’ruf bagi masyarakat lainnya. Namun demikian,
ukuran utama penilaian tradisi adalah syari’ah (al-‘adah al-shahihah). Dalam
surat al-Nisa’ ayat 5,6 dan 19 dan di beberapa ayat lainnya Allah SWT
berkali-kali memerintahkan manusia melakukan sesuatu dengan ma’ruf.
Dalam urusan maskawin pernikahan, memperlakukan isteri, proses cerai,
santuan untuk mantan istri pasca cerai, Allah SWT memerintahkan
melakukannya dengan ma’ruf, yang sesuai dengan syari’at Islam dan
memperhatikan tradisi masyarakat setempat.
Amar ma’ruf nahi munkar merupakan kewajiban bagi setiap muslim
sekaligus sebagai identitas orang mukmin. Pelaksanaannya diutamakan kepada
orang-orang yang terdekat sesuai dengan kemampuannya. Orang yang
31

meinggalkan perintah ini dipandang berdosa bahkan diancam dengan laknat


dan siksa di dunia dan akherat (al-Ghazali, t.t.: II: 303). Sebaliknya identitas
orang non-mukmin adalah amar munkar nahi ma’ruf ( memerintahkan
kemunkaran dan mencegah kebajikan). Allah SWT menjelaskan dalam surat
al-Taubah ayat 67 dan 71:


   
 
 

  
   
  
 
Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan
sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh berbuat yang
munkar dan melarang berbuat yang ma'ruf dan mereka
menggenggamkan tangannya (kikir), mereka telah lupa kepada Allah,
maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik
itu adalah orang-orang yang fasik.


 
  

 
 
 
 
  
 
    

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain, mereka
menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar,
mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan
Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
32

Istilah amar ma’ruf nahi munkar yang seringkali ditulis dengan ”amar
makruf nahi munkar” telah terkenal di masyarakat. Pada masa Islam klasik,
Nabi SAW dan para sahabat sering menggunakan istilah ini. amar makruf nahi
munkar lebih terkenal dibanding dakwah. Kelompok Mu’tazilah, salah satu
aliran teologi dalam Islam, menjadikan amar makruf nahi munkar sebagai
salah satu rukun iman (pilar keimanan). Demikian pula, dalam literatur kitab-
kitab klasik, para ulama lebih menggunakan judul bab dengan ”amar makruf
nahi munkar” daripada dakwah. Di Indonesia, istilah ini dijadikan dasar
pergerakan oleh organisasi Muhammadiyah. Meskipun sama-sama
menjadikannya sebagai dasar keagamaan, antara Muhammadiyah dan
Mu’tazilah terdapat perbedaan. Mu’tazilah menempatkan doktrin ini dalam
diskursus teologi, sedangkan Muhammadiyah menempatkannya sebagai
doktrin aksi. Aksi amar makruf nahi munkar Muhammadiyah diwujudkan
dengan perjuangan dengan cara damai yang kerap disebut dengan dakwah.
Berbeda dengan Syi’ah yang memahami dan mewujudkan amar makruf nahi
munkar dengan jihad yang kerap dilaksanakan dengan peperangan bersenjata
(M. Dawam Rahardjo, 2002: 623). Sebagaimana Muhammadiyah, Nahdlatul
Ulama (NU) menempatkan amar makruf nahi munkar di bagian usaha di
bidang agama dalam pasal 7 AD/ART yang dirumuskan pada Muktamar NU
ke 28 di Yogyakarta. Rumusan tersebut adalah “Di bidang agama,
mengusahakan terlaksananya ajaran Islam menurut faham Ahlussunnah wal
Jama’ah dalam masyarakat dengan melaksanakan amar makruf nahi munkar
serta meningkatkan ukhuwwah Islamiyah” (PBNU, 1989:74).
Di kalangan para ahli Fikih, istilah amar ma’ruf nahi munkar dikenal
dengan nama al-hisbah. Definisi al-hisbah adalah memerintahkan kebaikan
pada saat ada yang meninggalkannya dengan terang-terangan dan melarang
kemunkaran ketika tampak ada yang melakukannya (Zaidan, 1993: 174).
Imam al-Ghazali juga banyak menyebut al-hisbah ketika menjelaskan bab
amar makruf nahi munkar di kitab Ihya’ ‘Ulum al-Din. Dari definisi al-hisbah
di atas, dapat dipahami bahwa al-hisbah merupakan cara yang lebih tegas dari
hanya sekedar dakwah dengan amar makruf nahi munkar. Dengan kata lain,
amar makruf nahi munkar dapat dilaksanakan dengan dua bentuk. Bentuk
pertama adalah dakwah dengan cara yang halus, lunak, tidak memaksa, dan
tanpa kekerasan. Bentuk ini sering diistilahkan dengan dakwah kultural.
Bentuk kedua adalah al-hisbah yang menekankan pendekatan kekuasaan. Al-
Hisbah dapat berjalan bila kekuasaan negara berada dalam tangan umat Islam
dan melaksanakan hukum Islam secara legal formal.
Cara al-hisbah yang tegas dapat dibandingkan dengan tathawwu’.
Tathawwu’ adalah menganjurkan orang lain untuk berbuat kebaikan dan
menganjurkan untuk meninggalkan kemunkaran. Lapangan al-hisbah adalah
kewajiban-kewajiban atau hak-hak orang lain yang harus dipenuhi, sedangkan
tahawwu’ pada hal-hal yang bersifat anjuran (sunnah) semata. Pelaksana al-
hisbah berhak menjatuhkan sanksi hukum atas orang yang berbuat munkar,
sedangkan pelaksana tathawwu’ tidak memiliki kewenangan tersebut. Hak lain
bagi petugas al-hisbah adalah mendapatkan gaji dari pemerintah, merekrut
33

anggota, introgasi, dan ijtihad di luar masalah syari’ah. Tidak demikian halnya
dengan petugas tathawwu’ (Abu Ya’la al-Farra’, 1994: 320-321). Dalam
masyarakat moderen, petugas al-hisbah dapat disamakan dengan kepolisian,
sedangkan petugas tathawwu’ adalah relawan, LSM, dan sebagainya.
Perbedaan tathawwu’ dan dakwah terletak pada wilayahnya. Tathawwu’ pada
wilayah kemasyarakatan, sedangkan wilayah dakwah adalah kemasyarakatan
dan keagamaan.
Dari pemaparan dan pemahaman beberapa istilah yang sepadan
maknanya dengan dakwah di atas, penulis akan merangkum dan
menghubungkan di antara semua istilah itu dengan menggunakan surat al-
Jumu’ah ayat 2 (sebagaimana tersebut di atas) sebagai pijakannya. Ayat ini
menjelaskan tiga langkah dakwah Nabi Muhammad SAW, yaitu pertama,
yatluu ’alaihim aayaatih (membacakan ayat-ayat Allah SWT), kedua,
yuzakkiihim (menyucikan masyarakat), dan ketiga, yu’allimihum al kitaaba wa
al hikmah (mengajarkan al-Qur’an dan al-Sunnah). Untuk membacakan ayat-
ayat Allah SWT, Nabi SAW diberi tugas tabligh dengan target pemahaman
yang benar tentang Islam yang pada gilirannya bersimpati dan menjadi
muslim. Dalam tabligh digunakan cara tabsyir terlebih dahulu kemudian
tandzir. Setelah menerima Islam, Nabi SAW membersihkannya dari
kemusyrikan, tradisi jahiliyah (tidak mengenal ajaran Islam), dan kepercayaan
nenek moyang yang salah. Pembersihan dan penyuciannya dengan amar
ma’ruf nahi munkar. Dalam hal yang merusak akidah, jiwa, keturunan, akal,
dan harta, Nabi SAW secara tegas memeranginya (al-hisbah) dan
menggantikan tradisi yang lebih baik. Hubungan laki-laki perempuan tanpa
pernikahan (zina) diberi sangsi seberat-baratnya dan diganti dengan
pernikahan. Pelanggaran di luar kelima prinsip tersebut ditegakkan dengan
tathawwu’.
Ketika mereka sudah meninggalkan kemunkaran dan kebiasaan
buruknya, Nabi SAW kemudian meningkatkan kualitas akal pikiran mereka
dengan ilmu. Ilmu Islam termaktub dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Al-Qur’an
merupakan wahyu, idealitas, dan ‘berada di langit’, sedangkan al-Sunnah
adalah keteladanan, realitas, dan ‘membumi’. Nabi SAW tidak saja
mengajarkan ‘teori’, tetapi juga mempraktekkannya. Pengajaran ilmu ini
sering disampaikan dengan khutbah di hadapan jamaah sahabat. Tidak jarang
pula, Nabi SAW dihadapkan pada keluhan-keluhan sahabat, sehingga nasehat
diberikan secara personal. Untuk hal-hal yang sangat penting, kadang-kadang
Nabi SAW menggunakan ungkapan wasiat, baik secara kolektif maupun
personal. Penjelasan tersebut dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut.
34

‫ﺗﺒﺸﯿﺮ‬ ‫ﺗﺒﻠﯿﻎ‬ 



‫ﺗﻨﺬ ﯾﺮ‬ 

‫اﻟﺤﺴﺒﺔ‬ 
‫اﻷﻣﺮ ﯾﺎﻟﻤﻌﺮوف‬ 

‫واﻟﻨﮭﻲ ﻋﻦ اﻟﻤﻨﻜﺮ‬ 
‫اﻟﺘﻄﻮع‬

‫ﺧﻄﺒﺔ‬ ‫اﻟﺘﺮﺑﯿﺔ واﻟﺘﻌﻠﯿﻢ‬ 



‫ﻧﺼﯿﺤﺔ‬ 

‫وﺻﯿﺔ‬ 

Gambar 1.1 : Proses dan Metode Dakwah Nabi SAW
Dari analisis pengembangan makna dasar dan pengembangan istilah
dakwah di atas, kita mendapatkan pemahaman bahwa dakwah merupakan
suatu proses yang aktif, persuasif, dan komprehensif. Dengan kata lain,
pendakwah harus mencari orang sebagai mitra dakwah, lalu memberikan
persuasi dan mengajaknya ke jalan Allah SWT. Jika ajakannya berhasil, ia lalu
membimbing dan mengajarkan Islam. Dakwah adalah bertahap: ”mencari”,
”menemukan”, ”mengajak”, ”membersihkan”, ”membimbing”, ”mengajarkan”
hingga ”menjadi”. Kesempurnaan dakwah adalah membentuk mitra dakwah
menjadi pendakwah. Orang yang sebelumnya sebagai penentang Islam
menjadi pembela Islam. Masyarakat yang semula antipati terhadap Islam
berubah menjadi simpatisan Islam. Dakwah bukan pekerjaan ringan. Berbagai
tantangan selalu menghadangnya. Akan tetapi, karena sebuah kewajiban yang
mengikat setiap muslim, maka dakwah harus tetap dijalankan apapun hasilnya.

Anda mungkin juga menyukai