Anda di halaman 1dari 40

Ekawati, Mundzier Suparta dan Khaeron Sirin

6
MODERASI KURIKULUM PERGURUAN TINGGI ISLAM DALAM
DERADIKALISASI AGAMA DI INDONESIA

Ekawati, Mundzier Suparta dan Khaeron Sirin

Bekembangnya fenomena radikalisme pada sebagian kelompok


Islam telah memberikan peluang bagi pihak-pihak lain untuk
menjatuhkan citra Islam dengan tuduhan bahwa ajaran Islam
mendukung tindakan kekerasan, ekstimisme, teorisme dan
tindakan pengrusakan lainnya. Bahkan lembaga pendidikan
Islam di Indonesia yang notebene diisi oleh calon intelekual
juga tidak lepas dari serangan dokrin radikalisme. Maraknya
aksi-aksi tesebut di dunia maupun di Indonesia telah
menempatkan Islam sebagai pihak yang dipersalahkan. Padahal
Islam adalah agama yang mengusung moderasi, toleransi, dan
memberikan kemudahan bagi penganutnya. Dengan demikian,
apa yang telah dipaparkan dalam artikel ini telah memberikan
gambaran yang komprehensif tentang fenomena radikalisme
agama dan upaya Perguruan Tinggi Islam dalam
merealisasikan deradikalisasi di Indonesia. Moderasi kurikulum
di tiga Perguruan Tinggi Islam di Indonesia, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, IAIN Surakarta, dan STAIN Kediri
dalam deradikalisasi pemahaman agama mempunyai kemiripan
bukan hanya pada instansi kelembagaan, melainkan pada
pembenahan sistem kurikulum dalam pendidikan yang berdaya
guna dalam pencegahan dan penangkalan radikalisme.

Pendahuluan
Akhir-akhir ini kehidupan umat beragama di Indonesia
mengalami dinamika yang cukup keras. Terutama karena

ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018 139


Moderasi Kurikulum Perguruan Tinggi Islam dalam Deradikalisasi Agama di Indonesia
munculnya kasus-kasus radikalisme dan teroisme yang
berlatarkan pemahaman dan ideologi agama. Padahal
pemerintah Indonesia telah menerbitkan pelbagai macam
peraturan perundang-undangan yang mengatur tata kehidupan
beragama yang hamonis.
Pasca reformasi 1998 atau biasa ditandai dengan
tumbangnya rezim Orde Baru, aksi-aksi terorisme mulai
merebak di Indonesia. Dalam kurun waktu kurang dari satu
dekade, aksi-aksi pengeboman seolah tidak pernah berhenti,
terjadi silih berganti mengguncang Indonesia. Dimulai dari Bom
Bali I dan Bom Bali II, Bom Kedutaan Besa Austalia, Bom Hotel
JW Mariot I, dan Bom JW Mariot II, Bom Hotel Ritz Calton, Bom
Buku yang ditujukan kesejumlah tokoh, bom di Masjid Polres
Ciebon, dan Bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Solo.
Maraknya aksi radikalisme dan terorisme tersebut telah
menempatkan umat Islam yang dipersalahkan. Bahkan
Lembaga Pendidikan Islam tidak terlepas dari tuduhan tersebut,
dan sering kali Lembaga Pendidikan Islam disebut sebagai
markas pemahaman Islam yang sangat fundamentalis. Studi-
studi tentang radikalisme dan terorisme mensinyalir adanya
Lembaga Pendidikan Islam tertentu (seperti pondok pesanten
atau lembaga pendidikan non-formal) telah mengajarkan
faham-faham radikal. Bahkan Lembaga perguruan tinggi Islam
yang merupakan markas intelektual juga tidak lepas dari
serangan doktrin radikal. Di perguruan tinggi umum bahkan
kecenderungan mahasiswa mendukung radikalisme ternyata
cukup tinggi.
Semaraknya gerakan radikal dan teror di Indonesia menjadi
cerminan, bahwa pemerintah kurang menerapkan langkah-
langkah efektif yang dapat memutus mata rantai pemahaman
radikal. Sekalipun langkah ini belum menelisik jauh seperti
pendekatan ekonomi, politik dan pendekatan agama. Langkah-
langkah yang dilakukan pemerintah baru dengan pendekatan

140 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018


Ekawati, Mundzier Suparta dan Khaeron Sirin
keamanan yang bersifat militeristik yang mengedepankan
penindakan dan proses hukum.
Oleh karena itu, moderasi kurikulum perguruan tinggi
dalam upaya deradikalisasi pendidikan Islam merupakan suatu
keniscayaan dalam membangun kesadaan inklusif-
multikultural untuk meminimalisir radikalisme Islam perlu
menjadi kajian yang mendalam bagi para ahli dan praktisi
pendidikan Islam di Indonesia. Pada problem inilah, hendak
ditempatkan dengan mengusung deradikalisasi agama melalui
lembaga pendidikan Islam, utamanya perguruan tinggi Islam.
Dalam penemuan ini sangat diperlukan gerakan review
kurikulum di peguruan tinggi Islam untuk mengembangkan
pengetahuan, sikap dan tindakan deradikalisasi agama.

Rumusan Masalah
Rumusan penelitian ini adalah bagaimana moderasi
kebijakan kurikulum perguruan tinggi Islam dalam upaya
deradikalisasi agama di Indonesia. Perguruan tinggi Islam yang
akan diteliti dibatasi pada perwakilan secara kelembagaan
untuk tingkat universitas, institut, Sekolah Tinggi dan
pemilihan berdasakan lokasi baik di pedesaan atau di
perkotaan, yaitu UIN Syarif Hidayatullah Jakata, IAIN
Surakarta, dan STAIN Kediri. Dari rumusan tersebut, dibentuk
dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:
bagaimana bentuk-bentuk moderasi kurikulum di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, IAIN Surakata dan STAIN Kediri? Dan,
bagaimana dampak kebijakan kurikulum di tiga Perguruan
Tinggi tersebut terhadap masyaakat, khususnya tehadap civitas
akademik?

Metodelogi Penelitian dan Landasan Teori


1. Metodelogi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian
kualitatif dengan pendekatan historis. Metode ini

ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018 141


Moderasi Kurikulum Perguruan Tinggi Islam dalam Deradikalisasi Agama di Indonesia
digunakan untuk meneliti proses yang berlangsung dalam
kehidupan masyarakat yang diteliti. Untuk mencapai
maksud itu, metode ini menekankan kepada peneliti untuk
tinggal bersama masyarakat yang diteliti dan berpatisipasi
dalam kegiatan kehidupan masyarakat yang ditelitinya.
Masyarakat yang diteliti diperlukan sebagai subyek
penelitian, bukan sebagai obyek. Dalam penelitian ini,
pemahaman (verstehen) terhadap kehidupan masyarakat
yang diteliti sangat ditekankan, karena itu pengamatan
secara rinci melalui survei di lapangan dan wawancara
mendalam merupakan tugas yang diwajibkan.
Pendekatan kualitatif memusatkan perhatiannya pada
prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-
satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia. Dalam
pendekatan ini, yang dianalisis adalah gejala-gejala sosial
dan budaya dengan menggunakan teori yang obyektif.
Sasaran kajian pendekan kualitatif adalah pola-pola yang
berlaku yang ditemukan dan dianalisis dengan
menggunakan teori-teori yang obyektif. Sasaran-sasaran
pendekatan kualitatif adalah pola-pola yang berlaku yang
merupakan prinsip-prinsip yang secara umum serta
mendasar dan berlaku berdasakan atas perwujudan dari
gejala-gejala yang ada dalam kehidupan manusia. Karena
itu, analisis tehadapa gejala-gejala sosial dan tidak bisa
tidak harus menggunakan kebudayaan yang bersangkutan
sebagai karangka acuan.
Untuk memperoleh data yang sesuai dengan sasaran
atau masalah penelitian, diperlukan informasi yang
selengkapnya dan sedalam mungkin mengenai gejala-gejala
dalam kehidupan masyarakat yang diteliti.
Adapaun penelitian ini bertujuan untuk melihat dan
menganalisa bahwa apakah di dalam kurikulum
pendidikan yang diajarkan yang di dalamnya mengandung
nilai-nilai inklusif, dialogis, mengedepankan toleransi,

142 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018


Ekawati, Mundzier Suparta dan Khaeron Sirin
sehingga dapat mendorong pembentukan watak
mahasiswa yang moderat, santun, elastic, fleksibel, dan siap
hidup dengan menerima perbedaan dan keragaman.
Penelitian ini melihat kegiatan ekstra kurikuler, kerjasama
pihak luar serta proses transformasi nilai ke dalam silabus
dan dalam kurikulum pendidikan yang ada. Selain itu,
nilai-nilai inklusivisme yang diteliti adalah pola pikir, sikap
keberagamaan, dan respon perguruan tinggi terhadap
internalisasi nilai-nilai multikulturalisme serta nilai inklusif
yang dilakukan di UIN Syaif Hidayatullah Jakarta, IAIN
Surakarta Solo, dan STAIN Kediri.

2. Landasan Teori
a. Moderasi
Moderasi atau al-wasthiyah diartikan sebagai titik
tengah, seimbang, tidak terlalu kanan (ifrath) dan tidak
terlalu kiri (tafrith) atau tidak berlebihan dan tidak
melakukan reduksi, yang mengandung makna keadilan,
kemuliaan, dan persamaan. Ibnu Faris mengemukakan
bahwa kata al-wasyathiyah memiliki makna yang berkisar
pada keadilan, baik, tengah, dan seimbang1. Dalam terbitan
buku Kementrian Agama Negara Kuwait, kata al-
wasyathiyah didefinisikan sebagai metode berpikir,
berinteraksi, dan berprilaku yang didasari atas sikap
tawazun (seimbang) dalam menyikapi dua keadaan perilaku
yang dimungkinkan untuk dianalisis dan dibandingkan,
sehingga dapat ditemukan sikap yang sesuai dengan
kondisi dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
ajaran agama dan tadisi masyarakat2. Dengan pengertian ini

1 Ibnu Faris, Mu’jam Maqayis al Lughah, Jilid I. h. 522.


2 Muchlis M. Hanafi, ‚Konsep Al-Wasyatiyah Dalam Islam‛, Harmoni:
Junal Multikultural dan Multieligius, Vol.VIII, Nomor 32, Oktobe 2008-
2009, h. 40.

ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018 143


Moderasi Kurikulum Perguruan Tinggi Islam dalam Deradikalisasi Agama di Indonesia
akan melindungi seseoang dari kecenderungan terjerumus
pada sikap berlebihan.

b. Kurikulum dalam Deradikalisasi Agama


Kurikulum Pendidikan Islam yang bernuansa inklusif-
multikultural dapat mengupayakan penanganan
radikalisme dengan cara: Pertama, menyelenggarakan
berbagai training, workshop, seminar, dan kegiatan-
kegiatan lainnya yang berwawasan multikultural kepada
pendidik.
Kedua, menyelenggarakan dialog keagamaan dengan
pendidik agama, pemuka, atau umat beragama lainnya.
Dengan demikian, para pendidik agama Islam dan
pendidik agama lainnya dapat berbaur dan mengenal satu
sama lain, sehingga pada gilirannya akan melahirkan sikap
apresiasif dan toleransi terhadap agama lain.
Ketiga, memperkenalkan bacaan-bacaan atau berbagai
referensi yang bernuansa pendidikan multikultural sejak
dini kepada para pendidik. Di mana tujuan daripada
pendidikan inklusif-multikulturalisme mencakup: Pertama,
tujuan attitudinal (sikap), yaitu membudayakan sikap sadar
diri, sensitif, toleran, respek terhadap identitas budaya,
responsif terhadap berbagai permasalahan yang timbul di
masyarakat. Kedua, tujuan kognitif, yaitu terkait dengan
pencapaian akademik, pembelajaran berbagai bahasa,
memperluas pengetahuan terhadap kebudayaan yang
spesifik, mampu menganalisa dan menginterpretasi tingkah
laku budaya dan menyadari adanya perspektif budaya
tertentu. Ketiga, tujuan instruksional, yaitu menyampaikan
berbagai informasi mengenai berbagai kelompok etnis
secara benar di berbagai buku teks maupun dalam
pengajaran. Membuat strategi tertentu dalam menghadapai
masyarakat yang plural. Menyiapkan alat yang konseptual
untuk komunikasi antar budaya dan untuk pengembangan

144 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018


Ekawati, Mundzier Suparta dan Khaeron Sirin
keterampilan. Mempersiapkan teknik evaluasi dan
membuka diri untuk mengklarifikasi dan penerangan
mengenai nilai-nilai dan dinamika budaya.
Selain nilai-nilai tersebut, kurikulum pendidikan
sebaiknya dibungkus dalam formulasi yang inklusif,
komprehensif, dialogis, tidak kaku dan mengedepankan
toleransi, sehingga mendorong pembentukan watak
mahasiswa yang moderat, santun, elastis, dan siap hidup
secara berdampingan dengan pihak yang berbeda baik
agama maupun etnis.
Oleh karena itu, model kajian yang menjadi penelitian
ini adalah tinjauan kurikulum terhadap nilai-nilai tersebut
termasuk di dalamnya kegiatan ekstrakurikuler, kerjasama
pihak luar serta proses transformasi nilai ke dalam silabus
dan kurikulum pendidikan. Nilai-nilai inklusivisme yang
diteliti adalah pola pikir, sikap keberagaman dan respon
perguruan tinggi terhadap isu radikalisme agama yang
berkembang serta langkah-langkah perguruan tinggi dalam
mensikapi isu radikalisme agama yang ada. Penelitian
dilakukan terhadap internalisasi nilai-nilai multikultural
serta nilai inklusif yang dilakukan di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, IAIN Surakarta, dan STAIN Kediri.

c. Radikalisme
Radikalisme (at-taharruf) secara bahasa (etimologis)
berasal dari kata: tharafa, yatharifu, tharfan. Ibnu Fariz
menjelaskan, tharafa memiliki dua makna, yaitu sesuatu
yang menunjukan batas dan akhir, dan sesuatu yang
menunjukkan gerakan pada sebagian anggota tubuh.3
Makna lain dari at-tharfa adalah sebuah kelompok.
Sementara tatharrafa artinya mendatangi sisi yang lain. Jika

3 Ibnu Faris, Maqayis al-Lughah, Jilid 2, hal.90; Lisan al-‘Arab, Jilid VII,
h. 427.

ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018 145


Moderasi Kurikulum Perguruan Tinggi Islam dalam Deradikalisasi Agama di Indonesia
diucapkan tatharafat al-syamsu; danat minal ghurub, artinya
matahari telah mendatangi sisi lain; telah mendekati senja4.
Tatharafa fi kadza, artinya telah sangat condong ke sisi
tertentu. Jawaza hadal i’tidal fihi, artinya melewati batas
moderasi yang semestinya5. At-taharraf bentuk pluralnya
adalah athraf. Dalam ungkapan Arab, khadabat athrafa
ashabi’aha, artinya seorang perempuan menggerakkan
jemarinya ke sisi lain, maknanya adalah: ia telah
merenggang-renggangkan ujung-ujung jemarinya6.
Secara etimologis (istilah), at-tatharuf (radikalisme)
menunjukkan istilah baru yang belum pernah dibahas oleh
para ulama klasik. Sangat besar kemudian istilah tersebut
datang dari dunia Barat, sebagai bukti bahwa radikalisme
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan at-tatharuf
adalah sebuah filsafat politik yang menyatakan perlunya
mencari segala bentuk ketidakadilan dan tirani dalam
sistem sosial untuk dientaskan. Radikalisme lahir dari
bahasa latin yaitu radis; berarti sumber atau otentik.
Sehingga arti keseluruhannya adalah pencarian setiap hal
yang dianggap sebagai sumber ketidakbenaran, baik dalam
bidang sosial, politik, dan ekonomi yang terdapat dalam
masyarakat untuk dilakukan suatu perubahan atau
menghilangkannya.
Sedangkan menurut ulama, at-tatharruf dimaknai
dengan kesesatan dan pelanggaran terhadap syariat, seperti
yang ditulis Ibnu Taymiyah ketika ia mendapatkan
beberapa kesalahan ahli tafsir ‚aku telah melihat dari
sebagian ulama atau lainnya di dalam kitab mereka telah
menuliskan sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran
yang diyakininya namun tetap mereka lakukan, hal

4 Lisal al-Arab, Jilid:8, h. 146 dan Mu’jam al-Washit, jilid:2, h. 555.


5 Al-Maushu’ah al-Arabiyah al-Alamiyah (Kata Radikal).
6 Al-mishbah al munir, h. 140.

146 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018


Ekawati, Mundzier Suparta dan Khaeron Sirin
tersebut diakibatkan sikap tatharruf (radikal) dan dhalal
(kesesatan) mereka.‛7
Radikalisme agama yang dimaksud adalah memahami
sesuatu secara kakuh (keras), sehingga melampaui batas
moderasi, mengabaikan kemudahan, kelembutan dan
toleransi. Dapat pula dimaknai dengan kelebihan atau
bersikap keras dalam segala sesuatu. Titik berat radikalisme
lebih kepada kekerasan dalam pola pikir. Sementara
terorisme, selain kepada kekerasan pola pikir juga kepada
kekerasan fisik. Sedangkan terorisme jika mengacu pada
definisi Majmu al-Buhuts al-Islamiyah al-Azhar (Lembaga
Riset Islam Al-Azhar) yaitu: menebarkan rasa takut kepada
masyarakat, menghancurkan hak-hak milik dan jati diri
mereka, merusak properti, kehormatan, kebebasan, dan
kemuliaan manusia untuk tujuan melakukan kezaliman
dan kerusakan di muka bumi. Oleh karena itu, menurut
penulis, kemunculan radikalisme agama inilah yang
menyuburkan aksi terorisme dengan berbagai motif dan
variannya. Hendak ditegaskan bahwa radikalisme (at-
tatharuf) dan terorisme (al-‘unfu/al-irhab) memiliki
perbedaan. Ekstrimisme-terorisme berada pada ranah
tindakan, sementara radikal berada pada ranah pemikiran.
Sebagian pemikir mendefinisikan ekstrimisme sebagai
sebuah aktivitas politik maupun sosial yang menggunakan
cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan tertentu baik
fisik maupun psikis, dan meminta lawan untuk memenuhi
suatu tuntutan dengan cara menekan atau memaksa.
Sementara at-tatharruf adalah kesesatan dalam pemikiran
yang benar, konsisten, dan moderat8.

7 Majmu al Fatwa, jilid 13, h. 359.


8Muhammad bin Jamaah, ‚al-Harakat al-Islamiyyah fi al Mujatama‛ al
Araby: Qira’ah Naqdiyyah.

ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018 147


Moderasi Kurikulum Perguruan Tinggi Islam dalam Deradikalisasi Agama di Indonesia
Deradikalisasi Agama
Deradicalization dengan imbuhan awal ‚de‛ dalam bahasa
Inggris memiliki arti: opposite, reserve, remove, reduce, dan get off
(kebalikan atau membalik) imbuhan akhir ‚ize‛ diakhir kata
radical memiliki arti ‚cause to be or resemble, adopt, or spread the
manner of activity or the teaching of (suatu sebab untuk menjadi
atau menyerupai, memakai atau penyebaran cara atau
mengajar)9. John Echols dan Shadily mendefinisikan kata
radikal memiliki dua pengertian yaitu bertindak radikal dan
sampai ke akar-akarnya10 yang cenderung pada definisi filsafat.
Dalam penelitian ini, penulis menerapkan kata radikal yang
memuat tentang bertindak radikal. Dalam ranah diskursus
politik, kata radikal memiliki makna suatu gerakan mendasar
dengan usaha yang keras untuk merubah sistem perundang-
undangan dan peraturan pemerintah11. Gerakan radikal juga
dalam analisis Juergensmeyer mengandung makna gerakan
sosial yang ‘diilhami’ oleh suatu sikap yang menginginkan
perubahan terhadap sistem yang mapan (status quo), dengan
jalan penghancuran secara menyeluruh, dan mensubstitusikan
dengan sistem yang sama sekali baru dan berbeda, dan cara
yang digunakan cenderung revolusioner dan ekstrim.
Sedangkan kata agama, sebagaimana tertulis dalam KBBI,
adalah sistem yang mengatur tata keimanan, kepercayaan, dan
peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah
yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan
lingkungannya. Kata agama berasal dari bahasa sangsekerta
yang berarti tradisi. Dengan demikian, agama terlihat sebagai

ICG, 2007 ‚Deradicalisation and Indnesian Prisons‛, Asia Report, 19


9

November 2007. Sumber: http://www.crisisgroup.org/home/index.


Diakses 10 November 2015.
10M. John Echol dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia
(Jakarta;Gramedia, 1995), h. 463.
11 Departemen Pendidikan Nasional, KBBI (Jakarta, Balai Pustaka, 2002),
h. 919.

148 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018


Ekawati, Mundzier Suparta dan Khaeron Sirin
teks atau doktrin, sehingga manusia sebagai penganut tidak
nampak di dalamnya12. Sehingga kenyataan tesebut dapat
dipahami bahwa faktor metafisis (keimanan/keyakinan)
merupakan masalah fundamental dan asasi dalam beragama.13
Fundamentalisme dalam agama meliputi enam hal yaitu:
(1). Doktrin ketuhanan; (2). Utusan Tuhan sebagai pembawa
pesan; (3). Kitab suci yang menghimpun ajaran dasar agama;
(4). Format dan tata cara ritual; (5). Etika sosial; (6). Konsep
keyakinan tentang kehidupan setelah mati.14
Apabila agama dipandang sebagai sistem keyakinan,
berisikan ajaran dan petunjuk bagi para penganutnya supaya
selamat dari siksa ‚api neraka‛ dalam kehidupan setelah mati.
Salah satu ciri yang mencolok yang ada dalam agama adalah
penyerahan diri secara total terhadap Tuhannya.15
Dengan demikian, agama menyangkut masalah
fundamental dan menyangkut hubungan manusia dengan
dunia transenden-supranatural. Agama juga dapat dipahami
sebagai hudan (petunjuk) bagi manusia yang hidup dalam
mewujudkan kerukunan dan ketertiban masyarakat. Dalam
diskursus sosiologi agama, manusia di dalam masyarakat, dan
kebudayaan memiliki keterkaitan secara dialektik, dan
ketiganya saling berdampingan dan berhimpit saling
menciptakan dan meniadakan16.
Elizabeth K. Nottingham, menyebut paling sedikit ada tiga
fungsi agama yaitu: pemeliharaan ketertiban masyarakat, fungsi

Roland Robertson, Agama:Dalam Analisa Dan Interpretasi SOsiologis,


12

Penj A. Fedyani Saifuddin, (Jakarta: CV Rajawali, 1992), h. v.


Nurcholis Majid, dkk, Fiqih Lintas Agama,(Jakarta: Yayasan Wakaf
13

Paramadina, 2004), h. 17.


14 Qomarudin Hidayat, Psikologi Agama, h. 4.
Roland Robertson, Agama: dalam Analisa dan Interpretasi SOsiologis,
15

Penj A. Fedyani Saifuddin, (Jakarta: CV Rajawali, 1992), h. vii.


16 Bachtiar Effendi, Agama Publik &Privat, (UIN Jakarta Press, 2009), h.
16.

ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018 149


Moderasi Kurikulum Perguruan Tinggi Islam dalam Deradikalisasi Agama di Indonesia
integratif, dan fungsi pengukuhan nilai-nilai. Dengan fungsi
tersebut, agama memunculkan dirinya sebagai integrasi sosial.17
Kemunculan radikalisme agama di Indonesia dalam
pandangan Azyumardi Azra disebabkan oleh faktor internal
dan eksternal. Faktor eksternal dilatar belakangi oleh campur
tangan penguasa atau efek domino dari dominasi Barat.
Sedangkan efek internal, lahir dari rahim masyarakat Islam
sendiri akibat penyimpangan terhadap norma-norma agama
yang telah dirumuskan dalam Al-Qur’an dan hadits.18
Lebih lanjut, Nurcholish Madjid menilai, gerakan
radikalisme agama muncul akibat adanya himpitan keadaan
sosial yang krisis, bersifat otoriter, tidak toleran, dan
bersemangat memaksa dalam menampilkan dirinya terhadap
masyarakat yang lain. Ia lebih melihat ‚cakrawala dunia‛
dengan kaca mata hitam-putih dan tidak mengenal adanya
medan untuk berkompromi19.

Teknis Pengumpulan Data dan Analisis


1. Teknis Pengumpulan Data
Dalam Penelitian ini, teknik pengumpulan data
dilakukan dengan tiga cara; yaitu sebagai berikut20:
Pertama, pengamatan. Teknik ini dilakukan dengan
cara mengamati secara langsung tentang kondisi obyek

17 Asep Saefullah, Merukunkan Umat Beragaa; Studi Pemikiran Tarmizi

Taher tentang Kerukunan Umat Beragama, (Jakarta: Grafindo Kazanah Ilmu,


2007), h. 23.
Azyumardi Azra, Mereka mengambil alih dalam penegakkan hukum,
18

dalam khazanah suplemen Republika, 1 Juni 2002, h. 4.


19 Saeful Mujami, ‚Di Balik Polemik ‚Anti-Pembaruan‛ Islam: Memahami

Gejala ‚Fundaentalis Islam di Indonesia, dalam Jalaludin Rachmat (et.al),


Prof. Nurcholis Madjid: Jejak Pembaruan Smaai Guru Bangsa,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 288.
20Bogdan dan Biklen, Qualitative Research for Educaion: An Introduction
to theory and methods, 1982, h. 2.

150 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018


Ekawati, Mundzier Suparta dan Khaeron Sirin
penelitian di lapangan, baik yang berupa keadaan fisik
maupun perilaku yang terjadi selama berlangsungnya
penelitian. Observasi juga dapat berarti pengamatan dan
pencatatan secara sistematis terhadap fenomena yang
diselidiki.
Kedua, wawancara mendalam. Teknik ini dikenal
dengan istilah indept interview. Di mana wawancara
dilakukan dengan subyek yang cukup representatif
sehingga ucapan, fikiran, gagasan, dan perasaan bisa digali
secara maksimal. Wawancara mendalam tentang pokok
permaslahan penelitian dengan informasi kunci yang digali
dari narasumber pertama, yaitu: Rektor/Ketua Perguruan
Tinggi, Wadek I Bidang Akademik, dosen, mahasiswa,
cendikiawan/ilmuan, guna mengungkap tentang pola pikir,
sikap keberagaman, dan respon perguruan Tinggi dalam
mensikapi isu radikalisme agama yang ada. Di samping
wawancara yang bersifat umum untuk membangun
hubungan (relasi) dan mencari informasi yang tepat tentang
dampak yang dihasilkan dari moderasi kebijakan
kurikulum tersebut.
Data wawancara tersebut dibagi menjadi dua, data
primer dan sekunder. Data primer didapatkan dari
wawancara dengan informan yang memiliki akses
informasi tentang masalah terkait. Kegiatan wawancara
dilakukan secara bebas (unstructured interview), dengan
harapan terjadi suasana terbuka dan dialogis. Perlakuan
wawancara seperti ini berkisar pada ketersediaan waktu
yang dimiliki oleh pihak yang diwawancarai di mana pihak
yang diwawancarai diharapkan menyediakan waktu
khusus untuk wawancara.
Ketiga, analisis dokumen. Teknik ini terbagi menjadi
dua bagian, yaitu data primer dan sekunder. Data primer
berasal dari dokumen perguruan tinggi Islam yang
berkaitan langsung dengan penelitian, seperti laporan

ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018 151


Moderasi Kurikulum Perguruan Tinggi Islam dalam Deradikalisasi Agama di Indonesia
perkembangan kurikulum dan kebijakan pemerintah yang
memiliki pengaruh terhadap kurikulum perguran tinggi
Islam. Sedangkan data sekunder diperoleh dari literatur
yang mengkaji seputar perguran tinggi Islam dan data-data
lain yang berhubungan. Interview dilapangan juga menjadi
bagian penting dalam pengumpulan data penelitian.

2. Analisis Data
Metode untuk menganalisis semua data yang ada
menggunakan metode induktif. Metode induktif adalah
jalan berpikir dengan mengambil kesimpulan dari data-
data yang bersifat khusus. Bertolak dari pengertian ini,
peneliti menggunakannya untuk menyimpulkan hasil
observasi, wawancara, dan data yang terkumpul lainnya.
Data tersebut kemudian diinterpretasi dengan
mempertimbangkan pemahaman para informan. Tak jarang
terjadi perbedaan penafsiran terhadap data tentang
peristiwa yang sama. Alat analisis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis historis-sosiologis dan
korelatif. Analisis sosiologis dilakukan dalam rangka
melihat perbedaan dinamika kelembagaan perguruan
tinggi hususnya di UIN Jakarta, IAIN Surakarta, dan
STAIN Kediri. Sedangkan analisis korelatif digunakan
untuk melihat hubungan dan dampak dari moderasi
kebijakan kurikulum terhadap deradikalisasi agama di tiga
perguruan tinggi Islam tersebut.

Moderasi Kurikulum Perguruan Tinggi Islam dalam


Deradikalisasi Agama
Moderasi Kurikulum Berbasis Knowledge, Piety, dan
Integrity di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ketiga basis
tersebut merepresentasikan semua motto ‚idealisme-

152 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018


Ekawati, Mundzier Suparta dan Khaeron Sirin
konseptual-penggerak‛ semua PTAIN.21 Bahkan motto tersebut
merupakan interpretasi PTAI dalam menjalankan mandatnya
sebagai institusi pembelajaran dan transmisi ilmu pengetahuan,
sebagai institusi riset yang mendukung proses pembangunan
bangsa, dan sebagai institusi pengabdian masyarakat yang
menyumbangkan program-program peningkatan kesejahteraan
sosial di tengah realitas pluralitas dan multikulturalitas yang
menjanjikan dua potensi; harmonisasi dan dis-harmonisasi
sosial. Semua PTAI memiliki komitmen dan telah teruji mampu
untuk menciptakan sumber daya insani yang cerdas, kreatif,
dan inovatif. Komitmen tersebut merupakan bentuk
tanggungjawab segenap PTAI dalam membangun sumber
insani bangsa yang mayoritas adalah muslim. PTAI
diedukasikan untuk menjadi sumber perumusan nilai
keislaman yang sejalan dengan kemodernan dan keindonesiaan.
Sementara matra piety (kesalehan) dan integritas, PTAI maupun
PTAIS dalam capaiannya, masih memiliki kendala yang cukup
serius—untuk tidak mengatakan fatal—dalam proses
pencapaiannya.22
Oleh karenanya, dalam mentransformasikan nilai-nilai
Islam yang rahmatan lil alamin, tidak menuntut kemungkinan
PTAI mendekonstruksi beberapa pemikiran dan melakukan
reorientasi pemikiran untuk membidik sasaran yang terpasang
dalam perkembangan sosial kemasyarakatan. Salah satu sasaran
yang dibidik adalah merevitalisasi cara pandang dan
pemahaman naskah bahasa Arab atau biasa dikenal dengan
kitab kuning (classical sources). Hal ini sangat relevan,
dikarenakan dalam pandangan masyarakat umum, penguasaan
dan pemahaman terhadap naskah kitab kuning dianggap
sebagai parameter piety, sehingga khazanah keilmuan yang

21 Adian Husaini, ‚IAIN Dulu dan Sekarang‛, Jurnal Islamia, Vol.III.


No.3, (2008): 55-56.
22Hartono Ahmad Jaiz, Ada Pemurtadan di IAIN, Jakarta: Pustaka al-
Kaustar, 2005).

ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018 153


Moderasi Kurikulum Perguruan Tinggi Islam dalam Deradikalisasi Agama di Indonesia
penuh nilai-nilai keadaban dan jauh dari nuansa radikal—
dalam pengertian negative—yang dikembangkan sarjana Islam
terdahulu bisa digapai dan dipelajari mahasiswa generasi
sekarang dengan nuansa yang penuh keadaban dan jauh dari
kesan radikal di tengah realitas sosial yang berpretensi
menanamkan pemikiran radikal.
Idealnya, dengan konsep integrity, seluruh proses akademik
di kawah candradimuka, PTAI akan melahirkan lulusan yang
ulama plus intelektual atau intelektual yang ulama, dengan
pandangan yang inklusif dan mampu melihat permasalahan
perbedaan dengan pikiran jernih, serta tidak ‚hitam dan putih‛.
Pada 1 Juni 2017 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta meratakan
‚golden anniversary‛, selama setengah abad. UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta telah menjalankan mandatnya sebagai
institusi pembelajaran dan transmisi ilmu pengetahuan, institusi
riset yang mendukung proses pembangunan bangsa, dan
sebagai institusi pengabdian masyarakat yang menyumbangkan
program-program peningkatan kesejahteraan sosial.

Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam


Deradikalisasi
Dalam konteks UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
berdasarkan perdebatan dan dokumen yang ditemukan adalah
salah satu filosofi penting di balik perubahan status IAIN
menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2002
adalah—sebagaimana tujuan awal didirikannya dulu—untuk
mencairkan dikotomi antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu
agama.
Menurut Azyumardi Azra, tokoh di balik perubahan IAIN
menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dilatari oleh
setidaknya dua kelemahan IAIN yaitu: Pertama, IAIN waktu itu
IAIN belum berperan secara optimal dalam dunia akademik,
birokrasi, dan masyarakat secara keseluruhan. Kedua, kurikulum
IAIN belum mampu merespon perkembangan iptek (ilmu

154 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018


Ekawati, Mundzier Suparta dan Khaeron Sirin
pengetahuan dan teknologi) dan perubahan masyarakat yang
semakin komplek dan begitu cepat. Karenanya dalam Kepres
disebut bahwa IAIN menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dalam rangka memenuhi tuntutan perkembangan ilmu
pengetahuan serta proses integrasi antara ilmu agama dengan
ilmu lain, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta akan berperan
mengembangkan iptek bernuansa agama. UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pun secara administratif di bawah
Kementerian Agama, tetapi secara teknis akademik di bawah
pembinaan Kementerian Pendidikan Nasional.
Seperti dikatakan Harun Nasution, yang gagasannya
disampaikan pada tahun 1995, dengan menjadi UIN, dikotomi
ilmu antara agama dan ilmu sekuler/umum akan hilang,
sebagaimana sarjana-sarjana muslim klasik semisal Ibnu Sina.
Tuhan pun akan hadir pada ilmu pengetahuan modern yang
selama ini tidak ada. hal ini mengingat ilmu pengetahuan
sekuler modern dibangun di atas perpektif bahwa alam yang
menjadi basis riset iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) pada
studi Islam disebut sebagai sunnatullah (aturan Allah). Dengan
pengkajian iptek di UIN, tegas Harus Nasution, iptek modern
juga tidak akan dipandang sebagai iptek Barat yang sekuler dan
non Islam, tetapi iptek yang telah dikembangkan Islam pada
masa klasik, lalu mempengaruhi Barat antara lain lewat
peradaban Islam di Spanyol, yang kemudian dikembangkan
Barat lebih lanjut menjadi teknologi. Iptek Barat pun akan
dipandang sebagai dalah al-Mu’minin (barang hilang kaum
muslimin)23. Dan para tokoh yang melakukan upaya perubahan
IAIN menjadi UIN tidak kuatir dengan terjadinya marginalisasi
ilmu keislaman yang ada sebelumnya, sebagamana kritik yang
dilontarkan pada tahun 2000-an. Alasannya, marginalisasi akan
lahir jika semua fakultas agama yang ada digabung. Sementara
di UIN Jakarta, fakultas tradisional tidak dilikuidasi, melainkan

23 Badri Yatim &Hamid Nasuihi, Membangun Pusat Keunggulan Studi


Islam, Sejarah dan Profile Pimpinan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1957-

ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018 155


Moderasi Kurikulum Perguruan Tinggi Islam dalam Deradikalisasi Agama di Indonesia
diperkaya ilmu modern baru dengan ditambah program
studinya, dan nama fakultas pun akan ditambah
nomenklaturnya. Sehingga dalam visi integrasi ilmu itu bisa
dilihat dari visi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2000-an,
yaitu ‚menjadi lembaga pendidikan Tinggi terkemuka dalam
mengembangkan dan mengintegrasikan aspek keislaman,
keilmuan, kemanusiaan, dan keindonesiaan‛.
Dalam filosofinya arah tujuan penelitiannya lebih jelas lagi
karena antara lain menyebut ‚pendidikan harus menjamin
terwujudnya manusia seutuhnya yang beriman kepada Allah,
menjunjung tinggi HAM, cinta tanah air, menguasai ilmu
pengetahuan, agama, teknologi, seni, bersikap demokratis, dan
memiliki tanggungjawab sosial yang berkeadilan‛. Integrasi
daripada ilmu pengetahuan tersebut dapat pula mengurangi
bahkan menghentikan dikotomi ilmu modern Barat dan Islam.
Ada banyak yang dilakukannya, dari mulai pembuatan
kurikulum (termasuk silabinya) yang sesuai, termasuk pelatihan
dan peningkatan dosen lewat disekolahkan di pascasarjana,
baik di dalam maupun di luar negeri, hingga buku yang ditulis
para akademiknya terutama profesor dan rektornya yang
dirujuk saat proses pembelajaran, baik pembelajaran formal
maupun non-formal, yaitu diberi tugas membuat makalah atau
tugas baca.
Dengan demikian, peluang daripada program nasional
tentang deradikalisasi agama di perguruan tinggi dan
universitas hususnya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sangat
terbuka lebar bahkan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi
pelopor deradikalisasi agama. hal ini dilakukan dengan
berbagai program dan menggelar Seminar Nasional dengan
tema ‚Radikalisme Agama dalam Perspektif Global dan Nasional‛ di
Auditorium Harun Nasution UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Ciputat pada Kamis, 11 Juni 2015. Sebelumnya, pada tanggal 3
Juni 2015 lalu juga menghelat kegiatan yang juga dalam rangka
menciptakan perdamian dan membendung paham radikalisme
dan terorisme yang diberi nama ‚Festival Islam Cinta 2015‛.
156 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018
Ekawati, Mundzier Suparta dan Khaeron Sirin
Pada seminar tersebut diawali pembukaan oleh rektor UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. yang
diikuti ratusan mahasiswa dan masyarakat umum yang dibagi
dalam dua sesi. Sesi pertama, mengambil tema ‚Idiologi dan
Pemetaan Gerakan Keagamaan Radikal di Indonesia‛. Dan pada sesi
kedua, mengambil tema ‚Dampak dan Penanggulangan
Ekstrimisme keagamaan di Indonesia‛. Dalam sambutan rektor
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN akan tetap konsisten
dalam upaya deradikalisasi agama, baik melalui integrasi
keilmuan, review kurikulum maupun kegiatan-kegiatan ilmiah
lainnya.

Kurikulum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Sejak tahun akademik 2004-2005, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta resmi menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK). Dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan
(kompetensi) dan hasil belajar mahasiswa sehingga dapat
dicapai secara maksimal. Fakultas dan jurusan (prodi) dapat
diberi kebebasan untuk mengembangkan model pembelajaran
KBK sesuai kebutuhan masing-masing. Serta pada tahun
2014/2015 seluruh program studi di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta mengalami perubahan kurikulum dengan menerapkan
kurikulum berbasis Kerangka Kualifikasi Pendidikan Nasional
(KKNI). Penerapan KKNI ini, merupakan amanah Undang-
Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Undang-Undang Pemerintah RI Nomor 14 Tahun
2014 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan,
dan Permendikbud RI Nomor 49 Tahun 2014 tentang Standar
Nasional Pendidikan Tinggi.
Rancangan yang telah dilaksanakan di seluruh Program
Studi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, baik di jenjang Sarjana,
magister, dan doktral telah mengadopsi KKNI dengan
dirancang dalam spesifikasi program dengan framing yang lebih
baik dalam visualisasinya. Template spesifikasi Program Studi

ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018 157


Moderasi Kurikulum Perguruan Tinggi Islam dalam Deradikalisasi Agama di Indonesia
diadopsi dengan kombinasi dari ISESCO, rekomendasi AUN,
Leicester University, UK. Beberapa universitas Asia Tenggara
dan beberapa PT dalam negeri. Dengan template spesifikasi
perguruan tinggi ini, visi, misi, tujuan universitas dapat dilihat
keterkaitannya dengan visi dan misi serta tujuan fakultas.
Bahkan hingga visi, misi, dan tujuan Program Studi. Dengan
demikian, penerapan KKNI sudah terlihat diseluruh outcomes
masing-masing program studi. Dengan outcomes yang jelas,
akan mempertegas distingsi antara program studi yang satu
dengan program studi yang lain.
Outcomes, program studi yang diturunkan menjadi program
learning outcomes, dan masing-masing program sudi dapat
menurunkan lebih lanjut ke dalam distribusi mata kuliah dalam
tiap semester dan dirancang dalam masa studi. Hal ini sesuai
dengan Permendikbud No 49 Tahun 2014 semua beban studi
dan masa studi telah diatur menurut jenjang dan jenis
pendidikan. Melalui matrik mata kuliah, mempermudah bagi
publik untuk memahami hubungan vertikal antara seluruh
mata kuliah dengan visi, misi dan tujuan program studi.
Dengan demikian, struktur kurikulum yang mengacu pada
KKNI sekurang-kurangnya menampilkan dominan sikap,
pengetahuan, ketrampilan, termasuk keterampilan yang dapat
ditularkan (transferable skills), dan juga mempertimbangkan
belajar seumur hidup. Bagi mahasiswa pascasarjana, magister,
doktor, dan profesor mendapatkan mandat program studi
untuk dituntutkan pada dosen dan mahasiswa adalah dapat
berkompetisi di dunia global. Oleh karena itu, maka wajar
apabila mahasiswa harus menguasasi bahasa asing dengan
skore tertentu dan mempublikasin hasil risetnya ke jurnal
internasional yang terindeks Scopus atau Schimago.
Dengan mengacu pada KKNI, pengelompokkan mata
kuliah didasarkan outcomes yang diharapkan untuk membentuk
sikap (attitude), pengetahuan (knowledge), keterampilan khusus
(practical skills), transferable skills, dan life a life learning. Dengan

158 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018


Ekawati, Mundzier Suparta dan Khaeron Sirin
mengacu pada KKNI, pengelompokan mata kuliah didasarkan
pada capaian pembelajaran (learning outcomes). Di mana
internalisasi dan akumulasi ilmu pengetahuan, keterampilan,
sikap, dan kompetensi yang dicapai dengan melalui proses
pendidikan yang terstruktur dan mencakup suatu bidang
keahlian tertentu atau melalui pengalaman kerja. Rumusan
capaian pembelajarannya juga mengandung parameter
deskripsi tentang sikap (attitude), pengetahuan (knowlage), dan
keterampilan (skills).
Rancangan Kurikulum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
mengacu kepada KKNI yang sudah terlibat di seluruh outcome
masing-masing prodi. Sebagai contoh matrikulasi skill (PLO VS
Mata Kuliah) Program Studi Mata Kuiah PAI Fakultas Tarbiyah
dan Keguruan yaitu: Pertama, didesain untuk membentuk sikap
mahasiswa yang mencerminkan dan menjunjung tinggi nilai-
nilai keislaman, keindonesiaan, dan etika akademik. Kedua,
pengetahuan tentang konsep-konsep teoritis pendidikan secara
umum dan pendidikan Islam secara khusus, konsep dan teori
pedagogi, profesional keguruan, kepribadian, sosial, dan
konsep pendidikan dalam Islam; konsep dan teoritis penelitian
pendidikan; pengetahauan tentang integrasi ilmu pengetahuan
pendidikan, sains, dan agama. Ketiga, kemampuan menerapkan
keahlian di bidang pendidikan pengajaran Agama Islam di
Institusi pendidikan, khususnya pada tingkat menengah atas
(Madrasah Aliyah dan atau Sekolah Menengah Atas) dan pada
tingkat dasar dan menengah pertama (Madrasah Tsanawiyah
dan Ibtidaiyah dan atau Sekolah Mengah Pertama dan Dasar).
Keempat, kemampuan untuk bertanggungjawab pada karir
di dalam berbagai macam lapangan kerja yang berkaitan
dengan pendidikan agama Islam dan atau studi lanjut di dalam
bidang ilmu pendidikan agama Islam. Kelima, kemampuan
menulis, presentasi, dan mengambil keputusan tepat
berdasarkan analisis informasi data, dan mengambil berbagai
macam alternatif solusi secara mandiri dan kelompok
menggunakan informasi teknologi untuk menopang yang
ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018 159
Moderasi Kurikulum Perguruan Tinggi Islam dalam Deradikalisasi Agama di Indonesia
bersangkutan belajar seumur hidup. Keenam, kemampuan
beradaptasi di dalam lingkungan sosial ekonomi yang berbeda-
beda dan berubah dengan cepat sambil senantiasa
mengembangkan dan membangun kesadaran terhadap
pentingnya pendidikan Islam.
Dengan demikian, di UIN Jakarta, mahasiswa/i diajak
untuk bersikap terbuka terhadap pandangan-pandangan
akademisi non-Muslim (orientalis). Lebih lanjut, moto UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta ‚Knowladge, Piety, integrity‛,
memperlihatkan bahwa UIN saat ini, knowledge is power,
sebagaimana pendapat Francis Bacon (1561-1526), tokoh
empirisme sains borjuis Barat. Yang dimaksud sains dalam
moto ini adalah sains praksis yang lahir dari eksperimen terus
menerus. Lebih tepatnya, pengetahuan sistematis mengenai
sifat dasar obyek-obyek inderawi yang fisikal (positivistic), yang
berasal dari observasi dan eksperimen berkali-kali, yang karena
itu bersifat empiris, logis, dan eksak (pasti), dan mudah untuk
diukur. Ia adalah basis dari teknologi, yaitu penggunaan sains
dalam pemanfaatan alam untuk kesejahteraan dan kenyamanan
hidup manusia24.

Moderasi Kurikulum IAIN Surakarta Dalam Deradikalisasi


Agama
IAIN Surakarta yang disahkan melalui Perpres No. 1 Tahun
2011 merupakan hasil alih status dari STAIN Surakarta yang
berdiri sejak 30 Juni 1997 awalnya berasal dari IAIN Walisongo
di Surakarta yang berdiri pada 12 September 1992. Berdirinya
IAIN Walisongo ini merupakan gagasan H. Munawar Sadzali,
MA yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Agama sebagai
pilot project untuk memperbaiki mutu IAIN yang sudah ada
dan dianggap belum ideal serta masih banyak memerlukan

Richard Osborne, Filsafat Ilmu Untuk Pemula, (Yogyakarta, Knisius


24

Osborne, 2001),h. 67.

160 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018


Ekawati, Mundzier Suparta dan Khaeron Sirin
pembenahan. Harapan H. Munawir Sdzali pada waktu itu
adalah agar IAIN Walisongo di Surakarta mampu menampilkan
diri sebagai IAIN unggulan yang mencetak para lulusan
berdaya saing tinggi dan memiliki prestasi-prestasi akademik
yang diakui oleh lembaga-lembaga yang kredibel. Itulah
sebabnya, input mahasiswa IAIN Walisongo Surakarta berasal
dari para lulusan MANPK (Madrasah Aliyah Negeri Program
Khusus dari seluruh Indonesia) sebuah input mahasiswa yang
sangat unggul dan pilihan serta diharapkan menjadi pilot
proyek. Namun kurang lebih lima tahun mengalami perubahan
setelah pergantian menteri yang baru Drs. Malik Fadzar, M.Sc
pada 30 Juni 1997 di mana IAIN Walisongo Surakarta diubah
menjadi Sekolh Tinggi Agama Islam (STAIN) Surakarta.
Kebijakan ini juga menetapkan seluruh fakultas-fakultas daerah,
seperti fakultas ushuluddin di Kudus, fakultas syariah di
Pekalongan yang tadinya telah direlokasi ke Surakarta menjadi
STAIN Pekalongan dan STAIN Kudus.
Adapun kurikulum yang dijadikan dasar penyelenggaraan
setiap Jurusan di IAIN Surakarta terdiri atas Kurikulum inti dan
Kurikulum Institusional. Kurikulum inti merupakan kelompok
bahan kajian pelajaran yang harus dicakup dalam suatu
program studi yang dirumuskan dalam kurikulum yang
berlaku secara nasional. Kurikulum institusional merupakan
sejumlah bahan kajian dan pelajaran yang merupakan bagian
dari kurikulum pendidikan tinggi, terdiri atas tambahan dari
kelompok ilmu dalam kurikulum inti yang disusun dengan
memperhatikan keadaan dan kebutuhan lingkungan serta ciri
khas perguruan tinggi yang bersangkutan atau hanya berlaku
untuk IAIN Surakarta sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai capaian pembelajaran lulusan, bahan kajian, proses,
dan penilaian yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan satuan pendidikan tertentu. Sesuai tuntutan
dan peluang lingkungan internal dan eksternal, suatu
kurikulum meniscayakan perkembangan dan penyempurnaan.

ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018 161


Moderasi Kurikulum Perguruan Tinggi Islam dalam Deradikalisasi Agama di Indonesia
Sesuai perpres No. 8 Tahun 2012 tentang kerangka kualifikasi
Nasional Indonesia dan Permendikbud No. 49 tahun 2014,
tentang standar Nasional Pendidikan Tinggi, maka kurikulum
IAIN Surakarta dilakukan penyempurnaan. Perubahan
kurikulum IAIN Surakarta dilakukan penyempurnaan.
Seiring dengan perubahan sosial dan tuntunan eksternal
baik lokal, regional, nasional dan global, maka kurikulum harus
mengacu pada standar kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia
(KKNI). KKNI merupakan kerangka penjenjangan kualifikasi
kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan
menginteraksikan antara bidang pendidikan dan bidang
pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian
pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan
di berbagai sektor. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka
mulai tahun akademik 2015/2016 seluruh jurusan program studi
(prodi) di IAIN Surakarta, menerapkan kurikulum yang
mengacu kepada Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT)
dan kerangka Kualifikasi Nasional Pendidikan (KKNI). Yang
terpenting dari KKNI adalah bahwa suatu pendidikan tinggi
haruslah berbasis pada outcomes. Karena itu, kurikulum IAIN
Surakarta tahun 2015 adalah kurikulum berbasis
Outcomes/Outcomesbased Curiculum (KBO/OBC) dengan
mengacu pada KKNI. Dengan begitu, capaian kurikulum IAIN
Surakarta tersebut dilakukan secara berkesinambungan melalui
workshop-workshop kurikulum yang dilaksanakan sejak
Agustus 2014 sampai pertengahan tahun 2015. Dengan
demikian, perubahan kurikulum ini tidak dilakukan secara serta
merta, melainkan melalui tahapan dan penjenjangan. Dalam
implementasinya, pertama-tama ditetapkan kompetensi,
learning outcomes dan stuktur mata kuliah pada lingkup institut.
Setelah itu, dilanjutkan dengan penyempurnaan dan
implementasi kurikulum ini pada jurusan (Program Studi) yang
dikoordinasi oleh masing-masing fakultas.
Dengan mengacu pada KKNI, pengelompokkan mata
kuliah didasarkan pada capaian pembelajaran (Learning
162 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018
Ekawati, Mundzier Suparta dan Khaeron Sirin
outcomes). Learning Outcomes merupakan internalisasi dan
akumulasi ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap, dan
kompetensi yang dicapai melalui proses pendidikan yang
terstruktur dan mencakup suatu bidang ilmu/keahlian tertentu
atau melalui pengalaman kerja. Rumusan capaian pembelajaran
mengandung parameter deskripsi tentang sikap (attitude),
pengetahuan (knowledge), dan keterampilan (Skills).

Upaya IAIN Surakarta dalam Deradikalisasi


Dalam konteks umat Islam Indonesia, ide teologi
multikulturalisme bukan suatu yang sulit untuk dikembangkan.
Islam Indonesia adalah Islam yang dikenal sangat moderat.
Moderasi ini tumbuh secara organik dari akar-akar sejarah.
Islamisasi yang terjadi di tanah air justru berawal dari cara-cara
yang sangat multikulturalisme yang ditandai oleh pengakuan
nilai-nilai lokal berdampingan dengan nilai-nilai lain.25 Para
Walisongo yang mengislamkan Jawa dan Nusantara
menampilkan perspektif-perspektif multikulturalisme. Nilai-
nilai ke-Indonesiaan dalam perjalanannya telah mengalami
kristalisasis dalam persenyawaan antara agama-agama yang
ada (Islam, Kristen, Budha, dan Hindu) dengan pemeluknya26.
Walaupun semua agama yang ada dalam bagi kita adalah
agama ‚impor‛, namun agama-agama yang ada hanya memberi
muatan relijius substansi tanpa menggerus akar-akar tradisi-
tradisi lokal. Kenyataan ini mempertegas bahwa ide teologi
multikulturalisme memiliki akar-akarnya yang kuat dalam
masyarakat kita jauh sebelum ide-ide ini menjadi tren

25Bandingkan dengan tulisan Abdurrahman Wahid, ‚Hubungan antar


Agama, Dimensi Internal dan Eksternalnya di Indonesia‛ dalam dialog: Kritik
dan identitas Agama, Seri Dian 1 Tahun (Yogyakarta: Penerbit
Dian/Interfidei,t.t), h. 1-2.
26 Bandingkan dengan karya yang bagus tentang integrasi dari
Christine Drake National Integration in Indonesia: Patterns and Policies
(Hawai: University of Hawai Press, 1989), h. 60-102.

ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018 163


Moderasi Kurikulum Perguruan Tinggi Islam dalam Deradikalisasi Agama di Indonesia
peradaban modern. Ini berarti, tidak diragukan lagi, toleransi
beragama telah menjadi sebuah common platform bagi kehidupan
beragama di Indonesia. Dengan demikian, datangnya idiologi
(impor) baru tentang radikalisme agama tak akan mendapat
dukungan dari masyarakat. Bahkan masyarakat secara reflek
akan melawannya.27 Adapun upaya IAIN Surakarta dalam
deradikalisasi agama terbagi menjadi tiga golongan, yaitu:
Pertama, Penguatan Teologi Islam Rahmatan lil ‘alamin.
Istilah ini ditampilkan sebagai ciri Islam yang mencintai
kedamaian, penuh kasih sayang, menolak kekerasan, dan
menyapa semua makhluk terlepas dari perbedaan asal-usul
agama dan keyakinan. Dengan demikian, teologi Islam
Rahmatan lil ‘alamin ingin menegaskan bahwa Islam secara
otentik menyiratkan keharusan untuk merangkul semua
makhluk yaitu manusia dan alam semesta seisinya. Kata
rahmatan lil ‘alamin sendiri sudah sangat popular dan banyak
dikutip untuk penjelasan-penjelasan dalam tema-tema toleransi,
demokrasi, dan HAM.28 Kata ini berasal dari surat al-Anbiya:
107, ‚dan tidaklah kami mengutus kamu (Muhammad SAW),
melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam‛.
Kedua, Penguatan Kearifan Lokal. IAIN Surakarta berada di
pusat peradaban Jawa, yakni Jawa Tengah. Kebudayaan Jawa
memiliki warisan sejarah panjang antara Hindu dan Budha jauh
sebelum agama monoteis datang (Islam dan Kisten). Karena itu,
kebudayaan Jawa lebih tua dari agama-agama tersebut. Ini
berarti perlu mengharmonikan antara nilai-nilai Jawa dengan

27Nurcholis Madjid—dipanggil Cak Nur—sejak tahun 1970 telah


mengembangkan ide tentang perlunya memperbaharui cara pandang
agama ke arah yang lebih ekslusif. Di antara buku yang ditulis Cak Nur,
yaitu Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan, Kemodernan (Jakarta: Paramadina Press, Cet. 1
1992).
28Mudhofir Abdullah, Al-Qur’an dan Konservasi Lingkungan:
Konservasi Lingkungan Sebagai Tujuan Tertinggi Syariah, (Jakarta: Dian
Rakyat, 2010).

164 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018


Ekawati, Mundzier Suparta dan Khaeron Sirin
nilai-nilai Islam. Salah satu ciri khas kebudayaan Jawa adalah
penekanannya yang menonjol pada aspek keselarasan atau
harmoni. Ini menjadi satu pilar penting bagi pengembangan
deradikalisasi terorisme dari perspektif nilai-nilai tradisi dan
kearifan lokal. Antara Islam dan Jawa, banyak titik temu nilai-
nilai universal yang bisa dikembangkan untuk kepentingan
deradikalisasi terorisme.29
Ketiga, Membangun Kurikulum Anti Radikalisme. IAIN
Surakarta memiliki tujuan untuk menyebarkan ilmu-ilmu
keislaman, bahasa Arab, dakwah, ilmu-ilmu alam dan sosial,
teknik, dan seluruh cabang ilmu lainnya, selain juga
mengembangkan program training, penelitian, seminar,
bantuan sosial dan lainnya. Sebagaimana lembaga ini juga telah
mengeluarkan para ahli di berbagai bidang ilmu keislaman dan
pengetahuan bagi masyarakat di mana para ahli tersebut
dibekali ilmu, pemikiran dan etika secara sempurna dengan
modalitas pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan, akidah
yang lurus serta kemampuan ilmiah yang baik pula.
Diharapkan nantinya mereka dapat bermanfaat bagi
masyarakat dan negaranya masing-masing sesuai dengan
spesialisasi mereka dan modalitas pemahaman keislaman yang
moderat, bijaksana, ramah dan mengamalkan nilai-nilai luhur
Islam.
Keempat, Integrasi Nilai dalam Kurikulum dan Materi
Perkuliahan. Materi merupakan bahan pembelajaran yang akan
disampaikan oleh dosen kepada mahasiswa di ruang kelas.
Seorang dosen harus mampu mengkontekstualisasikan dan
mengomunikasikan materi yang ada dengan masalah-masalah
aktual yang relevan dengan budaya masyarakat. Pada
pemaparan materi inilah seorang dosen harus menerjemahkan
nilai-nilai pluralitas ke dalam negeri. IAIN Surakarta
menetapkan mata kuliah di tingkat Institut melalui dua cara,

29 Berdasarkan wawancara dengan Giyoto, Dekan Fakultas Ilmu


Tarbiyah dan Keguruan (FITK).

ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018 165


Moderasi Kurikulum Perguruan Tinggi Islam dalam Deradikalisasi Agama di Indonesia
yaitu: (1). Melalui mata kuliah regular berjumlah 10 mata kuliah
dengan bobot masing-masing 2 sks; dan (2). Melalui program
kompetensi (sertifikasi). Adapun matriks learning outcomes yang
berlaku di semua jurusan dan mata kuliah wajib yang harus
diambil mahasiswa di semua jurusan (program studi) dapat
dilihat dalam penjelasan tentang kurikulum IAIN Surakarta.
Kelima, Mendesain Kurikulum Berparadigma
Multikulturalisme-Inklusivisme. Perumusan kurikulum
perguruan tinggi harus senantiasa mempertimbangkan berbagai
komponen kurikulum itu sendiri dan aspek relevansi. Karena
masyarakat Indonesia majemuk. Maka kurikulum ideal adalah
kurikulum yang dapat menunjang proses mahasiswa menjadi
manusia yang demokratis, pluralis dan menekankan
penghayatan hidup serta refleksi untuk menjadi manusia yang
utuh, yaitu generasi muda yang tidak hanya pandai tetapi juga
bermoral dan etis, dapat hidup dalam suasana demokratis satu
dengan lain, dan menghormati hak orang lain.
Keenam, Evaluas Pembelajaran yang Berorientasi
Multikultural. Evaluasi pembelajaran berbasis multikultural
meliputi keseluruhan dan kepribadian dari peserta didik yan
dilihat dari persepsi, pemahaman, apresiasi, tindakan dan sikap
peserta didik yang dapat menghargai keragaman serta
perbedaan. Dengan demikian, integrasi niai-nilai pluralitas
dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: Pertama, melalui
hasil ujian akhir dan menilai sikap respon, penghormatan
peserta didik terhadap tugas yang diwajibkan padanya; Kedua,
seorang dosen harus memperhatikan partisipasi peserta didik
dalam pembelajaran dalam mengemukakan pendapatnya;
Ketiga, pertanyaan dan argumen yang dikemukakan oleh
peserta didik dapat dijadikan acuan penilaian, apakah ada
kesan memaksakan pendapat atau tidak, atau justru tampak
peserta didik mampu menghormati pendapat orang lain;
Keempat, daftar kehadiran dalam kelas juga sangat penting
dijadikan acuan dalam penilaian, karena penghargaan peserta
didik terhadap forum dapat diketahui.
166 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018
Ekawati, Mundzier Suparta dan Khaeron Sirin
Ketujuh, program pendampingan Pengembangan
Kepribadian Muslim Integral (P3KMI). Program ini untuk
memberikan bekal bagi ‚calon guru‛ di fakultas Tarbiyah dan
Keguruan di IAIN Surakarta agar memiliki kepribadian yang
integral dalam rangka peningkatan kompetensi dan juga
keinginan bersama untuk memperbaiki mutu output Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan30.
Kedelapan, Seminar dan diskusi Ilmiah. Untuk memberikan
pencerahan kepada mahasiswa khususnya, umumnya
masyarakat dan umat. Kegiatan ini juga dimaksudkan untuk
memberikan solusi atas pelbagai persoalan yang dihadapi oleh
umat selain memberikan stressing pada persoalan keamanan
pemikiran bagi para mahasiswa, memberikan dukungan untuk
memiliki jiwa nasionalisme kepada bangsa dan negara31.

Moderasi Kurikulum STAIN Kediri Dalam Deradikalisasi


Agama
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri
memiliki latar belakang sejarah yang cukup panjang. Berdirinya
STAIN Kediri ini muncul dalam rangka menjawab atau dalam
upaya untuk mengembangkan Kota/Kabupaten Kediri. Dalam
hal ini, perguruan tinggi ini didirikan sebagai wahana untuk
mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya
manusia. Ketika itu Kediri yang memiliki banyak pesantren
dipandang cukup baik dalam memberikan pendidikan kepada
para generasi muda. Singkatnya, setelah Fakultas Ushuluddin
Sunan Ampel Cabang Kediri berumur lebih kurang 32 tahun,
pada tahun 1997 pemerintah menetapkan peraturan baru bahwa
perguruan tinggi cabang harus berdiri sendiri, fakultas

30Wawancara dengan Giyoto, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan


Keguruan (FITK) Surakarta pada hari Senin, 05 Oktober 2015.
31 Tim Program pendampingan pengembangan kepribadian Musli
Integral (P3KMI) FKIK IAIN Surakarta, Muslim Integral, (IAIN Suarakarta
2014).

ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018 167


Moderasi Kurikulum Perguruan Tinggi Islam dalam Deradikalisasi Agama di Indonesia
Ushuluddin Sunan Ampel Cabang Kediri berdasarkan Keppres
Nomor 11 tahun 1997 berdiri sendiri dan ditetapkan sebagai
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kediri. Secara struktural
STAIN Kediri berada di bawah Dirjen Perguruan Tinggi Islam
Departemen Agama. Secara manajerial juga telah mandiri.
Pengangkatan pegawai, penentuan pemimpin, dan anggaran
telah memiliki kewenangan sendiri, STAIN Kediri
mengembangkan diri dengan membuka jurusan-jurusan baru
sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman.

Kurikulum STAIN Kediri


Perubahan status dari IAIN Cabang Sunan Ampel menjadi
STAIN Kediri memberi peluang bagi pengembangan mutu
pengajaran di lingkungan STAIN Kediri melalui upaya
peningkatan kuantitas kurikulum lokal yang digali dan
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan daerah. Langkah
tersebut dipandang penting dan positif bagi pemenuhan
kebutuhan daerah akan tenaga-tenaga kerja profesional yang
dipersiapkan oleh STAIN Kediri. Kurikulum yang dijadikan
dasar penyelenggaraan setiap Program Studi di STAIN Kediri
terdiri atas Kurikulum inti dan Kurikulum institusional,
sebagaimana tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 232/U/2000, tentang pedoman
penyusunan kurikulum Perguruan Tinggi dan penilaian Hasil
Belajar. Dalam keputusan tersebut, kurikulum perguruan tinggi
terdiri dari 40% muatan kurikulum inti dan 60% muatan
kurikulum institusional. Komponen-komponen mata kuliah
terdiri dari Mata Kuliah Pengembangan Keperibadian (MPK)
sebanyak 24 sks, Mata Kuliah Keilmuan dan Keterampilan
(MKK) sebanyak 72 sks, Mata kuliah Keahlian Berkarya (MKB)
sebanyak 32 sks, Mata Kuliah Perilaku Berkarya (MPB)
sebanyak 14 sks, Mata Kuliah Berkehidupan Masyarakat (MBB)
sebanyak 10 sks. Distribusi mata kuliah dibuat piramida, yaitu

168 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018


Ekawati, Mundzier Suparta dan Khaeron Sirin
semakin tinggi masa tempuh studi (semester), maka semakin
sedikit jumlah sks yang harus diselesaikan.

Upaya STAIN Kediri Mencegah Radikalisme


Konflik terbuka berbasis agama secara signifikan belum
pernah pecah di Kediri, meskipun sentimen-sentimen
keagamaan bisa saja memperkuat konflik-konflik yang ada yang
ditimbulkan karena faktor-faktor kesenjangan sosial, eonomi,
budaya dan politik. Keberadaan STAIN Kediri dirasa memberi
andil besar dalam mengelola sentimen keagamaan dan
meredam timbulnya anasir-anasir pemahaman radikal di
kalangan kampus. Kuatnya kultur masyarakat sekitar juga
mempengaruhi tradisi keilmuan Islam yang dikaji lewat
perkuliahan dan seminar di perguruan tinggi tersebut. STAIN
Kediri menyadari bahwa tidak ada yang menganjurkan
kekerasan dan menganjurkan kebencian. Agama hanyalah
korban perkosaan dari pemeluknya yang secara ekslusif
dijadikan instrumen pembenaran atas aksi-aksi kekerasan.
Prinsip-prinsip toleransi, menghargai kehidupan, menyantuni
orang miskin, menciptakan perdamaian, bertindak adil, dan
menghormati HAM hampir selalu dikesampingkan. Akibatnya,
agama dianggap sebagai simbol perlawanan tanpa syarat
terhadap hegemoni kelompok atau peradaban tertentu, seperti
modernisme dan kapitalisme. Bagi STAIN Kediri, perbedaan
tidak lagi dipandang sebagai suatu keanehan.
Dalam konteks ide multikultural, perbedaan-perbedaan
(agama, budaya, etnis, bahasa, adat istiadat) dianggap sebagai
suatu mozaik kultural yang tidak saling menegasikan, tetapi
justru saling menopang membentuk jaring-jaring kerjasama
dengan identitasnya masing-masing. Islam Indonesia adalah
Islam yang dikenal sangat moderat. Moderasi ini tumbuh secara
organik dari akar-akar sejarah. Islamisasi yang terjadi di tanah
air justru berawal dari cara-cara yang sangat multikultural yang
ditandai oleh pengakuan nilai-nilai lokal berdampingan dengan

ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018 169


Moderasi Kurikulum Perguruan Tinggi Islam dalam Deradikalisasi Agama di Indonesia
nilai-nilai lain. Dalam konteks umat Islam Indonesia, ide teologi
multikultural bukan sesuatu yang sulit untuk dikembangkan.
Dengan demikian, sebagai upaya STAIN Kediri melakukan
deradikalisasi secara garis besar memiliki kesamaan dengan
yang telah dijelaskan pada bagian kurikulum IAIN Surakarta
dalam deradikalisasi, di antarnya yaitu:
Pertama, Penguatan Teologi rahmatan lil ‘alamin. Teologi
rahmatan lil ‘alamin ini, menegaskan dengan sangat gambling
bahwa teologi rahmatan lil ‘alamin adalah sebuah keniscayaan.
Umat Islam harus menjadi pilar perdamaian, persaudaraan, dan
penciptaan bentuk-bentuk kerjasama global untuk mengatasi
atau memecahkan isu-isu yang lebih strategis seperti
kemiskinan, bencana, krisis lingkungan, dan krisis moral.32
Prasangka baik dapat mencerminkan belas kasih karena di
dalamnya kosong dari sifat dendam, benci, dan permusuhan.
Prasangka baik juga dapat menumbuhkan saling percaya dan
selanjutnya membentuk kerjasama. Ini hidup yang dalam
suasana etis yang merefleksikan akhlak dan menjadi ciri orang
yang beragama.
Kedua, Penguatan Kearifan lokal. Pendekatan ini, STAIN
Kediri berupaya menjadikan mediator, inisiator, dan bahkan
dinamisator deradikalisasi terorisme melalui penyelenggaraan
Tridharma Perguruan Tinggi. Dalam visi, misi dan turunannya
seperti kurikulum keagamaan yang lebih inklusif dan toleran.
Sebagaimana dalam argumen bahwa Universitas Islam tak akan
efektif bila tidak diikatkan pada nilai-nilai lokal. Efektivitas
ajaran yang universal pada akhirnya akan berlaku apabila
memperoleh dukungan lokal tradisi masyarakat setempat. Hal
ini memunculkan cita-cita STAIN Kediri untuk membangun
centre of excellence pada kuatnya relasi Islam dan budaya Jawa

32Karen Amstrong, Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme daam


Islam, Kristen, dan Yahudi, (Penerjemah: Satrio Wahno dkk), Bandung:
Mizan, 2000, h. 56.

170 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018


Ekawati, Mundzier Suparta dan Khaeron Sirin
dalam kerangka memecahkan problem lokal yang berbau
radikalisasi agama.
Ketiga, membangun kurikulum anti radikalisme. STAIN
Kediri berupaya mengembangkan kurikulum pendidikan
berwawasan inklusif untuk menangkal radikalisme yang
berkembang di dunia pendidikan. Hal ini mengingat
radikalisme agama dapat pula bersumber dari pembacaan yang
salah terhadap sejarah agama yang dikombinasikan dengan
idealisasi berlebihan terhadap doktrin agama pada masa
tertentu. Sebab, radikalisme agama tidak lepas dari
ketidaktepatan dalam memahami substansi agama. Karena itu
pendidikan berperan penting untuk menyosialisasikan nilai
agama yang membawa misi damai dan menolak segala bentuk
kekerasan33.
Keempat, integrasi nilai Pluralitas dalam Kurikulum. STAIN
Kediri sebagai lembaga pendidikan yang mentransfer nilai dan
pengetahuan memiliki fungsi sosial dan sangat berperan dalam
mewujudkan kehidupan yang penuh kedamian dan harmonis
bagi masyarakat pada umumnya. Perannya adalah untuk
memberikan pemahaman kepada peserta didik mengenai
pentingnya menentukan pilihan nilai yang akan dijadikan
pegangan hidupnya, seperti kebebasan, persamaan, toleransi,
kesetiakawanan, keadilan, kejujuran, dan kesabaran, baik dalam
lingkup lembaga pendidikan, masyarakat, maupun negara.34
Dalam lingkup perguruan tinggi, pengintegrasian suatu nilai
dapat dilakukan dengan cara inkulturasi, yaitu keseluruhan
proses pengintegrasian nilai-sikap, pandangan, keyakinan ke
dalam proses pendidikan, baik dalam materi, metode, dan
evaluasi pendidikan. Inkulturasi ini mengisyaratkan pendidikan
karakter diimplementasikan sebagai learning experience, peserta
didik langsung memahami dan mengalami sendiri nilai-nilai

33Wawancara dengan Saifullah Munir, STAIN Kediri, tanggal 30


September 2015.
34 Wawancara dengan Muhammad Yasin.

ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018 171


Moderasi Kurikulum Perguruan Tinggi Islam dalam Deradikalisasi Agama di Indonesia
pluralitas yang diharapkan, yakni kecerdasan plus karakter
yang difokuskan pada hard dan soft skill35.
Kelima, Integrasi Nilai dalam Materi Perkuliahan. Dalam
materi perguruan tinggi Islam, setidaknya di dalamnya
diberikan pemahaman bahwa kajian tentang Islam dapat
dilakukan dari berbagai sudut pandang. Sebagaimana Islam
mengenal beberapa madzhab yang menjadi kiblat umat Islam.
Di mana masing-masing madzhab dalam memandang dan
menjustifikasi suatu permasalahan dapat berbeda. Sehingga
dari materi ini mahasiswa mampu menimbang dan memikirkan
terhadap peristiwa hukum Islam dengan tidak kaku. Berkaitan
dengan integritas nilai pluralitas dalam pembelajaran materi ini,
setidaknya dosen mempunyai tiga peran penting yaitu: Pertama,
dosen berkewajiban membantu mahasiswa memahami sudut
pandang orang lain. Kedua, membantu peserta didik mencari
solusi bijak yang membawa mahasiswa memahami dari dua
sudut pandang yang berbeda; dan ketiga, membantu mahasiswa
mempraktikkan keterampilan pribadi yang akan membantu
mereka menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
Keenam, metode Pembelajaran yang Multikultural. Metode
sangat penting dalam pendidikan nilai, peran dosen atau
pendidik sebagai teladan dan pembimbing. Membangun
masyarakat yang toleran, harmonis, dan bermoral. Pertemuan
kelas harus mampu menciptakan nilai-nilai saling menghargai
dan tanggungjawab dalam kehidupan kelas. Metode belajar di
kelas melalui diskusi atau seminar kelas akan semakin
berkualitas dalam mencapai tujuan materi kuliah. Jika nilai-nilai
pluralitas sudah teranam pada diri dosen, secara otomatis itu
akan tercermin dalam metode pembelajarannya.
Ketujuh, evaluasi Pembelajaran yang Berorientasi
Multikultural. Evaluasi pembelajaran untuk mengetahui tingkat
ketercapaian tujuan. Dengan demikian, dalam melaksanakan

Imam Subchi (Ed), Mozaik Pemikiran Islam, Jakarta: Dirjen Diktis


35

Kemenag R.I, 2011, h. 6.

172 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018


Ekawati, Mundzier Suparta dan Khaeron Sirin
pendidikan nilai dan agama perlu dibekali dengan kemampuan
untuk merumuskan tujuan yang efektif. Integrasi nilai-nilai
pluralitas dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
Pertama, melalui hasil ujian akhir dan menilai sikap, respon,
penghormatan peserta didik terhadap tugas yang diwajibkan
padanya; Kedua, seorang dosen harus memperhatikan
partisipasi peserta didik dalam pembelajaran dalam
mengemukakan pendapatnya; Ketiga, pertanyaan dan argumen
yang dikemukakan oleh peserta didik dapat dijadikan acuan
penilaian, apakah ada kesan memaksakan pendapat atau tidak,
atau justru tampak peserta didik mampu menghormati
pendapat orang lain; Keempat, daftar kehadiran dalam kelas,
juga sangat penting dijadikan acuan dalam penilaian karena
penghargaan peserta didik terhadap forum dapat diketahui36.

Kesimpulan
Moderasi kurikulum di tiga Perguruan Tinggi Islam di
Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, IAIN Surakarta,
dan STAIN Kediri dalam deradikalisasi agama mempunyai
kemiripan. Membenahi sistem kurikulum dalam pendidikan,
justru lebih berdaya guna dalam pencegahan dan penangkalan
radikalisme. Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
Pertama, integrasi dan internalisasi keilmuan, yaitu
mengembangkan dan mengintegrasikan aspek keislaman,
keilmuan, kemanusiaan, dan keindonesiaan, dengan cara
reintegrasi keilmuan pada tingkat ontologi, epistimologi, dan
aksiologi, sehingga tidak ada lagi dikotomi ilmu umum dan
ilmu agama. Dengan kata lain, menyelenggarakan program
pendidikan akademis dan/atau profesional dalam bidang ilmu
agama Islam yang terpadu dengan pengetahuan umum, dan

36 Wawancara dengan Erna Nurkholis, dan wawancara juga dengan


Saifullah Munir. STAN Kediri, Tanggal 1 Oktober 2015.

ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018 173


Moderasi Kurikulum Perguruan Tinggi Islam dalam Deradikalisasi Agama di Indonesia
sejumlah ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni yang
terpadu dengan nilai-nilai keislaman, kemanusiaan, dan
keindonesiaan.
Kedua, pengetahuan teologi rahmatan lil’alamin, yaitu
menampilkan ciri Islam yang damai, penuh kasih, anti
kekerasan, dan menyapa semua makhluk terlepas dari
perbedaan asal usul agama dan keyakinan. Teologi rahmatan lil
’alamin dengan prinsip-prinsipnya perlu ditonjolkan dalam
pendidikan formal, informal, dan non-formal, sehingga mampu
menggantikan teologi kekerasan dalam artian yang
komprehensif melalui pengajaran, penelitian, dan pengabdian
dengan memperkuat teologi rahmatan lil ’alamin dalam struktur
kurikulum serta visi-misinya.
Ketiga, deradikalisasi melalui penguatan kearifan lokal
Jawa, yaitu mengharmonisasikan antara nilai-nilai Jawa dengan
nilai-nilai Islam. Salah satu ciri khas kebudayaan Jawa adalah
penekanannya yang menonjol pada aspek keselarasan atau
harmoni. Ini menjadi satu pilar penting bagi pengembangan
deradikalisasi terorisme dari perspektif nilai-nilai tradisi dan
kearifan lokal. Antara Islam dan Jawa memiliki banyak titik
temu nilai-nilai universal yang bisa dikembangkan untuk
kepentingan deradikalisasi terorisme. Perguruan tinggi Islam
berdiri persis di titik taut itu untuk selanjutnya menjadi
mediator, inisiator, dan bahkan dinamisator deradikalisasi
teorisme melalui penyelenggaraan Tridharma Perguruan
Tinggi.
Keempat, membangun kurikulum anti radikalisme.
Pergururan Tinggi Islam di Indonesia telah berhasil
mengembangkan misi untuk menyebarkan moderasi dan
toleransi serta aplikasinya dalam realitas kehidupan.
Kelima, evaluasi pembelajaran yang berorientasi
multikultural. Integrasi nilai-nilai pluralitas di Perguruan Tinggi
telah dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: Pertama, melalui
hasil ujian akhir dan menilai sikap, respon, penghormatan

174 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018


Ekawati, Mundzier Suparta dan Khaeron Sirin
peserta didik terhadap tugas yang diwajibkan padanya; kedua
dan ketiga, menjadikan pertanyaan dan argumen yang
dikemukakan oleh mahasiswa dijadikan sebagai acuan
penilaian; keempat, menjadikan daftar kehadiran dalam kelas
sebagai acuan dalam penilaian.
Keenam, program Pendampingan Pengembangan
Kepribadian Muslim Integral (P2KMI). Lembaga pendidikan
tinggi formal tidak hanya berfungsi sebagai lembaga transfer
ilmu pengetahuan dan pengembangan saja, melainkan juga
sebagai tempat untuk pembentukan akhlak yang mulia (akhlaqul
karimah).
Ketujuh, integrasi nilai Pluralitas dalam Kurikulum. Dalam
lingkup perguruan tinggi, pengintegrasian suatu nilai dapat
dilakukan dengan cara inkulturasi, yaitu keseluruhan proses
pengintegrasian nilai-sikap, pandangan, keyakinan ke dalam
proses pendidikan, baik dalam materi, metode, dan evaluasi
pendidikan. Inkulturasi ini mengisyaratkan pendidikan
karakter diimplementasikan sebagai learning experience, peserta
didik langsung memahami dan mengalami sendiri nilai-nilai
pluralitas yang diharapkan, yakni kecerdasan plus karakter
yang difokuskan pada hard skill dan soft skill.
Kedelapan, metode pembelajaran yang multikulturalisme
yaitu metode yang dipakai perguruan tinggi melalui diskusi.
Metode diskusi merupakan cara mengintegrasikan nilai-nilai
pluralitas dalam pembelajaran. Metode ini juga dapat
memberikan kebebasan kepada mahasiswa untuk berbagai
pendapat tentang suatu topik bahasan. Di dalamnya para
mahasiswa diberikan kesempatan yang luas untuk
mengemukakan pendapat dan argumen ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan secara logis dan etis.

ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018 175


Moderasi Kurikulum Perguruan Tinggi Islam dalam Deradikalisasi Agama di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Referensi Buku
Ibnu Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah.
Muchlis M. Hanafi, ‚Konsep Al Wasyatiyah Dalam Islam‛,
Harmoni: Junal Multikultural dan Multieligius, Vol.VIII,
Nomor 32, Oktobe 2008-2009.
Ibnu al-Mandzhur, Lisan al-Arab.
Muhammad bin Jamaah, ‚al-Harakat al-Islamiyyah fi al
Mujatama‛, al Araby: Qira’ah Naqdiyyah.
M. John Echol dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia
(Jakarta;Gramedia, 1995).
Departemen Pendidikan Nasional, KBBI (Jakarta, Balai Pustaka,
2002).
Roland Robertson, Agama:Dalam Analisa Dan Interpretasi
SOsiologis, Penj A. Fedyani Saifuddin, Jakarta: CV Rajawali,
1992.
Nurcholis Majid, dkk, Fiqih Lintas Agama,Jakarta: Yayasan
Wakaf Paramadina, 2004).
Qomarudin Hidayat, Psikologi Agama, Bandung: Mizan.
Roland Robertson, Agama:Dalam Analisa Dan Interpretasi
SOsiologis, Penj A. Fedyani Saifuddin, Jakarta: CV Rajawali,
1992.
Bachtiar Effendi, Agama Publik &Privat, UIN Jakarta Press, 2009
Asep Saefullah, Merukunkan Umat Beragaa; Studi Pemikiran
Tarmizi Taher tentang Kerukunan Umat Beragama, (Jakarta:
Grafindo Kazanah Ilmu, 2007.
Azyumardi Azra, Mereka Mengambil Alih dalam Penegakkan
Hukum, dalam khazanah suplemen Republika, 1 Juni 2002.
Saeful Mujami, ‚Di Balik Polemik ‚Anti-Pembaruan‛ Islam:
Memahami Gejala ‚Fundaentalis Isla di Indonesia, dalam
Jalaludin Rachmat (et.al).

176 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018


Ekawati, Mundzier Suparta dan Khaeron Sirin
Prof. Dr. Nurcholis Madjid, Jejak Pembaruan Sang Guru Bangsa,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Bogdan dan Biklen, Qualitative Research for Educaion: An
Introduction to theory and methods, 1982.
Adian Husaini, ‚IAIN Dulu dan Sekarang‛, Jurnal Islamia,
Vol.III.No.3, (2008).
Hartono Ahmad Jaiz, Ada Pemurtadan di IAIN, Jakarta: Pustaka
al-Kaustar, 2005.
Badri Yatim &Hamid Nasuihi, Membangun Pusat Keunggulan
Studi Islam, Sejarah dan Profile Pimpinan IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta 1957.
Richard Osborne, Filsafat Ilmu Untuk Pemula, Yogyakarta,
Knisius Osborne, 2001.
Abdurrahman Wahid, ‚Hubungan antar Agama; Dimensi Internal
dan Eksternalnya di Indonesia‛ dalam dialog: Kritik dan
identitas Agama, Seri Dian 1 Tahun, Yogyakarta: Penerbit
Dian/Interfidei, t.t.
Christine Drake, National Integration in Indonesia: Patterns and
Policies, Hawai: University of Hawai Press, 1989.
Nurcholis Madjid, Islam doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah
Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, Kemodernan,
Jakarta: Paramadina Press, Cet. 1, 1992.
Mudhofir Abdullah, Al-Qur’an dan Konservasi Lingkungan:
Konservasi Lingkungan Sebagai Tujuan Tertinggi Syariah,
Jakarta: Dian Rakyat, 2010.
Karen Amstrong, Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme daam
Islam, Kristen, dan Yahudi, (Penerjemah: Satrio Wahno dkk),
Bandung: Mizan, 2000.
ICG, 2007 ‚Deradicalisation and Indnesian Prisons‛, Asia Report,
19 November 2007.
Al-Maushu’ah al-Arabiyah al-Alamiyah (Kata Radikal).
Al-mishbah al munir.

ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018 177


Moderasi Kurikulum Perguruan Tinggi Islam dalam Deradikalisasi Agama di Indonesia
Majmu al fatwa.

Wawancara Tokoh
Wawancara dengan Saifullah Munir, STAIN Kediri, 30
September 2015.
Wawancara dengan Muhammad Yasin.
Wawancara dengan Erna Nurkholis, STAN Kediri, 1 Oktober
2015.
Wawancara dengan Giyoto, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan (FITK) Surakarta, 05 Oktober 2015.

Media Online
http://www.crisisgroup.org/home/index (diakses 10 November
2015).

178 ISTIQRO’ Volume 16, Nomor 01, 2018

Anda mungkin juga menyukai