Anda di halaman 1dari 14

TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi
Myasthenia gravis atau selanjutnya disingkat MG merupakan suatu penyakit
autoimun dari neuromuscular junction (NMJ) yang disebabkan oleh antibodi yang
menyerang komponen dari membran postsinaptik, mengganggu transmisi neuromuskular,
dan menyebabkan kelemahan dan kelelahan otot rangka (Chairunnisa, 2016).
Miastenia gravis (MG) adalah suatu bentuk kelainan pada transmisi neuromuskular
yang paling sering terjadi. Kelainan pada transmisi neuromuskular yang dimaksud adalah
penyakit pada neuromuscular junction (NMJ). MG adalah suatu penyakit autoimun dimana
tubuh secara salah memproduksi antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AChR) sehingga
jumlah AchR di NMJ berkurang. MG menyebabkan permasalahan transmisi yang mana
terjadi pemblokiran AchR di serat otot (post synaptic) mengakibatkan tidak sampainya
impuls dari serat saraf ke serat otot sehingga menyebabkan tidak terjadinya kontraksi otot.
MG ditandai oleh kelemahan otot yang kembali memulih setelah istirahat. Otot yang paling
sering terkena adalah ekstraokular, tungkai, wajah dan otot leher. Miastenia dalam bahasa
latin artinya kelemahan otot dan gravis artinya parah (Dwimartyono, 2019).

II. Etiologi

Penyebab pasti masih belum diketahui. Akan tetapi, penyakit ini diyakini karena:

1. Respon autoimun
2. Pelepasan asetilkolin yang tidak efektif
3. Respon serabut otot yang tidak adekuat terhadap asetilkolin.

Myasthenia gravis disebabkan oleh gangguan transimisi impuls saraf ke otot. Hal ini
terjadi ketika komunikasi normal antara saraf dan otot terganggu di persimpangan
neuromuskuler dimana sel-sel saraf terhubung dengan otot-otot yang dikontrol. Biasanya bila
impuls menuju saraf, ujung saraf akan melepaskan zat neurotransmitter yang disebut
asetilkolin. Asetilkolin berjalan dari sambungan neuromuskuler dan mengikat reseptor
asetilkolin yang diaktifkan dan menghasilkan kontraksi otot. Pada myasthenia gravis,
antibodi blok mengubah atau menghancurkan reseptor untuk asetilkolin pada sambungan
neuromuskuler yang mencegah terjadinya kontraksi otot. Antibodi ini diproduksi oleh sistem
kekebalan tubuh. Antibodi pada reseptor nikotonik asetilkolin merupakan penyebab utama
kelemahan otot pasien dengan myasthenia gravis (Nadeak, 2018).

III. Klasifikasi
Menurut Mysthenia Gravis Foundation of America (MGFA), myasthenia gravis dapat
diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:
1. Kelas I:
Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata dan
kekuatan otot-otot lain normal
2. Kelas II:
Adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular. Otot okular
mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.
3. Kelas III:
Adanya kelemahan tingkat sedang pada otot-otot lain selain otot okular. Otot
okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.
4. Kelas IV:
Adanya kelemahan dalam derajat yang berat pada otot-otot selain otot okular,
sedangkan otot-otot ocular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat
5. Kelas V:
Pada kelas ini penderita terintubasi dengan atau tanpa ventilasi mekanik (MGFA,
2017 dalam Muhammad, 2019)

IV. Manifestasi Klinis


1. Pengatupan kelopak mata yang lemah, ptosis, dan diplopia akibat kerusakan
transmisi neuromuskuler pada nervus kranialis yang mempersarafi otot-otot
bola mata (mungkin menjadi satu-satunya gejala yang ada).
2. Kel emahan otot skeletal dan keluhan mudah lelah yang akan bertambah ketika
hari semakin siang, tetapi akan berkurang setelah pasien beristirahat (pada
stadium awal MG dapat terjadi keadaan mudah lelah pada otot-otot tertentu
tanpa ada gejala lain. Kemudian, keadaan ini bisa menjadi cukup berat dan
menyebabkan paralisis).
3. Kelemahan otot yang progresif dan kehilangan fungsi yang menyertai menurut
kelompok otot yang terkena; keadaan ini menjadi semakin parah pada saat
haid dan sesudah mengalami stress emosi, terkena cahaya matahari dalam
waktu lama, serta pada saat menderita demam atau infeksi.
4. Tampilan wajah yang kosong serta tanpa ekspresi dan nada vocal hidung, yang
semua terjadi sekunder karena kerusakan transmisi pada nervus kranialis yang
mempersarafi otot-otot wajah.
5. Regurgitasi cairan yang sering ke dalam hidung dan kesulitan mengunyah
serta menelan akibat terkenanya nervus kranialis.
6. Kelopak mata yang jatuh akibat kelemahan otot-otot wajah dan ekstraokuler.
7. Kelemahan otot-otot leher dengan kepala yang miring ke belakang untuk
melihat (otot-otot leher terlalu lemah untuk menyangga kepala tanpa
gerakan menyentak).
8. Kelemahan otot-otot pernapasan, penurunan volume tidal serta kapasitas vital
akibat kerusakan transmisi pada diafragma yang menimbulkan kesulitan
bernapas. Keadaan ini merupakan faktor predisposisi pneumonia dan infeksi
saluran napas lain pada pasien myasthenia gravis.
9. Kelemahan otot pernapasan (krisis miastenik) mungkin cukup berat sehingga
diperlukan penanganan kedaruratan jalan napas dan pemasangan ventilator
mekanis. (Chairunnisa, 2016)

V. Patofisiologi
Myasthenia gravis merupakan gangguan neuromuskular junction yang
disebabkan oleh gangguan transmisi asetilkolin (Ach) untuk berikatan dengan
reseptornya di permukaan membran sel otot. Kelainan ini disebabkan oleh terbentuknya
antibodi berupa IgG yang nantinya akan berikatan secara inhibitor kompetitif pada reseptor
asetilkolin (AchR). Adanya antibodi yang terikat ini nantinya akan menyebabkan lisis
fokal yang ditandai dengan rusaknya reseptor. Reseptor yang rusak akan mempercepat
proses turn over dan mengurangi jumlahnya pada permukaan membran sel.
Mekanisme pembentukan antibodi terhadap reseptor Ach ini masih belum dimengerti.
Namun, mekanisme ini tergolong dalam proses autoantibodi tipe II (reaksi kompleks
imun). Selain itu, antibodi yang terbentuk (IgG) dapat melewati plasenta. Sehingga,
kelainan myasthenia gravis dapat ditularkan secara kongenital dari ibu yang menderita
myasthenia gravis.
Pada myasthenia gravis, gangguan yang terjadi terletak pada bagian membran
post sinaptik. Gangguan ini menyebabkan asetilkolin tidak akan berikatan dengan
reseptor sehingga asetilkolin akan terlihat “berenang” didalam celah sinaptik. Kondisi
asetilkolin bebas ini akan memudahkan asetilkolin dihidrolisis oleh enzim
asetilkolinesterase. Sehingga, jumlah asetilkolin yang terikat reseptor akan semakin
sedikit dan hal ini menimbulkan depolarisasi membran sel otot yang sifatnya tidak
sekuat normal. Depolarisasi berjenjang sel otot akan semakin menurun jumlahnya
sehingga nantinya akan bermanifes pada kelemahan otot dalam kontraksi.
Kelainan myasthenia gravis ditandai pada kelemahan otot-otot volunter. Pada
awalnya gejala ini timbul pada serat otot dengan satuan motorik terkecil seperti otot-
otot penggerak bola mata. Dan seringkali kelainanini menyerang otot yang dipersarafi
nervus kranial. Pada skenario, penderita mengalami keluhan berupa kelopak mata sulit
dibuka serta bila melihat cepat capai dan tampak double. Hal ini disebabkan oleh
kelemahan otot-otot pada kelopak mata yaitu m. orbikularis okuli yang berjalan
melingkar di dalam kelopak atas dan bawah, dan terletak di bawah kulit kelopak,
yang berfungsi dalam menutup bola mata yang dipersarafi n. VII. Sedangkan m. levator
palpebra yang dipersarafi oleh n. III berfungsi untuk mengangkat kelopak mata atau
membuka mata.
Selain itu, kelemahan akibat gangguan neurotransmiter ini juga terjadi di
berbagai otot volunter tubuh. Kelemahan otot penyangga leher, nantinya akan
bermanifes pada kesulitan menegakkan kepala, gangguan pada otot menelan bulbair
ditandai dengan kesulitan menelan dan suara yang makin melemah. Sedangkan kelemahan
otot-otot ekstremitas ditandai dengan kelemahan yang bersifat layuh (misalnya bila
mengangkat tangan selama 2-3 menit, tangan akan semakin menurun).
Keluhan pada myasthenia gravis ini semakin memburuk pada sore hari dan membaik
setelah istirahat karena hal ini terkait dengan penggunaan ATP dan perangsangan yang
timbul. Myasthenia gravis merupakan kelainan yang bermanifes pada otot volunter/ otot
skelet. Dan otot skelet ini diinervasi pada persarafan somatik yang timbul oleh adanya
rangsangan eksitatorik di otak. Pada keadaan istirahat dan tidur, tidak ada rangsangan
yang timbul sehingga produksi asetilkolin berjumlah banyak tersimpan dalam vesikel.
Dan pada saat memulai aktivitas (rangsangan aksi awal), asetilkolin yang berikatan
dengan reseptornya masih dalam kadar yang cukup banyak sehingga mampu menimbulkan
depolarisasi membran dalam jumlah cukup. Namun, lama kelamaan keadaan ini tidak
akan terkompensasi dengan semakin lamanya aktivitas yang dicetuskan karena terkait
pada jumlah reseptor Ach yang semakin sedikit dan Ach yang banyak dihidrolisis.
Myasthenia gravis merupakan penyakit yang bersifat progresif. Baik progresif
lambat ataupun cepat, tergantung pada kondisi autoimun yang diderita. Akibatnya,
keluhan yang dialami semakin lama akan makin berat. Pada kasus di skenario, penderita
belum mengalami sesak nafas/ perasaan tidak enak di dada. Dalam hal ini, penderita
masih belum mengalami gangguan pernafasan yang nantinya dapat menimbulkan krisis
miastenik. Dan bila sudah timbul kondisi ini, maka penderita sudah berada dalam
kondisi kritis yang memerlukan penanganan secepat mungkin (Yudhistira, 2014).

VI. Pemeriksaan Diagnostik


1. Tensilon tes/endrofonium
Yaitu tes dengan pemberian obat antikolinesterase kerja singkat yang
menghasilkan perbaikan segera pada kelemahan otot bila diberikan secara
intravena. Injeksi ini merupakan medikasi yang memudahkan transmisi impuls
sambungan mioneural (NMJ), yang digunakan untuk menentukan diagnosa.
Dalam waktu 30 detik setelah injeksi intravena endrofonium tes, pada
banyak pasien akan mengalami peningkatan namun hanya sementara waktu.
Peningkatan kekuatan otot muncul setelah agen-agen menunjukkan hasil tes
yang positif. Antibody anti-AChR muncul dalam serum pasien mendekati
90% pasien dengan sebagian besar myasthenia dan sekitar 70% dari gejala-
gejala terbatas pada otot mata (bentuk okular).
2. Uji Klinin
Merupakan uji dimana diberikan 3 tablet klinin masing-masing 200 mg. 3
jam kemudian diberikan tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Pada
myasthenia gravis, gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan
bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin,
agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.
3. EMG (elektromiografi)
Merupakan alat tes uji dengan mempelajari aktivitas listrik yang timbul
pada otot sewaktu istirahat dan sewaktu kontraksi. Pada penderita
myasthenia gravis terlihat penurunan progresif amplitude potensial aksi otot
ketika pasien melakukan kontraksi volunter berulang. Pemeriksaan ini tidak
menunjukkan diagnostic khusus untuk myasthenia gravis.
4. Pemeriksaan serum
Pemeriksaan untuk antibody reseptor asetilkolin, merupakan pemeriksaan
yang sangat baik karena bersifat spesifik terhadap 80% pada pasien
myasthenia gravis. Ujinyang positif bersifat diagnostic untuk penyakit
myasthenia gravis. Dan titer antibody yang tinggi tidak berhubungan dengan
beratnya penyakit.
5. CT chest
Sekitar 15% pasien myasthenia gravis memiliki thymoma (pembengkakan
kelenjar thymus) CT scan pada dada bagian atas biasanya dilakukan untuk
memeriksa apakah anda terkena myasthenia gravis atau tidak.
6. Tes Wartenberg
Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba tes
Wartenberg. Penderita diminta menatap tanpa kedip suatu benda yang
terletak di atas bidang kedua mata beberapa lamanya. Pada myasthenia gravis
kelopak mata yang terkena menunjukkan ptosis.
7. Tes prostigmin
Prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atropin sulfas disuntikkan
intramuskular atau subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-gejala
menghilang dan tenaga membaik. (Brunner dan Suddarth, 2002).
VII. Penatalaksanaan
1. Agen-agen antikolinesterase
Obat ini beraksi dengan meningkatkan konsentrasi asetilkolin yang relative
tersedia pada persimpangan neuromuscular. Mereka diberikan untuk
meningkatkan respon otot-otot terhadap impuls saraf dan meningkatkan
kekuatan otot. Kadang-kadang mereka diberikan hanya mengurangi
simtomatik.
2. Obat-obatan
Dalam pengobatan digunakan piridostigmin bromide (Mestinon),
ambenonium khlorida (Mytelase), dan neostigmin (Prostigmine). Banyak pasien
lebih suka pada piridostigmin karena obat ini menghasilkan efek samping
yang sedikit. Dosis ditingkatkan berangsur-angsur sampai tercapai hasil
maksimal yang diinginkan (bertambahnya kekuatan, berkurangnya
kelelahan), walaupun kekuatan otot normal tidak tercapai dan pasien akan
mempunyai kekuatan beradaptasi terhadap beberapa ketidakmampuan.

Obat-obat antikolenesterase diberikan dengan susu, krekers, atau


substansi penyangga makanan lainnya. Efek samping mencakup kram
abdominal, mual, muntah dan diare. Dosis kecil atrofin, diberikan satu atau
dua kali sehari, dapat menurunkan atau mencegah efek samping. Efek
samping lain dari terapi antikolenesterase mencakup efek samping pada otot-otot
skelet, seperti adanya fasikulasi (kedutan halus), spasme otot dan kelemahan.
Pengaruh terhadap system saraf terdiri dari pasien cepat marah, cemas,
insomnia (tidak dapat tidur), sakit kepala, disartria (gangguan pengucapan),
sinkope, atau pusing, kejang dan koma. Peningkatan eksresi saliva dan
keringat, meningkatnya sekresi bronchial dan kulit lembab, dan gejala-gejala
ini sebaiknya juga dicatat.

Perawat (dan pasien) memprioritaskan untuk member obat-obat yang


ditentukan menurut jadwal waktu pemberian, hal ini untuk mengontrol
gejala-gejala pasien. Penundaan pemberian obat-obatan dapat menyebabkan
pasien tidak mampu untuk menelan obat-obat oral dan ini menjadi masalah.
Meningkatnya kekuatan otot dalam satu jam setelah pemberian obat
antikolinesterase merupakan hasil yang diharapkan.

Setelah dosis medikasi telah ditetapkan, pasien mempelajari untuk


mengambil obat sesuai dengan kebutuhan individu dan rencana waktu yang
ditetapkan. Penyesuaian lebih lanjut diperlukan dalam stress fisik atau
emosionla dan terhadap infeksi baru yang muncul sepanjang perjalanan
penyakit.
3. Terapi imunosupresif
Ditentukan untuk tujuan menurunkan produksi antibodi anti reseptor atau
mengeluarkan langsung melalui perubahan plasma (digambarkan di bawah
ini). Terapi imunosupresif mencakup kortikosteroid, plasmaferesis dan
timektomi. Terapi kortikosteroid dapat menguntungkan pasien dengan
myasthenia yang pada umumnya berat. Kortikosteroid digunakan dengan
efek terjadinya penekanan respon imun pasien, sehingga menurunkan jumlah
penghambatan antibodi. Dosis antikolinesterase diturunkan sambil
kemampuan pasien untuk mempertahankan respirasi efektif dan kemampuan
menelan dipantau. Dosis steroid berangsur-angsur ditingkatkan dan obat
antikolinesterasae diturunkan dengan lambat.
4. Prednisone
Digunakan dalam beberapa hari untuk menurnkan insiden efek samping, dan
terlihat dengan sukses adanya penekanan penyakit. Kadang-kadang pasien
memperlihatkan adanya penurunan kekuatan otot setelah terapi dimulai, tetapi
ini biasanya hanya sementara.
5. Obat Sitotoksik
Obat sitotoksikjuga diberikan. Walaupun mekanisme aksi yang sepenuhnya
muncul tidak dimengerti, namun obat-obat seperti azatioprin (imuran) dan
siklofosfamid (Cytoxan) menurunkan titer sirkulasi asetilkolin pada reseptor
antibodi. Efek samping yang muncul kadang-kadang terjadi dan hanya pasien
dengan penyakit berat saja yang diobati dengan obat-obatan ini.
6. Pertukaran plasma (plasmaferesis)
Plasmaferesis adalah teknik yang memungkinkan pembuangan selektif plasma
dan komponen plasma pasien. Sel-sel yang sisa kembali dimasukkan.
Penukaran plasma menghasilkan reduksi sementara dalam titer sirkulasi
antibodi. Proses ini mempunyai pengaruh yang hebat pada pasien tetapi tidak
mengobati keadaan abnormal (meghasilkan antireseptor antibodi) sampai
waktu yang panjang.
7. Penatalaksanaan pembedahan
Pada pasien myasthenia gravis timus tampak terlibat dalam proses produksi
antibodi AChR. Timektomi (pembedahan mengangkat timus) menyebabkan
pengurangan penyakit substansial, terutama pada pasien dengan tumor atau
hyperplasia kelenjar timus. Timektomi yaitu membuka sternum karena seluruh
timus harus dibuang. Hal ini dianggap bahwa timektomi pada awal perjalanan
penyakit adalah terapi spesifik, sehingga tindakan ini mencegah pembentukan
antireseptor antibodi. Setelah pembedahan, pasien dipantau di ruang
perawatan intensif untuk memberikan perhatian khusus dalam fungsi
pernapasan. (Yusdhitira, 2014)

VIII. Komplikasi
a. Krisis miasnetik, yang ditandai dengan perburukan berat fungsi otot rangka yang
memuncak pada gawat napas, dan kematian karena diafragma dan otot intercostal
menjadi lumpuh, dapat terjadi setelah pengalaman yang menimbulkan stress
seperti penyakit gagguan emosional, pembedahan, atau selama kehamilan
b. Krisis kolinergik adalah respon toksik yang kadang dijumpau pada penggunaan
obat antikolinesterase yang terlalu banyak. Status hiperkoligenik dapat terjadi
yang ditandai dengan peningkatan motilitas usus, kontriksi pupil, bradikardi, mual
muntah, berkeringat, dan diare (Nadeak, 2018).
ASUHAN KEPERAWATAN

I. Pengkajian
1. Identitas
Meliputi nama, usia, alamat, pekerjaan, suku/bangsa, agama, jenis kelamin, dan
diagnosa media
2. Keluhan Utama
Sesak, kelopak mata kiri sulit terbuka, kedua kaki terasa lemah saatberjalan jauh.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Myasthenia garvis menyerang otot-otot wajah dalam hal ini di daerah mata
sehingga kelopak mata kiri sulit terbuka. Penyakit ini menyerang otot-otot
pernapasan yang ditandai dengan dispnea yang dialami pasien. Kemudian
terjadi serangan pada otot ekstremitasbawah yang mengakibatkan kedua
ekstremitas bawah sulit untuk digerakkan.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Mengkaji faktor yang memperberat myasthenia gravis seperti hipertensi dan
diabetes mellitus.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Mengkaji adanya riwayat myasthenia gravis pada keluarga pasien.
6. Pemeriksaan Fisik
a. B1 (Breathing): sesak napas, takipnea, dispnea, risiko aspirasi, gagal
pernapasan akut dan kelemahan otot diafragma
b. B2 (Blood): hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi
c. B3 (Brain): kelemahan otot ekstraokuler yang menyebabkan mata sebelah
kiri kliensulit terbuka, jatuhnya mata atau dipoblia
d. B4 (Bladder): Penurunan fungsi kandung kemih, retensi urin, dan
hilangnya sensasi saat berkemih
e. B5 (Bowel): Kesulitan mengunyah, menelan, disfagia, penurunan
peristaltik usus, hipersalivasi dan hipersekresi
f. B6 (Bone): Gangguan aktivitas/mobilitas fisik dan kelemahan otot yang
berlebih kedua extremitas bawah semakin sulit digerakkan
7. Pemeriksaan Saraf Kranial
a. Saraf I: tidak ada kelainan
b. Saraf II: penurunan pada tes tajam penglihatan dan sering megeluh
adanya penglihatan ganda
c. Saraf III, IV dan VI: adanya ptosis. Adanya oftalmoplegia,
mimik dari pseudointernuklear oftalmoplegia akibat gangguan motoirik
pada saraf VI.
d. Saraf V: didapatkan adanya paralisis pada otot wajah akibat kelumpuhan
pada otot-otot wajah
e. Saraf VII: persepsi pengecapan terganggu akibat adanya gangguan motorik
lidah
f. Saraf VII: persepsi pengecapa ternganggu
g. Saraf VIII: tidak ditemukan tuli konduksi dan tuli persepsi
h. Saraf IX dan X: ketidakmampuan menelan
i. Saraf XI: tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius
j. Saraf XII: lidah tidak simetris, adanya deviasi pada satu sisi akibat
kelemahan otot motorik pada lidah
8. Pemeriksaan Sistem Motorik
Adanya kelemahan pada otot rangka yaitu otot ekstremitas bawah yang
memberikan manifestasi pada hembatan mobilitas (berjalan)
II. Diagnosa Keperawatan
1. Pola Napas Tidak Efektif b.d gangguan neuromuskular d.d dispnea (D.0005)
2. Gangguan Mobilitas Fisik b.d penurunan kekuatan otot d.d kekuatan otot
menurun (D.0054)
3. Risiko Cedera d.d Ketidakamanan transportasi / pergerakan (penglihatan ganda)
(D.0136)

III. Intervensi Keperawatan

No. Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi


Keperawatan
1. Pola Napas Tidak Setelah dilakukan tindakan Manajemen Jalan Napas (1.01011)
Efektif b.d gangguan keperawatan selama 2x24jam Observasi
neuromuskular d.d diharapkan pola napas tidak 1. Monitor pola napas (frekuensi,
dispnea (D.0005) efektif teratasi dengan kriteria kedalaman, usaha napas)
hasil: Terapeutik
Kategori: Fisiologis Pola Napas Membaik (L.01004) 2. Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
Subkategori: Respirasi - Dispnea menurun (12- 3. Berikan oksigen
20x/menit) Edukasi
- Frekuensi napas membaik 4. Ajarkan teknik batuk efektif
- Kedalaman napas membaik Kolaborasi
5. Kolaborasi pemberian bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik, jika perlu
2. Gangguan Mobilitas Setelah dilakukan tindakan Dukungan Mobilisasi (1.05173)
Fisik b.d penurunan keperawatan selama 3x24jam Observasi
kekuatan otot d.d diharapkan gangguan mobilitas 1. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan
kekuatan otot fisik teratasi dengan kriteria hasil: fisik lainnya
menurun (D.0054) Mobilitas Fisik Meningkat 2. Identifikasi toleransi fisik melakukan
(L.05042) pergerakan
Kategori: Fisiologis - Pergerakan ektremitas 3. Monitor kondisi umum selama
Subkategori: Aktivitas meningkat melakukan mobilisasi
/ Istirahat - Kekuatan otot meningkat Terapeutik
- Rentang gerak (ROM) 4. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan
meningkat alat bantu (mis. Pagar tempat tidur)
5. Fasilitasi melakukan pergerakan
6. Libatkan keluarga untuk meningkatkan
pergerakan

Edukasi
7. Ajarkan mobilisasi sederhana
3. Risiko Cedera d.d Setelah dilakukan tindakan Pencegahan Cedera (1.14537)
Ketidakamanan keperawatan selama 3x24jam Observasi
transportasi atau diharapkan risiko cedera teratasi 1. Identifikasi area lingkungan yang
pergerakan dengan kriteria hasil: menyebabkan cedera
(penglihatan ganda) Tingkat Cedera Menurun Terapeutik
(D.0136) (L.14136) 2. Sediakan pencahayaan yang memadai
- Kejadian cedera menurun 3. Sosialisasikan pasien dan keluarga
- Toleransi aktivitas meningkat dengan lingkungan ruang rawat (mis.
Penggunaan telepon, tempat tidur, dan
kamar mandi)
4. Tingkatkan observasi dan pengawasan
pasien, sesuai kebutuhan
Edukasi
5. Jelaskan alasan intervensi pencegahan
cedera pada pasien dan keluarga

DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa: Waluyo
Agung., Yasmin Asih., Juli., Kuncara., I.made karyasa, EGC, Jakarta

Chairunnisa, N. H., Zanariah, Z., Saputra, O., & Karyanto. (2016). Myasthenia gravis pada
Pasien Laki-laki 39 Tahun dengan Sesak Napas. Journal Medula Unila, 6 (1), p. 108-114

Dwimartyono, Fendy. (2019). Nyeri Neuropatik Pada Penderita Myastenia Gravis. Green
Medical Journal. 1. 111-127. 10.33096/gmj.v1i1.25.

Muhammad, F., Syafrita, Y., & Susanti, L. (2019). Gambaran Kualitas Hidup Pasien Miastenia
Gravis Di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 8(1).
https://doi.org/10.25077/jka.v8i1.969

Nadeak, R. F., & Eka, T. (2018). Penatalaksanaan Krisis Miastenia. Majalah Anestesia dan
Critical Care, 36(2), p. 87-94.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. 1 st. edn. Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. 1 st. edn. Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat PPNI

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. 1 st. edn. Jakarta:
Dewan Pengurus Pusat PPNI

Yusdhitira, E. (2014). Laporan Pendahuluan Myastenia Gravis. Program Ners. Ilmu Kesehatan
Dharma Husada Bandung

Anda mungkin juga menyukai