Anda di halaman 1dari 37

Serial Dewi Ular

Ancaman Iblis Betina


Tara Zagita

http://www.rajaebookgratis.com

1
GEMURUH ombak di waktu malam seperti pasukan siluman menghampiri
pantai. Tak terlihat bentuknya namun terdengar aneh suara gaduhnya. Bulu
kuduk pun mulai merinding ketika angin pantai berhembus membawa getaran
Hanya naluri yang dapat merasakan kehadiran sang gaib saat ini.
"Apa lu yakin dia akan muncul dalam cuaca seburuk ini?"
"Ya, gue sangat yakin. Dia nggak akan ingkar janji. Seperti yang sudah-sudah,
dia selalu tepati janjinya." Hembusan angin di malam pekat semakin hebat.
Kedua pria lajang berusia sebaya itu masih berdiri menatap ke arah lautan
lepas. Mereka berdiri di depan Escudo hitam yang di parkir agak jauh dari
sapuan riak ombak. Hilmon sengaja berdiridengan sedikit bersandar kemobil .Ia
tak ingin terlalu lelah dalam berdiri hanya untuk menunggu suatu pembuktian
yang menyangsikan. Meski hatinya diliputi kesangsian, tapi Hilmon juga
dibayang-bayangi rasa penasaran, yang selalu menggoda. Malam Jumat yang
lalu, Gerry mengaku bertemu dengan seorang gadis dalam perjalanannya
pulang dari Pelabuhan Ratu.
Gadis itu menumpang Mobil Gerry. menuju Jakarta. Tapi ia tak mau
menyebutkan alamat tempat tinggalnya. Ia hanya menyebutkan namanya:
Vania Mercury. "Dia seorang artis sinetron yang baru selesai pulang -dari
shooting di. Pelabuhan Ratu," kata Gerry beberapa waktu yang lalu. Saat itu
Hilmon bersikap sebagai pendengar saja, tanpa banyak komentar. Karena saat
itu Gerry menuturkan kisahnya dengan berapi-api, bangga dan senang sekali.
Tak habis-habisnya Gerry memuji kecantikan dan keindahan tubuh sexy Vania
di depan Hilmon. Meskipun ia tidak diberitahu alamat tempat tinggalnya, tapi ia
mendapat nomor HP-ny Vania, sehingga kapan saja ia dapat janjian untuk
bertemu dengan gadis itu. Tetapi dua
hari sejak pertemuan tersebut, Gerry selalu gagal menghubungi HP-nya Vania.
Ia mulai kecewa dan kesal,karena di dalam hatinya mulai tumbuh benih
kerinduan pada gadis berperawakan finggi, sekal dan montok itu: "Tapi gue
ingat, waktu itu dia bilang, bahwa dia akan datang menemui gue pada hari
Senin malam Selasa, di kantor. que diminta lembur pada malam itu. Maka, gue
coba ikuti saran dia."
"Hmm, ya gue inget hari Senin kemarin lu nggak mau pulang bareng gue,
alasan lu mau lembur. Padahal gue tahu nggak ada pekerjaan yang harus Lu
harus kerjain sampai lembur."
"Itu karena gue pengen buktiin apa bener dia nemuin gue sesuai janjinya. Dan,
ternyata sekitar pukul sebelas lewat dikit, Satpam lobby telepon ke ruangan
gue, kasih tahu kalau ada tamu pengen nemuin gue, dan dia adalah... Vania!"
"Lu kasih tahu alamat kantor kita sebelumnya, ya ?"
"Iya. Tapi kalau dia emang mau ngebullshit kan bisa aja dia nggak datang pada
malam itu. Tapi ternyata dia orang yang tepat janji, Mon! Dia datang dan... dan
dia nggak menolak waktu gue ngajak check-in, hahaha... "
Pukul 4 dini hari, Vania pamit meninggalkan hotel. Dia melarang keras Gerry
yang ingin mengantarnya pulang. Vania bilang, jika Gerry masah ingin
mengulang kencan indahnya, Gerry harus datang ke Tempat Pemakaman
Umum Tanah Kusir. Vania akan dating menemui Gerry di sana. Sekali lagi janji
itu ingin dibuktikan oleh Gerry. Hari. Selasa sore, Gerry datang ke Pemakaman
Tanah Kusir. Kebetulan salah satu sanak famili Gerry ada yang dimakamkan .di
Tanah Kusir. Sambil ziarah ke sana, Gerry menunggu kehadiran Vania.
Ternyata gadis-itu benar-benar muncul di pemakaman tersebut, tepat ketika
Gerry ingin pulang karena hari sudah larut senja.
Gerry menuturkan kisahnya kepada Hilmon esok
harinya. Rabu siang di kantor. Ia katakan bahwa malam itu Vania tidak mau
dibawa check-in di hotel mana pun. Vania justru minta diantar pulang ke
apartemennya. "Sudahwaktunya kau tahu apartemenku, Gerry"
"Oh, jadi kau tinggal di apartemen?"
"Ya.
Keberatankah?" Gerry tertawa senang menerima tawaran itu, Dan, agaknya
malam itu Vania juga terlihat lebih agresif dari sebelumnya, Sepanjang
perjalanan menuju apartemennya tak henti-henti tangan Vania bermain nakal di
pangkuan Gerry. Kecupan menantang sering mendarat di pipi, leher dan pelipis
Gerry. Hal itu membuat Gerry merasa menemukan obsesinya selama ini, yaitu.
mendapatkan teman kencan yang agresif dan liar.
"Hei, hei... sabar dulu, Sayang... "
"Aku horney banget hari ini," ujar Vania sambil mendesah-desah saat menciumi
tubuh Gerry begitu masuk ke apartemennya. Gerry tak diberi kesempatan untuk
mengomentari kemewahan apartemen Vania yang nyaris seluruh perabotnya
bernuansa kristal Gerry bahkan tak diberi kesempatan meletakkan kunci
mobilnya, karena begitu pintu ditutup Vania langsung menciumi wajah Gerry.
Pria berambut ikal rapi itu dibuatnya berdiri bersandar pada dinding samping
pintu, menerima kecupan bertubi-tubi. Bibirnya dilumat- dengan liar oleh Vania,
sampai tak sempat membalas dengan lumatan yang setara. Dalam sekejap
tahu-tahu tubuhnya sudah bersih dari pakaian: Tangan Vania sangat trampil
dalam melucuti pakaian Gerry hingga ke bagian yang paling dalam. Si mata
biru berbulu lentik ternyata dapat berubah menjadi lebih ganas dari singa
betina. Gerry hanya bisa menuruti apa yang menjadi keinginan Vania.
Ia juga mematuhi apa perintah Vania ketika gadis berdada motok itu berbaring
di atas meja kaca tebal. tanpa sehelai benang pun. Gerry bersikap sebagai
budak yang setia pada ratunya,. sehingga pelayanannya membuat
Vania semakin mengamuk lebih erotis lagi. Malam itu Gerry mendapatkan
kepuasan bercinta yang lebih indah dari kencan sebelumnya. Vania pun
mengaku mendapat kepuasan yang luar biasa indahnya, sehingga di saat ia
terkulai bermandi peluh, Gerry mendengar suara paraunya berdada manja.
Memang luar biasa..Gerry tidak menceritakan lebih detil lagi tentang apa yang
dilakukan Vania ketika, malam itu ia berbaring pasrah. Namun Hilmon dapat.
membayangkan sendiri apa yang diperoleh Gerry pada hari Selasa malam itu.
Keindahan cinta itu membuat Gerry tak sempat tidur. Ia meninggalkan
apartemen sebelum matahari terbit. "Aku akan datang menjemputmu nanti sore
kita makan malam ...." "Kamu nggak perlu datang lagi ke sini," kata Vania saat
mengantar Gerry sampai di depan pintu. "0, Vani... please. Aku ingin... ," Mulut
Gerry segera ditutupi dengan jari telunjuk Vania yang membuat kata-kata Gerry
berhenti seketika. Tatapan matanya lembut dan menghadirkan keindahan
tersendiri di hati Gerry. Ia berkata dengan nada berbisik dan sedikit parau.
"Minggu depan kita bertemu, Gerry" "Minggu depan?! Ooh, tapi itu terlalu lama
bagiku untuk..." "Pergilah ke pantai pada hari Kamis malam, minggu depan.
Aku akan datang menemuimu di sana." Gerry tak dapat melakukan penawaran
waktu lebih cepat lagi. Janji Vania seakan merupaka.n keputusan yang sudah
tidak dapat diganggu gugat lagi. Gerry dihinggapi rasa rindu yang amat
menyiksa jiwa. lebih-lebih nomor HP pemberian Vania tetap tidak dapat
dihubungi.
Maka, tiga hari setelah pertemuannya dengan Vania di apartemen, Gerry nekat
menemui gadis itu. Ia datang ke apartemennya sepulang dan kantor. Namun is
tertegun dalam keherananan yang tinggi, karena apartemen tersebut sudah
terbakar. Yang tersisa hanya sosok
bangunan hitam penuh dengan puing dan sisa kebakaran. Gerry menemui
seorang pedagang rokok yang ada di seberang apartemen tersebut. Ia
menanyakan, sejak kapan apartemen itu terbakar ? "Empat hari yang lalu,
Tuan," jawab pedagang rokok itu. "Nggak mungkin! Tiga hari yang lalu saya
masih datang ke situ dan menemui teman saya yang tinggal di lantai tujuh.
Saya pulang subuh!" "Wah, aneh sekali kalau begitu. Padahal apartemen itu
terbakar empat hari yang lalu Kan sempat masuk berita TV, karena musibah itu
menelan korban 13 orang." Gerry selalu menyangkal kenyataan itu. Di depan
Hilmon dia ngotot bahwa informasi yang ia dapatkan dari pedagang rokok itu
tidak benar. Hilmon menyodorkan beberapa koran yang memuat berita
terbakarnya apartemen tersebut pada hari Senin, tapi Gerry tetap menyangkal
tegas-tegas. Berita itu tidak benar. Hari Selasanya ia masih bisa kencan hangat
dengan Vania di apartemen itu. Timbul kecurigaan di benak Hilmon. "Jangan-
jangan dia bukan cewek biasa, Ger?!" "Maksud lu... dia cewek luar biasa? Iya,
memang dia cewek luar biasa. Kehebatannya di atas ranjang.. " "Maksud gue,
dia bukan manusia!" potong Hilmon. "Siluman, peri atau sejenisnya." Saat itu
Gerry menatap Hilmon dengan mata menyipit. Suaranya bernada ketus. “Lu,
sirik ya?! lu iri gue bisa dapat cewek secantik dia kan? Karena lu merasa iri
maka lu fitnah dia dengan anggapan naif begitu, supaya gue ngelepasin dia.
Itukan mau lu?" Hilmon tertawa kalem. Tidak terpancing emosi. Ia coba
menenangkan Gerry agar di antara mereka tidak terjadi salah paham. ia coba
pula untuk memberikan beberapa analisa tentang kemisteriusan Vania Mercury
itu. Menurutnya, hanya ada dua kemungkinan dalam analisanya: Gerry
mengalami halusinasi, atau Gerry mengarang Cerita bohong untuk
memperdaya dirinya.
"Mon,. semalem gue nggak bisa tidur mikirin Vania. Kayaknya gue mengalami
fenomena gaib yang hanya bisa dialami oleh orang-orang tertentu, oleh orang-
orang yang punya keistimewaan dalam kodrat hidupnya, seperti halnya diri gue
sendiri. Gue yakin, gue punya keistimeWaan yang tidak dimiliki oleh cowok
mana pun." Akhirnya Gerry berkeyakinan demikian. Ia cukup serius bicara
begitu di depan Hilmon, sementara Hilmon menanggapi dengan kalem. Ada
senyum dan tawa kecil yang terkesan seolah-olah ia tak akan terhasut oleh
omong kosong seperti itu. Gerry pun tampak putus asa,tak ingin meyakinkan
Hilmon lagi. "Persetan lu mau percaya apa nggak, yang jelas hari ini adalah hari
Karnis. Gue pinjem mobil lu. Mobil gue belum keluar dari bengkel." "Mau ke
mana lu?" "Gue mau ke pantai." "Aaalaa... udahlah, lupain soal gituan. Kayak
kurang kerjaan aja. Mending lu pulang bareng gue. Eeh, kita dapat undangan
makan malam bersama Bu Elsye dan sekretarisnya yang mungil itu lho, Ger." .
"Gue nggak tertarik. Gue harus ke pantai, karena Vania akan menemui gue di
sana sesuai janjitiya. Gue pinjem mobil lu ya “ Sebegitu kuatnya keyakinan
Gerry, sampai- sampai hati Hilmon pun jadi penasaran. Ia ingin tahu, apa
sebenarnya yang ada di balik semua ini. Kemisteriusan atau kebohongan?
Untuk itulah ia tak keberatan mengantar Gerry ke pantai. Namun sudah sejak
dua jam yang lalu yang ia temui di pantai hanyalah gemuruh ombak dan
hembusan angin kencang. Hilmon sempat merasa dirinya seperti orang idiot.
Melakukan kebodohan di tengah kesadaran logikanya. Deburan ombak pantai
menggema. Hilmon tarik napas dalam-dalam, lalu rnendesis bernada gerutu.
"Ini gila!"
"Gue kan udah bilang elu nggak usah ikut gue ke sini
kalau elu anggap ini sesuatu yang gila!" . "Gue berharap lu masih sadar, Ger."
"0, iya dong. Gue sadar seratus persen! Gue nggak lagi paranoid. Tapi gue
nggak maksa elu kalau elu merasa...." Gerry menghentikan kata-katanya.
,Tatapan matanya tertuju ke tengah lautan. Bayang-bayang ketegangan mulai
membias lewat rona wajahnya yang berkumis tipis dan sedikit bercambang itu.
"Mon,. apaan itu, Mon ..... ? “ Tampak cahaya kecil namun berbinar-binar
bagaikan bola kristal. Cahaya itu berwarna perak. Makin lama makin bergerak,
mendekati garis pantai, dan semakin dekat semakin seperti bola berserabut
bentuknya. Hilmon terperangah. Matanya tak berkedip. Mulutnya ternganga.
Diam-diam jantungnya mulai berdetak cepat. Ia mulai merasa cemas, karena
saat itu Gerry pun tertegun bagai seonggok batu tanpa suara. Hembusan angin
datang dari arah depan mereka, Kencang sekali. Tubuh mereka sempat
merasa sedikit terdorong mundur. Namun karena ada bumper mobil, maka
tubuh mereka masih bisa tetap berdiri di tempat. Hanya saja, mereka
merasakan ada sesuatu yang menekan dada cukup berat. Pernapasan pun jadi
agak sesak. "Ger... ??!" bisik Hilmon makin tegang, karena cahaya silver itu
semakin dekat. Semakin besar bentuknya..Bulat dan berserabut bias cahaya.
menyilaukan. Ombak di lautan bagaikan mengamuk.Gerakan dan suara
gemuruhnya menim bulkan rasa takut;Cahaya itu seakan telah rnenghisap
keberanian siapapun yang ada di pantai saat itu Gerry tampak sulit bicara.
Kerongkongannya terasa kering. Hilrnonlah yang masih mampu berusaha untuk
melontarkan kata dengan napas tersengal-sengal. "La... lari saja, Ger... !!"
Gerry mengangguk. Ia berhasil menggerakkan kepala untuk menatap Hilmon.
Namun ia tak berhasil menggerakkan kakinya sedikit pun. Kedua kaki Gerry
seperti dihisap oleh pasir pantai yang dipijaknya. Sementara kedua kaki Hilmon
sudah berhasil melangkah kesamping walau itu pun ia lakukan dengan sangat
susah payah. Hilmon berhasil mendekati pintu mobil pada saat cahaya putih
menakutkan menjadi lebih besar dan lebih menyilaukan lagi. Jaraknya dengan
pantai pun menjadi lebih dekat lagi. "Masuk... masuk . ! Buruan.....!!" Hilmon
memang berhasil menguasai kesadarannya. Ia segera masuk mobil dan
berusaha menghidupkan mesin mobil. Namun, Gerry bagaikan terpatri di
tempatnya. Bergerak tak bisa, berteriak tak mampu. Sementara itu, mesin mobil
ternyata gagal dihidupkan. Hilmon menstarternya berkali-kali namun tak ada
hasilnya. "Yaa, Tuhaaan... ?!" keluh Hilmon bertambah tegang dan ketakutan.
Kedua bola matanya terbelalak lebar. Ia memandang dari balik kaca mobil.
Cahaya perak itu bukan saja semakin besar, namun juga berubah bentuknya
menjadi seperti angin topan. Berputar-putar membentuk cerobong raksasa.
Putarannya menimbulkan hembusan angin lebih hebat lagi sehingga dua pohon
kelapa tak jauh dari mereka patah bersamaan, sementara di sisi lain ada yang
tumbang dan terlempar dan tempatnya. "Gerrryyy ..!! Buruan masuuuukk !!
Masuk., Gerrr_ ! Masuk ... !!! “ Teriakan Hilmon di dalam mobil sama sekali tak
sarnpai di pendengaran Gerry. Teriakan itu terhenti seketika, karena Hilinon
melihat jelas munculnya seraut wajah dari dalam pusaran cahaya aneh yang
makin mendekati pantai itu. Wajah yang muncul dalam pusaran cahaya itu
adalah wajah cantik berambut hitam meriapriap dengan mahkota kecil di
atasnya. Ciri-ciri kecantikan itu tak lain adalah kecantikan Vania Mercury,
seperti yang sering disebut-sebut Gerry beberapa hari ini. Hanya saja, wanita
cantik dalam pusaran cahaya perak itu tampak jelas bermata merah menyala,
menyeramkan sekali.
Dengan gerakan panik Hilmon menurunkan kaca pintu. Tujuannya supaya
suara teriakannya didengar Gerry. "Gerrryyy... masuuuk ke mobil ! Masuuuk,
Geeerr ......!! “ Tapi gemuruh ombak yang mengamuk dengann liar, dan deru
angin yang menghempas dahsyat, sangatlah tak sebanding dengan teriakan
Atau barangkali telinga Gerry sudah tertutup oleh sesuatu yang gaib sehingga
tak mendengar teriakan temannya. Sebaliknya, Hilmon justrit mendengar suara.
Gerry berseru rnemanggil-manggil sepotong nama yang saat itu telah
mendominir seluruh kesadarannya. "Vaniiii ! !" "Gawat! Gerry semakin nggak.
waras!" pikir Almon. "Aku hams menyeretnya masuk ke sini " Namun pintu
mobil seperti terhalang tebing karang. Tak bisa dibuka, tak mampu didobrak
paksa. Hilmon mendengar suara perempuan yang bernada aneh,
menyeramkan, dan membuat sekujur tubuhnya semakin merinding: Suara itu
menggema pelan namun sangat jelas. "Ake datang menjemputmu, Gerryyy. !"
"Vaniiiaaa, ini akuuuu .... !!" Hilmon semakin panik. Ia berusaha keluar dari
mobil lewat jendela kaca yang sudah diturunkan. Namun kepanikan
membuatnya tak berhasil lobos. Bahkan gerakkan tubuhnya terhenti seketika
akibat ia melihat jelas-jelas cahaya perak itu melesat ke pantai. Kedua tangan
Vania Mercury seperti terjulur ke depan dan mengeluarkan cahaya perak
lainnya yang segera menyambar tubuh Gerry. Zzrrrup... ! "Gerrryyyyyyy .......
!!!!! "
Hilmon bukan berteriak lagi, tapi menjerit histeris • sekuat tenaga. Ia melihat
Gerry seperti terhisap seluruh daging tubuhnya. dan masuk ke dalam pusaran
cahaya perak itu. Dalam sekejap saja Gerry lenyap, yang tersisa tinggal
kerangka tulang-tulangnya berdiri tegak di depan mobil. Darah, daging, dan
yang lainnya telah lenyap dalam satu gerakan terbang ke arah Vania Mercury,
seperti
serpihan sampah yang masuk kedalam mesin penghisap debu. Tak tersisa
sehelai rambut pun. Sekujur tubuh Hilmon pun menjadi lemas bagai tak
bertulang lagi. Ia tak mampu berteriak atau mengerang sedikit pun ketika ia
sadari yang ada di depan mobilnya hanya kerangka tulang-tulang Gerry.
Kerangka itu sempat berdiri terayun-ayun sejenak, lalu jatuh terpuruk
berantakan di saat cahaya perak itu padam seketika. Berganti gelap gulita
mencekam bumi. Kerangka milik Gerry ditemukan seorang pengelola pantai
wisata pada pagi harnya. Polisi segera tiba di tempat tersebut, dan segera
melakukan penyidikan secara intensif: Hilmon yang ditemukan di TKP dalam
keadaann pingsan dimintai keterangan. Namun , penjelasan Hilmon dianggap
terlalu mengada-ada, sehingga Hilmon pun untuk sementara diamankan ke
kantor polisi terdekat. Ia bisa menjadi saksi kunci, sekaligus bias menjadi
tertuduh tunggal dalam kasus ditemukannya kerangka manusia di depan
mobilnya itu. ***
2 LANGIT senja semakin tua. Rona petang mulai membentang. Maka, wajah
bumi pun menjadi pucat bak seraut wajah mayat . Kendaraan padat, jalanan
terhambat. Mobil BMW warna hijau giok itu tak mampu laju. Sekali pun sempat
maju hanya beberapa meter sudah harus berhenti lagi. "Huhh,. kapan daerah
sini akan bebas dari kemacetan?!" Keluhan itu bercampur desah napas penuh
keprihatinan. Keluhan itu meluncur dari mulut sang pengemudi BMW hijau giok
yang sejak menjadi sopir pribadinya Kumala. Dewi selalu berpakaian rapi
Wajahnya pun bersih. Tidak kucel seperti waktu ia menjadi sopir taxi dulu. Tiba-
tiba terdengar suara handphone-nya berbunyi. Sandhi segera menyambut
karena yang muncul di layar ponselnya tulisan: Bossku, yang tak lain adalah
Kumala Dewi alias si Dewi Ular . "Masih lama sampainya, San?" "Aku kena
macet nih. Mungkin 20 menit lagi baru sampai kantor." "Hm , ya udah. Aku
nunggu di lantai tiga aja, di ruangarmya Bu Mirne, ya? 0, ya San... nanti
sempatkan mampir ke kantornya Zus Rifa sebentar. Bisa kan?" "Bisa. Terus,
aku ngapain di sana?" "Dia mau kasih oleh-oleh buatku, berupa liontin dari
kristal kosmik yang tergolong langka di dunia ini" "Kristal kosmik?" "Ya, liontin
dikenal dengan nama 'Liontin Olympus', karena termasuk benda bersejarah,
peninggalan sejarah mitologi Yunani lama." "Ooo, dapat darimana dia?" "Zus
Rifa kan baru pulang kemarin dari Athena. Dia belum ada waktu buat temuin
aku. kamu ambit saja nanti. Barusan dia telepon. Aku udah bilang kal au karnu
yang akan ambil."
"Ya, udah. Ntar aku usahain bisa lewat Menteng, biar bisa mampir ke kantomya
Zus Rifa." "Tapi sebelum jam enam nanti kamu harus sudah sampai ke sana.
Jangan lebih Soalnya, jam enam tepat Zus Rifa sudah harus meninggatkan
kantor, katanya sih mau menghadiri pertemuan penting dengan keluarga
mantan suaminya." "Ya, ya... aku usahakan bisa sampai sana secepatnya."
"Tapi jam tujuh kamu harus sudah sampai sini. Aku harus sudah ada di Pasific
Hotel sebelum pukul delapan. Jelas?" "Okey, Boss. Apa lagi?" "Udah, cuma itu.
Hati-hati, nggak usah ngebut " Tutur katanya selalu terasa teduh dan familiar
sekali. Meski pun terhadap sopir pribadinya„Kumala Dewi tidak pemah lupa
berpesan agar hati-hati di perjalanan. Sikapnya memberikan kesan bahwa ia
sangat peduli terhadap Sandhi, atau orang-orang terdekat lainnya. Bagi
Kumala, sopir pribadinya itu memang sudah bukan seperti orang lain lagi, tapi
seperti saudara sendiri. Memang begitulah sifat si cantik putri tunggalnya Dewa
Permana dan Dewi Nagadini itu. Selalu ingin bersahabat dan bersaudara
dengan siapa saja. Selalu menghargai dan menghormati siapa pun yang
datang padanya tanpa pandang bulu. Sandhi sering melihat majikan cantiknya
membagi-bagikan uang pada pengemis atau pengamen jalanan. Kadang
mereka juga disapa dan diajaknya bicara selayaknya berhadapan dengan
orang yang sudah lama dikenalnya. "Mereka bukan sampah, bukan penyakit
menular, .dan bukan penjahat yang berbahaya. Nggak ada jeleknya kalau kita
memberikan sebagian dari uang kita untuk mereka, sebab mereka pun butuh
makan dan butuh hidup sama seperti kita."
Begitu ujarnya kepada Sandhi beberapa waktu yang lalu, ketika tiga pengemis
jalanan menghampiri mobilnya di lampu merah. Sandhi juga masih ingat kata-
kata bijak
Kumala yang sederhana namun barangkali tidak semua orang bisa
malakukannya. "Kalau nggak ada harta, berilah mereka uang. Kalau nggak ada
uang, berilah mereka keramahan, senyuman, sapaan, tumpangan, atau apa
saja yang bisa membuat hati mereka senang. Orang-orang macam mereka itu,
San... adalah orang-orang yang merindukan kasih dan perhatian jiwani. Setetes
kasih atau sebutir perhatian dari kita bisa terasa seperti segenggam emas bagi
mereka." Dalam kemacetan lalu lintas sore, disaat mobil-mobil terjebak langkah
hingga tak mampu bergerak, disaat itulah Sandhi teringat kata-kata Kumala
yang bersuara jernih dan merdu. Ingatan itulah yang membuat Sandhi
melayangkan pandangannya ke arah depan, sebelah kanan mobilnya. Seketika
itu Pula hati Sandhi seperti tersayat sehelai rambut yang teramat lulus dan
tajam. Perih. Namun ia cepat-cepat menekan rasa itu. Menyembunyikan rapat-
rapat di batik kalbu ketabahannya. "Kasihan sekali:..," ucapnya dalam nada
keluhan membisik. Sepasang mata Sandhi yang memiliki alis agak lebat itu
masih memandang ke arah kanan-depan. Di sana ia lihat dengan jelas seorang
gadis cilik berusia sekitar 5 tahun sedang mengamen dengan kecrekan dan
susunan tutup botol. Mungkin 5 tahun kurang usianya. Gadis cilik itu
mengamen Sendirian dengan pakaiannya yang kumel dan rambut yang
panjang tapi kotor. Sekotor kulit tubuhnya yang hitam dan kering. "Mana teman
atau orang tuanya? Yaa, ampuun... rupanya dia ngamen sendirian?! Mestinya
anak seusia dia sedang butuh-butuhnya kasih sayang dan kehangatan orang
tua. Bukannya sibuk cari duit sendiri begitu?" Kemacetan masih tak bergeming.
Sandhi menurunkan kaca pintunya sedikit. Dia ingin mendengar suara anak itu
menyanyi di samping mobil sedan mewah wama merah. "Ya, Tuhan ..... " Hati
Sandhi kian mengeluh sedih.
Suara anak itu sangat serak. Dia mencoba
menyanyikan lagu dewasa dengan suara keras agar didengar oleh penumpang
dalam mobil yang dihampirinya. Namun kaca mobil yang tertutup rapat
membuat suara gadis kecil itu tak seberapa jelas didengar dari Dua orang yang
ada di dalam mobil. merah itu sama sekali tidak mempedulikan keberadaan
gadis cilik tanpa alas kaki itu. "Benar-benar nggak punya otak tuh orang yang di
dalam mobil?!" geram Sandhi jengkel sendiri. "Benar-benar udah pada mati
rasa! Masa' mereka nggak mau peduli sedildt pun sama anak itu?!" Dengan hati
kecewa si gadis kecil berwajah dekil meninggalkan sedan merah. la pindah ke
mobil yang lain , Temyati suara teriakannya yang serak hingga urat lehernya
bertonjolan keluar, juga tidak ada yang menghiraukan sedikit pun. Akhimya
anak itu berjalan lesu menghampiri mobil lain, yaitu mobil BMW hijau giok.
Sorot matanya yang tadi menjadi redup, kini tampak sedikit cerah kembali,
karena ia tahu mobil BMW hijau giok itu kaca pintunya tidak ditutup rapat
seperti mobil-mobil yang tadi. Begitu sudah dekat dengan BMW-nya Dewi Ular,
gadis kecil itu langsung menyanyikan lagu dengan uraturat leher bertonjolan.
Tampak memaksakan diri dan ngotot sekuat tenaga. "Tiga puluh menit, aku di
sini... tanpa suara..." "Cukup, cukup...," potong Sandhi, tak tega membiarkan
bocah kecil itu melanjutkan Iagunya dengan suara serak-serak letih. Gadis kecil
bermata bundar keruh itu menatap dengan sorot pandangan mata kecewa.
Barangkali ia sangka tak akan mendapatkan belas kasihan sedikit pun dari si
pengemudi sedan hijau keren itu. Tapi ketika ia hendak melangkah pergi, ia
mendengar suara si pengemudi mobil keren itu memanggilnya. "E, eh... sini,
sini... !" panggilan dari Sandhi itu disusul dengan uluran tangan yang
memegangi selembar uang 50 ribu. "Nih, buat kamu !" katanya.
Gadis kecil itu tertegun ragu. Separoh matanya Mulai tampak berseri-seri,
separohnya lagi tak yakin kalau dia akan diberi uang sebesar itu. Namun
setelah Sandhi memperjelas maksudnya, gadis kecil itu pun mulai
menyunggingkan senyum tipis di sudut bibir keringnya. Meski demikian masih
ada sisa kebimbangan yang menahan tangannyauntuk menerima pemberian
itu. "Ambillah, ini buat kamu. Ayo, nggak usah malu-malu. Jangan takut sama
Oom. Uang ini buat kamu semua. Niihh..." Gadis kecil berkulit kusam akhirnya
yakin betul bahwa uang sebesar itu memang diberikan untuknya. Maka, ia pun
segera melangkah lebih dekat lagi ke arah pintu sopir. Kemudian tangannya
yang berjari mungil namun kotor itu segera menyambar uang pemberian
Sandhi. "Makasih...," ia tertawa memandangi selembar uang 50 ribuan. Sesaat
kemudian kembali memandang Sandhi dengan kegembiraan yang terbungkus
bayangan rasa malu dan kagum. la kagum pada kebaikan si oom pengemudi
sedan keren itu . "Makasih, Oom...," ulangnya dengan semakin tampak girang
sekali. Sandhi rnenyunggingkan senyum ramah dan sangat bersahabat.
Kepalanya mengangguk kecil. "Namamu siapa, Adik manis?" "Oyen," jawabnya
singkat. Masih diliputi rasa malu dan girang. "Oyen sama siapa di sini?" "Hii, hii,
ha...." Gadis kecil kegirangan itu tidak menjawab. la justru segera berlari
meninggalkan BMW bijau giok..
Sandhi tidak kesal meski pertanyaannya diabaikan Oyen. la justru tersenyum
lebar dan menghembuskan napas lega. Lega karena bisa memberikan
sebagian kecil dari uang gajinya yang ia terima di kantor tadi siang. Lega juga
karena kendaraan didepannya sudah mulai bergerak. Agaknya kemacetan
mulai memudar. Dan,agaknya juga
penyebab larinya Oyen tadi karena ia mengetahui bahwa sebentar lagi mobil-
mobil akan bergerak, dan iatak ingin ditabrak oleh mobil mana pun. "Huuhh,
kalau tahu tadi mau ke kantornya Zus Rifa, gue nggak lewat sini tapi lewat
daerah Manggarai aja Lewat sini sih bakalan kena macet lagi nih." Sandhi mulai
berkecamuk dalam hatinya. Bukan hanya kemacetan saja yang menjadi thema
kecamuk hatinya, namun masalah pribadirlya dengan seorang gadis juga turut
dikecamukkan oleh sang hati. Toh kecamuk itu tidak dapat berlangsung lama.
Sandhi mulai tarik napas lagi, lantaran jalanan macet kembali. "Huuuhhh baru
jalan.3 menit kena macet lagi kan?! Gue bilang juga-apa?! Kalau tadi lewat
daerah Manggarai nggak berkali-kali kena macet lampu merah begini!" Baru
saja menginjak pedal rem, dahi Sandhi terpaksa harus segera berkerut kuat-
kuat. Pandangan matanya pun menatap sangat tajam. la memandang ke arah
mobil yang ada di depannya, sebelah kanan. Suatu keganjilan terlihat dengan
jelas di samping sedan Audi wama coldat susu itu. Hati Sandhi bertanya-tanya
penuh rasa heran. "Bagaimana mungkin dia bisa berada di sini dalam 3 menit
?!" Sandhi rnempertajam pandangan matanya. " Ah , bukan dia kali?! Cuma
mirip dia?" Apa yang dilihatnya memang sangat aneh. Mengherankan sekali.
Perjalanan 3 menit yang dicapai dengan menggunakah mobil dapat
dibayanglan berapa kilometer jauhnya. Sesuatu yang sangat membingungkan
Snidhi adalah ketika ia tiba di lampu merah ini, temyata gadis kecil yang
mengaku bemama Oyen itu sudali ada di depan matanya. Dalam perhitungan
logika tidak mungkin si pengamen cilik itu bisa melakukan perjalanan sejauh itu
dalam waktu hanya 3 menit.
"Kalau ia tadi menumpang sebuah mobil, mungkin saja bisa tiba di sini dalam
waktu 3 menit. Tapi gue yakin nggak ada orang yang mau memberikan
tumpangan gadis kotor
yang dekil itu?! Kalau toh dia jalan kaki, atau berlari , nggak mungkin dia bisa
duluan sampai sini ketimbang gue?!" Gadis kecil berbadan kurus itu juga
menghampiri mobil Sandhi. Ia mengamen dengan alat musik yang sama, yaitu
tumpukan tutup botol yang dipakukan pada ° sepotong kayu, digunakan
sebagai kecrekan. Sandhi buru-buru menurunkan kaca pintu untuk melihat lebih
jelas lagi, benarkah gadis kecil itu Oyen. "Astaga! Memang dia?!" gumam hati
Sandhi sambil menyeringai sangat terheran-heran. Bahkan suaranya pun sama
dengan yang tadi, serak dan kering. Menyedihkan sekali. Senja mulai menua.
Bulu kuduk Sandhi pun mulai merinding. Ia tak dapat menyangkal kenyataan
yang terjadi pada saat itu, bahwa pengamen cilik yang di sini adalah sama
dengan pengamen cilik yang di sana tadi . Karena; ketika gadis cilik itu
menghampiri mobil BMW hijau giok dan langsung menyanyikan settuah lagu
dengan suara serak dan urat lehernya tampak bersumbulan, maka saat itu pula
Sandhi langsung menghentikan nyanyian si bocah. "Kamu yang tadi ngamen di
perempatan jalan Ketapang kan ?" "Iya Oom," jawabnya sangat lugu. "Kamu
bemama.. , Oyen, ya kan ! " Gadis cilik yang mengenakan rok Merah kumuh itu
mengangguk dengan polosnya. Tanpa beban dusta, tanpa merasa ada yang
aneh pada dirinya. Ia memang tidak segera pergi walau lagunya dihentikan
Sandhi, karena saat itu ia melihat tangan Sandhi sedan memegangi
selembaruang 10 ribuan, Dan sorot matanya anak itu tampak sangat berharap
uang tersebut diberilcan padanya.
Dan, Sandhi memang ingin memberikannya seandainya anak itu bukan Oyen.
Tapi ketika anak tersebut mengaku bemama Oyen, mengaku pula tadi habis
ngamen di lampu merah perempatan Jalan Ketapang, maka Sandhi pun
menjadi ragu menyerahkan uang tersebut. Bukan ragu karena pertimbangan
ekonomis, melainkan ragu karena ia
tak tahu harus bersikap bagaimana terhadap si kecil Oyen. "Oom tadi lihat
kamu di jalan Ketapang, terus... tahu-tahu kamu sudah sampai sini sebelum
Oom tiba di sini. Kamu naik apa tadi?" "Jalan...," jawabnya pendek. Dahi
Sandhi berkerut semakin tajam. " Jalan kaki ?" Oyen mengangguk. "Secepat
itukah kamu jalan kaki dalam jarak sejauh ini?!". Gadis kecil itu diam saja.
Menundukkan kepata. Seperti anak yang menyimpan rasa takut karena sedang
dimarahi. Padahal maksud Sandhi bukan,memarahinya. Hanya sekedar ingin
mencari kebenaran dari suatu kasus yang aneh dan sangat membingungkan
itu. Atas pertimbangan rasa tak teganya, akhimya uang 10 ribu itu diberikannya
pada Oyen. Lagi-lagi anak itu memancarkan keceriaan kembali dari raut wajah
kumelnya. Setelah menerirna uang terstbutt Oyen pun pergi dengan berlari
girang. Ia tak menghiraukan seruan Sandhi yang mengharapkan agar ia tetap di
situ sebentar, karena ada beberapa pertanyaan yang ingin diketahui
jawabannya. Oyen pergi sebelum Sandhi sempat bertanya: apakah benar Oyen
jalan kaki, siapa yang menjadi orang tua anak itu sebenamya dan dimanakah
fempat tinggal Oyen bersama keluarganya? "Aah, masa' bodoh-lah... !" Sandhi
membuang rasa penasarannya dengan desah panjang. Kemudian, bergegas
pergi meninggalkan lampu merah. Menuju kantornya Zus Rifa. Kali ini ia
terpaksa agak ngebut supaya saat tiba di sana Zus Rifa masih ada di
kantomya.
Namun, kesibukan jam pulang kantor membuat jalanan semakin padat, dan
Sandhi tak dapat ngebut sesuai yang dtharapkan. Bahkan lima menit kemudian
ia terjebak kemacetan lagi di persimpangan pintu kereta. Antrian mobil berderet
panjang. Sementara mobil di belakang BMW hijau giok itu temyata juga sudah
antri panjang. Sandhi tak bisa bergerak ke arah mana pun. la seperti
tergencet antrian depan-blakang. "Wah, gawat nih. Bisa lewat jam enam baru
sampai kantornya Zus Rita. Hhmm, sebaiknya aku telepon Kumala dulu, biar
dia..." Kecamuk hati Sandhi terhenti seketika. Seperti ada yang menyumbat
rongga suaranya. Namun, seketika itu juga mulutnya ternganga melongo,
matanya memandang tak berkedip. "Astagaaa... ??!" Cukup lama mulut Sandhi
terperangah, karena ia sama sekali tak menyangka bahwa di kemacetan ini pun
ia temukan si gadis kecil berbadan kurus dekil sedang mengamen dengan alat
sederhana. "Oyen .... ?! .. Benar itu Oyen lagi?!" Suaranya mendesah penuh
keheranan dan keraguan. Kaca pintu pun segera diturunkan. Gadis kecil
berpakaian merah lusuh menyerukan suaranya yang serak di samping mobil
sedan warna silver, dua mobil di depan Sandhi. Dengan menurunkan kaca
mobil, kini Sandhi semakin jelas dan yakin bahwa anak itu adalah Oyen. Lima
menit yang lalu ia temukan di tempat. kemacetan cukup jauh dari tempat yang
sekarang. "Bagaimana dia bisa sampai ke sini dalam waktu lima menit ?
Tempat yang tadi sangat jauh jaraknya dari sini Nggak mungkin dia bisa
menempuhriya dengan jalan kaki secepat ini. Nggak mungkin!" Anak itu pindah
ke mobil berikutnya setelah di mobil silver ia tak digubris sama sekali oleh
penumpangnya. Ketika ia pindah ke mobil berikutnya, pandangan matanya
sempat berbenturan dengan tatapan mata, Sandhi. Anak itu berhenti
melangkah, seperti terpana melihat Sandhi ada di situ. Tangan Sandhi pun
melambai kepadanya. Anak itu segera menghampiri Sandhi dengan sedikit
berlari. "Kamu Oyen?" "Iya, Oom," "Bukankah kamu tadi ngamen di lampu
merah sana, jauh dari tempat ini ..?" "Iya, Oom."
"Tapi kenapa kamu bisa cepat sampai sini? Naik apa kamu?" Terbungkam
mulut Sandhi Bergumam dalam hati "Jalan kaki? “Apa benar ?" Oyen diam
menunduk, tapi matanya sempat melirik ketangan Sandhi, sepertinya ia sedang
berharap mendapat uang lagi dari Sandhi. Gerak-gerik itu diketahui oleh
Sandhi, sehingga Sandhi merogoh sakunya mengeluarkan uang yang terdiri
dari beberapa lembar ribuan serta lembar lima ribuan. Namun gerak tangar
Sandhi terhenti sesaat lantaran terpotong oleh munculnya kecurigaan baru.
"Kamu dikoordinir oleh seseorang ya?" Oyen menatap dengan wajati lugu
namun terkesan bingung, tak paham maksud ucapan Sandhi "Oyen dipaksa
orang lain untuk ngamen? Apakah ada yang bawa kamu ke sana-sini pakai
mobil?" Oyen menggeleng. Lalu, ia bersuara lirih: "Belum pernah… "Belum
pemah disuruh orang untuk ngamen?" "Belum pemah naik mobil." "O0000..."
Tiba-tiba terlintas gagasan nekat di benak Sandhi. Entah mengapa ia tiba-tiba
punya ide untuk membawa Oyen jalan-jalan merasakan kenyamanan mobil
mewah itu. Tanpa ragu sedikit pun Sandhi menyuruh Oyen untuk masuk ke
dalam mobil lewat pintu belakangnya. "Masuklah. Kita jalan-jalan sebentar.
Nanti Oom antar kamu ke sini Yuk, naik... !" Anak itu pun tanpa keraguan
sedikit pun langsung masuk ke mobil dengan wajah berseri-seri kegirangan.
Sandhi menyuruhnya pindah kejok depan. Anak itu tanpa ragu juga pindah
kejok depan tak peduli kakinya yang kotor menginjak apapun yang ada di
depannya. Setelah duduk di depan, anak itu tertawa cekikikan. Seolah-olah
merasa bangga bisa duduk di dalam sedan mewah, meski pun saat itu mobil
baru mulai bergerak pelan menuju perlintasan jalan kereta api.
"Kamu tinggal di mana, Oyen?" Anak itu tidak menjawab. Agaknya memang ia
tak mendengar suara pertanyaan Sandhi la sibuk , tertawa-tawa teruss sambil
memandang sana-sini dengan perasaan kagum dan bangga. "Kamu suka
dengan mobil ini?" Oyen mengangguk malu. Gerak kegirangannya terhenti .
"Kamu tinggal di mana, Sayang?" Oyen menggeleng, wajahnya mulai melentur
duka. Mungkin itu jawaban bahwa dia tak punya tempat tinggal yang tetap.
Sandhi menarik napas menahan haru. lbumu...?" Oyen menggeleng lagi. "Oh,
kamu nggak punya ibu? Bapak ada kan?" Sekali lagi anak itu menggeleng.
Rona wajah dekilnya kian tampak membendung kedukaan yang amat dalam.
Sandhi makin trenyuh dan tak berani bertanya masalah pribadi anak itu. Ia tak
ingin Oyen makin duka karena tak tahu harus bicara apa tentang keluarganya.
Sementara itu, mobil berjalan melintasi rel kereta. Keadaan jalanan mulai
lancar. "Kamu mau ikut Oom, menemui majikan oom Sandhi? Dia orang baik
kok. Namanya Kak Kumala. Eeh , Tante Kumala..." Sandhi tertawa sendiri.
"Apa pantes Kumala dipanggil 'Tante', ya?" la lupakan kelucuan itu, kini kembali
bertanya pada Oyen. "Bagaimana, kamu ikut Oom menemui Kak Kumala. Dia
pasti sayang sama kamu. Mau?" Oyen diam seperti bingung menjawab. Tapi
wajahnya diangkat dan kini ia menatap Sandhi dengan pandangan teduh.
"Seperti ada sesuatu yang ingin ia katakan?" pikir Sandhi. "Cara
memandangnya kok begini sih? Aneh. Tapi..." Terdengar suara bocah kecil itu
dengan pelan tapi jelas. "Bilang sama dia, Athila sudah siap." "Athila...??!"
"Athila Darapura."
Sandhi terbungkam dalam kebingungannya. Pandangan mata tertuju ke depan.
Remang petang makin mengaburkan pandangan. Tiba-tiba ia menginjak rem
kuat-kuat karena ada yang menyeberang jalan secara mendadak. Ciit ..... !! .
"Setaaan !" teriak Sandhi melampiaskan kekagetan dan kecemasannya.
Hampir saja ia menabrak seorang bocah cilik yang menyeberang jalan dengan
berlari cepat.. "Hahh .. ?!" Mata terbelalak lebar, jantung bagaikan berhenti
sesaat. Sandhi clingak-clinguk karena Oyen tidak ada di sampingnya. Di jok
belakang pun tidak ada. Sementara semua pintu terkunci secara sentral. "Ya,
ampuuunan,..!" sebuah ingatan menyadarkan Sandhi dan membuatnya
semakin tegang. "Bukankah tadi yang hampir kutabrak adalah gadis kecil
mengenakan rok merah lusuh?! Bukankah tadi yang hampir kutabrak adalah...
si Oyen?!" Matanya yang melebar itu mencari ke seberang jalan, namun bocah
yang hampir ditabraknya itu tidak ada di sana. Di mana-mana pun tidak
kelihatan. Sementara di jok samping kirinya yang ada hanya, kecrekan dari
tutup botol. Benda itu adalah sarana mengamen bagi Oyen, namun Oyen
sendiri pergi tanpa diketahui bagaimana caranya keluar dari mobil. "Pasti dia
bukan bocah biasa! Duduk di sampingku, tahu-tahu hampir ketabrak mobil ini,
000hh... jelas sudah! Oyen bukan bocah gelandangan. Lalu, siapa dia ?
Darimana asalnya anak itu? Apa maksidnya dia bilang Athila sudah siap?
Apakah dia sendiri yang bernama Athila? Tadi ngakunya bernama Oyen?
Duuh, bulu kudukku kok jadi merinding, ya?" Sandhi segera meraih handphone,
menghubungi Kumala yang masih menunggunya di kantor ***
3 PELITA malam mulai tampak di balik awan putih. Hanya separoh rupa yang
terlihat, namun bisa dipakai untuk menerangi sebagian bumi. Warna malam pun
menjadi pucat. Mengandung makna romantis dan mistis. Di sudut jalan
pertokoan. Suasana sepi telah melengang, Mungkin, karena sudah lewat dari
Pukul l 0 malam. Tentu saja sudah tidak ada toko yang buka. Tidak ada
aktivitas bisnis seramai siang hari. Hanya beberapa warung tenda yang masih
buka, dan yang sebentar lagi pasti akan tutup. Keramaian lokal memang ada.
Letaknya di sudut trotoar menuju pasar tradisional. Ada pangkalan ojek di sana.
Ada sekelompok orang bermain Judi kartu. Tak jauh dan kelompokpenjudi katu
itu ada warung jamu seduh ,warung minum kecil. yang dijual bukan hanya
minuman kopi atau susu, tapi juga ada minuman semi alkohol; anggur dan
ginseng. Bisa bikin mabuk. Tapi banyak peminatnya juga, lantaran banyak
orang yang ingin mabuk. Terutama para preman, baik yang punya tato atau
yang cuma punya panu. Heningnya malam membantu kerasnya suara kartu
gaple dibanting. Kadang tawa dan makian mereka terdengar jelas pula. Bahkan
langkah kaki seorang pemuda yang berjalan menyusuri trotoar toko juga
terdengar sedikit menggema. Tampaknya pemuda berperawakan sedang itu
memang sedang mencari sesuatu. Gerak-gerik matanya,terkesan sibuk, walau
sikapnya tampak tenang. Tapi tampangnya yang cenderung blo' on dan
terkesan udik itu membuat banyak orang yang suka meremehkan dirinya. Para
pemain kartu yang dihampirinya juga bersikap cuek ketika ia bertanya tentang
tempat nongkrongnya para pengamen liar Di situ ada empat orang yang
bermain kartu, dua orang lagi hanya melihat dalam posisi berdiri di belakang
para pemain kartu. Enam orang yang ada di situ rata-rata bertampang kriminal.
"Maaf , ada yang tahu tempat mangkalnya para pengamen nggak?" Pertanyaan
itulah yang tidak digubris sedikit pun oleh mereka. Sekali lagi pemuda berambut
kucai itu bertanya dengan pertanyaan yang sama. "Maaf Bang... saya mau
numpang tanya,di sekitar sini katanya ada tempat mangkalnya para pengamen,
di sebelah mana, ya?". Salah satu orang yang main kartu mulai merasa
terganggu dengan kehadiran pemuda berjaket hitam itu. ia menegur dengan
nada galak. "Lu siapa sih?! Ngapain tanya-tanya soal itu sama kita-kita orang
?!" Satu lagi menimpali, `udah jalan sana, jangan ikut nongkrong di sini !"
Orang, yang tepat berseberang arah dengan pemuda berjaket hitam itu segera
berdiri penuh emosi. "Eh, lu mau pergi nggak dari sini ?! Pergi nggak lu?! Ntar
gue timpa baru tahu rasa lu, ya?!" Pemuda berjaket hitam bertampang culun itu
terpaksa mundur: Tapi ia sempat tersenyum tipis, lalu melangkah pelan-pelan
meninggalkan mereka menuju ke warung jamu. Ada dua orang tukang ojek
sedang minum jamu di sana. Sedianya si pemuda berjaket hitam ingin bertanya
pada kedua tukang ojek tersebut, namun semua perhatian orang sudah lebih
dulu terpancing ke arah kelompok pemain gaple. Karena, dari sanalah
datangnya. jeritan dan teriakan keras yang sangat mengejutkan, yang membuat
setiap orang merasa ingin tahu penyebabnya. "Ada apa?! Kenapa mereka itu?!"
kedua tukang ojek saling bertanya. "ya, ampuun.... ?!" pemilik warung jamu
terperangah setelah ikut memandang ke arah yang sama.
Enam orang yang berada di tempat judi kartu itu saling berteriak, dan
berhamburan, menyebar ke berbagai arah. Tak jauh dari tempatnya semula.
Mereka sangat panik setelah mengetahui kepala mereka berasap. Dari lubang
hidung, telinga, mulut, bahkan mata, mengeluarkan asap putih yang makin
lama semakin tebal. Bahkan dari sela-sela rambut mereka juga mengepulkan
asap putih, seperti asap rokok yang makin lama semakin banyak. Mereka
menyangka diri mereka terbakar. Karena mereka merasakan hawa panas yang
cukup menyengat. Hawa panas itu dirasakan-muncul dari dalam dada mereka,
lalu menyebar ke sekujur tubuh. "Tol000ng, air...! Keenam orang tersebut
memiliki seruan yang hampir sama, yaitu air. Spontatitas mereka mengatakan,
rasa panas di sekujur tubuh dapat dipadamkan dengan air. Lelaki gemuk yang
tadi mencari plastik buat alas tidur anaknya, segera datang dengan membawa
air dalam ember plastic ukuran kecil. Ia guyurkan air itu ke tubuh salah seorang
yang mengalami-keanehan tersebut. Byuuuurrr... Ternyata air tidak membuat
asap aneh berhenti mengepul. Kepala mereka masih tetap mengeluarkan asap,
dan rambut mereka mulai keriting akibat hangus terbakar pelan-pelan. Semua
prang yang ada di sekitar tempat itu ikut menjadi panik: Semua orang
terhêranheran. "Api dari mana sih kok bisa membakar tubuh mereka?!" "Mana
gue tahu. Yang gue lihat tadi mereka teriak bersamaan dan kepala mereka
sudah mengeluarkan asap." "Kalau toh mereka terbakar kok bisa bersamaan,
ya?!" "Lagi pula nggak ada percikan api sedikit pun, tapi kenapa kepala mereka
masih mengepulkan asap terus?" "Ya,, ampuuun... ! Lihat si Salman itu?!
Kepalanya jadi perontos karena semua rambutnya hampir habis terbakar!" "Iya,
ya?! Anehnya, kenapa cuma kepala mereka yang mengeluarkan asap? Kenapa
perut, dada, dan tubuh lainnya nggak ada yang berasap ya?!"
Mereka sibuk mengguyurkan air dari mana saja yang mereka dapat. Tujuannya
untuk menyelamatkan keenam
orang itu agar tidak mati terbakar. Semua orang memang panik dan
kebingungan. Hanya pemuda berjaket hitam yang tetap tenang. Berdiri di
sarnping tenda pedagang jamu seduh: Ia memandangi kepanikan orang
dengan senyum lebar. Kadang diiringi tawa,kecil tanpa suara yang membuat
badan bergerak. Tidak jauh dari warung jamu, ada pasir sisa bangunan.
Pemuda berjaket hitam mengambil segenggam pasir, lalu ia menyebarkan pasir
ke udara, ke arah keenam orang yang mcngalami keanehan itu. Wuuurfss'... !
Tindakannya itu tidak'ada yang melihat karena semua perhatian tertuju pada
orang-orang yang mengalami keanehan. Setelah menyebarkan pasir, pemuda
berambut kucai itu meninggalkan tempat tersebut dengan tenang, sambil
tersenyum lega. Tampak 'puas dengan apa yang dilihatnya. Detik berikutnya
setelah penyebaran pasir ke udara dilakukan, asap-asap yang menyelimuti
keenam korban berangsur-angsur pudar. Kepala mereka tidak mengeluarkan
asap lagi. Rasa panas di sekujur tubuh juga hilang dalam tempo singkat. Tetapi
rambut mereka habis terbakar dengan aroma sangit yang khas. Keenam orang
itti terkapar di s. ana-sini, dengan napas terengah; engah dan sekujur tubuh-
basah kuyup akibat diguyur air oleh rekan-rekannya yang ingin menyelamatkan
mereka dari-ancaman maut, mati bakar. "Kenapa kalian tiba-tiba bisa terbakar
secara bersamaan sih ?" "Nggak tahu... gue nggak tahu... sumpah! Tahu-tahu
badan gue terasa panas seperti kesundut rokok,lalu bawa. panas itu merayap
naik memenuhi kepala gue..."
Memang tidak akan ada yang tahu; ,kecuali pemuda berjaket hitam. Dialah
yang membuat keenam orang penjudi kartu mengalami kebakaran gaib dalam
tubuhnya. Hal. itu ia lakukan karena ingin memberi pelajaran kepada mereka
yang telah bersikap semena-mena dan berani menyepelekan dirinya.
Seandainya tadi salah satu dan
keenam korban itu ada yang peduli dan menjawab pertanyaan dengan baik,
maka peristiwa aneh itu tidak akan terjadi Pemuda berjaket hitam tidak akan
mengganggu mereka berenam. "Rasain... Habis, lu-lu orang pada belagu sih!"
ujarnya dalam hati"Gue tanya baik-baik nggak dijawab, eeh... malah diusir
Emang lu pikir gue ini siap'a .... ?! Maling ? Copet ? Atau apa... ?!" Tentu saja
tak satu pun dari mereka ada yang mengetahui, bahwa pemuda bertampang
blo' on yang mereka usir tadi adalah jelmaan dari bangsa jin . Dia adalah Jin
Layon yang menjelma menjadi manusia dan mengabdikan hidupnya sebagai
`pelayan' setianya Dewi Ular alias Kumala Dewi. Andai saja mereka tadi tahu
bahwa pemuda berjaket hitam dan berambut kucai itu adalah Buron, jelmaan
Jin Layon, maka nyali mereka tak akan tumbuh sebutir pasir pun. Tak akan ada
yang berani cuek dan sok galak di depan Buron. Malam itu adalah malam yang
ketiga bagi Buron yang menjalankan tugas dari Kumala Dewi. Ia ditugaskan
mencari pengamen kecil bertampang dekil sesuai laporan Sandhi kepada
Kumala. Menyimak cerita aneh yang dialami Sandhi tentang bocah pengamen
itu, Buron pun mempunyai suatu keyakinan yang sama, bahwa gadis kecil itu
bukan bocah cilik biasa. Pasti dia bukan penghuni bumi ini. Pasti dia berasal
dan alam lain. "Yang jelas," kata Kumala sambil menatap Buron. "kita harus
bisa menemukan dia, untuk mengetahui apa maksudnya menyampaikan pesan
lewat Sandhi." "Mungkinkah pesan itu berkaitan dengan liontin dari Zus Rifa?"
sahut Sandhi dengan suara pelan tapi jelas. "Mungkin saja. Tapi juga ada,
kemungkinan berkaitan dengan kasus lain; seperti kasus kematian Gerry di
pantai." "Ya, 'semuanya memang serba mungkin," ujar Buron sambil manggut-
manggut pelan. Lalu, Kumala Dewi memberikan tugas kepada Buron.
"Cari pengamen cilik itu dan bawa dia kemari,Ron!" “Baik." "Tapi kau hati-hati
dan jangan gegabah." Buron menganggukkan kepala. Sebelum jelmaan Jin
Layon itu pergi, Kumala sempat menambahkan kata di depan mereka berdua.
"Aku akan menangani kasus sepupunya Tante Gessy itu. Malam ini juga aku
akan menemui Kapolres setempat untuk minta izin bicara empat mata dengan
Hilmon. Sebab, tadi siang aku menemukan jejak gaib di pantai tempat peristiwa
itu tetjadi." "Tapi tunggu dulu, kita belum tahu siapa Athila itu?! Oyen
menyebutnya dua kali dan... ," "Aku paham," potong Kumala membuat katakata
Sandhi terputus. "Kita pecahkan misteri ini satu persatu, Sandhi. Setidaknya
kalau Oyen bisa ditemukan Buron dan dibawa kemari, kita bisa bujuk anak itu
untuk menjelaskan siapa yang ia maksud dengan nama Athila itu .." "Ooo, ya,
ya... sorry." Kumala kembali bicara pada Buron. "Usahakan jangan terjadi
permusuhan dengan anak itu. Percayalah, naluri gaibku mengatakan, dia punya
kesaktian lebih tinggi darimu." "Okey, aku ngerti." "Bagus." "Aku berangkat
sekarang." "Hati-hati." Kesaktian Buron sebagai bangsa jin segera digunakan.
Dalam sekejap saja ia sudah berubah menjadi cahaya. Claap ! Sandhi tidak
heran lagi karena ia tahu banyak tentang kesaktian Buron, dan sudah terlalu
sering melihat perubahan seperti itu. Ia hanya mengikuti dengan pandangan
matanya ketika cahaya kuning seperti meteor kecil itu melesat menembus atap
rumah tanpa suara dan tanpa getaran sedikit pun.
Itulah awal perjalanan tugas Buron mencari Oyen menggunakan jalur gaibnya.
Sampai tiga hari ternyata Oyen
tidak ditemukan. Buron gagal menangkap gelornbang energi gaib milik Oyen. Ia
jadi penasaran dan tak mau menyerah begtu saja. Maka, ia pun bekerja di luar
jalur gaib, yaitu menyusuri sudut kota, sampai akhirnya ia bertemu. dengan
para pemain kartu, dan terjadilah insiden usil yang membuat para pemain kartu
tak berdaya. Sementara Buron sibuk mencari Oyen, Kumala Dewi juga sibuk
menangani kasus kematian yang misterius. Rupanya, kasus yang ditangani
Kumala menjadi semakin pelik. Ia sempat tak enak hati kepada salah satu
murid senamnya yang dikenal dengan nama panggilan: Tante Qessy. Janda
beranak dua itu baru sebulan tergabung dalam club senam yang
mempercayakan Kumala sebagai instruktur senamnya. Praktis ia kenal Kumala
belum ada satu bulan. Tapi ia sangat tertarik dan kagum sekali terhadap
reputasi Kumala yang sering disebutsebut sebagai 'paranormal cantik' itu. Ia
antusias sekali dengan fenomena-fenomena alam supranatural, sehingga ia
menjadi cepat akrab dengan Kumala. Maka, dua hari yang lalu, Tante Gessy
tak merasa sungkan dan tak merasa segan ketika is harus menelepon Kumala
sekitar pukul lima pagi. Ia tak berpikir apakah Kumala sudah bangun atau
masih tidur. Ia juga tak bertimbang rasa apakah teleponnya mengganggu
privacy atau tidak.. Suasana panik yang dihadapi kala itu membuat Tante
Gessy mengesampingkan dulu etika pergaulan. Kepanikan itu timbul akibat
datangnya kabar buruk tentang Hilmon yang ditangkap polisi berkaitan dengan
kasus piembunuhan sadis di sebuah pantai.
"Hilmon sepupuku. Aku pernah berhutang nyawa pada mendiang mamanya dia:
Dia sudah seperti,adik kandungku sendiri. Jadi, tolong selamatkan dia dari
kasus itu, Kumala. Aku yakin dia nggak bersalah. Dia bukan tipe orang yang
sadis. Apalagi yang tewas itu teman dekatnya. Nggak
mungkin Hilmon yang membunuhnya! ,Tolong, Kumala:.. Selamatkan dia!"
Kumala segera menjawab dengan tenang dan tetap sopan. 'Tante' Gessy,
mohon maaf. . posisi saya saat ini masih di Singapore. Bukan di Jakarta."
"O0000h, di Singapore ?!" "Ya. Ada urusan kantor. yang harus saya selesaikan'
Mudah-mudahan nanti siang bisa selesai . Paling lambat besok. Tante tidak
perlu panik. Saya akan bantu Tante sepulang dari sini." Janji itu bukan janji
murahan. Setiap janji selalu ditepati oleh Kumala:. Maka, ketika paranormal
cantik bertubuh sexy ltu pulang dari Singapore, ia langsung menghubungi
rekannya yang dinas di kepolisian, yaitu Sersan Burhan. ia mulai mempelajari
kasusnya Hilmon setelah banyak mendapat inforniasi dari Sersan Burhan.
Terutama mengenai pengakuan Hilmon sehubungan dengan kematian Gerry di
pantai. Dari hasil penyelidikan awal di TKP, Kumala menemukan jejak gaib
yang tidak bisa ditemukan oleh setiap orang, bahkan yang sulit dipahami oleh
pihak kepolisian. Jejak gaib itu.berupa lapisan semacam lilin yang bertebaran
menyatu dengan pasir pantai. Lapisan itu menurutnya adalah energi gaib yang
mengkristal. "Bang Burhan, anak buah Abang menaburkan pasir di sini ke
tempat yang berair. Supaya jelas, kita butuh air seember kecil." "Air laut apa air
tawar?" "Sama saja." Anak buah Sersan Burhan berhasil mendapatkan ember
plastik kecil dan diisi dengan air laut yang ada. Kemudian Sersan Burhan
mengambil pasir segenggaman. Pasir itu.dimasukkan ke dalam air ember
sesuai perintah Kumala. "Ooh, pasirnya ngambang. Nggak mau tenggelam?!"
gumam Sersan Burhan bernada heran.
"Coba-pasir yang ngambang itu diambil lagi. Pakai
sendok aja, Bang. Ada sendok nggak?" "Ada, Mbak!" seru anak buah Sersan
Burhan. Dengan menggunakan sendok plastik yang diambil . dari doos nasi
Padang, Sersan. Burhan Menyerok pasirpasir tersebut. Mereka memperhatikan
dari jarak sangat dekat. "Kok pasirnya kering?! Nggak basah sedikit pun?!'
"Berarti pasir-pasir itu terkena lapisan anti basah. Lapisan itu adalah energi gaib
yang mengkristal. Jadi, saya yakin, pelakunya pasti memiliki kekuatan gaib
yang cukup besar dan sangat berbahaya. Saya rasa, penghuni bumi ini nggak
ada yang memiliki kekuatan gaib itu, Bang ... !" Sersan Burhan manggut-
manggut: Mempercayai keterangan Kumala, karena selama ini Kumala sering
membantu pihak kepolisian untuk menemukan rahasia suatu kasus yang
berkaitan dengan dunia mistik. Dan, selama ini keterangan Kumala selalu benar
serta terbukti. Tetapi, bagi pihak kepolisian yang belum tahu banyak tentang
siapa Kumala Dewi, dia tidak akan mudah percaya begitu saja. Salah satu
diantaranya adalah Kapolres tempat Hilmon diamankan. Padahal sersan
bertampang ganteng itu sudah menjelaskan melalui HP saat berada di TKP,
tetapi Kapolres yang bersangkutan menyatakan masih butuh waktu untuk
mempelajari jejak gaib yang dirnaksud. Artinya, Hilmon tidak bisa dilepaskan
dari penahanamiya. "Maklum, dia Kapolres baru. Pindahan dari Kupang," bikin
Sersan Burhan menyatakan keprihatinann ya terhadap keputusan sang
Kapolres . Kumala Dewi tetap tersenyum manis dan berkata,-"Yaah, wajar
kalau dia belum mempercayai keadaan seperti ini,- Bang. Mungkin saya perlu
menghadap dan menjelaskan, kondisi yang sebenarnya.. Barangkali beliau
butuh perkenalan din saya..Bagaimana menurut Abang?". . ."Ya, itu bagus! Aku
siap dampingi kamu kesana Kapan?"
"Sekarang saja!" desak Tante Gessy yang ikut menyaksikan olah TKP saat itu.
Ia terkesan tak sabar, ingin cepat selesaikan masalah itu agar sepupunya
terselamatkan. Tapi, sayang... handphone Kumala berdering.Telepon dari
kantor. Rencana, menghadap Kapolres siang itu terpaksa batg. Kumala hams
kembali ke kantor, karena ada dua tamu asing yang sudah datang dan ingin
mengadakan meeting dean Oftala.dan stathya. Namur, siang itu Kumala sudah
sempat bicara dengan Kapolres sekedar perkenalan singkat, sekaligus minta
waktu untuk bertemu. Kapolres barn bisa ditemui nanti malam, usai acara
syukuran yang diadakan di kantornya . Maka, malam harinya, setelah Kumala
menugaskan Buron untuk mencari ia pun pergi menemui Kapolres. Ia pergi
berdua dengan Sandhi. Sementara itu, Tante Gessy berangkat dari rumabnya
langsung ke Polres dan akanbergabung denan Kumala di sana. "Bisa lebih
cepat lagi, San?" Pertanyaan yang terlontar dengan suara pelan dan tenang itu
membuat dahi Sandhi berkerut. Ia menangkap isyarat tak beres pada diri
Kumala. Sebab, biasanya Mika gadis cantik jelda itu menyuruhnya lebih cepat,
dengan sikap tenang dan tidak banyak bicara, maka pasti ada sesuatu yang
tidak beres di tempat tujuan nanti; atau dalam perjalanan itu sendiri.Tirasat tak
beres itu hanya bisa dirasakan oleh Kumala. Sandhi tak memilikinya. Wajar
saja, karena Kumala anak dewa. Ia bukan hanya memiliki kepekaan indera
keenam saja, tapi juga memiliki kesaktian setara dewa-dewi asli Kahyangan.
Maka, meski pun Sandhi menambah kecepatan mobilnya, ia tetap bertanya
tanpa harus memandang Kuniala yang duduk di jok samping kiri.. "Ada apa?
Bisa kau jelaskan?" Kumala diam seperti tak mendengar suara Sandhi.
Duduknya bersandar santai. Pandangan matanya lures ke depan.
"Ada yang nggak beres ya?" desak - Sandhi karenaitati penasaran. "Ake
mendengar suara gemuruh dari tadi. Makin lama makinjelas seperti bangunan
runtuh. Aku khawatir ada... " Entah kenapa kata-katanya sengaja dihentikan
sampai di situ. Seperti ada keraguan di hati Kumala untuk menlanjutkannya.
Sandhi mendesaknya. "Apa yang .kamu khawatirkan ? " Mulut berbibir ranum
sensual itu masih terkatup rapat. Sandhi tak sabar menunggu jawaban terlalu
lama. "Suara gemuruh itu suara apa sebenamya?" "Nggak jelas. Baru saja aku
mencoba mengejar suara itu, tapi nggak berhasil mengenali jenisnya." Kumala
Dewi menarik napas panjang. Lalu, dihembuskan dengan tetap tenaug seperti
tadi. Namun sebagai orang yang sudah terbiasa mendampingi Kumala, Sandhi
dapat 'mengartikan tarikan napas dan sikap tenang seperti itu. Ada sesuatu
yang meresahkan hati sang putri tunggal Dewa Permana. Keresahan itu
disembunyikan rapat-rapat agar tak menimbulkan kecemasan bagi pihak lain.
Handphone bordering. Kumala cepat Menyambut,"Ya, Bang. Aku masih dalam
perjalanan. Sebentar lagi sampai." Sandhi tahu, peneleponnya pasti Sersan
Burhan yang dipanggil Bang oleh Kumala dan yang seglang menunggu
kedatangan Kumala di Polres yang mereka tujti. Munglclit juga. Sersan Burhan
sudah-bersama-sama Kapolres sejak beberapa menit yang Jalu, sangat
mengharapkan kedatangan Kumala secepat mungkin. Barangkali Pak Kapolres
sudah mau pulang. Tapi dugaan Sandhi ada benamya, ada tidaknya.
Penelepon itu memang Sersan Burhan. Namun, masalah yang dibicarakan
bukati mengenai Pak Kapolres mau buru-buru pulang. Dari pembicaraan tadi,
Sandhi dapat menduga ada kejadian yang cukup menegangkan di sana.
"Tidak ada? Maksudnya tidak ada bagaimana, Bang? Hilmon; . sejak kapan?
Terakhir kali petugas melihatnya,
kapan? Sepuluh menit yang lalu? Ooh... ? Sudah dilakukan pencarian; di
sekitar situ, Bang ? hmm….. ya, ya..." Selesai mematikan HP nya, Kumala
berkata kepada Sandhi. "Hilmon hilang dan ruang sel nya." "Hilang?
Maksudnya... dia melarikani diri?" "Belum jelas. Sepuluh menit yang lalu para
petugas tahanan masih melihat Hilmon duduk melamun di dalam selnya. Pintu
sel juga tetap dalam keadaan terkunci. Tapi, baru saja petugas memergoki sel
itu kosong. Tanpa ada kerusakan apapun di dalamnya. Pintu jeruji besi tetap
terkunci tanpa ada yang patah. Pokoknya, semua tetap rapi." "Nah, lu...
Misterius sekali nih Bagaimana caranya Hilmon bisa lenyap dari dalam sel ya?"
Sandhi seperti bicara pada diri sendiri. "Rupanya suara gemuruh yang
kudengar tadi adalah saat-saat kepergianHilmon," Kumala pun seperti bicara
pada dirinya sendiii. Baru saja mobil Kumala tiba di kantor Polres, di
belakangnya menyusul mobil Tante Gessy yang segera parkir bersebelahan
dengan BMW-nya Kumala. Rupanya di petjalanan tadi Tante Gessy sudah
mendapat kabar dari Sersan Burhan melalui HP-nya, sehingga , begitu bertemu
dengan Kumala, ia langsung menanyakan kebenaran kabar tersebut. "Apa
benar Hilmon kabur dari sel nya?! Dia itu anak baik-baik. Nggak mungkin dia
melakukan kejahatan seperti itu. Dia bukan pengecut, Kumala. ". "Tenang,
Tante. Tenang." Kumala menenangkan emosi Tante Gessy yang selalu
menyanjung Hilmon dalam setiap kepanikannya. Pada saat itu, tiba-tiba
langkah kaki Kumala terhenti dan matanya yang indah itu memandang ke sana
sini dengan gerakan cepat. Sandhi yang ada di belakangnya mulai curiga. "Ada
apa ? " tanyanya pelan.
"Aku merasakan getaran aneh di sekitar sini?! Ada energi hitam yang baru saja
kabur meninggalkan daerah ini" "Energi hitam apa?!" sahut Tante. Gessy
dengan dahi berkerut tajam. Ia mulai dihinggapi rasa takut dan kecemasan
yang semakin besar. ***
4 ENERGI hitam adalah enegi kematian. Dapat pula diartikan sebagai energi
dari alám kubur. Tapi bisa juga diartikan sebagai bentuk kesaktian yang dimiliki
penghuni alam kegelapan. Ilmu hitam atau black magic adalah kekuatan gaib
yang sepenuhnyá menggunakan energi hitam, dan sangat terkenal di kalangan
para mistikus. Penjelasan singkat itu diberikan Kumala di depan beberapa
petugas kepolisian yan sedang memeriksa kondisi sel tahanan Hilmon. Bapak
Kapolres juga ada di situ, ikut mendengarkan keterangan Kumala. “Melihat
keadaan di sini tidak ada yang berubah, tidak ada yang rusak, maka saya yakin
ada kekuatan energi hitain yang masuk kemari dan membawa pergi HIlmon”
“Apa tujuannya?” tanya Bapak Kapolres. “Kita belum tahu apa tujuanñya,
karena belum tahu siapa pemilik energi hitam itu. Yang jelas energi itu mampu
menembus dinding penjara ini, karena dia tidak membutuhkan lubang sekecil
apapun,” seraya Kumala mmegang salah satu sisi diiding kamar sel. “Dari
mana arah datangnya energi hitam itu?” “Dari arah selatan. Makanya, saya tadi
mencoba mengejarnya ke arah selatan, tapi kehilangan jejaknya di penjalanan.
Karena itu saya putuskan segera kembali ke sini sebelum suasana mistisnya
pudar. Siapa tahu saya bisa temukan tanda-tanda gaib yang tertinggal di sekitar
sini.” Bapak Kapolres manggut-manggut penuh antusias. Mulanya
beliau.memang kurang percaya dengan kemampuan gadis berlesung pipit itu,
meski pun beberapa anak buahnya ada yang memberikan informasi tentang
reputasi Kumala Dewi selama ini.
Namun setelah tadi Kumala Dewi tahu-tahu lenyap begitu masuk ruangan sel
tersebut, dan kelenyapan itu secara tidak disengaja terjadi tepat di depan
matanya, maka pria bertubuh agak gemük itu hanya bisa tercengang
tanpa beredip dan tanpa bersuara. Padahal sejama ini ia selalu mengklaim
cerita yang bermuatan mistik sebagai sebuah tahayul yang direkayasa uñtuk
kepentingn pribadi seseorang. Sayang terlalu cepat tadi Kumala berubah
wujud. Bapak Kapolres tidak sempat melihat secara detil perubahan Kumala
saat menjadi seberkas sinar hijau kecil berbentuk seperti naga. Pada saat
séperti itulah Kumala menggunakan kesaktian dirinya sebagai Dewi Ular yang
disegani para pengbuni alam gaib. Sinar hijau kecil tadi melesat sangat cepat,
menembus atap hingga lenyap dikegelapan malam. Sebegitu cepatnya
gerakkan sinar sakti Dewi Ular, hingga takt ertangkap penglihatan mata
manusia biasa. Sebenarnya sinar hijau itu bukan lenyap begitu saja, namun
menembus lapisan dimensi gaib yang dihuni makhluk-makhluk kasat mata.
Tidakan itu dilakukan Dewi Ular untuk mengejar si pemilik energi hitam yang ia
rasakan membekas di ruangan sel beruküran sempit itu. Dengan menyusuri
jejak energi hitam yang ada ia berharap dapat menemukan pemiliknya. Namun,
harapan itu kandas lantaran sisa getaran dari energi hitam itu putusdlitengah
jalan: Hilang entah kemana. “Tinggi juga ilmunya?” gumam Dewi Ular saat
kehilangan jejak.. “Aku curiga pasti didalangi para penghuni Istana Hitam, anak
buahnya si Lokapura. Hmmm, sebaiknya aku kembali dulu ke sel untuk mencari
kemungkinan adanya jejak lain yang bisa kugunakan untul mengenali
pelakunya. Memang aneh. Kenapa ada pihak yang maunya menculik Hilmon,
ya? Apa alasannya?” Kumala Dewi muncul kembali di dalam sel tersebut. Tak
seorang pun yang ada di situ mengetahui tanda-tanda kedatangannya. Ia tahu-
tahu sudah berada di belakang Sersan Burhan, membuat Bapak Kapolres dan
anak biiah lainnya tersentak heran.
Tapi bagi Sersan Burhan hal itu sudah bukan sesuatu yang aneh, karena ia
sudah sering berpetualang
membongkar kasus kiiminal bermuatan misteri bersama-sama dengan Kumala.
Ia sudah sering melihat kesaktian Kumala yang diakui sañgat dahsyat serta
mengagumkan sekali itu. “Bagamana, ada jejak lain yang tertinggal di sini?”
tanya Sersan Burhän kepada Kumala. .Tampaknya Bapak Kapólres yang
sudah mempercayai kemampuan Kumala saat itu juga menunggu jawaban dari
pertanyaan Sersan Burhan. “Kayaknya sudab nggak ada jejak lain. yang tersisa
di sini, Pak,” kali ini Kumala menjawab dengan sopan, karena ia harus
menghormati posisi Sersan Burhan di depan anggota polisi lainnya: Jika tidak
ada yang lain, .Kumala tidak memanggil Sersan Burhan dengan sebutan „pak‟,
melainkan cukup dengan sebutan „bang‟. sebagai tanda keakraban yang
familiar. “Jadi menurut Anda pelaku yang membunuh almarhum Gerry itu bukan
Hilmón?” tanya Bapak. Kapoires. “Bukan, Pak. Pelakunya bukan manusia
biasa. Seperti halnya pelaku yang menculik Hilmon dari sel mi, juga bukan
manusia biasal” “Ya, ya.. saya paham sekarang. Hilmon harus dibebaskan dari
kasus itu, tapi dia harus bantu kami‟ untuk memberi keterangan secara
lengkap. Aah, sayang sekali dia menghilang. Apakah Anda masih bisa
berusaha menemukan kembali pemuda itu, Zus Kumala?” Senyum manis
mendebarkan hati kaum lelaki itu mekar indah dibibir ranum Kumala. Gadis
berkulit putih dengan tubuh memancarkan aroma wangi yang khas itu akhirnya
menjawab dengan suara tegas. “Sáya tidak berani janji apa-apa dulu, Pak. Tapi
saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk menernukan Hilmon, hidup
atau mati.” Ketegasan sikap itu diambilnya, karena sadar tugas dan
kewajibannya sebagai putri dewa yang dibuang kebumi.
Kumala harus menjadi pelindung umat manusia dari ancaman maut para
penghuni alam gaib, terutama
ancaman maut dari musüh besarnya, yaitu Dewa Kegelapan alias si Lokapura .
Disamping ia harus menemukan cinta sejati sebagai password-nya untuk
masuk Khayangan lagi, ia harus banyak-banyak berbuat kebajikan tanpa
pamrih apapun. Oleh sebab itulah, penculikan Hilmon dan kematian Gerry
secara tidak langsung telah menjadi tugas dan kewajibannya untuk
membongkar misteri di dalamnya. Menghentikan aksi kejahatannya. Sementara
itu, di bangku panjang yang ada di depan ruangan Kapolres, Tante Gessy
menangis dalam dicekam duka dan kecemasãn. Sandhi berusaha menghibur
duka itu, walau tak pernah berhasil membuat reda tangis Tante Gessy. Melihat
tängis janda montok begitu mengharukan, maka timbul kecurigaan di hati
Sandhi yang belum berani ia ungkapkan kepada siapa pun Hilmon itu
sebenarnya sepupunya Tante Gessy atau... wah,jangan-jangan ada hubungan
lain yang lebih pribadi? Pacarnya, káli ?!” Kumala Dewi dan rombongan yang
ada di sel tadi tiba di tempat Tante Gessy dan Sandhi berada. Mereka ikut
sedih melihat tangis Tante Gessy yang seperti kehilangan suami tërcinta.
Kumala Dewi pun segera mengusapkan telapak tangan kanannya ke punggung
Tante Gessy. Beberapa detik kemudian tangis itu berhenti sendiri. Dan, yang
lebih mengagumkan Bapak.Kapolres adalab perubahan sikap Tante Gessy.
Dalam waktu kurang dari dua menit wanita berambut sebahu dengan tinggi
sekitar 170 centimeter itu mulai menyunggingkan senyum. Cukup manis dan
menggoda iman lelaki senyumannya. Wajah itu mulai berseri-seri. Seperti tak
pernah mengenal duka sebelumnya. Bapak Kapolres tidak tahu bahwa usapañ
tangan Kumala tadi mengeluarkan hawa sakti yang meresap ke tubuh Tante
Géssy, menyatu dengan aliran darah, dan mempengaruhi otak dan hati.
Melenyapkan segala duka dan ketegangan jiwa. Membangkitkan rasä suka dan
keceriaan jiwa.
„Aku curiga,” bisik Sandhi. “Jangan-jangan hubungan Tante Gessy dengan
Hilmon bukan sebatas saudara sepupu, tapi...” “Hilmon memang bukan
sepupunya,” balas Kurnala membisik, karenà posisi mereka agak jauh dan
Tante Gesy yang sedang dimintai ketrangan oleh pihak kepolisian tentang
keseharian Hilmon. “Jadi, mereka bukan saudara?” Senyum tipis mekar dibibir
manis Kumala. „Sejak ia meneleponku saat aku masih di Singapore, aku sudah
tahü kalau dia bohong padaku. Hilmon bukan sepupunya. Memang masih ada
hubungan saudara,tapi sáudara jauh. Yang jelas, Tante Gessy sangat
membutuhkan Hilmon dalam kehidupannya sebagai janda.” “Kenapa kamu
diam saja kalau dia bohong padamu?” “Tiap orang punya alasan pribadi untuk
menutupi aibnya. Kita tidak perlu rnernbongkar aib seseorang. Selama hal itu
tidak merugikan kita, biarlah dia tutupi sendiri aib itu sebatas kemarnpuannya.
Tapi terlepas siapa itu Hilmon, kita tetap harus membantu siapapun. yang
berada dalam kesulitan. Lebih-lebih yang terancam kejahatan gaib. Harus kita
selamatkan Dan, itu.adalah tugasku kan ?" Sandhi hanya bisa menggumam
pelan, kepalanya manggut-manggut. Matanya mengikuti gerakan Kurnala yang
kembali rnenernui Bapak Kapolres dan Tante Gessy di ruang kérja sang
Kapolres. Tiba-tiba terdengar suara dentuman keras menggema bagaikan
mernenuhi seluruh rongga bumi yang ada. Blegaaarrrr..!! Kontan semua polisi
yang bertugas di malam itu berhamburan keluar ke halaman depan. Mereka
rnenyangka dentuman kerãs rnengejutkan itu adalah ledakan bom di suatu
tempat tak jauh dari situ. Tetapi, angin segera berhembus cukup kencang.
Menerbangkan benda-benda ringan. Mematahkan salah satu dahan pohon
yang turnbuh di halarnan kantor polres .
“Tenang Bang?” kata Kumala yang ikut bergegas ke haláman. “Itu bukan
ledakan born. Ada pertarungan dahsyat di alam sana. Lihat di atas itu, Bang?”
seraya tangan Kurnala rnenuding ke langit. “Iya, ya.. . ?I‟. gumam Sersan
Burhan seraya mernandang ke langit. Semuanya ikut melemparkan pandangan
matanya ke arah atas. Ada sinar merah panjang yang berpijar pijar. Langit
seperti mau terbelah. Pernandangan itu sempat mencemaskan hati mereka:
Hembusan angin juga semakin kuat. Permukaan bumi ini bagaikan diterjang
badai yang tak jelas dari mana arah datang nya .Gerakan angin kencang
berputar, berganti-ganti arah. Kedua tangan Dewi Ular diangkat naik.
Gelombang kesaktiannya dipancarkan melalui telapak tangan. Gelombang
kesaktian iu tidak berbentuk dan tidak bersuara. Namun, jauh di atas kepalanya
terlihat percikan bunga api warna hijau yang rnenyebar dan menyebar terus
hingga nyaris menutup rata permukaan langit . Pada saat itu, hembusan angin
kencang pun reda. Seperti ada yang menangkap pusaran angin dalam satu
genggaman kuat. Angin menjadi tak berkutik. Hembusannya lembut dan damai
seperti tadi. Hanya Sandhi dan Sersan Burhan yang tahu persis bahwa yang
membuat angin badai meñjadi lumpuh adalah kesaktian Dewi Ular itu. Bahkan
garis merah di langit yang menyerupai tanda langit akan terbelah itu pun segera
padam , lalu lenyap. Alam kehidupan manusia normal kembali. Beberapa
pertanyaan segera dilancarkán kepada Kumala dari Kapolres dan anak
buahnya. Tujuan mereka sama, yaitu sama-sama ingin mengetahui apa yang
baru saja terjadi dan seberapa besár bahayanya.
“Ada dua kekuatan beradu di alam gaib sana. Sasarannya bukan bumi
kediaman kita ini. Tapi karena
masing-masing kekuatan memiliki kesaktian yang cukup - besar, maka ketika
berbenturan mengakibatkan ledakan energi yang sangat besar, hingga mampu
menembus lapisan dimensi kita ini “Tapi ledakan dahsyat itu bisa terjadi lagi,
bukan?” "Bisa,” jawab Kumala dengan senyum yang memiliki pengaruh
menenangkan hati semua orang. “Memang bisa terjadi, tapi... maaf, saya tadi
sudah menutup lapisan dimensi kita, sehingga kalau toh terjadi dentuman
seperti tadi, imbasnya tidak akan sampai menembus dimensi kchidupan kita di
sini.” Salah seorang petugas jaga menerobos masuk ke ruangan Kapoires.
“Lapor Pak!” tegasnya agak tegang. “Tahanan kita yang hilang ternyata sudah
ada di dalam sel itu lagi, Pak.” “Apa. . .?!1” serentak semua mata mëmandang
ke arah bintara jaga. kemudian, mereka pun bergegas menuju ke sel tempat
penahanan Hilmon. “Ooh. . . ?!!” “Hilmooon. . .?! !„ seru Tante Gessy
kegirangan. Hilmon sudah ada di tempat penahanannya. Kapolres segera
memerintahkan petugas tahanan untuk membuka pintu sel. Hilmon memang
kembali , utuh tanpa luka apapun. Tapi ada perubahan dalam kèjiwaannya. Ia
seperti orang pikun. Serba bingung dan sepertinya mengalami lemah otak. Ia
tak mengenali Tante Gessy. lajuga tidak tahu di mana dirinya berada. Ia
merasa asing dengan sel tempat penahanannya selama beberapa hari ini.
Bahkan ketika dihujani pertanyaan dari mereka, Hilmon tak bisa menjawab.
Bukan bisu. Tapi tak tahu haruss berkata apa pada mereka. “Maaf boleh saya
menanganinya sebentar,” kata Kumala. “Sepertinya dia mengalami
penyimpangan jiwa dan beku ingatan.”
Yang lain segera mundur. Hilmon hanya diam dengan mulut melongo mirip
orang bego ketika dihampiri Kumala Dewi. Ia. seperti orang yang pasrah pada
keadaan, mau
diapakan saja tak pernah bisa protes atau membela diri. Maka ketika Kumala
mengulurkan tangannya di atas kepala Hilmon pria lajang itu hanya diam saja
tánpa reaksi apa-apa . “Oohh...?!” gumam salah seorang anak buah Kapolres
yang melihat semburan cahaya tipis warna hjiau dari telapak tangan Kumala.
Cahaya tipis itu menyinari kepala Hilmon. Lama-lama seluruh kepala dan wajah
Hilmon menjadi berwarna hijau pudar. Kemudian menyebar ke seluruh tubuh,
sampai jari tangannya. tampak berwama hijau pucat. Beberapa saat kemudian
Hilmon yang dalam posisi duduk itu kepalanya terkulai, matanya terpejam. Ia
seperti tertidur nyenyak dalam posisi duduk. Tante Gessy menampakkan
kecemasannya. “Kamu apakan dia,Kumala?I” “Tenang, Tante... Dia sedang
mengalami proses pemulihan jati diri. Tunggu beberapa menit, dia akan
terbangun dengan kondisi seperti semula. Tante nggak perlu khawatir apa-apa.
Dia selamat kok.” Sersan Burhan menyahut, “Tapi bagaimana dia bisa selamat
sampai ada di sini lagi?‟ “Pasti dia lebih bisa menjelaskan dari pada saya, Pak.
Yang dapat saya ketahui hanya bau aneh pada tubuhnya, seperti bau tanah
lembab yang menimbun rempah-rempah busuk... itu ciri khas bau dari alam
sana. bukan dari alam kita ini. Berarti dia memang jelas-jelas baru datang dari
alam sana. Dan, agaknya ada pihak yang sengaja menghapus kesadaran jati
dirinya, supaya ia tidak bisa menceritakan apa yang sudah dialaminya di alam
gaib sana." “Berarti nanti dia nggak bisa kasih meterangan apa-apa dong?”
„Mudah-mudahan bisa. Saya sudah bangkitkan emosi jati dirinya, termasuk
mempertajam seluruh ingatannya”.
Mereka menunggtu. Tante gessy tak sabar. Kira-kira
kurang dari 5 menit, Hilmon mulaI sadar Ia seperti Iangun dan tidurnya. Ia
langsung mengenàli siapa petugas-pètugas yang ada di situ, bahkan sempat
menyapa dengan malu-malu kepada seseorang. “Tante Gessy...... ? Udah lama
datangnya?” “Oooh, syukurlah kamu sudah normal kembali, Sayang.!” Tante
Gessy memeluknya, menciumi, membuat mereka saling pandang-dengan dahi
berkerut. Tentunya mereka merasa heran, sebegitu mesrakah sang tante
memeluk dan menciumi sepupunya? Hilmon segera dibawa keluar dari sel.
Ditempatkan diruang khusus untuk para tamu yang mau bezuk
tahanan.Ruangan itu lebih lega dari ruangan kerjanya Pak Kapolres. Tak heran
jika beberapa orang yang tugas dimalam itu mengerumuni Hilmon, ingin
mendengar keterangan apa: aja yang akan dikatakan Hilmon sehubungan
dengan misteri kepergiannya tadi.. Setêlah memperkenalkan diri, Kumala Dewi
mulai mengajukan pertanyaan dengan tutur kata sangat hati-hati, dan terkesan
sangat bersahabat. Bukan semacam interogasi penuh tekanan. Hilmon pun
tampaknya menanggapi dengan senang hati dan cükup ramah. “Jadi, waktu itu
kamu sedang membayangkan kematian Gerry?” “Ya. Aku menyesal sekali
melihat kematiannya seperti itu, sementara aku nggak bisa menolongnya. Aku
sedang bayangkan, andai aku punya kekuatan untuk melawan setan itu, pasti
sudah kuhancurkan dia” “Maaf, setan apa maksudnya?” “Vania Mercury. Atau
entah siapa nama sebenarnya. Tapi setahuku Gerry menyebutnya begitu:
Vania Mercury...” Lalu, apâ yang didengarnya dari Gerry, apa yang dilihatnya
sendiri, semuanya diceritakan secara singkat kepada Kumala. Penuturannya itu
sesuai dengan
keterangannya kepada pihak kepolisian pada saat ia
diinterogasi pertama kalinya. ini menunjukkan bahwa apa yang dikatakan
Hilmon bukan sebuah cerita yang dikarang-karangnya sendiri. “Nah pada waktu
aku mikirin itu,”sambung Hilmon kepada Kumala. “... tahu-tahu ada seberkas
sinar masuk ke se ku, wamanya perak seperti lampu blitz. Claap...! Aku
menggeragap kaget. Silau sekali. Tapi beberapa detik kemudian padam. Gelãp.
Aku nggak bisa lihat apa-apa. badanku melayang, seperti ada yang
membawaku terbang.” “Berapa lama kira-kira?” “Hmmrn,kira-kira lima menit-lah
aku merasa melayang-layang di tempat gelap. Tapi aku mendengar suara
gaduh, suara menggeram, suara tetawa Iengking dan... nggak tahu apa
lagi.Pokoknya menyeramkan!” Hilmon bergidik, badannya terguncang sékejap.
“Setelah melayang beberapa saat, aku mulai melihat cahaya redup. Ternyata
itu tempat yang agak terang. Tapi semuanya yang ada di situ serba hitam;
pohon, batu, tanah, daun, semuanya hitam.” “Ada bangunan seperti rumah atau
sejenisnya ?” “Hmmm, nggak ada: 0, ya... bangunan yang ada cuma sebuah
candi. Entah candi atau apa namanya, yang jelas aku dibawa ke sana oleh
sesuatu yang menentengku terbang. Di sana aku bertemu dengan Gerry yang
berpakaian: serba putih dan sekujur kulit tubuhnyà juga putih seperti pakai
bedak tebal. Pada saat itu aku sperti dilepaskan dari cengkeraman tangan
kekar yng menèntengku terbang. Aku jatuh tepat di depan Gerry. Tapi akujuga
sempat melihat wajah orang yang membawaku terbang itu. Ternyata dia
seorang wanita berwajah cantik. Rambutnya panjang bermahkota kecil, tapi
memiliki sepasan taring menyeramkan dengan bola rnatanya yang merah
menyala-nyala.”
Hilmon diam sesaat. Menerawang. Mencoba mencari-cari apa saja yang
diingatnya tentang alam serba hitam itu; Kumala Dewi dan yang lainnya ikut
diam, menunggu
kelanjutan kata-kata Hilmon. “Aku mendengar Gerry memangiI wanita bertaring
itu dengan sebutan Nyai. Entah Nyai siapa, yang jelas saat itu terjadi dialog
antara Gerry dengàn sang Nyai...” “Apa yang merekà bicarakan?” sahut Tante
Gessy walau sekujur tubuhnya sempat merinding berkali-kali. “Gerry minta agar
diberi waktu untuk bicara berdua denganku. Tapi sang Nyai keberatan. Ia paksa
Gerry tetap bicara apa perlunya denganku, setelah itu aku akan dijadikan
serupa dengan Gerry. Dengan terpaksa, Gerry berkata padaku dengan
suaranya yang datar dan dingin, bahwa dia sekarang sangat menyesal karena
tidak mengabaikan saranku waktu itu:Dia.juga minta maaf karena telah
menunjuk diriku sebagai teman yang harus tinggal bersamanya di tempat
tersebut, sehingga sang Nyai menjemputku.” “Jadi, dialah yang menyuruh Nyai
menculikmu dari dalam sel?” “Sepertinya begitu, Tante. Gerry minta teman
untuk hidup bersamanya di alam serba hitam itu, dan teman yang dipilih adalah
saya.” “Lalu, kau bilang apä padanya?” tanya Kumala. “Aku nggak bisa
ngomong apa-apa. Ternyata suaraku hilang. Tenggorokanku kosong nggak
bisa buat keluarin suara. Yang jelas, aku hanya bisa menggeleng terus-
menerus, menandakan bahwa aku nggak mau hidup dengan Gerry di tempat
menyeramkan itu: Geny. seperti nggak peduli dengan penolakan diriku. Tahu
tahu dia pecah... " “Pecah bagaimana?I”sahut Tante Gessy. “Pecah seperti
semburan cahaya ke berbagai arah, kemudian lenyap tanpa bekas lagi. Dan,
pada waktu wanita bertaring itu mau mencengkeram saya lagi, tiba-tibà ada
sekelebat bayangan merah menerjangnya. Benturan itu menimbulkan ledakan
besar dan saya terlempar kuat-kuat. Terhempas di bebatuan. Tapi badan saya
ggak terasa sakit sedikit pun.”
“Dentuman itu tadi kami dengar dari sini,” ujar Kumala. Yang lainnya jadi
manggut-manggut, seakan baru mendapat kesimpulan yang pasti, bahwa
dentumañ yang membuat langit seperti mau terbelah tadi akibat peristiwa yaig
diceritakan Hilmon itu. “Lalu, wanita bertaring bagaimana ?” tanya Sersan
Burhan yang tampak paling serius mendengar cerita Himon. “Wanita itu, saya
lihat juga terhempas jauh, seperti daun kering disambar angin badai. Ketika
saya mau bangkit, tahu-tahu bayangan merah itu menghampinnsaya..Temyata
dia seorang gadis kecil. Sangat kecil. Usianya masih sekitar lima tahun kurang.”
“Gadis kecil? “ gumam Sandhi yang kemudian saling beradu pandang dengan
Kumala. Namun mereka berdua tetap diam, meski sama-sama punya
kecurigaan terhadap gadis kecil yang mengaku bemama Oyen itu. “Ya, dia kecil
sekali. Tapi dia bisa bergerak secepat kilat. Tahu-tahu dia menyambarku dan
dibawanya aku pergi dari situ. Cepat sekali gerakkannya, sampai aku nggak
ingat apa-apa lagi, dan... tahu-tahu aku sudah ada di dalam selku lagi. Mula-
mula aku merasa asing dengan sel-ku itu, tapi setelah aku tertjdur sesaat, aku
baru ingat kalau tempat itu adälah kamar sel-ku. Dan sekarang, aku masih
sangsi apakah kengerian yang kualami tadi hanya sebuah mimpi atau benar-
benar terjadi?” “Anggap saja mimpi,.” kata Kurnala dengan tersenyum. la
berusaha mengendurkan suasana tegang yang meliputi hati mereka semua,
terutama hati Hilmon. Kondisi yang terlalu tegang dapat membuat kejiwaan
Hilmon labil kembali. Di sisi lain Sandhi tampak tertegun merenungi cerita tadi.
Ia penasaran ingin menanyakan pada Hilmon apakah ciri-ciri anak kedil itu
sama dengan ciri-cirinya Oyen.
Karena saat ini masih banyak yang bertanya pada Hilmon, dan mereka rata-
rata adalah petugas kepoIisian, Sandhi tak berani untuk ikut-ikutan bertanya
seperti
mereka.Ia tak ingin dapat kecaman jelek dari mereka, yang hanya akan
mempermalukan Kumala sebagai majikannya. Namun, beberapa saat
kemudian Sandhi mendapat kesempatan untuk bertanya kepada Hilmon, yaitu
ketika Hilmon minta izin untuk buang air kecil. Sayangnya di saat Sandhi ingin
mengejar Hilmon, langkahnya sudah terhalang lebih dulu oleh gerakkan
Kumala yang menghampirinya. “San... nggak perlu.” Sepertinya Kumala sudah
tahu apa yang ingin dilakukan Sandhi. Akibatnya, Sandhi rnengurungkan
niatnya untuk mendekati Hilmon. “Jangan buat otak oráng-orang di sini semakin
tegang dengan pertanyaanmu kepada Hilmon tentang gadis kecil itu." “Aku
cuma ingin memastikan, apakahgadis kecil itu Oyen atau...” “Ya. Dia gadis kecil
yang kau temukan dijalanan itu,” sahut Kumala dengan tegas tapi bernada
bisik. “Benarkah?” “Aku menangkap adanya kesamaan frekuensi gaib antara
gadis kecil yang kau ceritakan dengan yang diceritakan HiImon tàdi.” “Ooo. . . ,“
Sandhi menggumam tanda sangat percaya la tahu persis, kesaktian Dewi Ular
sudah pasti dapat menangkap getaran gelombang gaib dari sesuatu yang
terbayang dalam benak orang yang .sedang bercerita. “Kita pulang sekarang,
San. Aku mau ketemu Buron” “Buron belum pulang dari waktu kau tugaskan itu”
Kumala terbungkam, termenung sesaat. Seperti sedang meneropong kedaan
Buron saat ini. Dahinya mulai berkerut tipis, membuat Sandhi sedikit curiga
dengan perubahan ekspresi wajah Kumala . “Ada apa?” tanyanya dengan
sangat ingin tahu. “Apakah ada sesuatu yang rnembahayakan diri Buron atau
.....” “Yuk, kita pamit dulu ! ”
Sepertinya Kumala menutupi sesuatu yang sudah
diketahuinya, dan hal itu membuat Sandhi menjadi penasaran Semakin ingin
tàhu, ada apa dengan Buron ? ***
5 BURON tidak ada apa:apa. Yang ada apa-apa adalah Mak Bariah, pelayan
setianya Kumala untuk urusan dapur. Perempuan berkebaya.dengan usia
mendekati 50 tahun itu jarang pergi ke mana-mana. Ia hobby merawat rumah
dan melakukan kesibukan dapur. Satu-satunya hiburan bagi Mak Bariah adalah
nonton TV , khususnya tayngan telenovela. Malam itu, ketika Kumala dan
Sandhi pulang dari kantor polisi,mereka menemukan tubuh Mak Bariah
tergeletak di lantai teras: Pingsan. Keadaan itu membuat Sandhi agak panik.
Emosinya nyaris meluap. Sandhi sangat marah kepada siapa pun yang telah
membuat Mak Bariah pingsan di teras depan rumah. Bagi mereka, Mäk Bariah
sudah dianggap seperti keluarga sendiri, bukan semata-mata sebagai
pembantu. Karenanya, naluri pembelaan Sandhi terbakar melihat keadaan
perempuan itu terkapar dengan wajah pucat pasi dan tubuh dingin sekali.
“Kurang ajar! Iblis mana yang telah membuat Mak Bariah sampai seperti ini
sih?! Siapa yang berani mengganggu dia tadi?!” “Sudah, nggak perlu mencak-
mencak begitu. ini salah kita juga, meninggalkan dia sendirian di waktu malam.”
Setelah membawa Mak Bariah masuk, Kumala Dewi melakukan pemeriksaan
di sekitar teras: Setiap sudut diperhatikan. Sampai ke sudut halaman pun
diperiksanya dengan deteksi gaibnya. Sesaat kemudian ia masuk menghampiri
Mak Bariah dan Sandhi. Namun setiap langkah kakinya selalu diikuti dengan
tatapan mata tajam ke berbagai arah.
Sandhi menghembuskan napas panjang, berusaha membuang kemarahan
dalam hatinya. Ia akui, ini suatu kelalaiannya juga. Biasanya jika ía pergi
bersama Kumala, Buron selalu tinggal di rumah. Bukan hanya menjaga
rumah, tapi juga menjaga keamanan Mak Bariah yang lugü, penakut, tanpa
ilmu dan kesaktian apa-apa. Malam ini tanpa disadari mereka pergi semua.
Buron pun belum kembali dari tugasnya. Mnghadapi hal itu Kumaia Dewi masih
kelihatan tenang. tidak segarang Sandhi. Namun, ia tetap merasa iba dan
sangat prihatin atas insiden yang dialami Mak Banah . Dengan menyalurkan
hawà murni ketubuh Mak Bariah, Kumala berhasil myadarkan pelayannya dan
mengembalikan kondisi shock menjadi nonnal seperti sediakala. “Apa yang
terjadi tadi, Mak?” tanya Kurnala sambil memijat-mijat pundak Mak Bariah. Ia
duduk di samping kiri Mak Bariah, sementara Sandhi di samping kanannya.
Mereka berada di ruang tengah yang berukuran lebih luas dari ruang tamu atau
ruañg yang lain. “Saya dengar suara klakson mobil kita, Non. Saya lihat dari
balik gordin kaca, lampu mobil sangat terang. Saya kirain itu mobil kita, Non.
Saya buka pintu, maksudnya mau bukain pintu pagar...” Mak Bariah terhenti
dari ucapannya. Menelan ludah satu kali. “Kamu buka pintu pagarnya, Mak?”
tanya Sandhi. “Maksudku mau begitu, sebab aku yakin itu mobil kita. Tapi
waktu aku sampái teras, sinar lampu mobil jadi terang. Terang dan mendekat,
San. aku jadi ketakutan, karena seluruh halaman rumah jadi sangat terang
menyilaukan. Lampu terang dan menjadi besar itu menerjangku di teras.
Wuuuss, gitu.” “Hmm , terus?” “Terus... saya teriak, Non. Tapi suara saya
pelan. Saya nggak bisa bernapas. Sekujur badan terasa dingin sekali, seperti
tersiram air es. Dan, habis itu... habis itu saya nggak ingat apa-apa lagi, Non.”
Kumala Dewi beradu pandang dengan Sandhi. Namun tak lama, karena setelah
itu pandangan mata Kumala diarahkan ke ruang tamu lagi, lalu ke beberapã
sudut
ruangan yang ada. Sementara itu, Sandhi bertanya dengan suara pelan kepada
Mak Bariah. “Lampu itu dari mana? Luar pagar sana?” “Iya. Bergerak..cepat
menerjangku diteras, wwuuuss...!” “Selain suara klakson, apa kamu dengar
suara mesin mobil, Mak?” Mak Bariah diam berkerut dahi, mengingat-ingat
dengan susah payah. Lalu, menjawab dengan nada ragu. “Kayaknya;...
kayaknya iya. Maksudku... iya, aku dengar suara mesin. Tapi suaranya
menggeram seperti suara raksasa.” “Seperti suara ráksasa?!” “Astaga? Kenapa
baru sekarang aku ingat kalau suara mesin mobil seperti suara raksasa, ya?
Kalau tadi aku udah ingat begitu, aku nggak akan berani keluar rumah " Dewi
Ular diam tertegun, lalu terdengar suaranya bernada menggumam, seperti
bicara pada dirinya sendiri . “Bagaimana mungkin rumahku bisa kemasukan
orang asing? Padahal sudah kupagar rapat-rapat dan cukup kuat. Temyata
masih bisa diterobos juga pagarku itu?! Hebat!” Tiba-tiba terdengar suara
perabot dapur jatuh . Gumprraaang...!!!! “Apa tuh...?!!” sentak Mak Bariah
kaget. Kumala dan Sandhi melemparkan pandangan matanya kearah dapur.
Namun sebelum Kumala bergerak Sandhi sudah Iebih dulu pergi kedapur
dengan terburu-buru ia tak merasa takut karena ia yakin Kumala akan segera
menyusulnya. Lampu dapur yang padam itu segera dinyalakan oleh Sandhi.
Kliik.. Pintu dapur yang tidak tertutup rapat didorong dengan agak kasar.
Sandhi langsung tersentak mundur dengan mata membelalak lebar. " Hahh ...
??! "
Dalam jarak kurang dari 3 meter; Sandhie melihat Oyen duduk di mejá dapur
samping kompor gas. Gadis kecil berbaju merah lusuh itu sedang mengaduk-
aduk sayur yang sebelumnya sudah dihangatkan oleh Mak Bariah.
Sayur itu adalah sayur lodeh. Maka dengan tenang dan santai sekali Oyen
mengambil isi sayur lalu memakannya. Ia tak terkejut atau merasa takut ketika
tindakannya itu dipergoki Sandhi. Ia tetap menyantap apa yang bisa disantap
dengan lahap, sebagaimana seorang bocah yang kelaparan. “Hey...! Tu... turun
kamu dari situ!” Sandhi bermaksud menghardik, namun suaranya lemah,
napasnya pun berat. la tak bisa bersikap galak. Bahkan berdiri pun tak bisa
tegak karena kedua lututnya terasa lemas. Dadanya bergemuruh karena detak
jantungnya menjadi sangat cepat. Kulit tubuhnya segera berbintik-bintik.
Merinding secara serempak. Kini yang bisa dilakukan Sandhi adalah bersuara
lembut tanpa emosi. “Da... dari mana kau masuk kemari, Oyen ? Ayo, turun.
Nanti kamu jatuh kalau nggak mau turun. Turunlah Oyen ” “Biarkan dia,” suara
Kumala terdengar Iembut dari belakang Sandhi. Sang sopir pun menyingkir ke
samping. Kumala Dewi maju selangkah, menyunggi ng kan senyum manis,
menatap dengan keramahan. Menggumam dalam hati. “Luar biasa anak ini.
Deteksi gaibku nggak berfungsi sama sekali. Aku nggak bisa merasakan energi
gaibnya, padahal sudah beradu muka begini? Diaseperti anak polos tanpa
kesaktian sedikit pun. Tapi kemampuannya masuk ke mari sudah merupakan
tindakan yang luar biasa Nggak mungkin cuma dilakukan dengan keberanian
dan kepandaian menyusup. Pasti ia gunakan kesaktiannya untuk menerobos
pagar gaibku.” Gadis kecil berbadan dekil masih menikmati isi sayur lodeh
dengan cuek sekali. Seolah-olah dialah si pemilik rumah yang bebas berbuat
apa saja. Kumala justru berpaling ke belakang dan bicara pada Sandhi.
“Ambilkan dia minum” “Hmm, minum? Ya, ya... sebentar.”
Sandhi bergegas pergi untuk mengambil minuman di meja makan. Di sàna ia
bertemu dengan Mak Bariáh yang
merasa takut serta terheran-heran melihat ada gadis kecil di dapur. Mak Baniah
tak berani mendekat lantaran ia takut disalahkan atas masuknya anak kecil itu
ke dapur . “Anak Siapa itu, San ? Aku nggak tahu kapan dia masuknya.”
“Ssst..., kamu diam aja, Mak. Dia bukan anak sembarangan.” Sandhi kembali
ke dapur membawakan segelas air putih. Air minum itu diserahkan kepada
Kumala. Lalu, Kurnala mendekati anak itu untuk menyerahkan rninuman
tersebut. “Ini air minummu.” Dengan sikap tak merasa bersalah sedikit pun,
Oyen menerima air minum yang disodorkan Kumala. Ia meneguknya setengah
gelas. Setelah itu ia baru berkata dengan suara anak-anak yang lugu dan
polos. “Sayurnya enak.” Senyum manis Kumala kian melebar. “Mak Bariah
yang memasaknya. Habiskan saja kalau kau suka." “Udah kenyang.” Ia
mengusap-usap perutnya. Belum mau turun dari meja dapur. Ia duduk dengan
kedua kaki berjuntai, diayun-ayunkan dengan santai. Kumala Dewi menatapnya
terus sambil mencari getaran energi gaib. Tapi tetap saja tak menemukan
getaran apa-apa dalam diri Oyen. Tiba-tiba anak itu berkata dengan pandangan
mata ke sana-sini. “Aku tadi habis bertemu dengan Nyai Sekatpitu. Dia akan
datang lagi untuk mengambil serat-raga para lelaki bumi. Tindakan itu harus
dicegah. Kalau tidak dicegah nanti alam ini tanpa kaum lelaki.” “Siapa Nyai
Sekatpitu?” Oyen masih memandang ke sana-sini seenaknya. “Nyai Sekatpitu
yaaa.. .pelayan kepercayaannya Auro "
Sandhi berkerut dahi tajam-tajam. Ia ingat nama Auro yang pernah muncul
dalam kasus yang dihadapi Kumala
beberapa waktu.yang lalu , (Baca sesial Dewi Ular dalam episode: “MISTERI
BENCANA KIAMAT) Bagi putri tunggal Dewa Permana itu, nama Auro sudah
tidak asing Iagi. la tahu persis bahwa Auro adalah selir-mas ätau istri
kesayangannya Dewa Kegelapan, yaitu Lokapura. Tapi nama Nyai Sekatpitu
sama sekali baru sekarang didengamya. Kini gadis kecil itu menatap Kumala
tanpa sungkan-sungkan lagi. “Kamu nggak kenal samà Nyai Sekapitu, ya ? ”
"Belum ‟” “Kenalan dong.” Kumala tersenyum geli, sedikit salah tingkah. “Yã,
nanti aku akan berkenalan dengannya. Apakah dia yag menculik Hilmon? Kau
pasti kenal nama Hilmon, bukan?” “Oo, pemuda yang dipenjara itu? Ya, aku
tahu. Tapi nggak kenal namánya.” “Tapi kau telah menyelamatkan dari alam
hitam, bukan?” “Ya, aku selamatkan dia dari ancaman Nyai Sekatpitu
Temánnya sudah jadi korban pengambilan serat-raga. Kasihan deh.” “Gerry
maksudmu?”,Sandhi memberanikan diri menyambar pèmbicaraa karena ia
penasaran sekali, ingin mendengar kepastian dari apa yang telah diduga
duganya sejak tadi. “Eeh, si Oom” Oyen nyengir, lucu tapi membuat hati Sandhi
berdebar-debar oleh tatapan matanya. Oyen melompat turun dari meja untuk
menghampiri Sandhi. Ketika kakinya menyentuh Iantai, tak terdengar suara
berdebam sedikit pun. Padahal jarak meja dengan lantai cukup tinggi untuk
anak seusia dia. “Oom kenal sama korban yang Oom bilang bernama Gerry itu
?"
Sandhi bingung menjawab, walau akhirnya
menggelengkan kepala dengan senyum kikuk. “Kasihan dia, Oom. Dia sudah
ngak bisa ditolong lagi. Serat-raganya sudah diambil Nyai Sekatpitu. Makanya,
Oom hati-hati kalo ketemu cewek cantik jangan tergoda. Nanti bisajadi kayak
Gerry itu lho. Serat-raga Oom bisa diambil sama NyaiSekätpitu,terus diberikan
untuk Athila Oom mau serat-raganya diambil, tinggal tulang-tulangnya saja
?Mau?” Sekali lagi Sandhi menggeleng dengan bulukuduk merinding. Oyen
berjalan ke arah depan tanpa basa-basi sedikit pun. Seakan ia berada di rumah
sendiri. Mau tak mau Kumalad an Sandhi bergegas mengikuti Iangkah anak itu.
Ternyata tempat yang dipilih Oyen adalah sofa panjang, yang tadi buat duduk
Sandhi, Kumala dan Mak Bariah. “Kau mau minum sirup manis? Atau susu
panas? atau ... " “Nggak mau. Aku capek. Habis ngamen seharian,” sambil
anak itu duduk bersandar dengan santai, sedikit merebah. “Anak jin itu mana?”
tanyanya kepada Kumala. Tentu saja yang ia maksud adalah Buron. Kumala
dan Sandhi sama-sama tidak menyangka kalau Buron akan ditanyakan oleh
Oyen Bahkan Sandhi tidak menyangka kalau Oyen tahu tentang Buron. “Dia
sedang pergi,”jawab Kumala seraya duduk di samping Oyen, tapi dalam jarak
tak terlalu dekat. „Ngapain anak jin itu cari-cari aku? Suruh pulang aja dia. Nanti
malah dihajar Nyai Sekatpitu kalau mereka berpapasan.” “Ya, nanti akan
kusuruh pulang. Tapi sebe!urnnya tolong jelaskan dulu, siapa itu Athila ?”
“Athila Darapura.. itu anaknya Auro yang baru lahir. Berarti dia anaknya Dewa
Kegelapan kan? Karena, Auro selir kesayangan Dewa Kegelapan. Auro sendiri
anaknya Penghulu Iblis yang memiliki kesaktian tinggi tapi tetap saja kalah
waktu melawan Dewa Kegelapan. Aüro hanya bisa
punya anak satu kali. Nggak akan lebih. Anak itu dikandungnya bukan sembilan
bulan, tapi sembilan tahun. Karena, bayi itu terlahir dari perpaduan
kesaktiannya Dewa Kegelapan dengan kesaktian Penghulu lblis yang
diturunkan kepada Auro.” “Lancar sekali dia bicara, seperti mendongeng saja,”
pikir Sandhi. Kumala masih diam,menyimak betul setiap yang dikatakan Oyen.
Kini dia mulai tahü, Oyen bukan penghuni alam kegelapan. Oyen pasti
penghuni Kahyangan, namun belum jelas dari ketürunan siapa. “Bayi yang
dilahirkan Auro adalah bayi berdarah hitarn. Baru beberapa waktu yang lalu ia
lahir. Diberi nama Athila Darapura. Bayi itu akan tumbuh dengan pesat kalau
dia diberi makan serat-raga manusia, dan memang ia dicanangkan untuk turun
kebumi, menjadi manusia biasa, namun ia juga mewakili Dewa Kegelapan,
untuk menjadi penguasa bumi.” Mata gadis kecil itu mulai sayu. Sepertinya ia
sudah mulai mengantuk, sementara mulutnya yang berbibir mungil agak kotor
itu masih saja bertutur dengan lancar. “Athila adalàh ancaman maut bagi
kehidupan di bumi. Dia akan memiliki kesaktian yangl ebih tinggi dari bapaknya,
juga lebih tinggi dari kakeknya, yaitu si Penghulu Iblis. Makanya, dari sekarang
kudengar mereka sudah rnenyebutnya: cucu berdarah hitam. Makanya, Auro
mengutus pelayan andalañnya, yaitu Nyai Sekatpitu, untuk mencari serat-raga
sebanyak-banyaknya. Semakin banyak bayinya makan serat-raga, semakin
cepat pertumbuhannya, semakin bertambah kesáktiannya. Rencana itu harus
digagalkan. Karena itulah, aku diutus untuk menghadang langkah Nyai
Sekatpitu sebelum terlalu banyak manusia bumi yang diambil serat-raganya.
Aku sendiri sebenarnya nggak beminat buat mencampuni urusan Lokapura,
tapi karena diutus, yaah.. mau nggak mau aku turun juga.." “Maaf kalo boleh
tahu, kamu siapa sèbenarnya?”
Mata kecil itu mulai terpejam. Suaranya parau karena mulai tertidur. “Aku...
aku.. yaaah,. kalau kusebut namaku akan tãmpak jati diriku, tapi... tapi ngga
apalah, biar kamu kenal lebih dekat lagi, ya?” “Terima kasih sebelumnya,”
Kumala bersikap hormat, karena nalurinya mengakan, Oyen pasti lebih senior
darinya. “Dewi Ular...,” Oyen semakin lemah karena semakin tertidur,
ketahuilah, aku adalah,.. Asmaranada, yang.. yang...” Zlaaaap...! Cahaya
terang benderang terpancar dari tubuh Oyen. Cahaya itu seperti lampu mobil
yang makin besar dan makin terang. Sangat menyilaukan. Cahaya seperti
itulah yang tadi membuat Mak Bariáh pingsan. Bias cahaya terang yang
menyentak telah membuat Sandhi dan Kumala terdorong mundur. Bahkan
Kumala hampir saja jatuh terhempas di lantai akibat dorongan tenaga yang
muncul bersamaan cahaya terang itu. Ketika cahaya itu padam secara tiba-tiba
, Sandhi dan Mak Bariah yang mengintip dari ruang makan seketika itu juga
terperangah kaget. Ternyàta Oyen sudah berubah bukan lagi sebagai gadis
kecil yang dekil, melainkan sebagai sosok wanita cantik berambut panjang
terurai; mengenakan mahkota hias di kepalanya. Pakaiannya dominan warna
pink dengan sulaman dari benang emas berbentuk alat musik harpa. Cukup
lama Sandhi terbelalak tanpa berkedip, karena selain terkejut dengan
perubahan itu ia juga terkagum-kagum melihat kecantikan Asmaranada yang
menyerupai wanita keraton berusia 30 tahun. Berbeda halnya dengan Kumala
Dewi, begitu mendengar nama Asmaranada dan melihat perubahan wajah
Oyen, ia langsung berlutut dan bersikap menghormat dëngan kepala tertunduk,
badan terbungkuk.
“Mohon ampun jika aku tadi kurang sopan kepada Eyang Putri Dewi
Asmaranada, karena aku benar-benar
tidak tahu siapa Eyang Dewi tadi.” “Hmmm,jadi,.. sekarang.. kamu sudah tahu,
begitu?” suara sang dewi semakin pelan. “Tapi... apa benar kamu tahu siapa
aku?”. “Eyang Dewi Asmaranada, adalah Dewi Sinden, pengayom para
pesinden atau penyanyi ..,“ Kumala bicara dengan kepala tertunduk rendah.
“Dan, kalau tidak salah ingatanku, Eyang Asmaranada adalah istri dari Eyang
Dewa Nathalaga, alias Dewa Perang...” “Hmm, ya... bener. Tapi aku ngantuk.
Aku tidur...” Bidadari cantik seniomya Kumala itu terkulai di sofa, tertidur
dengan nyenyak. Sementara itu; Sandhi menenangkan detak jantungnya yang
tadi berdebar-debar begitu mendengar Asmaranada adalah istri Dewa Perang.
Bagaimanapun sibuknya Sandhi ia tetap ingat Dewa Perang yang galak, tegas
dan punya kesaktian sangat tinggi, pernah datang bertemu dengannyà dirumah
itu. Dan hampir saja Buron hancur dihajar Dewa Nathalaga akibat tak tahu
siapa yang dihadapinya. “Pantes aja kalo Kumala langsung ngeper berhadapan
ama dia?” ujar hati kecil Sandhi. "Pantes jugakah, dia kenal Buron, habis
suaminya Eyang Dewi ini sangat ditakuti para jin sih.” Keunikan dari Dewi
Sinden ini adalah kemampuannya bicara atau pun ngobrol dalam keadaan
dirinya sedang tertidu rnyenyak. Sandhi sempat tertawa tanpa suara
mendengar Dewi Asmaranada banyak memberi nasihat kepada Kumala dalam
keadaan tidur. Sedang Kumala menanggapinya dengan senus, tidak berani
becanda sedikit pun. Bahkan gerak-geriknya pun dijaga agar tetap menghormat
penuh kesopanan. Artinya, Kumala tahu ke unikan dewi yang satu ini, selain
bisa ngobrol sambil tidur, ia juga bisa melihat dalam keadaan tetap tertidur
“ngomong-ngomong soal kesaktian, jujur saja kuakui.. kesaktianku akan dapat
di ungguli Athilka kalau anak itu sudah tumbuh sedewasa kamu KumaIa,
Karena itulah kusarankan, berhati-hatilah jika kau berhadapan dengan
Cucu Berdarah Hitam itu.” “Baik Eyang .... " “Sehebat apapun Athila, kau tetap
harus hadapi dia, karena kau yang dipercaya oleh pihak Kahyangan sebagai
penyelamat bumi, pelindung Umat manusia. Jangan segan-segan
menghancurkan Athila, demi keutuhan tata kebidupan penghuni bumi ini.
Ngerti?” “Saya mengerti, Eyang Dewi ..“ Heningnya malam terasa memiliki
makna sakral tersendiri bagi para penghuni rumah itu. Namun, irama kesunyian
yang ada tiba-tiba dirusak oleh suara gadüh dan atap rumah. Blegaaar,
gubraaaakkk...! Kumala Dewi dan Sandhi tersentak kaget, langsung
mendongak ke atas. Sementara Dewi Asmaranada tetap tidur tenang, walau
muIutnya yang berbibir agak lebar namun indah itu tetap bergerak-gerak
dengan suara agak parau. “Anak jin itu memang nggak tahu sopan santun,
huuhh...!” Dewi Asmaranada beringsut sedikit, supaya memperoleh posisi tidur
yang nyaman. Tapi pada saat itu juga sebuah benda jatuh dari atap ke Iantai
depan TV Bruuuk...! “Buron.?!” sentak Sandhi dengan suara membisik, takut
membangunkan tidurnya Dewi Asmaranada. Buron menyeningai kesakitan.
Bagian kepalanya mengalami luka memar Hampir seluruh wajah Buron
berwama biru legam. Jakët hitam yang dikenakan itu dalam keadaan compang-
camping, seperti habis disayat sayat dengan senjata tajam. “Ada apa?!”.
Kumala menghampiri Buron menolongnya bangkit. „Tapi ia menjaga suaranya
juga supaya tidak membangunan tidurnyá Dewi Asmaranada . “Ouuhh,
kepalaku pecah. I Kepalaku pecaaah..!”
“Ssst.. Kepalamu masih utuh, cuma rengat dikit?” hardik Sandhi yang ikut
mendekati Buron.. “Jangan
berteriak. Pelankan suaramu!‟, “Sakit semua badanku, bego! !“ Buron justru
menyentakkan suarinya. Sandhi buru-buru membungkam mulut Buron. Tapi
tangan itu segera disingkirkan Buron dengan nada kesal. “Siapa yang kau
hadapi?!” tanya Kumala pelan: “Iblis betina bermata merah Aku tahu siapa dia
Nyai Sekatpitu, andalannya pihak Lokapura juga. Makanya, Waktu kulihat dia
berkeliaran kusikat dia. Daripada sulit nyariin si pengamen cilik, mendingan
kulampiaskan stress-ku dengan menghajarnya, eeh... ternyata malah aku yang
dihajarnya ? Jahanam betul diá itu! Kalau ...... " “Ssst. .! desis Sandhi benlada
memenyenta lagi . „Ada yang tidur tuh !” Karena posisi Buron membelakang
sofa panjang, maka ia sejàk tadi tak mengerti.apa maksud Sandhi dan Kumala
menyuruhnya bersuara pelan. Kini setelah Buron berpaling kebelakang dan
melihat wanita cantik dengan pakaian khas Khayangan itu berbaring di sofa,
makã seketika itu juga Buron gemetar. Wajah legamnya menampakkan rasa
takut yang menegangkan. “Bu... bu.:. bukankah dia... Nyai Dewi Asmaranada.,.,
istri dari Dewa Perang?! Hah? Benarkah dia itu, Kumala?” “Ya. Dialah anak
kecil yang sejak kemarin lusa kau cari-cari.” “Ddi... di. dia...???!” Buron makin
rnenyeringai ngeri. “Aduhhh. . mati aku, Mak!” - Buron bergegas ingin melarikan
diri karena takut berhadapan dengan Dewi Asmaranada. Namun, langkahnya
tertahan oleh tangan Kumala yang mencekal lengannya. “Tunggu dulu. Dimana
kau tadi bertemu dengan Nyai Sekatpitu?” “Di... di.. hhm, yuk aku antarkan aja,
dari pada ku di sini,” seraya melirik Dewi Asmaranada dengan ekspresi ngeri.
Setelah berpesan pada Sandhi agar melayani segala
keperluan Dewi Asmaranada kapan saja sang dewi terbangun, KumalaDewi
dan Buronpun bergegas pergi mengejar Nyai Sekatpitu. Keduanya berubah
menjadi sinar. Buron berubah menjadi sinar kuning sepërti meteor kecil,
sementara Kumala Dewi berubah menjadi sinar hijau berbentuk naga kecil.
Kemudian mereka pun melesat menembus dinding, dan lenyap di tengah
kesunyian malam. ***
6 TERANG bulan di pantai adalah sasaran indah untuk menuai cinta. Wajar
saja kalau disana-sini tampak pasangan mesra saling bèrpelukan. Bahkan ada
yang nekat untuk saling berciuman. Lebih dari berciuman pun ada, tapi mereka
tersembunyi sehingga sulit dijelaskan detilnya. Tak jauh dari kawasan bercinta
itu terdapat gugusan batu karang yang meñjorok ke perairan laut. Tingginya
sekitar tiga meter. Jaraknya dengan pasir pantai hanya sekitar lima meter.
Siapa pun bisa berada di gugusan karang itu dengan jalan kaki, karena air di
bawahnya sangat dangkal, hanya sebatas mata kaki. Di atas gugusan karang
itu tampak seorang wanita berambut panjang berdiri dengan gaun putihnya
yang meriap-riap ditiup angin pantai. Wanita itu juga membiarkan rambutnya
dipermainkan angin. Kesendiriannya di situ seolah-olah merupakan
pemberitahuan kepada kaum lelaki, bahwa ia malam ini kesepian.Ia butuh
teman asmara untuk saling bertukar kehangatan. “Gue berani bertaruh , dia
bukan wanita kesepian, tapi pelacur yang menunggu rezeki datang.” “Naif amat
lu, John. Nggak semua wanita yang ada dl sini pelacur. Nggak juga semuanya
kesepian. Siapa tahu dia cuma ingin menyendiri lantaran punya problem sangat
berat.” John tertawa kecil. “Lu jangan sok munafik begitu, Bob. Kalau dia
memang wanita kesepian, lu pasti mau jadi teman kencannya kan?” “Belum
tentu.” “Aaalaaa.., muke lu mesum gitu, pake bilang belum tentu segala.”
Bob dan john menghamburkan tawanya. Mereka bérjalan menyusuri pantai
lantaran mereka sama-sama tidak punya teman wanita yang bisa diajak
menikmati
keindahan di situ. Target mereka adalah dapat kenalan cewek yang juga
berduaan dan sama-sama belum punya pasangan. Tapi obyek sampingan John
dan Bobby adalah mengintip pasangan yang sedang asyik kencán, atau
bahkan yang nekat bercumbu dari kepala sampai bawah. Di pantai ini memang
sering terlihat pasangan yang asyik bercumbu secara fülgar. Dengan bermodal
tikar sewaan atau selembar koran, mereka bisa menikmati keindahan laut
asmara hingga ke püncak kemesraan. “Capek jalan terus, ah. Kita nongkrong
sini aja,” ajak Bobby sambil duduk di salah satu gugusan batu pantai yang
tingginya pas untuk ukuran tempat duduk. “Rokok kita habis ya, Bob?” “Habis.
Lu beli dulu deh.” “Yaah, beli di mana?” “Tuuh, di ujung tempat parkiran mobil
sana ada kios rokok.” “Lu aja yang ke sana. Nih, pake duit gue aja.” “Huuhh,ya
udah sini ... " Bobby pergi setelah menyambar uang dari John. Hembusan angin
pantai terasa nikmat di sekujur tubuh John. Matanya memandang ke setiap
tempat yang digunakan untuk pacaran bagi masing-masing pasangan . “Kalau
gue masih sama Titik, gue akan ke sini tiap malem. Sayangnya gue udah nggak
sama Titik lagi. Titik udah minggat ke Kalimantan, mungkin udah kawin atau
malah udah jadi janda, nggak tahulah. Nggak usah mikirin dia, ntar gue jadi
stress sendiri. Mending cari pasangan lain aja yang mungkin jauh lebih cantik
dari Titik .” John berkecamuk sendiri dalam hatinya. la belum menyadari ada
seorang wanita berambut panjang sedang berjalan dari arah belakang. Wanitá
itu akan melintas jalanan di depannya. Maka ketika wanita itu mulai melintas,
John terpana dan segera bersuit menggodanya.
“Waah, ini cewek yang ada di atas batu karang tadi??” pikir John. Dan, ternyata
siulan penggodanya mendapat respon positif dari wanita berusia sekitar 3O
tahun itu. Ia
berpaling kearah John dan tersenyum malu. “Hey, mau ke mana? Duduk sini
dululah.. ,“ pancing John dengan hati berdebar-debar. “Aku mau ke sana. Di
sini tempatnya terang. Nggak aman.” “Waah, emang ada tempat yang aman?” "
Ada. Dibalik pohon pembatas sana tuh.. ! aman, nggak dilihat orang. Mau
ikutan ke sana?” “Boleh aja... !" John bergegas penuh semangat, ada debar
debar indah dalam dadanya: Wanita yang terjerat godaannya tädi.berwajah
jauh lebih cantik dariTitik, mantan pacarnya. Bahkan jauh tebih sexy dari
peragawati. Dadanya membusung padat berisi dan sangat menantang. “Kamu
sendirian ke sini?” tanya John. “He,eh. Aku lagi BT banget nih.” “Habis
ditinggalin cowok kamu ya?”
“Kok kamu tahu sih?” John tersenyum bangga.
“Namaku John,kamu...?”
“Annes,” jawabnya singkat. Saat itu John mernegang tangannya, dan ia diam
saja, seakan mengizinkan John untuk memegang yang lainnya juga.
“Dapat durian runtuh nih gue,” ujar John dâlam hati dengan tertawa girang. Ia
lupa bahwa Ia datang ke situ bersama Bobby bukan Annes. la juga lupa bahwa
sebenamya ingin merokok Kehadiran Annes membuat semua yang ia inginkan
seperi sudah terpenuhi. Aroma wangi tubuh Annes membuat darah John mulai
bergolak. Apalagi setelah mereka sepakat berhenti di balik kerimbunan semak
pembatas pantai, darah John seperti ingin segera menyembur keluar dari
lubang kenikmatannya “Tuh, di sini lebih aman kan?” kata Annes.
“Iya, ya... kamu pinter cari tempat, rupanya,” John mencubit pipi annes, dan.
Annes berlágak menghindar walau sengaja telat bergerak.
Namun sebelum aksi mereka berlanjut, dua berkas cahaya beda warna
melintas di langit atas mereka. Radar gaib ditebarkan dan radar itu menangkap
gelombang energi hitam dibawahnya. Seketika itu juga, cahayá kuning mirip
meteor kecil itu meluncur kebawah dan menerjang tubuh Annes. Wuuuusst...!
Annes segera bangkit dan mengibaskan tangannya seperti hendak memutar
badan. Wuuust... Gerakan itu menimbulkan angin bermuatan energi hitam.
Sinar kuning itu membentur energi hitam dan terjadilah ledakan yang cukup
keras, sempat memancing perhatian.orang di sekitar pantai tersebut.
Duaaaanrr... Sinai kuning itu berubah wujud menjadi pemuda berambut kucai.
“Ooh, kau lagi rupanya?!” gerarn Annes tak mempedulikan keadaanJohn yang
lari ketakutan setelah terjadi ledakan dan melihat kemunculan Buron dari
cahaya kuning tadi. Buron bangkit dengan sempoyongan dan terengah-engah.
“Belum jera kau melawanku, Jin busuk?!”
“Aku tidak Iebih busuk dari kamu, iblis betina!?” geram Buron yang mengetahui
bahwa Annes àdaIah jelmaan dari Nyai Sekatpitu.
“Grrrhhh. I”
Annes mengerang penuh dendam kebencian. Dengan cepat ia mengibaskan
tangannya dan melesatlah tiga anak panah dari sinair biru , Claap, claap,
claap...!
Buron belum sempat menghintdar tahu-tahu tiga sinar biru berbentuk anak
panah itu telah dihantam sinar hijau mirip cakram yang datang dari arah
belakangnya.
Claaasssp...! Jeeegaarrr.
Ledakan ini lebih besar dari yang tadi. Pohon pembatas terguncang hingga
menimbuIkan kegaduhan setempat..Annes terdorong mundur. Matanya
terbelalak liar mencari si pemilik sinar hijau, Ternyata dari belakang Buron
muncul seraut wajah cantik yang sudah dikenalinya.
.“Akhirnya kau muncul juga, Dewi Ular!”
“Ya. Tugasku menyingkirkan pengacau macam kau, Nyai Sekatpitul” “Dan,
tugasku menghancurkan. . huuggh!” Annes belum sempat melanjutkan kata-
katanya, Kumala Dewi sudah bergerak Iebih cepat, seperti melemparkan
sekeping uang ke dada Annes. Benda yang dilemparkan tak terlihat mata.
Namun tahu-tahu sudah mengujam ulu hati Annes. Energi padat yang
dilemparkan Kumala itu melebihi besi berton-ton beratnya, melebihi tombak
tajamnya. Namun, juga memiliki kekuatan pelebur gaib. Maka, setelah Annes
tersedak dengan mata membelalak, tubuhnya mengeluarkan asap kuning,
seperti asap belerang. Wuuus...
Dan, iapun berubah menjadi sosok wanita bertaring, bermata merah menyala,
tingginya sekitar empat meter. Dia dapat lebih tinggi dan lebih besar lagi
manakala dia guñakan salah satu kesaktiannya yang dapat menambah ukuran
fisiknya. Buron sengaja menjauh Ia tak ingin mencarnpuri pertarungan
bergengsi itu, supaya Kumala Dewi memperoleh kemenangan telak. Tapi jika
Dewi Ular ternyata terpojok dan dalam bahaya, Buron siap menerjang Nyai
Sekatpitu sekalipun harus mengorbankan diri.
John yang memandang perubahan Annes dari kejauhan hanya bisa terbengong
dengan sekujur tubuh gemetaran. Ia ditemukan Bobby di tempatnya tanpa bisa
bicara apapun. Yang terbayang dalam benak John adalah kengerian apabila
tadi ia sempat bercumbu dengan Annes, yang ternyata memiliki wujud asli
mengerikan. Berkuku tajarn dan panjang.. Sepasang tangannya berwarna
hitam bagaikan tangan gorila. „Aaagggrrthh...... !" Nyai Sekatpitu menyerang
dengan ganas. Ia melayang diudara dengan kedua tangannya siap mencakar.
Dari ujung kuku-kukunya keluar sinar biru seperti arus listnik.
Sinar biru itu menyebar ke arah Dewi Ular. Craaalspp...!
Dengan sigap Dewi Ular menebarkan kedua tangannya dari dada ke atas,
seperti menebarkan benih. Wüuursss...!
Percikan sinar hijau menyebar dengan cepat. Bagaikan bunga api yang sedang
membungkus sekujur tubuhnya. Blegaar, blaam , gllleeerrrr. I
Ledakàn dahsyat terjadi mengguncangkan kawasan pantai. Dua pohon kelapa
yang tak jauh letaknya dari tempat pertarungan itu terpaksa tumbang. Ada tiga
sinar birunya Nyai Sekatpitu yang lolos dari sasaran dan menyambar dua
batang pohon kelapa tersebut. Ledakan itu memang sempat membuat Kumala
terhuyung-huyung kebelakang. Rupanya kesaktian yang digunakan untuk
menangkis serangan Nyai Sekatpitu itu masih kurang kuat. Tapi lumayan, bisa
buat melindungi dirinya. Ooh, tapi..: kulit tubuh Kumala terasa panas? “celaka,
diagunakan aji siluman yang tak kentara datangnya bersama sinar birunya
tadi?!” gumarn hati Kumala.
Segèra ia mengerahkan hawa sucinya untuk menetralisir racun panas yang
menyerap lewat poti-pori tubuhnya. Sambil mengerahkan.hawa suci, Dewi Ular
sengaja melayang ke samping, mengulur waktu pertarungan, “Mau Iari ke mana
kau, Keparat ! !” teriak Nyai Sekatpitu.
Ia segera melepaskan serangannya kembali dari tangn kirinya. Hujan cahaya
menerjang Kumla Dewi. Tapi lapisan penangkis sudah disiapkan, berupa
cahaya hijau transparan membias di depannya, sehingga serangan Nyai
Sekatpitu dapat tertahan. Tentu saja dentuman dahysat kembaIi terjadi dan
mengakibatkan alam terguncang bagaikan akan dilanda gempa. Dalam
kesempatan itu Kümala masih sempat melepaskan cahaya hijau mirip tombak
besar. ditelapak tangannya.
Claaap. .. I Wuuust...!
Nyai Sekatpitu berusaha menangkis, tapi telat, sehingga cahaya itu
menghantam dada kanannya. jeagaaaarrtT...!!
“Aaaahhhggggrrr.. !! ” la menjerit dengan suara keras, menggema mengerikan
ke mana-mana;Tubuhnya yang tinggi itu oleng ke belakang. Kesempatan itu
digunakan oleh Déwi Ular untuk menghajarnya lagi dengan cahaya hijau kecil-
kecil dari tiap jari tangannya.
Craalp, craalp, crralp..
Zuuub, zuuub, -zduub...! Blegaaarrrr...
Blegaarrr...!
“Aaaaaggghhhnrrr. . .!
Aaaooooggrrhh. . . !! ”
Nyai Sekatpitu tak diberi kesempatan untuk membalas. Kumala Dewi
melepaskan serangannya beruntun dan mengenai pada titik-titik rawannya Nyai
Sekatpitu. Akibatnya pelayan andalan Auro itu nyanis hancur menjadi bubur
seandainya ia tidak segera menggunakan kesaktiannya untuk lenyap dari
penglihatan mata gaib siapa pun. Wuuuussst ..... !!!
Kini yang tinggal adalah suara Nyai Sekatpitu, tanpa ada yang tahu bagaimana
ia melarikan diri dalam keadaan terhuyung-huyung menanggung luka yang
sangat parah.
“Aku belum menyerah! Aku belum kalah melawanmu, Dewi Ular keparaaaat...!
Tunggu pembalasankuuuuu...... !!" Suara itu menjauh, dan kemudian hilang
ditelan dimensi alam gaib. Kumala Dewi berdini tegak dengan pandangan mata
tertuju ke langit . Hanyá dia yang melihat cahaya merah kecil meletup di sana,
pertanda Nyai Sekatpitu telah memasuki dimensi alam lain, yaitu alam
kegelapan. Napas Kumala pun dihembuskan panjang, emosi pertarungan
dipadamkan.
“Nggak ada yang perlu dikhawatirkan, Buron. Tapi lukamu.. ooh, sini kuobati
dulu...." Sambil menerima energi pemulih luka, Buron masih sempat mengecam
dan memaki Nyai Sekatpitu yang sejak dulu paling dibenci, karena pernah
menghancurkan saudaranya, yaitu Jin Proga. “Hey pada ngapain di sini ?!”
Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh datangnya anak kecil.
Kumala dan Buron sama-sama terkejut, karena temyata
di belakang Kumala sudah ada Oyen membawa kecrekan dari tutup botol.
“Eyang. .?!“ KumaIa Iangsung berlutut, begitu pula Buron. Kepalanya
ditundukkan hampir menyentuh tanah sebegitu takutnya kepada Oyen yang
sudah diketahuinya sebagai Dewi Asmaranada. Tentu saja orang-orang yang
tadi menyaksikan pertarungan maut menjadi terheran-heran melihat Kumala
Dewi dan Buron berlutut di depan gadis cilik berpenampilan pengamen dekil.
“Sudah kubilang, Sekatpitu itu bagianku, knapa kamu yang singkirkan dia,
Kumala?!” “Ampun, Eyang... karena saya juga merasa punya tugas dan
kewajiban menyelamatkan kehidupan dibumi. Siapapun yang masuk kebumi
dengan membuat onar, saya wajib mengusirnya, Eyang. Tapi jika di alam sana,
rnungkin memang tugas Eyang menghadapi Nyái Sekatpitu tadi.” “Oo, begitu?
Ya deh, kamu yang menang.Sekarang,aku mau pülang. Tapi sebelum aku
pulang ke Kahyangan, aku kepengen kamu bawa jalan-jalan dulu. Aku
kepengen tahu tempat wisata yang ada di dunia in apakah ada yang bia
melebihi keindahan di Kahyangan.” „Baik, saya siap menghantar Eyang.
Sekarang kita pulang ke rumah saya dulu, ya Eyang?”
“He,eh....! Yuk ... !" Repotnya, ketika mereka pulang, Oyen minta digendong
Kumala Dewi. Mau tak mau permintaan itu dituruti, demi memanjakan sang
Dewi Sinden yang punya kesaktiañ cukup tinggi dan ditakuti Buron itu . Kini
yang barus dilakukan Kumala adalah mempersiapkan diri menghadapi
kedatangan Athila, cucu berdarah hitam, yang memiliki kesaktian sagat tinggi,
bahkan mungkin lebih tinggi dan kesaktian yang dimiliki Dewi Ular. Bahaya
sedang mengancam kehidupan manusia di bumi.

SELESAI

EPISODE SELANJUTNYA
MISTERI SANTET IBLIS

Anda mungkin juga menyukai