Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Sejarah Al-Qur’an
Dosen Pengampu :
Ahmad Musonnif Alfi, S.Ag, M. Th.I
Oleh :
Achmad Ali Mustofa
NIM: 2019.01.01.1279
Mohmmad Arif Dzini’am
NIM: 2019.01.01.1240
Ditinjau dari segi kebahasaan, al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang
berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata al-Qur’an
adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya
membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada QS Al-
Qiyamah/ 75:17-18
۱۸ ُ فَإ َذا َقَرأنَهُ فَاتَّبِ ْع ُقْرأنُه۱۷ ُإن َعلَْينَا مَجْ َعهُ َو ُف ْرأنُه
َّ
Artinya: Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah
selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.1
Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan al-Qur'an dalam bukunya Mabahits fi
ulum Alquran mengemukakan bahwa pendapat yang paling kuat adalah yang
mengatakan bahwa al-Qur’an adalah bentuk masdar dengan kata qira’ah yang
berarti membaca. Diperkuat oleh pendapat lain mengatakan kata al-Qur’an
secara harf berasal dari akar kata qara’ah yang berarti bacaan atau himpunan,
karena ia merupakan kitab yang wajib dibaca dan dipelajari, serta merupakan
himpunan dari ajaran-ajaran wahyu yang terbaik.2
Menurut Prof. Dr. H. Muin Salim, Alquran merupakan kitab suci umat
Islam, adalah firman-firman Allah swt. yang diwahyukan dengan perantaraan
malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw. sebagai peringatan, petunjuk,
tuntunan dan hukum bagi kehidupan umat manusia3.
Sedangkan kata al-Jam’u dari segi bahasa, berasal dari kata
مجع - خيمعyang artinya mengumpulkan. Sedangkan pengertian al-Jam’u
secara terminologi, para ulama berbeda pendapat. Menurut Az-Zarqani,
Jam’ul Qur’an mengandung dua pengertian. Pertama mengandung makna
1
Kementeriaan Agama RI, Mushaf Jalalain (Jakarta:Pustaka Kibar, 2012) hlm. 577.
2
Harum Nasution, (ed) Ensiklopedi Islam Indonesia, ( Jakarta:Djambatan, 1992) h. 794.
3
Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-qur’an, (Jakarta:Fakultas Pascasarjana
IAIN syarif Hidayatullah, 1989), hlm. 24.
menghafal al-Qur’an dalam hati, dan kedua yaitu menuliskan huruf demi
huruf dan ayat demi ayat yang telah diwahyukan oleh Allah SWT kepada
Nabi Muhammad SAW. Menurut al-Qurtubi dan Ibnu Katsir maksud dari
Jam’ul Qur’an adalah menghimpun al-Qur’an dalam hati atau menghafal al-
Qur’an.4
Menurut Ahmad von Denffer, istilah pengumpulan al-Qur’an (jam’u
al-qur’ân) dalam literatur klasik itu mempunyai berbagai makna, antara lain:
1. Al-Qur’an dicerna oleh hati.
2. Menulis kembali tiap pewahyuan.
3. Menghadirkan materi al-Qur’an untuk ditulis.
4. Menghadirkan laporan (tulisan) para penulis wahyu yang telah menghafal
al-Qur’an.
5. Menghadirkan seluruh sumber, baik lisan maupun tulisan.5
Dalam berbagai literatur, penggunaan istilah jam’ul Qur’An
(pengumpulan al-Qur’an) lebih sering digunakan dari pada istilah kitabat al-
Qur’an (penulisan al-Qur’an) ataupun tadwin al-Qur’an (pembukuan al-
Qur’an). Para ulama’ yang memakai istilah jam’ul Qur’an mengartikannya
dengan al-Jam’u fī al-Sudūr (yaitu proses penghafalan al-Qur’an) dan al-
Jam’u fī al-Suṭūr (yaitu proses pencatatan dan penulisan al-Qur’an). Sekalipun
terdapat perbedaan penggunaan istilah sebagaimana paparan di atas, dalam
prakteknya istilah-istilah tersebut mengandung maksud yang sama, yaitu
proses penyampaian, pencatatan hingga penghimpunan catatan-catatan
tersebut ke dalam satu mushaf.6
4
Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung:Pustaka Setia), 2006, hlm. 10.
5
Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung:Pustaka Setia), 2006, hlm. 10.
6
Munawir, “Problematika Seputar Kodifikasi Al-Qur'an (Sebuah Kajian Kesejarahan Perspektif
Kesarjanaan Muslim dan Analisis Kritis Kesarjanaan Barat)”, Vol. 3, No. 2, (2018), 150.
Proses kodifikasi atau pembukuan al-Qur’an di lakukan melalui
penyampaian, pencatatan, pengumpulan catatan dan kodifikasi hingga
menjadi mushaf al-Qur’an yang disebut jam’ul Qur’an. Semua proses ini
merupakan bagian penting dari upaya pengamanan dan pelestarian kitab suci
al-Qur’an. Penyusunan al-Qur’an melewati empat fase menurut zamannya.
Pada masa ini, Nabi SAW merupakan Sayyid Al-Ḥuffāẓ,8 sementara para
sahabat seolah berlomba penuh antusias menghafal setiap ayat Al-Qur‟an yang
dibacakan dan disampaikan Nabi SAW kepada mereka. Selanjutnya mereka
mengajarkannya kepada istri, anak, dan keluarga mereka. Adanya antusiasme
yang tinggi dari para sahabat untuk menghafal al-Qur’an ini, tidak heran apabila
7
Ibid,.
8
Sayyid al-Ḥuffāẓ artinya penghulu dari segala penghafal al-Qur’an. Muhammad Abd al-Aẓīm
alZarqānī, Manāhil al ‘Irfān Fī Ulūm al-Qur’ān (Mesir: Isa al-Bābi al-Ḥalabi, t.th.), hlm. 241.
banyak hadist menginformasikan tentang keberadaan mereka (sekalipun dengan
nama dan jumlah yang beragam).9
ِ
َ ني َعلَْي ِه َّن ِمن َج ٰلَبِيبِ ِه َّن َٰذل
ٰك أ َْدىَن ِ ِك ونِس ِاء ٱلْم ْؤ ِمنِ َ ٰيأَيُّها ٱلنَّىِب قُل أِّل َْز ٰو ِج
َ ني يُ ْدن
َ ُ َ َ َ ك َو َبنَات َ ُّ َ َ
ِ
٥٩﴿ يما ً ﴾أَن يُ ْعَرفْ َن فَاَل يُ ْؤ َذيْ َن َو َكا َن ٱللَّهُ َغ ُف
ً ورا َّرح
9
Munawir, “Problematika Seputar Kodifikasi Al-Qur'an (Sebuah Kajian Kesejarahan Perspektif
Kesarjanaan Muslim dan Analisis Kritis Kesarjanaan Barat)”, Vol. 3, No. 2, (2018), 150.
10
‘’al-Qur’an”, Al-Ahzab, [33]: 59.
turun kepadanya sebelum malaikat Jibril menyelesaikan wahyu itu, sebagai upaya
keras untuk menghapalnya.
ِ ِاَّل
ُب َعيِّن س َوى الْ ُق ْراٰ َن َف ْليَ ْم ُحه
َ َاعيِّن َشْيئًاإ الْ ُق ْراٰ َن َو َم ْن َكت
َ اَل تَكْتُُب ْو
1. Mem-back up hafalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.
11
Munawir, “Problematika Seputar Kodifikasi Al-Qur'an (Sebuah Kajian Kesejarahan Perspektif
Kesarjanaan Muslim dan Analisis Kritis Kesarjanaan Barat)”, Vol. 3, No. 2, (2018), 150.
12
Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 38-39.
13
Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an,(Bandung:Pustaka Setia, 2013), hlm. 39.
2. Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna, karena
bertolak dari hafalan para sahabat saja tidak cukup karena terkadang mereka
lupa atau sebagian dari mereka sudah wafat. Adapun tulisan tulisan akan tetap
terpelihara walaupun pada masa Nabi al-Qur’an tidak ditulis di tempat
tertentu.
2. Likhaf, atau batu tulis berwarna putih, terbuat dari kepingan batu kapur
yang terbelah secara horizontal lantaran panas.
5. Adlla’ atau tulang rusuk, biasaya juga terbuat dari tulang rusuk unta.
14
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Forum Kajian Budaya dan Agama,
(Yogyakarta:2001,) hlm. 151.
lembaran itu membantu penghafalan di dalam hati. Di samping itu sebagian
sahabat pun menuliskan al-Qur’an yang turun itu atas kemauan sendiri, tanpa
diperintah oleh Nabi SAW; mereka menuliskannya pada pelepah kurma,
lempengan batu, daun lontar, kulit atau batang kayu, pelana, potongan tulang-
belulang binatang. Zaid bin Tsabit berkata: “Kami menyusun al-Qur’an di
hadapan Rasulullah SAW pada kulit binatang.
Semua ini menunjukkan betapa besar kesulitan yang dipikul para sahabat
dalam menuliskan al-Qur’an. Alat-alat tulis tidak cukup tersedia bagi mereka,
selain sarana-sarana tersebut. Dan dengan demikian, penulisan al-Qur’an ini
semakin menambah hafalan mereka.
15
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Mudzakir, Cet. XIV, (Bogor:Pustaka Litera Antar
Nusa,2011), hlm. 179-185.
DAFTAR PUSTAKA
Kementeriaan Agama RI, Mushaf Jalalain (Jakarta:Pustaka Kibar, 2012) hlm. 577.
Harum Nasution, (ed) Ensiklopedi Islam Indonesia, ( Jakarta:Djambatan, 1992) h.
794.
Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-qur’an, (Jakarta:Fakultas
Pascasarjana IAIN syarif Hidayatullah, 1989), hlm. 24.
Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung:Pustaka Setia), 2006, hlm. 10.
Munawir, “Problematika Seputar Kodifikasi Al-Qur'an (Sebuah Kajian Kesejarahan
Perspektif Kesarjanaan Muslim dan Analisis Kritis Kesarjanaan Barat)”, Vol. 3, No.
2, (2018), 150.
Muhammad Abd al-Aẓīm alZarqānī, Manāhil al ‘Irfān Fī Ulūm al-Qur’ān (Mesir: Isa
al-Bābi al-Ḥalabi, t.th.), hlm. 241.
Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 38-39.
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Forum Kajian Budaya dan
Agama,(Yogyakarta:2001,) hlm. 151.
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Mudzakir, Cet. XIV,
(Bogor:Pustaka Litera Antar Nusa,2011), hlm. 179-185.