Anda di halaman 1dari 11

PENGUMPULAN AL-QURAN MASA NABI MUHAMMAD SAW

Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Sejarah Al-Qur’an

Dosen Pengampu :
Ahmad Musonnif Alfi, S.Ag, M. Th.I

Oleh :
Achmad Ali Mustofa
NIM: 2019.01.01.1279
Mohmmad Arif Dzini’am
NIM: 2019.01.01.1240

PROGRAM STUDI ALQURAN DAN TAFSIR (IQT)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL-ANWAR
SARANG REMBANG
2020
PENGUMPULAN AL-QURAN ERA NABI MUHAMMAD SAW

Oleh: Achmad Ali Mustofa & Moh Arif Dzini’am


A. Pendahuluan

Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang di wahyukan kepada Rasulullah


Shalallahu `alaihi wasallam untuk disampaikan kepada semua umat manusia
di dunia dan dijadikan sebagai pedoman hidup bagi manusia dan merupakan
kitab suci bagi umat islam, namun tidak banyak orang yang mengetahui apa
itu sebenarnya yang dinamakan al-Qur’an, serta bagaimana proses awal
pembukuan serta pembakuan al-Qur’an itu sendiri. Pengumpulan dan
penyusunan al-Qur`an dalam bentuk seperti saat ini, tidak terjadi dalam satu
masa, tapi berlangsung beberapa tahun atas upaya beberapa orang dan
berbagai kelompok. Cara lazim dalam menjaga al-Qur`an pada masa Nabi dan
Sahabat adalah dengan hafalan (al-jam’ fi as-ssudur). Hal ini selain karena
masih banyak sahabat yang buta huruf, juga karena hafalan orang Arab ketika
itu terkenal kuat. Bisa dimaklumi jika pencatatan al-Qur`an belum merupakan
alat pemeliharaan yang handal, karena dari segi teknis, alat-alat tulis ketika itu
masih sangat sederhana dan rawan terhadap kerusakan. Bahan tempat menulis
berasal dari pelepah-pelepah kurma dan tulang- belulang yang gampang lapuk
dan patah, tinta yang mudah luntur, dan alat tulis yang sangat sederhana. maka
dari itu makalah ini akan membahas seputar pengertian al-Qur’an dan proses
pembukuan serta pembakuan al-Qur’an hingga menjadi al-Qur’an yang utuh
yang sering kita baca pada setiap harinya. Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi para pembaca pada umumnya dan bagi penulis
pada khususya.
B. Pembahasan
1. Pengertian jam’ul Quran

Ditinjau dari segi kebahasaan, al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang
berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata al-Qur’an
adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya
membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada QS Al-
Qiyamah/ 75:17-18

۱۸ ُ‫ فَإ َذا َقَرأنَهُ فَاتَّبِ ْع ُقْرأنُه‬۱۷ ُ‫إن َعلَْينَا مَجْ َعهُ َو ُف ْرأنُه‬
َّ
Artinya: Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah
selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.1
Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan al-Qur'an dalam bukunya Mabahits fi
ulum Alquran mengemukakan bahwa pendapat yang paling kuat adalah yang
mengatakan bahwa al-Qur’an adalah bentuk masdar dengan kata qira’ah yang
berarti membaca. Diperkuat oleh pendapat lain mengatakan kata al-Qur’an
secara harf berasal dari akar kata qara’ah yang berarti bacaan atau himpunan,
karena ia merupakan kitab yang wajib dibaca dan dipelajari, serta merupakan
himpunan dari ajaran-ajaran wahyu yang terbaik.2
Menurut Prof. Dr. H. Muin Salim, Alquran merupakan kitab suci umat
Islam, adalah firman-firman Allah swt. yang diwahyukan dengan perantaraan
malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw. sebagai peringatan, petunjuk,
tuntunan dan hukum bagi kehidupan umat manusia3.
Sedangkan kata al-Jam’u dari segi bahasa, berasal dari kata
  ‫مجع‬  -‫ خيمع‬yang artinya mengumpulkan. Sedangkan pengertian al-Jam’u
secara terminologi, para ulama berbeda pendapat. Menurut Az-Zarqani,
Jam’ul Qur’an mengandung dua pengertian. Pertama mengandung makna

1
Kementeriaan Agama RI, Mushaf Jalalain (Jakarta:Pustaka Kibar, 2012) hlm. 577.
2
Harum Nasution, (ed) Ensiklopedi Islam Indonesia, ( Jakarta:Djambatan, 1992) h. 794.
3
Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-qur’an, (Jakarta:Fakultas Pascasarjana
IAIN syarif Hidayatullah, 1989), hlm. 24.
menghafal al-Qur’an dalam hati, dan kedua yaitu menuliskan huruf demi
huruf dan ayat demi ayat yang telah diwahyukan oleh Allah SWT kepada
Nabi Muhammad SAW. Menurut al-Qurtubi dan Ibnu Katsir maksud dari
Jam’ul Qur’an adalah menghimpun al-Qur’an dalam hati atau menghafal al-
Qur’an.4
Menurut Ahmad von Denffer, istilah pengumpulan al-Qur’an (jam’u
al-qur’ân) dalam literatur klasik itu mempunyai berbagai makna, antara lain:
1. Al-Qur’an dicerna oleh hati.
2. Menulis kembali tiap pewahyuan.
3. Menghadirkan materi al-Qur’an untuk ditulis.
4. Menghadirkan laporan (tulisan) para penulis wahyu yang telah menghafal
al-Qur’an.
5. Menghadirkan seluruh sumber, baik lisan maupun tulisan.5
Dalam berbagai literatur, penggunaan istilah jam’ul Qur’An
(pengumpulan al-Qur’an) lebih sering digunakan dari pada istilah kitabat al-
Qur’an (penulisan al-Qur’an) ataupun tadwin al-Qur’an (pembukuan al-
Qur’an). Para ulama’ yang memakai istilah jam’ul Qur’an mengartikannya
dengan al-Jam’u fī al-Sudūr (yaitu proses penghafalan al-Qur’an) dan al-
Jam’u fī al-Suṭūr (yaitu proses pencatatan dan penulisan al-Qur’an). Sekalipun
terdapat perbedaan penggunaan istilah sebagaimana paparan di atas, dalam
prakteknya istilah-istilah tersebut mengandung maksud yang sama, yaitu
proses penyampaian, pencatatan hingga penghimpunan catatan-catatan
tersebut ke dalam satu mushaf.6

Untuk menjadi sebuah mushaf, al-Qur’an memerlukan beberapa


proses yang melibatkan beberapa orang dalam kurun waktu yang relative
panjang dari zaman Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam hingga zaman
Khalifah Ustman Bin Affan.

4
Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung:Pustaka Setia), 2006, hlm. 10.
5
Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung:Pustaka Setia), 2006, hlm. 10.
6
Munawir, “Problematika Seputar Kodifikasi Al-Qur'an (Sebuah Kajian Kesejarahan Perspektif
Kesarjanaan Muslim dan Analisis Kritis Kesarjanaan Barat)”, Vol. 3, No. 2, (2018), 150.
Proses kodifikasi atau pembukuan al-Qur’an di lakukan melalui
penyampaian, pencatatan, pengumpulan catatan dan kodifikasi hingga
menjadi mushaf al-Qur’an yang disebut jam’ul Qur’an. Semua proses ini
merupakan bagian penting dari upaya pengamanan dan pelestarian kitab suci
al-Qur’an. Penyusunan al-Qur’an melewati empat fase menurut zamannya.

2. Upaya Nabi dalam Menjaga Keotentikan Al-Qur’an.

Bagian perbagian wahyu yang diterima Muhammad SAW pada faktanya,


dipelihara dari kemusnahan dengan dua cara utama: 1) menyimpannya ke
dalam dada manusia atau disebut juga dengan menghafalkan, dan 2)
merekamnya secara tertulis di atas berbagai jenis bahan untuk menulis
(pelepah korma, tulangbelulang, dan lain-lain).

A. Pengumpulan dalam dada

Berdasarkan paparan sejarah, pada mulanya bagian-bagian al-Qur’an yang


diwahyukan kepada Muhammad dipelihara dalam ingatan Nabi SAW dan para
sahabatnya. Tradisi hafalan yang kuat di kalangan masyarakat Arab telah
memungkinkan terpeliharanya al-Qur’an dalam cara semacam ini. Jadi, setelah
menerima suatu wahyu (sebagaimana diperintahkan al-Qur’an) Nabi SAW
kemudian menyampaikanya kepada para pengikutnya yang kemudian
menghafalkannya.7

Pada masa ini, Nabi SAW merupakan Sayyid Al-Ḥuffāẓ,8 sementara para
sahabat seolah berlomba penuh antusias menghafal setiap ayat Al-Qur‟an yang
dibacakan dan disampaikan Nabi SAW kepada mereka. Selanjutnya mereka
mengajarkannya kepada istri, anak, dan keluarga mereka. Adanya antusiasme
yang tinggi dari para sahabat untuk menghafal al-Qur’an ini, tidak heran apabila

7
Ibid,.
8
Sayyid al-Ḥuffāẓ artinya penghulu dari segala penghafal al-Qur’an. Muhammad Abd al-Aẓīm
alZarqānī, Manāhil al ‘Irfān Fī Ulūm al-Qur’ān (Mesir: Isa al-Bābi al-Ḥalabi, t.th.), hlm. 241.
banyak hadist menginformasikan tentang keberadaan mereka (sekalipun dengan
nama dan jumlah yang beragam).9

Nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah orang yang pertama


kali menghapal Al Qur’an dan para sahabat mencontoh suri tauladannya, sebagai
usaha menjaga dan melestarikan Al Qur’an. Upaya pelestarian Al Qur’an pada
masa nabi Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam dilakukan oleh Rasulullah
sendiri setiap kali beliau menerima wahyu dari Allah. Setelah itu, beliau langsung
mengingat dan menghapal serta menyampaikannya kepada kepada para sahabat.
Kemudian sahabat langsung menghapalnya dan menyampaikannya kepada
keluarga dan para sahabat lainnya. Tidak hanya itu, mereka para sahabat langsung
mempraktekkan perintah yang datang dari Allah melalui Rasul-Nya. Hal ini bisa
kita lihat pada ayat tentang turunnya hijab sebagai mana yang tertulis dalam Qs.
Al-Ahzab ayat 59:

ِ
َ ‫ني َعلَْي ِه َّن ِمن َج ٰلَبِيبِ ِه َّن َٰذل‬
ٰ‫ك أ َْدىَن‬ ِ ِ‫ك ونِس ِاء ٱلْم ْؤ ِمن‬ِ َ ‫ٰيأَيُّها ٱلنَّىِب قُل أِّل َْز ٰو ِج‬
َ ‫ني يُ ْدن‬
َ ُ َ َ َ ‫ك َو َبنَات‬ َ ُّ َ َ
ِ
٥٩﴿ ‫يما‬ ً ‫﴾أَن يُ ْعَرفْ َن فَاَل يُ ْؤ َذيْ َن َو َكا َن ٱللَّهُ َغ ُف‬
ً ‫ورا َّرح‬

Artinya: “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak


perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih
mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”10

Dalam menerima wahyu yang berupa al-Qur’an, Rasulullah Shallahu


‘Alaihi Wa Sallam sangat bersemangat segera menghapalnya. Suatu ketika beliau
pernah menggerakkan bibir dan lidahnya untuk membaca al-Qur’an tatkala wahyu

9
Munawir, “Problematika Seputar Kodifikasi Al-Qur'an (Sebuah Kajian Kesejarahan Perspektif
Kesarjanaan Muslim dan Analisis Kritis Kesarjanaan Barat)”, Vol. 3, No. 2, (2018), 150.

10
‘’al-Qur’an”, Al-Ahzab, [33]: 59.
turun kepadanya sebelum malaikat Jibril menyelesaikan wahyu itu, sebagai upaya
keras untuk menghapalnya.

B. Pengumpulan dalam bentuk tulisan

Penulisan pada masa Nabi SAW merupakan langkah kedua dalam


pemeliharaan dan pelestarian perbagian wahyu yang diterima oleh Nabi SAW (al-
Qur’an). Informasi paling awal tentang penyalinan al- Qur’an secara tertulis, bisa
ditemukan dalam kisah masuknya Umar bin Khaṭṭāb, empat tahun menjelang
hijrahnya Nabi SAW ke Madinah. Jika kisah ini dapat dipercaya, maka
menunjukkan bahwa sejak semula telah terdapat upaya yang dilakukan secara
serius dan sadar di kalangan sahabat Nabi SAW untuk merekam secara tertulis
pesan-pesan ketuhanan yang diwahyukan kepada beliau.11

Rasulullah telah mengangkat para penulis wahyu al-Qur’an dari para


sahabat pilihan seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abban bin Sa‘id, Khalid
bin Sa‘id, Khalid bin al-Walid, Mu‘awiyah bin Abu Sufyan, Ubay bin Ka’ab, dan
Zaid bin Tsabit. Selain penulis wahyu, para sahabat yang lainnya pun ikut
menulis ayat-ayat al-Qur’an. Kegiatan ini didasarkan pada sebuah hadits Nabi.12 ;

ِ ‫ِاَّل‬
ُ‫ب َعيِّن س َوى الْ ُق ْراٰ َن َف ْليَ ْم ُحه‬
َ َ‫اعيِّن َشْيئًاإ الْ ُق ْراٰ َن َو َم ْن َكت‬
َ ‫اَل تَكْتُُب ْو‬

Artinya: “Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dariku kecuali


al-Qur’an. Barang siapa telah menulis dariku selain al-Qur’an, hendaklah ia
menghapusnya.” (H.R. Muslim)

Diantara faktor pendorong penulisan al-Qur’an pada masa Nabi13 ialah:

1. Mem-back up hafalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.

11
Munawir, “Problematika Seputar Kodifikasi Al-Qur'an (Sebuah Kajian Kesejarahan Perspektif
Kesarjanaan Muslim dan Analisis Kritis Kesarjanaan Barat)”, Vol. 3, No. 2, (2018), 150.
12
Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 38-39.
13
Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an,(Bandung:Pustaka Setia, 2013), hlm. 39.
2. Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna, karena
bertolak dari hafalan para sahabat saja tidak cukup karena terkadang mereka
lupa atau sebagian dari mereka sudah wafat. Adapun tulisan tulisan akan tetap
terpelihara walaupun pada masa Nabi al-Qur’an tidak ditulis di tempat
tertentu.

Dalam suatu cacatan, disebutkan bahwa sejumlah bahan yang


digunakan untuk menyalin wahyu-wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada
Nabi Muhammad yaitu14 :

1.      Riqa, atau lembaran lontar (daun yang dikeringkan) atau perkamen


(kulit binatang).

2.      Likhaf, atau batu tulis berwarna putih, terbuat dari kepingan batu kapur
yang terbelah secara horizontal lantaran panas.

3.      ‘Asib, atau pelapah kurma, terbuat dari bagian ujung dahan pohon


kurma yang tipis.

4.      Aktaf, atau tulang belikat, biasanya terbuat dari tulang belikat unta.

5.      Adlla’ atau tulang rusuk, biasaya juga terbuat dari tulang rusuk unta.

6.      Adim, atau lembaran kulit, terbuat dari kulit binatang asli yang


merupakan bahan utama untuk menulis ketika itu.

3. Para pengumpul Al-Quran era Nabi SAW.


Rasulullah SAW telah mengangkat para penulis wahyu al-Qur’an dari
sahabat-sahabat terkemuka, seperti ‘Ali, Mua’wiyah, ‘Ubai bin Ka’b dan Zaid bin
Tsabit. Bila ayat turun, beliau memerintahkan mereka menuliskannya dan
menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada

14
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Forum Kajian Budaya dan Agama,
(Yogyakarta:2001,) hlm. 151.
lembaran itu membantu penghafalan di dalam hati. Di samping itu sebagian
sahabat pun menuliskan al-Qur’an yang turun itu atas kemauan sendiri, tanpa
diperintah oleh Nabi SAW; mereka menuliskannya pada pelepah kurma,
lempengan batu, daun lontar, kulit atau batang kayu, pelana, potongan tulang-
belulang binatang. Zaid bin Tsabit berkata: “Kami menyusun al-Qur’an di
hadapan Rasulullah SAW pada kulit binatang.

Semua ini menunjukkan betapa besar kesulitan yang dipikul para sahabat
dalam menuliskan al-Qur’an. Alat-alat tulis tidak cukup tersedia bagi mereka,
selain sarana-sarana tersebut. Dan dengan demikian, penulisan al-Qur’an ini
semakin menambah hafalan mereka.

Malaikat Jibril membacakan al-Qur’an kepada Rasulullah pada malam-


malam bulan Ramadhan setiap tahunnya. Para sahabat senantiasa menyodorkan
al-Qur’an kepada Rasulullah baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan. Para
ulama telah menyampaikan bahwa segolongan dari mereka, diantaranya ‘Ali bin
Abi Thalib, Mu’adz bin Jabal, Ubai bin Ka’b, Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin
Mas’ud telah menghafal seluruh isi al-Qur’an di masa Rasulullah. Dan para ulama
menyebutkan pula bahwa Zaid bin Tsabit adalah orang yang terakhir kali
membacakan al-Qur’an di hadapan Nabi di antara mereka yang disebutkan tadi di
atas.

Sesudah berakhir masa turunnya al-Qur’an dengan wafatnya Rasulullah,


maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap epada para Khulafa
al-Rasyidin sesuai dengan janji-Nya yang benar kepada umat tentang jaminan
pemeliharaan-Nya.15

15
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Mudzakir, Cet. XIV, (Bogor:Pustaka Litera Antar
Nusa,2011), hlm. 179-185.
DAFTAR PUSTAKA

Kementeriaan Agama RI, Mushaf Jalalain (Jakarta:Pustaka Kibar, 2012) hlm. 577.
Harum Nasution, (ed) Ensiklopedi Islam Indonesia, ( Jakarta:Djambatan, 1992) h.
794.
Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-qur’an, (Jakarta:Fakultas
Pascasarjana IAIN syarif Hidayatullah, 1989), hlm. 24.
Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung:Pustaka Setia), 2006, hlm. 10.
Munawir, “Problematika Seputar Kodifikasi Al-Qur'an (Sebuah Kajian Kesejarahan
Perspektif Kesarjanaan Muslim dan Analisis Kritis Kesarjanaan Barat)”, Vol. 3, No.
2, (2018), 150.
Muhammad Abd al-Aẓīm alZarqānī, Manāhil al ‘Irfān Fī Ulūm al-Qur’ān (Mesir: Isa
al-Bābi al-Ḥalabi, t.th.), hlm. 241.
Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, (Bandung, Pustaka Setia, 2013), hlm. 38-39.
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Forum Kajian Budaya dan
Agama,(Yogyakarta:2001,) hlm. 151.
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Mudzakir, Cet. XIV,
(Bogor:Pustaka Litera Antar Nusa,2011), hlm. 179-185.

Anda mungkin juga menyukai