Anda di halaman 1dari 21

TUGAS INDIVIDU : Pertemuan 14

BAHASA INDONESIA
(Mereview Artikel Pada Jurnal)

NAMA : IYAD NAUFAL MAS’UM


KELAS : A2

JURUSAN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
ARTIKEL 1
Nama Penulis : Iyad Naufal Mas’um
Nama Jurnal Publikasi :-

ARTIKEL PENGANTAR ARSITEKTUR


PERAN ARSITEK DI INDONESIA

DISUSUN OLEH :
IYAD NAUFAL MAS’UM
03420200062 / A2

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2020
DAFTAR ISI
SAMPUL.............................................................................................ii
DAFTAR ISI......................................................................................iii
PENDAHULUAN...............................................................................4
PERMASALAHAN............................................................................5
PEMBAHASAN..................................................................................6
SUMBER PUSTAKA.......................................................................10
PENDAHULUAN
Istilah arsitek seringkali diartikan secara sempit sebagai seorang perancang bangunan,
adalah orang yang terlibat dalam perencanaan, merancang, dan
mengawasi konstruksi bangunan, yang perannya untuk memandu keputusan yang
memengaruhi aspek bangunan tersebut dalam sisi astetika, budaya, atau masalah sosial.
Definisi tersebut kuranglah tepat karena lingkup pekerjaan seorang arsitek sangat luas, mulai
dari lingkup interior ruangan, lingkup bangunan, lingkup kompleks bangunan, sampai dengan
lingkup kota dan regional. Karenanya, lebih tepat mendefinisikan arsitek sebagai seorang ahli
di bidang ilmu arsitektur, ahli rancang bangun atau lingkungan binaan.

Seperti halnya dokter, akuntan dan pengacara, arsitek adalah profesi yang menjual
jasanya kepada masyarakat. Keberadaan arsitek diakui untuk mengurusi segala permasalahan
mengenai rancang bangun, mulai dari penyusunan konsep perancangan hingga pengawasan
berkala sampai akhirnya menjadi sebuah produk arsitektural. Selain itu, seorang arsitek juga
mempunyai tanggung jawab secara moral seumur hidup terhadap karya-karyanya.

Peran arsitek di dalam kehidupan masyarakat sangat penting karena arsitek sebagai
salah satu komponen masyarakat yang berperan di dalam pembentukan peradaban kehidupan
manusia. Arsitek sebagai profesi yang menciptakan ruang bagi aktifitas dan kelangsungan
hidup manusia dituntut selalu peka terhadap perkembangan zaman dan teknologi serta
sedapat mungkin selalu membela kepentingan masyarakat umum.

Seiring dengan kemajuan dan pembangunan yang terjadi di Indonesia,profesi arsitek


juga semakin mendapat tempat di masyarakat. Meskipun tidak sepopuler dokter, peran kerja
arsitek dalam pengabdian kepada masyarakat semakin dihargai. Untuk dapat melaksanakan
tugasnya secara profesional, arsitek dituntut menguasai ilmu arsitektur yang dipadukan
dengan berbagai disiplin ilmu lain yang selalu berkembang dengan dinamis.
PERMASALAHAN
Arsitek sebagai salah satu penentu arah perkembangan arsitektur di Indonesia dituntut
untuk lebih aktif berperan dalam menentukan arah dengan pemahaman terhadap nilai dan
norma yang hidup di masyarakat sebagai tolok ukurnya. Selain itu, diperlukan pula
kreativitas untuk menjabarkan rambu-rambu tradisional – sebagai suatu konsep yang telah
lama dimiliki masyarakat – ke dalam bentuk-bentuk yang akrab dengan lingkungan dan
mudah dicerna apa makna serta pesan yang akan disampaikan.

Pada saat ini terasa sulit membedakan mana karya yang baik dan cocok untuk
Indonesia, karena perkembangan arsitektur cenderung mengarah pada gaya ‘internasional’
yang tidak mempunyai ‘jati diri indonesiawi’-nya. Interaksi antara Pemilik Bangunan,
Peraturan Daerah dan Arsitek perlu memiliki kesamaan pandang – kendati pada
kenyataannya terdapat banyak perbedaaan yang tidak terlalu jauh – sehingga karya-karya
arsitektur tersebut tidak sekedar emosi dari Arsiteknya.

Peran Arsitek adalah menciptakan suatu wadah atau ruang sebagai kelangsungan
hidup manusia yang memungkinkan tercapainya kondisi optimal bagi pengembangan
masyarakat sebagai pemakai dan terpeliharanya fungsi-fungsi alam dalam kesinambungan
yang dinamis. Bilamana Arsitek yang bersangkutan tidak berhasil memenuhi persyaratan di
atas, maka lambat atau cepat lingkungan buatan berikut segala isinya akan berantakan, sebab
sikap Arsitek berbeda dengan pemakai maupun pengamat karya arsitektur dalam memandang
dan memikirkan tata lingkungan buatan sebagaimana dilakukan sebagian orang. Dengan
hadirnya arsitektur, masyarakat mempunyai persepsi dan kebutuhan yang berbeda karena
dipengaruhi berbagai cara oleh sifat lingkungan sebagai akibat dari perilaku Arsitek dalam
melakukan rancangannya.

Karena arsitektur bertujuan untuk masyarakat, maka hasil karya arsitektur seringkali
dinilai kurang kompromi dengan lingkungannya. Terciptanya karya arsitektur yang cocok
dan sesuai dengan lingkungan-nya tentu bukan monopoli dari si Arsiteknya saja.

Penjabaran dan perwujudan akan tata nilai ekonomis karya arsitektur akan melibatkan
semua pihak. Hal tersebut terjadi karena masyarakat sudah memiliki preferensi dalam
kognisinya tentang bentuk-bentuk yang ditampilkan sebagai bentuk-bentuk yang secara
historis pernah menjadi miliknya.
PEMBAHASAN
Wujud arsitektur bukan merupakan hasil ‘seni yang bebas’ kehendaknya dan melukis
untuk dirinya sendiri. Akan tetapi, seni arsitektur merupakan ‘seni yang terikat’ oleh kaidah-
kaidah tertentu sebagai seni terapan yang mampu dinikmati semua pihak, menjadi milik
masyarakat, bangsa dan para pengamat yang berhak menikmati karya arsitektur setempat
(bukan impor dari luar). Arsitektur mencoba berusaha untuk berada di tengah masyarakatnya,
para pemakai dan pemerhati.

Banyak bangunan yang sebetul-nya gagal secara fungsional atau tidak sesuai dengan
perilaku pemakai, namun tetap diciptakan dengan ‘keterpaksaan’ karena faktor-faktor lain
yang sama sekali melupakan ‘jati diri’-nya. Latar belakang dalam melakukan aktifitas sosial
budaya, dalam masyarakat tradisional Jawa misalnya, banyak belajar menyesuaikan diri
dengan alam lingkungannya. Mereka memilih untuk berusaha hidup ‘selaras’ dengan alam,
walaupun tidak merasa bahwa dirinya takluk kepada alam.

Bentukan arsitekturnya merupakan karya yang secara arif memanfaatkan potensi dan
sumberdaya setempat serta menciptakan keselarasan yang harmonis antara ‘jagad
cilik’ (mikro kosmos) dengan ‘jagad gede’ (makro kosmos).

Menurut Koentjaraningrat (1983) masyarakat Jawa merasa berkewajiban


untuk ‘memayu-ayuning bawana’ yaitu pandangan hidup untuk selalu berupaya
memperindah lingkungannnya, baik fisik maupun spiritual; menyangkut adat, tata cara, cita-
cita ataupun nilai-nilai budaya lainnya. Dalam kaitannya dengan arsitektur, konsep ini
mendasari pola keselarasan antara bangunan dengan lingkungannya termasuk juga dalam
sistem ekologinya.

Ditilik dari kacamata arsitektur, Budiharjo (1997) menilai bahwa hal yang paling
merisaukan dalam perancangan bangunan tinggi adalah penampilannya yang nyaris steril,
serba polos, tunggal rupa serta tak menyisakan peluang bagi penghuni, pemilik maupun
pengamatnya untuk berimajinasi. Tak heran jika pencakar langit seperti itu acap diejek
sebagai salah satu bentuk pornografi arsitektural, tak menyimpan misteri, kurang menyentuh
rasa, tak memperkaya jiwa dan vulgar. Bentuk bangunan dan kota yang cocok, tentunya
muncul dan tumbuh dari dalam, dibuat untuk menanggapi keinginan, tuntutan dan dambaan
manusia yang hidup dan bekerja di sana.
Pembahasan tentang perkembangan arsitektur tidak bisa dipisahkan dengan
perkembangan kebudayaan. Pembahasan perkembangan arsitektur modern, juga tidak dapat
dilepas dari perkembangan teknologi serta perkembangan sosial ekonomi masyarakat
penduduknya. Kebudayaan adalah sesuatu yang dinamis, selalu berubah dari waktu ke waktu.

Arsitektur sebagai bagian dari kebudayaan juga senantiasa memperbaharui diri sesuai
dengan perkembangan jaman. Perkembangan arsitektur dari waktu ke waktu merupakan
cerminan dari budaya masyarakat dimana karya arsitektur tersebut berada. Menurut Atmadi
(1997) perkembangan arsitektur di Indonesia sesudah kemerdekaan menunjukkan corak
perkembangan tersendiri. Ungkapan arsitekturnya disesuaikan dengan tantangan, pengaruh
perkembangan teknologi dan bahan bangunan yang ada.

Perkembangan tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh perkembangan tata ruang atau
tata masa massa bangunan saja, tetapi juga terpengaruh oleh nilai sosial dan budaya serta
ekosistem yang berubah cepat. Namun, pada umumnya para Arsitek kurang memperhatikan
pengembangan konsep perancangan dalam menyelesaikan suatu rancangan.

Pembaharuan konsep perancangan tidak berarti pembaharuan komponen bangunan


yang ditunjukkan dengan mengambil komponen dari berbagai macam lapangan bangunan
lain. Hal ini menjurus pada ungkapan ‘arsitektur eklektis’. Penggunaan tiang Yunani dan
jendela Spanyol yang banyak bermunculan dan bertahan akhir-akhir ini merupakan petunjuk
adanya perkembangan yang demikian itu. Keadaan semacam itu tentunya kurang
menguntungkan bagi usaha mencari arsitektur berkepribadiaan Indonesia. Sebuah teguran
dari Van Romond (1950) dalam pidato Ronald, mengatakan bahwa:

Para arsitek Indonesia hendaknya berani memutuskan diri untuk bertindak mundur


sejenak, hingga menemukan suatu perwujudan dalam bentuk yang paling sederhana dari
bentuk bangunan di masa lampau. Sebab dengan melakukan tindakan ini berarti akan
memperoleh kesempatan untuk memperbaharui gagasan-gagasan dan kemudian akan dapat
menemukan kembali bentuk yang jauh lebih baik dan lebih khas.

Dengan perkataan lain, kalau ingin maju dengan pesat, hendaknya mau mundur
barang selangkah sebagai awalan melakukan loncatan yang lebih jauh. Cepatnya
pertumbuhan penduduk, kecepatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
terbatasnya sumber daya alam mengharuskan para Perencana dan arsitek untuk segera
menjawab tantangan tadi.
Perkembangan keanekaragaman kebutuhan fasilitas, masih adanya masalah
kemiskinan serta distribusi yang belum sesuai, merupakan beberapa tantangan utama yang
perlu diperhtikan para Arsitek Indonesia. Usaha perbaikan fasilitas umum dan permukiman
pada dasarnya merupakan kegiatan yang strategis dalam pembangunan. Untuk itu,
seyogyanya konsep perancangan bangunan serta perencanaan lingkungan dan wilayah
mendapat perhatian khusus, agar pembangunan dapat mendukung pembinaan budaya dan
peradaban bangsa.

Perkembangan arsitektur nampak berjalan begitu mulus tanpa ada penyaring sebagai
akibat apa yang terjadi untuk sementara ‘dipersilakan masuk’, sehingga bisa dikatakan ada
perubahan nilai untuk menghilangkan ‘jatidiri’-nya. Hal ini sebagai akibat proses
modernisasi, yang bilamana tidak dikendalikan dengan baik, dapat menimbulkan ‘krisis
identitas’. Krisis ini terjadi karena terganggunya keakraban manusia dengan ruang. Dengan
demikian, walau ruang tidak mengalami perubahan, namun digunakan dengan fungsi yang
sangat berbeda. Untuk itu, tata nilai yang berlaku akan mengalami perubahan dan menjadi
sumber konflik antara yang lama dengan yang baru.

Timbul keprihatinan dalam diri beberapa pihak yang mempertanyakan apakah


arsitektur seperti itu akan menjadi arah perkembangan arsitektur Indonesia. Prijotomo dalam
bukunya Pasang Surut Arsitektur di Indonesia mempertanyakan: “Tahukah Anda bahwa
kesemuanya itu telah dimiliki sejak 1970-an? Tapi kenapa perjalanan meng-Indonesia-kan
arsitektur masih pusing tujuh keliling?”

Beberapa kemungkinan ini adalah jawaban dari pertanyaan tadi, yaitu:

1. Konon dikatakan oleh Arsitek bahwa pasaran arsitektur masih menggemari yang
‘barat’ ketimbang yang tradisional
2. Lembaga pendidikan arsitektur belum melakukan penafsiran, karena belum mampu
bicara soal ruang dan rupa arsitektur tradisional Indonesia. Arsitektur ini masih
diletakkan dalam kerangka antropologis dan kebudayaan, belum diletakkan dalam
kerangka arsitektur itu sendiri.
3. Kurangnya gairah Arsitek profesional dan Pendidik untuk meletakkan arsitektur
tradisional itu sebagai sumber praktek dan sumber pengajaran.
4.  ada pihak-pihak yang sengaja menyembunyikan pengetahuan dan kemampuannya
dalam hal arsitektur tadi. Penggunaan apa yang dimilikinya oleh pihak lain demi
pengembangan arsitektur tadi dicurigainya sebagai pengambil-alihan pengetahuan dan
kemampuan.
5. Belum tumbuhnya sikap Arsitek Indonesia dalam melihat arsitektur modern itu
sendiri. Tafsiran, alih ragam, modifikasi ataupun penyederhanaan haruslah menjadi
bagian yang tak terpisah dari sebutan tradisional pada arsitektur daerah kita.

KESIMPULAN
Sikap Arsitek harus berubah, karena seorang Arsitek bukan hanya menuangkan
sebuah misi ke dalam perencanaan saja, namun harus memahami reaksi manusia yag terlibat
guna dicarikan pemecahannya bila akan timbul konflik. Sebenarnya, tugas Arsitek belum
berakhir sampai dengan rencana ‘blueprint’ saja. Walau proyek telah selesai dibangun,
bahkan telah diresmikan, Arsitek masih berkewajiban paling tidak secara etis sampai dengan
obyek tersebut benar-benar berfungsi.  Dalam hal ini si Arsitek berfungsi sebagai moderator
untuk duduk dalam satu meja demi terselenggaranya peran masing-masing disiplin ilmu
dengan baik. Dengan demikian, dibutuhkan arsitek-arsitek yang komunikatif dan peka
terhadap masalah-masalah kultural, kuat dalam penelitian lapangan serta berani melepaskan
konsep-konsep ruang yang standar dan berani mengusulkan sesuatu yang orisinil.

Pemahaman terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang terdapat di lingkungan


masyarakat merupakan hal yang perlu dilakukan oleh Arsitek sebagai dasar pijak dalam
menciptakan karya arsitekturalnya. Dengan demikian, hasil yang diwujudkan akan
merupakan arsitektur yang akrab dengan lingkungannya serta mudah dicerna apa makna dan
pesan yang disampaikannya. Warisan arsitektur tradisional akan sangat bermanfaat sebagai
sumber untuk memperoleh inspirasi dan inovasi dalam mendorong imajinasi para arsitek.
Dalam hal ini diperlukan kemampuan kreativitas untuk menjabarkan rambu-rambu
tradisional, agar karya yang dihasilkan tidak terjebak pada bentuk-bentuk yang monoton,
tetapi justru perlu memberikan peluang pada unsur-unsur kontradiksi dan konflik yang harus
diwadahi dalam bentukan-bentukan yang unik.
SUMBER PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Arsitek

http://eprints.undip.ac.id/20141/1/2.pdf

https://www.academia.edu/35128771/Perkembangan_Arsitektur_Tanggung_jawab_Arsitek_d
an_Masyarakat

https://iplbi.or.id/perkembangan-arsitektur-tanggung-jawab-arsitek-dan-masyarakat/
ARTIKEL 2
Nama Penulis : Hendra Laente
Nama Jurnal Publikasi : Imaji: Jurnal Seni dan Pendidikan Seni
REVIEW ARTIKEL PADA JURNAL

Seperti yang kita lihat, terdapat dua artikel yang saya cantumkan. Artikel pertama merupakan
artikel yang sempat saya buat pada tugas mata kuliah lain dengan judul “Peran Arsitek di
Indonesia”, kemudian artikel yang kedua merupakan artikel yang saya temukan di google
scholar dengan judul “Makna Dan Nilai-Nilai Kearifan Lokal Arsitektur Rumah Tradisional Bugis
(Bola)”. Saya menggunakan dua artikel agar dapat membandingkan antara artikel yang salah
dan artikel yang benar, karena apabila hanya menggunakan satu artikel yang sudah benar
akan sulit untuk menemukan kesalahannya, sehingga saya menggunakan dua artikel.
Kemudian, sebagai seseorang yang tidak mendalami Bahasa saya akan me-review kedua
artikel tersebut berdasarkan pengetahuan saya terhadap penulisan artikel yang seharusnya.

REVIEW ARTIKEL 1

Dari segi struktur, struktur yang dimiliki artikel pertama masih kurang tepat. Pada artikel
pertama memiliki susunan : sampul, daftar isi, pendahuluan, permasalahan, pembahasan,
sumber pustaka, Seharusnya sebuah artikel tidak lagi menggunakan sampul dan juga tidak
menggunakan daftar isi, susunan artikel yang benar yaitu : abstrak, pendahulua, metode, hasil
dan pembahasan, kesimpulan, daftar pustaka. Sehingga, dari segi struktur masih salah.
Bahkan penulisan didalam strukturnya juga masih kurang tepat contohnya pada sumber
pustaka, yang terlihat bahwa sumber yang diberikan terkesan asal-asalan, padahal sebuah
artikel harusnya menggunakan sumber yang faktual. Kemudian, apabila dilihat dari ciri
lainnya, kita dapat melihat bagaimana kebahasaan pada artikel pertama justru terlihat seperti
makalah, dan apabila diperhatikan penyusunan kata pada beberapa paragraph terkadang tidak
sinkron membuat pembaca akan sulit memahami maksud dari artikel tersebut. Artikel
pertama masih memiliki banyak kesalahanan dalam penulisan artikel yang seharusnya,
sehingga artikel pertama bukanlah sebuah artikel, bahkan tidak memiliki publikasi jurnal.

REVIEW ARTIKEL 2
Dalam artikel yang kedua terlihat bahwa segala sesuatunya mulai dari struktur, penulisan,
karakteristik kebahasaan, dan lain-lain, semuanya sudah tertata dan teratur dengan tepat.
Mulai dari isi tulisan pada artikel yang bersifat faktual dan informatif, metode penulisan yang
sistematis sehingga mudah dipahami para pembaca, dan ragam Bahasa yang digunakan
Bahasa resmi dan baku . Dari segi pemanfaatan, artikel tersebut sudah memberikan manfaat
atau mengedukasi banyak orang mengenai nilai-nilai arsitektur Bugis, terbukti bahwa artikel
tersebut dapat ditemukan didalam internet dengan mudah dengan bantuan google scholar.
Artikel tersebut telah disusun sebaik mungkin. Namun, masih ada beberapa kesalahan –
kesalahan kecil terhadap penulisan kata.

Adapun beberapa kesalahan penulisan kata dalam artikel yang kedua, yaitu :

1. . . . sedangkan “Bola” adalah sebutan untuk rumah rakyak biasa.
 Seharusnya rakyat, karena rakyak tidak terdapat dalam KBBI
2. . . . Sebagian besar bangunan di kota Makassar sudah menghilangkan . . .
 Seharusnya di Kota Makassar, karena mengikuti nama suatu daerah sehingga kota
harus berawalan kapital
3. . . . menyimpan padi dan benda-benda pusakan.
 Seharusnya pusaka, karena pusakan tidak terdapat dalam KBBI
4. Rumah diukur secara spasial vertikal dan horisontal
 Seharusnya horizontal, karena horisontal tidak terdapat dalam KBBI
5. . . . namun ukurannya itambahkan sepangjang dua jari . . .
 Seharusnya ditambahkan sepanjang, akibat dari salah pengetikan sehingga
membuat suatu kata/kalimat menjadi tidak memiliki arti

KESIMPULAN

Setelah mereview kedua artikel walaupun artikel peratama bukanlah artikel, tapi disini dapat
kita lihat bagaimana perbandingan kedua artikel tersebut, kedua artikel tersebut memiliki
perbedaan yang sangat signifikan. Sehingga, kini kita sudah tahu bagaimana suatu tulisan
dapat dikategorikan sebagai artikel dengan memperhatikan beberapa hal, mulai dari struktur,
karakteristik kebahasaan, penulisan, penyampaian materi, dll. Selain itu, kita juga sudah
mampu untuk membuat artikel yang benar dengan memperhatikan ciri – ciri artikel yang
tepat. Kita juga harus lebih teliti dan berhati – hati saat mengetik baik itu artikel atau tulisan
lain agar menghindari kesalahan penulisan kata, karena apabila suatu kata salah ketik maka
akan menghilangkan makna dari kata tersebut. Maka dari itu, kita harus lebih giat lagi dalam
mempelajari hal – hal seperti ini, karena kedepannya kita akan lebih sering bertemu dengan
artikel pada jurnal dalam pembelajaran kuliah.

Anda mungkin juga menyukai