Anda di halaman 1dari 3

Nama : Rudhi alfian

Nim : 2019390101090
Prodi : PAI 3E

Judu buku : Tarekat dan mistisme dalam islam


Penulis : Awaliyah musgamy
Penerbit : Alaudin university press. Isbn 978-602-237-583-8
Tahun terbit : Cetakan 2013

BAB VII: SUFISME DAN KEMANUSIAAN


Moderenisme dan sekularisme yang terjadi di dunia barat setelah renaisans memiliki
pengaruh yang meluas di seluruh dunia. Rene Descartes berhasil menyelamatkan keyakinan
akan keberadaan satu satunya subtansi yang hakiki, yakni tuhan yang maha sempurna.
Namun perjalanan selanjutnya bukan memberikan angin segar bagi kalangan agamwan di aba
modern, tetapi musuh bebuyutan bagi kalangan agamawan.
Problema yang sama di alami oleh manusia di dunia timur, dimana nilai-nilai mistik
muncul sebagai alternative kemanusiaan dan kerohanian bagi kalangan umat islam yang
dilanda rasionalisme dan sekularisme yunani mempengaruhi pilar-pilar kespiritualan muslim
kala itu. Dan pada era kekinian dan kedisinian umat islam mengalami hempasan gelombang
moderenisasi itu sehingga mempengaruhi sendi sendi keagamaan kshusunya menyangkut
moralitas bangsa.
Golongan seperti inilah termasuk dalam kategori manusia yang tidak punya masa
depan baik jagka pendek maupun panjang. Sufisme sebagai bagian dari ajaran Islam
merupakan sebuah altematif jitu untuk mengobati kedilematikan dan kegelisahan
kemanusiaan para manusia muslim di era post modem sekarang ini. Tulisan ini membahas
mengenai kemungkinan membangun kesadaran omnipresent dan penetapan akan Keesaan
Allah, melalui jalur sufisme, sebagai alternatif kemanusiaan di era kegelisahan ini. Dengan
tujuan tanpa terjebak pada keber-pikiran manusia yang tak pemah luput dari kategori benar
dan salah. Meletakkan keyakinan kepada Tuhan hanya pada keberfildran yang tentu tidak
pemah luput dari dualisme benar dan salah akan memiskin-kan seseorang dari kekayaan
pengalaman mistis, yang sebenamya tertanam secara potensial dalam jiwa seseorang".
Tulisan ini merupakan kolaborasi lebih lanjut dari dilematika muslim ke masa depan akan
menjelaskan kemungkinan untuk membangun suatu epistemologi yang di dalamnya
Kesadaran Uniter Ilahiah secara mistik modern yang memiliki nilai objektifitasnya tanpa
selalu harus melewati proses keberfikiran manusia. Karena keberpikiran manusia
memberikan dampak akan membatasi ke-Esaan Tuhan yang sebenamya.

A. Sufisme sebagai Antibiotika Kesadaran moral Manusia modem. Al-Ghazali,


misalnya, sebagai mistikus Islam meragukan, sebagattna-na para filosof barat di
antaranya Imanuel Kant, ia tidak percaya kekuatan absolut pikiran manusia. A1-
Ghazali menganggap fildran tidak berkompeten untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan meta-fisika yang dimunculkan oleh fikiran itu sendiri. Al-Ghazali
akhirnya memperoleh pembebasannya dari keadaan keraguan totalnya dan
skeptisisme sempumanya tidak pada pikiran tapi pengalaman mistik: pada cahaya
yang Tuhan sebabkan memasuki hatinya. Jika di bandingkan Descartes, mulai dengan
pengetahuan yang diperolehnya dan membuang selumh otoritas tradisional dan
berhenti pada pemildran, memperoleh keyakinan dalam diktum cogito ergo sum —
"Alcu berpildr; maka aku ada". Al-Ghazali juga melalui seluruh tahap-tahap keraguan
ini tapi pergi lebih jauh dan meragu-kan bahkan pemikiran sebagai sebuah organ
untuk penge-tahuan tentang realitas.

B. Kesadaran Uniter Ilahiah Bagian inti hidup Manusia Modern. Kesadaran uniter
Ilahiah adalah pengalaman "kemenyatuan" atau "kesimaan" dalam Sang Maha
Realitas. Pada saat pecinta Tuhan kehila-ngan kesadaran akan keberadaan dirinya
sendiri yang relatif; pada saat seorang pejalan mistis mencapai kesadaran akan Sang
Hakikat Yang Satu; maka tidak ada lagi aku dan Dia, Yang Ada hanyalah Dia
Semata."2 Dalam bagian ini dan bagian akhir dari makalah ini akan diuraikan
mengenai pengertian dan kemunculan kesadaran uniter Ilahiah dalam jiwa sebagai
salah satu bentuk pengetahuan dengan kchadiran.
Pengetahuan representasional selalu tunduk pada dualisme benar dan salah;
dan tidak akan pemah akan berubah menjadi pengetahuan yang benar dengan dirinya
sendiri. Keyakinan kepada Wujud Mutlak sebagai sumber seluruh pengetahuan dan
atnal seorang mulcmin akan menjadi rentan dan tidak kokoh apabila dilandaskan
kepada pengetahuan representasional. Keyakinan yang seperti ini juga akan menjadi
keyakinan yang repre-sentasional, bukan keyakinan yang hadir dalam
kesangatwujudan dari jiwa manusia itu sendiri. Keyakinan yang representasional
harus memveri-fikasikan diri terus menerus kepada pikiran rasional manusia.
Karakteristik pikiran manusia pada umumnya tidak stabil. Ia sangat dipengaruln feno-
mena-fenomena yang terjadi secara emosional. Karena itulah mungkin ungkapan
Maulana Rumi berikut dapat secara lebih tajam menggambar-kan rapuhnya keyakinan
kepada Wujud Mutlak yang rasional dan representasional.
Pada sisi terdalamnya, pengetahuan tentang Wujud Tuhan bukan termasuk pengetahuan
representasional, namun adalah termasuk pengetahuan dengan kehadiran (aPilm al-
hudbluriy). Pengetahuan seperti ini memiliki nilai objektifnya dengan dirinya sendiri, dan
terlepas dari kategori dualistis benar dan salah. Keyakinan kepada Allah, apabila dilandaskan
jenis pengetahuan seperti ini, akan memiGki objektifitas dengan keyakinan itu sendiri tanpa
memerlukan verifikasi selain keya-kinan itu sendiri. Jenis keyakinan seperti ini akan
memiliki tingkat kestabilan dan ketetapan lebih tinggi daripada keyakinan yang dibangun di
atas kerangka pengetahuan representasional. Keyakinan ini muncul dan hadir dalam jiwa
manusia secara fitri (innate) dalam bentuk suatu tingkat kesadaran uniter Tlahiah tertentu.

Anda mungkin juga menyukai