Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PRAKTIKUM MANAJEMEN TERNAK PERAH

(Manajemen Sapi Perah Di Laboratorium Lapang Sumber Sekar Dau)

Disusun oleh :

Nisa’us Sholikah (125050101111021)

Kelas A / Kelompok 3

PROGRAM STUDI PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2014
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan sapi perah yang produksi susunya tinggi
dengan persentase kadar lemak yang rendah apabila dibandingkan dengan bangsa
sapi perah lainnya. Sapi FH di daerah beriklim temperate sekalipun pada musim
panas masih mampu menghasilkan susu berkisar 26,8 kg/ekor/hari tanpa merubah
konsumsi ransum (Sulistyowati, 1991). Performan produksi susu sapi perah secara
teknis dipengaruhi antara lain oleh manajemen pemberian pakan, curahan tenaga
kerja, pengendalian penyakit dan sistem perkandangan; selain pengelolaan reproduksi
dan kondisi lingkungan.
Peningkatan permintaan susu yang tidak diimbangi dengan bertambahnya
populasi sapi mengakibatkan kebutuhan akan susu tidak terpenuhi. Pemenuhan
produksi susu dengan penambahan ternak sapi perah membutuhkan waktu yang lama.
Hal ini membuktikan bahwa pengembangan usaha ternak sapi perah memiliki
peluang dan prospek usaha yang sangat cerah. Meskipun demikian, prospek usaha
ternak sapi perah yang sangat menjanjikan di Indonesia ini tidak akan memperoleh
hasil yang memuaskan tanpa memperhatikan tata laksana pemeliharaan sapi perah itu
sendiri.
Efisiensi pengembangbiakan dan pengembangan usaha ternak perah hanya dapat
dicapai apabila peternak memiliki perhatian terhadap tata laksana pemeliharaan dan
manajemen pengelolaan yang baik. Faktor manajemen inilah yang memegang
peranan penting dalam usaha ternak perah. Maka dari itu adanya kegiatan semi PKL
ini diharapkan bisa mengetahui semua manajemen yang berkaitan dengan perusahaan
peternakan karena sangat penting bagi mahasiswa untuk menunjang pengetahuan dan
pengalaman dilapangan sebelum terjun kedunia usaha peternakan nantinya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana manajemen pemeliharaan sapi perah di Laboratorium lapang Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya Sumber Sekar Dau?
2. Apakah manajemen pemeliharaan sapi perah di Laboratorium lapang Fakultas
Peternakan Universitas Brawijaya Sumber Sekar Dau sudah sesuai dengan Good
Agricultural Practices (GAP) for Dairy Cow Farm?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Kegiatan semi PKL ini dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut.
a. Memperoleh pengalaman yang berharga dengan mengetahui kegiatankegiatan
lapangan kerja yang ada dalam bidang peternakan secara luas.
b. Meningkatkan pemahaman mengenai hubungan antara teori dan penerapannya
serta faktor-faktor yang mempengaruhi sehingga dapat menjadi bekal mahasiswa
terjun ke masyarakat setelah lulus.
c. Memperoleh keterampilan kerja yang praktis yakni secara langsung dapat
menjumpai, merumuskan, serta memecahkan permasalahan yang ada dalam
bidang peternakan.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan Khusus kegiatan semi PKL ini adalah sebagai berikut.
a. Mengetahui secara langsung manajemen usaha peternakan sapi perah di
Laboratorium lapang Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Sumber Sekar
Dau.
b. Mengetahui permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan manajemen
pemeliharaan sapi perah di Laboratorium lapang Fakultas Peternakan Universitas
Brawijaya Sumber Sekar Dau.
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Pedet Pra Sapih


Pedet pra sapih yang ada di Laboratorium Lapang Sumber Sekar berjumlah 5
ekor. Kelimanya adalah sapi bangsa PFH yang merupakan anak induk sapi perah
yang dipelihara di Laboratorium Lapang Sumber Sekar.
2.1.1 Pakan ( Susu) Pedet
Hasil pengamatan:
Tabel 1. Konsumsi susu murni pada pedet pra sapih.
Pakan Waktu Pemberian
Pagi Sore
Pemberian (Kg) 2 Liter 2 Liter
Sisa (Kg) - -
Konsumsi (Kg) 2 Liter 2 Liter

Pedet pra sapih yang dipelihara di Laboratorium Lapang Sumber Sekar berumur
antara 0-4 bulan. Pemeliharaannya lebih intensif dan sangat diperhatikan karena pedet
Pra sapih sistem imunnya belum begitu. Hal ini sesuai dengan penjelasan dalam
literatur (Syawal et al, 2013) yang menyatakan bahwa umur sapi pedet akan tumbuh
dengan optimal apabila dilakukan manajemen penanganan yang baik dan benar,
karena pedet sangat rentan terhadap penyakit dan kematian. terutama pedet yang baru
lahir.
Pedet pra sapih di Laboratorium Lapang Sumber Sekar diberi pakan berupa susu
murni sebanyak 2 literpada pagi hari dan 2 liter pada sore hari. Pedet pra sapih juga
diberi air yang pemberiaannya dicampur dengan susu murni dengan perbandingan
air : susu murni (1:2). Alasannya untuk melatih pencernaan pedet agar siap untuk
disapih. Hal ini sesuai dengan penjelasan Rofiq et al (2013) bahwa pedet merupakan
anak sapi baru lahir sampai masa sapih yang berumur sekitar 3 sampai 4 bulan. Pakan
utama pedet yang baru dilahirkan adalah susu, sedangkan pada saat dewasa pakan
utama adalah serat. Perubahan dari pakan cair menuju padat tersebut memerlukan
suatu tahapan yang disebut dengan penyapihan. Menurut Quigley (2007) jumlah
protein (asam amino) dapat membuat rumen pedet berkembang dan ternak tetap
tercukupi kebutuhan proteinnya.

2.1.2 Bobot Badan


Hasil pengamatan:
Tabel 2. Bobot Badan Pedet Pra sapih
No Sapi 1 2 3
Lingkar Dada (cm) 86 86 88
Bobot Badan ( Kg) 61 61 65

Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bobot badan pedet No.1 61 kg, pedet
No.2 61 kg, dan pedet No.3 65 kg. Hasil tersebut merupakan asumsi berdasarkan
lingkar dada pedet pra sapih. Bobot badan pedet menunjukkan hasil yang tidak
berbeda jauh karena manajemen pemeliharaannya sama. Bobot badan ternak
dipengaruhi intake yang masuk ke dalam tubuhnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Khan et al (2011) yang menyatakan bahwa terpenuhinya kebutuhan nutrien pedet
dapat menyebabkan pertumbuhan pedet akan optimal. Ternak yang mendapat protein
lebih tinggi mempunyai pertambahan bobot badan yang lebih tinggi.
2.1.3 Kandang
Hasil pengamatan:
Tabel 3. Suhu dan kelembaban kandang keseluruhan
Waktu Pagi Sore
Suhu 210 C 24 0 C
Kelembaban 91% 94%

Berdasarkan hasil pengamatan pedet pra sapih diletakkan di kandang individu.


Pada kandang individu tersebut memiliki suhu 21˚C dan kelembaban 91% pada pagi
hari dan berubah menjadi suhu 24o C dan kelembaban 94% pada sore hari. Suhu ini
sesuai dengan literature tetapi kelembabannya tidak sesuai dengan literature (Firman,
2010) yang menjelaskan bahwa daerah yang cocok untuk memelihara sapi perah FH
di Indonesia adalah di tempat yang berketinggian 750-1250 mdpl dan brsuhu dibawah
18,30 atau 17-220 C dengan kelembaban 5 % karena sapi perah FH berasal dari daerah
subtropis.

Gambar 1. Kandang pedet pra sapih

2.2 Pedet Post Sapih


2.2.1 Pakan dan Minum Pedet
Hasil pengamatan:
Tabel 4. Konsumsi pakan pada pedet Post Sapih
Pakan Waktu Pemberian
Pagi Sore
Pemberian (Kg) Hijauan: 3,2 Hijauan: 3,2

Konsentrat: 3,3 Konsentrat: 3,3


Sisa (Kg) - -
Konsumsi (Kg) Hijauan: 3,2 Hijauan: 3,2

Konsentrat: 3,3 Konsentrat: 3,3

Berdasarkan hasil pengamatan diketahui konsumsi pakan pedet post sapih


berupa pakan hijauan sebanyak 3,2 kg yang diberikan dua kali sehari pada waktu pagi
dan sore hari, serta pakan konsentrat sebanyak 3,3 kg yang diberikan sebelum pakan
hijauan, dua kali sehari pada waktu pagi dan sore hari. Hal ini sebanding dengan
penjelasan Mahyuddin (2005) yang menyatakan bahwa Pakan pedet lepas sapih (4-8
bulan) sudah dapat disediakan/diberikan pakan konsentrat dan dan hijauan/rumput.
Hal ini didukung oleh Power et al (2013) yang menjelaskan bahwa konsentrat
diberikan sebanyak 1 - 1,5% bobot badan dan hijauan diberikan 10% bobot badan.
Pakan tersebut sangat cliperlukan terutama untuk perkembangan ambing clan juga
perkembangan tubuh . Pemberian pakan tersebut dengan satu syarat bahwa pada saat
sapih pedet sudah harus mampu makan konsentrat dan hijauan.
Selain diberi pakan hijauan dan konsentrat, pedet post sapih juga diberi susu
murni yang di campur dengan air. Pemberiannya yaitu setengah liter susu murni di
campur dengan 6 liter air yang diberikan pada pagi hari dan sore hari setelah
pemberian pakan hijauan. Pemberian air minum dilakukan secara adlibitum.
2.2.2 Bobot Badan
Hasil pengamatan:
Tabel 5. Bobot badan pedet post sapih
No. sapi 1
Lingkar Dada ( cm) 170
Bobot Badan ( Kg) 150

Pedet post yang ada di Laboratorium Lapang Sumber Sekar hanya ada 1 ekor.
Berdasarkan hasil pengukuran lingkar dada yaitu sebesar 170 Cm diketahui bobot
badan pedet sekitar 150 kg. Syawal et al (2013) menjelaskan lingkar dada ini
memiliki keeratan hubungan yang tinggi dengan prediksi nilai bobot badan sapi.
Berdasarkan perhitungan, nilai korelasi bobot badan dengan lingkar dada adalah 0,94.
Hidajati (2008) menyatakan bahwa dalam waktu 6 - 7 bulan pedet lepas sapih
diharapkan tumbuh menjadi sapi dara dengan bobot badan 220 kg . Sejak umur tiga
bulan sampai dengan 10 bulan pedet, harus menclapatkan pakan yang baik dan cukup
jumlahnya sehingga dapat mencapai pertambahan bobot badan 620- 700 g/h.

2.2.3 Kandang
Hasil pengamatan:
Ukuran kandang sapi perah keseluruhan(bukan hanya kandang pedet post sapih):
- Panjang = 2261 Cm
- Lebar = 805 Cm
- Tinggi = 490 Cm
- Panjang lantai = 509 Cm
- Kemiringan lantai= (T2-T1):Panjang lantai x 100% = (80-69):509 x100%=
2,16 %
Ukuran tempat pakan:
- Panjang = 1292 Cm
- Lebar = 64 Cm
- Tinggi = 30 Cm
Ukuran tempat minum:
- Panjang = 2,68 Cm
- Lebar = 88 Cm
- Kedalaman = 68 Cm

Gambar 2. Kandang pedet post sapih


-
Kandang pedet post sapi di Laboratorium Lapang Sumber Sekar merupakan
kandang umbaran yang letaknya dipisah dari pedet pra sapih dan sapi dewasa, namun
masih berada dalam satu atap kandang. Ukuran kandang pedet post sapih 1,5x2,25
m2. Hal ini tidak sesuai dengan penjelasan dalam literatur (Firman, 2010) yang
menjelaskan bahwa ukuran kandang untuk anak sapi ukurannya 1x1,5 m2. Suhu dan
kelembaban di kandang pedet post sapih sama dengan suhu dan kelembaban kandang
pedet pra sapih karena berada dalam kandang seatap.
2.3 Sapi Laktasi
2.3.1 Bangsa Sapi
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan saat praktikum diketahui bahwa sapi
perah laktasi yang dipelihara di Laboratorium Lapang Sumber Sekar adalah sapi
perah bangsa PFH yang berjumlah 6 ekor . Sapi PFH merupakan sapi hasil
persilangan sapi lokal dengan sapi FH, sapi FH yang memproduksi susu tinggi tidak
tahan terhadap lingkungan di Indonesia sehingga perlu dilakukan persilangan dengan
sapi lokal untuk meningkatkan daya adaptasinya. Hal ini sesuai dengan penjelasan
Sulistyowati et al (2008) yang menyatakan bahwa Sapi lokal Bos indicus sebagian
besar terdapat di daerah tropis dikenal memiliki produktivitas inferior sehingga
persilangan dengan sapi FH (Bos taurus) diharapkan dapat meningkatkan produksi
susu sapi lokal, sehingga untuk memenuhi kebutuhan susu sapi, daerah tropis
melakukan berbagai usaha meningkatkan produksi.
2.3.2 Tingkat Laktasi dan Umur Sapi
Hasil pengamatan:
Tabel 6. Produksi susu pada tanggal 8 Desember 2014
Fase Bulan Nama Sapi Produksi susu ( Liter) Produksi
Pagi Hari Sore Hari
laktasi Laktasi Total
(Liter)
Awal 3 Dara Baru 1 10,7 8 18,7
Ear Tag 13,3 10,65 23,95
Pertengaha 5 Sapi Barat 7 4,5 11,5
Puting Kecil 9 6,15 15,15
n
Kering 7 Sapi Ekor - 3,7 3,7
Panjang

Berdasarkan hasil pengamatan tidak diketahui umur sapi tetapi diketahui


tingkat laktasi dan bulan laktasi. Hasil pengamatan menunjukkan produksi susu
tertinggi pada sapi fase laktasi awal yakni sebesar 28,7 dan 23,95 liter per hari.
Sedangkan produksi susu fase laktasi pertengahan hanya sebesar 11,5 dan 15,5 liter.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Firman (2010) bahwa respon produksi susu yang
tinggi pada saat awal laktasi disebabkan oleh semakin tingginya cadangan lemak
tubuh sebagai suplementasi pemenuhan kebutuhan energi yang sangat rendah selama
awal laktasi oleh karena perubahan hormon dan pengaruh faktor fisik dari pakan yang
diberikan.
2.3.3 Bobot Badan dan BCS
Hasil pengamatan:
Tabel 7. Bobot badan dan BCS sapi laktasi
No dan Nama 1. Ear tag 2. Puting 3. Ekor 4. Sapi 5. Dara
Sapi Kecil panjang Barat baru

Lingkar Dada (cm) 178 188 196 199 182


Bobot Badan (Kg) 451 534 608 638 483

BCS 2,75 3 3,25 3,25 3

Pada saat praktikum dilakukan pengamatan BCS sapi ternak dengan cara
melihat secara visual tubuh sapid an kemudian menilainya degan skor antara 1-5
dengan keterangan 1 sapi sangat kurus dan 5 sapi sangat gemuk yang berlaku secara
berurutan. Hal ini sependapat dengan Saputri (2014) yang menjelaskan Body
Condition Score merupakan metode penilaian secara subjektif melalui teknik
penglihatan dan perabaan dalam pendugaan lemak tubuh yang mudah yang dapat
digunakan baik pada peternakan komersial maupun penelitian.
Berdasarkan Tabel 6. Diketahui dua sapi No.3 dan 4 mempunyai nilai BCS
3,25 , sapi No. 1 mempunyai BCS 2,75 , dan sapi No. 2 dan 3 mempunyai nilai BCS
3. Sapi yang mempunyai BCS normal adalah sapi No. 3 dan 4. Hal ini sesuai dengan
penjelasan Ahmed et al (2011) bahwa BCS sapi laktasi yang baik berkisar antara 3,25
sampai 3,75 karena BCS sapi juga berpengaruh besar terhadap produksi susu.
2.3.4 Pakan
Hasil pengamatan:
Tabel 8. Konsumsi pakan hijauan sapi laktasi
Pakan Waktu Pemberian
Pagi Sore
Pemberian (Kg) 54 54
Sisa (Kg) 2 2
Konsumsi (Kg) 52 52

Gambar 3. Pakan Hijauan

Tabel 9. Konsumsi pakan konsentrat sapi laktasi


Pakan Waktu Pemberian
Pagi Sore
Pemberian (Kg) 25 25
Sisa (Kg) 1 1
Konsumsi (Kg) 24 24

Gambar 4. Pakan Konsentrat

Tabel 10. Konsumsi pakan penguat (kulit ari kedelai)


Pakan Waktu Pemberian
Pagi Sore
Pemberian (Kg) 25 25
Sisa (Kg) 1 1
Konsumsi (Kg) 24 24
Gambar 5. Kulit ari kedelai

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa pemberian hijauan untuk sapi


perah yaitu sekitar 54 kg tapi yang terkonsumsi sebesar 52 kg. Sedangkan pemberian
konsentrat sebesar 25 kg tapi yang terkonsumsi sekitar 24 kg. Selain itu, sapi perah
juga diberi pakan penguat berupa kulit ari kedelai. Pemberian pakan dengan cara
ditempatkan langsung di tempat pakan dan sapi perah dapat berpindah-pindah untuk
mencari pakan sehingga tidak diketahui konsumsi real sapi. Hal ini tidak sesuai
dengan penjelasan Firman (2010) yang menyatakan bahwa pemberian pakan pada
sapi perah betina dewasa diberikan sesuai umur, pertumbuhan, dan produksinya.
Jumlah hijauan yang diberikan pada sapi perah umumnya 10% dari bobot badannya.
2.3.5 Kebuntingan
Pada saat Praktikum tidak terdapat sapi yang dalam keadaan bunting. Rofiq
(2013) menjelaskan bahwa sapi perah yang mempunyai BCS tinggi sebelum
melahirkan dapat menghasilkan produksi susu yang lebih tinggi selama awal laktasi.
BCS bunting tua mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap jumlah
produksi kolostrum.
2.3.6 Suhu Lingkungan
Pada kandang sapi laktasi memiliki suhu yang sama dengan suhu pada
kandang pedet karena kandang sapi perah di Laboratorium Lapang Sumber Sekar
berupa kandang koloni. Suhu lingkungan pada pagi hari adalah 210 C dan pada sore
hari 240 C Sesuai dengan pernyataan Utomo et al (2009) bahwa Suhu udara yang
sesuai untuk pemeliharaan sapi perah didaerah tropis berkisar antara 18 – 21°C dan di
Indonesia lingkungan tersebut terdapat diwilayah dengan ketinggian serendah-
rendahnya 500 m dpl.
2.3.7 Frekuensi Pemerahan
Frekuensi pemerahan di Laboratorium lapang Sumber Sekar sebanyak 2 kali
sehari, yaitu pada pagi dan sore hari. Waktu pemerahan yaitu pada pukul 05.00 WIB
dan pukul 14.00 WIB. Hal ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian dari Putra
(2009) yaitu pemerahan dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pagi hari pukul 04.00
WIB dan siang hari pukul 13.00 WIB. Produksi yang diperoleh antara pemerahan
pagi dan sore hari berbeda. Produksi susu pagi hari lebih banyak daripada sore hari.
2.3.8 Interval Pemerahan
Interval pemerahan di Laboratorium lapang Sumber Sekar adalah sekitar 7-8
jam dan 14-15 jam. Hal ini tidak sesuai dengan penjelasan dalam literature (Firman,
2010) bahwa interval pemerahan dapat diatur sebagai berikut: a) 12 jam dan 12 jam;
b) 11 jam dan 13 jam; c) 10 jam dan 14 jam. Diperkuat dengan penjelasan Prihadi
(1996) sapi yang diperah dua kali dengan interval 10 dan 14 jam menghasilkan susu
1% lebih rendah dibandingkan dengan yang diperah dengan interval 12 dan 12 jam,
sapi produksi tinggi dapat menunjukkan perbedaan yang lebih tinggi.
2.3.9 Persiapan dan Proses Pemerahan
Proses pemerahan di Laboratorium Lapang Sumber Sekar dibagi menjadi tiga
yaitu pra / persiapan pemerahan, proses pemerahan, dan pasca pemerahan. Pada pra
pemerahan atau persiapan pemerahan dilakukan pembersihan kandang terlebih
dahulu, kemudian membersihkan bagian ambing sapi yang akan di perah akan tetapi
tidak dilakukan teat dipping pada putingnya. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan
Lombard et al, 2010) yang menyatakan bahwa sebelum proses pemerahan dilakukan
teat hygiene untuk mencegah susu yang keluar terkontaminasi mikroba yang
menempel di puting. Selain itu dilakukan persiapan alat-alat pemerahan seperti
ember, gelas ukur, dan milkcan. Setelah peternak membersihkan diri dan semua
kandang serta ternak yang akan diperah sudah bersih maka sudah bisa dilakukan
pemerahan. Pada proses pemerahan, pemerahan dilakukan dengan memerah puting
bagian depan dulu baru puting bagian belakang, cara memerah tiap pemerah berbeda-
beda tergantung kebiasaan. Setelah diperah ambing kembali dibersihkan, susu yang
awalnya di ember dimasukkan ke dalam milkcan untuk mempertahankan kualitas
susu.
2.3.10 Penyakit
Penyakit yang sering menyerang sapi perah di Laboratorium Lapang Sumber
Sekar adalah penyakit mastitis yang disebabkan karena pemerahan yang tidak tuntas
sehingga terjadi pengapuran akibat residual milk. Hal ini sesuai dengan pendapat
Abrar et al (2012) yang menyatakan bahwa penyakit radang ambing yang dikenal
sebagai mastitis masih tetap merupakan masalah utama dalam peternakan sapi perah
karena menyebabkan kerugian yang cukup besar sehubungan dengan penurunan
produksi, kualitas, dan penyingkiran susu, biaya perawatan dan pengobatan yang
cukup tinggi, serta pengafkiran ternak lebih awal. Insidensi mastitis pada sapi perah
di Indonesia sangat tinggi (85%) dan sebagian besar merupakan infeksi yang bersifat
subklinis. Sapi perah terserang mastitis pada tingkatan yang berbeda, ada yang
terserang mas titis sub klinis, klinis, dan kronis. Penanganan mastitis ini juga
didasarkan pada tingkatan tersebut. Pada mastitis sub klinis ternak masih terlihat
sehat sehingga tidak dilakukan perlakuan khusus, pada mastitis klinis yang ditandai
dengan susu mulai mengeras dilakukan pemerahan 3 kali sehari atau dengan injeksi
intra mamae, sedangkan pada mastitis kronis dilakukan pemerahan setiap 1-2 jam
sekali untuk mempercepat membuang gumpalan susu. Pencegahan yang bisa
dilakukan adalah dengan sanitasi yang benar dan melakukan teat dipping sebelum
dan sesudah dilakukan pemerahan serta melakukan pemerahan dengan tuntas.

2.3.11 Stres
Stres pada sapi perah dipicu oleh perubahan iklim lingkungan. Sapi PFH
meskipun bisa beradaptasi dengan lingkungan tropis, akan tetapi karena masih
mengandung darah FH sapi perah di Laboratorium Lapang Sumber Sekar masih
mudah stres jika ada cekaman panas. Sapi perah yang stres akan berdampak pada
produksi susunya. Hal ini sesuai dengan penjelasan Sudrajad dan Adiarto (2011) yang
menyatakan bahwa Iklim tropis di Indonesia menjadi tantangan terbesar dalam upaya
optimalisasi produksi susu tersebut. Hal ini dikarenakan kenyataan bahwa sapi perah
akan dapat berproduksi dengan baik apabila dipelihara pada kondisi lingkungan yang
nyaman dengan batas maksimum dan minimum temperatur dan kelembaban
lingkungan berada pada thermo neutral zone (ZTN). Diluar kondisi tersebut sapi
perah akan mudah mengalami stres .
2.3.12 Kebersihan Kandang dan Ternak
Kandang sapi perah dibersihkan dua kali sehari yaitu pada waktu pagi dan sore
hari sebelum dilakukan pemerahan. Kebersihan kandang diperlukan untuk mencegah
bersarangnya sumber penyakit yang dapat membuat masalah kesehatan pada sapi
perah. Kandang dibersihkan dengan menggunakan air bersih, air di kandang tidak
menggenang karena terdapat selokan yang akan mengarahkan kotoran ke
penampungan limbah. Firman (2010) menyatakan kebersihan kandang harus selalu
dijaga kotoran sapi harus selalu dibuang pada tempat yang telah disediakan, genangan
air dalam kandang harus dikeringkan untuk menghindari berkembang biaknya
kuman, bakteri maupun jamur dan diupayakan tidak ada lalat atau serangga lain yang
dapat mengganggu ternak dikandang .
Sapi perah di Laboratorium lapang Sumber Sekar dimandikan sehari sekali atau
biasanya dimandikan kalau badan sapi sudah benar-benar kotor. Hal ini berbeda
dengan pendapat Vaarst (2011) bahwa sedapat mungkin diupayakan ternak
dimandikan minimal satu kali sehari atau dua kali sehari apabila tersedia air, sapi
sangat perlu dimandikan pada pagi hari karena biasanya pada malam hari telah penuh
dengan kotoran yang menempel pada tubuhnya.

2.3.13 Penanganan dan Pemanfaatan Limbah


Limbah feses maupun urine sapi perah di Laboratorium lapang Sumber Sekar
diolah sebagai biogas yang dimanfaatkan untuk penerangan dan Sludge hasil dari
pembuatan biogas diolah menjadi pupuk organik. Sedangkan limbah pakan
dikumpulkan menjadi satu dan juga diolah menjadi pupuk hijau. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Mara (2012) bahwa berbagai manfaat dapat dipetik dari limbah
ternak, apalagi limbah tersebut dapat diperbaharui (renewable) selama ada hewan
ternak. Limbah ternak masih mengandung nutrisi atau zat padat yang potensial untuk
dimanfaatkan. Limbah ternak kaya akan nutrient (zat makanan) seperti protein,
lemak, bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN), vitamin, mineral, mikroba atau biota,
dan zat-zat yang lain (Unidentified Subtances). Limbah ternak dapat dimanfaatkan
untuk bahan makanan ternak, pupuk organik, energi dan media berbagai tujuan.
2.3.14 Kualitas Susu Di Lokasi Praktikum
Kualitas susu di lokasi praktikum tidak diketahui dengan detail tentang kadar
lemak, protein, berat jenis, maupun jumlah mikroba didalamnya. Hanya saja
dilakukan beberapa tindakan untuk mempertahankan kualitas susu diantaranya
menyaring susu saat akan dimasukkan ke dalam milkcan untuk memisahkan kotoran-
kotoran dari susu pasca pemerahan. Hal ini sesuai dengan pernyataan dalam literature
(Millogo, 2008) yang menyatakan bahwa Penyaringan susu bertujuan untuk
mendapatkan susu yang terbebas dari kotoran. Selain penyaringan dan pendinginan,
pengujian kualitas susu juga dilakukan karena merupakan hal yang penting untuk
mengetahui kualitas susu yang dihasilkan.

2.4 Sapi Periode Kering


Hasil pengamatan:
Tabel 11. Lingkar dada, bobot badan, lama pengeringan, dan BCS sapi periode
kering
No. Sapi 1
Lingkar dada (cm) 174
Bobot badan (kg) 420
Lama pengeringan (hari) 60
Tingkat laktasi -
BCS 3

2.4.1 Lama Pengeringan


Lama pengeringan sapi perah di lokasi praktikum biasanya dilakukan 2 bulan
sebelum melahirkan. Masa kering ini digunakan untuk persiapan sapi perah sebelum
melahirkan dan untuk memperbaiki sel-sel kelenjar mamae agar nanti bisa berfungsi
dengan baik pasca partus. Hal ini sependapat dengan pernyataan dalam literature
(Cappuco, 2005) bahwa masa kering dilakukan untuk memberi kesempatan kelenjar
ambing untuk beregresi, proliferasi dan differensiasi, sehingga stimulasi produksi
susu dari laktasi berikutnya menjadi maksimal.
2.4.2 Pakan
Pakan yang diberikan pada saat periode kering lebih banyak dari pada saat
perioe laktasi atau disebut juga dengan Steaming up. Steaming up di Laboratorium
Lapang Sumber Sekar biasanya dilakukan 2 minggu sebelum partus, tujuannya untuk
memperbaiki BCS sapi tetapi Steaming up ini perlu pengontrolan agar sapi tidak
terlalu gemuk dan menyebabkan distokia. Hal ini setara dengan penjelasan Saputri
(2014) bahwa Steaming up merupakan peningkatan jumlah pakan pada periode kering
sekitar 2-3 minggu sebelum melahirkan. Selama Steaming up pemberian konsentrat
dan hijauan ditingkatkan 5-6 kg/hari. Pakan Steaming up yang sudah sesuai dengan
standart akan dapat menghasilkan nilai BCS sapi perah yang ideal. Hal ini berbeda
dengan pendapat Firan (2010) yang menyatakan bahwa pakan yang diberikan untuk
sapi perah kering hanya hijauan saja sampai sapi perah tersebut mencapai puncak
produksinya. Salah satu bahan pakan hijauan yang bisa digunakan untuk mengganti
pakan konsentrat adalah kaliandra (Calliandra calothyrsus).
2.4.3 Bobot Badan dan BCS
Berdasarkan hasil pengamatan saat praktikum diketahui bobot badan sapi
periode kering adalah 420 kg yang diperoleh dari hasil estimasi berdasarkan lingkar
dada. Nilai BCS sapi kering tersebut adalah 3 berdasarkan penilaian subyektif
praktikan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ahmed et al (2010), dari penilaian
BCS yang dimiliki keseluruhan induk kering berkisar 2-3. Hal ini menunjukkan
bahwa BCS sapi periode kering di lokasai praktikum termasuk tinggi. Hayati et al
(2007) menyatakan bahwa sapi perah yang mempunyai BCS tinggi sebelum
melahirkan dapat menghasilkan produksi susu yang lebih tinggi selama awal laktasi.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari praktikum ini antara lain sebagai berikut.
1. Manajemen pemeliharaan terutama manajemen pakan antara pedet pra sapih,
pedet post sapih, sapi laktasi, dan sapi periode kering berbeda tergantung
kebutuhan ternaknya.
2. Bobot badan pedet pra sapih dan post Sapih sesuai dengan umurnya.
Sedangkan bobot badan sapi laktasi berbeda-beda tergantung dari intake
pakan dan minum. Bobot badan sapi periode kering sudah sesuai dengan
standar bobot badan sapi kering lain.
3. Penilaian BCS sapi perah dilakukan secara subyektif sehingga hasil yang
diperoleh bisa berbeda. BCS sapi perah di lokasi praktikum sudah memenuhi
standar .
4. Proses pemerahan dibagi menjadi 3 bagian yaitu pra pemerahan, pemerahan,
dan pasca pemerahan. Proses pemerahan di lokasi praktikum sudah baik.
5. Manajemen sanitasi kandang di lokasi praktikum sudah baik karena dilakukan
pembersihan kandang setiap hari. Tetapi manajemen sanitasi ternak belum
begitu diperhatikan.
6. Penanganan penyakit mastitis di lokasi praktikum sudah baik karena
penanganannya disesuaikan dengan tingkatan penyakit.
7. Penanganan limbah dilokasi praktikum juga sudah baik karena limbah tidak
dibiarkan mencemari lingkungan tetapi diolah menjadi biogas dan pupuk.
8. Keadaan lingkungan kandang sudah baik karena mempunyai suhu dan
kelembaban yang sesuai untuk pemeliharaan sapi perah sehingga produksi
susu yang dihasilkan juga lumayan tinggi.

3.2 Saran
Sebaiknya manajemen pemeliharaan terutama manajemen sanitasi kandang di
lokasi praktikum diperbaiki. Selain itu manajemen pakan terutama pada sapi bunting
diperhatikan karena masih ada kejadian distokia di lokasi praktikum. Manajemen
pemerahan juga harus diperbaiki lagi karena teat dipping masih jarang dilakukan
padahal itu penting untuk menghindari pencemaran mikroba.

DAFTAR PUSTAKA
Abrar, M., Wayan Teguh Wibawan, Bambang Pontjo Priosoeryanto, Mirnawati
Soedarwanto, dan Fachriyan Hasymi Pasaribu. 2012. Isolasi dan
Karakterisasi Hemaglutinin Staphylococcus Aureus Penyebab Mastitis
Subklinis Pada Sapi Perah. Jurnal Kedokteran Hewan Vol. 6 No. 1 :16-21.

Ahmed, Bahroz M. S. , Nazhad N. Maarof, and Talal Y. Petrus. Effect of Body


Condition Score on Productive Performance of Local Karadi Cows. Journal of
Zankoy Sulaimani 13(1):121-128.

Firman, Achmad. 2010. Agribisnis Sapi Perah. Bandung: Widya Padjadjaran.

Hayati, S., Yuniardi, A., dan Gozali, A. 2007. Hubungan Antara Pre-partum Body
Condition Score Dengan Panjang Puncak Laktasi Sapi Perah FH di BPT-HMT
Baturaden. Jurnal Peternakan 1(9): 39-46.

Hidajati, Nurhasanah. 2008. Pembesaran Pedet Betina Sapi Perah Guna Menunjang
Peningkatan Produksi Susu. WARTAZOA Vol. 7 No. 1 : 1-3.

Khan, M. A., D. M. Weary , and M. A. G. 2011. Effects of milk ration on solid feed
intake, weaning, and performance in dairy heifers. J. Dairy Sci. 94 :1071–1081.

Lombard, J. E, C. B. Tucker ,M. A. G. von Keyserlingk ,C. A. Kopral , and D. M.


Weary. 2010. Associations between cow hygiene, hock injuries, and free stall
usage on US dairy farms. J. Dairy Sci. 93 :4668–4676.

Mahyuddin, P., S.B. Siregar, N. Hidayati And T. Sugiarti. 2005. The Production
Performance Of Holstein Friesian Dairy Cattle In West Java. J. Anim. Sci.
2(3): 145 -151.

Mara, I Made. 2012. Analisis Penyerapan Gas Karbondioksida (CO2) dengan


Larutan NaOH terhadap Kualitas Biogas Kotoran Sapi. Dinamika Teknik
Mesin, Volume 2 No.1 : 38-46.

Millogo, V., G. A. Ouédraogo, S. Agenäs, K. Svennersten-Sjaunja. 2008. Survey On


Dairy Cattle Milk Production And Milk Quality Problems In Peri-Urban
Areas In Burkina Faso. African Journal of Agricultural Research. 3 (3):
215-224.

Power, C., Riona Sayers, B. O’Brien, A. Furey, M. Danaher and K. Jorda. Review of
studies on flukicide residues in cows’ milk and their transfer to dairy
products. Irish Journal of Agricultural and Food Research 52: 197–207.
Prihadi, S. 1996. Tatalaksana dan Produksi Ternak Perah. Universitas
Wangsamanggala, Yogyakarta.

Putra, Adika. 2009. Potensi Penerapan Produksi Bersih Pada Usaha Peternakan
Sapi Perah (Studi Kasus Pemerahan Susu Sapi Moeria Kudus Jawa Tengah).
Tesis. Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Diponegoro. Semarang.

Quigley. 2007. Effects Of Hydrolyzed Spray Dried Red Blood Cells In Milk Replacer
On Calf Intake, Body Weight Gain And Efficiency. J. Dairy Sci., 83(4): 788-794

Rofiq, Zainu., Marjuki, Hermanto. 2013. The Effect Of Protein Level In Calf Starter
Feed On Feed Intake, Average Daily Gain And Feed Conversion Of Cross
Bred Friesian Holstein Calves. Bulletin Peternakan. 2 (1): 1-8.

Saputri, Imamah Wiyono. 2014. The Influence Of Body Condition Score On


Steaming Up Period Toward Colostrum’s Amount And A Long Time Of
Colostrum Production Of Friesian Holstein Breed. JITV Vol 1(34) : 1-6.

Sulistyowati, E. 1991. Effects of NaCl, KCl, and KHCO 3 on Milk Production and
Physiological Responses of Lactating Holstein during Heat Stress. Thesis.
Animal Science Department. University of Kentucky. Lexington. USA.

Sulistyowati, Endang, Siwitri Kadarsih, Lobis Sutarno, dan Gilbert Tampubolon.


2008. Performans Produksi Susu Sapi Perah Friesh Holland (FH) di Desa Air
Duku dan Air Putih Kali Bandung, Kecamatan Selupu Rejang, Kabupaten
Rejang Lebong, Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 3, No 2:75-80.

Syawal, S., B.P. Purwanto., I.G. Permana. 2013. Studi Hubungan Respon Ukuran
Tubuh dan Pemberian Pakan terhadap Pertumbuhan Sapi Pedet dan Dara
Pada Lokasi yang Berbeda. JITP Vol. 2 No. 3: 175-186.

Utomo, B., D.P.Miranti dan G.C. Intan. 2009. Kajian Termoregulasi Sapi Perah
Periode Laktasi Dengan Introduksi Teknologi Peningkatan Kualitas Pakan.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.

Vaarst, Mette., Christoph Winckler, Stephen Roderick. 2011. Animal Health and
Welfare Planning in Organic Dairy Cattle Farms. The Open Veterinary
Science Journal. 5: 19-25.

Anda mungkin juga menyukai